Anda di halaman 1dari 5

1.

PEMBAHASAN
Protein adalah kandungan yang sering kita temukan pada berbagai bahan pangan
dengan kandungan yang banyak dan beragam. Maka dari itu, untuk mendapatkan
protein dengan konsentrasi yang tinggi, protein dibuat dengan bentuk isolatnya. Isolasi
protein adalah kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi protein tertinggi
yaitu dengan memisahkan protein dengan makromolekul yang lainnya, memisahkan
protein berdasarkan sifatnya, dan dari protein yang tidak dikehendaki (Triyono, 2010).
Isolasi merupakan proses pemisahan komponen tertentu dari suatu sistem. Proses isolasi
partikel dari bagian sel dilakukan melalui dua tahap, yaitu penghancuran sel dan
pemisahan partikel tertentu dari suspensi melalui sentrifugasi (Sudarmadji, 1996).
Triyono (2010) menambahkan bahwa isolasi protein didasarkan atas dua proses utama,
yaitu ekstraksi dan koagulasi.
Isolasi yang dilakukan pada praktikum ini dengan tahap awal penghancuran bahan
hingga halus. Penghalusan ini bertujuan

untuk

memisahkan

komponen

kompartemen sel secara kasar untuk selanjutnya akan mempermudah

dan
dalam

homogenasi (Aulaniam dan Fatchiyah, 1995). Kemudian sampel dilarutkan dengan


aquades, hal ini bertujuan untuk melarutkan sampel. Sudarmadji et al., (1989)
mengatakan bahwa aquades dapat mempermudah proses pengujian suatu bahan. Selain
itu, keuntungan penggunaan aquades sebagai pelarut adalah kemurnian aquades yang
tidak akan mempengaruhi kandungan dari larutan uji. Setelah itu, sampel disonikasi
selama 15 menit. Metode sonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan
frekuensi 42 kHz yang dapat mempercepat waktu kontak antara sampel dan pelarut
meskipun pada suhu ruang. Hal ini menyebabkan proses perpindahan massa senyawa
bioaktif dari dalam sel tanaman ke pelarut menjadi lebih cepat. Sonikasi mengandalkan
energi gelombang yang menyebabkan proses kavitasi, yaitu proses pembentukan
gelembung-gelembung kecil akibat adanya transmisi gelombang ultrasonik untuk
membantu difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman (Ashley et al, 2004).
Lalu sampel disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 5000rpm. Menurut
Suyitno (1989), sentrifugasi adalah proses pemisahan antara cairan dengan cairan yang

tidak saling melarutkan atau cairan dengan padatan yang terdispersi di dalamnya. Proses
pemisahan ini dilakukan berdasarkan berat jenis molekul yang berbeda dengan
memberikan gaya sentrifugal, sehingga substansi yang lebih berat akan berada di dasar,
sedangkan substansi yang lebih ringan akan terletak di atas (Faatih, 2009).
Lalu supernatant diambil dan ditambahkan ammonium sulfat sebanyak 55% dari berat
sampel. Penambahan dilakukan sedikit demi sedikit sampai larutan menjadi jenuh dan
terbentuk endapan putih. Pemekatan dapat dilakukan dengan pengendapan protein
melalui penambahan garam ammonium sulfat ((NH4)2SO4). Prinsip pengendapan
protein adalah berkurangnya kelarutan protein dalam larutan karena air diserap oleh
garam. Penambahan garam dilakukan

dalam konsentrasi tinggi. Konsentrasi garam

yang rendah meningkatkan kelarutan protein karena ion-ion berinteraksi dengan


gugus bermuatan

pada

permukaan

protein

dan mengganggu dengan kekuatan

elektrostatik yang kuat yang disebutproses salting in. Penambahan garam dalam
konsentrasi tinggi menyebabkan molekul air yang semula terikat pada permukaan
hidrofobik protein kemudian berikatan dengan garam. Semakin banyak molekul air
yang berikatan dengan ion-ion garam mengakibatkan protein saling berinteraksi,
teragregasi dan mengendap (salting out). Amonium sulfat memiliki daya larut yang
sangat tinggi, dan garam

ini

paling

banyak digunakan untuk fraksinasi protein-

protein (Bintang, 2010). Setelah terbentuk endapan putih, sampel dimasukkan ke dalam
tabung sentrifuge yang telah ditimbang sebelumnya dan di sentrifuge kembali selama 10
menit dengan kecepatan 5000rpm. Lalu endapan dengan tabung ditimbang dan dicatat
berat endapannya.
Endapan yang didapatkan dari sentrifugasi kemudian digunakan untuk metode bradford
selanjutnya. Isolat protein ditambahkan tris HCL pH 7,6 dengan perbandingan 1:4
(endapan:tris HCL) dan dihomogenkan menggunakan vortex. Menurut Ewing (1976),
vortex dilakukan untuk menghomogenkan larutan agar larutan dapat bercampur rata
dengan kultur. Sedangkan Fardiaz (1992) menyatakan bahwa tris HCl digunakan
sebagai larutan buffer yang tahan terhadap panas dan perubahan pH dengan adanya
penambahan asam atau basa. Sebagian besar protein merupakan molekul yang mudah
rusak bila tidak berada pada kondisi fisiologisnya. Kemudian campuran terssebut

diencerkan hingga didapatkan pengenceran 10-3 dan ditambahkan dengan larutan


bradford. Menurut teori Day & Underwood (1992) mengatakan bahwa dampak dari
proses pengenceran adalah penjernihan larutan dan warna larutan akan nampak lebih
cerah karena konsentrasi larutan ikut menurun. Penambahan larutan Bradford dilakukan
agar protein mudah terdeteksi dengan bantuan spektrofotometer (Bradford, 1976).
Setelah itu, larutan divortex dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer
dengan panjang gelombang 595 nm, sesuai dengan teori Bradford (1976) bahwa
absorbansi larutan Bradford diukur menggunakan panjang gelombang 465 nm - 595 nm.
Nilai absorbansi yang diperoleh digunakan untuk menghitung konsentrasi protein yang
ada menggunakan kurva standar BSA yang telah disediakan. Hal ini sesuai dengan teori
pada jurnal Karakteristik Perubahan Protein Biji Melinjo (Gnetum Gnemon) Pada Awal
Perkecambahan (Adrian .S et al, 2013) bahwa pada akhir metode bradford dilakukan
dengan spektrofotometer panjang gelombang 595nm dan dengan kurve standar BSA.
Dari hasil pengamatan yang ada didapatkan % protein tertinggi didapatkan pada bahan
susu sapi, % protein terendah didapatkan pada bahan air cucian beras, dan % protein
sedang didapatkan pada bahan kecambah kacang kedelai. Hasil yang didapatkan
tersebut sesuai dengan teori yang ada. Mutu protein susu sepadan nilainya dengan
protein daging dan telur, dan terutama sangat kaya akan lisin, yaitu salah satu asam
amino esensial yang sangat dibutuhkan tubuh (Widodo, 2002). Maka dari itu, persen
protein pada susu sapi tinggi. Selain itu, pada pencucian beras biasanya menghasilkan
air cucian beras berwarna putih susu, yang mengandung

karbohidrat

serta protein

dan vitamin B yang banyak terdapat pada pericarpus dan aleuron yang ikut
terkikis (Rachmat, 2010). Namun dari data percobaan persen protein memang ada tapi
hanya sedikit, hal ini bisa saja terjadi karena pada penyosohan beras, kulit ari dan
lembaga terpisahkan yang berarti juga kehilangan protein, lemak, vitamin, dan mineral
yang lebih banyak terdapat pada bagian luar tersebut (Haryadi, 2006). Oleh karena itu,
sebenarnya air cucian beras memiliki kandungan protein yang tinggi tetapi dengan
adanya proses penyosohan beras, kulit luar beras akan terkelupas dan mengurangi
kandungan proteinnya. Sedangkan pada kecambah kacang kedelai, selama proses
perkecambahan terjadi reaksi yang meliputi hidrolisis, oksidasi dan sintesis, serta
mobilisasi protein pada biji yang berkecambah yang berkaitan dengan peningkatan

aktivitas enzim enzim protease yang dapat menghidrolisis protein dengan BM besar
menjadi protein dengan BM rendah, peptida sederhana dan asam amino bebas (Bewley
dan Black, 1986). Perkecambahan diketahui dapat mempercepat waktu pemasakan
karena mempengaruhi pengupasan kulit dan memperlunak tekstur (Vanderstoep, 1981),
serta dapat meningkatkan rendemen protein pada pembuatan isolat protein kedelai
(Kanetro dan Hastuti, 2006). Hal ini diperkuat dengan teori pada jurnal Karakteristik
Perubahan Protein Biji Melinjo (Gnetum Gnemon) Pada Awal Perkecambahan
(Adrian .S et al, 2013) bahwa awal perkecambahan (pre-germination) merupakan
tahapan awal dari proses perkecambahan biji yang paling banyak mengalami peristiwa
perubahan biokimia. Perubahan biokimia biji yang terjadi antara lain rehidrasi akibat
imbibisi biji, sintesa protein, peningkatan metabolisme yang berakibat pada
meningkatnya respirasi, hidrolisis cadangan makanan di dalam biji, perubahan struktur
sel dan induksi pertumbuhan dan perkembangan sel untuk membentuk radikel
Sedangkan pada konsentrasi isolat protein, pada susu sapi didapatkan hasil yang cukup
tinggi. Hal ini sesuai dengan teori Widodo (2002) bahwa protein susu sapi sepadan
dengan protein pada telur dan daging. Tetapi pada bahan air cucian beras dan kecambah
kacang kedelai didapatkan hasil konsentrasi isolat protein yang negatif. Hal ini tidak
sesuai dengan teori Rachmat (2010) bahwa pada pencucian beras biasanya
menghasilkan air cucian beras berwarna putih susu, yang mengandung

karbohidrat

serta protein dan vitamin B yang banyak terdapat pada pericarpus dan aleuron
yang ikut terkikis. Teori yang diungkapkan Kanetro dan Hastuti (2006) bahwa pada
proses perkecambahan tejadi peningkatan rendemen protein pada pembuatan isolat
protein kedelai. Konsentrasi isolat protein dengan hasil yang negatif ini bisa saja terjadi
karena penambahan tris HCl yang tidak sesuai dengan perbandingan 1:4, atau mungkin
juga karena reagen Bradford yang digunakan telah mengalami oksidasi sehingga
mempengaruhi nilai absorbansi. Winarno (1995) juga menambahkan bahwa reagen
Bradford sangat peka terhadap cahaya dan uap air sehingga larutan harus ditutup
menggunakan aluminium foil atau menggunakan tabung gelap. Beberapa faktor yang
mempengaruhi isolasi dan fraksinasi protein, antara lain sifat-sifat fisik dan kimiawi
protein, serta kelistrikan suatu protein (Bollag & Edelstein, 1991).

Isolasi dan fraksinasi protein kini terus diupayakan. Pengembangan produk pangan
banyak memanfaatkan isolat atau konsentrat protein tertentu, misalnya fraksi protein
susu, yaitu kasein yang digunakan untuk keju, whitener kopi, bakery, dan desert
topping, serta protein whey (semula dikenal sebagai hasil samping pabrik keju) yang
digunakan untuk bakery, sup, confectionary, makanan bayi, makanan diet, dan
minuman. Whey juga digunakan untuk pembuatan mikro kapsul (Jurnal Vega & Roos,
2006). Hoogenkamp (2002) juga menambahkan bahwa bahan isolat protein dapat
digunakan dalam ingridien peningkat tekstur daging olahan.

Anda mungkin juga menyukai