BAB II
PENYAKIT KUSTA
A. DEFINISI :
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan
disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang
syaraf tepi, kulit dan jaringan tumbuh lainnya.
B. PENYEBAB :
Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta, yang berbentuk
batang dengan ukuran panjang 18 mic, lebar 0,20,5 mic biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA).
C. MASA TUNAS PENYAKIT KUSTA :
Masa belah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang sangat
lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Hal ini
merupakan salah satu penyebab masa tunas lama yaitu rata-rata 25
tahun.
D. CARA PENULARAN :
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler
(MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan
yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpandapat
bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan
kulit.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1. Faktor Sumber Penularan :
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB
inipun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
2. Faktor Kuman Kusta :
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari
tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta
yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
3. Faktor Daya Tahan Tubuh :
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari
hasil penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut :
Dari 100 orang yang terpapar :
95 orang tidak menjadi sakit.
3 orang sembuh sendiri tanpa obat.
2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh
pengobatan.
E. DIAGNOSA :
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda
pokok atau cardinal signs pada badan yaitu :
1. Kelainan kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan
hilang/mati rasa yang jelas.
2. Kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan
kelemahan otot tangan, kaki, atau muka.
3. Adanya kuman tahan asam di dalam korekan jaringan
kulit (BTA positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat
satu dari tanda-tanda pokok diatas.
Bila ragu-ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus dicurigai
(suspek) dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai diagnose dapat
ditegakkan kusta atau penyakit lain.
Untuk melakukan diagnose secara lengkap dilaksanakan hal-hal
sbb :
1. Anamnese.
2. Pemeriksaan klinis yaitu :
- Pemeriksaan kulit.
- Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
3. Pemeriksaan bakteriologis.
4. Pemeriksaan hispatologis.
5. Immunologis.
Namun untuk diagnose kusta di lapangan cukup dengan anamnese
dan pemeriksaan klinis. Tekhnik pemeriksaan dilapangan lihat Bab
III dan IX. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaliknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis.
F. KLASIFIKASI :
1. Tujuan :
- Untuk menentukan regimen pengobatan.
- Untuk perencanaan opersional.
2. Klasifikasi Pengobatan MDT.
Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT)
yaitu menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka
penyakit kusta di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu :
a. Tipe PB (Pausi basiler).
b. Tipe MB (Multi basiler).
Sebelumnya telah dikenal beberapa klasifikasi seperti :
a. Klasifikasi Madrid.
b. Klasifikasi Ridley Joping.
c. Klasifikasi India,namun klasifikasi ini tidak dipergunakan dalam P2
Kusta di lapangan.
4. Nodulus
5. Penebalan
syaraf
Tidak ada
Lebih sering terjadi
dini,asimetris
6. Deformitas
(cacat)
7. Apusan
Biasanya asimetris
terjadi dini
BTA Negatif
*Central Healing*
Penyembuhan diTengah.
MB
Banyak
Kecil-kecil
Billateral, simetris.
Halus, berkilat.
Kurang tegas.
Biasanya tidak jelas,
jika ada, terjadi pada yang
sudah lanjut.
Bercak masih ber keringat
bulu tidak rontok
Ada, kadang-kadang
tidak ada
ada, kadang-kadang
tidak ada
BAB III
PEMERIKSAAN KLINIS
Pemeriksaan klinis yang teliti dan lengkap selain dari Anamnese,
adalah sangat penting dalam menegakkan diagnosa kusta.
A. Pemeriksaan kulit
1. Persiapan
a. Tempat.
Tempat pemeriksaan harus cukup terang, sebaiknya diluar rumah tidak
boleh langsung dibawah sinar matahari.
b. Waktu pemeriksaan.
Pemeriksaan diadakan pada siang hari (menggunakan penerangan sinar
matahari).
c. Yang diperiksa :
Diberikan penjelasan kepada yang akan diperiksa dan keluarganya
tentang cara pemeriksaan. Anak-anak cukup memakai celana pendek,
sedangkan orang dewasa (laki-laki dan wanita) memakai kain sarung
tanpa baju.
2. Pelaksanaan pemeriksaan :
Pelaksanaan pemeriksaan
terdiri dari :
a. Pemeriksaan pandang,
b. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit, dan
c. Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
a. Pemeriksaan
Pandang.
Tahap
pemeriksaan.
1). Pemeriksaan dimulai dengan orang yang diperiksa behadapan dengan
petugas dan dimulai kepala (muka, cuping telinga kiri, pipi-kiri, cuping
telinga kakan, pipi kanan, hidung, mulut, dagu, leher bagian depan).
Penderita diminta untuk memejamkan mata, mengetahui fungsi syaraf
dibuka. Semua kelainan kulit diperhatikan.
2). Pundak kanan, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan
(penderita diminta meluruskan tangan kedepan dengan telapak tangan
menghadap kebawah, kemudian tangan diputar dengan telapak tangan
menghadap keatas), telapak tangan, lengan bagian dalam, ketiak,
dada dan perut ke pundak kiri, lengan kiri dan seterusnya (putarlah
penderita pelan-pelan dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya untuk
melihat sampingnya pada waktu memeriksa dada dan perut).
3).Tungkai kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam dari
bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang dalam dari bawah ke
atas, tungkai kiri dengan cara yang sama.
4).Yang diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas dan
pemeriksaan dimulai lagi dari :
5). Bagian belakang telinga, bagian belakang leher,punggung, pantat
tungkai bagian belakang dan telapak kaki. Perhatikan setiap bercak
setiap penebalan kulit. Bilamana meragukan, putarlah penderita pelanpelan dan periksa pada jarak kira-kira meter.
b. Pemeriksaan Rasa Raba pada Kelainan
Kulit. Pemeriksaan terhadap anestesi.
Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba.
Periksalah dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak lurus
pada kelainan kulit yang dicurigai. Yang diperiksa sebaiknya duduk
pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan
bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya dengan kapas, ia
harus menunjukkan kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya atau
dengan menghitung sentuhan untuk bagian yang sulit dijangkau, ini
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia
diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan
sepotong kain/karton. Kelainan-kelainan di kulit diperiksa secara
bergantian dengan kulit yang normal disekitarnya untuk mengetahui
ada tidaknya anaesthesi.
Anestesi pada telapak tangan dan kaki kurang tepat diperiksa dengan
kapas, gunakan bolpoin seperti dijelaskan pada Bab IX.
c. Pemerksaan rasa raba syaraf tepi.
Pemeriksaan syaraf : ( Lihat
lampiran 1)
Raba dengan teliti urut syaraf tepi berikut n.auricularis magnus, n.ularis,
n.radialis, n.medianus,n.peroneus, dan n.tibialis posterior. Petugas
harus mencatat apakah syaraf tersebut nyeri tekan atau tidak dan
menebal atau tidak. Ia harus memperhatikan raut muka penderita
apakah ia kesakitan atau tidak pada waktu syaraf diraba. Pemeriksaan
Fungsi Syaraf dijelaskan pada Bab IX.
BAB V
PROGRAM PEMBRANTASAN PENYAKIT KUSTA
A. TUJUAN :
1. Tujuan Jangka
Panjang :
Eradikasi
Kusta di
Indonesia
2. Tujuan Jangka Menengah :
Menurunkan angka kesakitan kusta menjadi 1 per10,000
penduduk pada tahun 2000.
3. Tujuan Jangka Pendek :
a. Penemuan Penderita (Case Finding)
Penemuan penderita sedini mungkin sehingga propinsi cacat
tingkat dua diantara penderita baru dapat ditekan serendah
mungkin.
b. Implementasi MDT.
Meningkatkan pengobatan MDT sebagai obat standar di
daerah pengembangan sehingga mancakup 100% penderita
terdaftar dan penderita baru.
c. Pembinaan pengobatan (Case Holding).
Agar semua penderita PB yang di MDT akan selesai
pengobatannya dalam batas waktu 9 bulan, dan semua
penderita MB yang di MDT akan selesai pengobatannya dalam
batas waktu 18 bulan.
d. Mencegah cacat pada penderita yang telah
terdaftaf sehingga tidak akan terjadi cacat
baru.
e. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.
Melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat tentang
penyakit kusta, agar masyarakat memahami kusta yang
sebenarnya dan mengurangi leprophobia.
f. Pengawasan sesudah RFT.
Memberikan motifasi kepada semua penderita agar datang
memeriksakan dirinya setiap 3 bulan setelah selesai masa
pengobatan selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5 tahun untuk
tipe MB.
g. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan dalam memenuhi kebutuhan
program.
B. KEBIJAKSANAAN
1. Penderita kusta tidak boleh diisolasi.
2. Obat kusta diberikan secara cuma-cuma.
3. Regimen MDT mengikuti rekomendasi WHO.
4. Program P2 Kusta diintegrasikan kedalam sistem
pelayanan kesehatan dan rujukan.
C. STRATEGI
1. MDT dilaksanakan secara intensif dan extensif.
2. Meningkatkan peran serta organisasi swasta.
Penemuan penderita.
Pengobatan penderita.
Pembinaan pengebotan.
Pemeriksaan laboratorium.
Pencegahan cacat dilapangan.
Pencatatan dan pelaporan.
Penyuluhan kesehatan dan penggerakkan peran serta.
Managemen logistik.
BAB VI
PENEMUAN PENDERITA
A. PENEMUAN PENDERITA SECARA PASIF (SUKARELA)
Penemuan penderita yang dilakukan terhadap orang yang belum pernah
berobat kusta yang datang sendiri atau atas saran orang lain ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya.
Penderita ini biasanya sudah dalam stadium lanjut.
Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat ke
Puskesmas/sarana kesehatan lainnya :
1. Tidak mengerti tanda dini kusta.
2. Malu datang ke Puskesmas.
3. Adanya Puskesmas yang belum siap.
4. Tidak tahu bahwa ada obat tersedian cuma-cuma di Puskesmas.
5. Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh.
B. PENEMUAN SECARA AKTIF
Penemuan penderita secara aktif dapat dilaksanakan dalam beberapa
kegiatan :
1. Pemeriksaan kontak serumah (survai kontak).
a. Tujuan :
1). Mencari penderita baru yang mungkin sudah lama ada dan belum
berobat (index case).
2). Mencari penderita baru yang mungkin ada.
b. Sasaran :
Pemeriksaan ditujukan pada semua anggota keluarga yang tinggal
serumah dengan penderita.
c. Frekwensi pemeriksaan :
Pemeriksaan dilaksanakan minimal 1 tahun sekali dimulai pada saat
anggota keluarga dinyatakan sakit Kusta pertama kali dan perhatian
khusus ditujukan pada kontak tipe MB.
d. Pelaksanaan :
1). Membawa kartu kuning (kartu penderita), dari penderita yang sudah
dicatat dan membawa kartu penderita kosong,alat-alat untuk
pemeriksaan serta obat MDT.
2). Mendatangi rumah penderita dan memeriksa semua anggota
keluarga penderita yang tercatat dalam kolom yang tersedia pada
kartu kuning.
3). Bila ditemukan penderita baru dari pemeriksaan itu maka dibutlah
kartu baru dan dicatat sebagai penderita baru, kemudian diberikan
obat MDT dosis pertama.
Desa untuk diperiksa dan dinilai sesuai dengan waktu tersebut diatas.
4. Survai Khusus.
a. Survai Fokus :
Dilakukan pada suatu lingkup kecil misalnya suatu RT, dimana
proporsi penderita baru MB minimal 60% dan dijumpai penderita
usia muda cukup tinggi.
Caranya :
Terlebih dahulu didaftarkan nama penduduk RT menurut keluarga
mulai dari kepala keluarga dan kemudian diperiksa rumah demi
rumah yang alpa dicari untuk diperiksa. Survai Fokus ini dilakukan
satu kali saja kalau perlu diulang di tahun-tahun kemudian.
b. Random Sample Survay (Survay Prevalensi).
Survai ini dilakukan sesuai perancanaan danpetunjuk dari Pusat
sesudah diadakan set-up secara statistik oleh ahli statistik WHO
atau yang ditunjuk Depkes.
Survei ini dilaksanakan dengan timyang tetap dan dipimpin oleh
seorang yang telah berpengalaman di bidang kusta.
SKEMA PENEMUAN PENDERITA
JENIS KEGIATAN
FREKWENSI
TARGET
Pemeriksaan Kotak
1 x setahun
Pemeriksaan anak
Diperiksa
1 kali/2 tahun
Chase survey
1 x setahun
Untuk pelaksanaan
JENIS KEGIATAN
Pemeriksaan
FREKWENSI
1 x setahun
Pemeriksaan anak
Diperiksa 1 kali/2tahun
Chase Survey
1 x setahun
Survei Khusus
Yabgdatangsecara
sukarela ke Puskesmas
Menurut kebutuhan
Sesuai dengan kerja
Puskesmas
TARGET
Kontak serumah
dari
semua
penderita
yg
terdaftar,setiap
1
penderita diperhitungkan
ada
5
kontak.
Kemampuan
seorang
petugas:
Untuk Jawa & Bali 25
kontak/hari,luar Jawa 15
kotak/hari.
Semua sekolah(terutama
SD/TK dari desa
yg
penderitanya.
Kemampuannya seorang
petugas : Untuk Jawa &
Bali 300 anak/hari,luar
Jawa
&
Bali
150
anak/hari
Unit pelaksanaan adalah
desa atau bila mungkin
kampung
Menurut kebutuhan
Semua kasus yg belum
terdaftar
BAB VII
PENGOBATAN PENDERITA
A. TUJUAN PENGOBATAN
1. Menyembuhkan penderita kusta dan mencegah timbulnya cacat. Pada
penderita tipe Pb yg berobat dini dan teratur akan cepat sembuh tanpa
menimbulkan cacat.Akan tetapi bagi penderita yg sudah dalam keadaan
cacat permanen pengobatan hanya dapat mencegah cacat yg lebih lanjut.
Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur,maka kuman kusta
dapat menjadi aktif kembali,sehingga timbul gejala-gejalla baru pada kulit
dan syaraf yg dapat memburuk keadaan. Disinilah pentingnya pengobatan
sedini mungkin dan teratur.
2. Memutuskan mata rantai penularan dari penderita kusta terutama tipeyg
menular kepada orang lain. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk
mematikankuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan
tubuh,dantanda-tanda penyakit menjadi kurang aktif danakhirnya hilang.
Dengan hancurnya kuman mama sumber penularan dari penderita
terutama tipe MB ke orang lain terputus. Selama dalampengobatan
penderita-penderita dapat terus bersekolah atau bekerja seperti biasa.
B. OBAT-OBAT YANG DIPERGUNAKAN
1.DDS (Dapsone).
a. Singklatan dari Diamino Diphenyl Sulfone.
b. Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab
dan 100 mg/tablet.
c. Sifat bakteriostatik yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan
kuman kusta.
d. Dosis.
1). Dewasa 100 mg/hari.
2). Anak-anak 1-2 mg/kg berat badan/hari.
e. Efek samping jarang terjadi, berupa :
1). Anemia Hemolitik dan selanjutnya lihat di literatur.
2). Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat
alergi terhadap obat ini. Bila hal ini terjadai harus diperiksa
dokter untuk dipertimbangkan apakah obat harus disetop.
3). Manifestasi saluran pencernaan makanan : Anoreksi, nausea,
muntah, hefatitis.
4). Manifestasi utrat syaraf; Neuropati perufer, sakit kepala vertigo,
penglihatan kabur, sulit tidur, psychosis.
2. Lamperene (B663) juga disebut Clofazimine.
a. Bentuk
Kapsul warna coklat.Ada takaran 50 mg/kapsul dan100 mg/kaps.
b. Sifat :
1). Bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta.
2). Anti reaksi (menekan reaksi).
c. Dosis :
Untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi,lihat pada
Regimen pengobatan MDT.
Pengobatan reaksi akan diuraikan di Bab. VIII.
d. Efek sampingan :
1). Warna kulit terutama pada infiltrat berwarna ungu sampai
kehitam-hitaman yang dapat hilang pada pemberian obat
Lampprene disetop.
2). Gangguan pencernaan berupa diare, nyeri pada lambung.
3. Rifampicin.
a. Bentuk : Kapsul atau tablet takaran 150 mg, 300 mg, 450
mg dan 600 mg.
b. Sifat : Mematikan kuman kusta (Bakteriosid).
c. Dosis :
Untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi,lihat pada
Regimen pengobatan MDT. Untuk anak-anak dosisnya adalah 1015 mg/kg berat badan.
d. Efek samping :
Efek samping yang ditimbulkan oleh Rifampicin yaitu dapat
menimbulkan kerusakan pada hati dan ginjal. Dengan pemberian
Rifampicin 600 mg/bulan tidak berbahanya bagi hati dan ginjal
(kecuali ada tanda-tanda penyakit sebelumnya). Sebelum
pemberian obat ini perlu dilakukan tes fungsi hati apabila ada
gejala-gejala yang mencurigakan.
Catatan :
Perlu diberitaukan kepada penderita bahwa air seni akan berwarna
merah bila minum obat. Efek samping lain adalah tanda-tanda seperti
inflensa (flu Syndrom) yaitu badan panas,beringus,lemah dan lain-lain,
yang akan hilang bilamana diberikan obat simptomatis. Pengobatan
Rifampicin supaya dihentikan sementara bila timbul gejala gangguan
fungsi hati dan dapat dilanjutkan kembali bila fungsi hati sudah normal.
4. Prednison.
Obat ini digunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi. Mengenai
cara pemberiannya,lihat Bab VIII. Reaksi.
5. Sulfat Ferrosus.
Obat tambahan untuk pederita kusta yang Anemia Berat.
6. Vitamin A.
Obat ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis).
Rifampicin
600 mg
300 mg
Ofloxacin
400 mg
200 mg
Minocyclin
100 mg
50 mg
D. EVALUASI PENGOBATAN
1. Penderita PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6
dosis dalam waktu 69 bulan dinyatakan RFT, tanpa
diharuskan pemeriksaan laboratorium.
2. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12
dosis dalam waktu 1218 bulan dinyatakan RFT, tanpa
diharuskan pemeriksaan laboratorium.
3. Ketentuan-ketentuan :
a. Penyedian obat MDT di Puskesmas diperhitungkan
dalam hitungan paket dengan pengertian 1 paket hanya
untuk 1 penderita :
1). 1 paket untuk PB harus tersedia 6 dosis.
2). Pakjet untuk MB harus tersedia 12 dosis
Bila ditempatkan penderita baru dimana belum
tersedia paket MDT untuk yang bersangkutan harus
segera dimintakan paket baru.
3). Unit daerah operasional terkecil adalah Puskesmas.
4). Unit daerah operasional terkecil untuk satu sumber
dana dari NGO (LSM) adalah Kabupaten.
b. Ketentuan Teknis :
1). Diaknosa diletakan berdasarkan klinis.
Pada penderita dengan diaknosa meragukan
diperlukan pemeriksaan laboratorium.
2). Klasifikasi hanya ada 2 macam yaitu PB dan MB.
3). Pemberian pengobatan MDT menggunakan regimen
sama dengan WHO.
4). RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa
diperlukan pemeriksaan lab. Dikeluarkan dari
register penderita dan dimasukkan dalam register
Pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh
petugas kusta.
5). Masa Pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif :
a). Tipe PB selama 2 tahun.
Adanya
(baru)
Nodule
Reaksi ENL/Rrveresal
syaraf
yang
membesar
BAB IX
PENCEGAHAN CACAT
M. lepare menyerang syaraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari
kerusakan urat syaraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi
syaraf tepi : Sensorik, motorik, dan otonom.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi
syaraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya
peradangan (neuritis) sewaktu keadaan Reaksi Lepra.
A. Kerusakan Fungsi Sensorik.
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/mati rasa (anestesi). Akibat kurang/mati rasa pada
telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka. Sedangkan pada
kornea mata akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip
sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing
yang dapat menimbulkan infeksi mata dan akhirnya kebutaan.
B. Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan
lama-lama ototnya mengecil (atropi) oleh karena tidak
dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok (claw
hand/claw toes) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada
sendinya (kontraktur). Bila terjadi kelemahan/kelumpuhan pada
otot kelopak mata maka kelopak mata tidak dapat dirapatkan
(lagophtalmos).
C. Kerusakan Fungsi Otonom.
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,
menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah. Pada
umumnya apabila akibat kerusakan fungsi syaraf tidak ditangani
secara cepat dan tepat maka akan terjadi cacat ketingkat yang
lebih berat.
Anestesi
Tangan/ka
ki :
kurang
rasa
Kurang
Kelema
Kornea
mata
,anestesi
Reflek
kedip
berkurang
Infeksi
Tangan/kaki :
lemah/lumpuh
Jaro-jari
Bengkok/
kuku
Ganguan
Kel.Keringat
Kel.Minyak,
Aliran darah
Mata,lagoph
thalmos
Inpeksi
Kulit :
Kering/ pecah
Luka
Luka
Mutilasi
Buta
Mutilasi
Absrobsi
Buta
Infeksi
Gambar 1
1.) Pemeriksa memegang punggung tangan kanan dan kiri
penderita, dan dengan kedua ibu jarinya, pemeriksa
mendorong kedua jari ke-V penderita pada perbatasan
antara telapak tangan dan jari ke-V agar memisahkan jari
ke-V dari ibu jari (lihat gambar 2).
-
Bila jari ke-V tidak dapat lurus dan tidak dapat bertemu dengan ibu
jari, pada umumnya berarti jari ke-V sudah lumpuh, maka
lingkarilah tanda L.
- Bila jari ke-V bisa lurus dan bertemu dengan ibu jari tetapi
tidak dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa,berarti
kekuatan otot sudah lemah dan nilai Sedang, maka
lingkarilah tanda S.
- Bila jari ke-V bisa lurus, bertemu dengan ibu jari dan
dapat menahan dorongan pemeriksa, berarti otot masih
kuat, maka lingkarilah tanda K.
Gambar 2
2). Kemudian kedua ibu jari pemeriksa pindah ke ibu jari
penderita, dan mendorong pada bagian telapak tangan
yang dibawah kedua ibu jari (dorongan tidak boleh pada ibu
jari, lihat gambar 3).
Bila ibu jari tidak bisa maju,berarti sudah lumpuh, maka lingkarilah
tanda L.
Gambar 3
- Bila ibu jari bisa maju tetapi tidak dapat manahan
dorongan ibu jari pemeriksa, berarti kekuatan otot sudah
lemah dan dinilai Sedang, maka lingkarilah tanda S.
Bila ibu jari bisa maju dan dapat menahan dorongan iu jari
pemeriksa, berarti otot masih kuat, maka lingkarilah tanda K.
Selalu perlu dibandingkan kekuatan otot tangan kanan
dan tangan kiri untuk menentukan bahwa ada
kelemahan.
C. Rasa raba.
Tangan penderita dipegang pada punggungnya agar sendi-sendi tidak
bergerak selama test dilakukan. Kemudian tusukan ringan dilakukan
dengan bolpoin pada tangan penderita sesuai dengan titik-titik pada
gambar. Tusukan dilaksanakan sampai kulit kelihatan cekung sekitar 1
cm (lihat gambar 4).
2). Bila ujung kaki penderita dapat bergerak ke atas tetapi tidak dapat
menahan tekanan tangan pemeriksa,berarti otot sudah lemah, dan
dinilai sedang maka lingkarilah S.
3). Bila ujung kaki penderita dapat bergerak ke atas dan dapat
menahan tekanan tangan pemeriksa,berarti otot masih kuat,maka
lingkarilah tanda K.
c. Rasa raba.
Kaki penderita ditumpangkan pada lutut kakinya yang sebelah agar
lebih mudah diperiksa (lihat gambar 6).
Vara pemeriksaan dan pecatatan sama dengan tangan.
Gambar 6
Adanya mati/kurang rasa bila ada paling sedikit 2 titik yang berdekatan
yang mati/kurang rasa.
d. Cacat lainnya.
1). Bila ada jari kaki yang bengkok,perlu dicatat :
- dengan tanda C bila sendi tidak kaku.
- Dengan tanda S bila sendi sudah kaku.
2). Bila ada luka, luka itu perlu digambar pada gambar kaki sesuai
dengan ukuran dan bentuknya.
3). Bila ada jari yang sudah memendek,perlu dicatat seperti pada
contoh. Bila ada kulit pecah perlu digambar seperti pada contoh.
Langkah II : KESIMPULAN DAN TINDAKAN.
Mengambil KESIMPULAN dan TINDAKAN berdasarkan hasil pemeriksaan.
1. Menetukan apakah penderita sedang dalam keadaan REAKSI BERAT
yang perlu diobati dengan PREDNISONE.
Menentukan dan mengobati reaksi berat sendi dan setepat mungkin
merupakan salah satu aspek pencegahan cacat yang terpenting. Bila
penderita dengan reaksi berat tidak ditangani cepat dan tepat,
kemungkinan besar akan timbul cacat yang menetap.
Jadi, bila :
a. ada bercak atau nodul yang ulserasi,atau
b. ada nyeri tekan pada salahsatu syaraf,atau
c. ada kekuatan otot atau rasa raba yang berkurang dalam 6 bulan
terakhir,atau
d. ada lagophthalmos yang baru terjadi dalam 6 bulan terakhir,
berarti penderita sedang REAKSI BERAT dan perlu segera
diberikan PREDNISONE sesuai dengan pedoman pada hal. 3639.
TINGKAT KECACATAN
MATA
Tidak ada kelainan pada mata
akibat kusta.
TELAPAK TANGAN/KAKI
Tidak ada anestesi,tidak
ada
cacat yang
kelihatan akibat
kusta.
Ada anastesi tetapi tidak ada
cacat/kerusakan yang kelihatan.
Ada
cacat/kerusakan
yang
kelihatan misalnya ; ulkus,jarijari,kaki semper
KELAINAN MATA
CACAT KELIHATAN
KERUSAKAN