Anda di halaman 1dari 89

HEPATITIS VIRUS PADA ANAK

TUGAS AKHIR
ILMU KESEHATAN ANAK

Oleh:
1. Setya Budi P
2. Rela Esa Indra
3. Farisa Indah Puspitasari
4. Angela Yanetha BWA
5. Fitria
6. Dahlia Ningrum
7. Pretty Clarresa
8. Mimbar Allan Syah
9. Julius Hadi Putra
10. Citra Dewi W
11. Ignatius Christian Harefa
12. Taufiqur Rahman
13. Astuti Setia
14. Niko Citami
15. Eisa Mayestika S
16. Wilda Purnama Yudhistira

11700016
11700020
11700034
11700052
11700058
11700060
11700076
11700092
11700122
11700148
11700158
11700220
11700236
11700240
11700246
11700264

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
SURABAYA
2014

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas anugerah yang
diberikan-Nya, kelompok kami bisa menyelesaikan Tugas Akhir Mata Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak yang membahas tentang Hepatitis Virus pada Anak.
Tugas Akhir Mata Kuliah Ilmu Kesehatan Anak ini berhasil kelompok kami
selesaikan karena dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini
kelompok kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Prof. dr. Soedarto, DTM & H, Ph. D, Sp. Park sebagai Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang telah memberi
kesempatan kepada penulis menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya.
2. Erny, dr, Sp.A (K), sebagai kepala bagian beserta seluruh dosen Ilmu
Kesehatan Anak yang telah memberikan bimbingan, serta arahan dalam
menyelesaikan Tugas Akhir Mata Kuliah Ilmu Kesehatan Anak ini.
3. Semua pihak yang tidak mungkin disebut satu persatu yang telah membantu
dalam menyelesaikan Tugas Akhir Mata Kuliah Ilmu Kesehatan Anak ini.
Kelompok kami menyadari bahwa penulisan Tugas Akhir Mata Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kelompok kami
mengharapkan segala masukan demi sempurnanya tulisan ini.
Akhirnya kelompok kami berharap semoga Tugas Akhir Mata Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak ini bermanfaat bagi berbagai pihak yang terkait.

Surabaya, 13 Desember 2014

Penyusun

ii

DAFTAR ISI

Halaman
Judul .......................................................................................................................... i
Kata Pengantar .......................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................... iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 5
C. Tujuan Penulisan .......................................................................... 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Hepatitis Virus pada Anak ........................................................... 8
1. Definisi ..................................................................................... 8
2. Etiologi ..................................................................................... 8
B. Jenis Hepatitis Virus pada Anak .................................................. 10
1. Infeksi Virus Hepatitis A (HAV) pada Anak ........................... 10
2. Infeksi Virus Hepatitis B (HBV) pada Anak............................ 17
3. Infeksi Virus Hepatitis C (HCV) pada Anak............................ 29
4. Infeksi Virus Hepatitis D (HDV) pada Anak ........................... 46
5. Infeksi Virus Hepatitis E (HEV) pada Anak ............................ 52
6. Infeksi Virus Hepatitis G (HGV) pada Anak ........................... 58

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 72
B. Saran............................................................................................. 80

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 81

iii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hepatitis merupakan proses inflamasi pada liver. Liver adalah organ
vital yang memproses nutrisi, menyaring darah, dan melawan infeksi. Jika
liver mengalami inflamasi dan rusak, maka fungsinya juga terpengaruh (CDC,
2010).
Ada lima virus yang diketahui mempengaruhi liver dan menyebabkan
hepatitis, antara lain HAV, HBV, HCV, HDV (hanya menyebabkan masalah
pada orang yang terinfeksi HBV), dan HEV. Virus hepatitis G (HGV) pada
awal diperkirakan dapat menyebabkan kerusakan pada hati, tetapi ternyata
diketahui sebagai virus yang tidak menyebabkan masalah kesehatan, dan virus
ini sekarang diberi nama baru sebagai virus GBV-C (Green, 2005).
Berdasarkan data dari WHO tahun 2008, hepatitis A disebut sebagai
hepatitis yang paling ringan dan paling banyak terjadi di dunia. Setiap
tahunnya setidaknya 1,4 juta kasus terjadi di seluruh dunia. Penyebarannya
tergolong mudah karena berkaitan dengan tidak adekuatnya sistem sanitasi
dan kebersihan diri. Hal ini menyebabkan kejadian HAV dapat muncul
bersamaan dalam sebuah wilayah dan menjadi epidemi. Kejadian epidemi

HAV yang pernah tercacat terjadi di Shanghai, Cina tahun 1988 dengan
korban mencapai 300.000 orang (Kurniasih, 2012).
Sedangkan berdasarkan penelitian WHO tahun 2007 sekitar satu juta
orang di dunia pertahun pernah mengidap penyakit hepatitis A dengan
prevalensi tertinggi pada negara berkembang. Penyakit ini jarang ditemui di
negara maju namun cukup sering di temui di negara berkembang seperti di
Afrika, India, Asia, dan Amerika selatan (Sinaga, 2014).
Hepatitis B merupakan masalah kesehatan global, diperkirakan sekitar
dua miliar penduduk dunia pernah terpapar virus hepatitis B. Virus hepatitis B
telah menginfeksi lebih dari 350 juta orang di dunia atau kurang lebih 5%
populasi dunia. Infeksi HBV endemik di daerah Pasifik Barat dan Asia
Tenggara, diperkirakan 75%-80% dari infeksi HBV di dunia. Penularannya
pada umumnya terjadi secara vertical pada periode perinatal dan horizontal
pada masa anak-anak (Aswati, 2011).
Risiko kronisitas HVB akan jauh lebih besar bila infeksi terjadi pada
awal kehidupan dibandingkan dengan infeksi pada usia dewasa. Infeksi HVB
pada masa bayi mempunyai risiko kronisitas 90% dan 25%-30% diantaranya
akan berkembang menjadi sirosis hepatis atau karsinoma hepatoseluler. Di
Asia Tenggara dengan tingkat endemisitas yang tinggi, umumnya infeksi
HVB didapatkan pada saat lahir atau pada masa dini kehidupan, sehingga
risiko kronisitas pada anak di kawasan ini sangat tinggi. Pada keadaan ini

umumnya infeksi HVB tidak memberikan gejala (asimtomatik), sehingga sulit


diketahui, dan hal ini akan menyebabkan tingginya penyakit hati kronis dan
keganasan hati pada orang dewasa (Aswati, 2011).
Hepatitis C adalah penyakit hati menular yang dihasilkan dari infeksi
virus HCV. Ketika pertama kali terinfeksi, seseorang dapat berkembang dari
infeksi akut yang dapat berkisar menjadi keparahan berawal dari kondisi yang
sangat ringan dengan atau tanpa gejala, menjadi kondisi serius yang
memerlukan perawatan di rumah sakit (CDC, 2010).
Virus hepatitis C (HCV) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang utama dan merupakan penyebab utama penyakit hati kronis.
Diperkirakan 180 juta orang terinfeksi di seluruh dunia. Di Amerika Serikat,
prevalensi infeksi HCV antara tahun 1999 dan 2002 adalah 1,6%, setara
dengan sekitar 4,1 juta orang yang positif untuk antibodi untuk hepatitis C
(anti-HCV), 80% di antaranya diperkirakan menjadi viremic. Hepatitis C
merupakan penyebab utama kematian akibat penyakit hati dan indikasi
terkemuka untuk transplantasi hati di AS. Beberapa perhitungan menunjukkan
bahwa angka kematian terkait dengan infeksi HCV (kematian akibat gagal
hati atau karsinoma hepatoseluler) akan terus meningkat selama dua decade
berikutnya (Ghany et al, 2009).
Virus hepatitis D dapat mengenai semua umursemua kelompok umur.
Pola distribusi virus ini yang diselidiki pada penelitian seroprevalence anti-

HD pada pasien HBsAg-positif adalah tapi tidak seragam antar belahan dunia.
Terlepas dari kenyataan bahwa HDV membutuhkan HBV untuk siklus
hidupnya, pola distribusi masing-masing virus ini berbeda. Sebagai contoh, di
Kepulauan Psifik90% dari carier HBV terinfeksi kedua virus HBV dan HDV
secara bersamaan, sedangkan di Italia menurun menjadi 8% dan di Jepang
5%. Estimasi saat ini menunjukkan bahwa 15-20 juta orang terinfeksi HDV.
Namun, orang harus mempertimbangkan bahwa perkiraan ini tidak akurat dan
sulit untuk melakukan skrining sistematis karena tidak terbentuk pada
individu yang terinfeksi HBV, terutama jika mereka memiliki enzim hati yang
normal. Selain itu, anti HDV mungkin kurang pada pasien imunodefisiensi
dan seroreversi setelah sembuh dari suatu penyakit (Pascarella dan Negro,
2010).
Hepatitis E disebabkan oleh virus hepatitis E (HEV), agen etiologi
utama dari penyakit menular enteral hepatitis non-A di seluruh dunia. HEV
bertanggung jawab atas wabah utama hepatitis akut di negara berkembang,
terutama di banyak bagian Afrika dan Asia. HEV merupakan masalah
kesehatan yang signifikan publik internasional dan diperkirakan 2,3 miliar
orang terinfeksi secara global. HEV merupakan penyebab utama hepatitis
virus akut di dunia, terutama di negara-negara berkembang. Pertama wabah
retrospektif dikonfirmasi hepatitis E terjadi di 1955-1956 di New Delhi, India,
dan mengakibatkan lebih dari 29.000 orang jaundice. Sejak saat itu, banyak

wabah besar telah terjadi di Asia, Afrika dan Meksiko. Selain itu, wabah
sporadic HEV umumnya terjadi di negara-negara berkembang di Asia dan
Afrika serta negara-negara industri (Teshale dan Hu, 2011).
Pertengahan dekade 1990an telah ditemukan virus baru yaitu virus
hepatitis G (VHG). Virus tersebut diisolasi dari darah seorang dokter ahli
bedah di Chicago yang mengalami hepatitis non A non B non C. Pada donor
darah sehat viremia ditemukan antara 0,5 4,7%. Penelitian pada hepatitis
virus akut di USA menunjukkan bahwa 0,3% dari penderita hepatitis virus
non A E mungkin disebabkan karena VHG (Djumhana, 2011).
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas telah di jelaskan
bahwa ada banyak tipe dari hepatitis virus dengan penyebarannya yang
berbeda-beda. Selain itu, hepatitis virus juga tidak hanya menyerang orang
dewasa, targetnya pun banyak pada anak-anak usia balita maupun sekolah.
Maka dalam kesempatan ini penulis ingin menjabarkan tentang penyakit
hepatitis virus pada anak.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana epidemiologi penyebaran penyakit HAV, HBV, HCV, HDV,
HEV, dan HGV pada anak?
2. Bagaimana struktur penyakit HAV, HBV, HCV, HDV, HEV, dan HGV
pada anak?

3. Bagaimana patogenesis penyakit HAV, HBV, HCV, HDV, HEV, dan


HGV pada anak?
4. Bagaimana manifestasi klinis penyakit HAV, HBV, HCV, HDV, HEV,
dan HGV pada anak?
5. Bagaimana hasil laboratorium dan pencitraan dari penyakit HAV, HBV,
HCV, HDV, HEV, dan HGVpada anak?
6. Bagaimana tata laksana penyakit HAV, HBV, HCV, HDV, HEV, dan
HGV pada anak?
7. Apa saja komplikasi HAV, HBV, HCV, HDV, HEV, dan HGV pada
anak?
8. Bagaimana prognosis penyakit HAV, HBV, HCV, HDV, HEV, dan HGV
pada anak?
9. Bagaimana pencegahan penyakit HAV, HBV, HCV, HDV, HEV, dan
HGV pada anak?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui epidemiologi penyebaran HAV, HBV, HCV, HDV, HEV,
dan HGV pada anak.
2. Mengetahui struktur penyakit HAV, HBV, HCV, HDV, HEV, dan HGV
pada anak.

3. Mengetahui patogenesis penyakit HAV, HBV, HCV, HDV, HEV, dan


HGV pada anak.
4. Mengetahui hasil laboratorium dan pencitraan dari penyakit HAV, HBV,
HCV, HDV, HEV, dan HGV pada anak.
5. Mengetahui tata laksana penyakit HAV, HBV, HCV, HDV, HEV, dan
HGV pada anak.
6. Mengetahui komplikasi penyakit HAV, HBV, HCV, HDV, HEV, dan
HGV pada anak.
7. Mengetahui prognosis penyakit HAV, HBV, HCV, HDV, HEV, dan HGV
pada anak.
8. Mengetahui pencegahan penyakit HAV, HBV, HCV, HDV, HEV, dan
HGV pada anak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hepatitis Virus pada Anak


1. Definisi
Hepatitis adalah peradangan pada hati yang disebabkan oleh
berbagai sebab seperti bakteri, virus, proses autoimun, obat-obatan,
perlemakan, alkohol dan zat berbahaya lainnya (Dinkes RI, 2012).
Bakteri, virus dan parasit merupakan penyebab infeksi terbanyak,
diantara penyebab infeksi tersebut. Infeksi karena virus Hepatitis A, B, C,
D atau E merupakan penyebab tertinggi dibanding penyebab lainnya,
seperti mononucleosis infeksiosa, demam kuning atau sitomegalovirus.
Sedangkan penyebab Hepatitis non virus terutama disebabkan oleh
alkohol dan obat-obatan (Dinkes RI, 2012).
2. Etiologi
Terdapat enam virus hepatotropik yang utama, yaitu: HAV,
HBVV, HCV, HDV, HEV, dan HGV. Virus-virus tersebut berbeda pada
karakteristik virologik, transmisi, keparahan, kemungkinan terjadi
persistensi, dan kemungkinan terjadinya karsinoma hepatoselular (Bishop,
2011).

Hepatitis Virus
Ciri
Struktur
Virus

HAV
27-nm
ssRNA
virus

Famili
Transmisi

Waktu
Inkubasi
Marker
Serum

Gagal hati
fulminan
Infeksi yang
persisten

Peningkatan
risiko

HBV
42-nm
dsDNA virus

HDV
36-nm
circular
ssRNA
hybrid
partikel
dengan
lapisan
HBsAg
Picornavirus Hepadnavirus Flavivirus Satellite
Fecal oral,
Transfusi,
Parenteral, Sama
jarang
seksual,
transfusi,
dengan
parenteral
inokulasi,
perinatal
HBV
perinatal
15-30 hari
60-180 hari
30-60 hari Koinfeksi
dengan
HBV
Anti HAV
HBsAg,
Anti HCV Anti
HBcAG,
(IgG,
HDV,
HBeAG, anti IgM),
RNA
HB, anti HBc RIBA,
PCR
assay
untuk
HCV
RNA
Jarang
< 1% kecuali Tidak
2-20%
koinfeksi
lazim
dengan HDV terjadi
Tidak
5-10% (90% 85%
2-70%
dengan
infeksi
perinatal)

HEV
27-34 nm
ssRNA
virus

HGV
50- to 100-nm
ssRNA virus

Flavivirus
Fecal oral
(endemic
dan
epidemik)
35-60
hari

Flavivirus
Parenteral,
transfusi

Anti
HEV

RNA dengan
RT-PCR assay

20%

Kemungkinan
tidak terjadi

Tidak

Tidak

Tidak

Infeksi yang
menetap
sering terjadi,
penyakit
kronik jarang
timbul
Tidak
diketahui

Ya

HCV
30 sampai
60-nm
ssRNA
virus

Ya

Tidak

Tidak
diketahui

10

karsinoma
hepatoselular
Profilaksis
Vaksin:
immune
serum
globulin

Vaksin:
hepatitis B
immuno
globulin
(HBIG)
Sumber: (Bishop, 2011).
B. Jenis Hepatitis Virus pada Anak
1. Infeksi Hepatitis A Virus (HAV) pada Anak
a. Epidemiologi
Angka kejadian hepatitis A akut di seluruh dunia adalah 1,5
juta kasus per tahun, dimana diperkirakan jumlah kasus yang tidak
dilaporkan adalah 80%. Perkiraan dari Global Burden of Disease
(GBD) dari WHO diperkirakan terdapat puluhan juta individu
terinfeksi setiap tahunnya di seluruh dunia (Sanityoso dan Christine,
2014).
Perubahan epidemiologi infeksi virus hepatitis A pada negara
berkembang umumnya terjadi pada usia anak-anak hingga dewasa,
sedangkan pada negara maju, dengan endemisitas rendah, infeksi virus
hepatitis A pada umumnya terjadi pada usia dewasa (Sanityoso dan
Christine, 2014).
b. Struktur Virus
Virus hepatitis A termasuk Hepatovirus, yang masuk dalam
famili Picornaviridae. Ukuran virus hepatitis A adalah 27-32 nm,

11

tidak mempunyai selubung, mempunyai bentuk icosahedral, positive


single-stranded linier RNA virus, yang mempunyai 7,5 kb genom
(Sanityoso dan Christine, 2014).

c. Patogenesis
HAV ditularkan melalui mulut (melalui transmisi fecal-oral)
dan bereplikasi di hati. Setelah 10-12 hari, virus ada di dalam darah
dan dikeluarkan melalui sistem bilier ke tinja. Titer puncak terjadi
selama 2 minggu sebelum timbulnya penyakit. Meskipun virus ada
dalam serum, konsentrasinya beberapa kali lipat kurang dibandingkan
di dalam tinja. Ekskresi virus mulai menurun pada awal penyakit
klinis, dan mengalami penurunan signifikan sebesar 7-10 hari setelah
timbulnya

gejala.

Kebanyakan

orang

terinfeksi

tidak

lagi

mengeluarkan virus dalam tinja pada minggu ketiga. Anak-anak


mungkin mengeluarkan virus lebih lama daripada orang dewasa
(CDC, 2012).

12

d. Manifestasi Klinik
Umumnya Hepatitis Virus A menunjukkan gambaran klinis:
1) Masa Inkubasi
Pada berbagai penelitian bahwa masa inkubasi penyakit ini
adalah 15 hari sampai dengan 50 hari dan rata-rata 30 hari dan
20% kasus gejala menetap sampai 6 bulan dan penularan yang
dominan adalah melalui Fecal Oral serta secara umum penularan
terjadi dari orang ke orang, walaupun bisa terjadi melalui perantara
sektor lalat (Sulaiman dan Julitasari, 1995).
2) Masa Prodromal
3-10 hari, rasa lesu/lemah badan, panas, mual sampai
muntah, anoreksia, nyeri perut sebelah kanan (Sulaiman dan
Julitasari, 1995).
3) Masa Ikterik
Didahului urine berwarna coklat, sclera kuning, kemudian
seluruh badan, puncak ikterik dalam 1-2 minggu, hepatomegali
ringan yang nyeri tekan (Sulaiman dan Julitasari, 1995).
4) Masa Penyembuhan
Ikterus berangsur berkurang dan hilang dalam 2-6
minggu,demikian pula anorksia, lemas badan dan hepatomegali.

13

Penyembuhan sempurna sebagian besar terjadi dalam 3-4 bulan


(Sulaiman dan Julitasari, 1995).
Serangan ikterus biasanya dimulai pada masa prodromal
kurang lebih 3-4 hari sampai 2-3 minggu, saat pasien merasa tidak
enak badan kemudian ada gejala digestif terutama anoreksia dan
nausea dan juga ada panas badan, lalu ada nyeri di abdomen kanan
atas, yang bertambah di tiap goncangan badan, nafsu makan dan
minum menurun dan perasaan tidak enak, pada badan waktu
menjelang malam sehingga pasien merasa sengsara, juga disertai sakit
kepala yang hebat dan masa prodromal diikuti warna urine berwarna
gelap dan warna tinja menjadi pucat dan keadaan demikian
menandakan timbulnya ikterus kolestasis yang berkepanjangan atau
kadangkadang ikterus yang lama adalah jenis kolestatiknya akut,
ikterus timbul dan makin parah, akan tetapi dalam 3 minggu, pasien
merasa gatal. Terus bertambah sampai 8-29 minggu, sebelum timbul
penyembuhan keadaan demikian terutama perkembangan dengan
Hepatitis A (Noer, 1996).
e. Laboratorium dan Pencitraan
Pemeriksaan laboratorium hepatitis A yaitu IgM anti HAV
positif, respon inisial terhadap infeksi HAV hampir seluruhnya adalah
antibodi IgM dan akan hilang dalam waktu 3-6 bulan. IgM anti HAV

14

adalah spesifik untuk diagnosis dan konfirmasi infeksi hepatitis akut,


infeksi yang sudah lalu atau adanya imunisasi di tandai dengan anti
HAV total yang terdiri dari IgM anti HAV dan IgM anti HAV antiIgM
akan naik dengan cepat setelah virus di eradikasi lalu akan turun
perlahan lahan setelah beberapa bulan (Noer, 1996).
f. Tata Laksana
Hingga sekarang belum ada pengobatan spesifik bagi hepatitis
A virus akut. Terapi simtomatis dan penambahan vitamin dengan
makanan tinggi kalori protein dapat di berikan pada penderita yang
mengalami penurunan berat badan atau malnutrisi.Istirahat dilakukan
dengan tirah baring, mobilisasi berangsur di mulai jika keluhan dan
gejala berkurang, bilirubin dan transaminase serum menurun. Aktifitas
normal sehari hari dimulai setelah keluhan hilang dan data
laboratorium normal (WHO, 2010).
Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan
masukan per oral, kadar SGOT-SGPT >10 kali normal, perubahan
perilaku atau penurunan kesadaran akibat ensefalopati hepatitis
fulminan dan prolong atau relapsing hepatitis (IKA, 2000).
g. Komplikasi
Komplikasi pada hepatitis A yaitu diantaranya hepatitis virus
kolestasis dan hepatitis virus fulminan. Hepatitis virus kolestasis

15

ditandai oleh kolestasis intrahepatik hebat, dengan ikterus berat,


bilirubun dalam urin, dan tidak didapatkan uribilinogen didalam urin
dan tinja. Hepatitis fulminan ditandai oleh kegagalan hati akut yang
terkait dengan nekrosis masif dan submasif sel hati, ini adalah suatu
komplikasi yang jarang namun parah dimana 50% pasien dengan
kondisi ini memerlukan transplantasi hati langsung untuk menghindari
kematian. Hepatitis fulminan A juga bisa menyebabkan komplikasi
lebih lanjut, termasuk disfungsi otot dan kegagalan organ multiple
(Balisteri, 1998).
h. Prognosis
Dengan

berkembangnya

alternative

pengobatan

maka

diharapkan prognosis hepatitis menjadi lebih baik. Hepatitis A


biasanya memiliki prognosis baik kecuali yang fulminan. (IKA, 2000).
i. Pencegahan
Ada beberapa cara untuk mencegah penularan hepatitis A,
menurut WHO antara lain melalui hidup bersih dan sehat dan
pemberian vaksinasi (WHO, 2010)
Pemberian vaksin atau imunisasi. Imunisasi pasif yaitu
pemberian antibodi dalam profilaksis untuk hepatitis A telah tersedia
selama bertahu tahun. Serum imun globulin (ISG), dibuat dari plasma
populasi umum, memberi 80-90% perlindungan jika diberikan

16

sebelum atau selama periode inkubasi penyakkit. Dalam beberapa


kasus, infeksi terjadi, namun tidak mucul gejala klinis dari hepatitis A.
Saat ini ISG harus diberikan pada orang yang intensif kontak dengan
pasien hepatitis A dan orang yang diketahui telah makan makanan
mentah yang diolah atau ditangani oleh individu yang terinfeksi.begitu
muncul gejala klinis , host sudah memproduksi antibodi. Orang dari
endemis rendah yang melakukan perjalanan ke daerah daerah
dengan tingkat infeksi yang tinggi dapat menerima ISG sebelum
keberangatan dan pada interval 3-4 bulan asalkan potensial paparan
berat terus berlanjut, tetapi imunisasi aktif adalah lebih baik (WHO,
2010).
Imunisasi aktif merupakan vaksin hidup yang telah dilemahkan
dan telah di evaluasi tetapi menunjukkan imunogenisitasdan belum
efektif bila diberikan secara oral. Penggunaan vaksin ini lebih baik
daripada penggunaan profilaksis bagi mereka yang berkepanjangan
atau berulang terpapar hepatitis A. Vaksin hepatitis A diberikan 2 kali
dengan jarak 6-12 bulan. Vaksin sudah mulai bekerja 2 minggu setelah
penyuntikan pertama. Apabila terpapar virus hepatitis A sebelum 2
minggu berarti vaksin masih belum bekerja maka dapat di berikan
immunoglobulin (WHO, 2010).

17

2. Infeksi Hepatitis B Virus (HBV) pada Anak


a. Epidemiologi
Di seluruh dunia, daerah prevalensi infeksi HBV tertinggi
adalah Afrika subsahara, Cina, bagian-bagian Timur Tengah, lembah
Amazone dan kepulauan Pasifik. Di Amerika Serikat, populasi Eskimo
di Alaska mempunyai angka prevalensi tertinggi. Diperkirakan
300.000 kasus infeksi HBV baru terjadi di Amerika Serikat setiap
tahun. Jumlah kasus baru pada anak adalah rendah tetapi sukar
diperkirakan karena sebagian besar infeksi pada anak tidak bergejala.
Risiko infeksi kronis berbanding terbalik dengan umur; walaupun
kurang dari 10% infeksi yang terjadi pada anak, infeksi ini mencakup
20-30% dari semua kasus kronis (Ranuh, 2001).
Masa inkubasi berkisar antara 45-180 hari (6 minggu-6 bulan),
dengan masa penularan tertinggi terjadi beberapa minggu sebelum
timbulnya gejala, sampai berakhirnya gejala akut (Isselbacher, et al).
Risiko penularan adalah paling besar jika ibu juga HBeAg
positif; 70-90% dari bayinya menjadi terinfeksi secara kronis bila
tidak diobati. Selama periode neonatal antigen hepatitis pada B ada
dalam darah 2,5% bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkena sehingga
menunjukkan bahwa infeksi intrauterin terjadi. Pada kebanyakan kasus
antigenemia lebih lambat, memberi kesan bahwa penularan terjadi

18

pada saat persalinan; virus yang ada dalam cairan amnion atau dalam
tinja atau darah ibu dapat merupakan sumbernya. Walaupun
kebanyakan bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi menjadi
antigenemik dari usia 2-5 bulan. Beberapa bayi dari ibu positif-HBsAg
tidak terkena sampai usia lebih tua (Anderson dan Lorraine, 1993).
b. Struktur Virus
Virus hepatitis b (VHB) utuh adalah suatu virus DNA yang
berlapis ganda (double shelled) dengan diameter 42 nm. Bagian luar
virus ini terdiri dari HbsAg sedag bagian dalam adalah nukleokapsid
yang terdiri dari HbcAg.Dalam nukleokapsid didapatkan kode genetik
VHB yang terdiri dari DNA nuntai ganda (double strand) dengan
pajang 3200 nukleotida (Soemoharjo, 2008).

19

c. Patogenesis
Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus yang lain, merupakan
virus nonsitopatis yang mungkin menyebabkan cedera dengan
mekanisme yang diperantarai imun. Langkah pertama dalam proses
hepatitis virus akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV, menyebabkan
munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting
dari antigen virus ini mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg
dan HbeAg, pecahan produk HBcAg, Antigen-antigen ini, bersama
dengan protein histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I, membuat sel
suatu sasaran untuk melisis sel-T sitotoksis (Ranuh, 2001).
Mekanisme perkembangan hepatitis kronis kurang dimengerti
dengan baik. Untuk memungkinkan hepatosit terus terinfeksi, protein
core atau protein MHC kelas I tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksik
tidak dapat diaktifkan, atau beberapa mekanisme lain yang belum
diketahui dapat mengganggu penghancuran hepatosit. Agar infeksi
dari sel ke sel berlanjut, beberapa hepatosit yang sedang mengandung
virus harus bertahan hidup (Hadi, 2000).
Walaupun mekanisme cedera hati yang tepat pada infeksi HBV
tetap tidak pasti dan ini tetap harus dijelaskan, Pada pemeriksaan
protein nukleokapsid dengan elektroforesis didapatkan hasil bahwa
protein nuleokapsid memancarkan cahaya pada toleransi imunologik

20

yang besar terhadap bayi HBV bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi
HBV kronik yang sangat replikatif (HBeAg-positif). Pada tikus
transgenik ditandai-HBeAg, pemajanan in utero terhadap HBeAg,
yang cukup kecil untuk melewati plasenta, menyebabkan toleransi sel
T untuk kedua protein nukleokapsid. Pada gilirannya hal ini
menjelaskan kenapa, kapan infeksi terjadi pertama kali dalam
kehidupan, status imunologik tidak terjadi, dan diperpanjang, infeksi
kekal terjadi (Anderson dan Lorraine, 1993).
Mekanisme cedera hati akibat HBV tetap tidak pasti,
kerusakan jaringan diperantarai kompleks imun terjadi untuk
memainkan

peranan

patogenesis

utama

dalam

manifestasi

ekstrahepatik dari hepatitis B akut. Sindroma mirip penyakit serum


prodormal yang diamati pada hepatitis B akut tampak berhubungan
dengan deposit dalam dinding pembuluh darah jaringan dari kompleks
imun yang bersirkulasi menyebabkan aktivasi sistem komplemen.
Akibat klinis adalah ruam urtikaria, angioderma, demam, dan artritis.
Selama prodormal dini infeksi HBV pada pasien ini, HBsAg titer
tinggi dalam hubungannya dengan jumlah anti-HBs yang sedikit
menyebabkan pembentukan kompleks imun yang bersirkulasi dapat
larut (pada kelebihan antigen). Komponen komplemen dalam serum
diturunkan selama fase artritis penyakit tersebut dan juga dapat

21

dideteksi dalam kompleks imun yang bersirkulasi. Selain komponen


komplemen, kompleks ini mengandung HbsAag, anti-HBs, IgG, IgM,
IgA, dan fibrin. Sesudah pasien pulih dari sindrome-mirip penyakit
serum, kompleks imun ini hilang (Noer, 1996).
Mutasi HBV lebih sering daripada untuk virus DNA biasa dan
sederetan strain mutan telah dikenali. Yang paling penting adalah
mutan yang menyebabkan kegagalan mengekspresikan HBeAg dan
telah dihubungkan dengan perkembangan hepatitis berat dan mungkin
eksaserbasi infeksi HBV kronis lebih berat (Ranuh, 2001).
d. Manifestasi Klinik
Masa inkubasi hepatitis B adalah antara 6 minggu sampai 6
bulan dan HBsAg sudah terdeteksi 3-6 hari setelah inokulasi. Bila
HBsAg masih bertahan lebih dari 1 bulan, maka ada kecenderungan
penyakitnya

menjadi kronik. Gejala prodormal adalah urtikaria,

artralgia, dan arteritis. Tidak jarang dijumpai komplikasi berupa


nefropati

membranosa,

penyakit

serum

(serum

sickness),

krioglobinemia campuran dan sindrom vaskulitis. Aminotransferase


meningkat sesuai dengan meluasnya inflamasi pada hati dan muncul
14-60 hari setelah HBs ag (+), sedangkan bilirubin baru muncul 2-4
minggu setelah aminotransferase meningkat. Antibodi yang paling
cepat terdeteksi adalah anti HbcIgM yang muncul tidak lama setelah

22

timbulnya

ikterus

dan

adanya

peninggian

aktivitas

enzim

transaminase. Kadar anti HbcIgM akan terus meningkat dan mencapai


puncaknya pada bulan ke 5 dan kemudian titer zat ini akan menurun,
tetapi kedudukannya akan digantikan oleh anti HbcIgG yang terus
meningkat selama ada replikasi virus di hepatosit (bentuk kronis).
(Markum, 1991).
Bukti klinik pertama pada HBV infeksi adalah peningkatan
kadar ALT yang mulai meningkat sebelum perkembangan dari
lethargy, anorexia, dan malaise yg terjadi 6-7 minggu setelah terpapar.
Gejala prodormal artralgia,atau lesi kulit termasuk urtukaria, purpura,
macula, atau eritema makulopapula. Acrodermatitis papula, gianoticcrosti syndrome, juga bisa terjadi. Kondisi ekstrahepatik lain terkait
infeksi HBV pada anak ternasuk bisa polyarteritis, glomerunephritis,
dan anemia aplastik. Pada pemeriksaan fisik, infeksi gejala pada kulit
dan selaput lendir yang ikterus, terutama sklera dan mukosa di bawah
lidah, hati biasanya membesar dan lunak pada palpasi. bila hati tidak
teraba di bawah batas kosta dapat ditunjukkan dengan lembut
menekan tulang rusuk pada daerah hati dengan kepalan tangan,
splenomegali dan limfadenopati biasa terjadi (Behman et al, 2000).

23

e. Laboratorium dan Pencitraan


Untuk mendiagnosa hepatitis B

di

perlukan

pemeriksaan

serologi HbsAg yang merupakan marker infeksi pertama,dan


ditemukan hampir pada semua orang yang terinfeksi,HbsAg
meningkat hampir bertepatan dengan onset gejala klinis. HbeAg
biasanya muncul selama fase akut dan mengindikasikan tingginya
kondisi infeksi (Behman et al, 2000).
Yang paling umum digunakan skrining diagnostik pada
penyakit hepatitis B adalah Hepatitis B antigen (HBsAg). Seorang
individu apabila

HBsAg positif dianggap terinfeksi HBV, dan

berpotensi menular. Konfirmasi dari reaktif HBsAg tes skrining


ELISA biasanya dilakukan dengan melakukan uji netralisasi
menggunakan antiserum anti-HBs

tertentu dalam skrining ELISA

yang sama. yang sederhana/cepat tes HBsAg digunakan dan tidak ada
reagen netralisasi yang tersedia, konfirmasi infeksi akut atau kronis
untuk tujuan diagnostik dapat disimpulkan menggunakan gejala dan
tes monitoring yang tepat. Penanda HBV lain yang dapat digunakan
untuk memantau diagnosa infeksi HBV termasuk, HBeAg, IgM antiHBc, jumlah anti-HBc, anti-HBe dan antiHBs. Adanya HBeAg
menunjukkan seorang individu infektifitas tinggi, dan serokonversi

24

untuk anti-HBe berkorelasi dengan mengurangi infektivitas (WHO,


2001).
f. Tata Laksana
Jika pasien terinfeksi dengan virus hepatitis B dan sembuh
spontan, pasien tersebut hanya perlu dirawat jalan, kacuali pasien
dengan mual atau anoreksia berat yang akan menyebabkan diare.
Aktivitas fisis yang berlebihan dan berkepanjangan juga perlu
dihindari (Kumar dan Clark, 2009).
Untuk hepatitis B yang akut dan pasien mempunyai gejala
klinis, dapat diberikan antiviral seperti lamivudine. Namun, tidak ada
data yang terkontrol tentang efikasi obat ini (Kumar dan Clark, 2009).
Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk poenderita yang
sudah didiagnosa menderita hepatitis B kronik yaitu (Kumar dan
Clark, 2009):
1) Kelompok imunomodulasi
a) Interferon
b) Timosin alfa1
c) Vaksinasi terapi
2) Kelompok terapi antivirus
a) Lamivudin
b) Adefovir Dipivoksil

25

Tujuan pengobatan hepatitis B adalah mencegah atau


menghentikan progresi jejas hati (liver injury) dengan cara melakukan
replikasi virus atau menghilangkan injeksi. Dalam pengobatan
hepatitis B kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah hilangnya
petanda replikasi virus yang aktif secara menetap (HBeAg dan DNA
VHB). Pada umumnya, serokonversi dari HBeAg menjadi anti-HBe
disertai dengan hilangnya DNA VHB dalam serum dan meredanya
penyakit hati. Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg
negatif, serokonversi HbeAg tidak dapat dipakai sebagai titik akhir
terapi dan respons tetapi hanya dapat dinilai dengan pemeriksaan
DNA VHB (Kumar dan Clark, 2009).
g. Komplikasi
Beberapi komplikasi dari hepatitis B antara lain:
1) Adanya beberapa waktu atau episode yang spontan dari penyakit
hepatitis B pada anak yang mengalami masalah eksaserbasi dan
juga replikasi yang lebih menjurus pada arah dekompensasi dan
juga progresivitas pada penyakit hati penderita yang sebelumnya
sudah pernah mengalami penyakit hati ringan dan juga stabil
(Kumar dan Clark, 2009).
2) Bentuk yang ringan dari jenis penyakit hepatitis kronik persisten,
dan sewaktu-waktu akan bisa berubah menjadi progresif kemudian

26

hepatitis kronik yang aktif dan juga bisa berubah menjadi sirosis
hati (Kumar dan Clark, 2009).
3) Pada penyakit hepatitis B yang bisa bertindak sebagai reservoir
atau sebagai sumber dari terjadinya infeksi pada daerah sekitar
hati. Kortiosteroid yang tidak mampu melakukan pengobatan pada
penyakit hepatitis B yang kronik, dan disamping itu juga dalam
waktu yang lama akan menyebabkan replika dari penyakit hepatitis
B serta mencegah kehilangan HbeAg yang ada di dalam serum si
penderita (Kumar dan Clark, 2009).
h. Prognosis
95-99% dari pasien hepatitis B yang akut, sembuh secara total.
Namun, prognosis penyakit hepatitis B memburuk pada pasien yang
lanjut usia dan pasien yang mempunyai penyakit lain. Bagi penderita
yang telah didiagnosa menderita penyakit hepatitis B yang kronis,
prognosisnya baik jika pasien mendapat terapi yang baik sehingga
dapat memperbaiki kondisi pasien. Perubahan dari fase akut ke fase
kronik sangat bergantung pada umur pasien dan cara terinfeksi.
Prognosis memburuk pada pasien-pasien yang menderita sirosis hati.
Karsinoma hepar merupakan komplikasi tersering bagi infeksi VHB
yang kronik (Dienstag, 2008).

27

i. Pencegahan
Pencegahan penyakit adalah penting sekali, mengingat negara
kita penyakit HBV merupkan penyakit endemik yang di temukan
sepanjang tahun. Dengan insidensi tergolong tinggi, maka perlu sekali
penggalakan pencegahan penyakit ini untuk menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas. Pencegahan umum yang mudah di
laksanakan

oleh

seluruh

lapisan

masyarakat

dengan

jalan

meningkatkan kesehatan lingkungan. meningkatkan gizi, dan lain lain.


Selain itu dapat pula dengan pemberian kekebalan melalui imunisasi
baik imunisasi aktif maupun pasif (Dienstag, 2008).
1) Imunisasi pasif
Imunisasi pasif dilakukan dengan pemberian immunoglobulin.
Diberikan baik sebelum terjadinya paparan (preexposure) maupun
setelah terjadinya paparan (postexposure). Dapat dilakukan dengan
memberikan IG/ISG (immune serum globulin) atau (hepatitis B
immune globulin) (Dienstag, 2008).
Indikasi utama pemberian Imunisasi pasif ini ialah (Dienstag,
2008):
a) Paparan dengan

darah yang ternyata mengandung HBsAg,

baik melealui ataupun mukosa.

28

b) Paparan sexual dengan pengidap HBsAg(+)


c) Paparan perinatal, ibu HBsAg (+). Imunisasi pasif harus segera
diberikan sebelum 48jam.
d) Dosis pada kecelakaan jarum suntik: 0,06 ml/kg, dosis
maksimal 5 ml, intramuscular, harus di berikan dalam jangka
waktu

24

jam,

di

ulangi

bulan

kemudian.

paparan sexual: dosis tuggal 0,06 ml/kg, intramuscular, harus


di berikan dalam jangka waktu 2 minguu, dengan dosis
maksimal 5 ml.
e) Paparan perinatal:0,5 ml intramuscular.
2) Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif dapat di berikan dengan pemberian partikel
HBsAg yang tidak infeksius. Di kenal 3 jenis vaksin hepatitis B
yaitu (Dienstag, 2008):
1) Vaksin yang berasal dari plasma
2) Vaksin yang dibuat dngan teknik rekombian (rekayasa genetic
3) Vaksin polipeptida
Kebanyakan ahli menganjurkan memberikan vaksin tiga kali.
Kedua suntikan pertama dimaksudkan untuk memulai rangsangan
pembentukan Anti HBs, sedang suntikan terakir di masukan untuk
pemacu untuk merangsang kembali sel memory dan menaikan

29

titer

antibody

agar

dapat

bertahan

lebih

lama.

Vaksinasi awal (primer ), di berikan 3 kali. Jarak antara suntikan I


dank e II 1-2 bulan, sedangkan suntikan ke III diberikan 6 bulan
dari suntikan I. pemberian booster 5 tahun kemudian masih belum
ada kesepakatan. Pemeriksaan Anti-HBsAg pasca imunisasi di
anjurkan setelah 3 bulan dari suntikan terakir. Skiring pravaksinasi hanya di anjurkan pada pemberian imunisasi secara
individu (praktek swasta perorangan ), sedangkan pada suntikan
masal tidak di anjurkan (Dienstag, 2008).
3. Infeksi Hepatitis C Virus (HCV) pada Anak
a. Epidemiologi
Sekitar 2% -3% (130-170 juta) dari populasi dunia telah
terinfeksi HCV. Di banyak negara berkembang, termasuk Amerika
Serikat, prevalensi dari infeksi HCV kurang dari 2%. Prevalensi lebih
tinggi (di atas 2%) di beberapa negera di Amerika Latin, Eropa Timur,
Rusia, dan beberapa negara di Afrika,

Timur Tengah, dan Asia

Selatan. Prevalensi yang paling tinggi terdapat di negara Mesir.


Bentuk penularan yang paling sering di Amerika Serikat adalah
melalui injeksi obat-obatan yang digunakan bersama (Alter, 2007).
Berikut ini contoh prevalensi yang tinggi akibat akitivitas
penularan melalui darah, yaitu (Alter, 2007):

30

1) Menerima transfusi darah yang belum di-screening HCV


2) Sedang dalam pengobatan medis atau pengobatan gigi
3) Aktivitas seperti akupuntur, injeksi obat yang tidak steril
4) Bekerja di area kesehatan seperti di laboratorium.
b. Struktur Virus
Peneliti menetapkan struktur permukaan protein dari virus
hepatitis C dapat digunakan virus untuk masuk dalam sel. Strukturnya
terdiri atas envelop lipid yang mengandung glikoprotein envelop E1
dan E2, protein kapsid C yang membungkus materi genetiknya, dan
protein non-struktur.Beberapa protein yang terletak di permukaan
virus secara konstan akan berubah, yang bisa menyebabkan virus
menghindar dari sistem imun. Satu dari jenis protein ini dinamakan
E2, yang mempunyai region yang dapat terikat dengan sel hati. Dari
penelitian ditemukan bahwa protien E2 digunakan virus untuk
mengetahui struktur yang ada dalam sel target sehingga kesempatan
virus untuk masuk ke dalam sel target menjadi lebih mudah
(Simmonds, 2004).

31

c. Patogenesis
HCV tersebar dari darah yang telah terkontaminasi yang
kemudian sampai pada hati melalui proses sirkulasi darah. Masuknya
HCV ke dalam hati membutuhkan paling sedikti 4 host faktor yang
termasuk seperti scavenger reseptor kelas B tipe 1, Occludin, Claudin1 (CLDN1) dan CD81. Selain itu, CLDN6 dan CLDN9 telah diketahui
menggantikan CLDN1 sebagai faktor masuknya virus HCV pada sel
non-liver manusia. CD81 pada permukaan host sel bertugas sebagai
viral reseptor, yang mengikat dengan partikel virus dan memfasilitasi
masuknya virus ke dalam sel hati. CD8 diekspresikan pada hampir
semua sel berinti seperti pada CD19 dan CD21 pada sel B, dan
mengirim sinyal stimulasi pada sel. Pretoin envelop virus, E2, terikat
pada loop ekstraseluler pada CD8. HCV mempunyai tempat
pengikatan yang banyak dan dapat juga mengikat beberapa molekul
seperti reseptor untuk LDL, dendritik sel, molekul adhesi (DC-SIGN),

32

dan berbagai organ yang bekerja bersama liver. E2 adalah sturukur


virus yang variatif, dan interaksinya dengan CD81 yang ditemukan
sebagai strain-spesifik. E2 mempunyai 2 variabel region, yaitu HVR-1
dan HVR-2 yang bisa melakukan mutasi, hal ini dikarenakan virusneutralizing antibodies dan HCV-CTLs. HCV juga mempunyai rate
mutasi yang tinggi karena kurangnya kemampuan virus untuk
mengoreksi cetakan dari RNA-dependent RNA polimerase virus. Ada
juga virus HCV yang disebut sebagai quasispecies HCV dimana virus
ini ada beberapa spesies tetapi spesiesnya saling berhubungan dekat
dengan spesies pada individu yang terinfeksi HCV (Irshad et al, 2013).
d. Manifestasi Klinik
Gejala khas pada komplikasi dari penyakit hati dapat
berhubungan dengan disfungsi sintetis dan hipertensi portal. Ini
termasuk dengan status mental yang berubah (mental encephalopathy),
edema pergelangan kaki dan distensi abdomen (asites), dan
hematemesis atau melena/variceal bleeding (Sterling dan Bralow,
2006).
Gejala yang berkembang pertama kali ditemukan pada luar hati
yang paling umum berhubungan dengan sendi, otot, dan kulit.
Manifestasi yang paling sering dijumpai pada infeksi HCV dapat
berupa (Sterling dan Bralow, 2006):

33

1) Atralgia
2) Parestesia
3) Mialgia
4) Pruritus
5) Sicca Sindrom
e. Laboratorium dan Pencitraan
Hepatitis C merupakan penyakit yang penting karena
bertanggung jawab atas sekitar 90% hepatitis pasca transfusi dan
diduga 3% populasi dunia telah terinfeksi virus hepatitis C yang
mempunyai masa inkubasi sekitar 7 minggu (2-26 minggu). Hepatitis
C kronis menjadi penyebab utama dari Sirosis hati dan Karsinoma
hepatoseluler. Hepatitis C Virus (HCV) diidentifikasi pertama kali
pada tahun l998 dan merupakan penyebab utama dari hepatitis non- A,
non- B (Brataatmadja, 2003).
Peranan laboratorium pada penyakit ini yaitu untuk mencegah
penularan penyakit, menegakkan diagnosis, memantau perjalanan
penyakit,

memonitor

respon

pengobatan

dan

memperkirakan

prognosis (Brataatmadja, 2003).


Pemeriksaan laboratorium pada infeksi hepatitis C virus antara
lain:
1) Pemeriksaan Biokimia

34

Pada pemeriksaan darah terlihat adanya peningkatan bilirubin,


alkali fosfatase dan transaminase. Serum transaminase terutama
Serum Alanine Amino Transferase (ALT = SGPT) terjadi
kenaikan yang bervariasi, kemudian menurun diatas nilai normal
atau terus meningkat berfluktuasi, kadang- kadang naik dan
kadang-kadang turun tidak menentu (Brataatmadja, 2003).
Pada umumnya gejala klinis hepatitis virus C akut sukar dibedakan
dengan gejala hepatitis virus B dan infeksi virus akut lainnya,dan
lebih dari 50% penderita menunjukkan peningkatan tes faal hati.
Pada hepatitis C akut peningkatan ALT terjadi 7-8 minggu setelah
infeksi dan peningkatan bisa mencapai 10 - 15 kali nilai normal.
Yang khas adalah pada hepatitis virus C kronis dimana pola
peningkatan enzim ALT (SGPT) yang bersifat polifasik, turun naik
(seperti yo yo) selama 6 bulan atau lebih. Puncak peningkatan
SGPT umumnya tidak setinggi hepatitis B, sedangkan peningkatan
enzim-enzim lainnya mirip dengan hepatitis virus B (Brataatmadja,
2003).
Sebelum ditemukannya petanda serologis yang spesifik, apabila
terjadi kenaikan serum transaminase sedikitnya dua kali diatas
nilai normal pada dua kali pemeriksaan secara terpisah memiliki
nilai diagnostik yang penting yaitu apabila tidak ditemukan adanya

35

sebab lain yang dapat menyebabkan peningkatan enzim tersebut


jelas antara lain adanya paparan oleh bahan toksik, obat-obatan
atau secara serologis terhadap adanya infeksi hepatitis lain
(Brataatmadja, 2003).
2) Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan Antibody spesifik yaitu Anti HCV bisa dilakukan
dengan cara RIA (Ra- dio Immuno Assay) atau EIA (=
ELISA/Enzyme Linked Immuno Assay). Cara tersebut dengan
antigen utama C 100-3 yang disintesis melalui rekayasa DNA
terhadap kultur ragi. Antigen yang telah dilapiskan pada fase
padat, kemudian direaksikan dengan antibodi yang terdapat dalam
serum. Pengukuran dilakukan dengan antigen kedua yang telah
dilabel.

Antibodi

terhadap

HCV

yang

dinilai

adalah

Immunoglobulin anti HCV (Brataatmadja, 2003).


3) Tes Konfirmasi
Kalau pemeriksaan Anti HCV merupakan pemeriksaan antibodi,
maka pemeriksaan antigen dilakukan dengan memeriksa HCVRNA yang dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif
(Brataatmadja, 2003).
Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode biologi molekuler
seperti PCR dan branched-DNA (b-DNA). PCR merupakan

36

metode pemeriksaan berdasarkan amplifikasi target RNA atau


DNA. Dalam hal ini sejumlah kecil RNA/DNA virus diperbanyak
terlebih dahulu sebelum dideteksi, sehingga metode ini sangat
sensitif. b-DNA merupakan metode pemeriksaan berdasarkan
amplifikasi signal yang dihasilkan. Dengan adanya molekul
penguat (b-DNA), maka signal yang dideteksi akan diperkuat
(Brataatmadja, 2003).
Manfaat pemeriksaan HCV RNA diantaranya adalah untuk
menentukan tingkat aktivitas penyakit secara kuantitatif pada
penderita hepatitis C kronis, membantu menentukan prognosis
setelah pengobatan dengan -interferon, mengukur respon
penderita hepatitis C kronis terhadap pengobatan - interferon dan
merupakan pemeriksaan tambahan terhadap pemeriksaan fungsi
hati, sejarah klinis dan studi serologis dalam evaluasi hepatitis C
(Brataatmadja, 2003).
Satu-satunya cara untuk menentukan adanya viremia adalah
dengan

deteksi

HCV-RNA

menggunakan

cara

Reversed

Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Cara ini


amat sensitif dan memungkinkan deteksi HCV-RNA walaupun
jumlahnya amat kecil. Pada fase awal infeksi virus hepatitis C,
HCV-RNA adalah satu-satunya petanda yang menentukan adanya

37

infeksi virus hepatitis C. HCV-RNA sangat erat hubungannya


dengan viremia, dibandingkan dengan penetapan anti- HCV .
HCV-RNA dapat pula menentukan derajat infektivitas meskipun
perlu dicatat bahwa sensitivitas dari PCR tidak mutlak dalam
menyingkirkan infeksi (Brataatmadja, 2003).
Pemeriksaan HCV-RNA kualitatif lebih banyak dipakai sebagai
tes konfirmasi sedangkan cara kuantitatif lebih banyak dilakukan
sebelum dan untuk memantau terapi. Salah satu Consensus
Statement dari EASL (1999) menyatakan bahwa pemeriksaan
Genotipe

HCV

dan

HCV

RNA

kuantitatif

hanya

direkomendasikan sebelum pengobatan interferon (Brataatmadja,


2003).
4) Penentuan Genotipe HCV
Berdasarkan

homologi

diklasifikasikan

kedalam

urutan

nukleotidanya,

genotipe-genotipenya.

HCV

Penentuan

genotipe HCV dilakukan dengan hibridisasi dot blot dengan


menggunakan pelacak genotipe yang spesifik menurut Simmonds
dkk. Ada beberapa sistem klasifikasi, antara lain oleh Simmonds
yang

saat

ini

telah

diterima

secara

internasional.

Ia

mengklasifikasikan genotipe menjadi 1a, 1b, 2a, 2b, 3 dan 4.


Didapatkan variasi geografis dari distribusi genotipe virus hepatitis

38

C. Genotipe 1 b merupakan varian yang terbanyak diseluruh dunia


dengan insiden yang tinggi di Eropa dan Jepang, sedangkan
genotipe 1a lebih banyak di Amerika Serikat (Brataatmadja, 2003).
Genotipe 2 lebih jarang di Eropa dibandingkan dengan di Cina dan
Jepang, sementara genotipe 4 lebih banyak ditemukan di Mesir dan
negara Afrika lain. Genotipe 5 ditemukan di Afrika Selatan dan
genotipe 6 di Singapura. Genotipe yang berbeda memberikan
respon yang berbeda-beda pada pengobatan dengan interferon.
Telah ditemukan hubungan yang erat antara HCV genotipe 1 b
dengan penyakit hati yang berat dan biasanya berhubungan dengan
derajat viremia yang lebih tinggi (Brataatmadja, 2003).
Pemeriksaan HCV-RNA dengan genotipe-nya mempunyai peranan
penting untuk memantau perjalanan penyakit serta menentukan
respon terhadap pengobatan interferon. Dari penelitan-penelitian
didapatkan bahwa genotipe 1 memberi respons yang buruk dengan
pengobatan, sedangkan genotipe yang lain terutama genotipe 2 dan
3 memberikan respons yang baik dengan terapi interferon.
Pemeriksaan lain seperti Biopsi hati mungkin diperlukan untuk
mengetahui derajat keru- sakan hati, peradangan ataupun
komplikasi seperti sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler. Juga

39

pemeriksaan Ultranonography hati maupun Alpha Feto Protein


seringkali diperlukan (Brataatmadja, 2003).
f. Tata Laksana
Untuk penatalaksanaan infeksi VHC beberapa badan peneliti
hati di dunia seperti American Asscociation for Study of the Liver
Diseases (AASLD), European Asscociation for Study of the Liver
(EASL), dan Asia-Pacific Association for Study of the Liver (APASL)
serta

Perhimpunan

Peneliti

Hati

Indonesia

(PPHI)

sudah

mengeluarkan panduan penatalaksanan. Pasien biasanya diketahui


terinfeksi VHC setelah adanya pemeriksaan anti-HCV yang positif.
Untuk mengetahui adanya infeksi sebenarnya pemeriksaan RNA VHC
perlu dilakukan dimana sekaligus diketahui jumlah vitus di dalam
darah serta genotype VHC (Gani, 2014).
Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan
peningkatan nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Menurut
panduan penatalaksaan, nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas nilai
normal. Hal ini mungkin tidak berlaku mutlak karena berapapun nilai
ALT di atas batas nilai normal biasanya sudah menunjukan adanya
fibrosis yang nyata bila dilakukan biobsi hati. Bila nilai ALT normal,
harus diketahui terlebih dahulu apakah nilai normal ini menetap
(persisten) atau berfluktuasi dengan memonitor nilai ALT setiap bulan

40

untuk 4-5 kali pemeriksaan. Nilai ALT yang berfluktuasi merupakan


indikasi untuk melakukan terapi namun bila nilai ALT tetap normal,
biopsi hati perlu dilakukan agar daoat lebih jelas diketahui fibrosis
yang sudah terjadi (Gani, 2014).
Pada pasien yang tidak terjadi fibrosis hati (F0) atau hanya
merupakan fibrosis hati ringan (F1), mungkin terapi tidak perlu
dilakukan karena mereka biasanya tidak berkembangmenjadi sirosis
hati setelah 20 tahunmenderita infeksi VHC. Nilai fibrosis hati pada
tingkat menegah atau tinggi sudah merupakan indikasi untuk terapi
sedangkan apabila sudah terdapat sirosis hati, maka menimbulkan
penurunan fungsi hati secara bermakna (Gani, 2014).
Pengobatan hepatitis C kronik adalah dengan menggunakan
interferon alfa dan ribavirin. Umumnya disepakati bila gnotipe VHC
adalah genotipe 1 dan 4. Maka terapi perlu diberikan selama 48
minggu dan bila genotipe 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24
minggu (Gani, 2014).
Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengn penggunaan
interferon dan ribavirin tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60
tahun, Hb <10g/dl, lekosit darah <2500/uL, trombosit <100.000/uL,
adanya gangguan jiwa yang berat, dan adanya hipertiriod tidak
diindikasikan untuk terapi dengan interferon dan ribavirin. Pasien

41

dengan gangguan ginjal juga tidak diindikasikan menggunakan


ribavirin karena dapat memperberat gangguan ginjal yang terjadi
(Gani, 2014).
Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2
hari atau 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setip kali
pemberian. Interferon yang telah dikat degan poly-ethylen glycol
(PEG) atau di kenal dengan Peg-Interferon, diberikan setiap minggu
dengan dosis 1,5ug/kg BB/ kali (untuk Peg-Interferon 12 KD) atau
180ug (untuk Peg-Interferon 40 KD) (Gani, 2014).
Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribacirin
dengan dosis pada pasien dengan berat badan <50 kg 800mg setiap
hari, 50-70 kg 1000mg setiap hari dan >70 kg 1200mg setiap hari
dibagi dalam 2 kali pemberian (Gani, 2014).
Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu
dilakukan pemeriksaan RNA VHC secara kualitatif untuk mengetahui
apakah VHC resisten terhadap pengobatan dengan interferon yang
tidak akan bermanfaat untuk memberikan terapi lanjutan dengan
interferon dan tidak memerlukan pemerikasaan RNA VHC 6 bulan
kemudian. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan setelah pengobatan
dihentikan dengan memeriksa RNA VHC kualitatif. Bila RNA VHC
tetap negative, maka pasien dianggap mempunyai respons virologik

42

yang menetap (sustained virological response atau SVR) dan RNA


VHC kembali positif, pasien dianggap kambuh (Gani, 2014).
Mereka yang tergolong kambuh ini dapat kembali diberikan
interferon dan ribavirin nantinya dengan dosis yang lebih besar atau
Peg-Interferon

mungkin

akan

bermanfaat.

Beberapa

peneliti

menganjurkan pemeriksaan RNA VHC kuantitatif 12 minggu setelah


terapi dimulai untuk menentukan prognosis keberhasilan terapi dimana
peognosis dikatakan baik bila RNA VHC turun >2 log (Gani, 2014).
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan
gejalagejala menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan,
dan sejenisnya) depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih
dari normal, depresi sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang
timbul tiroiditis. Ribavirin dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk
mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut pemantauan pasien
mutlak perlu dilakukan (Gani, 2014).
Pada awal pemberian interferon dan ribavirin dilakukan
pemantauan klinis, laboratoris (Hb, lekosit,trombosit, asam urat, dan
ALT) setiap 2 minggu yang kemudian dapat dilakukan setiap bulan.
Teapi tidak bleh dilanjutkan bila Hb < 8g/dL, lekosit <1500/uL atau
kadar netrofil <500.uL, trombisit <50.000/uL, depresi berat yang tidak

43

teratasi dengan pengobatan anti-depresi, atau timbul gejala-gejala


tiroditis yang ridak teratasi (Gani, 2014).
Keberhasialan terapi dengan interferon dan ribavirin untuk
eradikasi VHC lebih kurang 60%. Tingkat keberhasilan terapi
tergantung pada beberapa hal. Pada pasien dengan genotipe 1 hanya
40% pasien yang berhasil dieradikasi sedangakan untuk genotipe lain ,
tingkat keberkasialah terapi dapat mencapai lebuh dari 70%. PegInterferon dilaporkan mempunyai tingkat keberhasilan terapi yang
lebih baik daripada interferon konvensional. Hal lain yang juga
berpengaruh dalam kurangnya keberhasulan respons terapi dengan
interferon adalah semakin tua umur, semakin lama infeksi terjadi, jenis
kelamin laki-laki, berat badan berlebih, dan tingkat fibrosis hati yang
berat (Gani, 2014).
Pada hepatitis C akut, keberhasilan terapi dengan interferon
lebih baik dari pada pasien hepatitis C kronik hingga mencapai 100%.
Pada kelompok pasien ini interferon dapat digunakan secara
monoterapi tanpa ribavirin dan lama terapi pada satu laporan hanya 3
bulan. Namun sulit untuk menentukan infeksi akut VHC karena tidak
adanya gejala akibat infeksi virus ini sehingga umumnya tidak
diketahui waktu yang pasti adanya infeksi (Gani, 2014).

44

Apabila jelas infeksi akut tersebut terjadi misalnya pada tenaga


medis yang secara rutin dilakaukan pemerikasaan anti-HCV dengan
hasil negative dan kemudian setelah tertusuk jarum anti-HCV menjadi
positif maka monoterapi dengan interferon dapat diberikan (Gani,
2014).
Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi dengan interferon dan
ribavirin dapat diberikan bia jumlah CD4 pasien ini >200sel/mL. Bila
CD4 kurang dari nilai tersebut, maka respons terapi sangat tidak
memuaskan. Untuk pasien dengan ko-infeksi VHC-VHB, dosis
pemberian interferon untuk VHC sudah sekaligus mencukupi untuk
terapi VHB sehingga kedua virus dapat diterapi bersama-sama
sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus untuk VHB
(Gani, 2014).
g. Komplikasi
Sekitar 85% pasien hepatitis C akut akan berkembang menjadi
kronis. Sebagian besar penderita tidak sadar terhada penyakitnya
selaun gejala yang mnimal dan tidak spesifik seperti lelah, mual,
mialga, rasa tidak enak pada perut kanan atas, gatalm dan penurunan
berat badan (Jurnalis et al, 2013).
Beberapa penderita menunjukkan gejala ekstrahepatik yang
dapat mengenai organ lain seolah-olah tidak berhubungan dengan

45

penyakit hati. Pada kebanyakan kasus hepatitis C gejala klinis akan


hilang tetapi RNA HCV tetap positif dan nilai ALT tetap tinggi atau
berfluktuasi (Jurnalis et al, 2013).
h. Prognosis
Terdapat peningkatan alanin transferase (ALT) pada serum
setelah beberapa minggu terpapar HCV sebelum gejala klinis muncul.
Pada pasien hepatitis C akut yang sembuh, RNA HCV tidak
ditemukan lagi dalam beberapa minggu dan nilai ALT akan kembali
normal (Jurnalis et al, 2013).
i. Pencegahan
Tidak seperti HAV atau HBV, dimana immunoglobulin
memainkan peranan penting dalam profilaksis primer, pada HCV
belum

ditemukan

jenis

immunoglobulin

yang

efektif

untuk

pencegahan paska paparan. Pembuatan vaksin juga terhambat karena


tingginya derajat diversitas geneti (Jurnalis et al, 2013).
Pencegahan lebih dititikberatkan terhadap (Jurnalis et al,
2013):
1) Uji saring yang efektif terhadap donor darah, jaringan, maupun
organ

46

2) Uji saring terhadap individu yang berada pada daerah dengan


prevalensi HCV yang tinggi untuk mencegah penyebaran lebih
lanjut
3) Pendidikan kesehatan pada pekerja yang erat kerjanya dengan
darah dan cairan tubuh
Individu yang seharusnya menjalani tes uji saring HCV adalah
(Jurnalis et al, 2013):
1) Pengguna obat terlarang dengan suntikan
2) Penerima darah dengan produknya
3) Penderita dialisis kronis
4) Individu dengan ALT yang terus-menerus meningkat
5) Petugas kesehatan yang pernah kontak dengan darah yang
terinfeksi HCV
6) Bayi yang lahir dengan ibu penderita HCV
4. Infeksi Hepatitis D Virus (HDV) pada Anak
a. Epidemiologi
Infeksi HDV tidak dapat terjadi tanpa HBV. Penularan
biasanya terjadi dengan kontak intra familial atau intim pada daerah
prevalensi yang tinggi, terutama adalah negara yang sedang
berkembang. Masa inkubasi infeksi HDV sekitar 2-8 minggu
(Behrman dan Arvin, 2000).

47

Ada dua pola epidemiologi infeksi hepatitis D : di negaranegara Mediterania infeksi endemik di antara pembawa HBV, dan
virus ini ditularkan melalui kontak pribadi yang dekat. Di Eropa Barat
dan Amerika Utara, HDV terbatas pada orang yang terkena darah atau
produk darah, seperti misalnya pecandu narkoba suntikan jarum suntik
yang tidak steril berbagi. Di seluruh dunia, lebih dari 10 juta orang
terinfeksi HDV ( WHO, 2011).
b. Struktur Virus
Virus berdiameter 36-nm tidak mampu membuat selaput
proteinnya sendiri, selaput sebelah luar tersusun dari kelebihan HBsAg
dari HBV. Core virus sebelah dalam merupakan RNA sirkuler helaitunggal, yang mengekspresikan antige HDV (Behrman dan Arvin,
2000).

c. Patogenesis
HDV

menyebabkan

cedera

secara

langsung

melalui

mekanisme sitopatik. Infeksi bersama HDB dan HDV paling sering

48

terjadi pada daerah berprevalensi tinggi. Mekanisme pathogenesis


yaitu superinfeksi dari HBV kronis (Behrman dan Arvin, 2000).
Infeksi HBV dan HDV dikaitkan dengan kerusakan hati yang
lebih parah dari infeksi HBV. Perubahan patologis pada hepatitis D
terbatas pada hati, satu-satunya organ yang menunjukan replikasi
HDV. Perubahan histologis terdiri dari nekrosis hepatoseluler dan
inflammation (WHO, 2011).
d. Manifestasi Klinik
Gejala hepatitis D biasanya lebih berat dari pada hepatitis virus
lain. Akibat klinis karena infeksi HDV tergantung pada mekanisme
infeksi. Pada superinfeksi penyakit aku jarang terjadi, lazimnya terjadi
hepatitis kronis. Resiko hepatitis fulminan tertinggi terjadi pada
superinfeksi. Pada Hepatitis D harus dipikirkan pada anak yang
mengalami gagal hati akut (Behrman, 2000).
Gejala hepatitis D meliputi: ikterus pada sclera, demam, mual
muntah, nyeri perut kuadran kanan atas, urine teh berwarna, pruritus,
perdarahan (jarang), encephalopathy (jarang), petechie dengan memar
(jarang) (Roy, 2013).
e. Laboratorium dan Pencitraan
Adanya anti HDV dalam serum adalah penanda spesifik pada
infeksi HDV. Pada infeksi HDV kronis terdapat adanya IgM anti HDV

49

yang tetap dalam titer yang bervariasi pada waktu yang lama. IgM anti
HDV berkorelasi dengan tingkat replikasi HDV tetapi pada kasus
infeksi HDV kronis, IgG anti HDV titer tinggi dari 1 : 1000 adalah
petunjuk yang kuat bahwa adanya replikasi virus. Infeksi HDV terjadi
hanya pada pasien HBsAg positif dan didiagnosis dengan IgM anti
HDV untuk infeksi akut atau IgG anti HDV untuk infeksi kronis.
Sebenarnya Infeksi HDV hanya terjadi pada infeksi HBV. Pada
beberapa pasien, penanda infeksi HBV mungkin tidak terdeteksi
karena HBsAg fulminan atau kasus hepatitis akut

karena efek

penghambatan HDV pada HBV replikasi HBsAg yang tidak terdeteksi


dalam serum 10 % dari pasien pada fase awal hepatitis akut. Dalam
kasus tersebut , adanya IgM dan HBcAg dalam serum membantu
mendiagnosa hepatitis B akut (Vaziri et al, 2008).
Pada sekitar 20 % kasus adanya HDAg dalam serum inkubasi
akhir periode infeksi akut tidak berubah dalam tahap gejala. HDV
RNA adalah penanda yang berguna replikasi HDV pada pasien dengan
infeksi kronis. Hal ini juga penanda awal infeksi akut. Dengan
menggunakan PCR , lebih dari 90 % dari pasien hepatitis dengan HDV
kronis memiliki HDV RNA terdeteksi dalam serum (Alavian dan
Asaari,2005). Kenaikan protein serum alfa feto (AFP) pada pasien

50

yang terinfeksi HDV meningkatkan keprihatinan (Hajiani dan


Hashemi, 2005 ).
f. Tata laksana
Virus hepatitis D bergantung pada HBsAg dan bukan terhadap
replikasi virus hepatitis B, sehingga sintesisnya tidak dipengaruhi oleh
kadar HBV-DNA dalam serum. Sekresi virus hepatitis D in vitro dan
kadar HDV-RNA in vivo berkorelasi langsung dengan kadar HBsAg
serum, bukan dengan titer HBV-DNA (Sanityoso dan Christine,
2014).
Interaksi antara virus HBV dan HDV dan adanya fakta bahwa
sebagian pasien yang terinfeksi hepatitis D mempunyai virus hepatitis
DB yang secara spontan mengalami represi, menjelaskan mengapa
antivirus sintetik terhadap virus hepatitis B tidak bermanfaat. Tidak
terdapat perbaikan klinis dan virologis pada pasien yang terinfeksi
HDV yang mendapatkan terapi famcivlovir, lamivudin, adefovir, dan
ribavirin, baik berupa monoterapi maupun terapi kombinasi dengan
interferon. Pada infeksi hepatitis D kronik, terapi yang digunakan
adalah interferon (Sanityoso dan Christine, 2014).
g. Komplikasi
Beban klinis infeksi dengan virus HDV dan hepatitis B yang
dapat menyebabkan sirosis, hepatoseluler karsinoma dan kematian

51

telah menyebabkan beberapa diagnostik pendekatan untuk infeksi ini .


Adanya infeksi ini sangat penting karena dengan mengetahui adanya
infeksi HDV pada pasien terinfeksi HBV memungkinkan membuat
prognosis yang akurat. Selain itu, pasien dengan infeksi akut HDV
berada pada risiko yang lebih tinggi pada berkembang menjadi
hepatitis fulminan yang parah, dan pasien yang terinfeksi HDV kronis
sangat berisiko terjadinya sirosis dan gagal hati (Hajiani dan Avian,
2011).
h. Prognosis
Perjalanan penyakit Hepatitis D mengikuti perjalanan penyakit
Hepatitis B. Artinya, bila Hepatitis B yang diderita penderita bersifat
akut dan lalu sembuh, VHD juga akan hilang seluruhnya. Namun bila
VHD menginfeksi penderita yang sudah menderita Hepatitis B kronik,
maka penderita tersebut juga akan menderita Hepatitis D kronik.
Gejala infeksi Hepatitis D sama persis dengan Hepatitis B, namun
kehadiran virus ini terbukti mempercepat proses fibrosis pada hati,
meningkatkan risiko kanker hati, dan mempercepat dekompensasi
pada keadaan sirosis hati (Wurie et al, 2005).
i. Pencegahan
Sampai saat ini vaksin terhadap VHE masih belum ditemukan,
sehingga pencegahan Hepatitis E lebih ditekankan pada upaya-upaya

52

peningkatan hygiene lingkungan. Tindakan-tindakan yang bisa


diambil kurang lebih serupa dengan pencegahan non-spesifik untuk
Hepatitis A (Dinkes RI, 2012).
Studi pada populasi telah menunjukkan bahwa orang- orang
yang pernah menderita Hepatitis E sebelumnya cenderung tidak
terkena lagi pada wabah berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa
kekebalan terhadap Hepatitis E yang didapat dari infeksi sebelumnya
kemungkinan berlaku untuk seumur hidup (Dinkes RI, 2012).
5. Infeksi Hepatitis E Virus (HEV) pada Anak
a. Epidemiologi
Masa inkubasi HEV rata-rata 40 hari. Distribusinya luas, dalam
bentuk epidemik dan endemik. HEV RNA terdapat di serum dan tinja
selama fase akut. Hepatitis sporadik sering pada dewasa muda di
negara sedang berkembang. Penyakit epidemik dengan sumber
penularan melalui air. Intrafamilial, kasus sekunder jarang terjadi.
Dilaporkan adanya transmisi maternal-neonatal. Di negara maju sering
berasal dari orang yang kembali pulang setelah melakukan perjalanan,
atau imigran baru dari daerah endemik (Sudoyo dkk, 2006).
b. Struktur Virus
HEV termasuk dalam klasifikasi dengan transmisi secara
enteric. Virus ini tanpa selubung, tahan terhadap cairan empedu,

53

ditemukan di tinja, tidak duhubangkan dengan penyakit hati kronik,


dan tidak terjadi viremia yang berkepanjangan atau kondisi karier
intestinal (Sudoyo dkk, 2006).
Kemungkinan diklasifikasi pada family yang berbeda yaitu
pada virus yang menyerupai hepatitis E.Diameter 27-34 nm. Molekul
RNA linier; 7,2 kb. Genome RNA dengan tiga overlap ORF (open
reading frames) mengkode protein structural dan protein nonstruktural yang terlibat pada replikasi HEV. RNA replicase, helicase,
cysteine protease, methyltransferase. Pada manusia hanya terdiri atas
satu serotype, empat sampai lima geontipe utama. Lokasi netralisasi
imunodominan pada protein structural dikodekan oleh ORF kedua.
Dapat menyebar pada sel embrio diploid paru. Replikasi hanya terjadi
pada hepatosit (Suneetha, 2012).

54

c. Patogenesis
Patogenesis infeksi virus hepatitis E dibagi menjadi masa
inkubasi, fase replikasi, fase progresivitas penyakit. Masa inkubasi
dari onset paparan sampai muncul gejala klinis kurang lebih 28-40
hari. Pada studi eksperimental transmisi virus hepatitis E pada
manusia, enzim hati meningkat mencapai puncak pada 42-46 hari
setelah masuknya virus ke dalam tubuh. Pada studi ekperimental kera
rhesus yang hamil, masa inkubasi bervariasi dari 1-2 minggu sampai
4-5 minggu (Sanityoso dan Christine, 2014).
Target utama hepatitis E adalah hepatosit. HEV ditemukan di
dalam plasma dalam jumlah yang kecil selama infeksi. Empedu
merupakan sumber utama ditemukannya HEV di feses (Sanityoso dan
Christine, 2014).
d. Manifestasi Klinik
Spektrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak nyata
sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut. Sindrom
klinis mulai dari gejala prodromal yang non spesifik dan gejala
gastrointestinal, seperti (Sudoyo dkk, 2006).:
1) Malaise, anoreksia, mual dan muntah
2) Gejala flu, faringitis, batuk coryza, fotofobia, sakit kepala, dan
myalgia.

55

Awitan gejala cenderung muncul mendadak. Gejala prodromal


menghilang pada saat timbul kuning, tetapi gejala anroeksia, malaise,
dan kelemahan dapat menetap. Ikterus didahului dengan kemunculan
urin berwarna gelap, pruritus (biasanya ringan dan sementara) dapat
timbul ketika icterus meningkat. Pemeriksaan fisik menunjukkan
pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati. Splenomegaly ringan
dan limfadenopati pada 15%-20% pasien (Sudoyo dkk, 2006).
e. Laboratorium dan Pencitraan
Kasus hepatitis E secara klinis tidak dapat dibedakan dari jenis
lain hepatitis virus akut. Diagnosis infeksi hepatitis E biasanya
didasarkan pada deteksi IgM dan IgG antibodi spesifik terhadap virus
dalam darah. Tes tambahan mencakup chain transcriptase polymerase
reaksi (RT-PCR) untuk mendeteksi hepatitis E virus RNA dalam
darah, tapi pengujian ini mungkin memerlukan fasilitas laboratorium
khusus (WHO, 2014).
f. Tata Laksana
Tidak ada pengobatan khusus untuk infeksi hepatitis E yang
berlangsung kurang dari enam bulan (akut). Hal ini dianggap sebagai
self limiting disease. Kebanyakan anak yang menderita hepatitis E
berhasil diobati dengan terapi anti-viral menggunakan obat Ribavirin
(Stapleton, 1994).

56

Hepatitis E akut pada anak imunokompeten biasanya hanya


membutuhkan pengobatan simptomatik, karena hampir semua mampu
membersihkan virus tersebut secara spontan. Sebuah laporan
menunjukkan perbaikan yang signifikan dari enzim hati dan fungsi
pada pasien dengan hepatitis E akut yang diobati dengan ribavirin
selama 21 hari. Meskipun terapi ribavirin merupakan kontraindikasi
pada kehamilan karena teratogenik, risiko tidak diobati HEV untuk ibu
dan janin tinggi (Hoofnagle & Nelson, 2012).
Penyakit akut dapat menyebabkan anoreksia, mual, dan
muntah, predisposisi pasien anak dehidrasi. Gejala ini cenderung lebih
buruk di sore atau malam hari. Rawat inap harus dipertimbangkan
untuk pasien dengan dehidrasi. Baik multivitamin atau persyaratan
diet khusus juga diperlukan (Purcell & Emerson, 2008).
Dapat dilakukan transplantasi pada infeksi HEV kronis,
langkah pertama yaitu untuk mengurangi terapi imunosupresif, seperti
pengurangan hasil imunosupresi dalam pemberantasan virus pada 30%
pasien. Terapi antivirus harus dipertimbangkan untuk pasien
imunosupresif. Meskipun data terbatas, monoterapi ribavirin (6001000 mg / hari) selama 3 bulan tampaknya menjadi pilihan pengobatan
pertama untuk pasien anak dengan hepatitis E (Hoofnagle & Nelson,
2012).

57

Pengobatan dengan pegylated interferon alfa untuk 3-12 bulan


telah menyebabkan pembukaan berkelanjutan HEV RNA pada pasien
dengan hepatitis E kronis yang menjalani transplantasi hati. Namun,
terapi interferon dapat menyebabkan efek samping yang signifikan dan
penolakan organ pada penerima transplantasi, terutama mereka yang
telah mengalami jantung atau transplantasi ginjal (Purcell & Emerson,
2008).
g. Komplikasi
Dapat berupa jaundice dan liver disease. HEV disertai dengan
prevalensi kematian yang tinggi pada ibu hamil (Behrman dan Arvin,
1996).
h. Prognosis
Penyakit ini biasanya ringan dan sembuh dalam 2 minggu,
tanpa meninggalkan gejala sisa. Tingkat kematian adalah 0,1-1%,
kecuali pada wanita hamil. Kelompok ini dilaporkan memiliki tingkat
kematian mendekati 20%. Hepatitis E biasanya sembuh sendiri selama
beberapa minggu atau bulan (Kliegman, 2000).
i. Pencegahan
Manajemen preventif dengan mengonsumsi air minum yang
bersih, sanitasi yang baik, dan menjaga kebersihan pribadi anak. Jika
berpergian ke daerah endemis harus menghindari konsumsi air minum

58

atau minuman lain yang mungkin terkontaminasi dan harus


menghindari makan kerang mentah. Pemanasan daging babi ke suhu
internal 71 C selama 20 menit diperlukan untuk benar-benar
membunuh virus hepatitis E (HEV). Merebus air hingga matang dapat
mencegah infeksi (Mushahwar, 2008).
Hepatitis E dapat dicegah dengan vaksinasi. Studi di Nepal dan
China telah menunjukkan keberhasilan 95% dari genotipe 1 vaksin
HEV rekombinan dalam mencegah infeksi dan penyakit klinis
(Mushahwar, 2008).
6. Infeksi Hepatitis G Virus (HGV) pada Anak
a. Epidemiologi
GBV-C, atau hepatitis G virus (HGV), ditemukan oleh dua
kelompok independen peneliti dalam studi kasus hepatitis non-A, nonB, non-E. Penemuan dari agen virus baru yang terkait dengan penyakit
hati telah menarik perhatian karena fakta bahwa ada hepatitis yang
etiologinya

tidak

diketahui.

Hal

ini

menentukan

pentingnya

penyelidikan yang bertujuan komprehensif mempelajari sifat virus,


hubungannya dengan tingkat penyakit liver dan infeksi di negaranegara yang berbeda dunia (Reshetnyak et al, 2008).
Pada tahun 1966, ahli bedah berusia 34 tahun, G. Barker (GB)
menderita sakit hepatitis akut dengan aktivitas enzimatik moderat dan

59

ikterik selama tiga minggu. Darah pasien diambil pada ikterik hari ke
3 yang mana digunakan untuk inokulasi intravena bukan manusia
primata (marmoset telanjang berwajah, yang termasuk keluarga
Callithricidae). Hepatitis tercatat di semua hewan ketika dilakukan
pada empat monyet ke monyet. Temuan tersebut menunjukkan bahwa
penyebab hepatitis ini adalah agen virus yang belum teridentifikasi
bernama GBV (Reshetnyak et al, 2008).
Investigasi dari agen GB dimulai kembali 25 tahun kemudian,
ketika metode baru untuk virus secara kualitatif analisis dan
pengakuan berkembang. Dari serum yang diambil dalam tahap akut
hepatitis dari marmoset terinfeksi, ditemukan mengandung dua genom
virus: GBV-A dan GBV-B milik virus erat terkait dari Famili
Flaviviridae. Kedua virus mampu mereplikasi di marmoset, tetapi
hanya GBV-B yang dapat menyebabkan hepatitis. Upaya untuk
mendeteksi GBV-A atau GBV-B pada manusia gagal. Sebuah virus
ketiga GBV-C segera diisolasi dari bahan pasien dengan cara primer
yang dirancang khusus ke bagian kekal dari wilayah NS3 dari virus
GBV-A, GBV-B dan HCV. GBV-C ditugaskan ke kelompok GBV
seperti itu sedikit mirip dengan protein GBV-B dalam immunoassay
dan sebagian besar identik dengan GBV-A pada urutan nukleotida.
GBV-C terbukti secara genetik terkait dengan isolat independen lain

60

yang saat awal telah disebut HGV. Kedua virus ini hampir tidak bisa
dibedakan dalam diagnosis rutin oleh polymerase chain reaction
(PCR). Karena tanda-tanda GBV-C / HGV menjadi lebih umumnya
terdeteksi pada pasien dengan hepatitis dan orang-orang beresiko
untuk hepatitis parenteral, hepatitis G dianggap entitas hepatotropic
independen (Reshetnyak et al, 2008).
Percobaan yang menginfeksi simpanse dengan plasma yang
mengandung RNA GBV-C yang diambil dari pasien dengan hepatitis
G (CHG) kronis memberikan hasil yang agak tak terduga. Semua
hewan yang terinfeksi viremia dikembangkan terus-menerus dan
berkelanjutan selama 20 bulan. Namun, ada kasus menunjukkan
peningkatan kadar enzim indikator atau terdeteksi perubahan jaringan
hati yang abnormal dalam spesimen biopsi hati yang diambil secara
mingguan pada semua tindak lanjut. Kera jawa juga diamati memiliki
viremia tanpa tanda-tanda kerusakan hati. Sebaliknya, tanda-tanda
hepatitis dalam bentuk hyperenzymemia dan nekrotik dan inflamasi
perubahan dalam hati muncul hari ke 30 setelah inokulasi dari
marmoset yang juga telah menerima bahan yang mengandung GBV-C
(Reshetnyak et al, 2008).
Investigasi

berbasis

skrining

serologis

lanjut

telah

menunjukkan bahwa isolat GBV-C adalah luas terjadinya. Namun,

61

tidak ada bukti untuk asosiasi viremia dengan perkembangan beberapa


penyakit yang dikenal, seperti hepatitis (Reshetnyak et al, 2008).
Infeksi HGV umum di dunia. GBV-C terdeteksi di rata-rata
1,7% populasi. GBV-C, seperti virus hepatitide parenteral lainnya,
terjadi universal, tetapi beragam. GBV-C terdeteksi pada semua
kelompok etnis. Hasil analisis yang memeriksa 13.610 donor darah
yang dijelaskan dalam 30 laporan mengungkapkan adanya RNA virus
di 649 (4,8%) kasus. Termasuk di Kaukasia (4,5%), Asia (3,4%), dan
Afrika (17,2%). Penulis mengusulkan untuk menguji sampel darah
karena risiko tinggi infeksi GBV-C (Reshetnyak et al, 2008).
Sebuah penyelidikan dari prevalensi HGV antara utara-timur
pada donor darah Thailand membawa HBsAg dan anti-HCV
mengungkapkan frekuensi tinggi dari GBV-C RNA (masing-masing
10% dan 11%) di koinfeksi dibandingkan dengan kontrol (0%)
(Reshetnyak et al, 2008).
Pengembangan metode deteksi anti-E2 telah dipromosikan
definisi lengkap prevalensi GBV-C. Antibodi E2 beberapa kali lebih
sering terdeteksi dari RNA dalam donor darah (Reshetnyak et al,
2008).
Penggunaan darah yang terinfeksi dan produk-produknya
mempromosikan prevalensi HGV. Di Amerika Serikat, 18% -20% dari

62

semua preparat darah terinfeksi GBV-C, di antaranya berada di plasma


33% -84%. Di Inggris, 94%-100% dari persiapan faktor pembekuan
terinfeksi virus ini. Terlepas dari kenyataan bahwa infeksi ini secara
persisten hadir dalam sejumlah besar donor darah yang sehat dan lebih
dari 35% dari yang terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV),
World Food and Drug Administration menganggap tidak perlu untuk
merekomendasikan darah donor untuk diuji untuk serum RNA GBV-C
(Reshetnyak et al, 2008).
b. Struktur Virus
Genom virus diwakili oleh single rantai RNA dengan polaritas
positif. Genom GBV-C mirip dengan RNA virus hepatitis C (HCV),
yaitu gen struktural berada di wilayah genom 5 dan gen nonstruktural berada di ujung 3'. Wilayah diterjemahkan di ujung 5' dapat
berfungsi sebagai situs embarkasi ribosom internal yang menjamin
terjemahan dari daerah coding RNA. Luasnya genom viral yang
berbeda isolat rentang nukleotida 9103-9392. Sebuah kerangka baca
terbuka membawa informasi mengenai polipeptida tertentu Virus
terdiri dari 2873-2910 residu asam amino. GBV-C kode RNA untuk
dua protein struktural (E1 dan E2) yang envelope protein. Tidak
seperti HCV, proporsi glikosilasi E2 jauh lebih rendah di GBV-C. Hal
ini memiliki total tiga situs N-glikosilasi potensial dibandingkan

63

dengan HCV E2, yang memiliki sebelas situs. Struktur lengkap


nukleokapsid virus masih akan ditentukan sebagai daerah pengkode
genom untuk protein inti belum teridentifikasi belum (Reshetnyak et
all, 2008).
Lima protein non-struktural: NS2, NS3, NS4b, NS5a, dan
NS5B dengan berat molekul 20, 70, 28, 55, dan 57 kDa, masingmasing, telah ditemukan. Protein ini melakukan fungsi protease,
helikase, dan RNA-dependent RNA polimerase. Urutan dari daerah E1
dan E2 telah menunjukkan bahwa mereka tidak hypervariable seperti
daerah masing-masing dari HCV. Yang menarik adalah data yang
diperoleh selama studi kepadatan apung partikel GBV-C dalam
gradien sakarosa sebelum dan setelah pengobatan dengan deterjen
nonionik Tween-80. Data ini menunjukkan bahwa ada lipid-envelope
pada virus yang berkaitan dengan lipid mengurangi pembentukan
antibodi (Reshetnyak et al, 2008).
c. Patogenesis
Penelitian eksperimental telah menunjukkan HGV yang dapat
ditularkan oleh serum yang terinfeksi ke berbagai primata nonmanusia, termasuk simpanse dan kera (Florida Department of Health,
2014).

64

HGV/GBV-C ditularkan melalui darah yang terinfeksi atau


produk darah. Dapat pula ditularkan melalui berbagi barang pribadi
yang terkontaminasi dengan virus dan perilaku lain yang sejenis
(parenteral), dari ibu-ke-bayi yang baru lahir pada anak saat lahir
(vertikal), atau berbagai kegiatan seksual (Public Health Agency of
Canada, 2004).
HGV virus dapat ditularkan melalui (Public Health Agency of
Canada, 2004):
1) Kontak seksual
2) Kontak dengan darah
3) Kontak dengan jarum yang terkontaminasi, terutama peralatan
narkoba suntikan; item lainnya seperti instrumen tato dan body
piercing, pisau cukur, sikat gigi dan mungkin terkontaminasi
dengan darah yang terinfeksi
4) Seorang ibu yang terinfeksi kepada bayinya saat melahirkan
5) Pemaparan yang disengaja melalui jarum suntik
6) Kurangnya pengendalian infeksi dalam pengaturan perawatan
kesehatan
GBV-C menular secara parenteral. Kasus akut posttransfusion
hepatitis

bersama

dengan

ditingkatkan

aktivitas

serum

aminotransferase dan deteksi darah GBV-C RNA tanpa adanya

65

penanda lain dari hepatitides virus telah didokumentasikan. Bukti


tidak langsung bahwa HGB ditransmisikan secara parenteral terletak
pada deteksi lebih sering dalam kelompok berisiko tinggi untuk
infeksi virus hepatitis dengan rute yang sama transmisi, serta
peningkatan risiko infeksi pada pasien yang diobati dengan beberapa
prosedur hemodialisis dan unit yang lebih tinggi produk darah yang
ditransfusikan (Reshetnyak et al, 2008).
Mungkin ada transmisi seksual pada hepatitis G, seperti
hepatitis B dan C. Hal ini dibuktikan oleh tingginya tingkat deteksi
GBV-C RNA pada homoseksual dan pelacur dengan besar presentase
masing-masing 13,4% -63,0% dan 13,9%-24,8%. Yeo et al.,
mempelajari transmisi seksual risiko pada 161 pasien hemophilia.
21% dari perempuan pada kontak seksual dengan mereka yang
ditemukan GBV-C RNA seropositif. Deteksi lebih sering penanda
GBV-C pada orang pada peningkatan risiko untuk seksual penyakit
menular juga bukti tidak langsung untuk perusahaan penularan
seksual. Wachtler et al mengungkapkan HGV RNA di 27% dan antiE2 di 35% dari yang terinfeksi HIV, sedangkan pada kelompok
kontrol ini adalah 2% dan 6%, masing-masing (Reshetnyak et al,
2008).

66

Transmisi vertikal GBV-C dari terinfeksi ibu ke bayi mungkin


sekarang dianggap terbukti. Mungkin ada infeksi intranatal bayi saat
melahirkan oleh bagian ibu, seperti ditegaskan oleh data pada
penurunan yang signifikan dalam tingkat infeksi neonates setelah
operasi caesar dari ibu mereka. Ada juga postnatal infeksi GBV-C.
Pada memeriksa 288 ibu, Lefrere et al mengungkapkan bahwa 89%
dari GBV-C-positif bayi terinfeksi pada 3 bulan setelah kelahiran
(Reshetnyak et al, 2008).
Tingkat viremia merupakan faktor yang sangat penting dalam
penularan virus. Dengan mengikuti 24 bayi yang lahir dari ibu dengan
tingkat RNA GBV-C lebih dari 106 salinan/mL, Ohto et al
mengungkapkan GBV-C di 23 (96%) dari mereka. Indeks viremia di
ibu yang bayinya terbukti terinfeksi secara signifikan lebih tinggi
dibanding mereka yang bayinya yang seronegatif (P<0,001).
Kebanyakan bayi tidak memiliki tanda-tanda klinis atau biokimia
penyakit hati meskipun ketekunan satu tahun HGV. Menurut
pendapat Wejstal et al, transmisi vertikal jumlah GBV-C 75%-80%
dari kasus dan HCV 2.8%-4,2% (P <0,001). Sering transmisi ibu-bayi
GBV-C dapat menjelaskan prevalensi tinggi virus di antara populasi
orang dewasa yang berisiko rendah parenteral dan transmisi seksual.
Deteksi GBV-C meningkat sesuai dengan usia. HGV terdeteksi pada

67

9% dan 28,6% pada anak-anak masing-masing di bawah 15 tahun dan


di atas 16 tahun, (Reshetnyak et al, 2008).
d. Manifestasi Klinik
Sebagian besar penderita yang tertular HGV tidak mempunyai
gejala klinis. Hepatitis akut karena HGV gejalanya lebih ringan
dibandingkan dengan infeksi akut karena HBV atau HCV. Ikterus
sering tidak dikeluhkan dan ALT hanya sedikit meningkat. Pada
bentuk yang lebih berat terjadi peningkatan aktivitas transaminase
berlangsung lama (Djumhana, 2011).
Infeksi ganda kronis HGV dan HCV lebih sering dijumpai
daripada infeksi ganda HGV dan HBV. Pada infeksi ganda ini
aktivitas enzim ALT sering lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi
tunggal. Tetapi gambaran biokimiawi tersebut masih belum jelas
apakah karena HGV atau bukan. Adanya hepatitis fulminan karena
infeksi HGV pernah dilaporkan, namun hal ini masih diragukan
apakah hepatitis fulminant ini karena infeksi HGV saja atau ada sebab
lain yang menyebabkan hepatitis fulminan pada orang pengidap HGV
sebelumnya (Djumhana, 2011).
Hasil

penelitian

lainnya

menyatakan

bahwa

gambaran

histopatologi koinfeksi HGV pada pengidap HCV kronis tidak berbeda


dibandingkan dengan infeksi HCV tunggal (Djumhana, 2011).

68

Gambaran klinis infeksi GBV-C umumnya mirip dengan jenis


subklinis dan anicteric hepatitis dengan kegiatan aminotransferase
normal atau rendah. Hepatitis GBV-C terkait berjalan dengan
parameter biokimia normal pada 75% pasien. Ada laporan tentang
terjadinya akut, fulminant dan kronis (ringan dan sedang) hepatitis dan
fibrosis hati. Beberapa penulis catatan usia yang lebih muda dari
pasien yang terinfeksi GBV-C. Masa inkubasi rata-rata hepatitis G
virus akut 14-20 hari. Hasil dari hepatitis akut mungkin: (1) pemulihan
dengan hilangnya serum GBV-C RNA dan munculnya anti-E2; (2)
pengembangan hepatitis kronis (CH) dengan serum GBV-C RNA
yang terus-menerus terdeteksi; (3) adanya GBV-C RNA tanpa tandatanda biokimia atau histologis penyakit hati (Djumhana, 2011).
SGPT (ALT) aktivitas di GBV-C seperti HCV, tidak sesuai
dengan tingkat viremia dan tingkat keparahan perubahan histologis
hati. Dengan memeriksa 1.075 pasien dengan hypertransaminasemia
terisolasi selama 6 bulan. Berasain et al mengungkapkan GBV-C RNA
di 74 (6,9%) pasien. Hanya satu (0,09%) pasien adalah monoinfeksi.
Ada juga bukti dua kali lipat untuk peningkatan dalam aktivitas alkali
fosfatase (AP) dan -glutamil transpeptidase (-GTP) di GBV-C
positif (Djumhana, 2011).

69

e. Laboratorium dan Pencitraan


Tes HGV antara lain (Cheung et al, 1997):
1) Tes PCR: untuk mendeteksi RNA virus.
2) Tes ELISA: untuk mendeteksi antibodi pada rekombinan dugaan
HGV envelope protein E2.
f. Tata Laksana
Tidak ada data tentang perawatan pasien yang terinfeksi HGV
saja, karena peran HGV sebagai penyebab hepatitis virus kronis belum
ditentukan. Studi dari pasien koinfeksi HCV yang diobati dengan
interferon menunjukkan bahwa HGV sensitif terhadap terapi
interferon. Tanaka dkk 1996, menemukan bahwa hanya dua dari
sembilan pasien koinfeksi HGV / HCV memiliki respon HGV
berkelanjutan terhadap terapi interferon. Bukan pada pasien yang
bebas HCV RNA. Tiga dari pasien yang telah mengalami respon
terhadap HCV tidak jelas HGV RNA nya, tetapi tingkat SGPT tetap
normal meskipun munculnya kembali HGV RNA setelah terapi
interferon. Studi lain menunjukkan bahwa tingkat RNA HGV
menurun dan bahkan menjadi tidak terdeteksi selama terapi antara dua
pasien koinfeksi HBV dan enam pasien dengan HCV diobati dengan
interferon. Namun, HGV RNA kembali ke tingkat pretreatment pada

70

semua pasien setelah interferon dihentikan, termasuk pasien koinfeksi


HCV dengan SVR dengan SGPT normal. Semua pasien koinfeksi
HGV RNA negatif pada akhir terapi interferon tetapi hanya tiga yang
tetap setelah 1 tahun follow-up, dan responnya berasal dari HCV itu
sendiri. Berbeda dengan interferon, ribivarin memiliki sedikit efek
pada serum tingkat HGV RNA (Cheung et al, 1997).
g. Komplikasi
Pada saat diagnosis, biasanya infeksi HGV ringan dan berlangsung
singkat, tidak ada bukti komplikasi yang serius. Namun karena
perjalanan penyakitnya belum begitu diketahui mungkin saja HGV
seperti virus hepatitis lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan hati
serius (Wijayakusuma, 2008).
h. Prognosis
Infeksi karena HGV mempunyai prognosis baik. Ada laporan
yang menyatakan bahwa ko-infeksi HGV dan HBV atau ko-infeksi
HGV dan HCV akan memperburuk prognosis, tetapi para peneliti lain
menyatakan bahwa adanya HGV pada penderita hepatitis C kronis
tidak mempunyai pengaruh terhadap perjalanan penyakit maupun hasil
terapi untuk hepatitis C (Djumhana, 2011).

71

i. Pencegahan
Dengan menghindari transfusi darah. Sedikit yang diketahui
tentang transmisi, epidemiologi, dan penyakit yang merangsang
kapasitas HGV kecuali terkadang menghasilkan hepatitis fulminan
non A E. Namun, peran virus ini dalam penyakit hati tidak jelas
ditunjukkan sejak ko-infeksi sering terjadi oleh virus hepatotropic
lainnya. Namun apapun patogenisitas nyata HGV, penemuan virus
baru ini mungkin menular melalui transfusi darah, menimbulkan
masalah skrining darah dan pencegahan penularan (Ebied, 2005).
HGV ditularkan secara seksual. Bayi baru lahir dapat
memperoleh virus dari ibu mereka, tetapi bayi dapat mentoleransi
dengan baik dan mengembangkan imunitas tanpa menampakkan
gejala. Tetapi informasi tentang perjalanan penularan tersebut masih
terbatas. Sehingga perlu dilakukan deteksi dini pada ibu hamil (Horn,
2005)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Epidemiologi penyebaran
a. HAV: Infeksi virus hepatitis A pada negara berkembang umumnya
terjadi pada usia anak-anak hingga dewasa, sedangkan pada negara
maju, dengan endemisitas rendah, infeksi virus hepatitis A pada
umumnya terjadi pada usia dewasa.
b. HBV: Di seluruh dunia, daerah prevalensi infeksi HBV tertinggi
adalah Afrika subsahara, Cina, bagian-bagian Timur Tengah, lembah
Amazone dan kepulauan Pasifik.
c. HCV: Sekitar 2% -3% (130-170 juta) dari populasi dunia telah
terinfeksi HCV: Prevalensi yang paling tinggi terdapat di negara
Mesir.
d. HDV: Infeksi HDV tidak dapat terjadi tanpa HBV. Penularan biasanya
terjadi dengan kontak intra familial atau intim pada daerah prevalensi
yang tinggi, terutama adalah Negara yang sedang berkembang.

72

73

e. HEV: Distribusinya luas, dalam bentuk epidemik dan endemik. Di


negara maju sering berasal dari orang yang kembali pulang setelah
melakukan perjalanan, atau imigran baru dari daerah endemik.
f. HGV: Infeksi HGV umum di dunia. GBV-C terdeteksi di rata-rata
1,7% populasi.
2. Struktur penyakit
a. HAV: 27-nm ssRNA virus.
b. HBV: 42-nm dsDNA virus.
c. HCV: 30 sampai 60-nm ssRNA virus.
d. HDV: 36-nm circular ssRNA hybrid partikel dengan lapisan HBsAg.
e. HEV: 27-34 nm ssRNA virus.
f. HGV: 50- to 100-nm ssRNA virus.
3. Patogenesis penyakit
a. HAV: HAV ditularkan melalui mulut (melalui transmisi fecal-oral)
dan bereplikasi di hati. Setelah 10-12 hari, virus ada di dalam darah
dan dikeluarkan melalui sistem bilier ke tinja.
b. HBV: Langkah pertama dalam proses hepatitis virus akut adalah
infeksi hepatosit oleh HBV, menyebabkan munculnya antigen virus
pada permukaan sel. Yang paling penting dari antigen virus ini
mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HbeAg, pecahan
produk HBcAg, Antigen-antigen ini, bersama dengan protein

74

histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I, membuat sel suatu sasaran


untuk melisis sel-T sitotoksis.
c. HCV: HCV tersebar dari darah yang telah terkontaminasi yang
kemudian sampai pada hati melalui proses sirkulasi darah.
d. HDV: Infeksi HBV dan HDV dikaitkan dengan kerusakan hati yang
lebih parah dari infeksi HBV. Perubahan patologis pada hepatitis D
terbatas pada hati, satu-satunya organ yang menunjukan replikasi
HDV. Perubahan histologis terdiri dari nekrosis hepatoseluler dan
inflammation.
e. HEV: Patogenesis infeksi virus hepatitis E dibagi menjadi masa
inkubasi, fase replikasi, fase progresivitas penyakit.
f. HGV: HGV/GBV-C ditularkan melalui darah yang terinfeksi atau
produk darah. Dapat pula ditularkan melalui berbagi barang pribadi
yang terkontaminasi dengan virus dan perilaku lain yang sejenis
(parenteral), dari ibu-ke-bayi yang baru lahir pada anak saat lahir
(vertikal), atau berbagai kegiatan seksual.
4. Manifestasi klinis
a. HAV: rasa lesu/lemah badan, panas, mual sampai muntah, anoreksia,
nyeri perut sebelah kanan, urine berwarna coklat, sclera kuning,
kemudian seluruh badan.

75

b. HBV: Gejala prodormal adalah urtikaria, artralgia, dan arteritis. Tidak


jarang dijumpai komplikasi berupa nefropati membranosa, penyakit
serum (serum sickness), krioglobinemia campuran dan sindrom
vaskulitis.
c. HCV: Gejala yang berkembang pertama kali ditemukan pada luar hati
yang paling umum berhubungan dengan sendi, otot, dan kulit. Gejala
khas pada komplikasi dari penyakit hati dapat berhubungan dengan
disfungsi sintetis dan hipertensi portal.
d. HDV: Gejala hepatitis D meliputi: ikterus pada sclera, demam, mual
muntah, nyeri perut kuadran kanan atas, urine teh berwarna, pruritus,
perdarahan (jarang), encephalopathy (jarang), petechie dengan memar
(jarang).
e. HEV: Spektrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak
nyata sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut.
Sindrom klinis mulai dari gejala prodromal yang non spesifik dan
gejala gastrointestinal.
f. HGV: Sebagian besar penderita yang tertular HGV tidak mempunyai
gejala klinis. Hepatitis akut karena HGV gejalanya lebih ringan
dibandingkan dengan infeksi akut karena HBV atau HCV. Ikterus
sering tidak dikeluhkan dan ALT hanya sedikit meningkat. Pada

76

bentuk yang lebih berat terjadi peningkatan aktivitas transaminase


berlangsung lama.
5. Hasil laboratorium dan pencitraan
a. HAV: Anti HAV.
b. HBV: HBsAg, HBcAG, HBeAG, anti HB, anti HBc.
c. HCV: Anti HCV (IgG, IgM), RIBA, PCR assay untuk HCV RNA.
d. HDV: Anti HDV, RNA.
e. HEV: Anti HEV.
f. HGV: RNA dengan RT-PCR assay.
6. Tata laksana
a. HAV: Hingga sekarang belum ada pengobatan spesifik bagi hepatitis
A virus akut. Terapi simtomatis dan penambahan vitamin dengan
makanan tinggi kalori protein dapat di berikan pada penderita yang
mengalami penurunan berat badan atau malnutrisi.
b. HBV: Untuk hepatitis B yang akut dan pasien mempunyai gejala
klinis, dapat diberikan antiviral seperti lamivudine. Sedangkan untuk
hepatitis B yang kronis dapat diberikan interferon.
c. HCV: Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan
peningkatan nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Pengobatan
hepatitis C kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan
ribavirin.

77

d. HDV: Virus hepatitis D bergantung pada HBsAg dan bukan terhadap


replikasi virus hepatitis B, sehingga sintesisnya tidak dipengaruhi oleh
kadar HBV-DNA dalam serum. Pada infeksi hepatitis D kronik, terapi
yang digunakan adalah interferon.
e. HEV: Tidak ada pengobatan khusus untuk infeksi hepatitis E yang
berlangsung kurang dari enam bulan (akut). Hal ini dianggap sebagai
self limiting disease. Kebanyakan anak yang menderita hepatitis E
berhasil diobati dengan terapi anti-viral menggunakan obat Ribavirin.
f. HGV: Tidak ada data tentang perawatan pasien yang terinfeksi HGV
saja, karena peran HGV sebagai penyebab hepatitis virus kronis belum
ditentukan. Studi dari pasien koinfeksi HCV yang diobati dengan
interferon menunjukkan bahwa HGV sensitif terhadap terapi
interferon.
7. Komplikasi
a. HAV: Komplikasi pada hepatitis A yaitu diantaranya hepatitis virus
kolestasis dan hepatitis virus fulminan.
b. HBV: Bentuk yang ringan dari jenis penyakit hepatitis kronik
persisten, dan sewaktu-waktu akan bisa berubah menjadi progresif
kemudian hepatitis kronik yang aktif dan juga bisa berubah menjadi
sirosis hati.

78

c. HCV: Sekitar 85% pasien hepatitis C akut akan berkembang menjadi


kronis.
d. HDV: Pasien dengan infeksi akut HDV berada pada risiko yang lebih
tinggi pada berkembang menjadi hepatitis fulminan yang parah, dan
pasien yang terinfeksi HDV kronis sangat berisiko terjadinya sirosis
dan gagal hati.
e. HEV: Dapat berupa jaundice dan liver disease.
f. HGV: Pada saat diagnosis, biasanya infeksi HGV ringan dan
berlangsung singkat, tidak ada bukti komplikasi yang serius. Namun
karena perjalanan penyakitnya belum begitu diketahui mungkin saja
HGV seperti virus hepatitis lainnya yang dapat menyebabkan
kerusakan hati serius.
8. Prognosis
a. HAV: Hepatitis A biasanya memiliki prognosis baik kecuali yang
fulminan.
b. HBV: 95-99% dari pasien hepatitis B yang akut, sembuh secara total.
Namun, prognosis penyakit hepatitis B memburuk pada pasien yang
lanjut usia dan pasien yang mempunyai penyakit lain. Bagi penderita
yang telah didiagnosa menderita penyakit hepatitis B yang kronis,
prognosisnya baik jika pasien mendapat terapi yang baik sehingga
dapat memperbaiki kondisi pasien.

79

c. HCV: Pada pasien hepatitis C akut yang sembuh, RNA HCV tidak
ditemukan lagi dalam beberapa minggu dan nilai ALT akan kembali
normal.
d. HDV: Perjalanan penyakit Hepatitis D mengikuti perjalanan penyakit
Hepatitis B. Artinya, bila Hepatitis B yang diderita penderita bersifat
akut dan lalu sembuh, VHD juga akan hilang seluruhnya.
e. HEV: Penyakit ini biasanya ringan dan sembuh dalam 2 minggu, tanpa
meninggalkan gejala sisa.
f. HGV: Infeksi karena HGV mempunyai prognosis baik.
9. Mengetahui pencegahan penyakit
a. HAV: Hidup bersih dan sehat dan pemberian vaksinasi.
b. HBV: Pencegahan umum yang mudah di laksanakan oleh seluruh
lapisan masyarakat dengan jalan meningkatkan kesehatan lingkungan.
meningkatkan gizi, dan lain lain. Selain itu dapat pula dengan
pemberian kekebalan melalui imunisasi baik imunisasi aktif maupun
pasif.
c. HCV: Uji saring yang efektif terhadap donor darah, jaringan, maupun
organ
d. HDV: Sampai saat ini vaksin terhadap VHE masih belum ditemukan,
sehingga pencegahan Hepatitis E lebih ditekankan pada upaya-upaya
peningkatan hygiene lingkungan. Tindakan-tindakan yang bisa

80

diambil kurang lebih serupa dengan pencegahan non-spesifik untuk


Hepatitis A.
e. HEV: Manajemen preventif dengan mengonsumsi air minum yang
bersih, sanitasi yang baik, dan menjaga kebersihan pribadi anak.
f. HGV: Dengan menghindari transfusi darah.

B. Saran
1. Meningkatkan deteksi dini hepatitis virus pada anak.
2. Melakukan tata laksana yang baik dan benar hepatitis virus pada anak.
3. Melakukan pencegahan dan pengobatan dengan benar hepatitis virus pada
anak.

DAFTAR PUSTAKA

Alavian S.M. dan Asaari S.H. 2005. Hepatitis D virus infection; Iran, Middle East
and Central Asia. Hepatitis Monthly 5, hal. 137-43.

Alter MJ. 2007. Epidemiology of hepatitis C virus infection. World Journal


Gastroenterology, Edisi 13(17) hal. 2436.

Anderson, S. dan Lorraine C.W. 1993. Hepatitis Virus, dalam Patofisiologi Konsep
klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 2, Bagian 1. EGC, Jakarta, hal. 441.
Aswati, L. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kadar Anti HBS pada
Anak SD Setelah 10-12 Tahun Imunisasi Hepatitis B di Kota Padang. Tesis.
Universitas Andalas, Padang, hal. 3.
Balisteri, W.F. 1998. Viral Hepatitis in: Pediatric Clinic of America, US, hal. 375407.
Behrman K. dan Arvin. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Edisi: 15, Volume 2.
EGC, Jakarta, hal. 1123 1124

Bishop, W.P. 2011. Sistem Pencernaan dalam Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial.
IDAI Edisi VI, hal 493-494.
Brataatmadja, D. 2000. Aspek Laboratorium pada Infeksi Virus Hepatitis C. Jurnal
Kristen Maranatha, Volume 3 No.1, Bandung, hal. 13-19.
CDC. 2010. Hepatitis C. Department of Health and Human Service Devition of Viral
Hepatitis No.21, hal 1.

81

82

CDC. 2012. Hepatitis A Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable


Diseases. Centers of Disease Control and Prevention, hal. 101.
Cheung, R.C. et al. 1997. Hepatitis G Virus : Is it a Hepatitis Virus?. WJM Stanford
University School of Medicine, Volume 167, No. 1, California, hal. 25-31.

Dienstag, J.L. 2008. Acute Viral Hepatitis, dalam: Harrisons Principles of Internal
Medicine Volume II 17th Edition.
Dinkes RI. 2012. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus. Direktorat Jenderal PP dan
PL Kementerian Kesehatan RI, hal. 19-35.
Djumhana, A. 2011. Hepatitis Non A Non B Non C. Universitas Padjajaran, Bandung,
hal. 1-2.
Ebied, Samia et al. 2005. Detection of Hepatitis G Virus Infection Among Blood
Donors and Hemodialysis Patients. Alexandria University: Journal of the
Medical Research Institute (JMRI) Volume 26, No.3, hal. 233-239.
Florida Department of Health. 2014. Hepatitis G, Guide to Surveillance and
Investigation, hal. 3. Tersedia di: http://www.floridahealth.gov/diseases-andconditions/disease-reporting-and-management/disease-reporting-andsurveillance/_documents/hepatitis_g_investigations_guideline_2.11.14.pdf.
Diunduh pada tanggal 30 November 2014.
Ghany et al. 2009. Diagnosis, Management, and Treatment of Hepatitis C: An
Update. American Association for The Study of Liver Disease Practice
Guidelines Vol. 49 No. 4, hal. 1335.

Gani, R.A. 2014. Hepatitis C, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
VI. Interna Publishing, Jakarta, hal. 1976-1977.

83

Green, C.W. 2005. Hepatitis Virus dan HIV. Yayasan Spiritia, Jakarta, hal. 4.
Hadi, S. 2000. Hepatologi. Mandar Maju, Bandung, hal. 3-34.
Hajiani E. dan Alavi S.M. 2011. A Review on Epidemiology, Diagnosis and
Treatment of Hepatitis D Virus Infection. Jundishapur J Microbiol.
4(Supplement 1): S1-S8.

Hajiani E. dan Hashemi S.J. 2005. Evaluation of AFP in Patients with Hepatitis B
Virus Infection in Diagnosis of Hepatocellular Carcinoma. Yafteh.1 hal, 4551.

Hoofnagle J.H. dan Nelson K.E. Hepatitis E. N Engl J Med. 2012. hal. 44.

Horn, L.W. 2005. Hepatitis. Chelsea House Publisher bab 1, USA, hal. 102.
IKA. 2000. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga.
Media Aesculapius, Jakarta, hal. l525-539.
Irshad M; Singh M.D; Irshad K. 2013. An Insight Into the Diagnosis and
Pathogenesis of Hepatitis C Virus Infection. World Journal Gastroenterology
Volume 19(44), US, hal. 7896-7909.
Isselbacher, et al. 2000. Hepatitis A sampai E, dalam Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam, Volume IV, Edisi 13. EGC, Jakarta, hal 1644.
Jurnalis Y.D; Sayoeti, Y; dan Ruselly A. 2013. Hepatitis C pada Anak. Jurnal
Kesehatan Andalas 2(2), Padang, hal 260.
Kliegman. 2000. Viral Hepatitis A to E and Beyond: NIDDK, hal. 2.

84

Kumar, P. dan Clark, M. 2009. Clinical Medicine. 6th ed.

Kurniasih, S. 2012. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Siswa terhadap Penyakit


Hepatitis A dengan Tingkat Resiko Penyakit Hepatitis A di SMA Negeri 4
Depok, Kota Depok. Skripsi. Universitas Indonesia, Depok, hal. 1.
Mushahwar I.K. 2008. Hepatitis E Virus: Molecular Virology, Clinical Features,
Diagnosis, Transmission, Epidemiology, and Prevention. J Med Virol, hal.
80.

Noer, S. 1996. Hepatitis Virus Akut, dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3.
FKUI, Jakarta, hal. 322.
Pascarella, S dan Negro, F. 2010. Hepatitis D Virus: An Update. The International
Association for The Study of The Liver Journal, Switzerland, hal. 7.
Praveen, R.K. 2013. Hepatitis D Clinical Presentation. Medscape. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/178038-clinical. Diunduh pada tanggal
10 Desember 2014.

Public Health Agency of Canada. 2004. Modes of Transmission, Hepatitis G Fact


Sheet.
Tersedia
di:
http://www.phac-aspc.gc.ca/hcai-iamss/bbppts/hepatitis/hep_g-eng.php. Diunduh pada tanggal 30 November 2014.

Purcell R.H. dan Emerson S.U. 2008. Hepatitis E: an emerging awareness of an old
disease. J Hepatol, hal 48.

Ranuh, I.G.N. 2001. Buku Imunisasi Di Indonesia, Edisi I. Satgas Imunisasi IDAI,
Jakarta, hal 83-85.

85

Roy, K.P. 2013. Hepatitis D Clinical Presentation. Medscape. Tersedia di:


http://emedicine.medscape.com/article/178038-clinical. Diunduh pada tanggal
13 Desember 2014.

Sanityoso A. dan Christine, G.2014. Hepatitis Viral Akut dalam Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid II, Edisi VI. FKUI, Jakarta, hal. 1945-1956.

Simmonds P. 2004. Genetic Diversity and Evolution of Hepatitis C Virus 15 years.


J. Gen. Virol, Edisi 85, hal.31733188.

Sinaga, J.F. 2014. Pengetahuan Mahasiswi tentang Penyakit Hepatitis A Sebelum dan
Sesudah Penyuluhan di Asrama Esther Hall Universitas Advent Indonesia
Bandung. KTI. Universitas Advent Indonesia Bandung, hal. 2.
Soemoharjo, S. 2008. Hepatitis Virus B, Edisi 2. EGC, Jakarta, hal.1.

Stapleton J.T. 1994. Hepatitis A and hepatitis E: Infectious Diseases. Philadelphia


Lippincott Co Edisi 5, hal 797-800.
Sterling R.K dan Bralow S. 2006. Extrahepatic Manifestations of Hepatitis C Virus.
Curr Gastroenterol Rep. Edisi 8(1):53-9.

Sudoyo, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, hal. 427-429.

Suneetha et al. 2012. HEV-specific T-cell responses are associated with control of
HEV infection. Hepatology Edisi 55, hal. 695708.

86

Sulaiman H. dan Julitasari. 1995. Virus Hepatitis A sampai E di Indonesia. Ikatan


Dokter Indonesia. Jakarta.

Teshale, E.H. dan Hu, D.J. 2011. Hepatitis E: Epidemiology and Prevention. World
Journal Hepatology Volume 3, Issue 12, US, hal 285.

Vaziri S. et al. 2008. Hepatitis D Virus Infection among HIV-HBV Coinfected


Patients in Kermanshah, West of Iran. Hepatitis Monthly 8: 252-7.

WHO. 2001. Hepatitis B Surface Antigen Assays: Operasional Characteristic (Phase


I).
Tersedia
di:
http://www.who.int/diagnostics_laboratory/evaluations/en/hep_B_rep1.pdf.
Diunduh pada tanggal 10 Desember 2014.

WHO. 2010. The Global Prevalence of Hepatitis A Virus Infection and Susceptibility:
A
Systematic
Review.
Tersedia
di:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_IVB_10.01_eng.pdf . Diunduh pada
tanggal 27 November 2014.

WHO.

2011. Hepatitis D. Gobal Alert and Respons. Tersedia di:


http://www.who.int/csr/disease/hepatitis/whocdscsrncs20011/en/index4.html.
Diunduh pada tanggal 10 Desember 2014.

WHO. 2014. Hepatitis E, hal 1.


Wijayakusuma, H. 2008. Tumpas Hepatitis dengan Ramuan Herbal. Pustaka Bunda,
bab 3, Jakarta, hal. 17.

Wurie, I.M. et al. 2005. Sero-prevalence of Hepatitis B Virus among Middle to HighSocio Economic Antenatal Population in Sierra Leone. WAJM, Vol 24, No.1.

Anda mungkin juga menyukai