Anda di halaman 1dari 13

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

MAKALAH HUKUM KELUARGA


Analisis Putusan Nomor 51/ Pdt. G/ 2014/PN.Bli
Kelas C (Dosen: Umar Haris Sanjaya S.H., M.H )

Disusun oleh:
AISYAH HUMAIDA

13410669

DIAH SENJA. O

13410707

EDI PRIYO UTOMO

13410728

ADITTA NURSITARESMI A

13410722

RATNA KUMALA SARI

14410049

WILADAN MUHAMMAD

14410096

LULU AZMI

14410102

NABILA KARTIKA. L

14410166

MUHAMMAD RIFQI

14410167

DHIMAS AJEKA U

14410149

AYU PRAMITASARI
YOGYAKARTA
2016

14410206

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Terbentuknya suatu keluarga itu karena adanya perkawinan. Pengertian perkawinan
dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan itu sendiri, yaitu kebutuhan dan fungsi biologis,
menurunkan kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik anak-anak itu untuk menjadi anggota-anggota
masyarakat yang sempurna (berharga atau/ volwaardig).1 Sehingga Keluarga dalam arti sempit
artinya yaitu sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, tetapi tidak
mempunyai anak juga bisa dikatakan bahwa suami istri merupakan suatu keluarga.
Sedangkan definisi hukum kekeluargaan secara garis besar adalah hukum yang bersumber
pada pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi karena pertalian darah,
ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Hubungan keluarga ini sangat penting karena
ada sangkut paut nya dengan hubungan anak dan orang tua, hukum waris, perwalian dan
pengampuan.
Dalam masyarakat adat di Bali, status hukum suami-istri serta anak-anak dalam keluarga
sangat ditentukan oleh bentuk perkawinanmya. Apakah suami-istri itu dan anak-anaknya
berkedudukan hukum di keluarga pihak suami ataukah di keluarga pihak istri sangat dipengaruhi
oleh bentuk perkawinan yang dipilih. Undang-undang Perkawinan tidak mengatur mengenai
bentuk-bentuk perkawinan ini, namun demikian persoalan mengenai bentuk-bentuk perkawinan
ini samasekali tidak dapat diabaikan dalam keseluruhan sistem perkawinan yang berlaku bagi
umat Hindu di Bali. Status atau kedudukan hukum seseorang di dalam keluarga sangat penting
artinya dalam hukum adat Bali karena akan mempengaruhi hak (swadikara) dan kewajiban
(swadharma) orang tersebut dalam keluarga dan masyarakat (banjar/desa pakraman).
Swadharma dan swadikara dalam keluarga misalnya menyangkut tanggungjawab pemeliharaan
terhadap anak atau pemeliharaan terhadap orang tua di masa tuanya, hak dan kewajiban terhadap
harta warisan, tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan kelangsungan serta pemujaan terhadap
1

R. Soetojo Prawirohamijojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di


Indonesia, Airlangga University Press, 1986, hlm. 22

tempat persembahyangan keluarga (sanggah/merajan) di mana roh leluhur disemayamkan, dan


lain-lain.

Sedangkan tanggungjawab kemasyarakatan menyangkut tanggungjawab sebagai

anggota kesatuan masyarakat hukum adat (banjar/desa pakraman, subak, dadia), baik dalam
bentuk ayahan (kewajiban kerja), pawedalan/papeson (urunan berupa uang atau barang), dan
lain-lain.
Pada masa lalu, dalam masyarakat adat di Bali dikenal beberapa bentuk perkawinan.
Sebagian dari bentuk-bentuk perkawinan tersebut sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat
karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Bentuk perkawinan yang dulu ada
tetapi kini sudah ditinggalkan adalah bentuk perkawinan matunggu atau nunggonin dan bentuk
perkawinan paselang (Windia,dkk, 2009). Berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk perkawinan
yang masih tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat adat Bali:2
a.

Perkawinan biasa

Masyarakat adat Bali yang beragama Hindu menganut sistem kekeluargaan patrilineal
atau kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kapurusa
atau purusa
b.

Perkawinan nyeburin

Di luar bentuk perkawinan yang umum tersebut, dibeberapa daerah di Bali, terutama
Tabanan, Badung, Gianyar, dan Bangli sudah lazim pula ditemui bentuk perkawinan yang
sekarang lazim disebut nyeburin. Dibeberapa tempat bentuk perkawinan ini lebih dikenal
dengan sebutan nyentana atau nyaluk sentana.
c.

Perkawinan pada gelahang

Apabila kedua bentuk perkawinan tersebut di atas (perkawinan biasa dan nyeburin) tidak
dapat dipilih karena masing-masing calon mempelai adalah anak tunggal dalam
keluarganya, kebelakangan ini dalam masyarakat Bali mulai tumbuh dan berkembang
satu bentuk perkawinan baru, yang disebut perkawinan pada gelahang. Eksistensi bentuk
perkawinan ini pun kini telah diakui oleh Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali
melalui Keputusan Pasamuan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman tanggal 15
Oktober 2010
Selanjutnya

Keberadaan

hukum

adat

kerap

menjadi

polemik

sendiri

dalam

pelaksanaannya. Hal ini disebabkan dalam beberapa titik hukum adat memiliki perbedaan
2

Asas-asas hukum adat prof bushar muhammad S.H. hlm 78

dengan hukum positif dan masing-masing aturan hukum tersebut memberikan akibat hukum
yang tinggi perbedaannya. Contoh beberapa kasus tersebut dapat dilihat dari masyarakat adat
Bali penganut agama Hindu yang menikah secara adat Bali. Pada saat terjadi polemik dalam
pernikahan salah satu pasangan tersebut mengajukan gugatan penceraian secara hukum ke
Pengadilan Negeri, sedangkan pihak tergugat meminta putusan dengan tata cara adat Bali.
Berikut duduk perkara penceraian tersebut Ni Luh K. Ayu Puspitawati dan Made
Sujana telah melangsungkan perkawinan sesuai tata cara adat Bali yang dilandasi agama Hindu
pada tanggal 4 April 2000 bertempat di rumah Made Sujana di Br. Dinas Undisan Pancasari,
Desa Undisan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, sebagaimana tertuang
dalam Kutipan Akta Perkawinan yang dikeluarkan leh Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja
Kabupaten Bangli tanggal 2 Agustus 2001 No. 118/TBK/2001;
Dari perkawinan tersebut telah lahir seorang anak yang bernama: Ni Luh Putu Janita Satya
Devi, perempuan, lahir di Denpasar pada tanggal 25 Oktober 2008, sesuai dengan Kutipan Akta
Kelahiran yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar tanggal
21 Nopember 2008 dengan Nomor Induk Kependudukan No. AL 837.0009042 berdasarkan Akta
Kelahiran Nomor: 336/RSUP/2008;
Perkawinan antara Ni Luh K. Ayu Puspitawati dengan Made Sujana berjalan rukun dan
harmonis sebagaimana tujuan perkawinan yaitu mewujudkan keluarga yang bahagia, kekal, dan
sejahtera layaknya suami istri yang saling sayang menyayangi dan kasih mengasihi, Namun
hubungan antara Penggugat dengan Tergugat mulai berjalan tidak harmonis karena sering terjadi
pertengkaran dan perselisihan sejak akhir tahun 2008 setelah kelahiran anak mereka;
Pertengkaran dan perselisihan yang terjadi antara Penggugat dan Tergugat karena sikap dan
Prilaku Tergugat yang tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan rumah tangganya. Tergugat
tidak memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, sehingga hanya Penggugat sendiri yang harus
menanggungnya.
Penggugat telah berusaha untuk bersabar demi keutuhan keluarga dan tetap berusaha
memberi nasihat kepada Tergugat agar lebih bertanggung jawab pada keluarga sehingga dapat
meringankan beban Penggugat dalam membiayai kebutuhan rumah tangga, namun tidak
mendapat tanggapan yang serius dari Tergugat.
Karena seringnya pertengkaran, antara Penggugat dan Tergugat telah pisah ranjang sejak
akhir tahun 2008 dan sejak tanggal 18 Desember 2012 sampai sekarang Penggugat telah pisah
rumah dengan Tergugat. Penggugat bersama anak Penggugat sempat memilih untuk pulang dan

tinggal di rumah orang Penggugat yang berada di Klungkung, sedangkan Tergugat tinggal di
Bangli, Penggugat dengan Tergugat pisah tempat tinggal, sudah tidak ada komunikasi yang baik
antara Penggugat sendiri yang membiayai kebutuhan hidup sehari-hari Penggugat dengan
anaknya, dan anak yang lahir dari perkawinan Penggugat dan Tergugat masih berada dibawah
umur
I.3

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan Latar Belakang Permasalahan di atas, Penulis merumuskan masalah yang
akan diangkat dalam Makalah ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana pengaruh dari yurisprudensi no: 126 K/pdt/2001 dari akibat adanya
perceraian menurut sistem patrilinial?

I.4

TUJUAN PEMBELAJARAN
Berdasarkan Rumusan Masalah di atas, Penulis merumuskan masalah yang akan
diangkat dalam Makalah ini adalah sebagai berikut:
Mengetahui pengaturan sistem perkawinan adat balil mengenai penyelesaian
perceraian dalam mempelajari hukum keluarga nasional di Indonesia

BAB II
PEMABAHASAN DAN LANDASAN TEORI
II.1 Sistem Perkawinan Hukum Adat Bali
Hubungan hukum kekeluargaan yang diatur oleh hukum keluarga ini umumnya
disebabkan oleh adanya hubungan se-darah, tetapi ternyata tidak semua hubungan sedarah
menimbulkan hubungan hukum kekeluargaan seperti misalnya kasus anakluar kawin yang tidak
memiliki hubungan hukum dengan bapak biologisnya.
Sebaliknya tidak semua hubungan kekeluargaan disebabkan oleh adanya hubungan darah,
seperti terjadi dalam kasus anak angkat (sentana peperasan)
Di Bali Sentana Peperasan tidak semuanya memiliki hubungan darah dengan orang tua
angkat, tetapi karena sesuatu perbuatan hukum tertentu (pengangkatan anak) kemudian mereka
mempunyai hubungan hukum kekeluargaan sama seperti hubungan anak kandung dengan orang
tuanya.
Jadi Ruang hukum adat Keluarga di Bali meliputi : hubungan hukum antara anak
dengan sanak saudara (kerabat) baik dari pihak Bapak maupun ibu, mengenai pemeliharaan anak
dibawah umur terutama anak-anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya. Kekeluargaan karena
perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan
keluarga sedarah dari istri (suaminya).
Dalam Putusan Nomor 51/ Pdt. G/ 2014/PN.Bli menerangkan bahwa Tergugat mohon
agar diberikan hak asuh atas anaknya. Perkawinan yang dilakukan oleh Penggugat dan Tergugat
adalah Perkawinan menurut Agama Hindu yang mana menganut asas Patrilineal. Akibat dari
adanya perkainan tersebut terbentuklah keluarga batin, pada masyarakat Bali umumnya dan
asyarakat Pemecutan Kelod ususnya disebut dengn kuren yang merupakan akibat dari
perkawinan monogamy maupun perkawinan poligami.3 Bentuk keluarga batin monogami terdiri
dari satu orang suami dan satu orang istri seta beberapa orang anak, sedangkan bentuk keluarga
batin poligami terdiri dari satu suami dan beberapa orang istri serta beberapa anak. Peranana
anggota keluarga batin antara lain :
3

I Gusti Ketut Gde Arsana, Dampak Modernisasi Terhadap Hubungan Kekerabatan di Daerah
Bali, Bali,Direkrorat Jendral Kebudayaan, 1983, hlm.53 https://books.google.co.id/books?
id=yPaDCgAAQBAJ&pg=PA54&dq=perkawinan+patrilineal+dalam+agama+hindu&hl=en&s
a=X&ved=0ahUKEwiq8fe3k6XQAhUHrY8KHYunARUQ6AEIGzAA#v=onepage&q=perkawinan
%20patrilineal%20dalam%20agama%20hindu&f=false diakses pada tanggal 13 november
2016 pukul 14:36 WIB

a. membina dan mengembankan ghubungan anatar sesame anggota keluarga, bersifat


intim dan mesra;
b. membina kesatuan ekonoi keluarga, dalam arti menata-laksanakan kehidupan rumah
tangga dan sebagai kesatuan dala mata pencaharian;
c. mengembangkan dan elakukan pengasuhan san mendidik angkatan yang berikutnya;
d. melaksanakan upacra-upacara adat (upacara daur hidup) dan upacara agama (panca
yadnya)4
e. suami istri dan suatu keluarga batin menjadi anggota komunikasi tertentu dan wajib
menjalankan peranan sesuai dengan kedudukannya itu.
Yang dimaksud dengan prinsip patrilineal (purusa) di sini adalah menghitung hubungan
kekerabatan melalui orang laki-aki yang berlaku dalam hal warisan.5 Cirri-ciri

sistem

kekerabatan patrilineal yang disampaikan oleh Holleman dan Koentjaraningrat dalam Sudarta,
2006 sebagai berikut :6
a. hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui garis keturunan ayah, annak-anak
mejadi hak ayah
b. harta keluarga atau kekayaan orang tua diwariskan melalui garis pria
c. pengantin baru hidup menetap pada pusat kdiaman kerabat suami (adat patrilokal)
d. pria memunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat, dengan perkataan
lain perempuan yang telah memutuskan hubungan dengan keluarganya sendiri , tanpa hak
berpindah ke dalam keluarga suaminya dan tidak kan memiliki hak-hak dan harta benda.
Perkawinan itu akan berbentuk kuren, seperti yang telah dsinggung daas. Dalam
perkawinan dasarnya adalah pranata sosial, dan perubahan status soaial dalam masyarakat. Dari
lajang menjadi berumah tangga mempunyai seorang suami atau istri. Tujuan perkawinan untuk
4

Panca yadnya adalah lima korban suci yan dilakukan umat manusia, yaitu : dewa yadnya
(korban seci kepadaTuhanYnag Mahas Esa), pitra yadnya (korban suci kepada leluhur),
manusia yadnya (korban uci untuk keselamatan manusia, Buta yadnya (korban suci kepada
makhluk bawahan yang kelihatan maupun tidak), Rsi yadnya (korban suci untuk
kesejahteraaan pada Rsi.
5

Gusti Ketut Gde Arsana , Op.cit. hlm.54

Ni Nyoman Rahmawati, Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender (kajian budaya, tradisi
dan agama hindu) , Bali, Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang, 2015,
hlm.59

mencari teman hidup, untuk meneruskan keturunan dan menurut ajaran agama hindu perkawinan
dipandang sebagai jalan untuk menebus hutang dan melaksanakn dharma. 7 Orang yang tidak
melakukan perkawinan akan mendapat cemoohan, dan dikatakan rohnya nanti digantung di
sorga.8 Serta tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan perkawinan yang lain adalah menginginkan
ketentraman dan kesejahteraan dalam berumah tangga.
Sebelum berlakunya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan
perceraian di bali atau bagi umat Hindu dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menuru hukum
adat Bali (disaksikan Prajuru banjar atau desa pakraman). Sesuia di dalam Pasal 2 ayat (1),
namun beda halnya dengan perceraian. Perceraian di Bali baru dapat dikatakan sah apabila
dilaksanakan di Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan. Dengan melihat
uraian di atas, tampak jelas bahwa UU Perkawinan tidak memberikan suatu kesetaraan kepada
hukum adat Bali atau agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan
perceraian bagi uamt hindu di Bali. Dalam hal perkawinan menurut hukum adat bali dan ajaran
Hindu sudah tepat mendapatkan posisi di dalam UU Perkawinan tetapi tidak dengan hal
perceraian. Terbukti perceraian dapat dikatakan sah ketika diadili di Pengadilan, sedangkan
dalam ketentuan hukum adat di Bali atau ajaran agama Hindu untuk dikatakan telah bercerai
cukup diketahui sebagian besar karma oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa
konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa
dalam menetukan tanggung jawab karma desa bersangkutan.
Dalam kasus perceraian yang terjadi tak banyak di dalam dua pihak tersebut
memperebutkan hak asuh seorang anak. Disini akan sedikit dijelaskan tentang akibat perkawinan
dalam sistem hukum di bali yaitu dimana adat bali mengambil garis keturanan ptarilineal atau
purusa.
Adanya lineage dan clan pancar laki-laki (Clan Patrilineal) mengakibatkan keunggulan
kaum pria terhadap kaum wanitanya, yang berkonsekuensi di antaranya :
a. Cara perkawinan biasa adalah perkawinan jujur: isteri berpindah ke dalam clan si
suami;
b. Anak-anak menjadi anggota clan bapaknya;
7

Dharma sama dengan kebenaran, kebijaksanaan.


Gusti Ketut Gde Arsana , Op.cit. hlm.54

c. Suami berdominasi di dalam brayat;


d. Adanya perkawinan levirate (kawin mengganti, medun ranjang : janda kawin
dengan saudara laki-laki almarhum suaminya) dan sororat (kawin meneruskan,
ngarang wulu : balu kawin dengan saudara perempuan mendiang isterinya);
e. Isteri pada hakekatnya tidak berhak atas harta perkawinan.9
II.2 Implementasi Yurisprudensi No. 126k/Pdt/2001 dalam Akibat dari Penceraian
Menurut Sistem Hukum Adat Bali
Sebagaimana yang telah kita ketahui Indonesia merupakan negara yang terdiri dari
beragam adat, sehingga hal tersebut mempengaruhi masyarakat yang ada di dalam lingkungan
masyarakat adat tersebut. Seperti halnya dalam lingkup perkawinan yang tentunya sering
dipengaruhi oleh tradisi adat setempat, contohnya dalam adat Bali.
Dalam hukum adat Bali, jika terjadinya perkawinan maka menganut sistem kekeluargaan
agama Hindu yang bersifat ganda, baik patrilineal maupun parental. Namun yang paling penting
diantara kedua sistem tersebut adalah sistem patrilineal yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan
wanita.
Pada masyarakat kekerabatan patrilineal yang mengutamakan keturunan menurut garis
laki-laki berlaku adat perkawinan dengan pembayaran jujur (Bali: patukuh-n luh) dimana setelah
perkawinan istri melepaskan kewargaan adat dari kerabat bapaknya dan memasuki kewargaan
kerabat suaminya.10
Menurut hukum adat Bali jika adanya perkawinan hal tersebut merupakan bukan hanya
urusan pribadi yang akan menikah saja, tetapi akan menjadi urusan keluarga, adat, masyarakat,
dan kasta. Untuk masyarakat, perkawinan merupakan suatu peristiwa yang penting yang
mengakibatkan masuknya warga baru yang ikut mempunyai tanggungjawab penuh terhadap
masyakarat yang ada disekitarnya. Sedangkan untuk kasta, perkawinan juga penting dikarenakan
kasta dalam masyarakat (dahulu) sering mempertahankan kedudukannya. Oleh karena itu,
perkawinan ini memiliki arti yang sangat penting. Maka pelaksanaannya disertai dengan
upacara-upacara adat Bali.
Perkawinan adat Bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sang Pencipta,
semuanya tahapan pernikahan dilakukan dirumah mempelai pria karena masyarakat Bali
9

Imam Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Ctk. Kelima, Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm. 163

10

Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH. Hukum Kekerabatan Adat. Fajar Agung Jakarta. 1987. hlm.
15.

memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanaan upacara perkawinan semua biaya
yang dikeluarkan untuk hajatan menjadi tanggungjawab pihak keluarga laki-laki.
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasanya disebut pawiwahan yang artinya
ikatan lahir batin (skala dan diskala) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum negara, agama, dan, adat
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava dan Masastra. Maka
syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan calon administrasi. Untuk
melangsungkan perkawinan, maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
Ketika memasuki hukum perkawinan, tentunya pasangan suami istri bertujuan untuk
hidup kekal dan selalu bersama dalam ikatan perkawinan dan menghindari perceraian. Perceraian
mendapatkan perhatian besar dari keluarga pasangan yang bersangkutan. Perkawinan bukan
semata-mata urusan religius tetapi juga urusan ekonomi. Seringkali perceraian terjadi akibat
permasalahan ekonomi dan timbulnya faktor ketidaksetiaan dari salah satu pasangan suami istri.
Sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 Hukum tentang perceraian bagi umat
Islam di Indonesia adalah hukum Islam yang telah diresipiir dalam hukum adat. Pada zaman
Hindia Belanda, pengaturannya didasarkan pada Staatsblad 1929 - 348, Staatsblad 1931 467,
Staatsblad 1933 98 dan Staatsblas 1932 482. Kemudian staatsblad- staatsblad tersebut oleh
Pemerintah Indonesia digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yo UndangUndang Nomor 32 Tahun 1954. Akan tetapi kedua Undang-Undang tersebut yang materinya
sama, hanyalah mengatur tentang perkawinan dan perceraian bagi umat Islam di Indonesia. Lagi
pula Undang-Undang tersebut tidak mengatur materi hukum perkawinan umat Islam, akan tetapi
hanya mengatur tntang pengawasan dan pencatatan terhadap nikah, talak, dan rujuk yang
dilakukan oleh para pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh
pegawai yang ditunjuk olehnya. 11
Apabila terjadi perceraian dalam masyarakat adat Bali yang beragama Hindu yang
dilingkungan masyarakat partilineal terutama, jika perkawinan yang berlangsung adalah
perkawinan jujur dan kedudukan suami istri setaraf adatnya, apabila istri yang bercerai hanya
keluar badannya tanpa membawa anak-anak serta barang bawaannya serta bagian dari harta
bersama kecuali mas kawin milik istri pribadi maka perceraian itu tidak berakibat putusnya
hubungan kekerabatan antara pihak suami dan pihak istri. Lain halnya, jika sampai uang jujur
11

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit, hlm. 123.

dikembalikan pada kerabat pria dan semua harta perkawinan dibawa kembali oleh istri atau
pihak istri maka hal ini berakibat pecahnya hubungan kekerabatan kedua belah pihak. Dengan
demikian, perceraian yang ada pada dasarnya merupakan peristiwa hukum, merupakan suatu
kejadian yang menimbulkan atau menghilangkan hak dan kewajiban.
Bagi masyarakat adat Bali yang beragama Hindu jika terjadinya perceraian masalah yang
paling pokok yang harus diperhatikan adalah tanggungjawab dan tugas yang harus dilakukan
terhadap anak yang lahir dari perkawinan itu. Sangat jarang seorang mantan istri mengajak anak
yang dilahirkannya kerumah orangtuanya tetapi anak itu diajak oleh bapaknya. Hal ini
dikarenakan sistem hukum adat Bali menganut sistem hukum patrilineal. Andaikata ada suatu
kasus yang berbeda, dalam arti anak mengikuti ibunya setelah orangtuanya bercerai, suatu ketika
anak itu kembali kepada bapaknya guna melanjutkan segala kewajibannya sebagai seorang anak,
termasuk mengurus warisannya. Atau istri yang kembali ketempat kerabat asalnya dan ada anak
yang dibawanya karena masih kecil, maka anak yang dibawanya itu tetap mempunyai hak dan
kewajiban adat serta berkedudukan ditempat kekerabatan suami. Anak-anak itu adalah ahli waris
dari ayah kandungnya.
Bahwa dalam pertimbangan hakim dalam putusan tersebut sesuai dengan Yurisprudensi
nomor ; 126K/ Pdt/2001 dalam kaedah hukumnya menyebutkan bila terjadi perceraian, anak
yang masih dibawah umur Pemeliharaanya seyogyanya diserahkan pada orang terdekat dan
akrab dengan si anak yaitu ibu. Maka, apabila dikaitkan dengan perkara yang sudah dipaparkan
sudah tepat apabila majelis hakim memberikan hak asuh anak kepada penggugat atau ibu
kandung, walau harus menyampingkan garis purusa yang terdapat dalam adat Bali
Bahwa dalam Pasal 45 Ayat (2) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa
orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban itu berlaku terus meski perkawinan antara kedua orang
tua putus. Bahwa ketentuan ini mempertegas dan memperjelas bahwa kewajiban dan kasih
sayang orang tua terhadap anaknya tidak boleh diputus dan dihalang-halangi meskipun kedua
orang tuanya bercerai dan karenanya tidak tinggal satu rumah lagi. Sering terjadi salah kaprah
bahwa penguasaan/penentuan secara hukum hak asuh atas anak kepada salah satu orang tuanya
menjadikan orang tua yang lain kesulitan untuk bertemu dengan si anak dikarenakan orang tua
pemegang hak asuh menutup akses mantannya untuk dapat bertemu anaknya.
Padahal penunjukan secara hukum kekuasaan orang tua/pemegang hak asuh kepada
salah satu orang tua bukan berarti menghalangi atau memutus hubungannya dengan orang tua

yang lainnya. Keputusan Hakim mengenai hal ini harus diambil oleh sebab disengketakan, dan
Hakim harus memutus sengketa perebutan pemegang kekuasaan orang tua ini untuk mengakhiri
konflik berkepanjangan dari orang tuanya yang jika berlarut-larut akan merugikan kehidupan
mental dan psikologis anak. Sekali lagi perlu majelis tegaskan bahwa tidak ada mantan anak,
mantan bapak/mantan ayah ataupun mantan ibu, filosofi inilah yang mestinya dijadikan dasar
orang tua dalam mengasuh, membimbing, dan mendidik anaknya, sehingga ego pribadi yang
tidak menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak mestinya dapat dihindari
sehingga anak tidak justru menjadi korban karenanya, sehingga mengharapkan para pihak dalam
perkara a quo sebagai orang tua kedua anak tersebut hendaknya dapat mengatur diri untuk.

Daftar Pustaka
Utrecht/ Saleh Djindang, Pengantar dalam hukum Indonesia, Ichtiar Baru bekerjasama
dengan Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hlm 85
Subekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni,
Bandung, 1974, hlm 113
Hilman Hadikusuma (2), Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1977, hlm 28
Drs. Nico Ngani, SH, MSSW, MM, CLE, Dipl.Phil.,dll, Perkembangan Hukum Adat
Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm. 15-16
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH. Hukum Kekerabatan Adat. Fajar Agung Jakarta. 1987.
hlm. 15.
Imam Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Ctk. Kelima, Liberty,
`Yogyakarta, 2010, hlm. 163
R. Soetojo Prawirohamijojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di
Indonesia, Airlangga University Press, 1986, hlm. 22
Ni Nyoman Rahmawati, Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender (kajian budaya, tradisi
dan agama hindu) , Bali, Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang, 2015,
hlm.59
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press

Anda mungkin juga menyukai