http://khoirul-anwar-sh.blogspot.co.id/2012/07/alasan-mengajukaneksepsi.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18346/locus-dan-tempus-delictitidak-perlu-disebutkan-akurat-dalam-dakwaan
Alasan Mengajukan Eksepsi
BAB III
MENGAJUKAN EKSEPSI
DAN UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN EKSEPSI
dalam lingkungan peradilan umum, jika dalam perkara yang diajukan oleh
Jaksa/Penuntut Umum terdapat kekeliruan mengenai kewenangan itu maka
terdakwa atau penasehat hukum dapat mengajukan eksepsi karena pengadilan
yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkaranya, dalam praktek hukum
biasa disebut Exeptie onbevoegheid van de rehter artinya Pengadilan yang
dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili, kewenangan ini juga diklasifikasikan
dengan :
Pengadilan Tidak Berwenang Mengadili Secara Mutlak (Absolut).
Bertitik tolak dari penjelasan ketentuan pasal 10 Undang-undang No.14 Tahun 1970,
tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa
keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing mempunyai lingkungan
kewenangan tertentu dan meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan
tingkat banding. Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu
sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya baik
mengenai perkara perdata maupun perkara pidana. Dalam empat lingkungan
peradilan
ini
tidak
menutup
kemungkinan
adanya
pengkhususan
peradilan
menyebutkan
Terdapat suatu prinsip atau asas tentang menentukan kewenangan relatif bagi
Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu perkara pidana berdasarkan pada
Tempat terjadinya tindak pidana dilakukan (locus delicti) Pengadilan Negeri
tersebutlah yang berwenang mengadilinya, sebagaimana dalam ketentuan pasal 84
ayat (1) KUHAP yang berbunyi Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala
perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya. Untuk
memahami lebih jelas tentang locus delicti dapat ditentukan berdasarkan teori
perbuatan materil (mengenai tempat dimana perbuatan dilakukan), teori instrumen
(mengenai peralatan yang dipakai untuk tindak pidana), dan teori akibat (mengenai
dimana akibat perbuatan pidana terjadi).2 Beberapa ajaran tersebut yakni :
De leer van delicha melijke daad atau teori corporeal action (ajaran mengenai
tempat dimana perbuatan dilakukan in persona atau teori perbuatan materiil).
Menurut ajaran ini yang menjadi patokan menentukan locus delicti atau yang harus
dianggap sebagai tempat dilakukan tindak pidana adalah jika terdapat unsur :
Tempat di daerah hukum mana perbuatan pidana dilakukan serta akibat yang
ditimbulkannya juga terjadi pada daeraha hukum yang sama. Jika perbuatan dan
akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam satu lingkungan daerah hukum Pengadilan
Negeri, maka Pengadilan Negeri tersebutlah yang berwenang mengadilinya. Dalam
hal ini antara perbuatan dengan akibat tidak terpecah dalam dua lingkungan
wilayah hukum yang berlainan. Akan tetapi berada pada satu wilayah hukum
pengadilan saja.
De leer van het instrument (ajaran mengenai peralatan yang dipakai untuk tindak
pidana atau teori instrument).
Ajaran ini menentukan locus delicti berdasarkan unsur alat yang digunakan dan
dengan alat itu, tindak pidana diselesaikan dari suatu tempat. Antara tempat
Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa pengadilan yang berwenang memeriksa
dan mengadili terdakwa adalah Pengadilan Negeri di mana tempat terdakwa
tersebut ditahan. Dari beberapa alasan yang terdapat dalam pasal 84 ayat (2)
KUHAP ini dapat ditafsirkan bahwa ketentuan ini lebih menitik beratkan kepada
kepentingan kepraktisan pemeriksaan persidangan dengan jalan memberi pedoman
dimana para saksi lebih mudah memenuhi panggilan pemeriksaan sidang.
Sehubungan dengan beberapa tindak pidana yang dilakukan terdakwa dalam
daerah hukum pelbagai pengadilan negeri.
Dalam hal beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dalam daerah
hukum pelbagai pengadilan negeri, dimana tiap-tiap tindak pidana tersebut
dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri. Sifat tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa benar-benar murni, artinya tidak ada sangkut pautnya atau
terpisah dengan tindak pidana yang lain yang dilakukan dalam daerah hukum
Pengadila Negeri yang lain.
Maka jika mengacu pada ketentuan pasal 84 ayat (3) KUHAP, dan jika terdakwa
terbukti bersalah melakukan beberapa tindak pidana tersebut, maka masing-masing
Pengadilan Negeri tersebut akan men-jatuhkan hukuman pidana. Dalam arti
terdakwa akan dijatuhi lebih dari lebih dari satu hukuman pidana. Akan tetapi bila
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut pada pelbagai pengadilan ada
sangkut pautnya atau secara teoritis perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa
dipelbagai pengadilan negeri tersebut terdapat unsur-unsur Perbarengan atau
Concursus baik Concursus Idealis sebagaimana yang diatur dan diancam pidana
dalam ketentuan pasal 63 ayat (1) KUHP, maupun unsur Concursus Realis
sebagaimana yang diatur berdasarkan pasal 65,66, dan yang terdapat dala pasal 70
KUHP atau dalam beberapa tindak pidana itu terdapat unsur perbarengan antara
lex spesialis dengan lex generalis sebagimana dirumuskan dalam pasal 63 ayat
(2) KUHP., atau di dalam tindak pidana yang dilakukan dipelbagai pengadilan negeri
itu terdapat unsur Perbuatan Berlanjut atau vootgezette handeling.
Terhadap hal yang disebutkan di atas terbuka kemungkinan bagi terdakwa atau
penasehat hukum untuk mengajukan eksepsi demi terjaminnya perlindungan
terhadap hak asasi terdakwa agar terhindar dari penjatuhan lebih dari satu pidana
terhadap terdakwa. Karena berdasarkan pada ketentuan pasal 84 ayat (4) KUHAP,
menunjukkan bahwa terhadap beberapa perkara pidana yang dilakukan oleh
terdakwa dalam pelbagai pengadilan sedang dalam perbuatan itu terdapat unsurunsur sebagaimana yang disebut di dalam pasal 63,65,66, dan pasal 70 KUHP,
dapat dibuka kemungkinan untuk menggabungkan perkara.
Landasan dasar untuk menentukan kewenangan mengadili setiap Pengadilan
Negeri atas suatu tindak pidana yang terjadi, selain merujuk pada ketentuan pasal
84 KUHAP dapat juga dijadikan landasan berdasarkan ketentuan sebagaimana yang
diatur dalam pasal 85 KUHAP tentang Kewenangan atas penunjukkan Menteri
Kehakiman dan berdasarkan pasal 86 KUHAP tentang Kewenangan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat berdasarkan undang-undang atas tindak pidana yang
dilakukan di luar negeri. Perlu diingat bahwa eksepsi kewenangan relatif pada
prinsipnya diajukan pada peradilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri. Namun
tidak mengurangi hak terdakwa atau penasehat hukum mengajukan suatu eksepsi
kepada Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding, idealnya eksepsi demikian ini
diajukan bersamaan dalam memori banding. Oleh karena kewenangan mengadili
merupakan ketentuan yang bersifat aturan public (public order), Pengadilan Tinggi
secara ex officio (karena jabatannya) berwenang memeriksa dan menilai apakah
Pengadilan Negeri melanggar prinsip kompetensi relatif dalam mengadili suatu
perkara yang bersangkutan, meskipun hal itu tidak diajukan sebagai sebagi eksepsi
dalam peradilan tingkat pertama. Penerapan yang demikian tidak semata-mata
hanya didasarkan atas alasan public order, tapi juga berdasarkan kehendak yang
terkandung dalam pasal 156 ayat (7) KUHAP, yang memberi fungsi ex officio bagi
hakim memeriksa dan memutus mengenai kompetensi meskipun hal itu tidak
diajukan sebagai eksepsi.
Menyangkut Surat Dakwaan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Surat Dakwaan itu
memegang peranan penting dalam suatu perkara pidana. Berdasarkan surat
dakwaan itulah dapat tidaknya terdakwa dijatuhi hukuman oleh Hakim. Namun
sebelum yang dituduhkan dalam surat dakwaan itu dibuktikan dalam persidangan
undang-undang memberikan kesempatan kepada terdakwa atau melalui Penasehat
Hukumnya untuk mempergunakan haknya dapat mengajukan keberatan jika nyatanyata dalam surat dakwaan itu terdapat kelaliman, atau kesewenang-wenangan.
Eksepsi terhadap surat dakwaan ini dapat memberikan konsekwensi :
Surat Dakwaan Harus Dibatalkan atau Batal Demi Hukum.
Alasan eksepsi dengan menyatakan bahwa surat dakwan harus dibatalkan adalah
jika surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum itu tidak memenuhi syarat
formil seperti yang ditegaskan dalam pasal 143 ayat (2) KUHAP. Dakwaan tersebut
dianggap obscuur libel (kabur) atau confuse (membingungkan) atau misleading
(menyesatkan) Tindakan penegakan hukum yang mengahadapkan terdakwa
kepersidangan dengan surat dakwaan yang tidak jelas, kabur atau membingungkan,
dikualifikasikan sebagai perkosaan terhadap hak asasi atas pembelaan diri.
Eksepsi ini meliputi beberapa alasan sebagaimana ketentuan pasal 143 ayat (2)
KUHAP berupa konstruksi :
Surat dakwaan tidak memuat atau tidak diberi tanggal dan tidak ditanda tangani oleh
Penuntut Umum yang bersangkutan. Pada prinsipnya penyebutan tanggal dan
penanda tanganan surat dakwaan adalah bersifat perintah, tidak boleh tidak
(imperatif). Apabila lalai memenuhi syarat tersebut maka surat dakwaan dapat
dikategorikan sebagai dakwaan yang tidak jelas dan sekaligus bertentangan dengan
undang-undang, dakwaan tersebut dapat dikualifikasi batal.
Akan tetapi bila mengacu kepada tujuan peradilan yang harus menegakkan keadilan
jika surat dakwaan tidak memenuhi syarat pemberian tanggal dan tanda tangan ini
karena keteledoran dalam prakteknya dengan sikap yang bijaksana kelalaian itu
dapat ditolerir dengan jalan meminta kepada Penuntut Umum, mencantumkan
tanggal dan tanda tangan dab harus dilakukan dalam persidangan.
Idealnya perbaikan atas kekeliruan atau kesalahan itu dilakukan oleh Pengadilan
Negeri secara konsultatif, berupa anjuran atau saran dengan menerapkan pasal 144
KUHAP. Adalah sikap yang tidak arif dan tidak terpuji jika Pengadilan atau hakim
menemukan cacat surat dakwaan yang demikian, kemudian didiamkan dengan
motivasi untuk menghancurkan dakwaan Penuntut Umum agar produk putusannya
menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum Batal Demi Hukum. Sikap yang
demikian adalah dianggap tidak berdedikasi dan kurang menyadari makna
kepentingan keadilan (the interest of the justice). Tapi lebih menonjolkan
kepentingan hakim (the interest of the jugde)
Dakwaan tidak memenuhi syarat formil seperti yang ditegaskan dalam pasal 143
ayat (2) huruf (a) KUHAP, yang harus menyebutkan nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan terdakwa.
Surat dakwaan itu tidak memenuhi syarat materil seperti yang disebutkan dalam
pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP, bahwa surat dakwaan harus diuraikan secara
cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.
Walaupun
pembuat
undang-undang
tidak
menentukan
bagaimana
caranya
menguraikan agar surat dakwaan menjadi cermat, jelas dan terang, akan tetapi bila
dikaji menurut makna gramatikalnya dari kamus umum Bahasa Indonesia, bahwa
yang dimaksud dengan cermat adalah seksama, teliti, dengan penuh perhatian. ;
Jelas berarti terang, nyata, dan tegas ; sedangkan lengkap berarti genap, tidak
ada kurangnya, komplit.3 Jika ditinjau dari perkembangan kebiasaan praktek yuridis
peradilan, serta pendapat dari beberapa ahli hukum dan yurisprudensi mancatat,
hakikat esensial surat dakwaan hendaknya memuat secara lengkap unsur-unsur
(bestanddelen) dari pada tindak pidana yang didakwakan. Apabila unsur-unsur
tersebut tidak diterangkan secara utuh dan menyeluruh maka hal ini menyebabkan
dakwaan menjadi kabur (obscuur libellum) sehingga menyebabkan ketidak jelasan
terhadap tindak pidana apa yang dilanggar oleh perbuatan terdakwa. Misalnya
dalam surat dakwaan mencampur adukkan unsur penggelapan (pasal 372 KUHP)
dan unsur penipuan (pasal 378 KUHP) menjadi satu sehingga menjadi tindak pidana
yang baru dan terdakwa tidak mengerti akan tindak pidana yang mana yang
didakwakan maka surat dakwaan harus dibatalkan demi hukum (van rechts wege
nietig) sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI No. 1289 K/PID/1984 tanggal 26
Juni 19844 atau surat dakwaan yang materinya menggabungkan atau mencampur
adukkan unsur-unsur perbuatan pidana yang berdiri sendiri dan tidak ada
hubungannya satu sama lain, misalnya pasal 1 ayat (1) sub a digabungkan dengan
unsur pasal 1 ayat (1) sub b Undang-undang No. 3 tahun 1971 dalam satu dakwaan
primair sehingga merupakan penciptaan suatu tindak pidana baru yang tidak
dirumuskan dan diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. Dakwaan
demikian menjadi batal demi hukum, sebagaimana mahkamah agung RI. No. 982
K/PID/1988 tanggal 19 September 1990.5
Surat Dakwaan Terdapat Pertentangan Antara Satu Dengan Lainnya.
Apabila dalam surat dakwaan terdapat pertentangan isi perumusan perbuatan satu
dengan lainnya maka akan timbul keraguan dalam diri terdakwa tentang perbuatan
yang didakwakan kepadanya. Misalnya apabila terdakwa didakwa turut melakukan
dan turut membantu melakukan tindak pidana pencurian. Jadi terhadap tindak
pidana dan perbuatan yang sama, terdakwa didakwa turut melakukan (medeplegen)
sebagaimana ketentuan pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP dan turut membantu
(medeplichtigheid) sebagaimana ketentuan pasal 56 KUHP. Perumusan dakwaan
seperti ini jelas terjadi pertentangan antara satu dengan lainnya yakni disatu pihak
terdakwa didakwa medeplegen dan kemudian didakwa medeplichtigheid.
Sebagaimana Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 296 K/PID/1987 tanggal 15 Maret
19916 dimana seorang terdakwa melakukan penyertaan (deelneming) dalam hal
melakukan (plegen), turut serta melakukan (medeplegen), menyuruh melakukan
(doemplegen) dan dengan sengaja membujuk (uitlokking) sesuai ketentuan pasal 56
KUHP dicampur-adukkan menjadi satu sehingga isinya bertentangan satu dengan
lainnya yang mengakibatkan terdakwa menjadi ragu terhadap tindak pidana mana
yang didakwakan kepadanya oleh Putusan Mahkamah Agung dinyatakan surat
dakwaan batal demi hukum.
Jadi, apabila suatu surat dakwaan tidak cermat, jelas dan lengkap sebagaimana
syarat materil ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP, maka sebagaimana
ketentuan pasal 143 ayat 3) KUHAP, surat dakwaan itu diancam batal demi hukum
(nul and void) yang berarti bahwa dari semula tidak ada surat dakwaan atau tidak
ada suatu tindak pidana yang dilukiskan dalam surat dakwaan itu. 7
bahwa dalam RUU ini ditentukan bahwa pembuat surat tuduhan dibebankan
kepada Penuntut Umum dan ditentukan pula bahwa perubahan surat tuduhan hanya
dapat dilakukan selam perkara belum sampai kesidang pengadilan. Apabila perkara
telah sampai disidang pengadilan maka surat tuduhan tidak dapat dirubah lagi. Baik
Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri sudah tidak dapat merubah surat
tuduhan.
Dakwaan Tidak Dapat Diterima.
Salah satu jenis eksepsi yang disebut dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP adalah
dakwaan tidak dapat diterima, akan tetapi undang-undang tidak menjelaskan
pengertian apa yang dimaksud dan apa yang menjadi patokan terhadap dakwaan
tidak dapat diterima. Pengertian umum diberikan terhadap eksepsi dakwaan tidak
dapat diterima apabila dakwaan mengandung cacat formal atau kekeliruan beracara
(error in procedure). Kekeliruan ini bisa terjadi karena orangnya yang didakwa, keliru
terjadap susunan atau bentuk surat dakwaan yang diajukan penuntut umum.
Dakwaan tidak dapat diterima meliputi :
Eksepsi Subjudice dimana tindak pidana yang didakwakan sedang tergantung
pemeriksaan. Apa yang didakwakan kepada terdakwa, persis sama dengan perkara
pidana yang sedang berjalan pemeriksaannya baik dalam Pengadilan yang
bersangkutan maupun sedang diperiksa pada Pengadilan lain, atau juga sedang
diperiksa pada tingkat banding atau kasasi. Eksepsi dalam perkara seperti ini
disebut dengan exception letis petendis atau exception subjudice.
Eksepsi karena kekeliruan orang yang semestinya didakwa adalah orang lain,
karena dia adalah pelaku yang sebenarnya. Dalam perkara seperti ini bukan pelaku
tindak pidana yang sebenarnya yang diajukan dipersidangan, sehingga dakwaan itu
mengandung cacat atau kekeliruan penuntutan terhadap orang yang tidak
mempunyai hubungan hukum dan pertanggung jawaban dengan tindak pidana yang
didakwakan (error in personal).
Jika terjadi kekeliruan yang demikian, dakwaan Penuntut Umum harus dinyatakan
tidak dapat diterima dan putusan yang harus dijatuhkan adalah bersifat final hanya
terhadap orangnya sedangkan terhadap perkara itu sendiri sifat putusannya adalah
tidak final, karena perkara itu masih dapat diajukan lagi kepersidangan akan tetapi
dengan orang pelaku tindak pidana yang sebenarnya.
Dari perkembangan pengetahuan dan beberapa pendapat para ahli telah disebutkan
di atas alasan eksepsi selain dari pada yang telah diatur dalam pasal 156 ayat (1)
KUHAP, juga ditemukan alasan eksepsi berdasarkan perundang-undangan lain
sebagaimana halnya yang terdapat dalam KUHP, eksepsi tersebut dapat diajukan
dengan menyatakan :
Eksepsi Kewenangan Penuntut Umum untuk menuntut hapus atau gugur
Mengacu pada ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan,
maka dalam hal penuntut umum membacakan dakwaannya dapatlah ditafsirkan juga
termasuk
serangkaian
tindakan
Penuntut
Umum
melakukan
penuntutan.
menuntut
pidana
hapus
karena
terdakwa
meninggal
dunia
openbare ministerie) hal itu didasarkan pada tuntutan terhadap perbuatan yang
didakwakan tidak memiliki alasan hukum. Adapun alasan yang harus dijadikan
bahwa dakwaan tidak dapat diterima adalah :
Apa yang didakwakan kepada terdakwa bukan tindak pidana kejahatan atau
pelanggaran.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa telah pernah diputus dan telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa telah lewat waktu atau kadaliwarsa.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang
dilakukannya.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana tetapi
termasuk ruang lingkup perkara perdata atau perselisihan perdata.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa adalah tindak pidana aduan atau klacht
delict, sedang orang yang berhak mengadu tidak pernah mempergunakan haknya.
BENTUK PUTUSAN EKSEPSI.
Pada Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 1 ayat (11) KUHAP ditentukan bahwa
putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi
dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan
pidana untuk tahap pemeriksaan di Pengadilan Negeri.
Sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP apakah Keputusan yang
dimaksud dalam konteks pasal ini adalah Penetapan atau Putusan Mahkamah
Agung
menanggapi
bahwa
ketentuan
pasal
156
KUHAP
ini
memang
Penetapan. Putusan Sela dijatuhkan bila diawali eksepsi diajukan oleh terdakwa
atau Penasehat Hukum, dan setelah Penuntut Umum diberi kesempatan untuk
menyatakan Pendapatnya.
Apabila Hakim menerima
eksepsi, pemeriksaan
aduan akan tetapi tidak ada korban yang melakukan pengaduan. Terhadap hal-hal
seperti ini adalah berhubungan erat dengan materi pokok perkara sehingga baru
diputus setelah memeriksa pokok perkaranya. Jika majelis hakim berpendapat akan
memutus eksepsi tersebut dengan putusan akhir dalam praktek lazimnya disidang
dinyatakan eksepsi tersebut akan diputus dan dipertimbangkan bersamaan dalam
putusan akhir.
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN EKSEPSI.
Yang dimaksud dengan upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum
untuk tidak menerima putusan pengadilan sebagaimana disebutkan dalam
ketentuan Umum Bab I pasal 1 angka 12 KUHAP. Tujuan upaya hukum ini pada
pokoknya adalah untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang
sebelumnya dan untuk kesatuan dalam peradilan ;
Dengan adanya upaya hukum ini ada jaminan bagi terdakwa atau masyarakat
bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin
seragam.11 Dan menurut pandangan para ahli hukum, maksud upaya hukum
adalah :
Diperoleh kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan (operasi
yustitie) ;
Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang
dari hukum ;
Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam menjalankan peradilan ;
Usaha dari para pihak baik terdakwa maupun jaksa memberikan keteranganketerangan baru (novum) ;12
Jadi dapat ditarik kesimpulan dari ketentuan pasal 1 angka 12 KUHAP upaya hukum
(Rechtsmiddelen) berupa :
perkara telah selesai. Berdasarkan penelitian penulis dalam praktek peradilan dari
putusan-putusan judex facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) serta
putusan Mahkamah Agung yang dimuat dalam Majalah Varia Peradilan dalam hal
eksepsi diterima disertai amar putusan memerintahkan kepada Panitera agar
mengembalikan berkas perkara yang bersangkutan kepada Kejaksaan yakni dalam
putusan Mahkamah Agung RI. Nomor : 1301 K/Pid/1986 tanggal 31 Januari 1989. 13
Bersama-sama Permintaan Banding (Revisi).
Konstruksi penerapan perlawanan yang diajukan bersamaan dengan banding
berdasarkan pasal 156 ayat (5) KUHAP, sering menimbulkan pertanyaan dan
menganggap bahwa ketentuan ini dirumuskan dengan tidak jelas. Ketidak
jelasannya berkenaan dengan pengajuan perlawanan ke Pengadilan Tinggi yang
dilakukan bersama-sama dengan permintaan banding, sehubungan dengan
ketentuan selanjutnya yang mengaitkan penyelesaian perkara ini dalam tempo 14
hari sejak Pengadilan Tinggi menerima kasus menjatuhkan putusan, apabila
Pengadilan Tinggi menerima (mengabulkan) perlawanan.
Untuk itu pertama-tama yang perlu dipahami adalah mengenai jenis dan bentuk
eksepsi apa yang dimaksud dengan ketentuan pasal 156 ayat (5) huruf a.
Pendekatan melalui metode sistematikanya, ketentuan ayat (5) ini merupakan
rangkaian dari ayat (2), (3), dan (4), yang mengatur tentang sistim penyelesaian
eksepsi kewenangan mengadili secara relatif (kompetensi relatif). Dengan
demikian bertitik tolak dari pemikiran di atas, perlawanan dimaksud dalam ketentuan
pasal 156 ayat (5) ini hanyalah sebatas perlawanan terhadap putusan eksepsi
kewenangan relatif (kompetensi relatif).
Secara teknis dan doktrin sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab terdahulu,
eksepsi mengenai kompetensi mengadili dapat diajukan setiap saat selama proses
Setiap dakwaan harus memuat unsur waktu dan tempat dilakukan tindak pidana (locus
dan tempus delicti). Seringkali unsur tersebut tidak disebutkan secara tepat dan pasti
dalam suatu dakwaan. Hal ini sering memicu keberatan dari para terdakwa di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi. Salah satunya adalah Marudin Saur Marulitua Simanihuruk,
Mantan Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Depnakertrans dan Direktur
Pengawasan Tenaga Kerja Suseno Tjipto Mantoro.
Kedua terdakwa diduga telah melakukan korupsi dalam proyek pemeriksaan penggunaan
tenaga kerja asing. Dalam eksepsi Suseno dinyatakan jaksa tidak dapat menyebutkan
waktu berupa tanggal, bulan dan tahun kejadian tindak pidana. Begitu pula dengan
tempat dilakukannya tindak pidana. Dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum
karena tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam KUHAP, kata penasihat hukum
terdakwa Suseno, Syamsul Huda pekan lalu.
Dalam dakwaan jaksa Mochamad Rum, Muhibudin, Riyono, Siswanto dan Andi Suharlis,
waktu tindak pidana hanya disebutkan 'pada hari dan tanggal yang tidak dapat diingat
lagi antara bulan November 2004 sampai dengan bulan Juni 2005 atau setidak-tidaknya
pada waktu lain dalam tahun 2004 sampai dengan tahun 2005'. Begitupula dengan locus
delicti. Tidak disebutkan secara pasti. ...bertempat di Kantor Direktorat Jenderal
Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan pada Depnakertrans Gedung A Jl Jenderal
Gatot Subroto atau setidak-tidaknya ditempat-tempat lain yang berdasarkan Pasal 54
ayat (2) UU KPK No. 30/2002 masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan
Tipikor... begitulah bungi dakwaan jaksa.
Jaksa bersikukuh bahwa penyebutan waktu dan tempat tindak pidana tersebut telah
sesuai dengan Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Sebab waktu dan tempat tersebut tidak
mungkin disebutkan secara akurat. Jika penerapan locus dan tempus harus tepat dan
akurat penegakan hukum melalui criminal justice system akan lumpuh total, tegas jaksa
Rum, saat membacakan tanggapan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Selasa (15/1).
Surat Edaran Jaksa Agung No. 004/J.A/11/1993 menentukan suatu dakwaan telah
memenuhi syarat materiil jika memberikan gambaran secara bulat dan utuh tentang
dimana dan bilamana tindak pidana dilakukan. Selain itu surat yang terbit pada tanggal
16 November 1993 menyebut dakwaan harus memuat tindak pidana yang didakwakan,
pelaku, cara tindak pidana, akibat dan ketentuan tindak pidana yang diterapkan
Menurut jaksa, penyebutan secara akurat tidak mungkin dilakukan. Tingkat kesulitannya
bersifat imposibilitas, tambah Rum. Jika misalnya tanggal kejadian disebutkan secara
akurat, dan kemudian ternyata meleset, maka jaksa tidak bisa membuktikan dakwaan.
Akibatnya semua prilaku kriminal tidak bisa dituntut pertangungjawaban hukum atas
kejahatan yang mereka lakukan, sambung jaksa Siswanto.
Menghindari lolosnya pelaku pidana dari jeratan hukum, menyitir pendapat M. Yahya
Harahap, jaksa berpendapat bahwa pencantuman locus dan tempus delicti bisa
disebutkan secara alternatif. Bukan limitatif, tandas Siswanto.
Di depan persidangan pimpinan hakim Martini Mardja, jaksa meminta agar majelis hakim
menolak alasan eksepsi tersebut. Alasan tersebut tidak berdasar, tegas Siswanto. Karena
itu, jaksa meminta agar majelis menyatakan dakwaan sah untuk menjadi dasar
pemeriksaan pokok perkara.
Tidak Mengatur
KUHAP sendiri tidak mengatur bagaimana penyebutan locus dan tempus delicti dalam
suatu dakwaan. Begitulah kata pakar hukum acara pidana, Chairul Huda, saat dibungi
melalui telepon selularnya, Selasa (15/1). Secara materiil KUHAP hanya menyebut dalam
dakwaan menyebutkan waktu dan tempat, jelasnya.
Penyebutan itu penting untuk menakar kadar daluarsa suatu perkara. Jangan sampai
lewat waktu, kata Chairul. Unsur tempus menentukan kewenangan negara untuk
melakukan penuntutan. Sedang unsur locus menentukan menentukan kompetensi
pengadilan untuk mengadili.
Senada dengan jaksa, Dosen Universitas Muhamadiyah Jakarta juga menyatakan
penyebutan unsur waktu dan tempat tidak perlu disebutkan secara akurat. Karena
kemungkinan tindak pidana sudah lampau. Sepanjang tempus masih dapat ditentukan
berarti masih mungkin dilakukan penuntutan, berarti tidak daluarsa, terangnya. Jika
jaksa tidak bisa menyebutkan hari dan jam suatu kejahatan, cukup disebutkan bulan
dan tahun saja. Teknis penyusunan dakwaan tersebut tidak melanggar ketentuan KUHAP,
tandas pria bergelar Doktor ini.
KpK
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f44462abe451/wewenangjaksamenyidik-ada-sejak-hir
Dari aspek historis, kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap kasus tindak
pidana tertentu, khususnya tindak pidana korupsi sudah dimulai sejak berlakunya Herziene
Inlandsch
Reglement
(HIR)
hingga
saat
ini.
Pada masa HIR, penyidikan merupakan bagian dari penuntutan. Kewenangan itu menjadikan
penuntut umum (jaksa) sebagai koordinator penyidikan. Bahkan, jaksa dapat melakukan
penyidikan sendiri sesuai Pasal 38 jo Pasal 39 jo Pasal 46 ayat (1) HIR, kata Direktur TUN
Kejaksaan Agung, Swarsono, dalam pengujian pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (21/2).
Untuk diketahui, seorang tersangka korupsi Djailudin Kaisupy memohon pengujian Pasal 30
ayat (1) berikut penjelasannya UU Kejaksaan Republik Indonesia. Ia menilai kewenangan jaksa
sebagai penuntut umum merangkap penyidik perkara korupsi menimbulkan ketidakpastian
hukum dan melampaui batas kewenangan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Hal ini mengakibatkan penyidikan dan penuntutan tidak objektif
karena
dilakukan
oleh
pihak
yang
sama.
Swarsono menegaskan dalam perkembangannya lahirlah sejumlah Undang-Undang yang
memberi kewenangan penyidikan jaksa dalam perkara tertentu termasuk korupsi. Antara lain,
UU No. 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tipikor,
Pasal 284 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tipikor, UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan.
Termasuk fatwa MA No. KMA/102/III/2005 atas Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang
menyatakan kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana
tertentu
berdasarkan
Undang-Undang,
kata
Swarsono.
Menurut Swarsono pembagian kewenangan penyidikan atau penuntutan antara kepolisian dan
kejaksaan secara tegas (strict) seperti keinginan pemohon merupakan dalil yang keliru. Sebab,
dalam praktik di banyak negara wewenang melakukan penyidikan tidak dipisahkan dari
wewenang
melakukan
penuntutan.
Seperti di Amerika, kejaksaan berwenang baik melakukan penyidikan maupun penuntutan dan
FBI berada di bawah Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Hal yang sama praktek di
Jepang, Jerman, dan negara-negara lainnya. Bahkan, menurut KUHAP Rumania dan RRC
penyidikan
delik
korupsi
khusus
wewenang
jaksa,
bebernya.
Karena itu, dalil permohonan yang didasarkan pada teori hukum yan sudah tidak sesuai dengan
perkembangan hukum saat ini dan tidak sesuai dengan kenyataan di banyak negara hukum dan
demokrasi
yang
ada
di
dunia.
Menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan beserta penjelasannya tidak bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, tuntutnya.
Hal senada juga keterangan DPR yang disampaikan Anggota Komisi III DPR Aziz Syamsuddin.
Ia mengatakan dasar hukum kewenangan jaksa selaku penyidik sejak berlakunya Pasal 6
KUHAP. Sehingga kepolisian bukan penyidik tunggal terhadap perkara apapun, kata Aziz.
Karena itu, DPR tidak sependapat dengan pemohon yang mempersoalkan kewenangan jaksa
dalam penyidikan perkara korupsi. Terlebih, dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo Pasal 17 PP No.
27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP secara tegas menyebutkan kewenangan
kejaksaan
sebagai
penyidik
untuk
tindak
pidana
tertentu
(korupsi).
Pasal inilah yang menjadi acuan kewenangan jaksa bertindak selaku penyidik tindak pidana
korupsi. DPR juga tidak sependapat dengan alasan pemohon menganggap adanya multitafsir
dan disharmonisasi hukum terkait kewenangan jaksa apakah sebagai penyidik atau penuntut
umum? Sehingga Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
https://books.google.co.id/books?
id=fnGtQk0JBBQC&pg=PA138&lpg=PA138&dq=pasal+30+ayat+1+huruf+d&so
urce=bl&ots=pLE6IfFBFR&sig=VcQSTHdSbzt5CvTPkDpEmPmFr4s&hl=en&sa=X&
redir_esc=y#v=onepage&q=pasal%2030%20ayat%201%20huruf%20d&f=false
Karena kedua undang-undang tersebut (in casu UU Polri dan UU KPK No. 30
Tahun 2002 ttg KPK) sama-sama lex spesialis, tinggal dicari mana yang lebih
kuatdi antara keduanya. Prinsip hukum lain yakni, lex posterior derogat legi
priori, yaitu pada norma hukum yang sederajat, norma hukum yang
lebih baru mengesampingkan norma hukum yang lama. Jika tidak
bertentangan, maka undang-undang yang baru dapat disahkan. Kalau dilihat dari
urutannya, UU Polri lebih dulu lahir ketimbang UU KPK (tapi UU Kejaksaan
Republik Indonesia lahir tahun 2004 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia). Kedua undang-undang ini juga memberikan kewenangan
untuk menangani perkara. Karena kedua instansi sama-sama telah menyidik,
maka jawaban siapa yang lebih berwenang menangani perkara simulator ini ada
di UU KPK.
1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang
telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat
dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan
korupsi (trigger mechanism);
4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam
keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
1.
de leer van het instrumentajaran yang didsarkan kepada berfungsinya suatu alat
yang digunakan dalam perbuatan pidana.Jadi ajaran ini menegaskan bahwa yang
dianggap sebagai temapt terjadinya tindak pidana adalahtemapt dimana alat
yang digunakan dalam melakukaan tindak pidana bereaksi.3.
de leer van het gevolgajaran ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak
pidana. Menurut ajaran ini bahwa yangdianggap sebagai locus delicti adalah
tempat dimana akibat daripada tindak pidana tersebuttimbul
Menurut Satochid Kartanegara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ada 4 azas dalam
memperlakukan KUHP, diantaranya azas territorial atau azas wilayah dapat dilihat dalam
Pasal 2,3 KUHP.
Menurut azas ini bahwa berlakunya undang-undang hukum pidana suatu negara didasarkan
pada tempat dimana perbuatan itu dilakukan,tempat tersebut harus terletak dalam wilayah
dimana hukum pidana tersebut berlaku.
kpk
Andi Hamzah, dalam bukunya Pengantar Hukum Acara Pidana halaman 159, Andi
Hamzah perpendapat bahwa petunjuk untuk menyempurnakan penyidikan
merupakan bagian dari penyidikan, sehingga penyidikan dan penuntutan tidak
dapat dipisahkan. sehingga dengan demikian sebenarnya kejaksaan (Jaksa
Penuntut Umum) merupakan penyidik dalam perkara tindak pidana apapun.
Lex specialis derogath legi generalis merupakan asas yang mengatur UU yang khusus
menyampingkan UU umum maka dengan demikian sesuai UU Kejaksaan yakni UU No 16
Tahun 2004 Pasal 30 huruf d Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang dalam melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. kemudian ketentuan
Pasal 284 ayat (2) KUHAP JoPasal 17 Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983, Jaksa
masih berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu (tindakpidana
khusus). Di samping PP nomor 27 tahun 1983 tersebut yang menjadi dasar hukum keJaksaan
melakukan penyidikan adalah Pasal 2 TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tanggal 13
Nopember 1983 yang secara eksplisit mengakui eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai penyidik tindak pidana korupsi dan menugaskan Kejaksaan untuk melakukan
akselerasidalam pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bahkan dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal
30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan: Tugas dan kewenangan Jaksa adalah: Melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU. Dalam penjelasannya
dinyatakan yang dimaksud dengantindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang adalah
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 tentang Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Jo.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Eksistensi
Kejaksaan sebagai penyidik dalam perkaratindak pidana korupsi tidak sepenuhnya dapat
dipahami dengan satu pendapat. Sebab faktanya dalam praktek peradilan ada pengadilan yang
tidak dapat menerima alasan bahwa Jaksa berwenang melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi.
Mahkamah Agung telah memberikan jawaban untuk menanggapi persoalan hukum
tersebut dengan mengeluarkan pendapat/fatwa nomor KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret
2005, dimana pada pokonya fatwa tersebut berpendirian bahwa Jaksa mempunyai
kewenangan untuk menyidik perkara tindak pidana korupsi sesudah berlakunya UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dengan dasar:
Pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 ju undang-undang nomor 20 tahun 2001
Pasal 27 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya.
Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983
Pasal 30 ayat (1) huruf d UU nomor 16 tahun 2004.
Konstruksi hukum Mahkamah Agung yaitu bahwa berdasarkan Pasal 26 UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Penyidikan,
Penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi
dilakukanberdasarkan hukum Acara
Pidana (KUHAP), sehingga oleh karena KUHAP ada aturan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan
penjelasannya jo Pasal 17 PP nomor 27 tahun 1983 maka jelas Jaksa memiliki kewenangan
dalam menyidik tindak pidana korupsi.
http://royronaldpangkey.blogspot.co.id/2015/09/dasar-hukum-kejaksaan-dalammelakukan.html
5.Bahwa hal lain yang dapat juga dijadikan acuan dalam permasalahan dualisme kewenangan
penuntutan di Indonesia adalah tugas dan kewenangan lembaga-lembaga pemberantasan
korupsi di berbagai negara yang memiliki tujuan yang sama untuk melakukan pemberantasan
korupsi seperti KPK di Indonesia, hanya saja kewenangannya hanya sampai tahap penyidikan
dan selanjutnya Kejaksaan yang berwenang untuk menentukan apakah perkara yang disidik
tersebut dapat atau tidak untuk diajukan penuntutan ke pengadilan. Kewenangan lembagalembaga tersebut telah sesuai dengan ketentuan Article 6 United Nations Concention Against
Corruption yang menyebutkan bahwa pembentukan badan independen di setiap negara dalam
rangka pemberantasan korupsi adalah sebagai sarana untuk tindakan pencegahan, akan tetapi
kewenangan KPK di Indonesia yang dapat juga melakukan penuntutan melampaui apa yang
diatur dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut. Sebagai contohnya dapat dilihat
sistem kerja atau kewenangan komisi pemberantasan korupsi di negara-negara tetangga
Indonesia yaitu Singapura, Malaysia dan Australia sebagai berikut:
Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura CPIB merupakan
sebuah badan pemberantasan korupsi independen yang bertanggung jawab untuk
melakukan investigasi dan tindakan preventif korupsi yang berada di Singapura.
Kedudukan badan ini langsung di bawah Perdana Menteri dan dalam melaksanakan
tugasnya mempunyai kewenangan menentukan sendiri siapa yang akan dituduh.
Meskipun tugas utamanya adalah melakukan investigasi atas kasus-kasus korupsi di
lingkungan pemerintah dan swasta, tetapi untuk melakukan penuntutan yang
melakukannya adalah Kejaksaan Singapura atau Attorney General Chamber (AGC).
Selanjutnya AGC akan menelaah secara detail berkas yang diajukan CPIB untuk
diajukan ke pengadilan. Apabila tidak cukup bukti, kasus tersebut disarankan oleh
AGC ke CPIB untuk dialihkan ke proses berdasarkan ketentuan administratif pegawai
negeri, misalnya dikategorikan sebagai kasus pelanggaran disiplin.
Badan Pencegah Rasuah (BPR) di Malaysia BPR dibentuk dengan tujuan untuk
menghapuskan segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilarang
oleh ketentuan perundang-undangan di Malaysia. Ketua badan ini berada di bawah
Perdana Menteri serta memiliki kantor pusat dan cabang di setiap negara bagian.
Dalam pengajuan tuntutan ke pengadilan, BPR harus mendapat ijin dari pihak Jabatan
Peguam Negara (Jaksa Agung Malaysia) yang memiliki kewenangan penuh untuk
memutuskan apakah kasus tersebut diteruskan ke pengadilan atau tidak.
Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Negara Bagian New South
Wales, Australia. ICAC dibentuk berdasarkan Undang-Undang Komisi Independen
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1988 atau Independent Commission
Against Corruption Act 1988 yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum,
mencegah dilanggarnya kepercayaan masyarakat dan sebagai pedoman kinerja bagi
pegawai pemerintahan. ICAC dipimpin oleh Commissioner yang diawasi oleh
Inspector yang ditunjuk oleh gubernur dan melaporkan hasil kerjanya setiap tahun
kepada Parlemen. Tiga tugas utama lembaga ini adalah untuk melakukan penyidikan
dan mempublikasikan tindak pidana korupsi, melakukan pencegahan korupsi secara
aktif dan mendidik masyarakat luas tentang korupsi beserta akibat-akibatnya. Hasil
penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh ICAC dituangkan dalam
bentuk laporan yang disertai rekomendasi. Laporan ini dikirimkan kepada Parlemen
dan Jaksa Agung (Director of Public Prosecutions). Jaksa Agung yang nantinya akan
menentukan apakah kasus yang diselidiki oleh ICAC dapat atau tidak dilakukan
penuntutan, serta membawanya ke pengadilan apabila dapat dilakukan penuntutan.
6.Bahwa selain bertentangan dengan ketentuan Article 6 United Nations Concention Against
Corruption, kewenangan KPK yang tertuang dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 yang menyatakan lembaga ini tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan/Penuntutan juga tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM)
dan kepastian hukum yang berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila
dalam tahap tersebut ada tersangka/terdakwa yang perkaranya ditangani KPK tiba-tiba
meninggal dunia atau tidak mampu bertanggung jawab secara permanen.
akademisi maupun praktisi hukum, bahkan setidaknya telah dua kali di uji dalam
Majelis Mahkamah Kosntitusi tentang keabsahan dasar hukum penyidikan tindak
pidana korupsi oleh Kejaksaan dan keduanya tidak dapat diterima.
Berikut disampaikan dasar kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi oleh
Kejaksaan dilihat dari aspek Historis dan aspek yuridi
Aspek Historis
Bahwa Kejaksaan telah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi
sejak masa berlakunya Herzien Inlandsch Reglement (HIR) sampai dengan saat
ini. Secara historis kewenangan penyidikan Kejaksaan tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
Aspek Yuridis
Bahwa kewenangan penyidikan Kejaksaan diatur dalam beberapa ketentuan
sebagai berikut:
1. Pasal 284 ayat (2 ) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP:
"Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka
terhadap semua. perkara diberlakukan ketentuan undang-undang dengan
pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan
dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi ".
Eksistensi Pasal 284 Ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP merupakan
dasar lanjutan untuk memperkokoh kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh
Kejaksaan sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Umum butir
3 UU Nomor 16 Tahun 2004, yang menyebutkan "Kewenangan kejaksaan untuk
melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung
beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada
kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ".
2. Butir 1 di atas dipertegas kembali dengan Pasal 17 Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang berbunyi Penyidikan
menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-
Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan
Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah
dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib
memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
(4)
hukum
tersebut
dengan
mengeluarkan
pendapat/fatwa
nomor
Pasal 30 ayat (1) huruf d UU nomor 16 tahun 2004. (sumber Varia Peradilan ke-XXI
nomor 243 Pebruari 2006, hal. 34).
Melalui fatwa Mahkamah Agung ini didapat konstruksi hukum yaitu
bahwa berdasarkan pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. UU nomor 20 tahun 2001
penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak
pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga
oleh karena KUHAP ada aturan pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya jo
pasal 17 PP nomor 27 tahun 1983 maka jelas jaksa memiliki kewenangan dalam
menyidik tindak pidana korupsi.
http://hendriesipahutar.blogspot.co.id/2011/04/kewenangan-kejaksaan-menyidik-korupsi.html
EROR IN PERSONA
Doktrin / Pendapat Tokoh Hukum
yang melakukan (plegen)
Satochid Kartanegara (Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian I), Jakarta : Balai Lektur Mahasiswa, hal.500.
Bahwa disebutnya pelaku (pleger) di dalam pasal 55 (1) 1e KUHP adalah dengan
alasan sebagai berikut :
Pada doen plegen, pelaku yang melakukan perbuatan itu dinamakan willoos
werktuig atau manus ministra atau7 manus domina.
R.Soesilo (KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal), Politea Bogor, Tahun 1996.
Hal.73.
Di sini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh
(pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang menyuruh peristiwa pidana, akan
tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian toch ia dipandang dan
dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri peristiwa pidana, akan tetapi ia
menyuruh orang lain. Yang disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu
alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, misalnya dalam hal-hal sebagai
berikut :
Tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 44 KUHP.
Telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak
dapat dihindarkan (overmacht) menurut pasal 48.
Telah melakaukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak syah menurut
pasal 51.
Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali. Geen
straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan).
P.A.F.Lamintang (Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang berlaku di Indonesia), Bandung : Sinar
Baru, 1984, hal.583. yang mengutip pendapat Simons (1937).
Bahwa untuk adanya doen plegen ex. pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP, maka
orang dibuat sehingga melakukan (yang disuruh melakukan) haruslah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang
yang ontoerekeningsvatbaar (penyusun : dapat dipertanggung jawabkan) seperti
yang dimaksudkan di dalam pasal 44 KUHP ;
2. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu
dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak
pidana yang bersangkutan ;
3. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana sama sekali tidak
mempunyai unsur schuld (penyusun : kesalahan), bail dolus maupun culpa
(penulis : kesengajaan maupun kelalaian), atau pun apabila orang tersebut tidak
memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi
tindak pidana tersebut ;
4. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana tidak memenuhi
unsur oogmerk (penulis : niat), padahal unsur tersebut telah disyaratkan didalam
rumusan undang-undang mengenai tindak pidana tersebut di atas ;
5. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah
melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht (penulis : daya paksa), dan
terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan perlawanan ;
6. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik
telah melakukan suatu perintah padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh
seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu ;
7. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai
suatu hoedaniged atau sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undangundang, yakni sebagai sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
MvT
(Memorie van Toelichting), sebagaimana yang diterjemahkan dengan bebas dari buku Hazewinkel
Suringa, 1989 : 372 oleh Prof.Mr.Dr.Lit.A.Z.Abidin dan Prof.Dr.Jur.A.Hamzah (dalam bukunya : BentukBentuk Khusus Perwujudan Delik Percobaan, penyertaan dan Gabungan Delik dan Hukum Penetensier ;
Jakarta, Sumber Ilmu Jaya, 2002, hal.181).
Doen pleger atau orang yang membuat orang lain melakukan (pembuat-pelaku)
atau pun orang yang menyuruh orang lain melakukan termasuk juga sebagai
pembuat (dader) ialah barangsiapa tidak sendiri mewujudkan peristiwa (delik),
tetapi dengan perantaraan orang lain, sebagai alat dalam tangannya, jikalau
orang lain itu berada dalam keadaan tidak mengetahui, atau mengalami
kekhilafan (error in fact) tentang keadaan atau pun dalam keadaan daya paksa
(overmacht), bertindak tanpa kesengajaan atau kelalaian atau pun tidak mampu
bertanggung jawab.
2.
a.
b.
c.
d.
orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas yang disyaratkan
dalam delik, misalnya pasal 413-437 KUHP.
MvT
(Memorie
van
Toelichting),
sebagaimana
yang
dikutip
oleh
Prof.Mr.Dr.Lit.A.Z.Abidin
dan
Menurut M.v.T pelaku peserta ialah barangsiapa dengan sengaja untuk melakukan
delik turut kerjasama. Oleh karena itu undang-undang tidak menjelaskan arti
medeplegen dan M.v.T tidak menguraikan lebih lanjut tentang penjelasannya,
maka timbullah perbedaan pendapat diantara para ahli hukum pidana di
Nederland.
Moeljatno, SH, Prof. ; Hukum Pidana Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 1983, hal.111.
sebagaimana dikutip oleh Ali Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang
Hukum Pidana, Ikahi, 2000, hal.120-122 : 84.
KUHP tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana kriteria turut serta itu. Memorie
van Toelichting (MvT) menerangkan bahwa jika peserta-peserta itu langsung
turut serta dalam pelaksanaan perbuatan pidana (rechstreek deelnemen aan de
uitvoering van het feit). Dalam hal ini Mvt tidak menjelaskan lebih lanjut.
MvT menerangkan perbedaan antara turut serta dalam pasal 55 KUHP dengan
pembantuan dalam pasal 56 KUHP adalah : Mededader (orang yang turut sereta
melakukan) adalah secara langsung turut serta pada pelaksanaan perbuatan
(rechtstreek deelnement aan de uitvoering van het feit). Sedangkan
medeplictige (pembantu) dalam pelaksanaan perbuatan hanya memberi bantuan
yang sedikit atau banyak berfaedah (min of meer afdende hulp verleent). Batas
tersebut seakan-akan ditentukan menurut sifat perbuatnnya. MvT tidak
menegaskan kriteria turut serta dalam pelaksanaan perbuatan pidana agar
seseorang dapat dikenakan pasal penyertaan.
R. Soesilo ; KUHP serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1976, hal.62
sebagaimana dikutip oleh Ali Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang
Hukum Pidana, Ikahi, 2000, hal.120-122.
EY
Kanter
dan
SR
Sianturi,
SH
Azas-azas
Hukum
Pidana
di
Indonesia
dan
Penerapannya.
sebagaimana dikutip oleh Ali Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang
Hukum Pidana, Ikahi, 2000, hal.120-122.
kembali bahwa adalah sangat sulit untuk mengambil batas yang tegas antara
tindakan pelaksanaan dengan persiapan pelaksanaan.
Ali Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Pidana, Ikahi,
2000, hal.121.
Moeljatno, SH, Prof. ; Hukum Pidana Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 1983, hal.111.
sebagaimana dikutip oleh Ali Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang
Hukum Pidana, Ikahi, 2000, hal.120-122 : 84.
P.A.F.Lamintang (Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang berlaku di Indonesia), Bandung : Sinar
Baru, 1984, hal.588.
Oleh karena itu di dalam bentuk deelneming ini selalu terdapat seorang pelaku
dan seorang atau lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yng
dilakukan oleh pelakunya, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut
sebagai suatu mededaderschap. Dengan demikian, maka medeplegen itu
disamping merupakan bentuk deelneming, maka ia juga merupakan suatu
bentuk daderschap.
https://parismanalush.blogspot.co.id/2014/08/penjelesan-unsur-penyertaandeelneming.html
Abuse of power adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat
untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi.
Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan
tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi.
Ada adagium yang mengatakan bahwa, kekuasaan itu dekat dengan korupsi. Kekuasaan yang
tidak terkontrol akan menjadi semakin besar, beralih menjadi sumber terjadinya berbagai
penyimpangan. Makin besar kekuasaan itu, makin besar pula kemungkinan untuk melakukan
korupsi.
Wewenang yang diberikan sebagai sarana untuk melaksanakan tugas, dipandang sebagai
kekuasaan pribadi. Karena itu dapat dipakai untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, pejabat
yang menduduki posisi penting dalam sebuah lembaga negara merasa mempunyai hak untuk
menggunakan wewenang yang diperuntukkan baginya secara bebas. Makin ting gi
jabatannya, makin besar kewenangannya.
Tindakan hukum terhadap orang-orang tersebut dipandang sebagai tindakan yang tidak wajar.
Kondisi demikian merupakan sebuah kesesatan publik yang dapat merugikan organisasi
secara menyeluruh. Dalam keadaan di mana masyarakat lemah karena miskin, buta hukum,
buta administrasi, korupsi berjalan seperti angin lewat.
Dalam Crimineel Wetboek (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) tahun 1809
dijelaskan pengertian,Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang
undang;
Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman pada waktu mengajukan
Crimineel Wetboek tahun 1881 (kemudian menjadi Kitab Undang Undang Hukum
Pidana tahun 1951), dimuat antara lain bahwa kesengajaan itu adalah dengan sadar
berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting van
den wil op een bepaald misdrijf);
1. Pengertian Kesengajaan
Kata kesengajaan berasal dari kata "sengaja", dalam bahasa Inggrisnya adalah intention, dari
kata intend yang artinya berniat melakukan sesuatu, atau dari kata intentional, premeditated,
and willful yang artinya dengan sengaja. Menurut Oxford Advanced Learner's Dictionary "
that which one purposes or plans to do"[2]. Dalam bahasa Belanda, kesengajaan (dengan
sengaja) ini disebut opzetelijk dari kata opzet (sengaja), dalam bahasa Prancis disebut dolus,
sedangkan dalam bahasa Latin disebut doleus. Melihat pengertian yang disebutkan dalam
Oxford Advanced Learner's Dictionary tersebut, kita ketahui bahwa kesengajaan adalah
keinginan, kehendak atau kemauan seseorang untuk melakukan sesuatu. Jika dihubungkan
dengan tindak pidana maka, maka dalam melakukan suatu tindak pidana haruslah ada unsurunsur yang menyebabkan tindakan tersebut dikatakan kesengajaan melakukan suatu tindak
pidana. Adapun unsur-unsur tersebut, yaitu:
harus ada kehendak, keinginan, atau kemauan pada diri seseorang untuk melakukan tindak
pidana;
orang yang berbuat sesuatu dengan sengaja itu sudah mengetahui dan sadar sebelumnya akan
akibat-akibat perbuatannya.[3]
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang beraku pada saat sekarang ini sama
sekali tidak menerangkan tentang makna/arti dari kesengajaan dalam melakukan tindak
pidana. Konsep KUHP baru yang akan datang bermaksud merumuskan istilah kesengajaan
dan juga kealpaan (culpa)[4].
Jika kita melihat perumusan KUHP di negara-negara lain, kita bisa membagi, mengenai
perumusan maksud kesengajaan dan kealpaan, menjadi dua kelompok[5], yaitu:
1. ada yang hanya merumuskan dan menegaskan bahwa seseorang hanya dapat dipidana
jika ada unsur kesengajaan dan kealpaan tanpa menjelaskan maksud/definisi kedua
bentuk tersebut. Teknis perumusan ini bisa dilihat misalnya dalam KUHP Norwegia,
Greenland, Jepang, Korea dan KUHP Jerman 1871.
2. Ada pula yang memandang perlu merumuskan pengertian kesengajaan dan kealpaan,
seperti pada KUHP Thailand, Swiss, Polandia, Republik Demokrasi Jerman dan
KUHP Yugoslavia.
2. Kesengajaan Menurut KUHP Negara-Negara Lain
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa perumusan tentang kesengajaan dan kealpaan di
negara-negara lain bisa dibagi menjadi kelompok, yaitu yang hanya merumuskan tentang
kesengajaan dan kealpaan tanpa menjelaskan definisi kedua istilah tersebut; dan yang
merumuskan definisi kedua istilah tersebut (kealpaan dan kesengaja-an). Tujuan dari
penulisan beberapa contoh KUHP di Negara-negara lain ini adalah sebagai kaca
perbandingan bagi kita tentang definisi kesengajaan.
Di sini, kami hanya membatasi penjelasan tentang kesengajaan menurut negara-negara lain.
Adapun tentang kealpaan akan dijelaskan oleh pemakalah yang lain.
a. KUHP Thailand
KUHP Thailand telah memberikan pengertian tentang definisi kesengajaan, yaitu pada Pasal
59 paragraf 2[6] yang berbunyi Melakukan sesuatu dengan sengaja ialah melakukan
perbuatan secara sadar dan pada saat yang sama si pembuat menghendaki atau dapat
memperkirakan/mengetahui lebih dahulu akibat dari perbuatan yang demikian itu.
Pada Pasal 59 paragraf/ayat 3 ditegaskan bahwa apabila si pembuat tidak mengetahui faktafakta ayang merupakan (unsur) tindak pidana, tidaklah dapat dianggap ia menghendaki atau
dapat memperkirakan/mengetahui lebih dahulu akibat dari perbuatan yang demikian itu.
Jika melihat bunyi pasa 59 paragraf/ayat 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa error facti tidak
dapat dipandang sebagai perbuatan yang disengaja (memiliki unsur kesengajaan). Namun
demikian, apabila ignorance of fact itu terjadi karena kealpaan, maka si pelaku dapat
dikenakan pidana, seperti disebutkan pada pasal 62 ayat (2)[7].
diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja pada waktu kejadian.
Maksudnya bahwa si pelaku tahu bahwa perbuatannya tersebut akan berakibat fatal bagi si
penderita/korban, namun ia tetap melakukan perbuatan/tindakan tersebut. Sebagai contoh: si
A mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, sedangkan ia tahu bahwa ada anak-anak
sedang bermain di jalan. Seandainya ia tidak mengurangi kecepatan laju mobilnya maka ia
pasti akan menabrak mereka yang berakibat luka-luka atau kematian. Jadi, kalau si pelaku
mengurangi kecepatanya, mungkin hal-hal tersebut tidak akan terjadi.
Namun, menurut Prof. Moeljatno, SH.[12], dolus eventualis bukan merupakan kesengajaan.
Beliau menyatakan bahwa teori yang paling jelas mengenai hal ini (dolus eventualis) adalah
teori inkauf nehmen(teori apa boleh buat), yaitu teori yang mengenai dolus eventualis,
bukan tentang kensengajaan, yang mana akibat atau keadaan yang diketahui kemungkinan
adanya tidak disetujui. Namun, akibat yang ditimbulkan dapat diterima. Sehingga ada dua
syarat untuk adanya kesengajaan, yaitu:
1. terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat yang merupakan delik;
2. sikapnya ketikakemungkinan itu terjadi, ialah apa boleh buat, dapat disetujuinya dan
berani menanggung resiko.
b. Dolus Determinatus
Jika melihat dari segi bahasa, determinatus, dalam bahasa Inggris, berasal dari kata determine
yang artinya kurang lebih menentukan. Jadi dolus determinatus adalah suatu tindak pidana
yang disengaja dan obyek/sasarannya telah ditentukan. Sebagai contoh: Si A ingin membunuh
si B.
c. Dolus Indeterminatus
Dolus Indeterminatus adalah suatu tindakan yang mana si pelaku tidak menentukan
sasarannya, siapapun yang terkena tidak masalah, misalnya pembunuhan dilakukan pada
waktu sidang/rapat di lapangan.
d. Dolus Alternativus
Sedangkan dolus ini adalah seperti namanya yaitu alternative si pelaku melakukan suatu
perbuatan/tindak pidana dengan memilih salah satu dari targetnya, misalnya si A ingin
membunuh si B atau si C (sala satu di antara jumlah tertentu).
e. Dolus Indirectus
Yang dimaksud dengan dolus indirectus adalah seseorang melakukan suatu tindak pidana
dengan maksud menganiaya saja, namun si korban/atau yang dianiayanya mati.
f. Dolus Premeditatus
mengakhiri keadaan terlarang (pompe). Kedudukan pleger dalam pasal 55 : Janggal karena
pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya (pelaku tunggal) Dapat dipahami : (pasal 55
menyebut siapa-siapa yang yang disebut sebagai pembuat, jadi pleger masuk didalamnya)
mengenai
a)
keadaan-keadaan
mengenai
pribadi
seseorang
(persoonlijke
orang tsb seoprang tersangka pencurian. Jika B melaksanakan suruhan tsb B tidak dapat
dipidana karena ia menyangka bahwa perintah itu sah.
d. Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali. Ex: A berniat akan
mencuri sepeda motor yang sedang diparkir di depan kantor pos. ia tidak berani melakukan
sendiri akan tetapi ia menunggu di tempat agak jauh minta tolong kepada B untuk mengambil
sepeda motor tsb dengan dikatakan bahwa itu adalah miliknya. Jika B memenuhi permintaan
itu ia tidak dapat disalahkan melakukan pencurian, karena unsur sengaka tidak ada.
b.
Para peserta telah sama sama melaksanakan tindak pidana yang dimaksudkan.
Jadi, perbedaan antara pembuat peserta dengan pembuat pelaksaana hanyalah dari sudut
perbuatan (objektif), ialah perbuatan pembuat pelaksana itu adalah perbuatan penyelesaian
tindak pidana. Artinya terwujud dan selesainya tindak pidana adalah oleh perbuatan pembuat
pelaksana, dan bukan oleh perbuatan pembuat peserta. Dengan kata lain, perbuatan pembuat
pelaksana adalah perbuatan pelaksanaan tindak pidana, sedangkan perbuatan pembuat peserta
adalah sebagian dari perbuatan pelaksanaan tindak pidana. Terdapat perbedaan juga antara
pembuat pelaksana dengan pembuat peserta, adalah dalam hal tindak pidana yang
mensyaratkan subyek hukum atau pembuatnya harus berkualitas tertentu.
Medepleger (Turut Serta)
Orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan sesuatu yang
dilarang menurut undang-undang
Turut mengerjakan sesuatu:
- mereka memenuhi semua rumusan delik
- Salah satu memenuhi semua rumusan delik
- Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik
Syarat
1. Adanya kerjasama secara sadar (bewuste samenwerking)
2. Adanya kerjasama secara fisik (gezamenlijke uitvoering/physieke samenwerking)
Kerjasama secara sadar :
a. Adanya pengertian antara peserta atas suatu perbuatan yang dilakukan
b. Untuk bekerjasama
c. Ditujukan kepada hal yang dilarang oleh undang-undang
Kerjasama/pelaksanaan bersama secara fisik:
Kerjasama yang erat dan langsung atas suatu perbuatan yang langsung menimbulkan
selesainya delik yang bersangkutan.
b.
Caranya, ialah :
Dengan memberikan sesuatu
b.
Ketiga, terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan untuk melakukan tindak pidana
sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya
upaya penganjuran oleh si pembuat penganjur.
d. Keempat, orang yang dianjurkan telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang
dianjurkan.
e.
Kelima, orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggung
jawab.
Terdapat syarat untuk adanya upaya menyalahgunakan kekuasaan yang dimaksud dalam
hal penganjuran adalah :
a)
Pertama, bahwa upaya ini digunakan dalam hal yang hubungan atau dalam ruang lingkup
tugas pekerjaan dari pemegang kekuasaan dan orang yang ada dibawah pengaruh kekuasaan.
b) Kedua, bahwa hubungan kekuasaan itu harus ada pada saat dilakukannya upaya
penganjuran dan pada saat pelaksanaan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan.
Berikut adalah persamaan dan perbedaan antara bentuk pembuat penyuruh dengan pembuat
penganjjur :
Persamaannya ialah :
a.
Pada kedua bentuk, baik pembuat penyuruh maupun pembuat penganjur tidak melakukan
masisng masing ditujukan pada penyelesaian tindak pidana dengan menggunakan orang
lain.
Sedangkan perbedaannya ialah :
a.
Bahwa dalam melakukan penganjuran harus menggunakan cara cara yang telah
ditentukan dalam pasal 55 ayat 1 ke 2 KUHP. Pada bentuk menyuruh lakukan boleh
menggunakan segala cara.
b.
dipertanggungjawabkan yang sama terhadap timbulnya tindak pidana, artinya sama sama
dipidana. Tetapi pada bentuk menyuruh lakukan yang dibebani tanggung jawab pidana dan
dipidana hanyalah pembuat penyuruhnya saja.Sedangkan pembuat materiilnya tidak dapat di
jatuhi pidana.
Istilah piercing the corporate veil kadang-kadang disebut juga dengan istilah lifting the
corporate veil atau going behind the corporate veil. Secara harafiah, istilah piercing the
corporate veil berarti mengoyak tirai perusahaan. Sedangkan dalam ilmu hukum perusahaan,
istilah piercing the corporate law merupakan suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai
suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain, atas
perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat
kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan pelaku tersebut.
dalam kasus seperti ini, status badan hukum dari perusahaan yang bersangkutan dan
keberadaan prinsip pertanggungjawaban terbatas akan diabaikan oleh pengadilan dan
membebankan tanggung jawab kepada pengurus dan pemegang saham dari perseroan
tersebut.
Secara universal, penerapan teori ini dapat dilakukan dalam hal-hal :
1. Karena Perusahaan tidak mengikuti formalitas tertentu.
Piercing the Corporate Veil dapat diterapkan karena suatu perseroan tidak mengikuti
formalitas tertentu yang sebagaimana telah ditentukan di dalam Undang-Undang yang
berlaku. Dalam hal ini prinsip piercing the corporate veil diterapkan bukan bertujuan secara
langsung untuk melindungi pihak tertentu, namun semata-mata agar formalitas tertentu yang
berlaku tersebut terpenuhi. Beberapa contoh penerapan prinsip ini dalam hal tidak
dipenuhinya formalitas tertentu :
a.
Prinsip piercing the corporate veil dalam hal ini diterapkan pada perusahaan yang sebenarnya
dalam kenyataan adalam tunggal, namun dibagi ke dalam beberapa perseroan secara artifisial.
Dengan diterapkannya piercing the corporate veil, maka beban tanggung jawab diberikan
kepada seluruh perseroan yang saling terkait tersebut.
3. berdasarkan hubungan kontraktual
prinsip piercing the corporate veil diterapkan ketika ada hubungan kontraktual dengan pihak
ketiga, dimana jika tanpa diterapkannya prinsip ini, kerugian pihak ketiga tidak dapat
ditanggulangi. Agar prinsip piercing the corporate veil dapat diterapkan, biasanya
dipersyaratkan terdapatnya unsur keadaan yang tidak lazim pada aktivitas perusahaan.
Keadaan tidak lazim tersebut bisa berupa salah satu dari hal-hal berikut ini :
a.
b.
Perseroan dibentuk khusus untuk melakukan kegiatan yang berbahaya tanpa ixin yang
berwenang.
prinsip piercing the corporate veil juga dapat diterapkan pada perusahaan dalam grup usaha.
Dalam ilmu hukum dikenal dengan apa yang disebut doktrin innstrumental. Menurut
doktrin tersebut, maka teori piercing the corporate veil dapat diterapkan. Dalam keadaan
seperti ini, berarti yang bertanggung jawab bukan hanya badan hukum yang melakukan
perbuatan hukum yang bersangkutan, melainkan pemegang saham ( perusahaan holding) juga
ikut bertanggung jawab, jika salah satu unsur dibawah ini terpenuhi :
a.
b. Estopel, atau
c.
1.
Perusahaan holding dan anak perusahaan mempunyai pengurus, komisaris, atau pegawai
yang sama.
2.
3.
Perusahaan holding membayar gaji, upah, kerugian dan ekspenses lainnya dari anak
perusahaan.
4.
Perusahaan holding memiliki seluruh atau hampir seluruh saham anak perusahaan.
5.
6.
7.
anak perusahaan tidak mempunyai aset lain kecuali aset yang dialihkan dari perusahaan
holding.
8.
9.
Penerapan prinsip piercing corporate veil secara khusus dilakukan terhadap organ-organ
perusahaan, yaitu pemegang saham, direksi, komisaris dalam hal :
a. Pemegang Saham
Prinsip piercing the corporate veil terhadap pemegang saham dapat dilakukan apabila terjadi
hal-hal berikut :
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.
2.
Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad
buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi
3.
Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan hukum yang dilakukan
perseroan.
4. pemegang saham yang bersangkutan secara langsung maupun tidak secara melawan hukum
menggunakan kekayaan perseroan.
Selain itu, prinsip piercing the corporate veil juga dapet diterapkan terhadap pemegang saham
dalam 5 (lima) hal tindakan dibawah ini :
3. Alter Ego
Keadaan dimana pihak pemegang saham terlalu dominan dalam kegiatan perusahaan
melebihi dari peran pemegang saham yang seharusnya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa perusahaan hanya berfungsi sebagai instrumen mencari untung pribadi dari pihak
pemegang sahamnya. Dalam hal ini, perseroan tersebut dikatakan sebagai alter ego dari
pemegang saham yang bersangkutan.
4. jaminan pribadi dari pemegang saham
5. permodalan yang tidak layak
hal ini terjadi misalnya, jika modal perseroan terlalu kecil sedangkan bisnis perusahaan
tersebut besar.
b. Direksi
Memang pada prinsipnya dan secara klasik, dengan diterapkannya teori Piercing The
Corporate Veil, maka pihak pemegang sahamlah yang biasanya dimintakan tanggung jawab
atas kegiatan yang dilakukan perseroan. Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian dari
penerapan teori Piercing The Corporate veil tersebut, beban tanggung jawab dipindahkan
juga dari perseroan kepada pihak lainnya selain pemegang saham, misalnya direksi atau
komisaris.
Penerapan prinsip piercing the corporate veil terhadap direksi dapat dilakukan dalam hal :
1. direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan.
2. perusahaan belum dilakukan pendaftaran dan pengumuman.
6. Baik sengaja atau tidak, tidak memenuhi janji yang telah diberikan (breach of
warranty or authorithy commitment).
7. Tidak menjalankan tugasnya sebagai wakil pemegang saham dengan baik.
Kerugian perusahaan akan menjadi tangggung jawab direksi seandainya semua kesalahan
atau kelalaian tersebut bisa dibuktikan.
c.
Komisaris
Dalam beberapa hal, pemberlakuan teori Piercing The Corporate Veil juga berlaku
bagi komisaris. Dalam hal-hal tertentu pihak komisaris secara pribadi dapat dimintakan
tanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan oleh perseroan. Pemberlakuan teori piercing the
corporate veil kepada komisaris dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. jika komisaris tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan.
2. jika ada kesalaha hukum (dengan unsur kesengajaan atau kelalaian) dari pihak
komisaris.
3. jika dokumen perhitungan tahunan tidak benar.
4. jika dalam keadaan tertentu, komisaris menggantikan direksi dalam menjalankan
pekerjaan perseroan dan dia akan bertanggung jawab dalam posisinya selaku direksi.
Fiduciary duty oleh Blacks Law Dictionary diartikan sebagai a duty to act with the highest degree of honesty
and loyalty toward another person and in the best interests of the other person (such as duty that one partner
owes to another).
Terkait dengan fiduciary duties dalam Perseroan Terbatas (PT), dalam buku Organ Perseroan Terbatas (hal.
39) Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia menjelaskan bahwa tugas dan tanggung jawab melakukan
pengurusan sehari-hari Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan
tersebut dalam sistem common law dikenal dengan prinsip fiduciary duties.
Tugas dan tanggung jawab Direksi sesuai Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UUPT) adalah menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan. Sedangkan, Dewan Komisaris bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan
atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha
Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi (lihat Pasal 108 ayat [1] UUPT).
Referensi mengenai fiduciary duty juga dapat ditemui dalam buku Hukum Perseroan Terbatas yang ditulis M.
Yahya Harahap (hal. 374 dan 457). Fiduciary duty ini diartikan oleh Yahya Harahap sebagai wajib
dipercaya. Menurut Yahya wajib dipercaya berarti setiap anggota Direksi maupun Dewan Komisaris
selamanya dapat dipercaya (must always bonafide) serta selamanya harus jujur (must always be honest)
dalam menjalankan tugasnya (Direksi melakukan pengurusan dan Dewan Komisaris melakukan pengawasan).
Sementara penulis lainnya, Ridwan Khairandy dalam bukunya Perseroan Terbatas (hal. 209) menulis bahwa
dalam menjalankan tugas fiduciary duties, seorang Direksi harus melakukan tugasnya sebagai berikut:
1.
2.
4.
Dari uraian singkat di atas kiranya dapat kita simpulkan bahwa Direksi dan Dewan Komisaris dari suatu PT
yang mengemban fiduciary duties memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
sebagaimana diatur dalam UUPT dengan sebaik-baiknya, jujur, dengan itikad baik, dan demi kepentingan PT
sesuai dengan maksud dan tujuan PT.
Perkara PS diputus
Hak tersangka dan terdakwa di dalam KUHAP diatur dalam
Pasal 50 sampai
dengan Pasal 68
. Berbagai aspek
dari
hak seorang tersangka dan
terdakwa
dilindungi oleh KUHAP, diantaranya
yaitu
:
1.
Hak untuk mendapat pemeriksaan serta pengadilan yang cepat.
Jaminan
in
i
untuk menjauhkan kemungkinan terkatung
katungnya nasib seseorang di
dalam tahanan dan tidak adanya kepastian hukum, perlakuan sewenang
wenang dan tidak wajar
dari aparat negara
.
P
engaturan ini dimaksudkan
p
u
la
agar
peradilan dilakukan dengan sederhana, c
epat dan biaya ringan
(speedy
trial)
.
P
roses pemeriksaan yang berlangsung lama.
KUHAP memberikan
kewenangan kepada pejabat terkait untuk melakukan
penangkapan dan
penahanan di setiap tingkat pemeriksaan. Selama proses
pemeriksaan tersebut,
masa tahanan seseorang dapat diperpanjang sesuai
dengan kebutuhan proses
pemeriksaan.
Namun, l
am
anya
masa penahanan dalam KUHAP menyebabkan
penyidik tidak segera melakukan
proses pemeriksaan
. Akibatnya, terjadi
p
elanggaran
dan perlakuan sewenang
wenang, seperti ketidakpastian kapan
kasus
akan
disidangkan,
penyiksaan
dan
merampas
kemerdekaan
tersangka
/terdakwa untuk hal
hal yang dapat dilakukan dengan cepat.
2.
I
ntimidasi
dan
penyiksaan untuk mendapatkan keterangan
.