Anda di halaman 1dari 70

relatif

http://khoirul-anwar-sh.blogspot.co.id/2012/07/alasan-mengajukaneksepsi.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18346/locus-dan-tempus-delictitidak-perlu-disebutkan-akurat-dalam-dakwaan
Alasan Mengajukan Eksepsi
BAB III
MENGAJUKAN EKSEPSI
DAN UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN EKSEPSI

ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN EKSEPSI.

Menyangkut Kewenangan Mengadili.


Sesuai dengan ketentuan pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970, Negara kita
mengenai empat lingkungan peradilan, yakni : Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing lingkungan
peradilan mempunyai wewenang tertentu, khusus untuk mengadili hal-hal yang telah
ditentukan oleh undang-undang bagi setiap lingkungan peradilan. Apa yang menjadi
wewenang mengadili bagi satu lingkungan peradilan, dengan sendirinya menjadi
kekuasaan mutlak bagi lingkungan peradilan yang bersangkutan, lingkungan
peradilan lain tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya.
Akan tetapi sekalipun undang-undang telah menentukan batas wewenang mengadili
bagi masing-masing lingkungan peradilan tersebut, justru dari pembedaan dan
pembagian kekuasaan mengadili tersebut muncul beberapa permasalahan hukum
baik itu diantara beberapa pengadilan yang berada dalam satu lingkungan peradilan
karena adanya pembagian wilayah kekuasaan hukum. Dengan demikian, khusus

dalam lingkungan peradilan umum, jika dalam perkara yang diajukan oleh
Jaksa/Penuntut Umum terdapat kekeliruan mengenai kewenangan itu maka
terdakwa atau penasehat hukum dapat mengajukan eksepsi karena pengadilan
yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkaranya, dalam praktek hukum
biasa disebut Exeptie onbevoegheid van de rehter artinya Pengadilan yang
dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili, kewenangan ini juga diklasifikasikan
dengan :
Pengadilan Tidak Berwenang Mengadili Secara Mutlak (Absolut).
Bertitik tolak dari penjelasan ketentuan pasal 10 Undang-undang No.14 Tahun 1970,
tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa
keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing mempunyai lingkungan
kewenangan tertentu dan meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan
tingkat banding. Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu
sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya baik
mengenai perkara perdata maupun perkara pidana. Dalam empat lingkungan
peradilan

ini

tidak

menutup

kemungkinan

adanya

pengkhususan

(differensial/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan peradilan, misalnya


dalam lingkungan

peradilan

umum dapat diadakan pengkhususan berupa

Pengadilan Lalu-Lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya


dengan undang-undang.
Alasan mengajukan eksepsi mengenai kewenangan secara mutlak (absolut)
maksudnya adalah pengadilan manakah diantara lingkungan peradilan tersebut di
atas yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Bila
peradilan umum yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara itu, maka

peradilan lain tidak berkompeten untuk memeriksa dan mengadilinya. Sebaliknya


bila lingkungan peradilan khusus yang berwenang memeriksa dan mengadili karena
mengenai perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, maka secara
absolut lingkungan peradilan umum tidak berkompeten untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Jika terdapat kekeliruan atau kesalahan yuridiksi pengadilan, dimana sesungguhnya
perkara itu bukan merupakan yuridiksi lingkungan peradilan umum akan tetapi
termasuk yuridiksi lingkungan peradilan lain (khusus), Terdakwa atau Penasehat
Hukum, dapat mengajukan eksepsi dengan alasan bahwa Pengadilan tersebut tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya secara absolut. Eksepsi ini
disebut Eksepsi Tidak berwenang mengadili secara absolut.
Namun jika Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim Ketua Sidang yang memeriksa
perkara itu berpendapat, bahwa perkara tersebut tidak termasuk wewenang
pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang Pengadilan Negeri lain,
maka tanpa diajukan eksepsi oleh terdakwa atau Penasehat Hukum, Hakim Ketua
Sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan setelah mendengar
pendapat Penuntut Umum dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat
alasannya dapat menyatakan pengadilan tidak berwenang. (Penjelasan dalam
Himpunan Tanya Jawab Rapat Kerja Mahkamah Agung dengan pengadilan tingkat
banding di daerah (RAKERDA) yang dimaksud sebenarnya adalah eksepsi dan
bukan verzet.1)
Berpedoman dari ketentuan pasal 148 ayat (2) dan pasal 156 ayat (5) b KUHAP,
maka pelimpahan perkara tersebut dilimpahkan kembali kepada Penuntut Umum,
dam selanjutnya Kejaksaan Negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada
Kejaksaan Negeri yang berkedudukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang

dicantumkan dalam Surat Penetapan itu. Turunan Surat Penetapan sebagaimana


dimaksud disampaikan pula kepada terdakwa atau Penasehat Hukum dan penyidik.
Pengadilan Tidak Berwenang Mengadili Secara Relatif.
Di samping kekuasaan mengadili yang disebut dengan attributie van rechtsmacht
atau kekuasaan absolut ada kekuasaan lain yang disebut distributie van
rechtsmacht atau kekuasaan relatif. Alasan yang kedua ini adalah menyangkut
pengadilan tidak berwenang mengadili secara relatif, dimana hal ini lebih menitik
beratkan pada pembagian wilayah hukum (yuridiksi) pengadilan sejenis dalam satu
lingkungan peradilan sebagaimana ditentukan dalam bagian kedua Bab X KUHAP.
Yang terdiri dari pasal 84,85 dan pasal 86 KUHAP. Berdasarkan dari ketentuan
ketiga pasal tersebut ada beberapa kriteria yang bisa dipergunakan oleh Terdakwa
atau Penasehat Hukum sebagai dasar untuk mengukur atau meguji kewenangan
mengadili dari pengadilan negeri, dan bagian ketiga mengenai kewenangan relatif
bagi Pengadilan Tinggi, dan bagian keempat mengatur kewenangan relatif bagi
Mahkamah Agung, yang dapat dijadikan sebagai dasar atau alasan mengajukan
eksepsi.
Kewenangan relatif bagi Pengadilan Negeri sejenis tersebut dapat dijadikan tolak
ukur untuk mengetahui apakah pengadilan tersebut berwenang atau tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan kita dapat
berpedoman berdasarkan ketentuan pasal 84 KUHAP yang

menyebutkan

Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana


yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Asas yang dipergunakan dalam pasal ini
adalah berdasarkan :

Tempat Tindak Pidana Dilakukan (locus delicti).

Terdapat suatu prinsip atau asas tentang menentukan kewenangan relatif bagi
Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu perkara pidana berdasarkan pada
Tempat terjadinya tindak pidana dilakukan (locus delicti) Pengadilan Negeri
tersebutlah yang berwenang mengadilinya, sebagaimana dalam ketentuan pasal 84
ayat (1) KUHAP yang berbunyi Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala
perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya. Untuk
memahami lebih jelas tentang locus delicti dapat ditentukan berdasarkan teori
perbuatan materil (mengenai tempat dimana perbuatan dilakukan), teori instrumen
(mengenai peralatan yang dipakai untuk tindak pidana), dan teori akibat (mengenai
dimana akibat perbuatan pidana terjadi).2 Beberapa ajaran tersebut yakni :
De leer van delicha melijke daad atau teori corporeal action (ajaran mengenai
tempat dimana perbuatan dilakukan in persona atau teori perbuatan materiil).
Menurut ajaran ini yang menjadi patokan menentukan locus delicti atau yang harus
dianggap sebagai tempat dilakukan tindak pidana adalah jika terdapat unsur :
Tempat di daerah hukum mana perbuatan pidana dilakukan serta akibat yang
ditimbulkannya juga terjadi pada daeraha hukum yang sama. Jika perbuatan dan
akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam satu lingkungan daerah hukum Pengadilan
Negeri, maka Pengadilan Negeri tersebutlah yang berwenang mengadilinya. Dalam
hal ini antara perbuatan dengan akibat tidak terpecah dalam dua lingkungan
wilayah hukum yang berlainan. Akan tetapi berada pada satu wilayah hukum
pengadilan saja.
De leer van het instrument (ajaran mengenai peralatan yang dipakai untuk tindak
pidana atau teori instrument).
Ajaran ini menentukan locus delicti berdasarkan unsur alat yang digunakan dan
dengan alat itu, tindak pidana diselesaikan dari suatu tempat. Antara tempat

perbuatan dan penyelesaian perbuatan tindak pidana seolah-olah terpisah atau


berlainan tempat atau dapat dikatakan lebih dari satu daerah hukum pengadilan.
Maka menurut teori ini pada hakikatnya penyelesaian perbuatan sudah dianggap
sempurna di tempat dari mana alat itu dipergunakan atau tempat dimana peralatan
yang dipakai harus dianggap sebagai tempat dimana tindak pidana dilakukan
menimbulkan suatu akibat, Pengadilan tersebutlah yang berwenang mengadilinya.
De leer van het gevolg (ajaran mengenai akibat atau teori akibat).
Adakalanya suatu perbuatan dilakukan pada suatu tempat tanpa mempergunakan
alat, tapi akibat perbuatan terjadi pada tempat lain. Menurut ajaran ini locus delicti
ditentukan berdasarkan akibat perbuatan tindak pidana. Yang harus dianggap
sebagai tempat tindak pidana dilakukan adalah tempat dimana perbuatan itu
menimbulkan akibat.
Berdasarkan pada tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar
saksi yang akan dipanggil.
Asas locus delicti sebagaimana disebutkan dalam pasal 84 ayat (1) KUHAP ternyata
tidak mutlak dapat dipertahankan, hal ini dapat kita lihat sebagaimana disebutkan
dalam ketentuan pasal 84 ayat (2) KUHAP bahwa :
Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal,
berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang
mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi
yang dipanggil lebih dekat pada pengadilan negeri itu dari pada tempat kedudukan
pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya tindak pidana itu dilakukan.
Pasal 84 ayat (2) KUHAP ini memberi gambaran telah mengesampingkan asas
pasal 84 ayat (1) tersebut mengenai locus delicti. Asas ini menentukan kewenangan
relatif berdasarkan tempat tinggal sebagian besar saksi yang akan dipanggil untuk

didengar keterangannya dalam persidangan. Jika sebagian saksi bertempat tinggal


atau lebih dekat dengan duatu Pengadilan Negeri, maka pengadilan negeri
tersebutlah yang berwenang mengadilinya. Penerapan asas tempat kediaman
sebagian besar saksi bertempat tinggal dapat dilihat dari beberapa hal yaitu :
Terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri dimana sebagaian
besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal.
Jika terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri sebagian besar
saksi yang akan dipanggil maka kewenangan relatif mengadili terdakwa, beralih dari
Pengadilan Negeri tempat dimana peristiwa itu terjadi ke Pengadilan Negeri tempat
dimana terdakwa bertempat tinggal dengan sebagian besar saksi yang akan
dipanggil tersebut.
Tempat kediaman terakhir terdakwa dan sebagian besar saksi yang akan dipanggil
bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri tersebut.
Jika terdakwa melakukan tindak pidana di suatu daerah Pengadilan Negeri, akan
tetapi saksi-saksi yang akan dipanggil bertempat tinggal atau lebih dekat dengan
daerah hukum Pengadilan Negeri dimana terdakwa berkediaman terakhir maka asas
locus delicti dapat dikesampingkan, dan yang berwenang mengadili adalah
Pengadilan Negeri tempat kediaman terakhir terdakwa.
Di tempat terdakwa diketemukan dan saksi-saksi yang akan dipanggil sebagian
besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan kediaman terdakwa.
Asas locus delicti dapat dikesampingkan dan yang berwenang mengadili adalah
Pengadilan Negeri tempat terdakwa diketemukan.
Di tempat terdakwa ditahan. Berdasarkan alasan tempat terdakwa ditahan dan
saksi-saksi yang hendak dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih
dekat dengan pengadilan negeri dimana tempat terdakwa ditahan.

Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa pengadilan yang berwenang memeriksa
dan mengadili terdakwa adalah Pengadilan Negeri di mana tempat terdakwa
tersebut ditahan. Dari beberapa alasan yang terdapat dalam pasal 84 ayat (2)
KUHAP ini dapat ditafsirkan bahwa ketentuan ini lebih menitik beratkan kepada
kepentingan kepraktisan pemeriksaan persidangan dengan jalan memberi pedoman
dimana para saksi lebih mudah memenuhi panggilan pemeriksaan sidang.
Sehubungan dengan beberapa tindak pidana yang dilakukan terdakwa dalam
daerah hukum pelbagai pengadilan negeri.
Dalam hal beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dalam daerah
hukum pelbagai pengadilan negeri, dimana tiap-tiap tindak pidana tersebut
dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri. Sifat tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa benar-benar murni, artinya tidak ada sangkut pautnya atau
terpisah dengan tindak pidana yang lain yang dilakukan dalam daerah hukum
Pengadila Negeri yang lain.
Maka jika mengacu pada ketentuan pasal 84 ayat (3) KUHAP, dan jika terdakwa
terbukti bersalah melakukan beberapa tindak pidana tersebut, maka masing-masing
Pengadilan Negeri tersebut akan men-jatuhkan hukuman pidana. Dalam arti
terdakwa akan dijatuhi lebih dari lebih dari satu hukuman pidana. Akan tetapi bila
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut pada pelbagai pengadilan ada
sangkut pautnya atau secara teoritis perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa
dipelbagai pengadilan negeri tersebut terdapat unsur-unsur Perbarengan atau
Concursus baik Concursus Idealis sebagaimana yang diatur dan diancam pidana
dalam ketentuan pasal 63 ayat (1) KUHP, maupun unsur Concursus Realis
sebagaimana yang diatur berdasarkan pasal 65,66, dan yang terdapat dala pasal 70
KUHP atau dalam beberapa tindak pidana itu terdapat unsur perbarengan antara

lex spesialis dengan lex generalis sebagimana dirumuskan dalam pasal 63 ayat
(2) KUHP., atau di dalam tindak pidana yang dilakukan dipelbagai pengadilan negeri
itu terdapat unsur Perbuatan Berlanjut atau vootgezette handeling.
Terhadap hal yang disebutkan di atas terbuka kemungkinan bagi terdakwa atau
penasehat hukum untuk mengajukan eksepsi demi terjaminnya perlindungan
terhadap hak asasi terdakwa agar terhindar dari penjatuhan lebih dari satu pidana
terhadap terdakwa. Karena berdasarkan pada ketentuan pasal 84 ayat (4) KUHAP,
menunjukkan bahwa terhadap beberapa perkara pidana yang dilakukan oleh
terdakwa dalam pelbagai pengadilan sedang dalam perbuatan itu terdapat unsurunsur sebagaimana yang disebut di dalam pasal 63,65,66, dan pasal 70 KUHP,
dapat dibuka kemungkinan untuk menggabungkan perkara.
Landasan dasar untuk menentukan kewenangan mengadili setiap Pengadilan
Negeri atas suatu tindak pidana yang terjadi, selain merujuk pada ketentuan pasal
84 KUHAP dapat juga dijadikan landasan berdasarkan ketentuan sebagaimana yang
diatur dalam pasal 85 KUHAP tentang Kewenangan atas penunjukkan Menteri
Kehakiman dan berdasarkan pasal 86 KUHAP tentang Kewenangan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat berdasarkan undang-undang atas tindak pidana yang
dilakukan di luar negeri. Perlu diingat bahwa eksepsi kewenangan relatif pada
prinsipnya diajukan pada peradilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri. Namun
tidak mengurangi hak terdakwa atau penasehat hukum mengajukan suatu eksepsi
kepada Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding, idealnya eksepsi demikian ini
diajukan bersamaan dalam memori banding. Oleh karena kewenangan mengadili
merupakan ketentuan yang bersifat aturan public (public order), Pengadilan Tinggi
secara ex officio (karena jabatannya) berwenang memeriksa dan menilai apakah
Pengadilan Negeri melanggar prinsip kompetensi relatif dalam mengadili suatu

perkara yang bersangkutan, meskipun hal itu tidak diajukan sebagai sebagi eksepsi
dalam peradilan tingkat pertama. Penerapan yang demikian tidak semata-mata
hanya didasarkan atas alasan public order, tapi juga berdasarkan kehendak yang
terkandung dalam pasal 156 ayat (7) KUHAP, yang memberi fungsi ex officio bagi
hakim memeriksa dan memutus mengenai kompetensi meskipun hal itu tidak
diajukan sebagai eksepsi.
Menyangkut Surat Dakwaan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Surat Dakwaan itu
memegang peranan penting dalam suatu perkara pidana. Berdasarkan surat
dakwaan itulah dapat tidaknya terdakwa dijatuhi hukuman oleh Hakim. Namun
sebelum yang dituduhkan dalam surat dakwaan itu dibuktikan dalam persidangan
undang-undang memberikan kesempatan kepada terdakwa atau melalui Penasehat
Hukumnya untuk mempergunakan haknya dapat mengajukan keberatan jika nyatanyata dalam surat dakwaan itu terdapat kelaliman, atau kesewenang-wenangan.
Eksepsi terhadap surat dakwaan ini dapat memberikan konsekwensi :
Surat Dakwaan Harus Dibatalkan atau Batal Demi Hukum.
Alasan eksepsi dengan menyatakan bahwa surat dakwan harus dibatalkan adalah
jika surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum itu tidak memenuhi syarat
formil seperti yang ditegaskan dalam pasal 143 ayat (2) KUHAP. Dakwaan tersebut
dianggap obscuur libel (kabur) atau confuse (membingungkan) atau misleading
(menyesatkan) Tindakan penegakan hukum yang mengahadapkan terdakwa
kepersidangan dengan surat dakwaan yang tidak jelas, kabur atau membingungkan,
dikualifikasikan sebagai perkosaan terhadap hak asasi atas pembelaan diri.
Eksepsi ini meliputi beberapa alasan sebagaimana ketentuan pasal 143 ayat (2)
KUHAP berupa konstruksi :

Surat dakwaan tidak memuat atau tidak diberi tanggal dan tidak ditanda tangani oleh
Penuntut Umum yang bersangkutan. Pada prinsipnya penyebutan tanggal dan
penanda tanganan surat dakwaan adalah bersifat perintah, tidak boleh tidak
(imperatif). Apabila lalai memenuhi syarat tersebut maka surat dakwaan dapat
dikategorikan sebagai dakwaan yang tidak jelas dan sekaligus bertentangan dengan
undang-undang, dakwaan tersebut dapat dikualifikasi batal.
Akan tetapi bila mengacu kepada tujuan peradilan yang harus menegakkan keadilan
jika surat dakwaan tidak memenuhi syarat pemberian tanggal dan tanda tangan ini
karena keteledoran dalam prakteknya dengan sikap yang bijaksana kelalaian itu
dapat ditolerir dengan jalan meminta kepada Penuntut Umum, mencantumkan
tanggal dan tanda tangan dab harus dilakukan dalam persidangan.
Idealnya perbaikan atas kekeliruan atau kesalahan itu dilakukan oleh Pengadilan
Negeri secara konsultatif, berupa anjuran atau saran dengan menerapkan pasal 144
KUHAP. Adalah sikap yang tidak arif dan tidak terpuji jika Pengadilan atau hakim
menemukan cacat surat dakwaan yang demikian, kemudian didiamkan dengan
motivasi untuk menghancurkan dakwaan Penuntut Umum agar produk putusannya
menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum Batal Demi Hukum. Sikap yang
demikian adalah dianggap tidak berdedikasi dan kurang menyadari makna
kepentingan keadilan (the interest of the justice). Tapi lebih menonjolkan
kepentingan hakim (the interest of the jugde)
Dakwaan tidak memenuhi syarat formil seperti yang ditegaskan dalam pasal 143
ayat (2) huruf (a) KUHAP, yang harus menyebutkan nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan terdakwa.

Surat dakwaan itu tidak memenuhi syarat materil seperti yang disebutkan dalam
pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP, bahwa surat dakwaan harus diuraikan secara
cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.
Walaupun

pembuat

undang-undang

tidak

menentukan

bagaimana

caranya

menguraikan agar surat dakwaan menjadi cermat, jelas dan terang, akan tetapi bila
dikaji menurut makna gramatikalnya dari kamus umum Bahasa Indonesia, bahwa
yang dimaksud dengan cermat adalah seksama, teliti, dengan penuh perhatian. ;
Jelas berarti terang, nyata, dan tegas ; sedangkan lengkap berarti genap, tidak
ada kurangnya, komplit.3 Jika ditinjau dari perkembangan kebiasaan praktek yuridis
peradilan, serta pendapat dari beberapa ahli hukum dan yurisprudensi mancatat,
hakikat esensial surat dakwaan hendaknya memuat secara lengkap unsur-unsur
(bestanddelen) dari pada tindak pidana yang didakwakan. Apabila unsur-unsur
tersebut tidak diterangkan secara utuh dan menyeluruh maka hal ini menyebabkan
dakwaan menjadi kabur (obscuur libellum) sehingga menyebabkan ketidak jelasan
terhadap tindak pidana apa yang dilanggar oleh perbuatan terdakwa. Misalnya
dalam surat dakwaan mencampur adukkan unsur penggelapan (pasal 372 KUHP)
dan unsur penipuan (pasal 378 KUHP) menjadi satu sehingga menjadi tindak pidana
yang baru dan terdakwa tidak mengerti akan tindak pidana yang mana yang
didakwakan maka surat dakwaan harus dibatalkan demi hukum (van rechts wege
nietig) sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI No. 1289 K/PID/1984 tanggal 26
Juni 19844 atau surat dakwaan yang materinya menggabungkan atau mencampur
adukkan unsur-unsur perbuatan pidana yang berdiri sendiri dan tidak ada
hubungannya satu sama lain, misalnya pasal 1 ayat (1) sub a digabungkan dengan
unsur pasal 1 ayat (1) sub b Undang-undang No. 3 tahun 1971 dalam satu dakwaan

primair sehingga merupakan penciptaan suatu tindak pidana baru yang tidak
dirumuskan dan diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. Dakwaan
demikian menjadi batal demi hukum, sebagaimana mahkamah agung RI. No. 982
K/PID/1988 tanggal 19 September 1990.5
Surat Dakwaan Terdapat Pertentangan Antara Satu Dengan Lainnya.
Apabila dalam surat dakwaan terdapat pertentangan isi perumusan perbuatan satu
dengan lainnya maka akan timbul keraguan dalam diri terdakwa tentang perbuatan
yang didakwakan kepadanya. Misalnya apabila terdakwa didakwa turut melakukan
dan turut membantu melakukan tindak pidana pencurian. Jadi terhadap tindak
pidana dan perbuatan yang sama, terdakwa didakwa turut melakukan (medeplegen)
sebagaimana ketentuan pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP dan turut membantu
(medeplichtigheid) sebagaimana ketentuan pasal 56 KUHP. Perumusan dakwaan
seperti ini jelas terjadi pertentangan antara satu dengan lainnya yakni disatu pihak
terdakwa didakwa medeplegen dan kemudian didakwa medeplichtigheid.
Sebagaimana Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 296 K/PID/1987 tanggal 15 Maret
19916 dimana seorang terdakwa melakukan penyertaan (deelneming) dalam hal
melakukan (plegen), turut serta melakukan (medeplegen), menyuruh melakukan
(doemplegen) dan dengan sengaja membujuk (uitlokking) sesuai ketentuan pasal 56
KUHP dicampur-adukkan menjadi satu sehingga isinya bertentangan satu dengan
lainnya yang mengakibatkan terdakwa menjadi ragu terhadap tindak pidana mana
yang didakwakan kepadanya oleh Putusan Mahkamah Agung dinyatakan surat
dakwaan batal demi hukum.
Jadi, apabila suatu surat dakwaan tidak cermat, jelas dan lengkap sebagaimana
syarat materil ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP, maka sebagaimana
ketentuan pasal 143 ayat 3) KUHAP, surat dakwaan itu diancam batal demi hukum

(nul and void) yang berarti bahwa dari semula tidak ada surat dakwaan atau tidak
ada suatu tindak pidana yang dilukiskan dalam surat dakwaan itu. 7

Perubahan Atas Surat Dakwaan.


Jika Jaksa/Penuntut Umum telah melimpahkan berkas perkara pidana ke
Pengadilan, akan tetapi dipandang perlu adanya perubahan, dan jika perubahan
atas surat dakwaan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pasal 144 KUHAP,
maka terdakwa atau Penasehat Hukum dapat mengajukan eksepsi dengan
menyatakan Surat Dakwaan Batal Demi Hukum atau Hakim karena jabatannya (ex
officio) walaupun tidak diajukan eksepsi dapat menyatakan surat dakwaan tersebut
batal demi hukum.
Pasal 144 KUHAP, ini memberikan ketentuan, bahwa pengubahan surat dakwaan
harus dilakukan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, dan pengubahan
surat dakwaan hanya dapat dilakukan satu kali dengan ketentuan selambatlambatnya tujuh hari sebelum persidangan dimulai. Karena itu tidak dimungkinkan
pengubahan surat dakwaan selama atau saat persidangan sedang berjalan.
Menurut keterangan pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman
Republik Indonesia Moedjono, SH. dihadapan rapat Paripurna DPR-RI mengenai
RUU tentang Hukum Acara Pidana pada hari Selasa tanggal 9 oktober 1979.

bahwa dalam RUU ini ditentukan bahwa pembuat surat tuduhan dibebankan
kepada Penuntut Umum dan ditentukan pula bahwa perubahan surat tuduhan hanya
dapat dilakukan selam perkara belum sampai kesidang pengadilan. Apabila perkara
telah sampai disidang pengadilan maka surat tuduhan tidak dapat dirubah lagi. Baik

Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri sudah tidak dapat merubah surat
tuduhan.
Dakwaan Tidak Dapat Diterima.
Salah satu jenis eksepsi yang disebut dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP adalah
dakwaan tidak dapat diterima, akan tetapi undang-undang tidak menjelaskan
pengertian apa yang dimaksud dan apa yang menjadi patokan terhadap dakwaan
tidak dapat diterima. Pengertian umum diberikan terhadap eksepsi dakwaan tidak
dapat diterima apabila dakwaan mengandung cacat formal atau kekeliruan beracara
(error in procedure). Kekeliruan ini bisa terjadi karena orangnya yang didakwa, keliru
terjadap susunan atau bentuk surat dakwaan yang diajukan penuntut umum.
Dakwaan tidak dapat diterima meliputi :
Eksepsi Subjudice dimana tindak pidana yang didakwakan sedang tergantung
pemeriksaan. Apa yang didakwakan kepada terdakwa, persis sama dengan perkara
pidana yang sedang berjalan pemeriksaannya baik dalam Pengadilan yang
bersangkutan maupun sedang diperiksa pada Pengadilan lain, atau juga sedang
diperiksa pada tingkat banding atau kasasi. Eksepsi dalam perkara seperti ini
disebut dengan exception letis petendis atau exception subjudice.
Eksepsi karena kekeliruan orang yang semestinya didakwa adalah orang lain,
karena dia adalah pelaku yang sebenarnya. Dalam perkara seperti ini bukan pelaku
tindak pidana yang sebenarnya yang diajukan dipersidangan, sehingga dakwaan itu
mengandung cacat atau kekeliruan penuntutan terhadap orang yang tidak
mempunyai hubungan hukum dan pertanggung jawaban dengan tindak pidana yang
didakwakan (error in personal).
Jika terjadi kekeliruan yang demikian, dakwaan Penuntut Umum harus dinyatakan
tidak dapat diterima dan putusan yang harus dijatuhkan adalah bersifat final hanya

terhadap orangnya sedangkan terhadap perkara itu sendiri sifat putusannya adalah
tidak final, karena perkara itu masih dapat diajukan lagi kepersidangan akan tetapi
dengan orang pelaku tindak pidana yang sebenarnya.
Dari perkembangan pengetahuan dan beberapa pendapat para ahli telah disebutkan
di atas alasan eksepsi selain dari pada yang telah diatur dalam pasal 156 ayat (1)
KUHAP, juga ditemukan alasan eksepsi berdasarkan perundang-undangan lain
sebagaimana halnya yang terdapat dalam KUHP, eksepsi tersebut dapat diajukan
dengan menyatakan :
Eksepsi Kewenangan Penuntut Umum untuk menuntut hapus atau gugur
Mengacu pada ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan,
maka dalam hal penuntut umum membacakan dakwaannya dapatlah ditafsirkan juga
termasuk

serangkaian

tindakan

Penuntut

Umum

melakukan

penuntutan.

Berdasarkan hal ini dapat disebutkan beberapa alasan eksepsi mengenai


Kewenangan Penuntut Umum untuk menuntut hapus atau gugur disebabkan
faktor-faktor :
Tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa telah pernah didakwakan,
diperiksa dan diadili serta putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan
bersifat positif, yakni dipidana, atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
sesuai dengan ketentuan pasal 76 KUHP yang disebut dengan nebis in idem
(exception judicate).

Penuntutan yang diajukan kepada terdakwa melampaui tenggang waktu penuntutan


yang telah ditentukan dalam undang-undang sebagi diatur dalam Bab VIII, pasal 7882 KUHP yang mengatur sistim penerapan kadaluwarsa penuntutan pidana
(exception in tempores).
Kewenangan

menuntut

pidana

hapus

karena

terdakwa

meninggal

dunia

sebagaimana ditentukan dalam pasal 77 KUHP.


Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima.
Sebagaimana pengertian penuntutan telah disebutkan di atas, maka berdasarkan
hal itu pula dapat disebutkan beberapa alasan eksepsi mengenai dakwaan atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima sebagaimana pendapat para ahli
hukum menyatakan :
Menurut pendapat Mr. M.H. Tirtaamidjaya dan Mr. S.M. Amin 8 Putusan terhadap
dikabulkannya keberatan, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima disebabkan
faktor-faktor :
Karena dituntutnya seseorang padahal tidak ada pengaduan dari sikorban dalam
tindak pidana aduan (Krachtdelicten) ;
Adanya daluwarsa hak menuntut sebagaimana ketentuan pasal 78 Kitab Undangundang Hukum Pidana.
Adanya unsur nebis in idem sebagaimana ketentuan pasal 76 KUH. Pidana.
Adanya Exceptio Litis Pendentis (keberatan terhadap apa yang didakwakan kepada
terdakwa sedang diperiksa oleh Pengadilan lain).
M. Yahya Harahap, SH. menyebutkan istilah dakwaan tidak dapat diterima dan
khusus terhadap nebis in idem dapat juga disebut sebagai tuntutan Penuntut
Umum tidak dapat diterima9 juga memberikan penjelasan, apabila terdakwa atau
kuasa hukumnya mengajukan keberatan (Niet ontvankelijk verklaring van het

openbare ministerie) hal itu didasarkan pada tuntutan terhadap perbuatan yang
didakwakan tidak memiliki alasan hukum. Adapun alasan yang harus dijadikan
bahwa dakwaan tidak dapat diterima adalah :
Apa yang didakwakan kepada terdakwa bukan tindak pidana kejahatan atau
pelanggaran.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa telah pernah diputus dan telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa telah lewat waktu atau kadaliwarsa.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang
dilakukannya.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana tetapi
termasuk ruang lingkup perkara perdata atau perselisihan perdata.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa adalah tindak pidana aduan atau klacht
delict, sedang orang yang berhak mengadu tidak pernah mempergunakan haknya.
BENTUK PUTUSAN EKSEPSI.
Pada Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 1 ayat (11) KUHAP ditentukan bahwa
putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi
dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan
pidana untuk tahap pemeriksaan di Pengadilan Negeri.
Sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP apakah Keputusan yang
dimaksud dalam konteks pasal ini adalah Penetapan atau Putusan Mahkamah
Agung

menanggapi

bahwa

ketentuan

pasal

156

KUHAP

ini

memang

membingungkan10 namun dalam praktek peradilan manifestasi bentuk keputusan


dapat berupa :
Penetapan.
Menurut KUHAP maupun dalam praktek peradilan lazimnya bentuk Penetapan ini
dapat mengenai aspek ketidak wenangan pengadilan mengadili perkara yang
diajukan, baik bersifat absolut maupun yang bersifat relatif. Hal ini dapat dijatuhkan
melalui 2 (dua) macam cara, yakni :
Sebelum sidang dimulai, artinya setelah Jaksa/Penuntut Umum melimpahkan
perkara ke Pengadilan Negeri sebagaimana yang ditegaskan dalam ketentuan pasal
148 KUHAP, bahwa Ketua Pengadilan Negeri berpendapat perkara pidana tersebut
tidak wewenangnya.
Setelah sidang dimulai yaitu ketika sidang pertama dan atau setelah Jaksa/Penuntut
Umum selesai membacakan surat dakwaan atau setelah Jaksa/Penuntut Umum
selesai memberitahukan terdakwa secara lisan terhadap tindak pidana yang
didakwakan atau setelah Penuntut Umum selesai memberi penjelasan tentang isi
surat dakwaan, sebagaimana yang telah diintrodusir dari ketentuan pasal 156 ayat
(1) KUHAP.
Putusan.
Bentuk putusan terhadap eksepsi yang diajukan oleh Terdakwa atau Penasehat
Hukum dapat berupa putusan bukan akhir atau putusan (tidak final), dan berupa
putusan akhir (final).
Putusan bukan putusan akhir (Putusan Sela).
Merujuk dari ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP, Putusan Sela merupakan
putusan yang belum menyinggung mengenai pokok perkaranya. Prosedural Majelis
Hakim jikalau akan menjatuhkan Putusan Sela identik dengan acara penjatuhan

Penetapan. Putusan Sela dijatuhkan bila diawali eksepsi diajukan oleh terdakwa
atau Penasehat Hukum, dan setelah Penuntut Umum diberi kesempatan untuk
menyatakan Pendapatnya.
Apabila Hakim menerima

eksepsi, pemeriksaan

perkara tidak dilanjutkan

(dihentikan). Penghentian atau tidak melanjutkan pemeriksaan ini adalah bersifat


permanen jika Penuntut Umum tidak mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi
dan sebaliknya jika Penuntut Umum mengajukan perlawanan maka sifat putusan
sela tersebut adalah temporer. Penghentian pemeriksaan pokok perkara adalah
mutlak berlaku sebelum ada putusan dari Pengadilan Tinggi yang mengabulkan
perlawanan itu. Demikian pula hanya jika Hakim menolak eksepsi, atau eksepsi tidak
dapat diterima jika terdakwa atau Penasehat Hukumnya mengajukan perlawanan.
Dan jika perlawanan tersebut tidak dilakukan maka pemeriksaan tetap dilanjutkan.
Putusan Sela yang bersifat tidak final ini lazimnya dijatuhkan jika eksepsi yang
diajukan terdakwa atau Penasehat Hukum mengenai eksepsi dakwaan tidak dapat
diterima atau dakwaan batal demi hukum, artinya perkara tersebut masih
memungkinkan untuk dapat diajukan kembali kepersidangan.
Putusan Akhir.
Apabila atas eksepsi tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa eksepsi itu baru
dapat diputus setelah pemeriksaan pokok perkara maka Majelis Hakim memutus
dengan jenis Putusan Akhir. Dalam praktek eksepsi seperti ini lazim disebut
diputus bersamaan. Misalnya, terdakwa atau penasehat hukum mengajukan
eksepsi terhadap kewenangan Penuntut Umum hapus atau Gugur atau tuntutan
Penuntut Umum tidak dapat diterima oleh karena apa yang dituntut bukan
merupakan tindak pidana akan tetapi merupakan ruang lingkup perselisihan perdata,
atau dapat pula berupa tindak pidana yang didakwakan merupakan tindak pidana

aduan akan tetapi tidak ada korban yang melakukan pengaduan. Terhadap hal-hal
seperti ini adalah berhubungan erat dengan materi pokok perkara sehingga baru
diputus setelah memeriksa pokok perkaranya. Jika majelis hakim berpendapat akan
memutus eksepsi tersebut dengan putusan akhir dalam praktek lazimnya disidang
dinyatakan eksepsi tersebut akan diputus dan dipertimbangkan bersamaan dalam
putusan akhir.
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN EKSEPSI.
Yang dimaksud dengan upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum
untuk tidak menerima putusan pengadilan sebagaimana disebutkan dalam
ketentuan Umum Bab I pasal 1 angka 12 KUHAP. Tujuan upaya hukum ini pada
pokoknya adalah untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang
sebelumnya dan untuk kesatuan dalam peradilan ;
Dengan adanya upaya hukum ini ada jaminan bagi terdakwa atau masyarakat
bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin
seragam.11 Dan menurut pandangan para ahli hukum, maksud upaya hukum
adalah :
Diperoleh kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan (operasi
yustitie) ;
Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang
dari hukum ;
Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam menjalankan peradilan ;
Usaha dari para pihak baik terdakwa maupun jaksa memberikan keteranganketerangan baru (novum) ;12
Jadi dapat ditarik kesimpulan dari ketentuan pasal 1 angka 12 KUHAP upaya hukum
(Rechtsmiddelen) berupa :

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri (Peradilan Tingkat Pertama) dapat diajukan


Perlawanan (verzet) atau Banding (Revisi).
Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi (Peradilan Tingkat Banding) dapat diajukan
permohonan Kasasi.
Terhadap Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) dapat diajukan Peninjauan Kembali (Herziening).
Menurut konteks eksepsi pada pasal 156 ayat (3) dan ayat (5) KUHAP bahwa upaya
hukum terhadap putusan eksepsi ini adalah :
Perlawanan (verzet)
Berdasarkan ketentuan pasal 156 ayat (3), (4), (5) dan (6) KUHAP, perlawanan
atau verzet dapat diajukan oleh Penuntut Umum, terdakwa atau Penasehat Hukum
ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan baik terhadap
Penetapan maupun Putusan Sela:. Jika atas putusan terhadap eksepsi tersebut
tidak dapat diterima. Pada praktek yang telah berjalan maka biasanya pelawan
mengajukan memori perlawanan sedangkan pihak lainnya juga mengajukan
kontra memori atas memori dari pelawan.
Mengenai tenggang waktu mengajukan perlawanan sesuai pasal 156 ayat (3)
KUHAP tidak ditentukan secara eksplisit seperti halnya waktu 7 (tujuh) hari sesuai
ketentuan pasal 149 ayat (1) huruf a KUHAP. Penyebutan waktu 14 (empat belas)
hari pada pasal 156 ayat (4) KUHAP bukanlah dimaksudkan sebagai tenggang
waktu untuk mengajukan perlawanan, akan tetapi merupakan tenggang waktu
Pengadilan Tinggi apabila telah menerima berkas perkara dari Pengadilan Negeri
untuk memutus perkara tersebut dengan Surat Penetapannya.
Jika keputusan atas eksepsi itu diberikan oleh Hakim sedangkan Jaksa/Penuntut
Umum tidak mengajukan Perlawanan maka secara formal dan material berkas

perkara telah selesai. Berdasarkan penelitian penulis dalam praktek peradilan dari
putusan-putusan judex facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) serta
putusan Mahkamah Agung yang dimuat dalam Majalah Varia Peradilan dalam hal
eksepsi diterima disertai amar putusan memerintahkan kepada Panitera agar
mengembalikan berkas perkara yang bersangkutan kepada Kejaksaan yakni dalam
putusan Mahkamah Agung RI. Nomor : 1301 K/Pid/1986 tanggal 31 Januari 1989. 13
Bersama-sama Permintaan Banding (Revisi).
Konstruksi penerapan perlawanan yang diajukan bersamaan dengan banding
berdasarkan pasal 156 ayat (5) KUHAP, sering menimbulkan pertanyaan dan
menganggap bahwa ketentuan ini dirumuskan dengan tidak jelas. Ketidak
jelasannya berkenaan dengan pengajuan perlawanan ke Pengadilan Tinggi yang
dilakukan bersama-sama dengan permintaan banding, sehubungan dengan
ketentuan selanjutnya yang mengaitkan penyelesaian perkara ini dalam tempo 14
hari sejak Pengadilan Tinggi menerima kasus menjatuhkan putusan, apabila
Pengadilan Tinggi menerima (mengabulkan) perlawanan.
Untuk itu pertama-tama yang perlu dipahami adalah mengenai jenis dan bentuk
eksepsi apa yang dimaksud dengan ketentuan pasal 156 ayat (5) huruf a.
Pendekatan melalui metode sistematikanya, ketentuan ayat (5) ini merupakan
rangkaian dari ayat (2), (3), dan (4), yang mengatur tentang sistim penyelesaian
eksepsi kewenangan mengadili secara relatif (kompetensi relatif). Dengan
demikian bertitik tolak dari pemikiran di atas, perlawanan dimaksud dalam ketentuan
pasal 156 ayat (5) ini hanyalah sebatas perlawanan terhadap putusan eksepsi
kewenangan relatif (kompetensi relatif).
Secara teknis dan doktrin sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab terdahulu,
eksepsi mengenai kompetensi mengadili dapat diajukan setiap saat selama proses

perkara berjalan dalam tahap pemeriksaan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).


Misalkan terdakwa atau Penasehat Hukum mengajukan eksepsi yang menyatakan
Pengadilan tidak berwenang mengadili. Terhadap eksepsi ini, hakim berpendapat,
lebih tepat diputus setelah selesai pemeriksaan pokok perkara. Berarti putusan
eksepsi akan dijatuhkan bersamaan dengan pokok perkara yang dituangkan dalam
putusan akhir yang berisi : Menolak eksepsi, dan memidana terdakwa. Maka
terhadap putusan yang demikian, terdakwa atau Penasehat Hukum sekaligus dapat
mengajukan perlawanan bersama-sama dengan permintaan banding.
Relevansi dan urgensinya pasal 156 ayat (5) KUHAP ini, adalah sesuatu tujuan yang
ingin diwujudkan yakni : penyelesaian yang ekstra cepat. Apabila terdakwa atau
Penasehat Hukum mengajukan perlawanan bersama-sama dengan permintaan
banding : Pengadilan Tinggi juga harus mentaati ketentuan pasal 156 ayat (5) huruf
a, dengan memprioritaskan penyelesaian perkara yang demikian dengan segera
memeriksa dan memutus dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung
dari tanggal perkara diterima. Fokus pemeriksaannya juga diutamakan terhadap
perlawanan, karena jika ternyata Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili
(kompetensi relatif) maka dengan sendirinya pemeriksaan dan putusan pokok
perkara adalah batal atau tidak sah (illegal).

Setiap dakwaan harus memuat unsur waktu dan tempat dilakukan tindak pidana (locus
dan tempus delicti). Seringkali unsur tersebut tidak disebutkan secara tepat dan pasti

dalam suatu dakwaan. Hal ini sering memicu keberatan dari para terdakwa di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi. Salah satunya adalah Marudin Saur Marulitua Simanihuruk,
Mantan Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Depnakertrans dan Direktur
Pengawasan Tenaga Kerja Suseno Tjipto Mantoro.
Kedua terdakwa diduga telah melakukan korupsi dalam proyek pemeriksaan penggunaan
tenaga kerja asing. Dalam eksepsi Suseno dinyatakan jaksa tidak dapat menyebutkan
waktu berupa tanggal, bulan dan tahun kejadian tindak pidana. Begitu pula dengan
tempat dilakukannya tindak pidana. Dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum
karena tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam KUHAP, kata penasihat hukum
terdakwa Suseno, Syamsul Huda pekan lalu.
Dalam dakwaan jaksa Mochamad Rum, Muhibudin, Riyono, Siswanto dan Andi Suharlis,
waktu tindak pidana hanya disebutkan 'pada hari dan tanggal yang tidak dapat diingat
lagi antara bulan November 2004 sampai dengan bulan Juni 2005 atau setidak-tidaknya
pada waktu lain dalam tahun 2004 sampai dengan tahun 2005'. Begitupula dengan locus
delicti. Tidak disebutkan secara pasti. ...bertempat di Kantor Direktorat Jenderal
Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan pada Depnakertrans Gedung A Jl Jenderal
Gatot Subroto atau setidak-tidaknya ditempat-tempat lain yang berdasarkan Pasal 54
ayat (2) UU KPK No. 30/2002 masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan
Tipikor... begitulah bungi dakwaan jaksa.
Jaksa bersikukuh bahwa penyebutan waktu dan tempat tindak pidana tersebut telah
sesuai dengan Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Sebab waktu dan tempat tersebut tidak
mungkin disebutkan secara akurat. Jika penerapan locus dan tempus harus tepat dan
akurat penegakan hukum melalui criminal justice system akan lumpuh total, tegas jaksa
Rum, saat membacakan tanggapan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Selasa (15/1).
Surat Edaran Jaksa Agung No. 004/J.A/11/1993 menentukan suatu dakwaan telah
memenuhi syarat materiil jika memberikan gambaran secara bulat dan utuh tentang
dimana dan bilamana tindak pidana dilakukan. Selain itu surat yang terbit pada tanggal
16 November 1993 menyebut dakwaan harus memuat tindak pidana yang didakwakan,
pelaku, cara tindak pidana, akibat dan ketentuan tindak pidana yang diterapkan
Menurut jaksa, penyebutan secara akurat tidak mungkin dilakukan. Tingkat kesulitannya
bersifat imposibilitas, tambah Rum. Jika misalnya tanggal kejadian disebutkan secara
akurat, dan kemudian ternyata meleset, maka jaksa tidak bisa membuktikan dakwaan.
Akibatnya semua prilaku kriminal tidak bisa dituntut pertangungjawaban hukum atas
kejahatan yang mereka lakukan, sambung jaksa Siswanto.
Menghindari lolosnya pelaku pidana dari jeratan hukum, menyitir pendapat M. Yahya
Harahap, jaksa berpendapat bahwa pencantuman locus dan tempus delicti bisa
disebutkan secara alternatif. Bukan limitatif, tandas Siswanto.
Di depan persidangan pimpinan hakim Martini Mardja, jaksa meminta agar majelis hakim
menolak alasan eksepsi tersebut. Alasan tersebut tidak berdasar, tegas Siswanto. Karena
itu, jaksa meminta agar majelis menyatakan dakwaan sah untuk menjadi dasar
pemeriksaan pokok perkara.
Tidak Mengatur
KUHAP sendiri tidak mengatur bagaimana penyebutan locus dan tempus delicti dalam
suatu dakwaan. Begitulah kata pakar hukum acara pidana, Chairul Huda, saat dibungi
melalui telepon selularnya, Selasa (15/1). Secara materiil KUHAP hanya menyebut dalam
dakwaan menyebutkan waktu dan tempat, jelasnya.

Penyebutan itu penting untuk menakar kadar daluarsa suatu perkara. Jangan sampai
lewat waktu, kata Chairul. Unsur tempus menentukan kewenangan negara untuk
melakukan penuntutan. Sedang unsur locus menentukan menentukan kompetensi
pengadilan untuk mengadili.
Senada dengan jaksa, Dosen Universitas Muhamadiyah Jakarta juga menyatakan
penyebutan unsur waktu dan tempat tidak perlu disebutkan secara akurat. Karena
kemungkinan tindak pidana sudah lampau. Sepanjang tempus masih dapat ditentukan
berarti masih mungkin dilakukan penuntutan, berarti tidak daluarsa, terangnya. Jika
jaksa tidak bisa menyebutkan hari dan jam suatu kejahatan, cukup disebutkan bulan
dan tahun saja. Teknis penyusunan dakwaan tersebut tidak melanggar ketentuan KUHAP,
tandas pria bergelar Doktor ini.

KpK

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f44462abe451/wewenangjaksamenyidik-ada-sejak-hir
Dari aspek historis, kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap kasus tindak
pidana tertentu, khususnya tindak pidana korupsi sudah dimulai sejak berlakunya Herziene
Inlandsch
Reglement
(HIR)
hingga
saat
ini.
Pada masa HIR, penyidikan merupakan bagian dari penuntutan. Kewenangan itu menjadikan
penuntut umum (jaksa) sebagai koordinator penyidikan. Bahkan, jaksa dapat melakukan
penyidikan sendiri sesuai Pasal 38 jo Pasal 39 jo Pasal 46 ayat (1) HIR, kata Direktur TUN
Kejaksaan Agung, Swarsono, dalam pengujian pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (21/2).
Untuk diketahui, seorang tersangka korupsi Djailudin Kaisupy memohon pengujian Pasal 30
ayat (1) berikut penjelasannya UU Kejaksaan Republik Indonesia. Ia menilai kewenangan jaksa
sebagai penuntut umum merangkap penyidik perkara korupsi menimbulkan ketidakpastian
hukum dan melampaui batas kewenangan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Hal ini mengakibatkan penyidikan dan penuntutan tidak objektif
karena
dilakukan
oleh
pihak
yang
sama.
Swarsono menegaskan dalam perkembangannya lahirlah sejumlah Undang-Undang yang
memberi kewenangan penyidikan jaksa dalam perkara tertentu termasuk korupsi. Antara lain,
UU No. 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tipikor,
Pasal 284 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tipikor, UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan.
Termasuk fatwa MA No. KMA/102/III/2005 atas Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang
menyatakan kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana
tertentu
berdasarkan
Undang-Undang,
kata
Swarsono.
Menurut Swarsono pembagian kewenangan penyidikan atau penuntutan antara kepolisian dan
kejaksaan secara tegas (strict) seperti keinginan pemohon merupakan dalil yang keliru. Sebab,
dalam praktik di banyak negara wewenang melakukan penyidikan tidak dipisahkan dari
wewenang
melakukan
penuntutan.
Seperti di Amerika, kejaksaan berwenang baik melakukan penyidikan maupun penuntutan dan
FBI berada di bawah Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Hal yang sama praktek di
Jepang, Jerman, dan negara-negara lainnya. Bahkan, menurut KUHAP Rumania dan RRC
penyidikan
delik
korupsi
khusus
wewenang
jaksa,
bebernya.
Karena itu, dalil permohonan yang didasarkan pada teori hukum yan sudah tidak sesuai dengan
perkembangan hukum saat ini dan tidak sesuai dengan kenyataan di banyak negara hukum dan
demokrasi
yang
ada
di
dunia.
Menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan beserta penjelasannya tidak bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, tuntutnya.
Hal senada juga keterangan DPR yang disampaikan Anggota Komisi III DPR Aziz Syamsuddin.
Ia mengatakan dasar hukum kewenangan jaksa selaku penyidik sejak berlakunya Pasal 6
KUHAP. Sehingga kepolisian bukan penyidik tunggal terhadap perkara apapun, kata Aziz.
Karena itu, DPR tidak sependapat dengan pemohon yang mempersoalkan kewenangan jaksa
dalam penyidikan perkara korupsi. Terlebih, dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo Pasal 17 PP No.
27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP secara tegas menyebutkan kewenangan
kejaksaan
sebagai
penyidik
untuk
tindak
pidana
tertentu
(korupsi).

Pasal inilah yang menjadi acuan kewenangan jaksa bertindak selaku penyidik tindak pidana
korupsi. DPR juga tidak sependapat dengan alasan pemohon menganggap adanya multitafsir
dan disharmonisasi hukum terkait kewenangan jaksa apakah sebagai penyidik atau penuntut
umum? Sehingga Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

https://books.google.co.id/books?
id=fnGtQk0JBBQC&pg=PA138&lpg=PA138&dq=pasal+30+ayat+1+huruf+d&so
urce=bl&ots=pLE6IfFBFR&sig=VcQSTHdSbzt5CvTPkDpEmPmFr4s&hl=en&sa=X&
redir_esc=y#v=onepage&q=pasal%2030%20ayat%201%20huruf%20d&f=false
Karena kedua undang-undang tersebut (in casu UU Polri dan UU KPK No. 30
Tahun 2002 ttg KPK) sama-sama lex spesialis, tinggal dicari mana yang lebih
kuatdi antara keduanya. Prinsip hukum lain yakni, lex posterior derogat legi
priori, yaitu pada norma hukum yang sederajat, norma hukum yang
lebih baru mengesampingkan norma hukum yang lama. Jika tidak
bertentangan, maka undang-undang yang baru dapat disahkan. Kalau dilihat dari
urutannya, UU Polri lebih dulu lahir ketimbang UU KPK (tapi UU Kejaksaan
Republik Indonesia lahir tahun 2004 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia). Kedua undang-undang ini juga memberikan kewenangan
untuk menangani perkara. Karena kedua instansi sama-sama telah menyidik,
maka jawaban siapa yang lebih berwenang menangani perkara simulator ini ada
di UU KPK.

Sejak awal pembahasan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,


KPK bukan dipersiapkan semata-mata untuk tugas-tugas represif
dalam pemberantasan korupsi. Yang utama justeru untuk melakukan
koordinasi dan supervisi.
Cuma selama ini orang salah kaprah seolah-olah semua perkara
korupsi harus disidik oleh KPK. KPK dibentuk untuk menjadi mitra
Kejaksaan dan Kepolisian dalam memberantas korupsi. KPK tidak
ditugasi untuk memonopoli (penyidikan kasus-kasus korupsi), tandas
Ruki.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30
TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
I. UMUM
Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:

1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang
telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat
dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan
korupsi (trigger mechanism);
4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam
keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

1.

de leer van de lichamelijke daadajaran yang didasarkan kepada perbuatan


secara fisik. Itulah sebabnya ajaran ini menegaskanbahwa yang dianggap
sebagai tempat terjadinya tindak pidana/locus delicti, adalah tempatdimana
perbuatan tersebut dilakukan.2.

de leer van het instrumentajaran yang didsarkan kepada berfungsinya suatu alat
yang digunakan dalam perbuatan pidana.Jadi ajaran ini menegaskan bahwa yang
dianggap sebagai temapt terjadinya tindak pidana adalahtemapt dimana alat
yang digunakan dalam melakukaan tindak pidana bereaksi.3.

de leer van het gevolgajaran ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak
pidana. Menurut ajaran ini bahwa yangdianggap sebagai locus delicti adalah
tempat dimana akibat daripada tindak pidana tersebuttimbul

Menurut Satochid Kartanegara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ada 4 azas dalam
memperlakukan KUHP, diantaranya azas territorial atau azas wilayah dapat dilihat dalam
Pasal 2,3 KUHP.
Menurut azas ini bahwa berlakunya undang-undang hukum pidana suatu negara didasarkan
pada tempat dimana perbuatan itu dilakukan,tempat tersebut harus terletak dalam wilayah
dimana hukum pidana tersebut berlaku.

kpk

Andi Hamzah, dalam bukunya Pengantar Hukum Acara Pidana halaman 159, Andi
Hamzah perpendapat bahwa petunjuk untuk menyempurnakan penyidikan
merupakan bagian dari penyidikan, sehingga penyidikan dan penuntutan tidak
dapat dipisahkan. sehingga dengan demikian sebenarnya kejaksaan (Jaksa
Penuntut Umum) merupakan penyidik dalam perkara tindak pidana apapun.

Lex specialis derogath legi generalis merupakan asas yang mengatur UU yang khusus
menyampingkan UU umum maka dengan demikian sesuai UU Kejaksaan yakni UU No 16
Tahun 2004 Pasal 30 huruf d Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang dalam melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. kemudian ketentuan
Pasal 284 ayat (2) KUHAP JoPasal 17 Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983, Jaksa
masih berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu (tindakpidana
khusus). Di samping PP nomor 27 tahun 1983 tersebut yang menjadi dasar hukum keJaksaan
melakukan penyidikan adalah Pasal 2 TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tanggal 13
Nopember 1983 yang secara eksplisit mengakui eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai penyidik tindak pidana korupsi dan menugaskan Kejaksaan untuk melakukan
akselerasidalam pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bahkan dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal
30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan: Tugas dan kewenangan Jaksa adalah: Melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU. Dalam penjelasannya
dinyatakan yang dimaksud dengantindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang adalah
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 tentang Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Jo.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Eksistensi
Kejaksaan sebagai penyidik dalam perkaratindak pidana korupsi tidak sepenuhnya dapat
dipahami dengan satu pendapat. Sebab faktanya dalam praktek peradilan ada pengadilan yang
tidak dapat menerima alasan bahwa Jaksa berwenang melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi.
Mahkamah Agung telah memberikan jawaban untuk menanggapi persoalan hukum
tersebut dengan mengeluarkan pendapat/fatwa nomor KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret

2005, dimana pada pokonya fatwa tersebut berpendirian bahwa Jaksa mempunyai
kewenangan untuk menyidik perkara tindak pidana korupsi sesudah berlakunya UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dengan dasar:
Pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 ju undang-undang nomor 20 tahun 2001
Pasal 27 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya.
Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983
Pasal 30 ayat (1) huruf d UU nomor 16 tahun 2004.
Konstruksi hukum Mahkamah Agung yaitu bahwa berdasarkan Pasal 26 UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Penyidikan,
Penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi
dilakukanberdasarkan hukum Acara
Pidana (KUHAP), sehingga oleh karena KUHAP ada aturan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan
penjelasannya jo Pasal 17 PP nomor 27 tahun 1983 maka jelas Jaksa memiliki kewenangan
dalam menyidik tindak pidana korupsi.
http://royronaldpangkey.blogspot.co.id/2015/09/dasar-hukum-kejaksaan-dalammelakukan.html

5.Bahwa hal lain yang dapat juga dijadikan acuan dalam permasalahan dualisme kewenangan
penuntutan di Indonesia adalah tugas dan kewenangan lembaga-lembaga pemberantasan
korupsi di berbagai negara yang memiliki tujuan yang sama untuk melakukan pemberantasan
korupsi seperti KPK di Indonesia, hanya saja kewenangannya hanya sampai tahap penyidikan
dan selanjutnya Kejaksaan yang berwenang untuk menentukan apakah perkara yang disidik
tersebut dapat atau tidak untuk diajukan penuntutan ke pengadilan. Kewenangan lembagalembaga tersebut telah sesuai dengan ketentuan Article 6 United Nations Concention Against
Corruption yang menyebutkan bahwa pembentukan badan independen di setiap negara dalam
rangka pemberantasan korupsi adalah sebagai sarana untuk tindakan pencegahan, akan tetapi
kewenangan KPK di Indonesia yang dapat juga melakukan penuntutan melampaui apa yang
diatur dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut. Sebagai contohnya dapat dilihat
sistem kerja atau kewenangan komisi pemberantasan korupsi di negara-negara tetangga
Indonesia yaitu Singapura, Malaysia dan Australia sebagai berikut:
Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura CPIB merupakan
sebuah badan pemberantasan korupsi independen yang bertanggung jawab untuk
melakukan investigasi dan tindakan preventif korupsi yang berada di Singapura.
Kedudukan badan ini langsung di bawah Perdana Menteri dan dalam melaksanakan
tugasnya mempunyai kewenangan menentukan sendiri siapa yang akan dituduh.
Meskipun tugas utamanya adalah melakukan investigasi atas kasus-kasus korupsi di
lingkungan pemerintah dan swasta, tetapi untuk melakukan penuntutan yang
melakukannya adalah Kejaksaan Singapura atau Attorney General Chamber (AGC).
Selanjutnya AGC akan menelaah secara detail berkas yang diajukan CPIB untuk

diajukan ke pengadilan. Apabila tidak cukup bukti, kasus tersebut disarankan oleh
AGC ke CPIB untuk dialihkan ke proses berdasarkan ketentuan administratif pegawai
negeri, misalnya dikategorikan sebagai kasus pelanggaran disiplin.
Badan Pencegah Rasuah (BPR) di Malaysia BPR dibentuk dengan tujuan untuk
menghapuskan segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilarang
oleh ketentuan perundang-undangan di Malaysia. Ketua badan ini berada di bawah
Perdana Menteri serta memiliki kantor pusat dan cabang di setiap negara bagian.
Dalam pengajuan tuntutan ke pengadilan, BPR harus mendapat ijin dari pihak Jabatan
Peguam Negara (Jaksa Agung Malaysia) yang memiliki kewenangan penuh untuk
memutuskan apakah kasus tersebut diteruskan ke pengadilan atau tidak.
Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Negara Bagian New South
Wales, Australia. ICAC dibentuk berdasarkan Undang-Undang Komisi Independen
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1988 atau Independent Commission
Against Corruption Act 1988 yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum,
mencegah dilanggarnya kepercayaan masyarakat dan sebagai pedoman kinerja bagi
pegawai pemerintahan. ICAC dipimpin oleh Commissioner yang diawasi oleh
Inspector yang ditunjuk oleh gubernur dan melaporkan hasil kerjanya setiap tahun
kepada Parlemen. Tiga tugas utama lembaga ini adalah untuk melakukan penyidikan
dan mempublikasikan tindak pidana korupsi, melakukan pencegahan korupsi secara
aktif dan mendidik masyarakat luas tentang korupsi beserta akibat-akibatnya. Hasil
penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh ICAC dituangkan dalam
bentuk laporan yang disertai rekomendasi. Laporan ini dikirimkan kepada Parlemen
dan Jaksa Agung (Director of Public Prosecutions). Jaksa Agung yang nantinya akan
menentukan apakah kasus yang diselidiki oleh ICAC dapat atau tidak dilakukan
penuntutan, serta membawanya ke pengadilan apabila dapat dilakukan penuntutan.

6.Bahwa selain bertentangan dengan ketentuan Article 6 United Nations Concention Against
Corruption, kewenangan KPK yang tertuang dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 yang menyatakan lembaga ini tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan/Penuntutan juga tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM)
dan kepastian hukum yang berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila
dalam tahap tersebut ada tersangka/terdakwa yang perkaranya ditangani KPK tiba-tiba
meninggal dunia atau tidak mampu bertanggung jawab secara permanen.

Kewenangan Penyidikan (Tindak Pidana Korupsi) oleh Kejaksaan RI


Pembahasan mengenai dasar kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi yang dilakukan Kejaksaan sudah cukup lama, baik yang dilakukan

akademisi maupun praktisi hukum, bahkan setidaknya telah dua kali di uji dalam
Majelis Mahkamah Kosntitusi tentang keabsahan dasar hukum penyidikan tindak
pidana korupsi oleh Kejaksaan dan keduanya tidak dapat diterima.
Berikut disampaikan dasar kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi oleh
Kejaksaan dilihat dari aspek Historis dan aspek yuridi
Aspek Historis
Bahwa Kejaksaan telah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi
sejak masa berlakunya Herzien Inlandsch Reglement (HIR) sampai dengan saat
ini. Secara historis kewenangan penyidikan Kejaksaan tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:

1. Sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah

mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 yang


bertujuan untuk mengatur kembali adanya pengadilan di Indonesia. Sejak
saat itu HIR mempunyai peranan yang penting karena HIR merupakan
satu-satunya hukum acara pidana yang berlaku di seluruh Indonesia.
2. Pada masa HIR penyidikan merupakan bagian dari penuntutan.
Kewenangan yang demikian menjadikan Penuntut Umum (Jaksa) sebagai
koordinator penyidikan bahkan dapat melakukan sendiri penyidikan. [vide
Pasal 38 juncto Pasal 39 juncto Pasal 46 Ayat (1) H.I.R].

3. Pada tahun 1961, Undang-Undang Kejaksaan Nomor 15 Tahun 1961


mengatur secara tegas, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam penyidikan
[vide Pasal 2 juncto Pasal 7 Ayat (2)].

4. Pada tahun 1971, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana secara tegas
dalam Pasal 3 juncto Pasal 26 disebutkan Jaksa Agung selaku penegak
hukum dan penuntut umum tertinggi memimpin/mengkoordinir tugas
kepolisian represif/yustisiel dalam penyidikan perkara-perkara korupsi.

5. Pada tahun 1981 dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981


tentang KUHAP, maka HIR tidak berlaku dan terjadi perubahan yang
fundamental di bidang penyidikan. KUHAP mengatur wewenang
penyidikan dan penyidikan lanjutan dalam perkara pidana umum
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38, 39 dan 46 H.I.R ditiadakan.
Namun demikian, wewenang Jaksa untuk melakukan penyidikan dalam
tindak pidana tertentu seperti tindak pidana ekonomi, korupsi dan
subversi masih tetap ada [vide Pasal 284 Ayat (2) KUHAP joPasal 17 PP No.
27 Tahun 1983 beserta penjelasannya jo PP No. 58 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas PP No. 27 Tahun 1983].

6. Pada tahun 1991 dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991


tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan RI masih memiliki
kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.

7. Kemudian dalam perkembangan penegakan hukum setelah berlakunya


KUHAP, kewenangan penyidikan yang diberikan kepada Kejaksaan diatur
lebih lanjut dengan dikeluarkannya beberapa perundang-undangan,
antara lain:

a. Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang


Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi,
Kolusi Dan Nepotisme;

b. Pasal 26 juncto Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

c. Pasal 11 Ayat (1) juncto Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26


Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;

d. Pasal 44 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002


tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;

e. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi


Pemberantasan Korupsi;

f. Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dimana undang-undang


mengamanatkan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu antara lain tindak pidana korupsi
dan pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

Aspek Yuridis
Bahwa kewenangan penyidikan Kejaksaan diatur dalam beberapa ketentuan
sebagai berikut:
1. Pasal 284 ayat (2 ) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP:
"Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka
terhadap semua. perkara diberlakukan ketentuan undang-undang dengan
pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan
dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi ".
Eksistensi Pasal 284 Ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP merupakan
dasar lanjutan untuk memperkokoh kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh
Kejaksaan sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Umum butir
3 UU Nomor 16 Tahun 2004, yang menyebutkan "Kewenangan kejaksaan untuk
melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung
beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada
kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ".
2. Butir 1 di atas dipertegas kembali dengan Pasal 17 Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang berbunyi Penyidikan
menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-

undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284


dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik
lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
berdasarkan ketentuan tersebut tetap dimungkinkan bagi
melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.

ayat (2) KUHAP


yang berwenang
Oleh karenanya
Kejaksaan untuk

3. Kemudian dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999


tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi
Dan Nepotisme disebutkan:
"Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)
ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi atau nepotisme, maka hasil
pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk
ditindaklanjuti "
Dalam Penjelasan Pasal 18 Ayat (3) UU Nomor 28 Tahun 1999, dinyatakan
bahwa:"Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau
menegaskan perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa selaku
pemeriksa harta kekayaan Penyelenggara Negara dan fungsi Kepolisian dan
Kejaksaan. Fungsi pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Pemeriksa sebelum
seseorang diangkat selaku pejabat negara adalah bersifat pendataan,
sedangkan pemeriksaan yang dilakukan sesudah pejabat negara selesai
menjalankan jabatannya bersifat evaluasi untuk menentukan ada atau tidaknya
petunjuk tentang korupsi, kolusi dan nepotisme.
Yang dimaksud dengan petunjuk dalam pasal ini adalah fakta-fakta atau data
yang menunjukkan adanya unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme.
Yang dimaksud instansi yang berwenang adalah Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, Kejaksaan Agung dan Kepolisian."
4. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi:
"Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak
pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku,
kecuali ditentukan lain dalam undang undang ini ".
5. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi:
"Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka
dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung".
6. Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi:
(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara
tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan

penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada


penyidik kepolisian atau kejaksaan.
(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib
melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi.
7. Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi:
(1)

Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan
Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah
dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib
memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3)

Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan


penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan
tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.

(4)

Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau


kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan
oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.

8. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan


Hak Asasi Manusia:
Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk
kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan
yang cukup"
9. Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia:
"Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan
penuntutan ".
10. Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia:
(1)

Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, berdasarkan undangundang.

Bahwa pada saat berlakunya KUHAP, dimana ditetapkan bahwa tugas-tugas


penyidikan diserahkan sepenuhnya kepada penyidik sebagaimana diatur dalam
pasal 6 KUHAP, maka kejaksaan tidak lagi berwenang untuk melakukan penyidikan
terhadap perkara-perkara tindak pidana umum. Namun demikian, sesuai dengan
ketentuan pasal 284 ayat (2) KUHAP Jo pasal 17 Peraturan Pemerintah nomor 27
tahun 1983, Jaksa masih berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu (tindak pidana khusus).
Disamping PP nomor 27 tahun 1983 tersebut yang menjadi dasar
hukum kejaksaan melakukan penyidikan adalah pasal 2 TAP MPR Nomor :
XI/MPR/1998 tanggal 13 Nopember 1983 yang secara eksplisit mengakui eksistensi
kejaksaan Republik Indonesia sebagai penyidik tindak pidana korupsi dan
menugaskan kejaksaan untuk melakukan akselerasi dalam pemberantasan Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Bahkan dengan berlakunya Undang-undang nomor 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf d yang
menyebutkan :
Tugas dan kewenangan Jaksa adalah : Melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan UU.
Dalam penjelasannya dinyatakan yang dimaksud dengan tindak pidana
tertentu berdasarkan UU adalah sebagaimana diatur dalam UU Nomor : 26 tahun
2000 tentang pengadilan HAM dan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Korupsi Jo UU
Nomor 20 tahun 2000 Jo UU Nomor : 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi.

Seperti telah disebutkan dimuka adanya putusan pengadilan negeri


Ciamis tersebut setidaknya telah menimbulkan keragaman putusan pengadilan atas
suatu hal dan objek yang sama. Memang belum dapat dipastikan adanya
jurisprudensi tetap yang dapat dijadikan pedoman dalam menjawab dengan pasti
mengenai kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi.
Mahkamah Agung telah memberikan jawaban untuk menanggapi
persoalan

hukum

tersebut

dengan

mengeluarkan

pendapat/fatwa

nomor

KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret 2005, dimana pada pokonya fatwa tersebut


berpendirian bahwa jaksa mempunyai kewenangan untuk menyidik perkara tindak
pidana korupsi sesudah berlakunya UU Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang
nomor 20 tahun 2001 dengan dasar :
-

Pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 ju undang-undang nomor 20 tahun 2001

Pasal 27 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang nomor 20 tahun 2001.

Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya.

Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983

Pasal 30 ayat (1) huruf d UU nomor 16 tahun 2004. (sumber Varia Peradilan ke-XXI
nomor 243 Pebruari 2006, hal. 34).
Melalui fatwa Mahkamah Agung ini didapat konstruksi hukum yaitu
bahwa berdasarkan pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. UU nomor 20 tahun 2001
penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak
pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga
oleh karena KUHAP ada aturan pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya jo
pasal 17 PP nomor 27 tahun 1983 maka jelas jaksa memiliki kewenangan dalam
menyidik tindak pidana korupsi.

http://hendriesipahutar.blogspot.co.id/2011/04/kewenangan-kejaksaan-menyidik-korupsi.html

EROR IN PERSONA
Doktrin / Pendapat Tokoh Hukum
yang melakukan (plegen)
Satochid Kartanegara (Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian I), Jakarta : Balai Lektur Mahasiswa, hal.500.

. dicantumkannya perumusan tersebut dalam pasal 55 adalah


berkelebihan, sebab andaikata perumusan itu tidak dicantumkan dalam pasal
tersebut, tokh akan dapat diketahui siapa pelakunya, yaitu dalam :

a. Delict dengan perumusan formil.


Pelakunya adalah barangsiapa yang memenuhi rumusan delict

b. Delict dengan perumusan materiil.


Pelakunya adalah barangsiapa yang menimbulkan akibat yang dilarang

a. Delict yang memiliki unsur kedudukan atau kualitas (hoedanigeid en qualiterit)


Pelakunya adalah mereka yang memiliki unsur, kedudukan atau kualitas,
sebagai yang ditentukan itu, yaitu misalnya kejahatan di dalam jabatan, yang
dapat melakukan adalah hanya pejabat negeri.

Moeljatno (Hukum Pidana. Delik-delik Penyertaan), Tanpa Penerbit, 1979, hal.35-36.

Bahwa disebutnya pelaku (pleger) di dalam pasal 55 (1) 1e KUHP adalah dengan
alasan sebagai berikut :

1. bahwa pleger (melakukan, penyusun) di situ menunjuk kepada dilakukannya


perbuatan dengan penyertaan lain-lain orang mungkin ada pembantupembantunya atau mungkin ada penganjur-penganjurnya (uitlokkers, penyusun)
atau mungkin orang-orang ikut serta melakukan.

2. kalau ia melakukan atau mewujudkan perbuatannya hanya sendirian saja, tentu


plegen (melakukan, penyusun) semacam itu tidak dapat dimasukkan ajaran
penyertaan.

Pengertian pleger (pelaku) yaitu : . untuk rumusan delik yang disusun


secara formal mengenai orangnya yang melakukan perbuatan tingkah laku
seperti yang tercantum dalam rumusan delik. Kalau rumusan delik itu disusun
secara material, maka siapa yang menimbulkan akibat seperti rumusan delik,
yang harus kita tentukan dengan ajaran kausalitas.

yang menyuruh melakukan (doen pleger)


Mr.J.E.Jonkers dalam bukunya Handboek van het Nederlands Indische Strafrecht (sebagaimana yang
dikutip oleh Soenarto Soedibroto, SH dalam bukunya KUHAP dan KUHAP, Edisi Keempat).

Pada doen plegen, pelaku yang melakukan perbuatan itu dinamakan willoos
werktuig atau manus ministra atau7 manus domina.

Manus ministra berbuat karena pelbagai alasan, seperti :


1. adanya daya paksa (over macht) ;
2. tidak dapat dipertanggungjawabkan (ontvereken baar) ;
3. berbuat untuk melaksanakan ketentuan undang-undang atas perintah jabatan ;
4. tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya.

R.Soesilo (KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal), Politea Bogor, Tahun 1996.
Hal.73.

Di sini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh
(pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang menyuruh peristiwa pidana, akan
tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian toch ia dipandang dan
dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri peristiwa pidana, akan tetapi ia
menyuruh orang lain. Yang disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu
alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, misalnya dalam hal-hal sebagai
berikut :
Tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 44 KUHP.
Telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak
dapat dihindarkan (overmacht) menurut pasal 48.
Telah melakaukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak syah menurut
pasal 51.
Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali. Geen
straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan).

P.A.F.Lamintang (Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang berlaku di Indonesia), Bandung : Sinar
Baru, 1984, hal.583. yang mengutip pendapat Simons (1937).

Bahwa untuk adanya doen plegen ex. pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP, maka
orang dibuat sehingga melakukan (yang disuruh melakukan) haruslah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :

1. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang
yang ontoerekeningsvatbaar (penyusun : dapat dipertanggung jawabkan) seperti
yang dimaksudkan di dalam pasal 44 KUHP ;

2. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu
dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak
pidana yang bersangkutan ;

3. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana sama sekali tidak
mempunyai unsur schuld (penyusun : kesalahan), bail dolus maupun culpa

(penulis : kesengajaan maupun kelalaian), atau pun apabila orang tersebut tidak
memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi
tindak pidana tersebut ;

4. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana tidak memenuhi
unsur oogmerk (penulis : niat), padahal unsur tersebut telah disyaratkan didalam
rumusan undang-undang mengenai tindak pidana tersebut di atas ;

5. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah
melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht (penulis : daya paksa), dan
terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan perlawanan ;

6. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik
telah melakukan suatu perintah padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh
seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu ;

7. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai
suatu hoedaniged atau sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undangundang, yakni sebagai sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.

MvT

(Memorie van Toelichting), sebagaimana yang diterjemahkan dengan bebas dari buku Hazewinkel

Suringa, 1989 : 372 oleh Prof.Mr.Dr.Lit.A.Z.Abidin dan Prof.Dr.Jur.A.Hamzah (dalam bukunya : BentukBentuk Khusus Perwujudan Delik Percobaan, penyertaan dan Gabungan Delik dan Hukum Penetensier ;
Jakarta, Sumber Ilmu Jaya, 2002, hal.181).

Doen pleger atau orang yang membuat orang lain melakukan (pembuat-pelaku)
atau pun orang yang menyuruh orang lain melakukan termasuk juga sebagai
pembuat (dader) ialah barangsiapa tidak sendiri mewujudkan peristiwa (delik),
tetapi dengan perantaraan orang lain, sebagai alat dalam tangannya, jikalau
orang lain itu berada dalam keadaan tidak mengetahui, atau mengalami
kekhilafan (error in fact) tentang keadaan atau pun dalam keadaan daya paksa
(overmacht), bertindak tanpa kesengajaan atau kelalaian atau pun tidak mampu
bertanggung jawab.

Moeljatno (Hukum Pidana. Delik-delik Penyertaan), Tanpa Penerbit, 1979, hal.50.

doen plegen juga disebut middelijk dadaerschap yang maksudnya ialah :


apabila seseorang mempunyai kehendak untuk melaksanakan suatu perbuatan
pidana, akan tetapi seseorang yang mempunyai kehendak itu tidak mau
melakukannya sendiri, tetapi mempergunakan orang lain yang disuruh
melakukannya. Pengertian doen plegen harus memenuhi syarat yang penting
bahwa orang yang disuruh itu haruslah orang-orang yang tidak dapat dipidana.

Adapun kemungkinan-kemungkinan tidak dipidananya orang yang disuruh, yaitu


karena :

1. tidak mempunyai kesengajaan kealpaan ataupun kemampuan bertanggung


jawab.

2.

a.

berdasarkan pasal 44 KUHP.

b.

dalam keadaan daya paksa pasal 48 KUHP.

c.

berdasarkan pasal 51 ayat (2) KUHP.

d.
orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas yang disyaratkan
dalam delik, misalnya pasal 413-437 KUHP.

yang turut serta melakukan (medepleger)

MvT

(Memorie

van

Toelichting),

sebagaimana

yang

dikutip

oleh

Prof.Mr.Dr.Lit.A.Z.Abidin

dan

Prof.Dr.Jur.A.Hamzah (dalam bukunya : Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik Percobaan, penyertaan


dan Gabungan Delik dan Hukum Penetensier ; Jakarta, Sumber Ilmu Jaya, 2002, hal.181).

Menurut M.v.T pelaku peserta ialah barangsiapa dengan sengaja untuk melakukan
delik turut kerjasama. Oleh karena itu undang-undang tidak menjelaskan arti
medeplegen dan M.v.T tidak menguraikan lebih lanjut tentang penjelasannya,
maka timbullah perbedaan pendapat diantara para ahli hukum pidana di
Nederland.

Moeljatno, SH, Prof. ; Hukum Pidana Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 1983, hal.111.
sebagaimana dikutip oleh Ali Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang
Hukum Pidana, Ikahi, 2000, hal.120-122 : 84.

KUHP tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana kriteria turut serta itu. Memorie
van Toelichting (MvT) menerangkan bahwa jika peserta-peserta itu langsung
turut serta dalam pelaksanaan perbuatan pidana (rechstreek deelnemen aan de
uitvoering van het feit). Dalam hal ini Mvt tidak menjelaskan lebih lanjut.

MvT menerangkan perbedaan antara turut serta dalam pasal 55 KUHP dengan
pembantuan dalam pasal 56 KUHP adalah : Mededader (orang yang turut sereta
melakukan) adalah secara langsung turut serta pada pelaksanaan perbuatan
(rechtstreek deelnement aan de uitvoering van het feit). Sedangkan
medeplictige (pembantu) dalam pelaksanaan perbuatan hanya memberi bantuan
yang sedikit atau banyak berfaedah (min of meer afdende hulp verleent). Batas
tersebut seakan-akan ditentukan menurut sifat perbuatnnya. MvT tidak
menegaskan kriteria turut serta dalam pelaksanaan perbuatan pidana agar
seseorang dapat dikenakan pasal penyertaan.

R. Soesilo ; KUHP serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1976, hal.62
sebagaimana dikutip oleh Ali Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang
Hukum Pidana, Ikahi, 2000, hal.120-122.

Bahwa turut melakukan dalam arti kata bersama-sama melakukan. Sedikitnya


harus ada dua orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut serta
melakukan (medeplegen) peristiwa pidana itu. Kedua orang itu diminta
melakukan perbuatan pelaksanaan anasir atau elemen dari peristiwa pidana
tersebut. Tidak boleh hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan
yang sifatnya hanya menolong, karena jika hanya menolong tidak termasuk
medepleger, tetapi dihukum sebagai membantu melakukan (medeplichtege).
Jadi dikatakan turut serta melakukan perbuatan pidana jika telah melakukan
perbuatan pelaksanaan dan melaksanakan anasir atau elemen dari peristiwa
pidana.

EY

Kanter

dan

SR

Sianturi,

SH

Azas-azas

Hukum

Pidana

di

Indonesia

dan

Penerapannya.

sebagaimana dikutip oleh Ali Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang
Hukum Pidana, Ikahi, 2000, hal.120-122.

Bentuk pelaku penyertaan harus ditandai dengan tindakan pelaksanaan


(uitvoerings handeling). Jika peserta itu turut dalam tindakan pelaksanaan, maka
ia adalah pelaku peserta, tetapi jika baru tahap persiapan pelaksanaan
(voorbereidings handeling) yang terjadi, maka ia adalah pembantu. Perlu diingat

kembali bahwa adalah sangat sulit untuk mengambil batas yang tegas antara
tindakan pelaksanaan dengan persiapan pelaksanaan.

Ali Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Pidana, Ikahi,
2000, hal.121.

Van Hamel berpendapat ; perbuatan medepleger itu harus merupakan


daderschap yang lengkap dan orang yang medepleger harus melakukan seluruh
perbuatan pelaksanaan. Noyon dan Jonkers sependapat dengan Van Hamel.

Menurut Simons, hanya mereka yang melakukan perbuatan yang dapat


digolongkan dalam perbuatan-perbuatan pelaksanaan strafbaar feit yang
mungkin menjadi mededader. Artinya, dianggap turut serta walaupun tidak
memenuhi semua unsur, tetapi harus memenuhi keadaan pribadi (persoolijke
hoedangheid) pelaku sebagaimana dirumuskan dalam delik. Van Hattum dan
Pompe hampir sependapat dengan Simon.

Lengemeyer berpendapat ; bahwa peserta memungkinkan melakukan


pelaksanaan untuk seluruhnya maupun untuk sebagian dijadikan medepleger
sekalipun perlu ditambah syarat asal apa yang diperbuat itu adalah penting
untuk perbuatan delik.

Moeljatno, SH, Prof. ; Hukum Pidana Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 1983, hal.111.
sebagaimana dikutip oleh Ali Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang
Hukum Pidana, Ikahi, 2000, hal.120-122 : 84.

Prof.Moeljatno, SH berpendapat ; Setidak-tidaknya mereka semua melakukan


unsur perbuatan pidana. Ini tidak berarti bahwa masing-masing harus
melakukan, bahkan yang dilakukan peserta tergantung pada masing-masing
keadaan. Yang pasti adalah adanya kerja sama yang erat antara mereka ketika
melakukan pidana. Kenyataannya, sangat sulit membedakan turut serta dengan
pembantuan. Untuk membedakannya, jika turut serta, orang yang turut serta
mempunyai kerja sama yang erat dalam melakukan perbuatan pidana.
Sedangkan dalam pembantuan, orang yang membantu hanya melakukan
peranan yang tidak penting.

P.A.F.Lamintang (Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang berlaku di Indonesia), Bandung : Sinar
Baru, 1984, hal.588.

Oleh karena itu di dalam bentuk deelneming ini selalu terdapat seorang pelaku
dan seorang atau lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yng
dilakukan oleh pelakunya, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut
sebagai suatu mededaderschap. Dengan demikian, maka medeplegen itu
disamping merupakan bentuk deelneming, maka ia juga merupakan suatu
bentuk daderschap.
https://parismanalush.blogspot.co.id/2014/08/penjelesan-unsur-penyertaandeelneming.html

Abuse of power adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat
untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi.
Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan
tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi.
Ada adagium yang mengatakan bahwa, kekuasaan itu dekat dengan korupsi. Kekuasaan yang
tidak terkontrol akan menjadi semakin besar, beralih menjadi sumber terjadinya berbagai
penyimpangan. Makin besar kekuasaan itu, makin besar pula kemungkinan untuk melakukan
korupsi.
Wewenang yang diberikan sebagai sarana untuk melaksanakan tugas, dipandang sebagai
kekuasaan pribadi. Karena itu dapat dipakai untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, pejabat
yang menduduki posisi penting dalam sebuah lembaga negara merasa mempunyai hak untuk
menggunakan wewenang yang diperuntukkan baginya secara bebas. Makin ting gi
jabatannya, makin besar kewenangannya.
Tindakan hukum terhadap orang-orang tersebut dipandang sebagai tindakan yang tidak wajar.
Kondisi demikian merupakan sebuah kesesatan publik yang dapat merugikan organisasi
secara menyeluruh. Dalam keadaan di mana masyarakat lemah karena miskin, buta hukum,
buta administrasi, korupsi berjalan seperti angin lewat.

Dalam Crimineel Wetboek (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) tahun 1809
dijelaskan pengertian,Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang
undang;
Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman pada waktu mengajukan
Crimineel Wetboek tahun 1881 (kemudian menjadi Kitab Undang Undang Hukum
Pidana tahun 1951), dimuat antara lain bahwa kesengajaan itu adalah dengan sadar
berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting van
den wil op een bepaald misdrijf);

Menurut Prof. SATOCHID KARTANEGARA, yang dimaksud dengan opzet willens en


weten (dikehendaki dan diketahui) adalah Seseorang yang melakukan suatu
perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus
menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu;
Kehendak dapat ditujukan terhadap:
a. Perbuatan yang dilarang;
b. Akibat yang dilarang.
Pengertian kesengajaan dalam hukum pidana dikenal 2 (dua) teori, yaitu:
1.Teori Kehendak (Wilstheorie)
2. Teori Membayangkan (Voorstellingstheorie);
Teori Kehendak (Wilstheorie) dikemukakan oleh VON HIPPEL dalam bukunya Die
Grenze Vorsatz und Fahrlassigkeit tahun 1903, yang menyatakan kesengajaan
adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat
dari tindakan itu. Akibat dikehendaki apabila akibat itu yang menjadi maksud dari
tindakan tersebut;
Teori membayangkan (Voorstellingstheorie) dikemukakan oleh FRANK dalam
bukunya Festschrift Gieszen tahun 1907 yang menyatakan bahwa manusia tidak
mungkin dapat menghendaki suatu akibat; manusia hanya dapat mengingini,
mengharapkan dan membayangkan (voorstellen) kemungkinan adanya suatu akibat;
Teori tentang kehendak terbagi menjadi 2 (dua) ajaran, yaitu:
1. Determinisme, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas.
Manusia melakukan suatu perbuatan didorong oleh beberapa hal, baik yang berasal
dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya;
2. Indeterminisme, aliran ini muncul sebagai reaksi dari aliran determinasi, yang
menyatakan bahwa walaupun untuk melakukan sesuatu perbuatan dipengaruhi oleh
bakat dan milieu, manusia dapat menentukan kehendaknya secara bebas;
Aliran Determinisme tidak dapat diterapkan dalam hukum pidana karena akan
menimbulkan kesulitan dalam hal pertanggungjawaban. Sehingga muncul
Determinisme Moldern yang menyatakan bahwa Manusia adalah anggota
masyarakat, dan sebagai anggota masyarakat apabila melanggar ketertiban umum,
maka ia bertanggungjawab atas perbuatannya;
Secara umum, para ahli hukum pidana menyebutkan adanya 3 (tiga) macam bentuk
kesengajaan (opzet), yaitu:
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk);
2. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn);
3. Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis).
Sengaja sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti;
Kesengajaan dengan keinsafan pasti yaitu si pelaku menyadari bahwa dengan
melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul perbuatan lain;

Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis) disebut juga


kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan, bahwa seseorang melakukan
perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu;

MENYURUH MELAKUKAN TINDAK PIDANA


(DOEN PLEGEN)
November 25, 2010
Doen plegen merupakan salah satu bentuk pesertaan di antara empat bentuk lainnya, yaitu
melakukan (plegen), membujuk melakukan (uitlokken), turut serta melakukan (medeplegen),
dan membantu melakukan (medeplichtig zijn).
Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 55 (1) angka 1 KUHP, yang menyuruh melakukan suatu
delik dipidana sebagai pembuat delik. Dalam doen plegen, pelaku langsung (materieele
dader) tidak dapat dipidana misalnya karena dalam pengaruh daya paksa (Pasal 48 KUHP),
menurut perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 1 KUHP), menurut perintah jabatan yang
tidak sah namun materieele dader dengan jujur mengira perintah tersebut sah (Pasal 51 ayat 2
KUHP), atau materieele dader mengalami penyakit/cacat perkembangan jiwa (Pasal 44 ayat
1 KUHP).
Termasuk juga ke dalam doen plegen, yaitu apabila pada materieele dader tidak ada salah
satu unsur delik, melainkan unsur tersebut ada pada yang menyuruh. Unsur tersebut bisa
mengenai a) keadaan-keadaan mengenai pribadi seseorang (persoonlijke omstandigheden)
ataupun b) opzet (padahal unsur tersebut telah disyaratkan di dalam rumusan undang-undang
mengenai delik tsb.)
Sebagai contoh keadaan a) adalah: Seorang pegawai negeri A menyuruh seseorang yang
bukan pegawai negeri C meminta pembayaran kepada pegawai negeri lain B, seolah-olah B
berhutang pada A, padahal tidak demikian halnya. Terhadap peristiwa ini, A terancam Pasal
425 angka 1 jo. Pasal 55 (1) angka 1 KUHP sebagai penyuruh.
Contoh keadaan b), misalnya: A menyuruh B untuk mengambil barang milik C. B mengira
dengan jujur bahwa keinginan A untuk menguasai barang tersebut tidak melawan hukum.
Dalam hal ini, B tidak memiliki opzet untuk menguasai barang itu secara melawan hukum,
sedangkan A terancam Pasal 362 jo. Pasal 55 (1) angka 1 KUHP.

1. Pengertian Kesengajaan
Kata kesengajaan berasal dari kata "sengaja", dalam bahasa Inggrisnya adalah intention, dari
kata intend yang artinya berniat melakukan sesuatu, atau dari kata intentional, premeditated,
and willful yang artinya dengan sengaja. Menurut Oxford Advanced Learner's Dictionary "
that which one purposes or plans to do"[2]. Dalam bahasa Belanda, kesengajaan (dengan

sengaja) ini disebut opzetelijk dari kata opzet (sengaja), dalam bahasa Prancis disebut dolus,
sedangkan dalam bahasa Latin disebut doleus. Melihat pengertian yang disebutkan dalam
Oxford Advanced Learner's Dictionary tersebut, kita ketahui bahwa kesengajaan adalah
keinginan, kehendak atau kemauan seseorang untuk melakukan sesuatu. Jika dihubungkan
dengan tindak pidana maka, maka dalam melakukan suatu tindak pidana haruslah ada unsurunsur yang menyebabkan tindakan tersebut dikatakan kesengajaan melakukan suatu tindak
pidana. Adapun unsur-unsur tersebut, yaitu:
harus ada kehendak, keinginan, atau kemauan pada diri seseorang untuk melakukan tindak
pidana;
orang yang berbuat sesuatu dengan sengaja itu sudah mengetahui dan sadar sebelumnya akan
akibat-akibat perbuatannya.[3]
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang beraku pada saat sekarang ini sama
sekali tidak menerangkan tentang makna/arti dari kesengajaan dalam melakukan tindak
pidana. Konsep KUHP baru yang akan datang bermaksud merumuskan istilah kesengajaan
dan juga kealpaan (culpa)[4].
Jika kita melihat perumusan KUHP di negara-negara lain, kita bisa membagi, mengenai
perumusan maksud kesengajaan dan kealpaan, menjadi dua kelompok[5], yaitu:
1. ada yang hanya merumuskan dan menegaskan bahwa seseorang hanya dapat dipidana
jika ada unsur kesengajaan dan kealpaan tanpa menjelaskan maksud/definisi kedua
bentuk tersebut. Teknis perumusan ini bisa dilihat misalnya dalam KUHP Norwegia,
Greenland, Jepang, Korea dan KUHP Jerman 1871.
2. Ada pula yang memandang perlu merumuskan pengertian kesengajaan dan kealpaan,
seperti pada KUHP Thailand, Swiss, Polandia, Republik Demokrasi Jerman dan
KUHP Yugoslavia.
2. Kesengajaan Menurut KUHP Negara-Negara Lain
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa perumusan tentang kesengajaan dan kealpaan di
negara-negara lain bisa dibagi menjadi kelompok, yaitu yang hanya merumuskan tentang
kesengajaan dan kealpaan tanpa menjelaskan definisi kedua istilah tersebut; dan yang
merumuskan definisi kedua istilah tersebut (kealpaan dan kesengaja-an). Tujuan dari
penulisan beberapa contoh KUHP di Negara-negara lain ini adalah sebagai kaca
perbandingan bagi kita tentang definisi kesengajaan.
Di sini, kami hanya membatasi penjelasan tentang kesengajaan menurut negara-negara lain.
Adapun tentang kealpaan akan dijelaskan oleh pemakalah yang lain.
a. KUHP Thailand
KUHP Thailand telah memberikan pengertian tentang definisi kesengajaan, yaitu pada Pasal
59 paragraf 2[6] yang berbunyi Melakukan sesuatu dengan sengaja ialah melakukan
perbuatan secara sadar dan pada saat yang sama si pembuat menghendaki atau dapat
memperkirakan/mengetahui lebih dahulu akibat dari perbuatan yang demikian itu.
Pada Pasal 59 paragraf/ayat 3 ditegaskan bahwa apabila si pembuat tidak mengetahui faktafakta ayang merupakan (unsur) tindak pidana, tidaklah dapat dianggap ia menghendaki atau
dapat memperkirakan/mengetahui lebih dahulu akibat dari perbuatan yang demikian itu.
Jika melihat bunyi pasa 59 paragraf/ayat 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa error facti tidak
dapat dipandang sebagai perbuatan yang disengaja (memiliki unsur kesengajaan). Namun
demikian, apabila ignorance of fact itu terjadi karena kealpaan, maka si pelaku dapat
dikenakan pidana, seperti disebutkan pada pasal 62 ayat (2)[7].

b. KUHP Polandia (Pasal 7 paragraf 1)


Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa perbuatan tersebut dikatakan dilakukan dengan sengaja
jika si pelanggar mempunyai kesengajaan untuk melakukan pebuatan terlarang itu, yaitu ia
menghendaki terjadinya perbuatan itu dan ia membiarkan atau menyetujui terjadinya
kemungkinan itu[8].
c. KUHP Republik Demokrasi Jerman (Pasal 6)[9]
Pada ayat 1 pasal tersebut (pasal 6) disebutkan bahwa dilakukan dengan sengaja jika ia (si
pelaku) secara sadar menetapkan melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan pada ayat 2 juga
disebutkan bahwa dikatakan dilakukan dengan sengaja meskipun seseorang tidak bermaksud
melakukan tindak pidana itu namun secara sadar menyetujui kemungkinan terjadinya tindak
pidana itu dan tetap memutuskan untuk berbuat.
d. KUHP Yugoslavia (Pasal 7 ayat 2)
KUHP Yugoslavia pada pasal 7 ayat 2 menyebutkan ketentuan tindak pidana yang disengaja
yang tidak jauh berbeda dari KUHP negara-negara lain (Thailand, Polandia, dan Republik
Demokrasi Jerman), yaitu pelaku menyadari perbuatannya, menghendakinya, menyadari
bahwa perbuatan tersebut terlarang dan menyetujui terjadinya akibat itu.
e. KUHP Swiss (Pasal 18)
Pada pasal 18 tersebut hanya menyebutkan dua unsur suatu tindak pidana disebut dilakukan
dengan sengaja, yaitu si pelaku mengetahui dan menghendaki perbuatan tersebut[10].
Sekarang, marilah kita bandingkan dengan konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita
yang baru, yaitu pada pasal 34 ayat 2 yang berbunyi:
Tindak pidana dilakukan dengan sengaja, apabila yang melakukan tindak pidana mengetahui
dan menghendakinya.
Ternyata, perumusan tersebut sangat dan terlalu singkat. Sepertinya konsep KUHP Baru kita
mengambil rumusan KUHP Swiss pasal 18 seperti yang telah disebutkan terdahulu.
Sedangkan pada KUHP negara-negara lain, seperti KUHP Thailand, Yugoslavia, Polandia dan
KUHP Republik Demokasi Jerman, selain kedua unsur di atas juga merumuskan unsur-unsur
lain, yaitu unsur kesadaran, persetujuan dan membiarkan tindak pidana tersebut.
3. Macam-Macam Dolus
Drs. C.S.T. Kansil, SH. dalam bukunya Latihan Pengatar Hukum Indonesia meyebutkan ada
enam (6) macam dolus, yaitu: dolus eventualis, dolus determinatus, dolus indeterminatus,
dolus alternativus, dolus indirectus, dan yang terakhir adalah dolus premeditatus[11].
a. Dolus Eventualis
Apabila kita mencermati dari segi bahasa, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya nahwa
dolus artinya adalah :dengan sengaja dan eventualis jika diambil dari bahasa Inggris berasal
dari kata event yang maksudnya kurang lebih kejadian, sehingga dolus eventualis bisa

diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja pada waktu kejadian.
Maksudnya bahwa si pelaku tahu bahwa perbuatannya tersebut akan berakibat fatal bagi si
penderita/korban, namun ia tetap melakukan perbuatan/tindakan tersebut. Sebagai contoh: si
A mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, sedangkan ia tahu bahwa ada anak-anak
sedang bermain di jalan. Seandainya ia tidak mengurangi kecepatan laju mobilnya maka ia
pasti akan menabrak mereka yang berakibat luka-luka atau kematian. Jadi, kalau si pelaku
mengurangi kecepatanya, mungkin hal-hal tersebut tidak akan terjadi.
Namun, menurut Prof. Moeljatno, SH.[12], dolus eventualis bukan merupakan kesengajaan.
Beliau menyatakan bahwa teori yang paling jelas mengenai hal ini (dolus eventualis) adalah
teori inkauf nehmen(teori apa boleh buat), yaitu teori yang mengenai dolus eventualis,
bukan tentang kensengajaan, yang mana akibat atau keadaan yang diketahui kemungkinan
adanya tidak disetujui. Namun, akibat yang ditimbulkan dapat diterima. Sehingga ada dua
syarat untuk adanya kesengajaan, yaitu:
1. terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat yang merupakan delik;
2. sikapnya ketikakemungkinan itu terjadi, ialah apa boleh buat, dapat disetujuinya dan
berani menanggung resiko.

b. Dolus Determinatus
Jika melihat dari segi bahasa, determinatus, dalam bahasa Inggris, berasal dari kata determine
yang artinya kurang lebih menentukan. Jadi dolus determinatus adalah suatu tindak pidana
yang disengaja dan obyek/sasarannya telah ditentukan. Sebagai contoh: Si A ingin membunuh
si B.
c. Dolus Indeterminatus
Dolus Indeterminatus adalah suatu tindakan yang mana si pelaku tidak menentukan
sasarannya, siapapun yang terkena tidak masalah, misalnya pembunuhan dilakukan pada
waktu sidang/rapat di lapangan.
d. Dolus Alternativus
Sedangkan dolus ini adalah seperti namanya yaitu alternative si pelaku melakukan suatu
perbuatan/tindak pidana dengan memilih salah satu dari targetnya, misalnya si A ingin
membunuh si B atau si C (sala satu di antara jumlah tertentu).
e. Dolus Indirectus
Yang dimaksud dengan dolus indirectus adalah seseorang melakukan suatu tindak pidana
dengan maksud menganiaya saja, namun si korban/atau yang dianiayanya mati.
f. Dolus Premeditatus

Dolus Premeditatus adalah melakukan kejahatan dengan sengaja, dengan dipikirkan,


direncanakan, diperhitungkan terlebih dahulu secara teliti dan mendalam.
4. Beberapa Pasal dalam KUHP tentang Kesengajaan
Pasal yang dengan jelas menyebutkan kata sengaja dalam KUHP kita adalah pasal 354, yang
berbunyi:
(1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan
berat dengan pidana penjara palng lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun.
Pasal yang lain adalah pasal 338 yang berbunyi: Barangsiapa dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima belas tahun.
Untuk lebih jelasnya tentang pasal-pasal mengenai kesengajaan, silahkan melihat/membaca
kembali Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita.
5. Kesimpulan
Setelah bergelut dengan berbagai penjelasan tentang kesengajaan, maka sampailah kita
kepada suatu kesimpulan, bahwa kesengajaan dalam tindak pidana adalah apabila yang
melakukan tindak pidana dengan sadar, mengetahui dan menghendakinya atau juka tidak
melakukannya (ia diam) tapi ia setuju dengan tindakan tersebut dan membiarkan tindak
pidana tersebut.
Adapun macam-macam tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja (dolus) adalah: dolus
eventualis, dolus determinatus, dolus indeterminatus, dolus alternativus, dolus indirectus, dan
yang terakhir adalah dolus premeditatus.

2.1 Mereka Yang Melakukan (PLEGER)


[1]Adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik
yaitu Orang yang bertanggung jawab (peradilan Indonesia). Orang yang mempunyai
kekuasaan/kemampuan untuk mengakhiri keadaan yang terlarang, tetapi membiarkan
keadaan yang dilarang berlangsung. (peradilan belanda).

Orang yang berkewajiban

mengakhiri keadaan terlarang (pompe). Kedudukan pleger dalam pasal 55 : Janggal karena
pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya (pelaku tunggal) Dapat dipahami : (pasal 55
menyebut siapa-siapa yang yang disebut sebagai pembuat, jadi pleger masuk didalamnya)

(Hazewinkel Suringa). Mereka yang bertanggungjawab adalah yang berkedudukan sebagai


pembuat (Pompe).
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan
perbuatannya sendiri, baik dengan alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger
adalah mereka yang memenuhi seluruh unsure yang ada dalam suatu perumusan karakteristik
delik pidana dalam setiap pasal. Ada pembuat materil dan pembuat formil yang secara
berbeda.
2.2 Mereka Yang Menyuruh Melakukan (DOEN PLEGEN)
Doen plegen merupakan salah satu bentuk pesertaan di antara empat bentuk lainnya,
yaitu melakukan (plegen), membujuk melakukan (uitlokken), turut serta melakukan
(medeplegen), dan membantu melakukan (medeplichtig zijn). Sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 55 (1) angka 1 KUHP, yang menyuruh melakukan suatu delik dipidana sebagai
pembuat delik. Dalam doen plegen, pelaku langsung (materieele dader) tidak dapat dipidana
misalnya karena dalam pengaruh daya paksa (Pasal 48 KUHP), menurut perintah jabatan
yang sah (Pasal 51 ayat 1 KUHP), menurut perintah jabatan yang tidak sah namun materieele
dader dengan jujur mengira perintah tersebut sah (Pasal 51 ayat 2 KUHP), atau materieele
dader mengalami penyakit/cacat perkembangan jiwa (Pasal 44 ayat 1 KUHP).
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen paling sedikit harus ada dua orang
dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang yang
ingin melakukan tindak pidana tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan
menggunakan atau menyuruh orang lain dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa
menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang
demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat
(instrument) belaka, dan perbuatan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh
melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang
yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang
menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hokum tidak
bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai
dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana sebagaimana diatur dalam pasal 44, pasal 48,
pasal 49, pasal 50 dan pasal 51 KUHPidana.
Termasuk juga ke dalam doen plegen, yaitu apabila pada materieele dader tidak ada
salah satu unsur delik, melainkan unsur tersebut ada pada yang menyuruh. Unsur tersebut
bisa

mengenai

a)

keadaan-keadaan

mengenai

pribadi

seseorang

(persoonlijke

omstandigheden) ataupun b) opzet (padahal unsur tersebut telah disyaratkan di dalam


rumusan undang-undang mengenai delik tsb.) Sebagai contoh keadaan a) adalah: Seorang
pegawai negeri A menyuruh seseorang yang bukan pegawai negeri C meminta pembayaran
kepada pegawai negeri lain B, seolah-olah B berhutang pada A, padahal tidak demikian
halnya. Terhadap peristiwa ini, A terancam Pasal 425 angka 1 jo. Pasal 55 (1) angka 1 KUHP
sebagai penyuruh.
Contoh keadaan b), misalnya: A menyuruh B untuk mengambil barang milik C. B
mengira dengan jujur bahwa keinginan A untuk menguasai barang tersebut tidak melawan
hukum. Dalam hal ini, B tidak memiliki opzet untuk menguasai barang itu secara melawan
hukum, sedangkan A terancam Pasal 362 jo. Pasal 55 (1) angka 1 KUHP. Menyuruh
melakukan (doen plegen). Adalah seseorang yang memiliki kehendak sendiri untuk
melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melaksanakannya sendiri tetapi menyuruh orang
lain untuk melakukannya (bisa karena ancaman maupun penyesatan). Seseorang yang
menyuruh tersebut diancam pidana sebagaimana seorang pelaku.
Van hammel berpendapat, perbuatan yang menyuruh melakukan itu adalah perbuatan
pembuat. Menurut Momorie van Toelichting, unsur menyuruh melakukan adalah seseorang,
yaitu manusia, yang dipakai sebagai alat. Dua sebab orang yang disuruh melakukan tidak
dapat dihukum adalah: Orang itu sama sekali tidak melakukan satu peristiwa pidana, atau
perbuatan yang dilakukannya tidak dapat dikualifikasi sebagai peristiwa pidana. Orang itu
memang melakukan suatu peristiwa pidana tetapi ia tidak dapat dihukum karena alasan
menghilangkan kesalahan, yaitu: Perbuatan yang dilakukan oleh yang disuruh melakukan
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena
sakit berubah akal (Ps. 44 KUHP) Yang disuruh melakukan perbuatan yang bersangkutan
karena diancam / overmacht (Ps.48 KUHP).
Yang disuruh melakukan menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa
yang tidak berhak sedangkan ia atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu
seakan-akan diberikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu
menjadi kewajibannya (Ps.51 ayat (2) KUHP) Yang disuruh melakukan tidak bersalah sama
sekali tiada hukan dengan tiada kesalahan Yang disuruh melakukan belum dewasa (Ps.44
KUHP).
Ad.2. mereka yang menyuruh melakukan (pembuat penyuruh: doenpleger)
Unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu:
1. melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya
(yang ada dalam kekuasaannya)

2. orang lain itu berbuat:


a. tanpa kesengajaan (contoh mengedarkan uang palsu)
b. tanpa kealpaan (contoh menyiramkan air panas kepada pemulung)
c. tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:
1) yang tidak diketahuinya
2) karena disesatkan (kekeliruan/kesalahpahaman) (contoh mencuri koper yang bukan
miliknya)
3) karena tunduk pada kekerasan (tuan rumah dilempar dan menimpa anak kecil hingga
tewas)
orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebab-sebabnya:
1. orang yang disuruh melakukan tindak pidana, tetapi apa perbuatan yang dilakukannya
tidak dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Contoh:
a. seorang jururawat yang atas perintah dokter untuk memberikan obat minum yang
mengandung racun kepada pasien yang menjadi musuh dokter, si perawat sama sekali tidak
tahu bahwa obat minum tsb mengandung racun. (unsur sengaja tidak ada)
b. A. menyruh B menukarkan uang palsu, sedangkan B tidak tahu bahwa uang tersebuyt
palsu. (unsur dengan maksud Pasal 245 tidak dipenuhi).
2. orang itu memang melakukan satu tindak pidana tetapi ia tidak dapat dipidana karena ada
satu atau beberapa alasan yang menghilangkan kesalahan.
Contoh:
a. tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP. Ex: A berniat membunuh B
tetapi tidak berani melakukan sendiri, telah menyruh C (orang gila) untuk melemparkan
granat tangan keada B, bila C betul2 telah melemparkan granat itu, sehingga B mati, maka C
tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan yang dihukum
sebagai pembunuh adalah A.
b. telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat
dihindarkan (overmacht) menurut Pasal 48 KUHP. Ex: A berniat membakar rumah B dan
dengan menodong memakai pistol menyuruh C supaya membakar rumah itu. Jika C menurut
membakar rumah itu ia tidak dapat dihukum karena dipaksa.
c. Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak sah menurut pasal 51
KUHP. Ex. Seorang perwira polisi mau membalas dendam pada seorang musuhnya dengan
memasukkan orang itu ke dalam tahanan. Ia menyuruh B seorang bintara di bawah
perintahnya supaya menangkap dan memasukkan tahanan orang tsb, dengan dikatakan bahwa

orang tsb seoprang tersangka pencurian. Jika B melaksanakan suruhan tsb B tidak dapat
dipidana karena ia menyangka bahwa perintah itu sah.
d. Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali. Ex: A berniat akan
mencuri sepeda motor yang sedang diparkir di depan kantor pos. ia tidak berani melakukan
sendiri akan tetapi ia menunggu di tempat agak jauh minta tolong kepada B untuk mengambil
sepeda motor tsb dengan dikatakan bahwa itu adalah miliknya. Jika B memenuhi permintaan
itu ia tidak dapat disalahkan melakukan pencurian, karena unsur sengaka tidak ada.

2.3 Mereka yang Turut Serta Melakukan ( Medepleger )


[2]Menurut Mvt Wvs Belanda di terangkan bahwa yang turut serta melakukan ialah
setiap orang yang sengaja turut berbuat dalam melakukan suatu tindak pidana.
Ada 2 pandangan mengenai turut serta melakukan yaitu Pandangan yang sempit yang
dianut leh Van Hamel dan Trapman yang berpendapat bahwa turt serta melakukan terjadi
apabila pebuatan masing masing peserta memuat semua unsur tindak pidana.Pandangan ini
lebih condong pada ajaran objektif. Sedangkan pandangan yang kedua adalah pandangan luas
mengenai pembuat peserta, tidak mensyaratkan bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama
dengan perbuatan seorang pembuat, peruatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan
tindak pidana, sudahlah cukup memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana, asalkan
kesengajaannya sama dengan kesengajaan dari pembuat pelaksanaannya. Pandangan ini lebih
mengarah pada ajaran subjektif.Pandangan luas ini adalah pandangan yang lebih modern
daripada pandangan lama yang lebih sempit.
Hoge Raad dalam arrestnya ini telah meletakkan dua kriteria tentang adanya bentuk
pembuat peserta, yaitu :
a.

Antara para peserta ada kerja sama yang di insyafi;

b.

Para peserta telah sama sama melaksanakan tindak pidana yang dimaksudkan.

Jadi, perbedaan antara pembuat peserta dengan pembuat pelaksaana hanyalah dari sudut
perbuatan (objektif), ialah perbuatan pembuat pelaksana itu adalah perbuatan penyelesaian
tindak pidana. Artinya terwujud dan selesainya tindak pidana adalah oleh perbuatan pembuat
pelaksana, dan bukan oleh perbuatan pembuat peserta. Dengan kata lain, perbuatan pembuat
pelaksana adalah perbuatan pelaksanaan tindak pidana, sedangkan perbuatan pembuat peserta
adalah sebagian dari perbuatan pelaksanaan tindak pidana. Terdapat perbedaan juga antara

pembuat pelaksana dengan pembuat peserta, adalah dalam hal tindak pidana yang
mensyaratkan subyek hukum atau pembuatnya harus berkualitas tertentu.
Medepleger (Turut Serta)
Orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan sesuatu yang
dilarang menurut undang-undang
Turut mengerjakan sesuatu:
- mereka memenuhi semua rumusan delik
- Salah satu memenuhi semua rumusan delik
- Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik
Syarat
1. Adanya kerjasama secara sadar (bewuste samenwerking)
2. Adanya kerjasama secara fisik (gezamenlijke uitvoering/physieke samenwerking)
Kerjasama secara sadar :
a. Adanya pengertian antara peserta atas suatu perbuatan yang dilakukan
b. Untuk bekerjasama
c. Ditujukan kepada hal yang dilarang oleh undang-undang
Kerjasama/pelaksanaan bersama secara fisik:
Kerjasama yang erat dan langsung atas suatu perbuatan yang langsung menimbulkan
selesainya delik yang bersangkutan.

2.4 Orang yang Sengaja Menganjurkan ( Uitlokker )


[3]Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Terdapat beberapa unsur unsur
dari Uitlokker yaitu :
Unsur unsur obyektif terdiri dari :
a.

Unsur perbuatan, ialah : menganjurkan orang lain melakukan perbuatan;

b.

Caranya, ialah :
Dengan memberikan sesuatu

Dengan menjanjikan sesuatu


Dengan menyalahgunakan kekuasaan
Dengan menyalahgunakan martabat
Dengan kekerasan
Dengan ancaman
Dengan penyesatan
Dengan memberi kesempatan
Dengan memberikan sarana

Dengan memberikan kekurangan.


Terdapat 5 syarat dari seorang pembuat penganjur :
a.

Pertama, tentang kesengajaan si pembuat penganjur :


Ditujukan pada digunakannya upaya upaya penganjuran;
Ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya;
Ditujukan pada orang lain untuk melakuakn perbuatan ( apa yang dianjurkan )
Ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipidana.

b.

Kedua, dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus menggunakan cara cara

menganjurkan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 55 ayat 1 angka 2 tersebut.


c.

Ketiga, terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan untuk melakukan tindak pidana

sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya
upaya penganjuran oleh si pembuat penganjur.
d. Keempat, orang yang dianjurkan telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang
dianjurkan.
e.

Kelima, orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggung

jawab.
Terdapat syarat untuk adanya upaya menyalahgunakan kekuasaan yang dimaksud dalam
hal penganjuran adalah :
a)

Pertama, bahwa upaya ini digunakan dalam hal yang hubungan atau dalam ruang lingkup

tugas pekerjaan dari pemegang kekuasaan dan orang yang ada dibawah pengaruh kekuasaan.
b) Kedua, bahwa hubungan kekuasaan itu harus ada pada saat dilakukannya upaya
penganjuran dan pada saat pelaksanaan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan.
Berikut adalah persamaan dan perbedaan antara bentuk pembuat penyuruh dengan pembuat
penganjjur :
Persamaannya ialah :

a.

Pada kedua bentuk, baik pembuat penyuruh maupun pembuat penganjur tidak melakukan

sendiri tindak pidana melainkan menggunakan atau melalui orang lain.


b.

Kesengajaan mereka dalam melakukan penganjuran maupun dalam menyuruh lakukan

masisng masing ditujukan pada penyelesaian tindak pidana dengan menggunakan orang
lain.
Sedangkan perbedaannya ialah :
a.

Bahwa dalam melakukan penganjuran harus menggunakan cara cara yang telah

ditentukan dalam pasal 55 ayat 1 ke 2 KUHP. Pada bentuk menyuruh lakukan boleh
menggunakan segala cara.
b.

Pada bentuk penganjuran, baik pembuat pengnjurnya maupun perbuat materiilnya

dipertanggungjawabkan yang sama terhadap timbulnya tindak pidana, artinya sama sama
dipidana. Tetapi pada bentuk menyuruh lakukan yang dibebani tanggung jawab pidana dan
dipidana hanyalah pembuat penyuruhnya saja.Sedangkan pembuat materiilnya tidak dapat di
jatuhi pidana.

Piercing The Corporate Veil


Penyingkapan tabir perusahaan atau dalam bahasa inggris disebut piercing the corporate
veil. Merupakan suatu teori yang digunakan untuk menembus prinsip tanggung jawab
terbatas yang ada pada perusahaan. Dengan berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas
Nomor 1 Tahun 1995, teori tersebut secara sah diakui dalam ranah Hukum Indonesia yang
diarahkan kepada pihak pemegang saham, direksi, bahkan dalam hal yang sangat khusus juga
terhadap dewan komisaris dari suatu perseroan terbatas. Hanya saja, tentunya untuk bisa
menerapkan teori piercing the corporate veil ini, perlu kearifan, kehati-hatian dan pemikiran
dalam suatu cakrawala hukum dengan visi yang perspektif dan responsif pada keadilan.

Istilah piercing the corporate veil kadang-kadang disebut juga dengan istilah lifting the
corporate veil atau going behind the corporate veil. Secara harafiah, istilah piercing the
corporate veil berarti mengoyak tirai perusahaan. Sedangkan dalam ilmu hukum perusahaan,
istilah piercing the corporate law merupakan suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai
suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain, atas
perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat
kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan pelaku tersebut.
dalam kasus seperti ini, status badan hukum dari perusahaan yang bersangkutan dan
keberadaan prinsip pertanggungjawaban terbatas akan diabaikan oleh pengadilan dan
membebankan tanggung jawab kepada pengurus dan pemegang saham dari perseroan
tersebut.
Secara universal, penerapan teori ini dapat dilakukan dalam hal-hal :
1. Karena Perusahaan tidak mengikuti formalitas tertentu.
Piercing the Corporate Veil dapat diterapkan karena suatu perseroan tidak mengikuti
formalitas tertentu yang sebagaimana telah ditentukan di dalam Undang-Undang yang
berlaku. Dalam hal ini prinsip piercing the corporate veil diterapkan bukan bertujuan secara
langsung untuk melindungi pihak tertentu, namun semata-mata agar formalitas tertentu yang
berlaku tersebut terpenuhi. Beberapa contoh penerapan prinsip ini dalam hal tidak
dipenuhinya formalitas tertentu :
a.

Tidak tuntasnya formalitas pendirian perusahaan.

b. Tidak melakukan rapat, pemilihan direksi atau komisaris, dan lainnya.


c.

Tidak melakukan penyetoran modal dan pengisuan saham.

d. Pemegang saham terlalu banyak ikut campur urusan perseroan.


e.

Adanya percampuran urusan pribadi dan urusan perseroan.

2. Terhadap Badan Hukum yang Hanya Terpisah Secara Artifisial

Prinsip piercing the corporate veil dalam hal ini diterapkan pada perusahaan yang sebenarnya
dalam kenyataan adalam tunggal, namun dibagi ke dalam beberapa perseroan secara artifisial.
Dengan diterapkannya piercing the corporate veil, maka beban tanggung jawab diberikan
kepada seluruh perseroan yang saling terkait tersebut.
3. berdasarkan hubungan kontraktual
prinsip piercing the corporate veil diterapkan ketika ada hubungan kontraktual dengan pihak
ketiga, dimana jika tanpa diterapkannya prinsip ini, kerugian pihak ketiga tidak dapat
ditanggulangi. Agar prinsip piercing the corporate veil dapat diterapkan, biasanya
dipersyaratkan terdapatnya unsur keadaan yang tidak lazim pada aktivitas perusahaan.
Keadaan tidak lazim tersebut bisa berupa salah satu dari hal-hal berikut ini :
a.

Pihak ketiga diperdaya untuk bertransaksi dengan perseroan.

b. Tindakan bisnis perusahaan membingungkan.


c.

Permodalan perusahaan tidak dinyatakan dengan benar/tidak disetor.

d. Adanya jaminan pribadi dari pemegang saham


e.

Perseroan dioperasikan dengan cara yang tidak layak.

4. Diterapkan karena Perbuatan Melawan hukum atau Tindak Pidana


Jika dalam suatu kegiatan perseroan ditemukan unsur tindak pidana ataupun unsur melawan
hukum, meskipun hal tersebut dilakukan oleh perseroan itu sendiri, maka berdasarkan prinsip
piercing the corporate veil, dibenarkan oleh hukum jika tanggung jawab dimintakan kepada
pihak-pihak lain, seperti direksi, komisaris, maupun pemegang sahamnya. Tindakan melawan
hukum perseroan, misalnya :
a.

Kegiatan perseroan berskala besar, namun modalnya sangat kecil.

b.

Perseroan dibentuk khusus untuk melakukan kegiatan yang berbahaya tanpa ixin yang
berwenang.

5. dalam hubungan dengan Holding Company dan Anak Perusahaan

prinsip piercing the corporate veil juga dapat diterapkan pada perusahaan dalam grup usaha.
Dalam ilmu hukum dikenal dengan apa yang disebut doktrin innstrumental. Menurut
doktrin tersebut, maka teori piercing the corporate veil dapat diterapkan. Dalam keadaan
seperti ini, berarti yang bertanggung jawab bukan hanya badan hukum yang melakukan
perbuatan hukum yang bersangkutan, melainkan pemegang saham ( perusahaan holding) juga
ikut bertanggung jawab, jika salah satu unsur dibawah ini terpenuhi :
a.

Express Agency, atau

b. Estopel, atau
c.

Direct Tort, atau

d. Dapat dibuktikan adanya tiga unsur sebagai berikut :


1) Pengontrolan anak perusahaan oleh perusahaan holding.
2) Penggunaan kontrol oleh perusahaan holding untuk melakukan penipuan, ketidakjujuran atau
tindakan tidak fair lainnya.
3) Terdapat kerugian sebagai akibat dari breach of duty dari perusahaan holding.
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam hubungan dengan grup perusahaan, piercing the
corporate veil juga dapat diterapkan dalam kasus-kasus sebagai berikut :
a.

adanya fakta-fakta yang menyesatkan.

b. terjadinya penipuan dan ketidakadilan.


c.

untuk melindungi pemegang saham minoritas.


Terdapat juga fakta-fakta lain yang dapat dicurigai sehingga menyebabkan dapat
diterapkannya prinsip piercing the corporate veil dalam hubungan dengan grup perusahaan,
antara lain :

1.

Perusahaan holding dan anak perusahaan mempunyai pengurus, komisaris, atau pegawai
yang sama.

2.

Anak perusahaan mempunyai modal yang sangat kecil.

3.

Perusahaan holding membayar gaji, upah, kerugian dan ekspenses lainnya dari anak
perusahaan.

4.

Perusahaan holding memiliki seluruh atau hampir seluruh saham anak perusahaan.

5.

perusahaan holding membiayai anak perusahaan.

6.

anak perusahaan mempunyai bisnis hanya dengan holding.

7.

anak perusahaan tidak mempunyai aset lain kecuali aset yang dialihkan dari perusahaan
holding.

8.

perusahaan holding menggunakan aset anak perusahaan seperti asetnya sendiri

9.

pihak ekskutif anak perusahaan lebih memperhatikan kepentingan perusahaan holding


daripada kepentingan anak perusahaan.

Penerapan prinsip piercing corporate veil secara khusus dilakukan terhadap organ-organ
perusahaan, yaitu pemegang saham, direksi, komisaris dalam hal :
a. Pemegang Saham
Prinsip piercing the corporate veil terhadap pemegang saham dapat dilakukan apabila terjadi
hal-hal berikut :
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.
2.

Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad
buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi

3.

Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan hukum yang dilakukan
perseroan.

4. pemegang saham yang bersangkutan secara langsung maupun tidak secara melawan hukum
menggunakan kekayaan perseroan.
Selain itu, prinsip piercing the corporate veil juga dapet diterapkan terhadap pemegang saham
dalam 5 (lima) hal tindakan dibawah ini :

1. tidak menyetor modal sehingga menyebabkan perseroan merugi.


2. campur aduk antara urusan pribadi dengan urusan perseroan. Misalnya :
a.

dana perusahaan digunakan untuk urusan pribadi.

b. aset milik perseroan diatasnamakan pribadi.


c.

pembayaran perseroan dengan cek pribadi tanpa justifikasi yang jelas.

3. Alter Ego
Keadaan dimana pihak pemegang saham terlalu dominan dalam kegiatan perusahaan
melebihi dari peran pemegang saham yang seharusnya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa perusahaan hanya berfungsi sebagai instrumen mencari untung pribadi dari pihak
pemegang sahamnya. Dalam hal ini, perseroan tersebut dikatakan sebagai alter ego dari
pemegang saham yang bersangkutan.
4. jaminan pribadi dari pemegang saham
5. permodalan yang tidak layak
hal ini terjadi misalnya, jika modal perseroan terlalu kecil sedangkan bisnis perusahaan
tersebut besar.
b. Direksi
Memang pada prinsipnya dan secara klasik, dengan diterapkannya teori Piercing The
Corporate Veil, maka pihak pemegang sahamlah yang biasanya dimintakan tanggung jawab
atas kegiatan yang dilakukan perseroan. Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian dari
penerapan teori Piercing The Corporate veil tersebut, beban tanggung jawab dipindahkan
juga dari perseroan kepada pihak lainnya selain pemegang saham, misalnya direksi atau
komisaris.
Penerapan prinsip piercing the corporate veil terhadap direksi dapat dilakukan dalam hal :
1. direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan.
2. perusahaan belum dilakukan pendaftaran dan pengumuman.

3. dokumen perhitungan tahunan tidak benar.


4. direksi bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit.
5. permodalan yang tidak layak
6. perseroan beroperasi secara tidak layak.
7. Anggota direksi tidak melaporkan kepemilikan saham oleh anggota direksi yang
bersangkutan dan/atau keluarganya dalam perseroan terbatas.
Setiap pelanggaran atau penyimpangan atas tugas dan kewajiban direksi, maka direksi harus
bertanggung jawab hingga harta pribadinya atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak
yang berkepentingan. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran dan penyimpangan tersebut
sebagai berikut :
Tidak menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.
Bentuk-bentuk pelanggaran profesional tersebut, di antaranya :
1. Baik sengaja atau tidak, melakukan pelanggaran atas tugas yang diberikan
(breach of duty);
2. Baik sengaja atau tidak, melalaikan tugas yang seharusnya dijalankan
(omission of duty);
3. Baik sengaja atau tidak, memberikan pemyataan yang salah (misstatement);
4. Baik sengaja atau tidak, memberikan pernyataan yang menyesatkan
(misleading statement);
5. Baik sengaja atau tidak, melakukan penyalahgunaan kewenangan atau
kekuasaan sebagai direksi;

6. Baik sengaja atau tidak, tidak memenuhi janji yang telah diberikan (breach of
warranty or authorithy commitment).
7. Tidak menjalankan tugasnya sebagai wakil pemegang saham dengan baik.
Kerugian perusahaan akan menjadi tangggung jawab direksi seandainya semua kesalahan
atau kelalaian tersebut bisa dibuktikan.
c.

Komisaris
Dalam beberapa hal, pemberlakuan teori Piercing The Corporate Veil juga berlaku
bagi komisaris. Dalam hal-hal tertentu pihak komisaris secara pribadi dapat dimintakan
tanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan oleh perseroan. Pemberlakuan teori piercing the
corporate veil kepada komisaris dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. jika komisaris tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan.
2. jika ada kesalaha hukum (dengan unsur kesengajaan atau kelalaian) dari pihak
komisaris.
3. jika dokumen perhitungan tahunan tidak benar.
4. jika dalam keadaan tertentu, komisaris menggantikan direksi dalam menjalankan
pekerjaan perseroan dan dia akan bertanggung jawab dalam posisinya selaku direksi.

M. Yahya Harahap[4] mendefinisikan piercing the corporate veil: hilang atau


hapus perlindungan tanggung jawab terbatas pemegang saham yang digariskan
dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT; dengan sendirinya pemegang saham ikut memikul
risiko bersama-sama dengan perseroan membayar utang perseroan dari harta
pribadi pemegang saham yang bersangkutan.

Fiduciary duty oleh Blacks Law Dictionary diartikan sebagai a duty to act with the highest degree of honesty
and loyalty toward another person and in the best interests of the other person (such as duty that one partner
owes to another).

Terkait dengan fiduciary duties dalam Perseroan Terbatas (PT), dalam buku Organ Perseroan Terbatas (hal.
39) Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia menjelaskan bahwa tugas dan tanggung jawab melakukan
pengurusan sehari-hari Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan
tersebut dalam sistem common law dikenal dengan prinsip fiduciary duties.

Tugas dan tanggung jawab Direksi sesuai Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UUPT) adalah menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan. Sedangkan, Dewan Komisaris bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan
atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha
Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi (lihat Pasal 108 ayat [1] UUPT).

Referensi mengenai fiduciary duty juga dapat ditemui dalam buku Hukum Perseroan Terbatas yang ditulis M.
Yahya Harahap (hal. 374 dan 457). Fiduciary duty ini diartikan oleh Yahya Harahap sebagai wajib
dipercaya. Menurut Yahya wajib dipercaya berarti setiap anggota Direksi maupun Dewan Komisaris
selamanya dapat dipercaya (must always bonafide) serta selamanya harus jujur (must always be honest)
dalam menjalankan tugasnya (Direksi melakukan pengurusan dan Dewan Komisaris melakukan pengawasan).

Sementara penulis lainnya, Ridwan Khairandy dalam bukunya Perseroan Terbatas (hal. 209) menulis bahwa
dalam menjalankan tugas fiduciary duties, seorang Direksi harus melakukan tugasnya sebagai berikut:
1.
2.

Dilakukan dengan iktikad baik;

Dilakukan dengan proper purposes;


3.

Dilakukan dengan kebebasan yang tidak bertanggungjawab (unfettered discretion); dan

4.

Tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of duty and interest).

Dari uraian singkat di atas kiranya dapat kita simpulkan bahwa Direksi dan Dewan Komisaris dari suatu PT
yang mengemban fiduciary duties memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
sebagaimana diatur dalam UUPT dengan sebaik-baiknya, jujur, dengan itikad baik, dan demi kepentingan PT
sesuai dengan maksud dan tujuan PT.

Perkara PS diputus
Hak tersangka dan terdakwa di dalam KUHAP diatur dalam
Pasal 50 sampai
dengan Pasal 68
. Berbagai aspek
dari
hak seorang tersangka dan
terdakwa
dilindungi oleh KUHAP, diantaranya
yaitu
:
1.
Hak untuk mendapat pemeriksaan serta pengadilan yang cepat.
Jaminan
in
i
untuk menjauhkan kemungkinan terkatung
katungnya nasib seseorang di
dalam tahanan dan tidak adanya kepastian hukum, perlakuan sewenang
wenang dan tidak wajar
dari aparat negara
.
P
engaturan ini dimaksudkan
p
u
la
agar
peradilan dilakukan dengan sederhana, c
epat dan biaya ringan
(speedy
trial)
.

P
roses pemeriksaan yang berlangsung lama.
KUHAP memberikan
kewenangan kepada pejabat terkait untuk melakukan
penangkapan dan
penahanan di setiap tingkat pemeriksaan. Selama proses
pemeriksaan tersebut,
masa tahanan seseorang dapat diperpanjang sesuai
dengan kebutuhan proses
pemeriksaan.
Namun, l
am
anya
masa penahanan dalam KUHAP menyebabkan
penyidik tidak segera melakukan
proses pemeriksaan
. Akibatnya, terjadi
p
elanggaran
dan perlakuan sewenang
wenang, seperti ketidakpastian kapan
kasus
akan
disidangkan,
penyiksaan
dan
merampas
kemerdekaan
tersangka
/terdakwa untuk hal
hal yang dapat dilakukan dengan cepat.
2.

I
ntimidasi
dan
penyiksaan untuk mendapatkan keterangan
.

Anda mungkin juga menyukai