NIM : 11000119130456
Mata Kuliah : Hukum Acara Pidana (G)
Dosen Pengampu : Sukinta, S.H., M.Hum.
PERTEMUAN 6
Penyidik mengumpulkan bukti yang mengarah kepada unsur pidana yang mana membuat
terang tindakan yang mencederai kepentingan hukum pidana yakni nyawa harta benda
kemerdekaan atau kehormatan
Norma yang abstrak yakni rumusan perbuatan dilarang atau dianggap sebagai tindak pidana
yakni kejahatan KUHP buku 2
B. Kompetensi relatif
Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili
(distributie van rechtmacht) antara pengadilan yang satu dengan yang lain dalam satu
lingkungan peradilan
-pengadilan negri
-pengadilan tinggi
-Mahkamah agung
Di lingkungan peradilan umum
Pasal 84 ayat (1)
Pengadaan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang
dilakukan dalam daerah hukumnya (form delicti commissi)
-ini adalah prinsip umum di mana tindak pidana terjadi maka pengadilan negeri tersebut lah
yang berwenang untuk mengadili, apabila peristiwa nya dikembalikan di kampus Undip maka
pengadilan negeri Semarang yang berwenang untuk mengadili kejaksaan negeri Semarang,
bisa juga di suatu wilayah misalnya di Ungaran yang berwenang pengadilan negeri Ungaran,
kompetensi/ wewenang mengadili
Sebelum penuntut umum menuntut penuntut umum haruslah mengetahui bahwa apakah
sudah benar pengadilan negeri yang bersangkutan memiliki kewenangan mengadili perkara
pidana tersebut
Masing masing pengadilan memiliki wilayah hukumnya sendiri atau Teritori, Maka hanya
berwenang memutus Menindak perkara tindak pidana yang berkaitan dengan wilayah hukum
mengadili nya
Tiga pasal yang menjadi acuan pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili yakni
pasal 84, 85 Dan 86 KUHAP
Yang akan memunculkan kewenangan mengadili karena tidak semua pengadilan berwenang
untuk mengadili suatu perkara tapi bergantung dari landasan hukumnya yang memerintahkan
dia untuk mengadili perkara apa
Pasal 85
Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu
perkara, maka atas usul ketua pengadilan Negeri atau kepala kejaksaan Negeri yang
bersangkutan, mahkamah Agung mengusulkan kepada menteri kehakiman untuk menetapkan
atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada pasal 84 untuk mengadili
perkara yang dimaksud
Pasal 86
Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum
Indonesia, maka pengadilan negeri Jakarta pusat yang berwenang mengadili nya
-misal warga negara Indonesia melakukan tindak pidana di luar negeri lalu ia kembali ke
Indonesia atau di deportasi maka yang berwenang untuk mengadili adalah pengadilan negeri
Jakarta pusat
(2) Mahkamah Agung memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa
tentang wewenang mengadili:
A. Pengadilan dari beberapa lingkungan peradilan
B. Antara dua PN dari PT berbeda
C. Antara dua PT atau lebih
MA memutus sengketa wewenang mengadili antara 2 atau lebih lingkungan peradilan yang
berbeda
Selanjutnya dalam pasal 147 KUHAP ditentukan bahwa setelah pengadilan negeri menerima
surat Pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua pengadilan negeri mempelajari apakah
perkara itu termasuk pengadilan yang dipimpin nya
Di dalam pasal 148 dinyatakan bahwa jika ketua pengadilan negeri berpendapat bahwa
perkara pidana yang diterimanya tidak termasuk wewenang dari pengadilan yang dipimpin
nya, maka ia menyerahkan surat Pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain
yang dianggap berwenang mengadili nya. Untuk itu dibuat surat penetapan yang memuat
alasannya.
Surat penetapan beserta surat Pelimpahan perkara selanjutnya diserahkan kepada penuntut
umum dan kejaksaan negeri tersebut kemudian meneruskan kepada kejaksaan negeri di
tempat pengadilan negeri yang disebut dalam surat penetapan tersebut, sedangkan turunan
surat penetapan disampaikan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya dan penyidik (pasal
148 ayat 2 dan 3 KUHAP)
Kejaksaan Negeri yang dimaksud Pelimpahan perkara tersebut dari kejaksaan Negeri semula,
lantas membuat surat Pelimpahan perkara baru untuk disampaikan kepada pengadilan negeri
yang tercantum dalam surat penetapan.
Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan tersebut, maka ia dapat
mengajukan perlawanan ke pengadilan tinggi yang bersangkutan, dalam waktu tujuh hari
setelah diterimanya penetapan tersebut (Pasal 149)
Namun, sebaliknya apabila pengadilan tinggi menolak perlawanan tersebut, yang berarti
menguatkan pendapat pengadilan negeri, maka pengadilan tinggi mengirimkan berkas
perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang dianggap berwenang mengadili yang dimuat
dalam surat penetapan nya dan Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi tersebut
disampaikan kepada penuntut umum (pasal 149 ayat 4 dan 5)
Pasal 109 di mana penyidik apabila ingin melakukan penyidikan maka harus memberitahu
kepada penuntut umum
Pasal 77 KUHAP
A. Sah atau tidak nya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
tuntutan
B. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang perkara pidana nya dihentikan pada saat penyidikan
atau penuntutan
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal itu ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan
dibantu oleh seorang Panitera
Saat pra peradilan yang mengadili hanya akan tunggal dan tidak ada penuntut umum serta
penasehat hukum
Praperadilan bukanlah merupakan badan tersendiri, tetapi hanya merupakan wewenang saja
dari pengadilan negeri. Wewenang tersebut jika dihubungkan dengan pasal lainnya dapat
diperinci sebagai wewenang dari pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
mengenai:
A. Sah atau tidak nya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
tuntutan (pasal 77 KUHAP)
B. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang perkara pidana nya dihentikan pada saat penyidikan
atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP)
Adapun yang dimaksud dengan tindakan tindakan lain sebagaimana diatur dalam pasal 95
ayat (2) KUHAP ada tindakan tindakan upaya paksa lainnya seperti: pemasukan rumah,
penggeledahan, penyitaan barang, surat surat yang dilakukan secara melawan hukum yang
menimbulkan kerugian materil
Hal hal tersebut dimasukkan dalam pasal sembilan Polima karena dipandang perlu bahwa hak
hak terhadap harta benda dan hak hak atas privasi tersebut perlu dilindungi terhadap tindakan
tindakan yang melawan hukum
Pasal 79, pasal 80, pasal 81 mengandung pernyataan bahwa siapa yang berhak mengajukan
peradilan
1. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidak nya suatu penangkapan atau penahanan
diajukan oleh tersangka, keluarga atau Kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya
2. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidak nya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
3. Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya
A. tersangka
B. penyidik
C. PU
D. pihak ketiga yang berkepentingan (misalnya: korban)
Untuk memeriksa penangkapan maka tersangka atau keluarga tersangka atau kuasa
hukumnya dapat melakukan gugatan praperadilan
Pasal 20 KUHAP
Hakim upaya paksa nya hanya penahanan
Hakim tidak dapat di gugat praperadilan sesuai dengan SEMA/ 14 tahun 1983
Karena tanggung jawab yuridis atas perhatian itu tetap ada pada masing masing Instansi nya
penyidikan
Jadi kalo hakim digugat praperadilan maka gugatan praperadilan tersebut gugur
Meskipun menurut pasal 20 Tuhan yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan umum untuk kepentingan penuntutan dan hakim
untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, tetapi Hakim tidak dapat
Dipraperadilankan. Mahkamah Agung republik Indonesia mengeluarkan surat Edaran
mahkamah Agung sema 14 tahun 1983, yang menyatakan bahwa hakim tidak dapat diajukan
ke sidang praperadilan dengan alasan:
1. karena tanggung jawab yuridis atas penahanan itu tetap ada pada masing masing Instansi
yang melakukan penahanan pertama itu
2. dan apabila yang melakukan penahanan pertama itu hakim sendiri, maka penahanan itu
adalah dalam rangka pemeriksaan oleh pengadilan negeri di mana pasal 82 ayat satu huruf D
berlaku terhadapnya
Misalnya orang sipil ditangkap oleh Koramil, penangkapan itu tidak sah karena di peradilan
militer tersangkanya harus militer juga