Anda di halaman 1dari 5

Materi Ringkas Presentasi Kelompok 4

“ WEWENANG MENGADILI PERKARA”

Penjelasan 1

Kewenangan mengadili dalam perkara.

Berbicara mengenai kekuasaan mengadili, maka hal ini berkaitan dengan kompetensi dari badan
pengadilan. Suatu gugatan harus diajukan kepada badan peradilan yang benarbenar berwenang untuk
mengadili persoalan ini. Berdasarkan Pasal 24 UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada di bawahnya dan sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan mengadili (kompetensi mengadili) dalam ilmu pengetahunan dikenal 2 kekuasaan yaitu :

1.Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pemberian kekuasaan mengadili (attributie van
rechtsmacht / kompetensi absolut)kepada suatu peradilan yang menangani perkara tersebut,

2.Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (distributie van
rechtsmacht / kompetensi relatif)diantaranya masing masing pengadilan dalam lingkungan peradilan.
mengadili diatur dalam Pasal 84, 85, dan 86 KUHAP.

pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara sesuai dengan jenis dan tingkatan
pengadilan berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Landasan menentukan
kewenangan mengadili setiap Pengadilan Negeri ditinjau dari segi kompetensi relatif, diatur di dalam
bagian Kedua Bab X yang terdiri dari Pasal 84, 85 dan Pasal 86 KUHAP.

Berdasarkan ketentuanketentuan UUD 1945, badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung
meliputi badan peradilan dalam lingkungan:1. Peradilan Umum;

2. Peradilan Agama;

3. Peradilan Tata Usaha Negara dan

4. Peradilan Militer.

Pemeriksaan perkara di semua badan peradilan berlangsung dalam dua tingkat, yaitu tingkat pertama
dan tingkat banding. Pengadilan-pengadilan ini berwenang untuk memeriksa fakta (judex facti). Adapun
Mahkamah Agung bukanlah pengadilan tingkat ketiga, karena ia tidak lagi memeriksa fakta melainkan
memeriksa penerapan hukum yang dilakukan oleh judex facti sebagai pengadilan yang ada di bawahnya,
untuk itu Mahkamah Agung disebut juga sebagai judex juris. Setiap lingkungan peradilan memiliki
kompetensi absolut masing-masing. Kompetensi absolut ini menentukan yurisdiksi perkara yang dapat
diadili oleh masing-masing lingkungan pengadilan. Lingkungan Peradilan umum (yang dilaksanakan oleh
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi), memiliki kompetensi atau kewenangan untuk memeriksa dan
mengadili perkara-perkara pidana dan perdata umum. Di samping itu dalam lingkungan Peradilan
Umum terdapat pula pengadilan yang memiliki kompetensi khusus, yaitu:

a. Pengadilan Niaga dengan komptensi memeriksa dan mengadili perkara-perkara kepailitan, penundaan
kewajiban pembayaran utang dan sengketa Hak Kekayaan Intelektual;b. Pengadilan Hubungan Industrial
dengan kompetensi memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial (sengketa perburuhan);

c. Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan kompetensi memeriksa dan mengadili perkara
pelanggaran HAM berat;

d. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan kompetensi memeriksa dan mengadili perkara-perkara
tindak pidana korupsi yang disidik dan dituntut oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal24 ayat (1) menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.Pasal 24 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 menentukan
bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
dibawahnya dalam lingkunganperadilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer,lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Penjelasan 2

Jenis-jenis Kewenangan

Kewenangan dapat dibedakan menurut sumbernya yang dibedakan menjadi 2macam

1. Wewenang Personal, yaitu wewenang yag bersumber pada inteligensi, pengalaman, nilai
atau norma, dan kesanggupa untuk memimpin.
2. Wewenang Ofisial, merupakan wewenang resmi yang diterima dari wewenang yang
berada di atasnya.
Max Weber membagi kewenangan menjadi 4 macam, yang meliputi :
1. Wewenang Kharismatik, trasional dan Nasional (Legal), Yang dimana wewenang
kharismatik merupakan suatu kemampuan khusus yang melekat pada diri seseorang.
Wewenang Tradisional merupakan wewenang yang dapat dipunyai oleh orang-orang atau
kelompok. Wewenang Nasional atau legal yaitu wewenang yang disandarkan pada sistem
hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah
diakui oleh Masyarakat serta ditaati oleh Masyarakat.
2. Wewenang resmi dan tidak resmi, wewenang resmi bersifat sisitematis, dapat
diperhitungkan dan rasional. Wewenang tidak resmi merupakan hubungan yang timbul
antar pribadi yang bersifat situsional.
3. Wewenang pribadi dan teritorial, wewenang pribadi lebih di dasar pada tradisi atau
kharisma. Sedangkan wewenag teritorial merupakan wewenang yang di lihat dari wilayah
juga tempat tinggal.
4. Wewenang terbatas dan menyeluruh, wewenang terbatas adalah wewenang yang sifat
terbatas yang berlaku hanya pada satu sektor atau satu bidang saja. Misalnya, seorang
jaksa di Indonesia mempunyai wewenang atas nama negara menuntut seorang warga
yang melakukan tindak Pidana akan tetapi jaksa tersebut tidak mempunyai wewenang
untuk mengadilinya. Sedangkan wewenang menyeluruh merupakan wewenang yang
tidak dibatasi oleh satu bidang saja dengan arti mempunyai wewenang yang menyeluruh.

Penjelasan 3

Kriteria dalam Mengadili suatu Perkara

M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul pembahasan permasalahan dan penerapan
KUHAP. Menjelaskan bahwa masalah kewenangan megadili perkara yang diatur pada bagian
kedua, Bab XVI adalah kewenangan mengadili secara relatif, Landasan pedoman menentukan
kewenangan mengadili bagi setiap pengadilan Negeri di tinjau dari segi kompetensi relatif yang
diatur dalam bagian kedua Bab X, Pasal 84, Pasal 85, Dan Pasal 86 UU no. 8 Tahun 1981.
Kriteria yang dimaksudkan tersebut antara lain adalah :

 Tindak Pidana dikakukan (Locus Delik)


Yang dimana menurut M. Yahya Harahap inilah asas atau kriteria yang pertama dan
utama. Pegadilan Negeri berwenang mengadili setiap perkara pidana yang dilakukan
dalam daerah Hukumnya yang jelaa di tegaskan dalam Pasal 84 KUHAP ayat (1). Yang
dimana dimaksudkan bahwa Prinsip itu didasarkan atas asas tempat terjadinya Tindak
Pidana, di tempat dimana tindak pidana atau daerah Hukum Pengadilan Negeri mana
dilakukan tindak pidana atai di daerah hukum pengadilan Negeri mana silakukan tindak
pidana, Pengadilan Negeri tersebut yang berhak mengadili. Yang merupakan ketentuan
umum dalam kenentukan kewenangan relatif.

 Tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil
Pada asas ini M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa asas ini menentukan kewenangan
relatif berdasarkan tempat tinggal sebagian besar saksi. Asas ini yang diatur dalam Pasal
84 ayat (2) KUHAP.

Bahwa penerapan asas di tempat kejadian dalam hal-hal berikut :


1. Apabila terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan negeri.
2. Tempat kediaman terakhir terdakwa yang berkediaman di daerah Hukum.
3. Di tempat terdakwa ditemukan.
4. Di tempat terdakwa ditahan.

Penjelasan 4

Hubungan antara TKP (tempat kejadian perkara dengan Wewenang mengadili Perkara)

Sesuai dengan Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “ Pengadilan Negeri berwenang
mengadili setiap perkara pidana yang dilakukan dalam daerah Hukmnya”

Sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal tersebut tentang kewenangan mengadili Perkara,
Hubungan TKP atau tempat kejadian Perkara dengan wewenang mengadili sebua perkara
merupakan hal yang sangat penting. Tempat kejadian Perkara (Locus Delicti) sangat penting
artinya dalam sistem peradilan pidana, Karena itu dapat menjadi mata rantai bergeraknya proses
penegakan hukum yang dapat melibatkan semua jajaran penegak Hukum. Dan tidak jarang pula
tempat kejadian perkara menimbulkan kesalah pahaman dalam kompetensi pengadilan dalam
mengadili sebuah perkara.

Yang dimana dapat dipahami bahwa Hubungan antara TKP dengan wewenang mengadili
perkara adalah:
1. Dengan diketahuinya tempat kejadian Perkara (TKP) maka dapat menentukan
kompetensi untuk mengadili sebuah perkara.
2. Dan juga penuntut umum dapat menuntut perkara dan tindak pidana yang terjadi dalam
daerah hukumnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.

Juga manfaat bagi penyidik dalam menyelidiki perkara pidana dalam kedua Hubungan antara
lain:

1. Sebagai salah satu sumber keterangan penting bagi penyidik untuk mendapatkan bukti-
bukti dalam proses pengungkapan tindak Pidana.
2. Juga merupakan kunci pemecah dalam proses pengungkapan tindak pidana oleh
penyidik.
3. Dimana bagi penyidik TKP dapat menyajikan bukti-bukti objekti dan juga bukti-bukti
subjektif yang berupa keterangan saksi maupun informasi-informasi yang ada untuk
mengadili perkara.
4. Dan dapat menentukan wilayah atau daerah hukum kewenangan melakukan tugas sebagai
penyidik, yang menyangkut pula pada kompetensi relative kejaksaan Negeri dan juga
Pengadilan Negeri yang memeriksa juga Mengadili Perkara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai