Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KEKUASAAN BADAN PERADILAN UMUM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Peradilan di Indonesia

Dosen Pengampu : Dr. Yasin, M.Si

Disusun Oleh :

Nadiah Azzahra Bachdlar

NIM. 20211020

AS5B

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MANADO

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................1

B. Rumusan Masalah .................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Kekuasaan Mutlak/Absolut Badan Peradilan Umum ............................. 2

B. Kekuasaan Relatif Badan Peradilan Umum ............................................6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................. 8

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................9

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan umum merupakan salah satu lingkungan peradilan, di luar


peradilan agama, tata usaha negara dan peradilan militer. Peradilan Umum berdiri
berdasarkan UU Peradilan Umum dan telah diubah dengan UU Peradilan Umum
Perubahan Kesatu serta Kedua. Peradilan umum adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Dalam Pasal
25 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, peradilan umum berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan peradilan
umum berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.1

Kata “kekuasaan” sering disebut juga dengan ‘kompetensi”. Kompetensi


berasal dari bahasa Belanda “competentie”, kadang-kadang juga diterjemahkan
dengan kewenangan. Dengan demikian ketiga kata tersebut dianggap sinonim.
Berbicara tentang kompetensi Peradilan dalam kaitannya dengan perkara yang
diperiksa di pengadilan, maka biasanya menyangkut dua hal yaitu tentang
“kekuasaan relatif” dan “kekuasaan absolut”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kekuasaan mutlak/absolut dari badan peradilan umum?

2. Bagaimana kekuasaan relatif dari badan peradilan umum?

1
Rohman Hakim, “Diskrepansi Asas Peradilan Dilakukan Dengan Sederhana di Pengadilan Umum”,
Jurnal Evidence of Law, Vol. 1 (2023), h. 3.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kekuasaan Mutlak/Absolut Badan Peradilan Umum

Kekuasaan absolut (absolute competentie) atau kewenangan mutlak adalah


kewenangan suatu badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang
secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan Pengadilan lain. Peradilan umum
berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara pidana
yang dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali suatu
peraturan perundang-undangan menentukan lain (Pasal 50 UU 2/1999).

Kekuasaan mutlak/absolut menurut Muhammad (2000:27), adalah


kewenangan untuk mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasarkan
pembagian wewenang atau pembebanan tugas (attribution of authority) untuk
Pengadilan Negeri wewenangnya adalah mengadili perkara perdata dan pidana
pada tingkat pertama. Menurut Sutantio dan Oeripkartawinata (1989:8),
kekuasaan absolut merupakan wewenang mutlak menyangkut pembagian
kekuasaan antar badan-badan peradilan dilihat dari macamnya pengadilan,
menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechmact)".2

Ditinjau dari segi kekuasaan absolut atau yurisdiksi absolut mengadili


kedudukan PN dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Berdasarkan sistem Pembagian Lingkungan Peradilan, PN Berhadapan


dengan Kewenangan Absolut Lingkungan Peradilan Lain

Menurut amandemen Pasal 24 ayat (2) UUD 1995 dan Pasal 10 ayat
(1) UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU No. 35 tahun
1999 dan sekarang diganti dengan Pasal 2 jo Pasal 10 ayat (2) UU No. 4
Tahun 2004. Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power) yang berada dibawah
Mahkamah Agama (MA) dilakukan dan dilaksanakan oleh beberapa

2
Purba Widhianto, Kewenangan Relatif Dalam Mengadili Perkara Perdata Pada Peradilan Umum,
(Jember : Fakultas Hukum Universitas Jember), 2005, h. 14.

2
lingkungan peradilan yang terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Sepintas lalu, kewenangan masing-masing lingkungan adalah sebagai


berikut :

a. Peradilan Umum sebagaimana yang digariskan Pasal 50 dan Pasal 51


UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, hanya berwenang
mengadili perkara :

1) Pidana (pidana umum dan khusus) dan

2) Perdata (perdata umum dan khusus).

b. Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 huruf I 3 Tahun 2006


(tentang Peradilan Agama), hanya berwenang mengadili perkara bagi
rakyat yang beragama Islam mengenai:

1) Perkawinan

2) Kewarisan (meliputi wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan


hukum Islam)

3) Wakaf dan sodaqoh.

c. Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Pasal 47 UU No. 5 Tahun


1985 (Tentang PTUN), kewenangannya terbatas dan tertentu untuk
mengadili sengketa Tata Usaha Negara.

d. Peradilan Militer, sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU No. 31


Tahun 1997, hanya berwenang mengadili perkara pidana yang
terdakwanya terdiri dari Prajurit TNI berdasarkan pangkat tertentu.3

Memerhatikan uraian diatas, ditinjau dari segi pembagian lingkungan


kekuasaan kehakiman, undang-undang telah menentukan batas yurisdiksi
masing-masing. Sengketa atau perkara yang dapat diajukan kepada PN sesuai

3
Algra, Realitas Hukum Perdata, (Jakarta: Binacipta), h. 45.

3
keberadaan dan kedudukannya sebagai Lingkungan Peradilan Umum, hanya
terbatas pada perkara pidana dan perdata. Dalam bidang perdata, terbatas
perdata umum dan niaga, sedang perkara perdata lain mengenai perkawinan
dan warisan bagi yang beragama Islam, jatuh menjadi yurisdiksi absolut
lingkungan Peradilan Agama. Begitu juga perkara perdata PTUN, tidak
termasuk kewenangannya, tetapi yurisdiksi absolut lingkungan PTUN.

2. Kewenangan Absolut berdasar Faktor Instansional

Faktor lain yang menjadi dasar terbentuk kewenangan absolut


mengadili, adalah faktor instansional Pasal 10 ayat (3), Pasal 19 dan Pasal 20
UU No. 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun
1999) dan sekarang berdasar Pasal 21 dan Pasal 22 UU No. 4 tahun 2004
memperkenalkan sistem instansional penyelesaian perkara :

a. Pengadilan Tingkat Pertama

Menurut Pasal 3 UU No. 2 Tahun 1986, kekuasaan kehakiman di


lingkungan Peradilan Umum, terdiri dari Pengadilan Negeri (PN) dan
Pengadilan Tinggi (PT).

Selanjutnya Pasal 50 mengatakan :

1) PN merupakan pengadilan tingkat pertama

2) PN sebagai pengadilan tingkat pertama bertugas dan berwenang


memeriksa memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan
perdata ditingkat pertama

3) PN berkedudukan di Kotamadya atau ibukota Kabupaten.

Dengan demikian secara instansional, PN sebagai pengadilan


tingkat pertama secara absolut hanya berwenang memeriksa dan
menyelesaikan perkara perdata pada tingkat pertama. Dalam kedudukan

4
itu, semua penyelesaian perkara, berawal dari PN sebagai pengadilan
tingkat pertama.4

b. Pengadilan Tingkat Banding

Kekuasaan PT sebagai pengadilan tingkat banding menurut Pasal


15 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1986, bertugas dan berwenang mengadili
perkara pidana dan perdata ditingkat banding atas segala putusan yang
dijatuhkan PN dalam tingkat pertama. Fungsi dan kewenangan mengadili
perkara atas putusan Pengadilan Negeri pada tingkat pertama oleh
Pengadilan Tinggi pada tingkat banding, secara instansional merupakan
kewenangan absolut Pengadilan Tinggi.5

c. Pengadilan Kasasi

Pengadilan kasasi atau tingkat kasasi menurut Pasal 22 UU No. 4


Tahun 2004, dilakukan oleh MA. Apa yang diatur dalam UU itu,
dipertegas lagi dalam UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah
dengan UU No. 5 Tahun 2004. Pada pasal 28 ayat (1) huruf a
mangatakan, salah satu kekuasaan MA, bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutuskan permohonan kasasi. Selanjutnya Pasal 29
mengatakan, MA memutuskan permohonan kasasi terhadap putusan
pengadilan tingkat banding atau tingkat dari semua lingkungan peradilan.

Dari uraian diatas, UU sendiri telah menentukan batas kewenangan


absolut masing-masing pengadilan secara instisional. PN sebagai pengadilan
instansi pertama, hanya berwenang mengadili perkara pada pengadilan
tingkat pertama, dan PT terbatas mengadili pada tingkat banding, sedangkan
MA hanya berwenang mengadili pada tingkat kasasi.

4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty), h. 57.

5
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), h. 241.

5
B. Kekuasaan Relatif Badan Peradilan Umum

Menurut Muhammad (2000:27), kompetensi relatif yaitu "kewenangan


mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasarkan pembagian daerah hukum
(distribution of authority)". Untuk Pengadilan Negeri daerah hukumnya meliputi
kabupaten/kotamadya dimana Pengadilan Negeri tersebut berada. Menurut
Syahrani (2000:39) “daerah hukum tiap-tiap Pengadilan Negeri inilah yang
menentukan wewenang nisbi dari suatu Pengadilan Negeri untuk menerima,
memeriksa, dan mengadili serta meneyelesaikan perkara perdata”. Menurut
Sutantio dan Oeripkartawinata (1989:8) “wewenang relatif adalah lawan dari
wewenang mutlak”.6

Relative Competensi (kekuasaan relatif), yaitu kekuasaan mengadili suatu


perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan
dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara. Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142
ayat (1) RBg. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang mewilayahi tempat
tinggal tergugat Dalam Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73
ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989). Dalam istilah lain kewenangan
relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”. 7

Adapun cara menentukan kewenangan relafif Pengadilan Negeri


berdasarkan asas-asas yang ditentukan pasal 118 HIR jo 142 Rbg Jo 99 Rv,
sebagai berikut :

1. Actor sequitur forum rei (forum domicile) : yang berwenang mengadili


sengketa adalah Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tergugat
bertempat tinggal.

6
Purba Widhianto, “Kewenangan Relatif Dalam Mengadili Perkara Perdata Pada Peradilan Umum.” h.
15.

7
Barzah Latupono, Buku Ajar Hukum Islam. (Sleman: Deepublish), h. 106.

6
2. Actor sequitur forum rei dengan hak opsi : digunakan apabila Tergugat
terdiri dari beberapa orang, dan masing-masing bertempat tinggal di
wilayah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, undang-undang
memberikan hak opsi kepada Penggugat untuk memilih Pengadilan
Negeri mana yang dianggapnya paling menguntungkan.

3. Actor sequitur forum rei tanpa hak opsi : Apabila tergugat terdiri dari
debitur (principal) dan penjamin, kompetensi relatif mutlak berpatokan
pada tempat tinggal debitur, tidak dibenarkan diajukan kepada
Pengadilan Negeri tempat tinggal penjamin.

4. Tempat tinggal penggugat : Apabila tempat tinggal tergugat tidak


diketahui yang berwenang mengadili secara relatif adalah Pengadilan
Negeri di daerah hukum tempat tinggal penggugat.

5. Forum rei sitae : Jika objek sengketa terdiri dari benda tidak bergerak,
sengketa jatuh menjadi kewenangan relatif Pengadilan Negeri di tempat
barang itu terletak.

6. Forum rei sitae dengan hak opsi : Jika objek sengketa benda tidak
bergerak terdiri dari beberapa buah, dan masing-masing terletak di daerah
hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, penggugat dibenarkan
mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan Negeri tersebut.

7. Domisili pilihan : Para pihak boleh menyepakati salah satu Pengadilan


Negeri yang diberi wewenang secara relatif untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul diantara mereka. Dalam hal demikian, terdapat dua
kompetensi relatif yang dapat dimanfaatkan, yaitu: Dapat berdasarkan
patokan actor sequitur forum rei, atau dapat diajukan ke Pengadilan
Negeri yang dipilih berdasarkan kesepakatan domisili pilihan.8

8
Rasyid and Herinawati, Hukum Acara Perdata, (Lhokseumawe: Unimal Press), h. 26.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kekuasaan absolut (absolute competentie) atau kewenangan mutlak adalah


kewenangan suatu badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang
secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan Pengadilan lain. Peradilan umum
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana yang dilakukan
oleh orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali suatu peraturan perundang-
undangan menentukan lain (Pasal 50 UU 2/1999). Peradilan Umum sebagaimana
yang digariskan Pasal 50 dan Pasal 51 UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Umum, hanya berwenang mengadili perkara pidana (pidana umum dan khusus)
dan perdata (perdata umum dan khusus).

Kekuasaan relatif (relative competensi), yaitu kekuasaan mengadili suatu


perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan
dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara. Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142
ayat (1) RBg. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang mewilayahi tempat
tinggal tergugat Dalam Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73
ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989). Dalam istilah lain kewenangan
relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”.

8
DAFTAR PUSTAKA

Algra. Realitas Hukum Perdata. Jakarta: Binacipta, 1983.

Barzah Latupono, Dkk. Buku Ajar Hukum Islam. Sleman: Deepublish, 2020.

Hakim, Rohman. Diskrepansi Asas Peradilan Dilakukan Dengan Sederhana di


Pengadilan Umum. Jurnal Evidence of Law, Vol. 1. 2023.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2017.

Rasyid, Laila M., and Herinawati. Hukum Acara Perdata. Lhokseumawe: Unimal
Press, 2015.

Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty,


1988.

Widhianto, Purba. Kewenangan Relatif Dalam Mengadili Perkara Perdata Pada


Peradilan Umum. Jember : Fakultas Hukum Universitas Jember, 2005.

Anda mungkin juga menyukai