Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan
gagal ginjal akut (GGA, acute renal failure [ARF]) merupakan salah satu
sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir
menunjukkan

peningkatan

menunjukkan

insidens

insidens.

yang

Beberapa

bervariasi

laporan

antara

di

dunia

0,5-0,9%

pada

komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga


20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan
angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25%
hingga 80%. Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas,
sulit didapatkan karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit.
Diperkirakan bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi
angka yang tercatat. Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan
dengan peningkatan sensitivitas kriteria diagnosis yang menyebabkan
kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis. Selain itu, juga disebabkan
oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat meningkatnya populasi usia
lanjut dengan penyakit komorbid yang beragam, meningkatnya jumlah
prosedur transplantasi organ selain ginjal, intervensi diagnostik dan
terapeutik yang lebih agresif.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Ginjal
Ginjal adalah organ ekskresi yang berperan penting dalam mempertahankan
keseimbangan internal dengan jalan menjaga komposisi cairan tubuh/ekstraselular. Ginjal
merupakan dua buah organ berbentuk seperti kacang polong, berwarna merah kebiruan. 2
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal disebelah
kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus oleh lapisan lemak yang tebal di belakang
peritoneum atau di luar rongga peritoneum. Ketinggian ginjal dapat diperkirakan dari
belakang dimulai dari ketinggian vertebra torakalis sampai vertebra lumbalis ketiga.
Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena letak hati yang
menduduki ruang lebih banyak di sebelah kanan.2 Masing-masing ginjal memiliki
panjang 11,25 cm, lebar 5-7 cm dan tebal 2,5 cm. Berat ginjal pada pria dewasa 150-170
gram dan wanita dewasa 115-155 gram. Ginjal ditutupi oleh kapsul tunika fibrosa yang
kuat, apabila kapsul di buka terlihat permukaan ginjal yang licin dengan warna merah
tua.2
Pada bagian medulla, substansia medularis terdiri dari piramid renalis yang
jumlahnya antara 8-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan
apeksnya menghadap ke sinus renalis.2 Terdiri dari bagian tubulus proksimal, ansa henle,
vasa rekta dan duktus kolektivus. Di bagian korteks, subtansia kortekalis berwarna coklat
merah, konsistensi lunak dan bergranula. Substansia ini tepat dibawah tunika fibrosa,
melengkung sepanjang basis piramid yang berdekatan dengan sinus renalis, dan bagian
dalam di antara piramid dinamakan kolumna renalis. Mengandung glomerulus, tubulus
proksimal dan distal yang berkelok-kelok dan duktus koligens. Struktur halus ginjal
terdiri atas banyak nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal. Kedua ginjal
bersama-sama mengandung kira-kira 2.400.000 nefron. Setiap nefron bisa membentuk
urin sendiri. Karena itu fungsi dari satu nefron dapat menerangkan fungsi dari ginjal.2
Nefron terdiri dari bagian-bagian seperti glomerulus yang merupakan gulungan
atau anyaman kapiler yang terletak di dalam kapsul Bowman dan menerima darah arteriol
aferen dan meneruskan darah ke sistem vena melalui arteriol eferen. Glomerulus
berdiameter 200 m, mempunyai dua lapisan Bowman dan mempunyai dua lapisan

selular yang memisahkan darah dari dalam kapiler glomerulus dan filtrat dalam kapsula
Bowman. Berikutnya terdapat tubulus proksimal yaitu tubulus ginjal yang langsung
berhubungan dengan kapsula Bowman dengan panjang 15 mm dan diameter 55 m. Ansa
henle adalah lengkung tebal yang kemudian diteruskan ke segmen tipis dan selanjutnya
ke segmen tebal panjangnya 12 mm, total panjang ansa henle 2-14 mm. Tubulus distal
adalah bagian tubulus ginjal yang berkelok-kelok dan letaknya jauh dari kapsula
Bowman, panjangnya 5 mm. Tubulus distal dari masing-masing nefron bermuara ke
duktus kolektivus yang panjangnya 20 mm. Duktus kolektivus medulla, merupakan
saluran yang secara metabolik tidak aktif. Pengaturan secara halus dari ekskresi natrium
urine terjadi di sini. Duktus ini memiliki kemampuan mereabsorbsi dan mensekresi
kalsium.
2.2. Fungsi Ginjal
Fungsi ginjal secara keseluruhan di bagi dalam dua golongan yaitu:2
a. Fungsi ekskresi.
- Mengekskresi sisa metabolisme protein, yaitu ureum, kalium, fosfat, sulfat
anorganik, dan asam urat
- Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
- Menjaga keseimbangan asam dan basa.
b. Fungsi Endokrin
- Peranan dalam eritropoesis. Menghasilkan eritropoetin yang berperan dalam
-

pembentukan sel darah merah


Menghasilan renin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan darah.
Merubah vitamin D menjadi metabolit yang aktif yang membantu penyerapan

kalsium
Memproduksi hormon prostaglandin, yang mempengaruhi pengaturan garam
dan air serta mempengaruhi tekanan vaskuler

2.3. Definisi
Cedera ginjal akut (Acute kidney injury [AKI]), yang sebelumnya dikenal dengan
gagal ginjal akut (GGA, acute renal failure [ARF]) secara konseptual adalah penurunan
cepat (dalam waktu jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya
berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme
nitrogen, dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.3

Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI
klasik) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut
sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga
parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada
berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan
membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas
kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap
penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien.4,5
Atas dasar tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) di Amerika pada
tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal
menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan
penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi
gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara
lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja
perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3)
kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan
urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4) penetapan
gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya
penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan
di mana saja.
2.4. Klasifikasi
ADQI mengeluarkan klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3
kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO)
yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang
menggambarkan

prognosis

gangguan

ginjal,

seperti

yang

terlihat

pada

tabel 1.4,6
Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE
Kategori
Peningkatan kadar Cr Penurunan LFG
Risk

serum
1,5 kali nilai dasar

>25% nilai dasar

Kriteria UO
<0,5 mL/kg/jam, 6
jam

Injury

2,0 kali nilai dasar

>50% nilai dasar

<0,5 mL/kg/jam, 12

Failure

3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar

jam
<0,3 mL/kg/jam, 24

atau

jam atau anuria 12

mg/dL

dengan kenaikan akut

jam

0,5 mg/dL
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

Loss
End stage

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi
nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE. AKIN
mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan beberapa
perubahan kriteria menjadi:
Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN
Tahap
Peningkatan kadar Cr Serum
1
1,5 kali nilai dasar atau peningkatan 0,3 mg/dL
2
2,0 kali nilai dasar
3
3,0 kali nilai dasar atau 4 mg/dL atau inisiasi
terapi pengganti ginjal

Kriteria UO
<0,5 mL/kg/jam, 6 jam
<0,5 mL/kg/jam, 12 jam
<0,3 mL/kg/jam, 24 jam atau
anuria 12 jam

Klasifikasi AKI berdasarkan etiologi dibagi menjadi 3 kelompok utama


berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal
tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit
yang

secara

langsung

menyebabkan

gangguan

pada

parenkim

ginjal

(AKI

renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI
pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya
AKI.
Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI
AKI Prerenal
I
Hipovolemia
-

Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular, kerusakan jaringan

(pancreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus


Kehilangan darah
Kehilangan cairan ke luar tubuh melalui

saluran

cerna

(muntah,diare,drainase), melalui saluran kemih (diuretic, hipoadrenal,


II

dieresis osmotik), melalui kulit (luka bakar)


Penurunan curah jantung
- Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh : barbiturate),

vasodilator (nitrat, antihypertensive)


- Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal lokal
Stenosis renalis, hipertensi maligna
III Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol eferen
Perubahan structural (usia, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK (penyakit
ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan prostaglandin (penggunaan
OAINS, COX-2 inhibitor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia,

sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)


- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB
- Stenosis a. Renalis
Sindrom hiperviskositas

V
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal
I
Obstruksi renovaskular
-

Obstruksi
diseksi

II

a.renalis
aneurisma,

(plak

aterosklerosis,

vaskulitis),

obstruksi

trombosis,
v.renalis

emboli,

(trombosis,

kompresi)
Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal

- Glomerulonefritis, vaskulitis
III Nekrosis tubular akut (acute tubular necrosis, ATN)
-

Iskemia (serupa AKI prarenal)


Toksin
Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut
organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, asam urat,
oksalat, mieloma)

I
V
V

Nefritis interstitial
-

Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, viral,

jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), idiopatik


Obstruksi dan deposisi intratubular

Protein

mieloma,

asam

urat,

oksalat,

asiklovir,

metotreksat,

sulphonamide
Rejeksi alograf ginjal

I
AKI Pascarenal
I
Obstruksi ureter
II

Batu,

gumpalan

darah,

papila

ginjal,

keganasan,

kompresi

eksternal
Obstruksi leher kandung kemih
-

Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah

III Obstruksi uretra


-

Striktur, katup kongenital, fimosis

2.5. Diagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah
dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang
merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK.
Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain
riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia,
neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal.
Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran
kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada
neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik.3,8 Upaya pendekatan diagnosis harus
pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi.
2.5.1. Pemeriksaan Fisik
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan
berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan NSAID,
ACE inhibitor dan ARB. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda hipotensi
ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor
kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal
jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan

status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan
dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya
mioglobin, hemoglobin, asam urat).
Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang
menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. AKI
pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik akibat
distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik
yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait
prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan
colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih
neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf
otonom.
2.5.2. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi
glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal,
sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI
pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria
dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan
menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain
pigmentedmuddy brown granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang
dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis
tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented muddy brown granular cast pada nefritis
interstitial.3,12
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada
penentuan tipe AKI.
Tabel 4. Kelainan Analisis Urin
Indeks diagnosis
Urinalisis
Gravitasi
Osmolalitas Urin

AKI Prerenal
Silinder hialin
>1,020
>500

AKI postrenal
Abnormal
~1,010
~300

(mmol/kgH2O)
Kadar natrium (mmol/L)
Fraksi eksresi natrium (%)
Fraksi eksresi urea (%)
Rasio Cr urin/ Cr plasma
Rasio ureum urin/ Ureum

<10 (<20)
<1
<35
>40
>8

>20 (>40)
>1
>35
<20
<3

plasma
Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah
ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga mencapai
99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin) terakumulasi di dalam
darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dengan fungsi tubulus yang masih
terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin x Cr plasma)/(Na plasma x Cr
urin)] mencapai kurang dari 1%, FE Urea kurang dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah
jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang menggunakan diuretik, manitol, atau
glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan
FENa.
Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah
mengalami adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada
beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria,
terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus
ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1%.12
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah
pemeriksaan urin residu pasca berkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc,
didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi
pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan
pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat
dilakukan sesuai indikasi.3,12 Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan
penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil
disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non ATN
yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain.
Penelitian mengenai penanda biologis sedang dikembangkan untuk menjadi
pemeriksaan ideal yang mudah diperiksa, dapat mendeteksi AKI secara dini sebelum

terjadi peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan penyebab AKI, menentukan


derajat keparahan AKI, dan menentukan prognosis AKI. Penanda biologis dari spesimen
urin yang saat ini dikembangkan pada umumnya terdiri dari 3 kelompok yakni penanda
inflamasi (NGAL, IL-18), protein tubulus (kidney injury molecule [KIM]-1, Na+/H+
exchanger isoform 3), penanda kerusakan tubulus (cystatin C, -1 mikroglobulin,
retinol-binding protein, NAG).13,15
Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan bahwa
IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan penyebab AKI;
NGAL, IL-18, GST-dan -GST merupakan penanda potensial diagnosis dini AKI; NAG,
KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial prediksi kematian setelah AKI.
Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis yang ideal, dibutuhkan panel
pemeriksaan beberapa penanda biologis.13,15 Sampai saat ini belum ada penanda biologis
yang beredar di Indonesia.
2.6. Tatalaksana
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada
tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria
RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar
untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi
bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat
nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan menghindari penggunaan zat nefrotoksik.
Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. 3,16 Selama tahap
poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami
defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan
keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus
diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta
elektrolit urin dan serum.17
2.6.1. Terapi Nutrisi

Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan
kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005

2.6.2.

Farmakoterapi
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan

selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial.


Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja
menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel
thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI
non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal
tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi nonoligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan
mengurangi kebutuhan dialisis.
Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan
diuretik untuk pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah
dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan penggunaan dosis tinggi
terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-15,78).19,20 Meskipun
demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien
AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada
penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah:16,20

1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes
cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15-30 menit. Bila
jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal
(keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6
jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha
tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan
translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya
pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak
bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas. 16,20
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler
sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria.
Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal
lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan
kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari
250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan
produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien.21,22
Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam
tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal.
Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal,
menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG
dan natriuresis.
Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat
perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat
korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons

dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status
volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus,
aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata
tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak
terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,
takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap
hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama
6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk
pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki
hemodinamik dan fungsi ginjal.16,23,24
Obat-obatan lain seperti agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses
pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana
AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI.24

BAB III
PENUTUP
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi
ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) yang
menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (urea/creatinin) dan non nitrogen, dengan atau
tanpa disertai oligouri. Penyebab gagal ginjal akut yang dibagi menjadi 3 besar yaitu: a) Prerenal (gagal ginjal sirkulatorik) yang disebabkan utama oleh hipoperfusi ginjal dimana terjadi
hipovolemia. b) Renal (gagal ginjal initrinsik) yang disebabkan oleh kelainan pembuluh darah
ginjal. c) Post-renal (uropati obstruksi akut) yang disebabkan oleh obstruksi ureter dan obstruksi
uretra. Gejala klinis dari gagal ginjal akut yang tampak adalah adanya oligouri, anuria, high
output renal failure BUN, dan kreatinin serum yang meningkat. Tujuan utama dari pengelolaan
GGA adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan hemostasis, melakukan
resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup
sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan

DAFTAR PUSTAKA
1.

Sinto R, Nainggolan G. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana. Maj
Kedokt Indones. 2010; 60(2):818.

2.

Syaifuddin, H, 2002. Struktur dan Komponen Tubuh Manusia. Widya Medika, Jakarta.

3.

Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrisons principle of internal medicine.
Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.

4.

Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time for
change? J Am Soc Nephrol. 2003; 14:2178-87.

5.

Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al. Acute
kidney injury network: report of an initiative to improve outcomes in acute kidney injury.
Critical Care.2007, 11:R31.

6.

Roesli R. Kriteria RIFLE cara yang mudah dan terpercaya untuk menegakkan
diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007; 7(1):1824.

7.

Bagshaw SM, George C, Bellomo R. A comparison of the RIFLEand AKIN criteria for
acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial Transplant. 2008; 23:1569-74.

8.

Roesli RMA. Diagnosis dan etiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli RMA,
Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut.
Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr.
Hasan Sadikin; 2008.p.41 66.

9.

Abuelo JG. Normotensive ischemic acute renal failure. N Engl J Med. 2007; 357:797-

805.
10.

Roesli RMA, Martakusumah AH, Suryanto. Terapi dialisis pada penderita sakit kritis
dengan gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007; 7(1):12-17.

11.

Markum HMS. Gagal ginjal akut. Dalam Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
IPD FKUI; 2006.p.585-9.

12.

Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest. 2004; 114:5-14.

13.

Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiology and outcomes of acute
kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008; 3:844-861.

14.

Biesen WV, Vanholder R, Lameire N. Defining acute renal failure: RIFLE and Beyond.
Clin J Am Soc Nephrol. 2006; 1:13149.

15.

Coca SG, Parikh CR. Urinary biomarkers for acute kidney injury: perspectives on
translation. Clin J Am Soc Nephrol. 2008; 3:481-490.

16.

Roesli RMA. Pengelolaan konservatif (suportif). Dalam Roesli RMA, Gondodiputro RS,
Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat
Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin;
2008.p.79-96.

17.

Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor.
Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on
hypertension Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.

18.

Gill N, Nally Jr JV, Fatica RA. Renal failure secondary to acute tubular necrosis. Chest.
2005; 128:2847-2863.

19.

Ho KM, Sheridan DJ. Meta-analysis of frusemide to prevent or treat acute renal failure.
BMJ. 2006; 333(7565):420.

20.

Mohani CI. Diuretika pada kasus dengan oligouria. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH,
editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and
symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.9-10.

21.

Himmelfarb J, Joannidis M, Molitoris B, Schietz M, Okusa MD Warnock D, et al.


Evaluation and initial management of acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;
3: 962-7.

22.

Sjabani M. Penggunaan manitol: dampaknya pada ginjal. Dalam Dharmeizar, Marbun


MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and
symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.21-22.

23.

Loekman JS. Vasoactive drugs and the kidney. Dalam: Dharmeizar, Marbun MBH, editor.
Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on
hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.13-17.

24.

Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure. Indian J Urol. 2000; 16:175.

Anda mungkin juga menyukai