DISUSUN OLEH
NI WAYAN ASMA NIRA YUSTIKA
NIM. 115070201111011
PSIK REGULER
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
PERITONITIS
1. DEFINISI
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum parietale yang melapisi dinding
rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam
rongga abdomen. Ruang yang terdapat diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal
atau kantong peritoneum.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum yaitu lapisan membrane serosa rongga abdomen
dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis. (Haryono, 2012)
Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi rongga
abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal
maupun generalisata, bacterial ataupun kimiawi. Peradangan peritoneum dapat disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing.
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membrane serosa rongga
abdomen) dan organ di dalamnya. (Mutaqqin, 2011)
2. KLASIFIKASI
Berdasarkan sumber dan terjadinya kontaminasi mikrobial, peritonitis diklasifikasikan
menjadi: primer, sekunder, dan tersier, yakni:
Peritonitis Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum
peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Sumber infeksi umumnya
ekstraperitonial yang menyebar secara hematogen. Penyebabnya bersifat monomikrobial,
biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Spesifik
: misalnya Tuberculosis
g. Sangat nyeri
h. Tidak berani bergerak saat tidur
i.
Napas pendek
j.
Awalnya tensi turun sedikit dan nadi lebih cepat, kemudian masuk dalam renjatan
dengan nadi kecil dan cepat
k. Hipovolemia
l.
Abdomen tegang
Peritonitis Tersier
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya empedu,
getah lambung, getah pankreas, dan urine. Peritonitis tersier terjadi akibat kegagalan
respon inflamasi tubuh atau superinfeksi. Peritonitis tersier dapat terjadi akibat peritonitis
sekunder yang telah dilakukan intervensi pembedahan ataupun medikamentosa. Kejadian
peritonitis tersier kurang dari 1% kasus bedah.
3. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya peritonitis adalah invasi kuman bakteri ke dalam rongga peritoneum.
Kuman yang paling sering adalah bakteri gram negatif, meliputi: E. coli (40%), Klebsiella
pneumonia (7%), Pseudomonas species, Proteus species, gram negatif lainnya (20%),
sedangkan bakteri gram positif seperti Streptococcus pneumonia (15%), Streptococcus
lainnya (15%), dan Staphylococcus (3%). Mikroorganisme anaerob kurang dari 5%.
a. Infeksi bakteri
Tukak thypoid
Salpingitis
Diverticulitis
Kuman yang paling sering adalah bakteri Coli, Streptokokus dan b hemolitik,
Stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah Clostridium
wechii
b. Secara langsung dari luar
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonephritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pnemokokus.(Haryono, 2012)
d. Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. Pasien dengan asites akibat
penyakit hati kronik, akibat Asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal
sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe
mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi
bakteremia.
e. Malnutrisi
f.
Keganasan intraabdomen
g. Imunosuppresi
h. Splenektomi
i.
Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan
peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu.
Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak
berlangsung terus-menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum cenderung
mengalami penyembuhan bila diobati.
j.
Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual
k. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis
kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)
l.
Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites) dan
mengalami infeksi
m. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung empedu,
ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri ke
dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk menyambungkan
bagian usus.
n. Dialisa
peritoneal
(pengobatan
gagal
ginjal)
sering
mengakibatkan
peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam
perut.
Iritasi tanpa infeksi. Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak
pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.
4. PATOFISIOLOGI
(terlampir)
5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manifestasi klinis awal dari peritonis
adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini. Pada awalnya nyeri menyebar
dan sangat terasa. nyeri cenderung menjadi konstan, terlokalisasi, lebih terasa didekat sisi
inflamasi dan biasanya diperberat oleh gerakan.
Diagnosis peritonitis biasanya diteggakan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen
(akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (pertonium
visceral) kemudian lama kelamaan menjadi jelas lokasinya (peritoneum parietal). Pada
keadaan peritonitis akibat penyakit tertentu, misalnya perforasi lambung, duodenum,
pankreatitis akut yang berat, atau iskemia usus, nyeri abdomen berlangsung luas berbagai
lokasi.
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat lainnya, yakni demam tinggi,
atau pasien yang sepsis bias menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi, sehingga menjadi
hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat
tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang, biasanya karena
mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasi yang
menyakitkan, atau juga memang tegang karena iritasi peritoneum. Nyeri ini kadang smar
denga nyeri akibat abses yang terlokalisasi dengan baik. Pada penderita wanita di perlukan
pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatory disease,
namun pemeriksaan ini jarang dilakukan pada keadaan peritonitis yang akut.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bias saja jadi positif palsu pada penderita dalam
keadaan imunosepresi, (misalnya ; diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi,
atau HIV), penderita pada penurunan kesadaran (misalnya, trauma kronial, aseyalopati,
toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesik), penderita dengan paraplegia dan
penderita geriatri. Penderita tersebut sering merasakan nyeri yang hebat di perut meskipun
tidak terdapat infeksi di perutnya.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Tes laboratorium
Leukositosis
Hematokrit meningkat
Asidosis metabolik
b. X-ray
Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi (Haryono,
2012)
Menurut Muttaqin, 2011 pemeriksaan diagnostik pada klien yang mengalami peritonitis
terdiri atas pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiografik, dan USG.
a. Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 1998) hal-hal sebagai berikut:
Urinalisis
penting
untuk
menyingkirkan
penyakit
saluran
kemih
(misalnya:
pielonefritis, penyakit batu ginjal), namun pasien dengan perut bagian bawah dan
infeksi panggul sering menunjukkan sel darah putih dalam air seni dan
mikrohematuria
Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan kultur cairan
peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan peritoneal mengandung banyak
protein (>3 gram/100ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur
b. Pemeriksaan radiografik
CT Scan
CT Scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostik pilihan untuk abses
peritoneal. CT Scan ditunjukkan dalam semua kasus dimana diagnosis tidak dapat
dibangun atas dasar klinis dan temuan di foto polos abdomen. Abses peritoneal dan
cairan lain dpat diambil untuk diagnosis atau terapi di bawah bimbingan CT.
(Kleinhaus, 1982)
MRI
MRI adalah salah suatu modalitas pencitraan muncul untuk diagnosis dicurigai
abses intra-abdomen. Abses abdomen menunjukkan penurunan intensitas sinyal
pada gambar T!-weighted. Terbatasnya ketersediaan dan biaya tinggi, serta
kebutuhan MRI yang kompatibel dengan dukungan peralatan dan waktu
pemeriksaan yang lama membatasi kegunaannya sebagai alat diagnostik peritonitis,
terutama bagi pasien yang sakit kritis.
c. USG
USG abdomen dpat membantu dalam evaluasi kuaddran kanan atas (misalnya
perihepatic abses, kolesistitis, biloma, pankreastitis, pancreas pseudocyst), kuadran
kanan bawah, dan patologi pelvis (misalnya: apendisitis, abses tuba-ovarium, abses
douglas), tetapi terkadang pemeriksaan menjadi terbatas karena adanya nyeri, distensi
perut dan gangguan gas usus. USG dapat mendeteksi peningkatan jumlah cairan
peritoneal (asites), tetapi kemampuannya untuk mendeteksi jumlah <100ml
terbatas. (Peralta, 2006)
sangat
7. PENATALAKSANAAN
Fokus utama penatalaksanaan pada pasien peritonitis adalah penggantian cairan, koloid,
dan elektrolit.
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua penyebab
peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:
Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama
jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia
progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi,
memburuknya pasien saat ditangani).
Pemeriksaan laboratorium.
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien
untuk tindakan bedah a.l :
Pemberian antibiotic.
Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari
pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
Pemberian antibiotic
Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk NGT minimal, peristaltic usus pulih, dan
tidak ada distensi abdomen.
1) Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan
penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan
mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus
dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
a. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik
berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil
kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai
menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase
bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia
akan berkembang selama operasi.
b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
c. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak
terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika (misal sefalosporin) atau antiseptik
(misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan
bakteria menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi
tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana
terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis
terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2) Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila
terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada
peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita,
pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu
beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien
yang mencakup tiga fase yaitu :
a. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk
intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup
aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian
dasar pasien ditatanan klinik atau dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan
menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun,
aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien praoperatif
ditempat ruang operasi.
b. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau
dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan
dapat meliputi: memasang infuse (IV), memberikan medikasi intravena, melakukan
pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga
keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanya pada
menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak dalam
peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi pasien
diatas meja operasi dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.
c. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir
dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan
mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif
langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital
serta
mencegah
komplikasi.
Aktivitas
keperawatan
kemudian
berfokus
pada
penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan
yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan
pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan
memungkinkan, proses keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan
evaluasi diuraikan.
Jadi, secara umum tujuan dari penatalaksanaan medis pada klien yang mengalami
peritonitis adalah:
8. KOMPLIKASI
Seringkali, inflamasi tidak local dan seluruh rongga abdomen menjadi terkena pada sepsis
umum. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis. Syok dapat
diakibatkan dari septicemia atau hipovolemia. Proses inflamasi dapat menyebabkan
obstruksi usus, yang terutama berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pasca operasi paling umum adalah eviserasi luka dan pembentukan abses.
Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang mengalami nyeri tekan, nyeri,
atau merasa seakan sesuatu terbuka harus dilaporkan. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan
drainase serosanguinosa menunjukkan adanya dehisens luka.
9. ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Aktifitas / istirahat
Gejala : Kelemahan
Tanda : kesulitan ambulasi
Sirkulasi
amilase serum
: biasanya meningkat
elektrolit serum
GDA
Kultur
Pemeriksaan foto abdominal : Dapat menyatakan disteasi usus / ileum. Bila perporasi
visera sebagai etiologi, udara bebasditemukan pada abdomen.
Foto dada
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap infeksi (septicemia) b/d tidak adekuat pertahanan primer (kulit
rusak, trauma jaringan, gangguan peristaltic) tidak adekuat pertahanan sekunder
(penekanan imunologi), prosedur infasif d/d tidak dapat diterapkan, adanya tanda-tanda
dan gejala-gejala yang ada membuat diagnosa actual
Tujuan
Mandiri
a. catat faktor resiko individu contoh: trauma abdomen, apendisitis, akut, gralisa perifoneal.
Rasional: mempengaruhi pilihan intervensi.
b. Kaji tanda vital dengan sering catat tidak membaiknya atau berlanjutnya hipotensi,
penurunan tekanan nadi, takikardia, demam dan takipnea.
Rasional: tanda adanya syok septic, endotoksin, sirkulasi, menyebabkan vasodilatasi,
kehilangan cairan dari sirkulasi dan rendahnya status curah jantung.
c. Catat perubahan status mental ( contoh bingung, pingsan)
Rasional : hipoksemia, hipotensi, dan asidosis, dapat menyebabkan penyimpanagan
status mental.
d. Catat warna kulit, suhu, kelembaban
Rasional : hangat, kemerahan, kulit kering adalah tanda dini septicemia. Selanjutnya
manifestasi termasuk dingin, kulit pucat, lembab, dan sianosis sebagai tanda syok
e. Awasi haluaran urine
Rasional : oliguria terjadi sebagai akibat penerunan perfusi , toksin dalam sirkulasi
mempengaruhi antibiotic.
f.
Pertahanan teknik aseptic ketat pada perawatan drem abdomen, luka insisi/ terbuka,
dan visi infasif. Bersihkan dengan betadine atau larutan lain yang tepat.
Rasional : mencegah meluas dan membatasi penyebaran organisme infektif/
kontaminasi silang.
Awasi / batasi pengunjung dan staf sesuai kebutuhan. Berikan perlindungan isolasi dila
diindikasikan.
Rasional : menurunnya resiko terpajan pada / menambah infeksi sekunder pada pasien
yang mengalami tekanan imun.
a. Pantau TTV
Rasional : membantu dalam evaluasi derajat devisit / keefektifan penggantian terapi
cairan dan respon terhadap pengobatan.
b. Observasi kulit / membrane mukusa untuk kekeringan, catat udema feriper / sacral
Rasional : hipovalemia, perpindahan cairan dan kekurangan nutrisi memperburuk kulit,
menambah udema jaringan.
c. Ukur intake dan output pasien
: hypertermi teratasi dengan criteria klien tidak mengeluh demam, kulit tidak
: nyeri teratasi/ hilang dengan criteria laporan nyeri hilang, wajah ceria, tidak
Intervensi
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan
mual,muntah, anoreksia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi pasien adekuat.
NOC : Status Gizi, kriteria hasil:
1. Mempertahankan berat badan.
2. Toleransi terhadap diet yang dianjurkan.
3. Menunjukan tingkat keadekuatan tingkat energi.
4. Turgor kulit baik.
NIC : Pengelolaan Nutrisi
1. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
2. Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
3. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
4. Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan muntah.
5. pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.
6. Konstipasi berhubungan dengan pola makan yang buruk.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan konstipasi teratasi.
NOC : Eliminasi defekasi, kriteria hasil:
1. Pola eliminasi dalam rentang yang diharapkan
2. Mengeluarkan feses tanpa bantuan.
3. Mengingesti cairan dan serat dengan adekuat.
NIC : Penatalaksanaan defekasi
1.
2.
3.
Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan
perawatan yang tidak terburu-buru
4.
ketidaknyamanan
5.
Anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan tenkik relaksai saat nyeri.
7.
Dx II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak
adekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan
pasien normal dan dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat.
NOC : Fluid balance, kriteria hasil:
1.
Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT
normal
2.
3.
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas, turgor kulit, membran mukosa lembab,
4.
2.
3.
4.
Awasi nilai laboratorium, seperti Hb/Ht, Na+ albumin dan waktu pembekuan.
5.
6.
2.
3.
Pantau tanda dan gejala infeksi( suhu, denyut jantung, penampilan luka).
2.
3.
infeksi.
4.
Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang dengan pemakaian set ganti balut
yang steril.
5.
1.
Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi,
dan RR
2.
Tirah baring pada pasien dan bantu segala aktivitas sehari-hari, atur periode
3.
4.
5.
6.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa
Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta :
EGC;1999
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta : EGC ; 1997
Daley, Brian James. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview
Haryati, Elizabeth. 2010. Artikel: Kejadian Peritonitis pada Pasien Continuous
Ambulatory Peritoneal Diatysis: Identifikasi Mikroorganisme dan Sensitifitas
Antibiotik. Denpasar: FK UNUD
Haryono, Rudi. 2012. Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Pencernaan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing
Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta
Gayatri, A.A.Ayu Yuli., dkk. 2006. Artikel: Peritonitis Bakterial Spontan pada Sirosis Hati
dan Hubungannya dengan Beberapa Faktor Resiko. Denpasar: FK UNUD
Laroche, M., G, Harding. 1998. Primary and Secondary Peritonitis. Telah diperbarui Eur
J Clin Microbiol Infect Dis.
Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Mochtar, Rustam. 1998. Synopsis Obstetr. Jilid I. Edisi 2. EGC: Jakarta
Muttaqin, Arif., Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Peralta, Ruben. 2006. Peritonitis and Abdominal Sepsis. eMedicine Specialties General
Surgery Abdomen
Pieter, John. 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon dan Anorektum. In Sjamsuhidayat, R
dan Jong, Wim D (eds). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC
Price, Silvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: ECG
Smeltzer, C. Suzanne, Bare G. Brenda., 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8. Jakarta: EGC
Steinberg
GD. Bladder
cancer.
29april
2013
com/article/438262overview#aw2aab6b2b7