Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN

Ny. L dengan Post Laparotomi e.c Peritonitis Generalisata dan Sepsis


Disusun untuk memenuhi tugas profesi keperawatan Departemen Surgikal
RUANG 12

DISUSUN OLEH
NI WAYAN ASMA NIRA YUSTIKA
NIM. 115070201111011

PSIK REGULER
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2015

PERITONITIS
1. DEFINISI
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum parietale yang melapisi dinding
rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam
rongga abdomen. Ruang yang terdapat diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal
atau kantong peritoneum.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum yaitu lapisan membrane serosa rongga abdomen
dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis. (Haryono, 2012)
Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi rongga
abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal
maupun generalisata, bacterial ataupun kimiawi. Peradangan peritoneum dapat disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing.
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membrane serosa rongga
abdomen) dan organ di dalamnya. (Mutaqqin, 2011)
2. KLASIFIKASI
Berdasarkan sumber dan terjadinya kontaminasi mikrobial, peritonitis diklasifikasikan
menjadi: primer, sekunder, dan tersier, yakni:
Peritonitis Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum
peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Sumber infeksi umumnya
ekstraperitonial yang menyebar secara hematogen. Penyebabnya bersifat monomikrobial,
biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Spesifik

: misalnya Tuberculosis

b. Non spesifik : misalnya Pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.


Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah pasien
dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites. Kejadian peritonitis primer kurang dari 5% kasus bedah.
Gambaran :
a. Biasa terjadi pada masa anak-anak dengan sindrom nefrotik atau serosis hati
b. Tidak ada sumber infeksi pada intra abdomen

c. Lebih bayak diderita perempuan daripada laki-laki


d. Kuman masuk melalui aliran darah atau alat genital
e. Rasa sakit dan lemas
f.

Dehidrasi dan nyeri tekan

g. Otot abdomen tegang


h. Kembung
i.

Bunyi peristaltic sulit ditemukan

Peritonitis Sekunder (Supurativa)


Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau
tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis
yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini.
Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri
aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga
dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum
peritoneal.
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan
kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intraabdominal, misalnya appendisitis.
Peritonitis sekunder merupakan infeksi yang berasal dari intraabdomen yang umumnya
berasal dari perforasi organ berongga. Peritonitis sekunder merupakan jenis peritonitis yang
paling umum, lebih dari 90% kasus bedah.
Gambaran :
a. Kuman yang masuk banyak biasa dari GIT dan imun klien
b. Kuman campuran, aerob dan anaerob
c. Adanya sumber infeksi intraperitoneal; apendisitis, difertikulitis, salpingitis kolesistisis,
pankreastitis.
d. Dapat dari trauma yang menyebabkan rupture pada GIT atau perforasi setelah
endoskopi, biopsy
e. Dapat terjadi keganasan GIT
f.

Tertelannya benda asing dan tajam

g. Sangat nyeri
h. Tidak berani bergerak saat tidur
i.

Napas pendek

j.

Awalnya tensi turun sedikit dan nadi lebih cepat, kemudian masuk dalam renjatan
dengan nadi kecil dan cepat

k. Hipovolemia
l.

Abdomen tegang

Peritonitis Tersier
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya empedu,
getah lambung, getah pankreas, dan urine. Peritonitis tersier terjadi akibat kegagalan
respon inflamasi tubuh atau superinfeksi. Peritonitis tersier dapat terjadi akibat peritonitis
sekunder yang telah dilakukan intervensi pembedahan ataupun medikamentosa. Kejadian
peritonitis tersier kurang dari 1% kasus bedah.
3. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya peritonitis adalah invasi kuman bakteri ke dalam rongga peritoneum.
Kuman yang paling sering adalah bakteri gram negatif, meliputi: E. coli (40%), Klebsiella
pneumonia (7%), Pseudomonas species, Proteus species, gram negatif lainnya (20%),
sedangkan bakteri gram positif seperti Streptococcus pneumonia (15%), Streptococcus
lainnya (15%), dan Staphylococcus (3%). Mikroorganisme anaerob kurang dari 5%.
a. Infeksi bakteri

Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal

Appendicitis yang meradang dan perforasi

Tukak peptik (lambung/duodenum)


Ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas
keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan
duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini
timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan
peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian
menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi,
belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya
nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa mengenceran zat
asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara
sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.

Tukak thypoid

Tukak disentri amuba/colitis

Tukak pada tumor

Salpingitis

Diverticulitis

Kuman yang paling sering adalah bakteri Coli, Streptokokus dan b hemolitik,
Stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah Clostridium
wechii
b. Secara langsung dari luar

Operasi yang tidak steril

Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamide, terjadi peritonitis yang


disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda
asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal

Trauma pada kecelakaan seperti rupture limpa, rupture hati

Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula


peritonitis granulomatosa

c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonephritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pnemokokus.(Haryono, 2012)
d. Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. Pasien dengan asites akibat
penyakit hati kronik, akibat Asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal
sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe
mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi
bakteremia.
e. Malnutrisi
f.

Keganasan intraabdomen

g. Imunosuppresi
h. Splenektomi
i.

Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan
peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu.
Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak
berlangsung terus-menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum cenderung
mengalami penyembuhan bila diobati.

j.

Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual

k. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis
kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)
l.

Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites) dan
mengalami infeksi

m. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung empedu,
ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri ke
dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk menyambungkan
bagian usus.
n. Dialisa

peritoneal

(pengobatan

gagal

ginjal)

sering

mengakibatkan

peritonitis.

Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam
perut.
Iritasi tanpa infeksi. Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak
pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.
4. PATOFISIOLOGI
(terlampir)
5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manifestasi klinis awal dari peritonis
adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini. Pada awalnya nyeri menyebar
dan sangat terasa. nyeri cenderung menjadi konstan, terlokalisasi, lebih terasa didekat sisi
inflamasi dan biasanya diperberat oleh gerakan.
Diagnosis peritonitis biasanya diteggakan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen
(akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (pertonium
visceral) kemudian lama kelamaan menjadi jelas lokasinya (peritoneum parietal). Pada
keadaan peritonitis akibat penyakit tertentu, misalnya perforasi lambung, duodenum,
pankreatitis akut yang berat, atau iskemia usus, nyeri abdomen berlangsung luas berbagai
lokasi.
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat lainnya, yakni demam tinggi,
atau pasien yang sepsis bias menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi, sehingga menjadi
hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat
tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang, biasanya karena
mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasi yang
menyakitkan, atau juga memang tegang karena iritasi peritoneum. Nyeri ini kadang smar
denga nyeri akibat abses yang terlokalisasi dengan baik. Pada penderita wanita di perlukan

pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatory disease,
namun pemeriksaan ini jarang dilakukan pada keadaan peritonitis yang akut.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bias saja jadi positif palsu pada penderita dalam
keadaan imunosepresi, (misalnya ; diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi,
atau HIV), penderita pada penurunan kesadaran (misalnya, trauma kronial, aseyalopati,
toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesik), penderita dengan paraplegia dan
penderita geriatri. Penderita tersebut sering merasakan nyeri yang hebat di perut meskipun
tidak terdapat infeksi di perutnya.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Tes laboratorium

Leukositosis

Hematokrit meningkat

Asidosis metabolik

b. X-ray

Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:


-

Ileus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis

Usus halus dan usus besar dilatasi

Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi (Haryono,
2012)

Menurut Muttaqin, 2011 pemeriksaan diagnostik pada klien yang mengalami peritonitis
terdiri atas pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiografik, dan USG.
a. Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 1998) hal-hal sebagai berikut:

Sebagian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen menunjukkan leukositosis


(>11.000 sel/L)

Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis

Pemeriksaan waktu pembekuan dan perdarahan untuk mendeteksi disfungsi


pembekuan

Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis

Urinalisis

penting

untuk

menyingkirkan

penyakit

saluran

kemih

(misalnya:

pielonefritis, penyakit batu ginjal), namun pasien dengan perut bagian bawah dan
infeksi panggul sering menunjukkan sel darah putih dalam air seni dan
mikrohematuria

Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septicemia

Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan kultur cairan
peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan peritoneal mengandung banyak
protein (>3 gram/100ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur

b. Pemeriksaan radiografik

Foto polos abdomen


Walaupun identifikasi sangat terbatas, kondisi ileus mungkin didapatkan usus halus
dan usus besar berdilatasi. Udara bebas hadir dalam kebanyakan kasus anterior
perforasi lambung dan duodenum, tetapi jauh lebih jarang dengan perforasi dari
usus kecil dan usus besar, serta tidak biasa dengan appendiks perforasi. Tegak film
berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di bawah diafragma (paling sering di
sebelah kanan) sebagai indikasi adanya viskus berlubang. (Bandy, 2008)

CT Scan
CT Scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostik pilihan untuk abses
peritoneal. CT Scan ditunjukkan dalam semua kasus dimana diagnosis tidak dapat
dibangun atas dasar klinis dan temuan di foto polos abdomen. Abses peritoneal dan
cairan lain dpat diambil untuk diagnosis atau terapi di bawah bimbingan CT.
(Kleinhaus, 1982)

MRI
MRI adalah salah suatu modalitas pencitraan muncul untuk diagnosis dicurigai
abses intra-abdomen. Abses abdomen menunjukkan penurunan intensitas sinyal
pada gambar T!-weighted. Terbatasnya ketersediaan dan biaya tinggi, serta
kebutuhan MRI yang kompatibel dengan dukungan peralatan dan waktu
pemeriksaan yang lama membatasi kegunaannya sebagai alat diagnostik peritonitis,
terutama bagi pasien yang sakit kritis.

c. USG
USG abdomen dpat membantu dalam evaluasi kuaddran kanan atas (misalnya
perihepatic abses, kolesistitis, biloma, pankreastitis, pancreas pseudocyst), kuadran
kanan bawah, dan patologi pelvis (misalnya: apendisitis, abses tuba-ovarium, abses
douglas), tetapi terkadang pemeriksaan menjadi terbatas karena adanya nyeri, distensi
perut dan gangguan gas usus. USG dapat mendeteksi peningkatan jumlah cairan
peritoneal (asites), tetapi kemampuannya untuk mendeteksi jumlah <100ml
terbatas. (Peralta, 2006)

sangat

7. PENATALAKSANAAN
Fokus utama penatalaksanaan pada pasien peritonitis adalah penggantian cairan, koloid,
dan elektrolit.
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua penyebab
peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:

Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama
jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia
progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi,
memburuknya pasien saat ditangani).

Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi


bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.

Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran


cerna yang tidak teratasi.

Pemeriksaan laboratorium.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :

Mengeliminasi sumber infeksi.

Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal

Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien
untuk tindakan bedah a.l :

Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.

Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.

Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.

Pemberian terapi cairan melalui I.V.

Pemberian antibiotic.

Terapi bedah pada peritonitis a.l :

Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari
pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.

Pencucian rongga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning, kain kassa,


lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan
jaringan yang nekrosis.

Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.

Irigasi kontinyu pasca operasi.

Terapi post operasi a.l:

Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.

Pemberian antibiotic

Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk NGT minimal, peristaltic usus pulih, dan
tidak ada distensi abdomen.

1) Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan
penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan
mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus
dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
a. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik
berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil
kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai
menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase
bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia
akan berkembang selama operasi.
b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
c. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak
terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika (misal sefalosporin) atau antiseptik

(misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan
bakteria menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi
tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana
terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis
terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2) Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila
terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada
peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita,
pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu
beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien
yang mencakup tiga fase yaitu :
a. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk
intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup
aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian
dasar pasien ditatanan klinik atau dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan
menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun,
aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien praoperatif
ditempat ruang operasi.
b. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau
dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan
dapat meliputi: memasang infuse (IV), memberikan medikasi intravena, melakukan
pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga
keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanya pada
menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak dalam
peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi pasien
diatas meja operasi dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.

c. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir
dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan
mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif
langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital
serta

mencegah

komplikasi.

Aktivitas

keperawatan

kemudian

berfokus

pada

penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan
yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan
pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan
memungkinkan, proses keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan
evaluasi diuraikan.
Jadi, secara umum tujuan dari penatalaksanaan medis pada klien yang mengalami
peritonitis adalah:

Untuk mengontrol sumber infeksi

Untuk menghilangkan bakteri dan toksin

Untuk menjaga fungsi sistem organ

Untuk mengontrol proses inflamasi (Bandy, 2008)

8. KOMPLIKASI
Seringkali, inflamasi tidak local dan seluruh rongga abdomen menjadi terkena pada sepsis
umum. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis. Syok dapat
diakibatkan dari septicemia atau hipovolemia. Proses inflamasi dapat menyebabkan
obstruksi usus, yang terutama berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pasca operasi paling umum adalah eviserasi luka dan pembentukan abses.
Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang mengalami nyeri tekan, nyeri,
atau merasa seakan sesuatu terbuka harus dilaporkan. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan
drainase serosanguinosa menunjukkan adanya dehisens luka.

9. ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Aktifitas / istirahat
Gejala : Kelemahan
Tanda : kesulitan ambulasi
Sirkulasi

Tanda : Takikardia,berkeringat,pucat,hipotensi,edema jaringan.


Eliminasi
Gejala : ketidakmampuan defikasi dan flatus diare ( kadang-kadang ).
Tanda :Cekungan ; distensi abdomen;abdomen diam penurunan haluaran urine,warna
gelap penurunan/ ada bising usus ( ileus ); bunyi keras hilang timbul,bising usus kasar
( obstuksi ),kekakuan abdomen, nyeri tekan hiperesonan/ timpani( ileus ),hilang suara
pekak diatas hati ( udara bebas dalam abdomen ).
Makanan / cairan
Gejala : aneroksia,mual/ muntah,haus.
Tanda : muntah proyektif membrane mukosa kering,lidah bengkak,turgor kilat buruk
Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen tiba-tiba berat,umum atau local,menyebar kebahu,teru-menerus
oleh gerakan.
Tanda : distensi,kaku,nyeri tekan otot tegang ( abdomen );lutut fleksi,perilaku
distraksi:gelisah;focus pada diri sendiri.
Pernafasan
Tanda : pernafasan dangkal,takipnea.
Keamanan
Gejala : riwayat inflamasi organ pelvic( saipingitis );infeksi pasca-melahirkan,abses
retroperitoneal.
Penyuluhan
Gejala : riwayat adanya trauma penitrasi abdomen.contoh : luka tembak / tusuk atau
trauma tumpul pada abdomen;perforasi kandung kemih / rupture;penyakit saluran GI
contoh : apendesitis dengan reforasi,gangrene / rupture kandung empedu,perfirasi
karsinoma gaster,perforasi gaster/ulkus,duodenal,obstruksi gangrenosa usus,perforasi
diveirculum,ileltis,regional,bernistrangulasi.
Px penunjang
SDP Meningkat kadang-kadang lebih besar dari 20.000.SDM mungkin meningkat,
menunjukkan nemokonsentrasi
-

protein / albumin serum

: mungkin menurun karena perpindahan cairan

amilase serum

: biasanya meningkat

elektrolit serum

: hipokalemia mungkin ada

GDA

: alkalosis respiratori dan andosis metabolic mungkin ada.

Kultur

: organisme penyebab mungkin teridentifikasi dari darah,eksudat secret

atau cairan asires.


-

Pemeriksaan foto abdominal : Dapat menyatakan disteasi usus / ileum. Bila perporasi
visera sebagai etiologi, udara bebasditemukan pada abdomen.

Foto dada

: dapat menyatakan peninggian diafragma

Parasintesis : contoh cairan peritoneal dapat mengandung darah, PUS/ eksudat,


amylase, empedu, kreatinin

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap infeksi (septicemia) b/d tidak adekuat pertahanan primer (kulit
rusak, trauma jaringan, gangguan peristaltic) tidak adekuat pertahanan sekunder
(penekanan imunologi), prosedur infasif d/d tidak dapat diterapkan, adanya tanda-tanda
dan gejala-gejala yang ada membuat diagnosa actual
Tujuan

1. Meningkatnya penyembuhan pada waktunya, bebas drainase purulent atau eritema.


tidak demam.
2. Menyatakan pemahaman penyebab individu atau factor resiko.
Intervensi

Mandiri
a. catat faktor resiko individu contoh: trauma abdomen, apendisitis, akut, gralisa perifoneal.
Rasional: mempengaruhi pilihan intervensi.
b. Kaji tanda vital dengan sering catat tidak membaiknya atau berlanjutnya hipotensi,
penurunan tekanan nadi, takikardia, demam dan takipnea.
Rasional: tanda adanya syok septic, endotoksin, sirkulasi, menyebabkan vasodilatasi,
kehilangan cairan dari sirkulasi dan rendahnya status curah jantung.
c. Catat perubahan status mental ( contoh bingung, pingsan)
Rasional : hipoksemia, hipotensi, dan asidosis, dapat menyebabkan penyimpanagan
status mental.
d. Catat warna kulit, suhu, kelembaban
Rasional : hangat, kemerahan, kulit kering adalah tanda dini septicemia. Selanjutnya
manifestasi termasuk dingin, kulit pucat, lembab, dan sianosis sebagai tanda syok
e. Awasi haluaran urine

Rasional : oliguria terjadi sebagai akibat penerunan perfusi , toksin dalam sirkulasi
mempengaruhi antibiotic.
f.

Pertahanan teknik aseptic ketat pada perawatan drem abdomen, luka insisi/ terbuka,
dan visi infasif. Bersihkan dengan betadine atau larutan lain yang tepat.
Rasional : mencegah meluas dan membatasi penyebaran organisme infektif/
kontaminasi silang.

g. Observasi drainase pada luka/ drein


Rasional : memberikan informasi tentang status infeksi
h. Pertahankan teknik steril bila pasien dipasang kateter dan berikan perawatan
kateter/kebersihan perineal rutin.
Rasional : mencegah penyebaran, membatasi pertumbuhan bakteri pada traktus
urinarius
i.

Awasi / batasi pengunjung dan staf sesuai kebutuhan. Berikan perlindungan isolasi dila
diindikasikan.
Rasional : menurunnya resiko terpajan pada / menambah infeksi sekunder pada pasien
yang mengalami tekanan imun.

2. Kekurangan volume cairan b/d perpindahan cairan ekstraseluller,intravaskuler, dan area


interstisial kedalam usus dan atau area peritoneal ; muntah ; aspirasi NG / usus, demam
d/d membrane mukosa kering, turgor kulit buruk, pengisian kapiler lambat, nadi perifer
lemah, menurunnya keluaran urin, urine gelap / pekat hipotensi takikardia.
Tujuan

menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan dibuktikan oleh keluara urine adekuat


dengan berat jenis normal, tanda vital stabil, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik
dan pengisian kapiler meningkat.
Intervensi

a. Pantau TTV
Rasional : membantu dalam evaluasi derajat devisit / keefektifan penggantian terapi
cairan dan respon terhadap pengobatan.
b. Observasi kulit / membrane mukusa untuk kekeringan, catat udema feriper / sacral
Rasional : hipovalemia, perpindahan cairan dan kekurangan nutrisi memperburuk kulit,
menambah udema jaringan.
c. Ukur intake dan output pasien

Rasional : menunjukkan status hidrasi keseluruhan


Anjurkan klien untuk minum banyak sesuai kebutuhan / yang dapat ditoleransi.
Rasional : mempertahankan hidrasi dan meminimalkan kekurangan volume cairan
Kolaborasi
d. Awasi pemeriksaan laboratorium contoh : HB/HR, elektrolit, protein, albumi, BUM,
kreatinin.
Rasional : memberikan informasi tentang hidrasi, fungsi organ.
e. Berikan caiaran elektrolit, plasma / darah.
Rasional : mengisi / mempertahankan volume sirkulasi dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, koloid (plasma darah) membantu menggerakkan air ke dalam area
intraskuler dengan meningkatkan tekanan osmotic
3. Hipertermi b/d proses infeksi d/d peningkatan suhu tubuh, klien mengeluh demam, wajah
nampak kemerahan, kulit teraba panas
Tujuan

: hypertermi teratasi dengan criteria klien tidak mengeluh demam, kulit tidak

teraba panas dan suhu tubuh kembali normal (36c - 37c).


Intervensi

a Kaji TTV klien, terutama suhu


Rasional : suhu meningkat menunjukkan penyakit infeksius. Pola demam dapat
membantu dalam diagnosa.
b.eri kompres hangat pada dahi / axial.
Rasional : dapat mengurangi demam.
c.Pantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan linon tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional : suhu ruangan/ jumlah selimut harus di ubah untuk mempertahankan suhu
mendekati normal.
d.Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antiseptic.
Rasional : mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.
4. Nyeri b/d iritasi kimia peritoneum perifer (toksin), trauma jaringan, akumulasi jaringan
dalam rongga abdomen/ peritoneal (distensi abdomen) d/d pernyataan nyeri, otot tegang,
nyeri lepas, penampilan wajah menahan nyeri, focus pada diri sendiri, perilaku distraksi,
respons otomatik/ emosi (cemas)
Tujuan

: nyeri teratasi/ hilang dengan criteria laporan nyeri hilang, wajah ceria, tidak

focus pada diri sendiri.

Intervensi

a.Kaji tingkat nyeri, lama, intonsitasi (skala 0-10)


Rasional : perubahan dalam lokasi / intensitas tidak umum tetapi dapat menunjukkan
terjadinya komplikasi. Nyeri cenderung konstan, lebih hebat dan menyebar ke atas, nyeri
dapat local bila terjadi abses.
b.Pertahankan posisi semifowler sesuai indikasi.
Rasional : memudahkan drainase cairan / luka karena gravitasi dan membantu
meminimalkan nyeri karena gerakan.
c.Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijata punggung nafas dalam, latihan relaksasi.
Rasional : meningkatkan relaksasi dengan mungkin meningkatkan kemampuan koping
pasien dengan memfokuskan kembali perhatian.
d.Berikan perawatan mulut dengan sering.
Rasional : menurunkan mual/ muntah yang dapat meningkatkan tekanan/ nyeri intra
abdomen
e. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat sesuai indikasi
- Analgetik : membantu menghilangkan nyeri
- Antiemetik : menurunkan mual/ muntah yang dapat meningkatkan nyeri abdomen
5. Ketidakseimbangan

nutrisi

kurang

dari

kebutuhan

tubuh

berhubungan

dengan

mual,muntah, anoreksia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi pasien adekuat.
NOC : Status Gizi, kriteria hasil:
1. Mempertahankan berat badan.
2. Toleransi terhadap diet yang dianjurkan.
3. Menunjukan tingkat keadekuatan tingkat energi.
4. Turgor kulit baik.
NIC : Pengelolaan Nutrisi
1. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
2. Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
3. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
4. Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan muntah.
5. pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.
6. Konstipasi berhubungan dengan pola makan yang buruk.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan konstipasi teratasi.
NOC : Eliminasi defekasi, kriteria hasil:
1. Pola eliminasi dalam rentang yang diharapkan
2. Mengeluarkan feses tanpa bantuan.
3. Mengingesti cairan dan serat dengan adekuat.
NIC : Penatalaksanaan defekasi

1.

Pantau pergerakan defekasi meliputi frekuensi, konsistensi,bentuk, volume, dan

warna yang tepat.


2.
Perhatikan masalah defekasi yang telah ada sebelumnya, rutinitas defekasi dan
penggunaan laksatif.
3.
Instruksikan pada pasien dan keluarga tentang diet, asupan cairan,aktivitas dan
latihan.
4.
Awali konferensi keperawatan dengan melibatkan pasien dan keluarga untuk
mendorong perilaku positif yaitu perubahan diet.
5. Beri umpan balik positif untuk pasien saat terjadi perubahan tingkah laku
Post Operasi
Dx. I. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang atau
hilang.
NOC : Level nyeri, kriteria hasil:
1. Nyeri berkurang
2. Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah
3. Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.
4. Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
NIC: Penatalaksanaan nyeri
1.

Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan.

2.

Observasi ketidaknyamanan non verbal

3.

Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk

memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan
perawatan yang tidak terburu-buru
4.

Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap

ketidaknyamanan
5.

Anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan tenkik relaksai saat nyeri.

7.

Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.

Dx II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak
adekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan
pasien normal dan dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat.
NOC : Fluid balance, kriteria hasil:

1.

Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT

normal
2.

Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal

3.

Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas, turgor kulit, membran mukosa lembab,

4.

Tidak ada rasa haus yang berlebihan

NIC : Fluid Management


1.

Pertahankan catatan intake dan output yang akurat

2.

Monitor vital sign dan status hidrasi

3.

Monitor status nutrisi

4.

Awasi nilai laboratorium, seperti Hb/Ht, Na+ albumin dan waktu pembekuan.

5.

Kolaborasikan pemberian cairan intravena sesuai terapi.

6.

Atur kemungkinan transfusi darah.

Dx. III. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.


Tujuan: Setelah dilakuakan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi pada
luka bedah.
NOC : Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
1.

Bebas dari tanda dan gejala infeksi.

2.

Higiene pribadi yang adekuat.

3.

Mengikuti prosedur dan pemantauan.

NIC: Pengendalian Infeksi


1.

Pantau tanda dan gejala infeksi( suhu, denyut jantung, penampilan luka).

2.

Amati penampilan praktek higiene pribadi untuk perlindungan terhadap infeksi.

3.

Instruksikan untuk menjaga higiene pribadi untuk melindungi tubuh terhadap

infeksi.
4.

Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang dengan pemakaian set ganti balut

yang steril.
5.

Bersihkan lingkungan dengan benar setelah.

Dx. IV. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan diharapkan pasien dapat beraktivitas tanpa
mengalami kelemahan.
NOC : Konservasi energi, kriteria hasil:

1.

Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi,

dan RR
2.

Mampu melakukan aktivitas secara mandiri.

NIC : Management Energi


1.

Tirah baring pada pasien dan bantu segala aktivitas sehari-hari, atur periode

istirahat dan aktivitas


2.

Monitor terhadap tingkat kemampuan aktivitas, hindari aktivitas yang berlebihan

3.

Tingkatkan aktivitas sesuai dengan toleransi

4.

Monitor kadar enzim serum untuk mengkaji kemampuan aktivitas

5.

Monitor tanda-tanda vital dan atur perubahan posisi.

6.

Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa
Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta :
EGC;1999
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta : EGC ; 1997

Bandy, Steven M. 2008. Spontaneous bacterial Peritonitis. eMedicine Specialities


Emergency Medicine Infectious Diseases

Daley, Brian James. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview
Haryati, Elizabeth. 2010. Artikel: Kejadian Peritonitis pada Pasien Continuous
Ambulatory Peritoneal Diatysis: Identifikasi Mikroorganisme dan Sensitifitas
Antibiotik. Denpasar: FK UNUD
Haryono, Rudi. 2012. Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Pencernaan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing
Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta
Gayatri, A.A.Ayu Yuli., dkk. 2006. Artikel: Peritonitis Bakterial Spontan pada Sirosis Hati
dan Hubungannya dengan Beberapa Faktor Resiko. Denpasar: FK UNUD
Laroche, M., G, Harding. 1998. Primary and Secondary Peritonitis. Telah diperbarui Eur
J Clin Microbiol Infect Dis.
Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Mochtar, Rustam. 1998. Synopsis Obstetr. Jilid I. Edisi 2. EGC: Jakarta
Muttaqin, Arif., Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Peralta, Ruben. 2006. Peritonitis and Abdominal Sepsis. eMedicine Specialties General
Surgery Abdomen
Pieter, John. 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon dan Anorektum. In Sjamsuhidayat, R
dan Jong, Wim D (eds). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC
Price, Silvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: ECG
Smeltzer, C. Suzanne, Bare G. Brenda., 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8. Jakarta: EGC

Steinberg
GD. Bladder
cancer.
29april
2013
com/article/438262overview#aw2aab6b2b7

Anda mungkin juga menyukai