Anda di halaman 1dari 8

Analisis atas Implementasi Zero Based Budgeting dan Performance Based

Budgeting di Negara Berkembang

Mahasiswa Magister Akuntansi FEB Universitas Padjadjaran

Pendahuluan
Metamorfosis berarti perubahan atau
peralihan bentuk dari satu wujud ke wujud
lainnya.
Metamorfosis
kadang-kadang
digunakan untuk mencapai tujuan yang lebih
baik atau hal yang lebih baik.
Salah satu metamorfosis yang sedang terjadi
di departemen keuangan Indonesia adalah
metamorfosis
penganggaran
(Zunaidi,
2012). Metamorfis ini dilakukan dalam
rangka mengamanatkan Undang-undang no.
17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Metamorfosis yang dilakukan adalah dengan
perubahan dari Line Item Budgeting atau
tradisional
menjadi
penganggaran
berdasarkan kinerja. Semula penyusunan
anggaran masih berkutat pada bagaimana
merinci program dalam kegiatan dan
biayanya sehingga terbentuk alokasi
anggaran secara menyeluruh atas program.
Sistem penganggaran yang baru memberi
fokus pada hasil, bagaimanapun cara
melaksanaan kegiatan tersebut (Zunaidi,
2012).
Walau demikian, terdapat berbagai jenis
anggaran secara teori antara lain: Tradisional
Budgeting; Incremental Budgeting, Zero
Based Budgeting, Planning Programming
Based Budgeting, dan Performance Base
Budgeting. Setiap jenis anggaran tersebut

pernah digunakan di setiap pemerintah di


seluruh dunia.
Tapi dalam kenyataannya, metamorfosis
perubahan penganggaran ini lebih sering
dikaji di pemerintah negara berkembang.
Perubahan penganggaran ini dilakukan
secara bertahap dan membandingkan sistem
anggaran
mana
yang
tepat
diimplementasikan. Tujuan pemerintah
yakni mencapai titik efesiensi dan
efektivitas dalam penggunaan anggaran
Dalam tulisan ini, penyusun hendak
membandingkan efektifitas dan efesiensi
implementasi penggunaan Zero Based
Budgeting
dan
Performance
Based
Budgeting dalam pemerintahan negara
berkembang.
Dalam tulisan ini, akan terbagi dalam Tiga
bagian yaitu Pendahuluan, Tinjauan Pustaka,
dan Kesimpulan. Bagian Pendahuluan akan
menjelaskan fenomena terkait perubahan
sistem anggaran. Bagian Tinjauan Pustaka
akan menjelaskan teori dan hasil penelitian
sebelumnya yang terkait dengan penelitian.
Bagian Kesimpulan akan menjelaskan inti
sari dari keseluruhan penelitian.

Tinjauan Pustaka
1. Traditional budgeting
1.1 Pengertian dan Definisi Traditional
Budgeting
Sistem anggaran tradisional atau traditional
budgeting system anggaran yang didasarkan
pada dan dari mana dana berasal (pos-pos
penerimaan) dan untuk apa dana tersebut
digunakan (pos-pos pengeluaran) (Bastian,
2005). Selain itu, traditional budgeting
dapat diartikan sebagai ekspresi kuantitatif
rencana sebuah organisasi dalam satu
periode tertentu dan bertugas untuk
membantu dalam mengordinasi kebutuhan
untuk menyelesaikan rencana (Horngren C,
2012).
Dalam pelaksanaan sistem anggaran
tradisional,
perhatian
lebih
banyak
ditekankan
pada
pertanggungjawaban
pelaksanaan anggaran secara akuntansi yang
meliputi pelaksanaan anggaran, pengawasan
anggaran, dan penyusunan pembukuannya.
Pengelompokkan
pos-pos
anggaran
didasarkan atas objek-objek pengeluaran,
sedangkan distribusi anggaran didasarkan
atas jatah tiap-tiap departemen/lembaga.
Dasar pemikiran dari sistem anggaran
tradisional setiap pengeluaran negara harus
didasarkan pada perhitungan dan penelitian
yang ketat agar tidak terjadi pemborosan dan
penyimpangan atas dana yang terbatas.
1.2 Ciri dan Karakteristik Traditional
Budgeting
Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan
sistem anggaran tradisional, yaitu: (a) cara
penyusunan anggaran yang didasarkan atas

pendekatan incrementalism dan (b) struktur


dan susunan anggaran yang bersifat lineitem (Hanninen, 2013).
Ciri pertama yakni cara penyusunan
berdasarkan pendekatan incrementalism
terdiri dari ciri-ciri antara lain: (1)
Penekanan & tujuan utama adalah pada
pengawasan dan pertanggungjawaban yang
terpusat; (2) Bersifat Incrementalism, yaitu
hanya menambah atau mengurangi jumlah
rupiah pada item-item anggaran yang sudah
ada sebelumnya dengan data tahun
sebelumnya sebagai dasar menyesuaikan
besarnya penambahan/pengurangan tanpa
kajian; (3) Kinerja dinilai berdasarkan habis
tidaknya
anggaran
yang
dilakukan
dibandingkan dengan target kinerja yang
dikehendaki (outcome).
Ciri kedua yakni struktur dan susunan
anggaran yang bersifat line-item terdiri dari
ciri-ciri antara lain: (1) Struktur anggaran
bersifat line-item didasarkan atas sifat dari
penerimaan dan pengeluaran; (2)Tak
memungkinkan untuk menghilangkan itemitem penerimaan dan pengeluaran yang
sebenarnya sudah tidak relevan; (3)
Dilandasi alasan orientasi sistem anggaran
yang
dimaksud
untuk
mengontrol
pengeluaran, bukan tujuan yang ingin
dicapai dengan pengeluaran yang dilakukan.
Sistem Anggaran Tradisional atau bisa
dibilang Line Item Budgeting mempunyai
sejumlah karakteristik penting, di mana
tujuan utamanya adalah untuk melakukan
kontrol keuangan, dan sangat berorientasi
pada input organisasi, penetapannya melalui
pendekatan incremental (kenaikan bertahap)
dan tidak jarang dalam prakteknya memakai
kemampuan menghabiskan atau menyerap

anggaran sebagai salah satu indikator


penting untuk mengukur keberhasilan
organisasi (Bastian, 2005).

sistem
anggaran
tradisional
adalah
effectiveness problem, efficiency problem,
dan accountability problem (Bastian, 2005).

1.3 Kelebihan Traditional Budgeting

1.5 Penerapan Traditional Budgeting

Keunggulan atau kelebihan sistem anggaran


tradisional antara lain: (1) Penyusunan
relative mudah, sehingga dapat membantu
mengatasi rumitnya proses penyusunan
anggaran;
(2)
Tidak
memerlukan
pengetahuan yang terlalu tinggi untuk
memahami program-program kegiatan baru,
karena banyak dari kegiatan-kegiatan
tersebut merupakan lanjutan dari kegiatan
tahun-tahun sebelumnya; (3) Dengan
menggunakan cara penyusunan ini, maka
wilayah perselisihan menjadi sempit
sehingga dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya konflik antar unit-unit yang
berkepentingan terhadap anggaran (Halim,
2002).

Sistem pengganggan Line Item Budgeting


atau Traditional Budgeting dilihat dari
format susunan dan program anggaran
tahunan
yang
dipersiapkan,
yakni
menitikberatkan pada sumber pendapatan
(Pendapatan Asli Daerah) dan pengeluaran
(Belanja Rutin).

1.4 Kekurangan Traditional Budgeting

2.1 Pengertian dan Definsi Zero Based


Budgeting

Dalam pelaksanaanya, sistem anggaran


tradisional memiliki kelemahan. Menurut
Bastian, kelemahan itu antara lain: (1)
Sistem
anggaran
tidak
memberikan
informasi tentang kinerja output dan
outcome; (2) Pengendalian atas kinerja
sebuah divisi menjadi sulit.;(3) Tidak dapat
menganalisis mendalam tentang tingkat
keberhasilan setiap program; (4) Tidak
tersedianya informasi yang logis dan
rasional tentang rencana alokasi anggaran
tahun yang akan datang; (5) Menimbulkan
perilaku budget maximize pada birokrat
(Dunleavy, 1991).
Akibat dari berbagai kelemahan di atas
maka masalah besar yang dihadapi oleh

Contoh peneran sistem anggaran tradisional


tersebut diterapkan oleh semua pemerintah
daerah di Indonesia berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang
pengurusan
pertanggungjawaban
dan
pengawasan keuangan daerah (Bastian,
2005).
2. Zero Based Budgeting

Sebagai reaksi terhadap berbagai masalah


fundamental yang dihadapi oleh Line item
budgeting muncullah sistem penganggaran
baru yang masuk pada kategori New Public
Management, yakni Zero Based Budgeting.
Lahirnya ZBB merupakan jawaban atas
rasionalisasi proses pembuatan anggaran
(Bastian, 2005). Dalam sistem ZBB, muncul
apa yang disebut sebagai decision unit yang
menghasilkan berbagai paket alternatif
anggaran yang dibuat.
Penyusunan anggaran dengan menggunakan
konsep zero based budgeting tidak
berpatokan pada anggaran tahun lalu untuk

menyusun anggaran tahun ini, namun


penentuan anggaran didasarkan pada
kebutuhan saat ini. Dengan ZBB seolah-olah
proses anggaran dimulai dari hal yang baru
sama sekali (Paper F5 examining team,
2013)
Dengan adanya ZBB maka incrementalism
dan line item yang merupakan ciri-ciri dari
anggaran tradisional dapat hilang. Hal ini
terjadi karena anggaran pada ZBB
diasumsikan mulai dari nol. Sedangkan
penyusunan
anggaran
yang
bersifat
incremental mendasarkan besarnya anggaran
tahun ini untuk menetapkan anggaran tahun
depan.
2.2 Implementasi Zero Based Budgeting
Dikarenakan Zero Based Budgeting
merupakan sistem anggaran yang didasarkan
pada perkiraan kegiatan, bukan pada apa
yang telah dilakukan di masa lalu, maka
setiap kegiatan dievaluasi secara terpisah.
Oleh karena itu, terdapat tiga langkah dalam
penyusunan ZBB yaitu: (1) Identifikasi unit
keputusan;
(2)
Membangun
paket
keputusan; (3) Mereview peringkat paket
keputusan (Bastian, 2005).
Pada tahapan pertama, setiap pusat-pusat
pertanggungjawaban yang menjadi basis
ZBB akan mengidentifikasi unit-unit
keputusan
yang
tepat.
Cara
pengidentifikasinya yakni dengan memecah
kembali keputusan yang besar kepada dinasdinas, sub dinas, sub program, hingga entitas
terkecil.
Pada tahapan kedua, setiap ketua pusat
pertanggungjawaban
atau
unit-unit
keputusan harus membuat paket keputusan.

Secara teoritis, paket berisi detail estimasi


biaya dan pendapatan yang dinyatakan
dalam bentuk pencapaian tugas dan
perolehan manfaat. Dalam tahapan ini,
terdapat dua jenis paket yakni paket
keputusan mutually-exclusive yang
memiliki fungsi yang sama (hingga
konsekuensinya adalah menolah semua
alternatif yang lain) dan paket keputusan
incremental yang merefleksikan tingkat
usaha yang berbeda dalam melaksanakan
aktivitas tertentu (dalam maksud terdapat
base package yang menunjukkan tingkat
aktivitas minimal suatu kegiatan, dan paket
lain yang tingkat aktivitasnya lebih tinggi
yang akan berpengaruh terhadap kenaikan
level aktivitas dan juga biaya).
Pada
tahapan
terakhir,
paket-paket
keputusan yang telah disiapkan dirangking
berdasarkan manfaatnya terhadap organisasi,
badan, atau entitas.
2.3 Keunggulan Zero Based Budgeting
Dikarenakan tidak mengacu pada anggaran
di periode sebelumnya, makan terdapat
beberapa kelebihan dari Zero Based
Budgeting, yaitu: (1) Seluruh aktivitas
dievaluasi secara annual; (2) Bisa
melakukan identifikasi atas faktor-faktor
yang mempengaruhi performa operasional;
(3) Terdapat kemungkinan angggaran di
periode selanjutnya bisa berkembang; (4)
Peningkatan akuntanbilitas (Kavanagh,
2011)
2.4 Kelemahan Zero Based Budgeting
Walau demikian, dilihat dari proses dan
tahapan pembuatan anggaran Zero Based
Budgeting, terdapat kelemahan di ZBB,

yaitu: (1) Memakan waktu yang lama; (2)


Implementasi ZBB membutuhkan teknologi
yang maju; (3) Tahapan ketiga yakni
merangking paket keputusan adalah
pekerjaan yang melelahkan hingga dapat
mempengaruhi keputusan; (4) Dibutuhkan
sumber daya manusia yang memiliki
kemampuan yang sama dalam merangking
paket keputusan.
3. Performance Based Budgeting
3.1 Pengertian dan Definisi Performance
Budgeting
Performance
Based
Budgeting
atau
anggaran berbasis kinerja adalah sistem
penganggaran yang berorientasi pada output
organisasi dan berkaitan erat dengan visi,
misi, dan rencana strategis organisasi
(Bastian, 2005).
Performance budgeting mengalokasikan
sumber daya pada program, bukan pada unit
organisasi semata dan memakai output
measurement sebagai indikator kinerja
organisasi (Bastian, 2005). Hingga dengan
kata lain, performance budgeting adalah
teknik penyusunan anggaran berdasarkan
pertimbangan beban kerja (work load) dan
unit biaya (cost) dari setiap kegiatan yang
terstruktur. Struktur di sini diawali dengan
pencapaian tujuan, program, dan didasari
oleh pemikian bahwa penganggaran
digunakan sebagai alat manajemen.
Sebagai contoh, Bastian (Bastian, 2005)
menjelaskan dengan contoh pendidikan
dasar. Dalam performance budgeting,
orientasi pembiayan bukan di pengeluaran
untuk gaji guru, biaya pembangunan sekolah
dasar, dsb, melainkan output apa yang ingin

dicapai. Dengan demikian, yang seharusnya


dianggarkan adalah berapa banyak murid
sekolah dasar yang akan terdidik pada satu
tahun anggaran? Atau berapa persentase
kelulusan murid sekolah dasar yang
ditargetkan?
Tujuan dari penetapan output measurement
yang dikaitkan dengan biaya adalah
mengukur tingkat efisiensi dan efektivitas
(Bastian,
2005).
Dengan
hal
itu,
performance based budgeting bisa juga
digunakan sebagai alat dalam menjalankan
prinsip akuntanbilitas karena yang diterima
oleh masyarakat pada akhirnya adalah
output dari proses birokrasi pemerintah.
Ukuran-ukuran kinerja dari sistem anggaran
berorientasi kinerja berguna bagi lembaga
perwakilan rakyat dalam fungsi pembuatan
kebijakan, penetapan anggaran, dan
pelaksanaan pengawasan (Bastian, 2005).
3.2 Ciri dan Karakteristik Performance
Based Budgeting
Performance Based Budgeting berdasarkan
Robinson dan Last (Marc Robinson, 2009)
menyatakan empat karakteristik PBB, antara
lain: (1) PBB menetapkan tujuan atau
sekumpulan tujuan yang akan dikaitkan
dengan atau yang digunakan untuk
mengalokasikan pengeluaran uang; (2) PBB
menyediakan informasi dan data mengenai
kinerja dan hasil yang telah dicapai sehingga
dapat dilakukan perbandingan antara actual
dengan
direncanakan;
(3)
Terdapat
penyesuaian terhadap program yang
dilakukan untuk menutup setiap perbedaan
antara target kinerja dan kinerja actual; (4)
PBB memberi peluang untuk dilakukannya

evaluasi kinerja secara regular yang akan


digunakan untuk pengambilan keputusan.
Karakteristik lebih lanjut mengenan
Performance Based Budgeting bahwa
anggaran akan berhasil jika setiap satuan
kerja yang melakukan pengeluaran anggaran
diharuskan untuk: (1) Mendefinisikan
outcome yang pelayanannya diberikan
kepada masyarakat secara eksplisit; (2)
Menyediakan indikator kinerja kunci untuk
mengukur
efektifitas
dan
efesiensi
pelayanannya untuk meneteri keuangan dan
pembuatan keputusan politik kunci selama
proses penyusunan anggaran (Jones &
Pendlebury, 2010).
Sedangkan menurut Bastian (Bastian, 2005),
ciri-ciri pokok dari Performance Based
Budgeting yaitu: (1) Sistem PBB
mengandung tiga unsur pokok, yakni
pengeluaran pemerintah diklasifikasikan
menurut program dan kegiatan, pengukuran
hasil kerja, dan pelaporan program; (2) Titik
perhatian lebih ditekankan pada pengukuran
hasil kerja, bukan pada pengawasan; (3)
Setiap kegiatan harus dilihat dari sisi
efisiensi dan memaksimumkan output; (4)
Bertujuan untuk menghasilkan informasi
biaya dan hasil kerja yang dapat digunakan
untuk penyusunan target dan evaluasi
pelaksanaan kerja.
3.3 Implementasi Performance Based
Budgeting
Implementasi Performance Based Budgeting
telah diatur dalam Undang-undang No. 17
tahun
2003. Dalam UU
tersebut,
pengelolaan keuangan daerah diubah
melalui reformasi anggaran yakni dari
sistem anggaran tradisional ke performance

based budgeting. Kunci-kunci tentang


penganggaran antara lain: (1) Penerapan
pendakatan penganggaran dengan perspektif
jangka
menengah;
(2)
Penerapan
penganggaran secara terpadu; (3) Penerapan
penganggaran berdasarkan kinerja.
Dikarenakan berbasis pada performa, maka
pemerintah
diharuskan
menjabarkan
outcome yang ingin dicapai. Pemerintah
daerah (provinsi, kabupaten, kota) dokumen
yang digunakan dalam proses penyusunan
anggaran meliputi Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD),
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD),
Kebijakan Umum Anggaran (KUA), dan
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
(PPAS). Sedangkan pada tingkat Satuan
Kerja
Pemerintah
Daerah
(SKPD),
dokumen-dokumen
tersebut
meliputi
Rencana Statejik (Renstra) SKPD, Rencana
Kerja (Renja) SKPD, dan Rencana Kerja
dan Anggaran (RKA) SKPD.
Dalam penerapannya, dokumen-dokumen
tersebut tidak hanya ada saja secara
keberadaan, melainkan adanya keselarasan
substansi antar dokumen tersebut yang dapat
dilihat dari ada tidaknya indikator kinerja
yang selaras dalam dokumen-dokumen
tersebut.
Pada SKPD, indikator kinerja yang dimuat
dalam Rencana Kerja SKPD harus
mendukung pencapaian indikator kinerja
yang dimuat dalam Renstra SKPD.
Selanjutnya, Rencana Kerja SKPD harus
didukung oleh indikator-indikator kinerja
yang dimuat dalam Rencana Kerja dan
Anggaran SKPD.

Dengan adanya keselarasan indikator kinerja


ini secara logis akan dapat mengaitkan
tujuan-tujuan yang hendak dicapai yang
dicantumkan dalam dokumen perencanaan
strategis
dengan
kegiatan-kegiatan
operasional yang dilaksanakan SKPD.
3.4 Keunggulan
Budgeting

Performance

Based

Menurut
Bastian
(Bastian,
2005),
keunggulan Performance Based Budgeting
yaitu: (1) Memungkinkan pendelegasian
wewenang dalam pengambilan keputusan;
(2) Merangsang partisipasi dan memotivasi
unit kerja melalui proses pengusulan dan
penilaian anggaran yang bersifat faktual; (3)
Membantu
fungsi
perencanaan
dan
mempertajam pembuatan keputusan; (4)
Memungkinkan alokasi dana secara optimal
dengan didasarkan efisiensi unit kerja; (5)
Menghindarkan pemborosan.
3.5 Kelemahan
Budgeting

Performance

Based

Menurut Bastian (Bastian, 2005), terdapat


kelemahan dari Performance Based
Budgeting, yaitu (1) Tidak semua kegiatan
dapat distandarisasikan; (2) Tidak semua
hasil kerja dapat diukur secara kuantitatif;
(3) Tidak jelas mengenai siapa pengambil
keputusan dan siapa yang menanggung
beban atas keputusan.
4.
Implementasi
Zero
Based
Budgeting di Negara Berkembang

Kesimpulan

Daftar Pustaka
Bastian, I. (2005). Akuntansi Sektor Publik:
Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
C, H., S, D., & M, R. (2012). Cost
Accounting: A Managerial
Emphasis. Upper Saddle River:
Prentice Hall.
Cheong, D. F. (2005). From traditional
budget planning to zero-based
budgeting. PBE Paper II:
Management Accounting and
Finance, 1-4.
Fong, C., & Kumar, N. (2002). Cost
Accounting. Hong Kong: Hong Kong
Association of Accounting
Technicians.
Gopal, C. C. (2009). Accounting for
Managers (Starting From Basics).
New Delhi: New Age International
(P) Limited.
Halim, A. (2002). Seri Akuntansi Sektor
Publik-Akuntansi Keuangan Daerah.
Jakarta: Salemba Empat.
Hanninen, V. (2013). Budgeting at a
Crossroads - The Viability of
Traditional Budgeting - A Case
Study. 1-84.
Hooper, J. F. (1969). Planning,
Programming, Budgeting System.
Logan, Utah, United States of
America.

Horngren C, D. S. (2012). Cost Accounting:


A Managerial Emphasis. Upper
Saddle River: Prentice Hall.
Institute, C. M. (2015, January 12).
Incremental Budgeting. General
Guidance, pp. 1-2.
Jones, R., & Pendlebury, M. (2010). Public
Sector Accounting Sixth Edition.
Edinburgh Gate: Pearson Education
Limited.
Jr, H. H. (1992, October 19). Planing,
Programing, and Budgeting System
Budget Review and Congressional
Action. Monterey, California, United
States of America.
Kavanagh, S. C. (2011). Zero Base
Budgeting, Modern Experiences and
Current Perspectives. Chicago: The
Government Finance Officers
Association Research and Consulting
Center.
Marc Robinson, D. L. (2009, September). A
Basic Model of Performance Based
Budgeting. Bretton Woods, New
Hampshire, United States of
America.

Paper F5 examining team. (2013, May 26).


www.chinaacc.com. Retrieved
September 29, 2016, from
http://www.chinaacc.com/upload/ht
ml/2013/06/26/lixingcun13eeca8b50
794e1fa2662d1261b92717.pdf
Pidgeon, C. (2010). Methods of Budgeting.
1-30.
Piele, P. K. (1972). Planning Programming
Budgeting Systems. U.S.
Departement of Health Education &
Walfare Office of Education, 1-8.
Reeve J, W. C. (2008). Principles of
Managerial Accounting, 9th Edition.
Ohio: Thomson South-Western.
Vito, P. A. (1969, July 2). The Essentials of
A Planning Programming Budgeting
System. California, Santa Monica,
United States of America.
Zunaidi, A. (2012). Metamorfosis
Penganggaran. Jakarta, DKI Jakarta,
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai