Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi dan
tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun yang parsial

Fractur kruris banyak diakibatkan oleh kecelakaan lalulintas, Fraktur kruris


merupakan istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi
didaerah proksimal, diafisis atau persendian pergelangan kaki. Fraktur
tibia adalah jenis fraktur pada tulang panjang yang sering terjadi.
Frekuensinya 26 kasus per 100.000 populasi pertahun. Isidennya pria 3
kali lebih banyak dari pada wanita. (Petrisor, 2010)
Persendian atau artikulasio adalah suatu hubungan antara dua buah tulang
atau lebih yang dihubungkan melalui pembungkus jaringan ikat pada bagian luar
dan pada bagian dalam terdapat rongga sendi dengan permukaan tulang yang
dilapisi oleh tulang rawan.

Fungsi dari sendi secara umum adalah untuk

melakukan gerakan pada tubuh. (Palmu, S et al., 2008).


Subluksasi adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan adanya deviasi
hubungan normal antara tulang rawan yang satu dengan tulang rawan lainnya
yang masih menyentuh berbagai bagian pasangannya. Jika kedua bagian ini sudah
tidak menyinggung satu dengan lainnya maka disebut sebagai dislokasi (Price &
Wilson, 2006). Dislokasi patela akut merupakan gangguan pada persendian atau
adanya pergeseran yang dapat menimbulkan gangguan fungsional. (Palmu, S et
al., 2008)
Insidensi dislokasi patela lebih sering terjadi pada wanita usia 10-17 tahun
dan meningkat terkait aktivitas fisik seperti pada wanita atlet, dan lebih jarang
terjadi pada usia diatas 30 tahun. Puncak insidensi dislokasi patella akut terjadi
pada usia sekitar 15 tahun. Dilaporkan insidensi pada populasi Helsinki adalah 43
per 100.000 pada mereka dengan usia dibawah 16 tahun (Palmu, S et al., 2008).
Dislokasi patella termasuk dalam kasus emergensi dalam bidang ortopedi. (Shetty
et al., 2009)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Regio Cruris
2.1.1 Tulang-Tulang Regio Cruris
Region Cruris atau tungkai bawah terletak diantara lutut dan
pergelangan kaki. Terdiri atas os. Tibia dan os. Fibula.
A. Tulang Tibia
Merupakan weight bearing bone yang berhubungan dengan kondilus
lateral femur di superior, talus di inferior dan fibula di lateral pada proximal
dan distal. Mempunyai foramen nutrisi yang terletak dibagian posterior di
1/3 proksimal. Bagian distal tibia lebih kecil dari pada bagian
proksimalnya. Maleolus medial terbentuk dari ujung distal dari tibia.
(Moore, 2007)
Pada bagian superior terdapat perluasan tulang yang membentuk
kondilus medial dan lateral keduanya membentuk struktur yang disebut
tibial plateau. Struktur ini akan berartikulasi dengan kondilus dari femur.
Terdapat eminensia interkondilare yang terbentuk dari tuberculum
interkondylare medial dan lateral. (Moore, 2007)
Tulang Tibia berbentuk segitiga sehingga memiliki margo anterior,
posteror dan lateral/interoseus. Pada ujung proksimal margo anterior
terdapat perluasan yang disebut tuberositas tibia yang merupakan tempat
melekatnya ligamentum Patellae. (Moore, 2007)
B. Tulang Fibula
Terletak diposteriolateral

dari

tibia.

Ujung

distal

dari

fibula

membentuk maleolus lateral. Antara tibia dan fibula dihubungkan oleh


membran interossea, Pada bagian superior terdapat kaput dan kolum
fibula. Bagian distal fibula membentuk malleolus lateral. (Moore, 2007)

Gambar 2.1 Os. Tibia dan fibula anterior dan posterior (Netters, 2006)

Gambar 2.2 Os. tibia dan fibula superior dan inferior (Netters, 2006)

2.1.2 Otot-otot regio Cruris


Regio cruris di bagi menjadi 3 kompartmen yaitu anterior, lateral dan
posterior.
Tabel 2.1 Otot-otot kompartmen anterior dan lateral (Moore, 2007)

Gambar 2.3 Otot-otot kompartmen anterior dan lateral (Moore, 2007)

Gambar 2.4 Otot-otot kompartmen posterior (Moore, 2007)

Tabel 2.2 Otot-otot kompartmen posterior (superfisial) (Moore, 2007)

Tabel 2.3 Otot-otot kompartmen posterior (profundus) (Moore, 2007)

Gambar 2.5 Kompartment cruris potongan melintang (Moore, 2007)


2.1.3 Vaskularisasi dan Innervasi regio Cruris
Arteri yang berhubungan dengan kompartmen anterior adalah arteri
tibialis anterior. Berasal dari arteri popliteal yang berada di kompartmen
posterior yang melintas lewat aperture membrana interossea cruris kearah
anterior. Pada bagian distal arteri tibialis anterior jalan membentuk
percabangan menjadi arteri. maleolaris anterior medialis dan lateralis yang
akan berjalan kearah dorsal dan berhubungan dengan arteri tibialis
posterior dan arteri fibularis sehingga membentuk anastomose di sekitar
pergelangan kaki (Darke, 2007)
Vena tibialis anterior merupakan kelanjutan dari vv. comitantes
yang berasal dari Arteri dorsalis pedis berjalan meninggalkan kompartmen
anterior melewati membrana interossea cruris akan bergabung dengan
vena tibialis posterior membentuk vena poplitea. (Darke, 2007)
Inervasi dari kompartmen anterior berasal dari Nervus fibularis
profundus. Menginervasi seluruh otot kompartment anterior dan berlanjut
kearah dorsal kaki dimana menginervasi otot digitorum brevis, otot-otot
dorsal interosseus 1, 2 dan kulit pada jari kaki 1 dan 2. (Darke, 2007)
Vaskularisasi kompartmen lateral berasal dari Arteri fibularis
berjalan dengan vena fibularis. Inervasi kompartmen lateral berasal dari
nervus fibularis superfisial yang berasal dari nervus fibullaris kommunis
menginervasi otot fibularis longus dan brevis. (Darke, 2007)
Kompartmen posterior vaskularisasinya berasal dari arteri tibialis
posterior dan cabang-cabangnya meliputi ramus circumfleksa dan arteri
fibularis. Aliran venanya berasal dari vena tibialis posterior yang berjalan
bersama dengan arteri tibialis posterior. Inervasi kompartmen posterior
berasal dari nervus tibialis yang menginervasi seluruh otot di kompartment
posterior. Nervus surealis menginevasi kulit-kulit di posteriolateral dan
lateral dari kaki dan kelingking. Nervus kalkaneus medialis meninervasi
kulit di medial telapak kaki dan tumit. (Darke, 2007)

Gambar 2.6 Vascularisasi Regio Cruris (Moore, 2007)

Gambar 2.7 Innervasi Regio Cruris (Moore, 2007)

2.2 Fraktur
2.2.1 Definisi
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial.7
2.2.2

Klasifikasi
1. Klasifikasi etiologi
Fraktur traumatik
Karena trauma yang yang terjadi secara tiba-tiba.
Fraktur patologis
Karena kelemahan tulang akibat keadaan patologis tulang.
Fraktur stress
Karena trauma yang terus memenerus pada suatu tempat
tertentu.
2. Klasifikasi klinis
Fraktur tertutup
Fraktur yang tidak ada hubungan dengan dunia luar.
Fraktur terbuka
Fraktur yang mempunyai hubungan dunia luar melalui luka
pada kulit dan jaringan lunak. Bisa dari dalam (from within) atau

dari luar (from without).


Fraktur dengan komplikasi
Fraktur dengan komplikasi misal infeksi tulang, malunion,
delayed union dan nonunion.

3. Klasifikasi radiologis
Lokasi
Diafisis
Metafisis
Intra artikular
Fraktur dengan dislokasi
Gambar 2.8 Fraktur Menurut Lokasi (Rasjad, 2007)
Konfigurasi
Tranfersal : garis patah tulang melintang sumbu tulang.
Oblik : garis patah tulang membentuk sudut pada sumbu
tulang.
Spiral : garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih.
Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
Komminutifa : fraktur lebih dari 2 fragmen fraktur dimana
garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.

10

Avulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau


traksi otot yang insersinya pada tulang.
Depresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kearah permukaan lain.
Impaksi : satu fragmen masuk ke fragmen yang lain.
Fraktur epifisis

Gambar 2.9 Fraktur Menurut Konfigurasi (Rasjad, 2007)


Ekstensi
Total/ komplit

11

Tidak total (crack)/ parsial


Torus
Garis rambut
Green stick

Gambar 2.10 Macam Macam Fraktur

Hubungan antar fragmen


Undisplaced (tidak bergeser)
Displaced (bergeser)
- Shifted Sideways menggeser ke samping tapi
-

dekat
Angulated membentuk sudut tertentu
Rotated memutar
Distracted saling menjauh karena ada interposisi
Overriding garis fraktur tumpang tindih
Impacted satu fragmen masuk ke fragmen yang
lain

12

Gambir 2.11 Fraktur Menurut Hubungan Antar Fragmen (Rasjad,


2007)
2.2.3 Prinsip pengobatan fraktur
1. Recognition : diagnosis dan penilaian fraktur :

Lokalisasi fraktur
Bentuk fraktur
Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.

2. Reduction : reduksi fraktur apabila perlu


Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang
dapat diterima.Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi anatomis
dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah
komplikasi seperti kekakuan, deformitas serta perubahan osteoarthritis
Posisi yang baik adalah :
Alignment yang sempurna
Aposisi yang sempurna
Fraktur yang tidak memerlukan reduksi :

Fraktur pada klavikula


Fraktur costae
Fraktur impaksi dari humerus
Angulasi < 5 0 pada tulang panjang anggota gerak bawah dengan
lengan atas dan angulasi sampai 10

pada humerus dapat

diterima.
Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50 %
Over-riding tidak melebihi 0,5 inchi pada fraktur femur
Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun lokasi frakturnya. Ada 3
cara reduksi yaitu. (Nayagam, 2010)
a. Close reduksi: Anestesi dan muscle relaxan. Menggunakan 3 manufer
yaitu (1) bagian distal ditarik ke garis tulang (2) sementara fragmenfragmen terlepas, fragmen direposisi dengan mengembalikan arah
kekuatan, asalkan ini dapat diperkirakan (3) Penjajaran disesuaikan
ke setiap bidang. efektif bila periosteum dan otot pada satu sisi fraktur
tetap utuh. Pengikatan jaringan lunak mencegah over reduksi dan
menstabilkan fraktur setelah direduksi.

13

Gambar 2.12 Close Reduction (Nayagam, 2010)


b. Traksi mekanis: beberapa fraktur (fracture femur) sulit di lakukan close
reduksi karena ototnya yang kuat.
c. Operasi terbuka: (1) bila reduksi gagal karena sulit kontrol fragmen
dan ada jaringan diantara fraktur(2) bila ada fragmen artikular yang
butuh posisi yang akurat (3) fraktur avulsi (4) bila terjadi cedera ikutan
misal cedera arteri (5) bila butuh pemasangan internal fiksasi.
3.

Retention

imobilisasi

fraktur

untuk

mencegah

pergeseran,

menurunkan nyeri dan memperantarai penyembuhan. Caranya


berupa:
a. Traksi: dipakaikan pada bagian distal fraktur dan untuk menarik
terus-menerus sepanjang aksis tulang. Efektif pada fraktur tulang
panjang. (1) traksi grafitasi (2) balance traksi (skin dan skeletal
traksi) diberi beban 4-5 kg (3) fixed traksi.
b. Cast splintage: banyak digunakkan. Terutama pada distal fraktur
dan fraktur pada anak. Cukup aman dan dapat imobilisasi fraktur
dengan

baik.

Kompliksi

pemakaian

terlalu

ketat

dapat

menyebabkan hambatan vascular, decubitus, perlukaan kulit dan


bila telalu longgar karena bengkak menghilang maka harus diganti.

14

Gambar 2. 13 Macam Traksi (Nayagam, 2010)

Gambar 2.14 Cast Splintage (Nayagam, 2010)


c. Fungsional bracing: banyak digunakkan pada fraktur femur dan tibia.
Karena tidak terlalu rigid maka digunakkan bila fraktur mulai union,
misal setelah 3-6 minggu setelah traksi atau splintage.

15

Gambar 2.15 Fungsional Bracing


d. Internal fiksasi: fragmen tulang difiksasi menggunakkan sekrup, pin,
plate, intramedullary nail, pita yang melingkar dan kombinasi teknik
tersebut. Keuntungannya mempu menahan fragmen dengan baik dan
tidak menimbulkan kekakuan sendi dan edema. Kerugian dapat
menimbulkan infeksi. Indiksasi fiksasi interna: (1) fraktur yang tidak
bisa di reduksi tanpa operasi (2) fraktur yang tidak sabil dan
kemungkinan akan bergeser setelah reduksi (3) fraktur collum femoris
(4) fraktur patologis (5) fraktur multiple.

16

Gambar 2.16 Internal Fiksasi (Nayagam, 2010)


e. Eksternal fiksasi: prinsipnya tulang difiksasi diatas dan dibawah fraktur
dengan pin, sekrup atau kawat yang kuat dan dihubungkan diluar
dengan balok yang kuat.

Indikasinya dalah (1) fraktur dengan

kerusakan jaringan yang parah (2) fraktur comminutifa dan unstable


(3) fraktur pelvis yang tidak dapat dikontrol dengan berbagai metode
(4) fraktur dengan kerusakan saraf dan pembuluh darah (5) infeksi
pada fraktur (6) fraktur non-union dimana terdapat fragmen yang mati
dan sklerotik. Kompliksai eksternal fiksasi adalah kerusakan jaringan
lunak dan infeksi disekitar jalur pin.

17

Gambar 2.17 Eksternal Fiksasi (Nayagam, 2010)


4. Rehabilitation :
Lebih tepatnya memulihkan fungsi, bukan saja pada bagian yang
mengalami cedera tetapi juga pada pasien secara keseluruhan. Tujuannya
adalah mengurangi edema, mempertahankan gerakan sendi, memulihkan
kekuatan otot, dan memandu pasien kembali ke aktifitas normal.
(Nayagam, 2010)

2.3 Fraktur Cruris


2.3.1 Definisi
Fraktur cruris merupakan istilah untuk patah tulang tibia dan fibula
yang biasanya terjadi di daerah proksimal, diafisis atau persendian
pergelangan kaki. Karena hanya ditutupi jaringan subkutan maka tibia
sering mengalami fraktur dan lebih sering terjadi open fracture dari pada
tulang panjang lain (Nayagam, 2010)
2.3.2 Patofisiologi
Fraktur terjadi akibat adanya trauma mekanik

baik high energy

maupun low energy. High energy injury misalnya kecelakaan lalu lintas,
jatuh dari ketinggan, dan pukulan langsung. Low energy injuri misalnya

18

cedera olahraga, terpelintir, jatuh saat berdiri dan kebanyakan disebabkan


karena keadaan patologi pada tulang. (Petrisor, 2010)
Tekanan memutar menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang
tulang di level yang berbeda. Tekanan menekuk mengasilkan tranversal
dan oblique fraktur dan biasanya pada level yang sama. Cedera tidak
langsung biasanya dengan kekuatan rendah akan menimbulkan fraktur
spiral atau oblique yang pecahannya mungkin bisa menembus kulit dari
dalam. Cedera langsung akan menembus dan merobek kulit diatas fraktur,
biasanya karena kecelakaan sepeda motor. (Nayagam, 2010)
Fraktur tibia biasanya terjadi pada .batas 1/3 tengah dengan 1/3
distal. Sedangkan fraktur fibula pada batas 1/3 tengah dan 1/3 proksimal.
Sehingga frakur tidak pada level yang sama. Fraktur tibia sering
menimbulkan fraktur terbuka karena pada bagian depan sedikit di tutupi
otot. (Rasjad, 2007)
2.3.3 Klasifikasi
Fraktur pada regio cruris dibagi menjadi 3 bagian besar, yaitu:
1. Tibial Plateau Fracture / Fraktur kondilus tibia
Berdasarkan klasifikasi Schatzker, fraktur ini dibagi menjadi 6 tipe,
yaitu:
a. Tipe I : Fraktur kondilus lateral secara vertikal
b. Tipe II : Fraktur kondilus lateral secara vertikal dengan depresi
c.
d.
e.
f.

pada kondilus
Tipe III : Depresi pada permukaan artikular dengan kondilus intak
Tipe IV : Fraktur kondilus tibia medial
Tipe V: Fraktur kondilus medial dan lateral
Tipe VI : Kombinasi fraktur kondilar dan subkondilar

19

Gambar 2.18 Klasifikasi Schatzker


2. Fraktur tibia-fibula
Tabel 2.4 Tscrhernes Clasification (Petrisor, 2010)

Tabel 2.5 Open fracture Gustilos Clasification (Nayagam, 2010)

20

Gambar 2.19 Closed fracture Tscrhernes Clasification (Petrisor, 2010)


Tabel 2.6 Orthopaedic Trauma Association (OTA) AO Classification of
Tibial Diaphyseal Fractures (Petrisor, 2010)
Type A: Unifocal fractures
Group A1
Spiral fractures
Subgroups A1.1Intact fibula
A1.2Tibia and fibula fractures at different level
A1.3Tibia and fibula fractures at same level
Group A2
Oblique fractures (fracture line >30 degrees)
Subgroups A2.1Intact fibula
A2.2Tibia and fibula fractures at different level
A2.3Tibia and fibula fractures at same level
Group A3
Transverse fractures (fracture line <30 degrees)
Subgroups A3.1Intact fibula
A3.2Tibia and fibula fractures at different level
A3.3Tibia and fibula fractures at same level
Type B: Wedge fractures
Group B1
Intact spiral wedge fractures
21

Subgroups B1.1Intact fibula


B1.2Tibia and fibula fractures at different level
B1.3Tibia and fibula fractures at same level
Group B2
Intact bending wedge fractures
Subgroups B2.1Intact fibula
B2.2Tibia and fibula fractures at different level
B2.3Tibia and fibula fractures at same level
Group B3
Comminuted wedge fractures
Subgroups B3.1Intact fibula
B3.2Tibia and fibula fractures at different level
B3.3Tibia and fibula fractures at same level
Type C: Complex fractures (multifragmentary, segmental,

or

comminuted fractures)
Group C1
Spiral wedge fractures
Subgroups C1.1Two intermediate fragments
C1.2Three intermediate fragments
C1.3More than three intermediate fragments
Group C2
Segmental fractures
Subgroups C2.1One segmental fragment
C2.2Segmental fragment and additional wedge fragment
C2.3Two segmental fragments
Group C3
Comminuted fractures
Subgroups C3.1Two or three intermediate fragments
C3.2Limited comminution (<4 cm)
C3.3Extensive comminution (>4 cm)
Gambar 2.20 Orthopaedic Trauma Association (OTA) AO Classification
of Tibial Diaphyseal Fractures (Petrisor, 2010)

22

3. Tibial Pilon (Plafond) Fracture


Berdasarkan klasifisikasi Ruedi-Allgower, fraktur pilon dibagi menjadi
3 tipe yaitu:
Tipe I : Tidak ada keterlibatan artkuler signifikan, fraktur tanpa
pergeseran dari fragment tulang
Tipe II: Ada keterlibatan artikuler dengan impaksi minimal atau
kominutif
Tipe III : Kominutif artikuler signifikan dengan impaksi metafiseal.

23

Gambar 2.21 Klasifikasi Ruedi-Allgower

2.3.4 Gambaran klinis


A. Anamnesa

24

Penderita datang dengan suatu trauma, dengan diikuti ketidak


mampuan

menggerakkan

anggota

gerak,

deformitas,

kelainan

pergerakan, krepitasi. Trauma bisa terjadi karena kecelakaan lalulintas,


jatuh, tertimpa benda berat, dan trauma olahraga. 7 Perlu ditanyakan juga
mekanisme cedera, waktu terjadinya cedera, gejala yang timbul setelah
cedera. (Petrisor, 2010)
B. Pemeriksaan fisik
Look: bandingkan dengan bagian yang sehat, perhatikan adanya
deformitas berupa angulasi, rotasi, pemendekan. Perhatikan adanya
edema, hematoma, warna kulit bagian distal. Perhatikan adanya luka
terbuka pada kulit dan jaringan lunak untuk bedakan fraktur terbuka atau
tertutup (Rasjad, 2007)
Feel: pada pelpasi akan ditemukan adanya nyeri tekan, temperatur
setempat

yang

meningkat,

krepitasi,

pemerikasaan

AVN

distal.

Pemeriksaan arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior dan pengisian


kapiler. Pengukuran panjang tungkai untuk mengetahui adanya perbedaan
panjang. (Rasjad, 2007)
Move: ketidakmampuan penderita untuk menggerakkan secara aktif
dan pasif dari sendi distal dan proksimal daerah yang mengalami fraktur,
terdapat pergerakan yang tidak sesuai dengan sendinya dan keterbatasan
pergerakan karena nyeri. (Rasjad, 2007)
C. Gambaran radiologis
Gambaran radiologi harus memenuhi persyaratan foto. Secara
radiologis dapat ditentukan lokasi fraktur, jenis fraktur, apakah fraktur tibia
dan fibula saja dan apakah bersifat segmental. Pada foto harus terlihat
seluruh panjang tibia, fibula termasuk sendi lutut dan sendi ankle. Fraktur
spiral biasanya terjadi pada 1/3 bawah tibia. Kadang bisa didapatkan
fragmen kupu-kupu yang terpisah berbentuk segitiga. (Nayagam, 2010)

2.3.5 Management
Tujuan utama adalah:
1. Membatasi kerusakan jaringan dan mempertahankan penutup kulit

25

2. Mengetahui dan mencegah kompartmen syndrome


3. Memperoleh penjajaran (aligment) fraktur
4. Memulai pembebanan dini
5. Memulai gerakan sendi secepat mungkin (Nayagam, 2010)
A. Konservatif
Berupa reduksi fraktur dengan manipulasi tertutup dengan
pembiusan umum. Pemasangan gips sirkuler diatas lulut untuk
imobilisasi. Untuk dapat dilakukan close reduksi syarat posisi harus
acceptable yaitu:
Tidak ada rotasi.
Angulasi 5 0 .
Terdapat kontak 50 %
Bila syarat acceptable tidak ada, maka dilakukan reposisi melalui
operasi. Konserfatif meliputi close reduksi, cast bracing, cast
imobilisasi dan traksi. (Rasjad, 2007)
B. Operatif
Indikasi operatif berupa:
Fraktur terbuka
Gagal dengan terapi konserfatif
Posisi tidak acceptable (Fraktur tidak stabil meliputi fraktur

segmental, oblique, fragmented)


Adanya non-union

Metode terapi konserfatif adalah:


Pemasangan plate dan screw
Intramedullary nail
Pemasangan screw semata
Pemasangan eksternal fiksasi (Rasjad, 2007)
Management Tibial Plateau Fracture / Fraktur kondilus tibia
Pada fraktur tipe I
Jika bersifat tidak bergeser dapat diterapi secara konservatif.
Haemaarthrosis dapat diaspirasi dan plester dikompresi dipasang.
Pada fraktur yang bergeser harus diterapi dengan reduksi terbuka
dan fiksasi internal. Permukaan kondilus yang terdapat fragmen
dikeluarkan.

Pada fraktur tipe II

26

Jika depresi bersifat ringan (kurang dari 5 mm) dan lutut stabil,
atau pasien tua dan lemah atau mengalami osteoporosis, fraktur
diterapi secara tertutup dengan tujuan mengembalikan mobilitas
dan fungsi. Setelah aspirasi dan plaster kompresi dipasang,
dilakukan traksi skeletal melalui pin yang dipasang melalui tibia 7
cm dibawah fraktur.
Pada pasien muda, dan dengan depresi lebih dari 5 mm, lebih
dipilih untuk dilakukan reduksi terbuka dengan mengelevasi plateau
dan fiksasi internal.

Pada fraktur tipe III


Prinsip terapi hampir sama dengan fraktur tipe II. Fragment yang
terdepresi mungkin dapat dinaikkan hingga mencapai metafisis.
Fragment yang dielevasi dapat dibantu dengan bone grafts.

Pada fraktur tipe IV


Biasanya terjadi pada orang berusia muda dan disebabkan oleh
trauma berat. Fraktur biasanya lebih komplek daripada yang
terlihat. Biasanya terdapat kerusakan ligamen pada sisi lateral. Jika
persendian masih tidak stabil setelah fiksasi fraktur, struktur yang
mengalami robek pada sisi lateral harus diperbaiki.

Pada tipe fraktur V dan VI


Ini merupakan trauma yang parah yang memiliki resiko terjadinya
sindrom kompartment. Terapi untuk fraktur tipe ini adalah fiksasi
internal segera, traksi dengan fiksasi internal yang ditunda atau
fiksasi eksternal
Manajemen Fraktur tibia-fibula
A. Fraktur Tertutup:
Sebagian fraktur dengan sedikit kerusakan jaringan lunak dapat
diterapi dengan mengunakkan non operatif. Kalau fraktur tidak
bergeser atau sedikit bergeser, gips panjang dari paha atas sampai
leher metatarsal dipasang dengan posisi lutut sedikit fleksi dan
pergelangan kaki pada posisi siku-siku. Kalau fraktur bergeser dapat
di reduksi di bawah anestesi umum dan pengawasan sinar X. posisi
di cek dengan menggunakkan foto sinar X , pada tingkat angulasi
27

yang kecil masih dapat di koreksi dengan membuat potongan


melintang pada gibs dan penekananya kedalam posisi yang lebih
baik. Tungkai ditinggikan dan pasien diobservasi selama 48-72 jam.
Jika ada pembengkakan gips di belah. (Nayagam, 2010)
Ada beberapa cara pemasangan gips yaitu:
a. Cara long leg plaster: gips dipasang mulai dari pangkal jari kaki
sampai proksimal femur dengan sendi talocrurar dalam posisi
netral, sedangkan posisi lutut dalam keadaan fleksi 15 derajat.
Syaratnya tidak ada rotasi yaitu sias-tuberosits tibia- jari 1 dan 2
dalam 1 garis.
b. Cara sarmiento: pemasangan gips mulai dari jari kaki sampai di
atas sendi talokrural dengan molding sekitar maleolus. Setelah
kering segera lanjutkan keatas sampai 1 inchi dibawah
tuberositas tibia. Dengan molding pada permukaan anterior tibia.
Gibs dilanjutkan sampai ujung proksimal patella. Hanya di
peruntukkan untuk fraktur cruris 1/3 distal dan ankle fracture
Setelah 2 minggu posisi di cek dengan sinar X. gips di
pertahankan hingga fraktur menyatu. Dimana anak-anak butuh waktu
8 minggu dan orang dewasa butuh waktu 16 minggu.

Gambar 2.22 Pemasangan Gips (Nayagam, 2010)


Latihan sejak awal dibutuhkan agar pasien bisa melatih otot kaki,
pergelangan kaki dan lutut. Bila gips di lepas dan di pasang perban elastic

28

maka pasien pasien diberitahu bahwa dia dapa meninggikannya atau


berlatih berjalan. (Nayagam, 2010)
Penyangga fungsional dapat di pakai untuk mengganti gips. Pada
fraktur yang tranfersal setelah 3-4 minggu gips panjang dapat di ganti
dengan gips penyangga funsional di bawah lutut untuk menahan tibia
bagian atas dan tendon patella. Cara ini membebaskan lutut untuk
mamungkinkan menahan beban penuh. (Nayagam, 2010)
Skeletal fiksasi dilakukan bila sinar X menunjukkan alligment fraktur
tidak memuaskan dan pembuatan baji gagal mengoreksinya, gips dilepas
dan fraktur di reduksi dan di fiksasi. Fraktur dengan kontusio jaringan
lunak, cedera pembuluh darah yang hebat dan fraktur kominutif yang
berat lebih baik di terapi dengan skeletal fiksasi sejak permulaan.
(Nayagam, 2010)
Close intramedullary nailing merupakan metode untuk fiksasi
internal. Lebih baik untuk fraktur melintang. Post operative partial weight
bearing dapat di mulai segera. Metode ini cocok untuk fraktur pada ujung
tulang.

Gambar 2.23 Intramedullary Nailing (Nayagam, 2010)


Plat fiksasi baik digunakkan pada frakur metafisis yang tidak cocok
di pasangi pen. Sering di gunakkan pada fraktur shaft tibia pada anakanak. Pada plat fiksasi ini resiko infeksi lebih besar karena mengekspose
29

daerah fraktur. Full weight bearing dapat dilakukan dalam waktu 6-8
minggu. (Rasjad, 2007)
Fiksasi eksternal adalah metode pilihan untuk fraktur yang tidak
stabil, fraktur oblique panjang, atau spiral dan fraktur kominutif yang
-

hebat. Indikasi pemasangan eksternal fiksasi pada fraktur tibia adalah:


Fraktur tibia tebuka grade 2 dan 3 terutama bila didapati kerusakan

jaringan hebat dan hilangnya fragmen tulang


Pseudoartrosis yang mengalami infeksi

Gambar 2.24 External Fiksasi (Nayagam, 2010)


Penanganan pasca operasi dilakukan setelah dilakukan tindakan
pemasangan paku pada fraktur oblique pendek atau melintang. Setelah
pemasangan plat pembebanan sebagian hanya diperbolehkan dalam
wakti 6-8 minggu. Seelah itu pembebanan penuh dilakukan bila gips
pelindung digunakkan.
Setalah fiksasi luar hanya pembebanan sebagian saja yang
diperbilehkan hingga tanda timbulnya kalus pada sinar X. kemudian
dilakuakn pembebanan secara meningkat. Setelah 6-8 minggu alat ini
dilepas dan dipasang gips atau brace penahan tendon patella dan dipakai
sehingga fraktur berkonsolidasi. Bila tidak ada tanda penyembuhan
sebaiknya gips di lepas dan diganti dengan fiksasi internal dengan
pencakokan tulang.

30

B. Fraktur terbuka
Penanganan fraktur terbuka meliputi:
1. Antibiotika
2. Debridemen
3. Stabilisasi
4. Penutupan
5. Rehabilitasi
Antibiotic dimulai dengan segera,. Bisa diberikan cephalosporin
generasi 2 dan bisa di tambah antibiotik gram negatif dan anaerob
(gentamicin dan metronidazole) .dilakukan debrideman pada luka dan luka
dibersihkan secara keseluhan. Cedera setingkat Gustillo 1 dapat di tutup
dengan baik dan kemudian di terapi sebagai cedera tertutup. Luka yang
lebih berat dibiarkan terbuka dan diperiksa setelah 3 hari. Kalau perlu
dilakukan debridement. (Nayagam, 2010)
Fraktur distabilkan, tebaik adalah dengan memasang eksternal
fiksasi. Segera setelah ada kepastian bahwa luka tersebut bersih dan
bergranulasi maka luka di tutup dengan penjahitan langsung atau dengan
pencangkokan kulit. (Nayagam, 2010)
Eksternal fiksasi dipertahankan sampai fraktur itu bergabung dan
dapat dig anti dengan gips. Pembebanan segera dapat di lakukan dan
gips boleh di lepas setelah fraktur menyatu. (Nayagam, 2010)
Management Tibial Pilon (Plafond) Fracture
Terapi bergantung pada kondisi jaringan lunak. Terapi terbuka ada
fraktur fibula, dikombinasikan oleh fiksasi eksternal sementara, dapat
mempertahankan panjang dan membantu proses penyembuhan jaringan
lunak dari trauma awal. (Rasjad,2007)
2.3.6 Komplikasi
A. Komplikasi dini:
1. Cedera vaskular
Fraktur 1/3 proksimal tibia dapat merusak arteri poplitea. Keadaan
ini merupakan kedaruratan tingkat pertama, memerlukan eksplorasi dan
perbaikan. (Nayagam, 2010)

31

Gambar 2.25 Vascular Injury 5


2. Kompartmen syndrome
Fraktur tibia baik fraktur terbuka maupun fraktur tertutup sering
menyebabkan kompartmen sindrom pada tungkai bawah. Kombinasi
dari edema jaringan dan perdarahan menyebabkan pembengkakan otot
pada kompartmen dan mendasari adanya ischemic. Gejalanya meliputi
meningkatnya rasa nyeri, mati rasa, pucat, gangguan kekuatan otot dan
nadi tidak dapat diraba lagi. Diagnosis dapat dipastikan dengan
pengukuran tekanan kompartmen. (Nayagam, 2010)

Gambar 2.26 Mekanisme Compartmen Syndrome (Nayagam,


2010)

32

Gambar 2.27 Kompartmen Syndrome (Nayagam, 2010)


Setalah diagnosis ditegakkan lepas semua bebat dan gips dengan cara
dibelah kemudian dilakukan elevasi dan ekstensi dan fleksi jari-jari.
Tunggu 15 menit apabila tanda masih ada maka ukur tekanan intra
kompartment. Bila tekanan > 30 mmHg maka selanjutnya dilakukan
decompresi dengan cara faciotomi. Yang paling aman adalah dilakukan

33

insisi anterolateral dan posteromedial. Aneterolateral insisi dilakukan 2-3


cm di lateral crista tibia dari setinggi tuberositas tibia sampai sedikit di atas
pergelangan kaki. Insisi di daerah anterior dan lateral bertujuan untuk
menghindari kerusakan dari NERVUS fibulris. Irisan yang kedua dibuat
dari irisan di posteromedial.

Gambar 2.28 Lokasi Insisi Untuk Dekompresi (Nayagam, 2010)


3. Infeksi (ostheomyelitis)
Fraktur terbuka selalu menghadapi resiko, perforasi yang kecil
sekalipun harus diterapi dengan seksama dan debrideman harus
dilakukan sebelum luka di tutup. (Nayagam, 2010)
B. Komplikasi lanjut
1. Mal union
Pemendekan sedikit ( 1,5 cm) tidak membawa akibat, tetapi
rotasi dan angulasi menimbulkan cacat karena lutut dan pergelangan
kaki tidal lagi bergerak di bidang yang sama. Dalam jangka panjanh
dedormitas dapat menyebabkan predisposisi OA lutut dan pergelangan
kaki.
Angulasi harus dicegah pada semua stadium. Angulasi > 7
derajat pada bidang manapun tidak dapat diterima.angulasi ke

34

belakang sering terjadi dan disertai dengan pergelangan kaki ekuinus


yang

kaku.

Akan

berbahaya

bila

pasien

mencoba

memaksa

mengangkat kaki bila berjalan.


2. Delayed union
Penyatuan akan lambat terjadi jika fraktur terbuka (terutama bila
disertai infeksi), pergeseran awal banyak, jila mengalami fraktur di dua
tempat dan fraktur yang bersifat kominutif. Penyatuan dapat di percepat
dengan pembebanan tapi bila terlalu lama pencangkokan tulang dan
fiksasi interna dapat di indikasikan.
3. Non union
Dapat terjadi setelah terjadi hilangnya fragmen tulang atau akibat
infeksi. Apabila non union terjadi maka pasien haris memakai bebat
permanen atau harus di operasi.non union hipertrofik dapat di terapi
dengan pemasangan paku intramedulla atau pemasangan plat
kompresi. Selain itu memerlukan juga pencangkokan tukang.
4. Kekakuan sendi
Sering

diakibatkan

oleh

omobilisasi

jangka

panjang.

Keterbatasan pergerakan kaki dan telapak kaki dapat menetap 6-12


bulan setelah gips di lepas. Keadaan ini dapat di cegah dengan
penggantian fungsional brace setelah 4-6 minggu.
5. Osteoporosis
Osteoporosis fragmen distal sering terjadi.pembebanan aksial
pada tibia harus dilakukan secepat mungkin. Setelah fiksasi luar yang
lama perawatan khusus harus dilakukan untuk mencegah stress fraktur.
6. Oligodistrofi/ suddeck atrofi
Pada fraktur 1/3 distal,oligo distrofi sering terjadi. Dan harus
sering dilakukan pelatihan sepanjang terapi.

35

Gambar 2.29 Hypertrophic non-union, Atrophic non-union, Malunion


(Nayagam, 2010)
Komplikasi open fraktur :
-

Perdarahan
Infeksi (osteomyelitis)
Fat emboli
Komplikasi close fraktur :

Kompartmen syndrome (Nayagam, 2010)

2.4 CEDERA PADA ARTICULATIO GENUS (SENDI LUTUT)


2.4.1 ANATOMI ARTICULATIO GENUS
Persendian adalah suatu hubungan antara dua buah tulang atau
lebih yang dihubungkan melalui jaringan ikat pada bagian luar dan pada
bagian

dalam.

permukaan

Pada

tulang

articulatio

terdapat

rongga

sendi

dengan

yang dilapisi oleh tulang rawan. Sendi lutut

merupakan sendi di extremitas inferior yang menghubungkan tungkai


atas (paha/ femur) dengan tungkai bawah (tibia). Fungsi dari sendi ini
adalah untuk melakukan gerakan flexi, extensi dan sedikit rotasi pada
tugkai bawah. Untuk melakukan fungsi gerak ini diperlukan antara lain:
a. Otot-otot penggerak sendi
b. kapsul sendi yang berfungsi untuk melindungi bagian
36

tulang yang bersendi supaya jangan lepas bila bergerak


c. Adanya

permukaan

tulang

yang

dengan

bentuk

tertentu yang mengatur luasnya gerakan.


d. Adanya cairan dalam rongga sendi yang berfungsi
untuk

mengurangi

gesekan

antara

tulang

pada

permukaan sendi.
e. Ligamentum-ligamentum yang ada di sekitar sendi
lutut yang merupakan penghubung kedua buah tulang
(femur

dan tibia)

yang

bersendi sehingga sendi

menjadi kuat untuk melakukan gerakan.

Sendi lutut merupakan persendian yang paling besar pada tubuh


manusia. Pada dasarnya sendi lutut ini terdiri dari dua articulatio
condylaris diantara condylus femoris medialis dan lateralis dan condylus
tibiae yang terkait dan sebuah sendi pelana , diantara patella dan fascies
patellaris femoris.
Secara umum sendi lutut termasuk kedalam golongan sendi engsel,
bagian sendi yang kompleks yaitu :
1. Condyloid articulatio diantara dua femoral condylus dan meniscus dan
berhubungan dengan condylus tibiae
2. Satu articulatio jenis partial arthrodial diantara permukaan dorsal dari
patella dan femur.

Gambar 2.30 Sendi Engsel Lutut


37

Pada bagian atas sendi lutut terdapat condylus femoris yang


berbentuk bulat, pada bagian bawah terdapat condylus tibiae dan cartilago
semilunaris. Pada bagian bawah terdapat articulatio antara ujung bawah
femur dengan patella. Fascies articularis femoris, tibiae dan patella diliputi
oleh cartilago hyaline. Fascies articularis condylus medialis dan lateralis
tibiae di klinik sering disebut sebagai plateau tibialis medialis dan
lateralis.

5,6,7

Patella

yang merupakan jenis tulang sesamoid terletak pada

segmen inferior dari tendo m. quadriceps femoris pada permukaan


ateroinferior. Pinggir atas, lateral dan

medial

merupakan tempat

perlekatan berbagai bagian m.quadriceps femoris. Patella dicegah


bergeser ke lateral selama kontraksi m. quadriceps femoris oleh
serabut-serabut horizontal bawah m. vastul medialis dan oleh besarnya
ukuran condylus lateralis femoris.

2.4.1.1

5,6

Morfologi Articulatio Genus (Sendi Lutut)


Sendi

lutut merupakan persendian yang paling besar pada tubuh

manusia. Sendi ini terletak pada ekstremitas inferior yaitu antara


tungkai atas dan tungkai bawah. Pada dasarnya sendi lutut ini terdiri
dari dua articulatio condylaris diantara condylus femoris medialis dan
lateralis dan condylus tibiae yang terkait dan sebuah sendi pelana,
5,6,10
diantara patella dan facies patellaris femoris.
Tulang- tulang pembentuk articulatio genus adalah:
a.

Os. Femur

b.

Os. Tibia

c.

Os. Patella
Otot otot yang mempunyai fungsi pada sendi lutut:

38

1. Flexi - flexor
M. biceps femoris, m. semitendinosus, m. semimembranosus, dibantu
oleh m. gracilis, m. sartorius, dan m. popliteus. flexi dibatasi oleh
kontak bagian belakang tungkai bawah dengan tungkai atas.
2. Extensi - extensor
M. quadriceps femoris. Extensi dihambat oleh tegangnya seluruh
ligamentum-ligamentum utama sendi.
3. Rotasi Medial
M. sartorius, m. gracilis dan m. semitendinosus
4. Rotasi Lateral
M. biceps femoris
Stabilitas sendi lutut tergantung pada tonus otot-otot kuat yang
bekerja pada sendi dan kekuatan ligamentum-ligamentum. Dari faktor
ini tonus otot adalah yang terpenting dan menjadi tugas ahli fisioterapi
untuk mengembalikan kekuatan otot ini, terutama M. quadriceps femoris
setelah terjadi cedera sendi lutut.

Gambar 2.31 Anatomi Sendi Lutut

2.4.1.2 Ligamentum Pada Sendi Lutut


Ligamentum Extracapsularis
1 Ligamentum Patellae

39

Ligamentum patella (diatas) melekat pada pinggir bawah patella dan


dibawah pada tuberositas tibiae. Sebenarnya ligamentum ini merupakan
5,6
lanjutan dari bagian utama tendo bersama m. quadriceps femoris.
2 Ligamentum Collaterale Laterale (Collaterale Fibulae)
Berbentuk seperti tali dan melekat di atas pada condylus lateralis
femoris dan dibawah pada caput fibulae tendo m. popliteus berjalan
diantara ligamentum dan meniscus lateralis.

10

3 Ligamentum Collaterale Mediale (Collaterale Tibiae)


Ligamentum ini berbentuk seperti pita pipih yang melebar dan melekat
dibagian atas pada condylus medialis femoris dan pada bagian bawah
melekat pada margo infraglenoidalis tibiae. Ligamentum ini menembus
dinding kapsul sendi dan sebagian melekat pada meniscus medialis. Di
bagian bawah pada margo infraglenoidalis, ligamentum ini menutupi
tendon m. semimembranosus dan a. inferior medialis genus.

5,6

4 Ligamentum Popliteum Obliquum


Merupakan ligamentum yang kuat, terletak pada bagian posterior dari
sendi lutut, letaknya membentang secara oblique ke medial dan bawah.
Sebagian dari ligamentum ini berjalan menurun pada dinding kapsul dan
fascia m. popliteus dan sebagian lagi membelok ke atas menutupi tendo
m. semimembranosus.

5,6

5 Ligamentum Transversum Genus


Ligamentum

ini

terletak membentang

paling

depan

pada

dua

meniscus, terdiri dari jaringan conective, kadang- kadang ligamentum


ini tertinggal dalam perkembangannya, sehingga sering tidak dijumpai
pada sebagian orang.

5,6

Ligamentum Intra Capsular

40

Ligamentum cruciata adalah dua ligamentum intra capsular yang


sangat kuat, saling menyilang didalam rongga sendi. Ligamentum ini
terdiri dari dua bagian yaitu posterior dan anterior sesuai dengan
perlekatannya pada tibiae. Ligamentum ini penting karena merupakan
5,6
pengikat utama antara femur dan tibiae.
1 Ligamentum Cruciatum Anterior
Ligamentum ini melekat pada area intercondylaris anterior tibiae dan
berjalan kearah atas, kebelakang dan lateral untuk melekat pada
bagian

posterior

Ligamentum

ini

permukaan
akan

medial

mengendur

condylus

bila

lutut

lateralis
ditekuk

femoris.
dan

akan

menegang bila lutut diluruskan sempurna. Ligamentum cruciatum


anterior berfungsi untuk mencegah femur

bergeser ke posterior

terhadap

dalam

tibiae.

Bila

sendi

lutut

berada

keadaan flexi,

ligamentum cruciatum anterior akan mencegah tibiae tertarik

ke

5
posterior.
2 Ligamentum Cruciatum Posterior
Ligamentum cruciatum posterior melekat pada area intercondylaris
posterior tibiae dan berjalan kearah atas, depan dan medial, untuk
dilekatkan pada bagian anterior permukaan lateral condylus medialis
femoris. Serat-serat anterior akan mengendur bila lutut sedang extensi,
namun akan menjadi tegang bila sendi lutut dalam keadaan flexi.
Serat-serat posterior akan menjadi tegang dalam keadaan extensi.
Ligamentum cruciatum posterior berfungsi untuk mencegah femur ke
anterior

terhadap tibiae.

Bila sendi

lutut

dalam

keadaan

flexi,

ligamentum cruciatum posterior akan mencegah tibiae tertarik ke


5
posterior.

41

Gambar 2.32 Ligamen Sendi Lutut

2.4.1.2

Cartilago Semilunaris (Meniscus)


Cartilago semilunaris adalah lamella fibrocartilago berbentuk C, yang
pada potongan melintang berbentuk segitiga. Batas perifernya tebal dan
cembung,

melekat

membentuk

tepian

pada

bursa.

bebas.

Batas

Permukaan

dalamnya

cekung

dan

atasnya

cekung

dan

berhubungan langsung dengan condylus femoris.

5,10

Fungsi meniscus ini adalah memperdalam fascies articularis condylus


tibialis untuk menerima condylus femoris yang cekung.
1 Cartilago Semilunaris Medialis
Bentuknya hampir semi sirkular dan bagian belakang jauh lebih lebar
daripada

bagian

depannya.

Cornu

anterior

melekat

pada

intercondylaris anterior tibiae dan berhubungan dengan

area

cartilago

semilunaris lateralis melalui beberapa serat yang disebut ligamentum

42

transversum.

Cornu posterior

melekat

pada

area

intercondylaris

posterior tibiae. Batas bagian perifernya melekat pada simpai dan


ligamentum collaterale sendi. Dan karena perlekatan inilah cartilago
semilunaris relatif tetap.
2 Cartilago Semilunaris Lateralis
Bentuknya

hampir sirkular dan melebar secara merata. Cornu anterior

melekat pada area intercondylaris anterior, tepat di depan eminentia


intercondylaris. Cornu

posterior melekat pada area intercondylaris

posterior, tepat di belakang eminentia intercondylaris. Seberkas jaringan


fibrosa biasanya keluar dari cornu posterior dan mengikuti ligamentum
cruciatum posterior

ke

condylus medialis femoris. Batas

perifer

cartilago dipisahkan dari ligamentum collaterale laterale oleh tendo


m.popliteus, sebagian kecil dari tendo melekat pada cartilago ini. Akibat
susunan

yang

terfiksasi

pada

demikian

ini

tempatnya

cartilago
bila

semilunaris lateralis kurang

dibandingkan

5,8
semilunaris medialis.

Gambar 2.33 Meniscus Sendi Lutut

43

dengan

cartilago

2.4.1.3

Capsula Articularis
Capsula articularis terletak pada permukaan posterior dari tendo m.
quadriceps femoris dan didepan menutupi patella menuju permukan
anterior dari femur diatas tuberositas articularis. Kemudian capsula ini
berlanjut sebagai loose membran yang dipisahkan oleh jaringan lemak
yang tebal dari ligamentum patellae dan dari bagian tengah dari
retinacula patellae menuju bagian atas tepi dari dua meniscus dan ke
bawah

melekat pada

ligamentum

cruciatum

anterior. Selanjutnya

capsula articularis ini menutupi kedua ligamentun cruciatum pada sendi


lutut sebagai suatu lembaran dan melintasi tepi posterior ligamentum
cruciatum posterior. Dari tepi medial dan lateral dari fascies articularis
membentuk dua tonjolan, lipatan synovial, plica alares yang terkumpul
pada bagian bawah. Kesemuanya hal ini membentuk suatu synovial
villi.

Plica synovialis patellaris, membentang pada bagian belakang yang


mengarah pada bidang sagital menuju cavum sendi dan melekat pada
bagian paling bawah dari tepi fossa intercondyloidea femoris. Plica ini
merupakan lipatan sagital yang lebar pada membran synovialis.
Lipatan

ini membagi cavum sendi menjadi dua bagian, berhubungan

dengan dua pasang condylus femoris dan tibiae. Lipatan kapsul sendi
pada bagian samping berjalan dekat pinggir tulang rawan. Sehingga
regio epicondylus tetap bebas. Kapsul sendi kemudian menutupi
permukaan cartilago, dan bagian permukaan anterior dari femur tidak
ditutupi oleh cartilago. Pada tibia kapsul sendi ini melekat mengelilingi
margo

infraglenoidalis, sedikit

bagian

bawah

dari permukaan

cartilago, selanjutnya berjalan kebawah tepi dari masing- masing


meniscus.

2.4.1.4

5,6

Bursa Pada Sendi Lutut

44

Bursa sendi merupakan suatu tube seperti kantong yang terletak


di bagian bawah dan belakang pada sisi lateral didepan dan bawah
tendo origo m. popliteus. Bursa ini membuka kearah sendi melalui
celah yang sempit diatas meniscus lateralis dan tendo m. popliteus.
Banyak bursa berhubungan sendi lutut. Empat terdapat di depan, dan
enam terdapat di belakang sendi. Bursa ini terdapat pada tempat
terjadinya gesekan di antara tulang dengan kulit, otot, atau tendo.
a. Bursa Anterior
1 Bursa Supra Patellaris
Terletak di bawah m. quadriceps femoris dan berhubungan erat
dengan rongga sendi.
2 Bursa Prepatellaris
Terletak pada jaringan subcutan diantara kulit dan bagian depan
belahan bawah patella dan bagian atas ligamentum patellae.
3 Bursa Infrapatellaris Superficialis
Terletak pada jaringan subcutan diantara kulit dan bagian depan
belahan bawah ligamentum patellae
4 Bursa Infrapatellaris Profunda
Terletak di antara permukaan posterior dari ligamentum patellae
dan permukaan anterior tibiae. Bursa ini terpisah dari cavum sendi
melalui jaringan lemak dan hubungan antara keduanya ini jarang
terjadi.
b. Bursa Posterior
1. Recessus Subpopliteus
Ditemukansehubungan dengan

tendo m.

popliteus dan

berhubungan dengan rongga sendi.


2. Bursa M. Semimembranosus
Ditemukan sehubungan dengan insertio m. semimembranosus dan
sering berhubungan dengan rongga sendi.
Empat bursa lainnya ditemukan sehubungan dengan:

45

1 tendo insertio m. biceps femoris


2 tendo m. sartorius, m. gracilis dan m.
semitendinosus sewaktu berjalan ke insertionya
pada tibia.
3 di bawah caput lateral origo m. gastrocnemius
4 di bawah caput medial origo m. gastrocnemius

Gambar 2.34 Bursa Sendi Lutut

2.4.1.5

Persarafan Sendi Lutut


Persarafan

pada sendi lutut adalah melalui cabang-cabang dari

nervus yang mensarafi otot-otot di sekitar sendi lutut. Sehingga sendi


5,6
lutut disarafi oleh:

a. N. Femoralis
b. N. Obturatorius
c. N. Peroneus communis
d. N. Tibialis

2.4.1.6

Suplai Darah

46

Suplai darah pada sendi lutut berasal dari anastomose pembuluh


darah disekitar sendi ini. Sendi lutut menerima darah dari descending
genicular arteri femoralis, cabang-cabang genicular arteri popliteal dan
cabang descending arteri circumflexia femoralis dan cabang ascending
arteri

tibialis

anterior.

Aliran

vena

pada

sendi

lutut

mengikuti

perjalanan arteri untuk kemudian akan memasuki vena femoralis.

Gambar 2.35 Persarafan Sendi Lutut


2.4.1.7 Sistem Lympha
Sistem

limfe

pada

sendi

lutut

terutama

terdapat

pada

perbatasan fascia subcutaneous. Kemudian selanjutnya akan bergabung


dengan lymphanode sub inguinalis superficialis. Sebagian lagi aliran
limfe ini akan memasuki lymphanode poplitealis, aliran limfe berjalan
sepanjang vena femoralis menuju dee lymphanode inguinalis.
2.4.2 PERGERAKAN SENDI LUTUT
Pergerakan pada sendi lutut meliputi gerakan fleksi , ekstensi , dan
sedikit rotasi. Gerakan fleksi dilaksanakan oleh m. biceps femoris ,
semimembranosus, dan semitendinosus, serta dbantu oleh m.gracilis ,
m.sartorius dan m. popliteus. Fleksi sendi lutut dibatasi oleh bertemunya
tungkai bawah bagian belakang dengan paha.

47

Ekstensi dilaksanakan oleh m. quadriceps femoris dan dibatasi


mula-mula oleh ligamentum cruciatum anterior yang menjadi tegang.
Ekstensi sendi lutut lebih lanjut disertai rotasi medial dari femur dan tibia
serta ligamentum collaterale mediale dan lateral serta ligamentum
popliteum obliquum menjadi tegang , serat-serat posterior ligamentum
cruciatum posterior juga di eratkan.
Sehingga sewaktu sendi lutut mengalami ekstensi penuh ataupun
sedikit hiper-ekstensi , rotasi medial dari femur mengakibatkan pemutaran
dan pengetatan semua Ligamentum utama dari sendi, dan lutut berubah
menjadi struktur yang secara mekanis kaku. Rotasio femur sebenarnya
mengembalikan femur pada tibia , dan cartilago semilunaris dipadatkan
mirip bantal karet diantara condylus femoris dan condylus tibialis. Lutut
berada dalam keadaan hiper-ekstensi dikatakan dalam keadaan terkunci.
Selama tahap awal ekstensi , condylus femoris yang bulat menggelinding
ke depan mirip roda di atas tanah, pada permukaan cartilago semilunaris
dan condylus lateralis. Bila sendi lutut di gerakkan ke depan , femur
ditahan oleh ligamentum cruciatum posterior, gerak menggelinding
condylus femoris diubah menjadi gerak memutar. Sewaktu ekstensi
berlanjut , bagian yang lebih rata pada condylus femoris bergerak
kebawah dan cartilago semilunaris harus menyesuaikan bentuknya pada
garis bentuk condylus femoris yang berubah. Selama tahap akhir
ekstensi , bila femur mengalami rotasi medial, condylus lateralis femoris
bergerak ke depan, memaksa cartilago semilunaris lateralis ikut bergerak
ke depan.
Sebelum fleksi sendi lutut dapat berlangsung , ligamentum-ligamentum
utama harus mengurai kembali dan mengendur untuk memungkinkan
terjadinya gerakan diantara permukaan sendi. Peristiwa mengurai dan
terlepas dari keadaan terkunci ini dilaksanakan oleh m. popliteus, yang
memutar femur ke lateral pada tibia. Sewaktu condylus lateralis femoris
bergerak mundur , perlekatan m. popliteus pada cartilago semilunaris
lateralis akibatnya tertarik kebelakang. Sekali lagi cartilago semilunaris

48

harus menyesuaikan bentuknya pada garis bentuk condylus yang


berubah.
Bila sendi lutut dalam keadaan fleksi 90 derajat , maka
kemungkinan rotasio sangat luas. Rotasi medial dilakukan m. sartorius, m.
gracilis dan m. semitendinosus. Rotasi lateral dilakukan oleh m. biceps
femoris.
Pada posisi fleksi, dalam batas tertentu tibia secara pasif dapat di
gerakkan ke depan dan belakang terhadap femur , hal ini dimungkinkan
karena ligamentum utama , terutama ligamentum cruciatum sedang dalam
keadaan kendur.
Jadi disini tampak bahwa stabilitas sendi lutut tergantung pada
kekuatan tonus otot yang bekerja terhadap sendi dan juga oleh kekuatan
kigamentum. Dari faktor-faktor ini , tonus otot berperan sangat penting,
dan menjadi tugas ahli fisioterapi untuk mengembalikan kekuatan otot ini ,
terutama m. quadriceps femoris, setelah terjadi cedera pada sendi lutut.

2.5

DISLOKASI PATELLA

2.5.1 DEFINISI
Subluksasi adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan adanya
deviasi hubungan normal antara tulang rawan yang satu dengan tulang
rawan lainnya yang masih menyentuh berbagai bagian pasangannya. Jika
kedua bagian ini sudah tidak menyinggung satu dengan lainnya maka
disebut sebagai dislokasi (Price & Wilson, 2006). Dislokasi patela akut
merupakan gangguan pada persendian atau adanya pergeseran yang
dapat menimbulkan gangguan fungsional (Palmu, S et al., 2008).

2.5.2 EPIDEMIOLOGI
Insidensi dislokasi patela lebih sering terjadi pada wanita usia 1017 tahun dan meningkat terkait aktivitas fisik seperti pada wanita atlet, dan
lebih jarang terjadi pada usia diatas 30 tahun. Dislokasi lateral umumnya

49

lebih sering terjadi, sedangkan dislokasi medial merupakan bentuk yang


lebih jarang terjadi, sebagai akibat oleh trauma langsung. Redislokasi
terjadi lebih sering pada pasien yang lebih muda kurang dari 20 tahun
(Cornell, B., 2006). Disamping itu, dislokasi patella akut, sekitar 69%
terjadi pada individu dalam setahunnya (Andrish, J., 2008).
Puncak insidensi dislokasi patella akut terjadi pada usia sekitar 15
tahun. Dilaporkan insidensi pada populasi Helsinki adalah 43 per 100.000
pada mereka dengan usia dibawah 16 tahun (Palmu, S et al., 2008).
Dislokasi patella termasuk dalam kasus emergensi dalam bidang ortopedi
(Shetty et al., 2009).
Satu dari 1000 anak mengalami dislokasi patela akut setiap
tahunnya. Hal tersebut disebabkan oleh rotasi eksternal secara tidak
langsung dan tekanan valgus pada saat lutut dalam keadaan fleksi
dengan posisi kaki terfiksasi di atas tanah. Sebagian besar keadaan ini
terjadi selama masa remaja dengan insidensi puncak pada usia 15 tahun.
Pada anak-anak, dislokasi patela merupakan penyebab tersering
hemarthrosis traumatic akut (Benson, M et al., 2010).
2.5.3 ETIOLOGI
Faktor resiko sekaligus etiologi dari dislokasi patella akut,
diantaranya dysplasia patelofemoral, jenis kelamin wanita lebih tinggi, atlet
dan adanya riwayat keluarga (Palmu, S et al., 2008). Trauma akut dan
kronik, anatomi abnormal dari persendian, dan hamarthrosis dapat
berimplikasi untuk berkembang menjadi penyakit sendi degenerative
(Andrish, J., 2008).
Dislokasi vertical pada patela umumnya jarang dan dapat terjadi
sebagai akibat trauma tumpul (Shetty et al., 2009). Dapat pula terjadi
dislokasi superior dari patela, namun kasusnya jarang. Mekanisme cedera
dapat terjadi sebagai akibat langsung hantaman/benturan pada patela,
hiperekstensi persendian lutut, ataupun kombinasi keduanya (Wong, N et
al., 2004).

50

2.5.4 PATOGENESIS
Sewaktu lutut berfleksi dan otot kuadriseps mengendur, patela
dapat terdesak ke lateral akibat benturan langsung. Patela, dapat untuk
sementara naik ke tepi kondilus lateral femur dan kemudian meluncur
kembali ke posisinya atau bergeser ke sisi luar, dimana patela terletak
dengan permukaan anteriornya menghadap ke lateral (Solomon L, 2010)
Instabilitas patella dapat berkorelasi dengan satu atau lebih faktor
resiko dilihat dari segi anatomi yang berbeda dari normalnya seperti
ketegangan struktur pada bagian lateral, patela alta, dysplasia patela atau
femoral, peninggian anterversion femoral, peningkatan torsio tibialis
eksterna, posisi lateral dari tuberositas tibial, abnormalitas pronasi kaki,
dan insersi vertical dari vastus medialis oblik, kesemuanya dapat
menimbulkan kelainan pada patela (Cornell, B., 2006).
Pergerakan patela dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks antara otot,
ligament, morfologi tulang dan bagian ekstremitas bawah. Ligament
retinakular

patelofemoral

penting

dalam

menstabilkan

patela

dan

khususnya MPFL (medial pattelofemoral ligament) yang merupakan


jaringan lunak, berperan dalam mengendalikan translasi lateral patela
selama memfleksikan lutut 20-300. Ligament ini yang paling menegang
pada saat ekstensi penuh. Amis dan Senavongse, mendemonstrasikan
bahwa pada saat fleksi 200 terjadi sedikit resistensi yang timbul pada saat
translasi lateral patela. Pada saat patela melintasi trochlea, kemiringan
dari sisi lateral trochlea menyebabkan resistensi terhadap translasi lateral
patela. Dari hasil studi pun menunjukkan adanya pengaruh dari muskulus
dan VMO (vastus medialis obliquus) khususnya dalam menstabilkan lutut.
Bila interaksi tersebut terganggu maka akan timbul kelainan pada patella
termasuk terjadinya dislokasi (Andrish, J., 2008).
2.5.5 MANIFESTASI KLINIS
Lutut biasanya mengalami kolaps dan pasien dapat jatuh. Bisa
terdapat deformitas yang nyata, pergeseran patella tidak mudah diketahui
tetapi kondilus medial femur yang terbuka terlalu menonjol dan dapat

51

dikira pergeseran patela. Patela dapat diraba pada sisi luar lutut. Gerakan
aktif maupun pasif tak mungkin dilakukan (Solomon L, 2010)
Cedera pada patella dapat menimbulkan instabilitas dan sindrom
nyeri patelofemoral. Pasien merasakan nyeri hebat pada lutut yang
mengalami pergeseran. Dislokasi patella menimbulkan robekan dari
jaringan retinakular medial. Pemeriksaan dapat menunjukkan adanya
pembengkakan, penurunan aktivitas gerak, dan kekakuan medial patella
(Greene, W., 2006).

Gambar 2.36 Radiologis Dslokasi Patella (Shetty et al., 2009)

52

Gambar 2.37 Radiologis Dislokasi Patella (Shetty et al., 2009)

2.5.6 Komplikasi
Awal
a. Kerusakan arteri
Kerusakan a.popliteal

terjadi

hampir

20%

pada

pasien

dan

membutuhkan perbaikan segera. Penundaan dan perpanjangan dari


periode iskemik dapat menyebabkan amputasi
b. Kerusakan saraf
n. popliteal lateralis dapat mengalami kerusakan. Recovery spontan
dapat terjadi jika saraf tidak rusak secara keseluruhan. Sekitar 20%
pasien diharapkan dapat membaik. Jika konduksi saraf atau pada
pemeriksaan fisik menunjukkan tidak ada perbaikan, transfer dari
tendon tibialis posterior melalui membrana interosseous menuju
cuneiforme lateral dapat membantu mengembalikan dorsofleksi ankle.
(Solomon L, 2010)

Lanjut
a. Instabilitas sendi

53

Pergerakan anteroposterior atau pergerakan ke arah lateral yang tidak


stabil dapat menetap tetapi jika m.kuadriseps tetap kuat, keadaan ini
tidak parah.
b. Kekakuan
Hilangnya gerakan disebabkan karena imobilisasi yang terlalu lama
adalah masalah umum dan dapat membahayakan daripada instabilitas.
Bahkan dengan rekonstruksi bedah yang awal, fungsi lutut normal
dicapai. (Solomon L, 2010)

DAFTAR PUSTAKA

54

1. Darke, Ricard L et al. 2007. Grays Anatomy For Student. Elsevier


Inc: New York
2. Frank, H Netter. 2006. Atlas Of Human Anatomi 4 th edition.
Elsevier : New York
3. Jeffrey G Norvel, et al. 2011. Tibia and Fibula Fracture Clinical
Presentation.

Aviable

in

URL

http://emedicine.medscape.com/article/826304-overview#showall
4. Moore, Keith L and Agur, Anne M.R, 2007. Essential Clinical
Anatomy, 3rd Edition. Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia
5. Nayagam, Selvadurai. 2010. Injuries of the Knee and Leg. In
Applys System Of Orthopaedic and Fractures 9 th edition. Hodder
Arnold : London
6. Petrisor, Brad A. 2010. Tibia And Fibula Fractures. In Rockwood
And Greens Fractures In Adults 7 th Edition volume two. Lippincott
Williams And Wilkins : Philadelphia
7. Rasjad, C, 2007. Trauma. Dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi.
PT. Yarsif Watampone : Jakarta.
8. Rifal, M. 2011. Fraktur Femur. Bagian Radiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin : Makassar. Aviable In URL :
http://www.scribd.com/doc/69920506/Fraktur-Femur
9. Frank, H , Netter , M.D., Interactive Atlas of Human Anatomy , Ciba
Medical Educations & Publications , 1995
10. H.H.Lindner, Clinical Anatomy , a LANGE medical book ,
Connecticut , 1989
11. J.S.P.Lumley , J.L.Craven , J.T.Aitken, Essential Anatomy , fourth
edition, Churchill Livingstone , New York ,1987
12. Seeley , Stephen , Tate, Anatomy and Physiologi, international
edition, sixth edition , Mc Graw Hill , New York , 2003
13. Snell Richard S Seeley , Stephen , Tate, Anatomy and Physiologi,
international edition, sixth edition , Mc Graw Hill , New York , 2003
Anatomi Klinik, Bagian 2 , Edisi ke 3 , EGC , 1997
14. Spalteholz Werner, Hand Atlas of Human Anatomy, Seventh
Edition in English

55

15. Andrish, J., 2008. The Management of Recurrent Patellar


Dislocation.

Available

from:

http://www.med.nyu.edu/pmr/residency/resources/general%20MSK
%20and%20Pain/Clinics%20ortho_recurrent%20pat
%20dislocation.pdf.
16. Solomon L, Nayagam S, Warwick D, 2010.System of Orthopaedics
and Fractures Hodder Arnold an Hachette UK Company.
17. Benson, M et al., 2010. Childrens Orthopedics and Fracture 3th
edition. London: Springer-Verlag.
18. Cornell, B., 2006. Patellar Dislocation Conservative and
Operative

Rehabilitation.

Available

from

http://xnet.kp.org/socal_rehabspecialists/ptr_library/08KneeRegion/
18Patella-Dislocation.pdf.
19. Greene, W et al., 2006. Netters Orthopedics 1 st edition. Saunder :
Elvesier.
20. Palmu, S et al., 2008. Acute Patellar Dislocation in Children and
Adolescents: A Randomized Clinical Trial. Available from :
http://medicine.tums.ac.ir/fa/Users/ramin_espandar/journal%20club
%202,87/Acute%20Patellar%20Dislocation%20in%20Children
%20and%20Adolescents.pdf.
21. Price & Wilson., 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis dan Penyakit
edisi 6 volume 2. Jakarta : EGC
22. Shetty et al., 2009. Vertical Dislocation of the Patella: Report of 2
Cases.

Available

from

http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?
sid=14a7d357-befe-45d5-a238a4ef87998f15%40sessionmgr4&vid=1&hid=14.

56

23. Wong, N et al., 2004. The management of superior dislocation of


the patella with interlocking osteophytes-an update on a rare
problem.

Available

http://www.josonline.org/pdf/v12i2p253.pdf.

57

from

Anda mungkin juga menyukai