Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital
Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital
Disusun Oleh:
Nova Sari Nur Salamah
G99141033
Pembimbing
dr. Hj. Nunik Agustriani, Sp.B, Sp.BA
A. Anamnesis
1. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Nomor RM
MRS
: An. RP
: 8 bulan
: Laki-laki
: Banjarsari, Surakarta
: 01-28-45-78
: 29 Desember 2014
2. Keluhan Utama
Perut kembung dan tidak bisa BAB
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 hari SMRS, pasien mengalami perut kembung dan
membesar, disertai muntah-muntah. Pasien juga tidak BAB sejak lahir.
Muntah berisi susu formula yang diminum bayi karena ASI ibu tidak
keluar. Sebelumnya, pasien diperiksakan ke RSUD Ngipang dan dirawat
selama 2 hari, namun karena keterbatasan sarana, pasien dirujuk ke RS
Brayat. Di RS Brayat, pasien difoto, kemudian dipasang selang melalui
dubur, keluar BAB kehitaman serta dipasang selang melalui mulut,
keluar cairan. Pasien juga diinfus D5% NS 18 cc/jam dan diberi obatobatan yaitu injeksi cefotaxim 100 mg/8 jam dan asam ursodeoxycholic 3
x 10 mg.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
5. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir pada tanggal 25 Desember 2015 dari ibu berusia 24
tahun, P1A0, lahir spontan dibantu bidan dengan umur kehamilan 41
minggu. Bayi menangis kuat (+), nafas spontan (+), ketuban jernih, tidak
berbau, berat badan lahir 2700 gram.
Riwayat perdarahan
: disangkal
Riwayat konsumsi jamu
: disangkal
Riwayat alkohol, merokok : disangkal
B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
2. Vital Sign
Temperature
Heart Rate
3. Kepala
5. Telinga
6. Hidung
darah (-)
8. Leher
9. Thoraks
10. Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
11. Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
12. Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
13. Genitourinaria
14. Ekstremitas
Capillary refill time kurang dari 2 detik
Akral- dingin
: - Oedema :
- - 3
C. Assesment I
Suspect megacolon kongenital.
D. Planning I
1. Infus D5% NS 18 cc/jam
2. Cek lab darah
3. Foto colon in loop
4. Rawat bersama bagian pediatri
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Moewardi
Pemeriksaan
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Index Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
PDW
Hitung Jenis
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Kimia Klinik
Bilirubin total
Bilirubin direk
Bilirubin indirek
Albumin
Elektrolit
Natrium darah
Kalium darah
Calsium ion
Satuan
Rujukan
14.4
45
21.8
542
4.71
g/dL
%
ribu/l
ribu/l
juta/l
10.8 12.8
35 43
5.5 17.0
150 450
3.90 5.30
95.5
30.4
31.9
3.4
6.5
27
/m
pg
g/dl
%
fl
%
80.0 96.0
28.0 33.0
33.0 36.0
11.6 14.6
7.2 11.1
25 65
0.50
0.70
69.60
19.60
4.30
%
%
%
%
%
0.00 4.00
0.00 1.00
18.00 24.00
60.00 66.00
0.00 6.00
7.70
6.00
1.70
3.2
mg/dl
mg/dl
mg/dl
g/dl
0.00 1.00
0.00 1.20
0.00 0.70
3.8 5.0
130
5.6
1.02
mmol/L
mmol/L
mmol/L
129 147
3.6 6.1
1.17 1.50
Serologi Hepatitis
HBsAg
nonreactive
Nonreactive
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Megakolon kongenital atau lebih dikenal dengan Hirschsprungs
disease mempunyai beberapa nama yang dikenal dalam literatur seperti
congenital aganglionosis, megacolon congenitum, pelvirectal achalasia, dan
5
dari sakral krista neuralis untuk ikut membentuk sel-sel saraf dan sel-sel glial
pada kolon.1,2
Selama waktu migrasi disepanjang usus, sel-sel krista neuralis akan
melakukan proliferasi untuk mencukupi kebutuhan jumlah sel diseluruh
saluran pencernaan. Sel-sel tersebut kemudian berkelompok membentuk
agregasi badan sel. Kelompok-kelompok ini disebut ganglia yang tersusun
atas sel-sel ganglion yang berhubungan dengan badan sel saraf dan sel-sel
glial. Ganglia ini kemudian membentuk dua lingkaran cincin pada stratum
sirkularis otot polos dinding usus, yang bagian dalam disebut pleksus
submukosus meissnerr dan bagian luar disebut pleksus mienterikus auerbach.
Apabila terjadi gangguan pada proses migrasi sel-sel kristaneuralis ini maka
akan menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik dan terjadilah
megakolon kongenital.1
Aganglioner diawali dari anus, yang merupakan bagian yang selalu
terlibat dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang bervariasi sekitar 425 cm. Plexus mienterik auerbach dan submukosa meissner yang tidak
terbentuk mengakibatkan berkurangnya fungsi dan kemampuan usus untuk
melakukan gerakan peristaltik sehingga terjadi obstruksi.5
Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron
intrinsik. Fungsi kolon tetap adekuat, meskipun inervasi ekstrinsik hilang.
Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos dengan
dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat
kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik menimbulkan kontraksi dan serat
adrenergik utamanya menimbulkan inhibisi.Pada megakolon kongenital, selsel ganglion tidak terbentuk sehingga terjadi peningkatan inervasi usus
ekstrinsik baik kolinergik maupun adrenergik yang berjalan 2-3 kali normal.
Sistem adrenergik (excitator) diduga lebih mendominasi dari pada sistem
kolinergik (inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos.
Menghilangnyanerves inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang
meningkat tidak tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan
kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi
fungsional.7
D. Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik megakolon kongenital dibagi menjadi:
1. Megakolon kongenital segmen pendek
: apabila segmen aganglionik
meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
2. Megakolon kongenital segmen panjang
: apabila segmen aganglionik
lebih tinggi dari sigmoid (20%).
3. Kolon aganglionik total
: apabila segmen aganglionik
mengenai seluruh kolon (5-11%).
keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian kembung pada perut
menghilang untuk sementara.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan
yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa megakolon
kongenital adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas:
Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal
yang panjangnya bervariasi;
Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah
penyempitan ke arah daerah dilatasi;
Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.1
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
megakolon kongenital, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses.
Gambaran khasnya adalah terlihat barium yang membaur dengan
feses kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan
megakolon namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium
terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.9
b. Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosa histopatologi megakolon kongenital didasarkan atas
absennya sel ganglion pada pleksus mienterik auerbach dan pleksus
submukosa meissner. Selain itu, akan terlihat penebalan serabut saraf
parasimpatis. Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika
menggunakan
pengecatan
immunohistokimia
asetilkolinesterasedibandingkan dengan pengecatan konvensional
dengan
haematoxylin
eosin.
Hanya
saja
pengecatan
immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan
interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan
(Kartono, 2004).Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat: 2, 3,
dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap
meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk
menilai pleksus auerbach.9
c. Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan
objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang
melibatkan sfingter anorektal. Dalam prakteknya, manometri
10
Saat ini prosedur transanal satu tahap telah berkembang dan dikerjakan
pada saat penderita masih neonatus.1
a. Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi megakolon
kongenital dengan metode pull-through. Segmen yang aganglionik
direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis
mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar rongga
peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi
sebagai akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk
mengatasi hal ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial
posterior.
Prosedur Swenson dimulai dengan pendekatan ke intra
abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke
bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke
dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan
melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi
terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang
tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar
melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2
cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian
posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon
proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomosis dilakukan
dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah
anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvis. Selanjutnya
dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.1,10
b. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvis pada prosedur Swenson. Prinsip
dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik
ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik,
menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan
dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side.
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan,
diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan
fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu
panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur
Duhamel, diantaranya :
1. Modifikasi Grob (1959)
:
Anastomosis
dengan
pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,52,5 cm, untuk mencegah inkontinensia;
11
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan
Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI.1993.
2. Fonkalsrud. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,
editors. Maingots Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall
intl.inc.;1997.p.2097-105.
3. Feldmen M, Friedman LS, Sleisenger MH. Hirschsprungs disease:
congenital megacolon. In: Sleisenger & Fordtrans Gastrointestinal and Liver
Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management. 7th ed. Philadelphia, Pa.:
Saunders, 2002:2131-5.
4. Best KE, Glinianaia SV, Bythell M, et al; Hirschsprung's disease in the North
ofEngland: prevalence,associatedanomalies, and survival. Birth Defects Res
AClin Mol Teratol. 201 2 Jun;94(6):477-80.
5. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND
SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders.
Philadelphia. Page 2113-2114.
6. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung
Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page
617-640.
7. Farid Nur Mantu. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC, 1993.
15
16