Anda di halaman 1dari 48

BAB III

HASIL DAN PERHITUNGAN

Keterangan gambar diatas.:


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Saluran masuk ikan (Hopper)


Saluran keluar
Rangka
Pulli
Sabuk
Motor listrik

7. Roda gigI
8. Mata pencacah ikan
3.1. Perhitungan Daya Yang Direncanakan
Demi kelancaran dalam pemakai motor penggerak dan daya yang digerakan, maka perlu
diketahui berapa putaran dan daya yang berkerja pada proses mesin yang direncanakan.
3.1.1. Menetukan Volume Hopper
Menurut Verlag Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:14) volume benda yang berbentuk
pyramid puntung dapat ditentukan volumenya dengan persamaan :
A1+ A2 A1 A2
h
V =
3
Dimana : V

= Volume benda

= Tinggi

A1

= Area dasar

A2

= Area permukaan puncak

Bentuk dari hopper yang direncanakan, yang akan digunakan pada mesin
pencacah ikan untuk pembuatan abon adalah sebagai berikut :

Gambar 4.1 bentuk hopper yang direncanakan

Dengan melihat bentuk hopper yang direncanakan, maka :


a) menetukan area permukaan dasar

A 1=P l
0,5 0,012
0,106

b) menetukan area permukaan puncak


A 1=P l
0,5 0,346
0,7173 m

c) menentukan volume hopper


A 1 + A 2 A1 A 2
h
V =
3
0,106+0,173+ 0,106 0,173
0.25

0,084 0,41
0,03481 m3
3.1.2. Menentukan Kapasitas Kerja
Dimana untuk menentukan kapasitas direncanakan putaran silinder yang berkerja
sebesar n = 300 Rpm. Dari hasil pengamatan yang dilakukan penulis, daging ikan yang
telah dilakukan perebusan memiliki perbedaan dari daging ikan mentah, dimana daging
ikan yang telah direbus memiliki sifat kekenyalan lebih rendah dari daging mentah dan
meiliki sifat potong yang lebih tinggi dari daging mentah. Dan diketahui massa jenis dari
daging ikan sebesar = 1,1 kg/m3. Maka untuk menentukan kapasitas kerja mesin
digunakan persamaan berikut :
Q=V n

Dimana : Q

= Kapasitas (kg/jam)

= Volume hopper (m3)

= Putaran (rpm)

= Massa jenis ( kg/m3)

dengan rumus diatas, maka :


Q=0,03481 300 1,1
11,45

kg
menit

3.1.3. Menentukan putaran yang berkerja


Putaran yang berkerja pada silinder pencacah dapat diketahui dengan terlebih
dahulu mengetahui kecepatan sudut silinder pencacah dan kecepatan linier selinder
pencacah. Kecepatan sudut dan kecepatan linier pada silinder

Gambar 4.2 Diagram pemilihan sabuk

Dimana telah diketahui diemeter silinder R = 0,05 m jadi untuk mendapatkan


kecepatan sudut dan kecepatan linier, menurut Ir. Ramses Y. Hutahaean, MT (2006:24)
untuk mendapatkan kecepatn sudut dan kecepatan linier digunakan persamaan berikut :
menentukan kecepatan sudut :
=
Dimana :

2
n
60
= Kecepatan sudut (rad/s)

= Putaran silinder (rpm)

dengan rumus diatas, maka :


=

2
n
60

2 3,14
300
60

3,14

rad
s

menentukan kecepatan linier


VB=R
Dimana :

= Kecepatan sudut (rad/s)

= Radius silinder (m)

VB

= Kecepatan linier silinder (m/s)

Dengan rumus diatas, maka :


0,05 31,4

1,57

m
s

Menurut george H. Martin (1984:20) putaran untuk semua titik dalam sebuah
benda yang berputar mempunyai kecepatan sudut yang sama w, jadi kecepatan sudut
antara silinder dan puli besar sama. Kecepatan linier silinder dan puli besar berbeda. Dari
perhitungan diatas telah diketahui kecepatan linier dari silinder, maka dengan
mengunakan persamaan dibawah ini dapat kita ketahui kecepatan linier puli besar.

VA RA
=
VB RB
Dimana : VA

= Kecepatan linier puli besar (m/s)

VB

= Kecepatan linier silinder (m/s)

RA

= Radius puli besar (m)

RB

= Radius silinder pencacah (m)

Dengan rumus diatas, maka :


VA 0,095
=
1,57 0,05
VA
=1,9
1,57
VA=1,57 1,9
2,983

m
s

Jadi kecepatan linier untuk puli besar adalah sebesar =2,983, maka untuk
menentukan putaran yang berkerja digunakan persamaan berikut :

Dimana : N

= Putaran yang berkerja pada silinder

= Kecepatan linier

= Radius

maka :
3.1.4.
Daya kerja yang terjadi pada silinder
Daya yang dibutuhkan untuk memutar silinder dan mencacah ikan, untuk
perencanaan awal daya yang terjadi antara silinder dengan daging ikan. Menurut Verlag
Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:17) gaya yang berkerja pada silinder pencacah dapat
ditentukan dengan mengunakan persamaan berikut :
mV 2
F=
r
Dimana : F
= Gaya (N)
V
= Kecepatan sudut silinder (m/s)
r
= Radius silinder pencacah (m)
m
= Massa yang diberikan (kg)
Maka :
2
11,45 1,57
F=
0,05
564 N

Maka untuk mengetahui torsi yang terjadi digunakan persamaan berikut :


T =R F
Dimana : T
R
F

= Torsi yang terjadi (Nm)


= Radius silinder pencacah (m)
= Gaya pada silinder (N)

Maka :
= 0,05 564
= 28,4 (Nm)
Maka untuk mengetahui daya yang terjadi menggunakan persamaan berikut:
P=T
Dimana : P
= Daya (watt)
T
= Torsi yang terjadi (Nm)

= Kecepatan sudut (rad/s)


maka :
= 28,4 31,4
= 891,76 Watt

Jadi dari hasil perhitungan diatas didapat daya motor penggerak sebesar 1 hp
dengan putaran 300 rpm, dari hasil survei diketahui bahwa tidak ada motor dengan
karakteristik 1 hp 300 rpm , jadi dipilih sebagai alternatif motor dengan karakteristik 1 hp
1200 rpm
3.2. Daya Rencana
Daya rencana adalah hasil konversi antara daya nominal output dari motor penggerak
dengan faktor koreksi,karna daya yang besar di perlukan pada saat start atau mungkin beban
yang besar yang terus bekerja stelah start.dengan demikian di perlukan faktor koreksi pada daya
rata-rata yang di perlukan dengan menggunakan faktor koreksi perencanaan.
Dari hasil perhitungan daya kerja yang terjadi pada silinder diperoleh data dengan daya
penggerak sebasar 1 HP, putaran 1200 rpm. Menurut sularso dan Kiyokatsu Suga (1987:7), maka
daya yang di berikan dalam horse power harus di konversikan dengan 0,735 untuk mendapatkan
daya dalam kW.
Maka untuk mengamankan daya out put dari motor penggerak tersebut,terlebih dahulu
kita harus mengkonversikan dengan faktor koreksi (fc). Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga
(1987 : 7) maka daya rencana dapat dihitung dengan persamaan berikut ini :
Pd=fc p
Dimana; pd
fc

= daya rencana
= faktor koreksi (Tabel 4.1)
= 1,4 (diperhitungkan/digolongkan mesin pencacah ikan untuk Pembuatan
abon sebagai mesin yang mempunyai variasi beban Sedang dengan
jumlah jam kerja 8-10 jam/hari)

= daya motor penggerak

Maka :
Pd=1,4 0,735=1,029 kW

Tabel 4.1 faktor-faktor koreksi daya yang akan ditransmisikan (fc)


Daya yang akan ditransmisikan
Daya rata-rata yang diperlukan
Daya maksimal yang diperlukan
Daya normal

fc
1,2 -2,0
0,2 - 1,2
1,0 - 1,5

Jadi berdasarkan hasil perhitungan suatu proses pemotongan diketahui bahwa daya rencana (pd)
sebesar 1,029 Kw, dengan putaran 1200 rpm.
3.3. Perhitungan Sabuk dan Puli
3.3.1. Pemilihan Sabuk
Daya motor yang direncanakan (Pd 1,029 Kw).karna motor yang ada dipasaran
hanya memiliki klafikasi 1 HP dan putaran 1200, sedangkan putaran yang diperlukan
untuk menggerakan puli penggerak sebesar 600 rpm, maka harus dilakukan reduksi agar
mendapat putaran yang diperlukan . Dirancanakan putaran akan direduksi dengan
menggunakan gear box WPO type 50 dengan perbandingan reduksi sebesar 1: 2, maka
untuk mereduksi putaran digunakan persamaan berikut :
1
N=1200 =600 rpm
2
Maka dari hasil reduksi didapat putaran sebesar 600 rpm dan daya rencana sebesar
(Pd 1,029 Kw).maka berdasarkan gambar 4.1 didapat sabuk dengan tipe A
3.3.2. Pemilihan Bahan Puli
Bahan puli yang dipilih adalah besi cor FC30 dengan kekuatan tarik (B) 27
kg/mm3 (lampiran 1).
3.3.3. Menentukan Diameter Puli
Berdasarkan tabel pemilihan diameter puli minimum yang dianjurkan pada
(lampiran 2), untuk sabuk dengan tipe A maka diameter puli minimum yang dianjurkan
adalah 95 (mm) untuk pulli penggerak. Maka menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga
(1987 : 166), besarnya diameter nominal puli yang digerakan dapat ditentukan dengan
persamaan;
n1
D
=i= p
n2
dp
Dimana : n1
n2
dp
Dp
i

= putaran motor penggerak


= putaran puli yang digerakan
= Diameter nominal puli penggerak
= diameter nominal puli yang digerakan
= perbandingan reduksi
= 2 ( karena sabuk V dipakai untuk menurunkan putaran i > 1)

Maka :
jadi, Dp untuk ukuran standar dipilih 190 mm.
Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:177) diameter luar puli dapat
ditentukan dengan persamaan :
Dimana : dp
= diameter puli kecil
dk
= putaran puli yang digerakkan
Dk
= diameter luar puli yang digerakan

= ukuran standar puli-V (lampiran 2)

Maka :

3.3.4.

Diameter luar puli kecil


dk = 95 + 2 x 4,5
= 104 mm
Sedangkan untuk diameter luar puli sabuk
Dk = 190 + 2 4,5
= 199 mm
Menentukan Jarak Sumbu Poros
Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:166) bahwa jarak sumbu poros harus
sebesar 1,5 sampai 2 kali diameter puli besar (diambil 2)
C = (1,5 2) Dp
Dimana : C

= jarak sumbu poros

Dp

= diameter yang digerakkan

Maka :
C = 2 190
= 380 mm
Pada perencanaan sabuk V ini faktor koreksi yang dipilih sesuai denganctabel
faktor koreksi untuk tranmisi sabuk menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997 : 165)
dipilih Fc = 1,3 karena tergantung jumlah jam kerja 8 10 jam per hari, maka Pd = 1,3 x
1,029 = 1,3377 (kw)
3.3.5. Menghitung Momen Rencana T1, T2 (Kg, mm)

Gambar 4.4 Gambar Momen T

T 1=9,74 105 (pd /n1 )

T 1=9,74 105 (1,3377/600)=2171(kg , mm)


T 2=9,74 105 (pd /n 2)
T 2=9,74 105 (1,3377/300)=4343 (kg , mm)
3.3.6. Menentukan Panjang Sabuk
Panjang keliling sabuk (L) menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:170) dapat
ditentukan dengan persamaan :

1
L=2 C+ ( Dp+dp )
( Dpdp )2
2
4C
L=2 380+

3,14
1
( 190+ 95 )
( 19095 )2
2
4 380

L=1208 mm

Berdasarkan panjang sabuk V standar pada lampiran 3, diperoleh panjang sabuk


yang mendekati hasil perhitungan, yaitu L = 1219 mm dengan nomor nominal sabuk
sebesar 48 inch (lampiran 3). Selanjutnya perlu dikoreksi kembali jarak sumbu poros (C),
untuk panjang sabuk, L = 1219 mm. Menurut sularso dan kiyokatsu suga (1997: 170),
dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
C=b+ b28 (Dpdp)2
8
Dimana :

b=2 L (Dp+dp)

2. 1219 3,14 (190+95)

2438 894,9
1543,1mm

Maka :
C=1543,1+ 1543,128(19095)2
8
382,82mm
383 mm

Jadi jarak sumbu poros yang diperoleh , C = 383 mm, dan diperoleh panjang
keliling sabuk L = 1219 mm
3.3.7. Menentukan Sudut Kotak Sabuk

Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997 : 173) sudut kotak pada puli
penggerak dapat ditentukan dengan persamaan :

Gambar 4.5 Sudut Kontak

=1800

Dimana :

57(Dpdp)
C

= Sudut kontak puli penggerak

= jarak sumbu poros

Maka sudut kontak puli penggerak :


=180 o
180o

57(19095)
383

5415
383

165,8o
3.3.8. Menghitung Kecepatan Sabuk
Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997 : 166) kecepatan sabuk dapat
ditentukan dengan persamaan
Dimana :
V = kecepatan sabuk
dp = diameter puli kecil
n1 = putaran motor penggerak

Maka :
45
V=
60 1000
3,14 95 600
x
xx
V = 3 m/s
Sularso dan Kiyokatsu Suga (1987 : 163) mengatakan kecepatan sabuk
yang baik adalah lebih kecil dari 25 m/s jadi pada perencanaan mesin ini
kecepatan sabuknya baik, karna V1 = 25 m/s : V = 3 m/s
V1 > V
25 m/s > 3 m/s................................baik
Perbandingan reduksi :
i = n1/n2
= 600/300
=2
4.3.9 Analisa Gaya Tarik Sabuk
Gaya gaya yang terjadi pada sabuk dapat diperlihatkan pada gambar
berikut :
Gambar 4.6 analisa gaya tarik sabuk
Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997 : 171) gaya tarik sabuk dapat
dihitung dengan persamaan berikut :
2
1
F
F=x
46
Dimana :
F1 = gaya tarik sabuk pada sisi tarik (kg)
F2 = gaya tarik sabuk pada sisi kendur (kg)

= bilangan pokok (2,718282)


= koefisien gesek (0,24)
= sudut kotak pada puli penggerak
Koefisien gesek menurut Khurmi Dan Gupta (1980 : 651 ), dapat
ditentukan dengan persamaan :
= 0,54 152,6 V
42,6
Dimana :
= koefisien gesek
V = kecepatan sabuk
Maka :
=
152,6 3
0,54 42,6

= 0,44
Dimana :
= sudut kotak sabuk
=
180
.165,8
= 2,89
- Analisa gaya tarik sabuk dari puli motor penggerak ke puli yang
digerakan :
2
1
F
F
= 2,7182820,44 x 2,89

2
1
F
F
= 3,56
F1 = 3,56x F2 ...................................................................(1)
47
Menurut Khurmi Dan Gupta (1980 : 664) persamaan gaya tarik sabuk
adalah :
Pd = (F1 F2) x V .............................................................(2)
Dimana :
Pd = daya rencana
V = kecepatan sabuk
F1 = gaya tarik sabuk pada sisi tarik
F2 = gaya tarik sabuk pada sisi kendur
Subtitusi persamaan (1) ke persamaan (2), maka :
Pd = (3,56 F2 F2) x V
1029 = (2,56F2) x 3 (m/s)
F2 = 134 N
= 13,6 kg
Maka
F1 = 3,56.F2
= 3,56 x 13,6
= 48 kg
Dengan demikian gaya tarik sabuk efektif , menurut Sularso dan
Kiyokatsu Suga (1997:171). Dapat ditentukan dengan :
F = F1 F2
= 48 - 13,6
= 34,4 kg
Joseph E. Shigley dan larry D. Mitchell (1984 :336) mengatakan gaya
tarik awal sabuk dapat ditentukan dengan persamaan berikut :

Fi =
2
12FF
=
2
48 13,6
= 30,8 kg
48
4.3.10 Menentukan Jumlah Sabuk
Sularso dan kiyokatsu suga (1997:173) mengatakan untuk menentukan
jumlah sabuk dapat ditentukan dengan persamaan :
N=
p k
pd
.0
Dimana :
P0 = kapasitas daya yang dapat ditransmisi oleh sabuk tunggal (Kw)
K = faktor koreksi
N = jumlah sabuk
Untuk nominal puli kecil, putaran 600 rpm (menurut sularso dan k. Suga
hal : 172) maka harga po adalah :
P0 = 0,67 + 0,06
= 0,73
Sedangkan untuk faktor koreksi (K) yang mendekati nilai sudut kotak puli kecil
1 = 165,8o adalah 169o dengan faktor koreksinya adalah 0,97 (lampiran 4).
Maka
N=
0,73 0,97
1,029
x
= 1,45..............(diambil satu buah)

Untuk memelihara tegangan yang cukup dan sesuai dengan panjang


sabuk,jarak poros , puli harus dapat disetel kedalam maupun keluar daerah
penyetelan untuk sabuk dengan type A panjang keliling sabuk antara 970 1500
(lampiran 5 ) adalah sebagai berikut :
- daerah penyetelan sebelah dalam Ci = 20 mm
- daerah penyetelan sebelah luar Ct = 40 mm
4.3.11 Gaya Yang Terjadi Pada Keliling Sabuk
Anwar, Mohd Raffei. Bagian mesin 3 Hal:21 mengatakan momen lentur
pada puli mesin dapat dihitung dengan persamaan :
49
M = F x ( 1/2 Dk )
Dimana :
M = Momen lentur yang terjadi (Kg.mm)
F = Gaya keliling (kg)
Dk = diameter luar puli besar (mm)
Dk = diameter luar puli kecil (mm)
Maka :
Momen puntir yang terjadi (T2) adalah :
T2 = 9,74 x
2n
pd
= 9,74 x
300
1,3377
= 4343 kg mm
Sehingga :
F=
Dk / 2
T
=
199 / 2

4343
= 43 Kg
Maka momen lentur yang terjadi adalah :
M = 43 x (1/2 . 199)
= 4279 kg.mm
50
4.4 Perhitungan Mata Pencacah dan Silinder
Mata pencacah dan silinder adalah salah satu komponen utama dari
kontruksi mesin dimana direncanakan
A. Mata Pencacah
Panjang keseluruhan = 12 mm
Panjang dari permukaan silinder = 7 mm
Panjang dari permukaan ke dalam = 5 mm
Diameter mata pencacah = 1,5 mm
Jarak antara mata ke mata = 10 mm
Bahan = stainless steel
Gambar 4.7 Detail mata pencacah
B. Silinder Pencacah
Panjang = 500 mm
Diameter = 100 mm
Bahan = kayu
4.4.1 Menghitung Jumlah Mata Pencacah
Banyaknya jumlah mata pencacah yang berfungsi sebagai pencacah sangat
mempengaruhi baik tidaknya hasil pencacahan yang dilakukan berikut ini
menunjukan gambar mata pencacah yang direncanakan:
51
Gambar 4.8 Potongan silinder pencacah
dari gambar diatas didapat jumlah pisau yang terdapat pada silinder
pencacah dengan mengetahui terlebih dahulu panjang keliling lingkarannya
dengan persamaan berikut :
keliling lingkaran = . R .2

= 3,14 x 50 x 2
= 314 mm
Jadi
N=
5
kelilinglingkaran
Dimana
N = jumlah baris mata pencacah
314 = keliling lingkaran
5 = jarak antara baris kebaris lain
Maka :
52
=
5
314
= 62,8
= 63 baris
Maka untuk menentukan jumlah mata pencacah tiap silinder adalah sebagai
berikut :
a. jumlah mata pencacah untuk silinder A
M1 =
i
Pi
Dimana :
M1 = jumlah mata pencacah silinder A
P = panjang silinder
i = jarak antara mata kemata
Maka :
M1 =
10
500 10

= 49
Jadi jumlah keseluruhan mata pencacah untuk silinder A
J1 = M x N
Dimana :
M1 = jumlah mata pencacah silinder A
N = jumlah baris mata pencacah
J1 = jumlah mata pencacah untuk silinder A
Maka
J1 = 49 x 63
= 3087 buah
b. jumlah mata pencacah untuk silinder B
M2 =
i
P
53
Dimana :
M1 = jumlah mata pencacah silinder B
P = panjang silinder
i = jarak antara mata kemata
maka :
M2 =
10
500
= 50
Jadi jumlah keseluruhan mata pencacah untuk silinder B
J2 = M2 x N
Dimana :
M2 = jumlah mata pencacah silinder B
N = jumlah baris mata pencacah
J2 = jumlah mata pencacah untuk silinder B
Maka :

J2 = 50 x 63
= 3150
Maka jumlah keseluruhan mata pencacah untuk kedua silinder adalah :
J = J1 + J2
Dimana :
J = jumlah keseluruhan mata pencacah
J1 = jumlah mata pencacah untuk silinder A
J2 = jumlah mata pencacah untuk silinder B
Maka :
J = 3087 + 3150
= 6237 buah
4.4.2 Menghitung Beban Yang Terjadi Pada Pisau Penyerat
Momen bengkok yang terjadi pada mata pencacah dapat ditentukan
dengan persamaan beikut :
Mb = F . l
54
Dimana :
Mb = momen bengkok
F = gaya pada mata pencacah (N)
= (halaman 33)
l = panjang mata pencacah (mm)
maka :
Mb = 564 x 7
= 3948 Nmm
4.4.3 Menentukan Tegangan Bengkok Pada Pisau Pencacah
Menurut Verlag Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:28) tegangan bengkok pada
suatu bidang dapat ditentukan dengan persamaan :
b =
Wb
Mb
Dimana :

b = tegangan bengkok (kg/mm2)


Mb= momen bengkok (kg.mm)
Wb= momen tahanan bengkok (mm2)
Sedangkan besarnya momen tahanan bengkok yang terjadi dapat ditentukan
dengan persamaan berikut :
- momen tahanan bengkok untuk pisau penyerat
Wb = 3
32 x ds

= 0,0153
32
3,14 x
= 0,331 mm3
Maka :
b =
Wb
Mb
55
=
0,331
3948
= 11927 N/mm2
4.4.4 Menetukan massa silinder
Verlag Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:15) mengatakan volume benda
berbentuk silinder berlubang dapat diketahui dengan persamaan berikut :
V=
4
.h
. ( D2-d2 )
Dimana : V = Volume silinder
h = Tinggi silinder

D = Diameter luar silinder


d = Diameter dalam silinder
maka :
V = .0,12 0,052
4
3,14x0,5
= 0,00294375 m3
Jadi bahan yang digunakan untuk silinder pencacah direncanakan dibuat
dari bahan kayu yang telah diketahui massa jenisnya sebesar = 580 kg/m3 ,maka
untuk mengetahui berat dari silinder kayu dapat digunakan persamaan berikut
A1 = V x
= 0,00294375 x 580 = 1,7
Karna dibagian silinder memiliki mata-mata pencacah yang terbuat dari
besi dan berbentuk bulat, Menurut Verlag Dr.-Ing. P. Chirstiani (1988:15) volume
silinder dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
V=
4
.d 2 .h
Dimana : V = Volume silinder
h = Tinggi silinder
d = Diameter silinder
56
maka :
V=
4
3,14x0,0022 x0,012
= 0,000000037 m3
Menentukan berat dari mata pencacah dengan diketahui massa jenis dari besi
sebesar = 7830 kg/m3 maka digunakan persamaan berikut :
A2 = V x
= 0,000000037 x 7830

= 0,000295 kg
Maka untuk menetukan berat keseluruhan mata mata pencacah yang ada pada
silinder digunakan persamaan berikut :
K = M x J2
= 0,000295 x 3150
= 0,929 kg
Jadi berat keseluruhan tiap silinder dapat ditentukan dengan persamaan berikut
N = A1 + K
= 1,7 + 0,929
= 2,629 kg
Jadi berat yang terjadi di silinder adalah :
massa sebesar = 2,629 + 11,45
= 14,079 kg
4.5 Perencanaan Roda Gigi Lurus
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:245) untuk merencanakan
roda gigi terlebih dahulu harus diketahui modul roda gigi yang didapat dari
diagram pemilihan modul dimana ditentukan dari hubungan antara daya rencana
dan putaran poros penggerakkan mesin tersebut adalah 1,029 Kw dari hubungan
putaran 600 rpm dan daya rencana maka diperoleh modul sebesar m = 1,25
(lampiran 5)
bahan roda gigi yang direncanakan adalah S 25 C dengan perbandingan
reduksi 1:1 dan jarak sumbu poros 110 mm
57
jadi lingkaran jarak bagi d1 dan d2 dapat dihitung dengan persamaan yaitu
sebagai berikut :
d1 =
11
2 110

x
= 110 mm

d2 =
11
2 110 1

xx
= 110 mm
Jadi jumlah gigi untuk masing masing roda gigi dapat dihitung dengan
persamaan yaitu sebagai berikut :
Z1 =
m
d1
=
1,25
110
= 88
Z2 =
m
d2
=
1,25
110
= 88
Dari jumlah jumlah gigi pada tiap roda gigi diatas, yaitu sebanyak 88
buah.dan untuk menghitung diameter lingkaran jarak bagi digunakan persamaan
berikut :
d01 = Z1 x m
= 88 x 1,25
= 110
d02 = Z2 x m
= 88 x 1,25
= 110

58
Jarak sumbu poros
ao = (d01 + d01 )/2
= (110 + 110)/2
= 110
Untuk menentukan diameter kepala dan diameter kaki serta tinggi gigi
(kedalaman pemotongan) dari gigi maka digunakan persamaan berikut
Menentukan diameter kepala
dk1 = (Z1 + 2).m
= (88 + 2). 1,25
= 112,5
dk2 = (Z2 + 2).m
= (88 + 2). 1,25
= 112,5
Menentukan diameter kaki, Ck = 0,25 x 1,25 = 0,31
df1 = (Z1 - 2) x m 2 x Ck
= (88 - 2) 1,25 2 x 0,31
= 106,88 mm
df2 = (Z2 - 2) x m 2 x Ck
= (88 - 2) 1,25 2 x 0,31
= 106,88 mm
Tinggi gigi
H = 2.m + Ck
= 2 x 1,25 + 0,31
= 2,81 (mm)
Dari (lampiran 6) tabel faktor bentuk gigi (Y) jadi karna ditabel tidak ada maka
digunakan cara interpoli sebagi berikut
Y1 = 0,434 + (0,446 0,434).
100 75

88 75


= 0,440
Karna Z1 dan Z2 hasilnya sama maka Y2 sama dengan Y1
59
4.5.1 Menganalisa Kecepatan Roda Gigi
Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:238) kecepatan keliling pada
jarak bagi roda gigi dapat dicari dengan persamaan :
V=
60.1000
..1dn
Dimana :
V = kecepatan keliling roda gigi
d1 = diameter lingkaran jarak bagi
n = putaran yang berkerja
maka :
V=
60 1000
3,14 110 300.
x
xx
= 1,73 (m/s)
4.5.2 Menganalisa Gaya Yang Terjadi
Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:238) gaya tangensial dapat
dihitung dengan persamaan :
Ft =
V
102.p
Dimana :
Ft = Gaya tangensial
V = Kecepatan keliling roda gigi
P = Daya yang ditranmisikan

Maka :
Ft =
1,73
102.1,029
= 60,66 kg
60
4.5.3 Menentukan Faktor Dinamis Roda Gigi
Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:240) faktor dinamis roda gigi
dapat ditentukan, karna roda gigi teliti dengan kecepatan V kurang dari 10 (m/s),
maka digunakan persamaan berikut :
Fv =
3v
3
=
3 1,73
3

= 0,634
4.5.4 Menganalisa Tegangan Lentur Yang Terjadi
bahan roda gigi dipilih dari jenis baja karbon dengan lambang S 25 C
(lampiran 1), Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:240) diperoleh
tegangan lentur yang diizinkan untuk roda gigi a = 21 kg/mm2
. tegangan lentur
yang terjadi dapat dicari dengan persamaan :
Fb = a.m.Y.Fv
Dimana :
Fb = beban lentur diizinkan
a = tegangan lentur yang diizinkan
Y = faktor bentuk gigi
Fv = faktor dinamis
m = modul

Maka :
Fb = 21 x 1,25 x 0,440 x 0,634
= 7,32 (kg/mm)
4.5.5 Menganalisa Beban Permukaan Dan Lebar Gigi
Menurut Sularso Dan Kiyokatsu Suga (1997:244) beban permukaan yang
diizinkan dapat diperoleh, dan terlebih dahulu harus diketahui faktor tegangan
kotak diketahui kekerasan (150 Hb) maka harga KH = 0,039 kg/mm2 maka
digunakan persamaan berikut :
61
FH = Fv. KH. d01.
12
2 2.
ZZ
Z

= 0,634 x 0,039 x 110 x


88 88
2 88

x
= 3 kg/mm
Harga minimum Fmin is 3 kg/mm of KH
Maka tebal roda gigi
b = Ft / Fmin
= 60,66 / 3 = 20 mm
4.6 Perhitungan Poros
Untuk menghitung besar diameter dan bahan poros yang sesuai maka
terlebih dahulu perlu penganalisa gaya gaya yang berkerja pada poros. Poros ini
mendapat beban kombinasi puntir dan lentur.
Gambar dibawah ini memperlihatkan gaya gaya yang berkerja pada
poros

Gambar 4.6 hasil analisa gaya yang berkerja pada poros


Dari gambar diatas titik F1 adalah pembebanan oleh sabuk , titik A dan B
adalah titik penempu (bantalan) titik F2 adalah titik pembebanan oleh silinder dan
mata pencacah dan titik F3 pembebanan yang terjadi pada roda gigi
62
4.6.1 Perhitungan momen
Dari perghitungan diatas maka diketahui besar gaya gaya yang berkerja
pada setiap titik adalah sebagai berikut :
F1 = 34,4 kg
F2 = 14 kg
F3 = 3 kg
MA = 0
-F1 (60) + F2(280) - RB(560) + F3(620) = 0
-34,4 (60) + 14(280) + 560RB +3 (620) = 0
-2064 + 3920 - 560RB + 1860 = 0
1856 560 RB + 1860 = 0
560RB = -3716
RB = - 6,6 kg
FB = 0
-F1 (620) + RA (560) - F2(280) + F3 (60) = 0
-34,4 (620) + 560RA 14 (280) + 3 (60) = 0
-21328 + 560RA - 3920 +180 = 0
-21328 + 560RA - 3740 = 0
560RA = 25068
RA = - 44 kg
Jadi :
MC = ME = 0
MA = F1 . 60 = 34,4 .60 = 2064 kg mm
MD = RA . 280 = - 44 . 280 = -12320 kg.mm
MB = F3.60 = 3 . 60 = 180 kg mm
63

4.6.2 Menghitung diameter poros


Dari perhitungan sebelumnya telah diketahui bahwa momen puntir (T)
yang terjadi adalah = 4343 kg mm. sedangkan pada analisa gaya yang membebani
poros adalah telah diketahui bahwa momen lentur maksimum yang terjadi dititik
D adalah 10463,6 kg.mm dalam perencanaan ini bahan poros dipilih dari bahan S
45 C dengan kekuatan tarik B = 58 kg/mm2 (lampiran 1)
Menurut sularso dan kiyokatsu suga (1997 : 8) tegangan geser yang
diizinkan dapat dihitung dengan persamaan berikut :
1 2 Sf . Sf
ab

Dimana :
a = tegangan geser yang diizinkan (kg.mm2)
B = kekuatan tarik maxsimum bahan
Sf1= faktor keamanan bahan poros
64
= umumnya diambil, 6
Sf1= faktor konsentrasi tegangan
= 1,5 3,0 diambil 1,5
Maka :
6 3,0
58
x
a
= 3,2 kg/mm2
4.6.3 Menghitung Diameter Poros
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:8), besarnya diameter poros
dapat dihitung dengan persamaan berikut :
3
1

5,1 . .

Kt Cb T
a
ds

Dimana :
Ds = diameter poros
Kt = Harga untuk faktor kejutan
Cb = harga pembebanan lentur
T = momen puntir
Harga untuk faktor kejutan (Kt) diambil kejutan sedang yaitu : 1,5 dari
(1,5-3,0) dan untuk harga pembebanan lentur (Cb) diambil 2,0 dari (1,2-2,3).
3
1
1,5 . 2 . 4343
6,444
5,1

ds
= 21,76 mm (disesuaikan menjadi 25 mm)
4.6.4 Menghitung Tegangan Geser Yang Terjadi Pada Poros
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1987;7), tegangan geser pada poros
dapat dihitung dengan persamaan :
65

( )3
5,1 .
ds
bT
Dimana :
Ds = diameter poros
Kt = momen putir
b = Tegangan Geser Yang Terjadi Pada Poros
maka :
(25)3
b 5,1 . 4343
= 1,41 Kg/mm2
Dari hasil perhitungan ternyata tegangan geser yang terjadi lebih kecil dari
tegangan geser yang dizinkan, maka poros aman terhadap tegangan puntir yang
terjadi.
a b
3,2 kg/mm2 1,41 Kg/mm2
4.6.5 Pemeriksaan Keamanan Poros
a. Akibat momen puntir
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1987;17), tegangan geser yang
terjadi akibat momen puntir dapat dihitung dengan persamaan berikut :
( )3
16.
ds
bT

Maka :
3.14(25)3
b 16. 4343
66

= 1,41 Kg/mm2
4.7 Perhitungan pasak
Pasak yang akan direncanakan adalah pasak benam yang berpenampang
segi empat. Berdasarkan ukuran diameter poros telah direncanakan maka dapat
dipilih ukuran/ dimensi pasak, sehingga dapat diketahui tekanan permukaan dan
tegangan geser yang terjadi.
Berdasarkan diameter poros yang telah direncanakan adalah 22 mm, maka
dimensi pasak adalah sebagai berikut :
Panjang pasak (b x h) = 8 x 7 mm
Kedalaman alur pasak pada poros (tl) = 4,0 mm
Kedalaman alur pasak pada naf (t2) = 3,3 mm
C = 0,40
L = 18 90 mm
4.7.1 Menghitung Gaya Tangensial
Akibat momen puntir, maka akan timbul gaya tangensial pada permukaan
poros dan besarnya gaya tangensial menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga Elemen
Mesin (1987;25), dapat dihitung dengan persamaan berikut :
( / 2) 5 d
FT
Dimana :
F = gaya tangensial
T = momen punter
ds = diameter poros
maka :
( / 2) 5 d
FT
67
(25 / 2)
4343
= 347,44 Kg
4.7.2 Menghitung Tegangan Geser Yang Terjadi

Akibat gaya tangensial (F) yang bekerja pada permukaan poros, maka
pasak akan putus secara geser selebar (b) dan sepanjang (l) . Menurut Sularso dan
Kiyokatsu Suga Elemen Mesin (1997;25), besarnya tegangan geser yang terjadi
pada pasak dapat dihitung dengan persamaan berikut :
bl
F
k.

Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga Elemen Mesin (1997;27), bahwa


lebar pasak sebaiknya antara 25 35 % dari diameter poros dan panjang pasak
antara 0,75 1,5 diameter poros. Harga tekanan permukaan yang diizinkan (pa)
adalah 8 kg/mm2, sehingga panjang pasak adalah :
l = 1,5 . 25
= 37,5 mm
Sehingga :
8 . 37,5
347,44 k
= 1,15 Kg/mm2
4.7.3 Menghitung Tegangan Geser Izin Pada Pasak
Pada perencanaan pasak, bahan yang akan digunakan S40C dengan
kekuatan tarik bahan sebesar 55 Kg/mm2 . agar bahan yang kita gunakan aman,
maka kita perlu membagikan dengan faktor keamanan ( k1 Sf x k 2 Sf ). Menurut
Sularso dan Kiyokatsu Suga Elemen Mesin (1987;25), diketahui :
k1 Sf = 6 (faktor keamanan)
k 2 Sf = 3 (jika beban dikenakan tumbukan ringan)
Sehingga tegangan geser yang terjadi adalah :
12.kk
ka Sf Sf
b

68

6.3
55 ka
= 3,0 Kg/mm
4628 Karena tegangan geser yang diizinkan lebih besar dari tegangan geser
yang terjadi, maka pasak aman digunakan.
3,0 Kg/mm2 1,15 Kg/mm2
4.7.4 Menghitung Tekanan Permukaan
Tekanan permukaan yang terjadi pada permukaan pasak adalah sepanjang
(l) dan setinggi (t) seperti terlihat pada gambar 4 dibawah ini :
( ) 1 2 l t atau t
PF
(P = merupakan Tekanan permukaan)
37,5 . 4
P 347,44
= 2,31 kg/mm2
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1987;27), harga tekanan permukaan
yang dizinkan (pa = 8 Kg/mm2 ) untuk poros yang berdiameter kecil, 10 (Kg/mm2)
untuk poros dengan diameter besar, dan setengah dari harga-harga diatas untuk
poros berputaran tinggi.
4.8 Perhitungan dan pemilihan bantalan
4.8.1 Menghitung Beban Ekuivalen Dinamis
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1987;135), besarnya beban
ekuivalen dinamis radial dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Pr = X . V . Fr + Y . Fa
Maka untuk mencari nilai Fr adalah :
F F 2 RA2 r t
347,44 2 442
69
= 350 Kg
Untuk nilai (X = 0,56), (V = 1), (Y = 0, )dan (Fa) dapat dilihat (lampiran
7)

Sehingga :
Pr = 0,56 . 1 . 350 + 0 . 0
= 197 Kg
4.8.2 Bantalan pada poros
Berdasarkan diameter poros 25 mm yang sesuai dengan putaran 600 rpm,
maka menurut sularso (1997:143) dapat ditentukan jenis bantalan dengan nomor
6305, (lampiran 8) dengan ukuran rata rata sebagai berikut :
- diameter dalam bantalan = 25 mm
- diameter luar bantalan = 52 mm
- lebar bantalan = 12 mm
- kapasitas beban dinamis spesifik = 1610 kg
- kapasitas beban statis spesifik = 1080 kg
Menurut sularso dan kiyokatsu suga (1997:136) untuk membuktikan
bantalan dalam keadaan aman atau tidak , maka dapat dihitung dengan persamaan
sebagai berikut :
Cp = P
fn
fh
Dimana :
C = beban nominal dinamis spesifik (kg)
P = beban dinamis (ketegangan sabuk = 34,4 kg )
fh = faktor ukuran bantalan
fn = faktor kecepatan
Faktor kecepatan bantalan
fn =
1/ 3 33,3

=
1/ 3
300
33,3

= 0,48
70
Faktor umur bantalan
fh =
1/ 3
500

Lh
dimana :
Lh = umur bantalan 15000 (jam) menurut sularso dan kiyokatsu suga
(1997 :137) untuk pemakain tidak terus menurus.
fh =
1/ 3
500
15000

= 3,10
Sehingga kapasitas beban dinamis spesifik (C) Sularso dan Kiyokatsu
Suga (1987;136), dapat dihitung dengan persamaan berikut :

n
hr
f
Cf.P
0,48
3,10 . 197
= 1272 Kg
4.9 Perhitungan dan Pemilihan baut
Baut merupakan elemen pengikat, disini akan ditentukan ukuran ukuran
utama dari baut. Jumlah baut yang diinginkan untuk mengikat silinder
penghancur berjumlah 2 buah baut jenis baut tanam dan 4 buah baut tembus. Dan
baut untuk pengikat puli sebanyak 4 buah dan baut untuk pengikat bantalan
sebanyak 4 buah.
4.9.1 Perhitungan baut pengikat puli
Menentukan diameter baut
Menurut Khurmi R.S dan J.K Gupta (1982 ; 315), Sehingga dimensidimensi
baut menurut standar SI : 1362-1962 (Refer Fig. 10. 1) adalah :
Bahan : FC 20
Ulir : M 5
Pitch : 0,8
Diameter utama : 5 mm
71
Diameter efektif pitch(dp) : 4,480 mm
Diameter inti(dc) : 4,019 mm
Kedalaman ulir (h) : 0,491 mm
Menentukan beban tarik aksial
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), beban aksial dapat
dihitung dengan persamaan berikut :
2
Wa.d2

=
2
2
2.5
= 25 Kg
Menghitung tegangan geser yang terjadi
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), tegangan geser pada
baut dapat dihitung dengan presamaan berikut :
A
Ft
g
Maka untuk mengetahui Ft digunakan persamaan :
P = 284 . d
= 284 x 5
= 1420
Jadi Ft = . 2
.4
cd
P

= 3.14 4,019 2
1420 4
x
x
= 111 kg/mm2
Luas penampang baut :
2
24


pcdd
A

72
=
2
2
4,480 4,019
4
3,14

= 14 mm2
Maka :
14
111 g
= 7,9 Kg/mm2
4.9.2 Perhitungan baut pengikat bantalan
Menentukan diameter baut
Menurut Khurmi R.S dan J.K Gupta (1982 ; 315), Sehingga dimensidimensi
baut menurut standar SI : 1362-1962 (Refer Fig. 10. 1) adalah :
Bahan : FC 20
Ulir : M 10
Pitch : 1.75
Diameter utama : 10mm
Diameter efektif pitch(dp) : 9,026 mm
Diameter inti(dc) : 8,160 mm
Kedalaman ulir (h) : 0,920 mm

Menentukan beban tarik aksial


Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), beban aksial dapat
dihitung dengan persamaan berikut :
2
Wa.d2

=
2
2
2 . 10
= 100 kg
Menghitung tegangan geser yang terjadi
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), tegangan geser pada
baut dapat dihitung dengan presamaan berikut :
73
A
Ft
g
Maka untuk mengetahui Ft digunakan persamaan :
P = 284 . d
= 284 x 10
= 2840
Jadi Ft = . 2
.4
cd
P

= 3.14 8,1602
2840 4
x
x

= 54,3 kgmm2
Luas penampang baut :
2
24

pcdd
A

=
2
2
9,026 8,160
4
3,14

= 57,9 mm2
Maka :
57,9
54,3 g
= 0,93 Kg/mm2
4.9.3 Perhitungan baut pengikat flens
Menentukan diameter baut
Menurut Khurmi R.S dan J.K Gupta (1982 ; 315), Sehingga dimensidimensi
baut menurut standar SI : 1362-1962 (Refer Fig. 10. 1) adalah :
Bahan : S 20 C

Ulir : M 6
Pitch : 1 mm
Diameter utama : 6 mm
Diameter efektif pitch(dp) : 5,350 mm
74
Diameter inti(dc) : 4,773 mm
Kedalaman ulir (h) : 0,613 mm
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), beban aksial dapat
dihitung dengan persamaan berikut :
2
Wa.d2

=
2
2
2.6
= 36 kg
Menghitung tegangan geser yang terjadi
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), tegangan geser pada
baut dapat dihitung dengan presamaan berikut :
A
Ft
g
Maka untuk mengetahui Ft digunakan persamaan :
P = 284 . d
= 284 x 6
= 1704
Jadi Ft = . 2
.4
cd
P


= 3.14 4,7732
1704 4
x
x
= 95,2kgmm2
Luas penampang baut :
2
24

pcdd
A

=
2
2
5,350 4,773
4
3,14

= 20 mm2
75
Maka :
20
95,2 g

= 4,76 Kg/mm2
4.9.4 Perhitungan baut pengikat silinder
Menurut Khurmi R.S dan J.K Gupta (1982 ; 315), Sehingga dimensidimensi
baut menurut standar SI : 1362-1962 (Refer Fig. 10. 1) adalah :
Ulir : M 5
Pitch : 0,8
Diameter utama : 5 mm
Diameter efektif pitch(dp) : 4,480 mm
Diameter inti(dc) : 4,019 mm
Kedalaman ulir (h) : 0,491 mm
Menentukan beban tarik aksial
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), beban aksial dapat
dihitung dengan persamaan berikut :
2
Wa.d2

=
2
2
2.5
= 25 Kg
Menghitung tegangan geser yang terjadi
Menurut Sularso dan Kiyokatsu Suga (1997:296), tegangan geser pada
baut dapat dihitung dengan presamaan berikut :
A
Ft
g
Maka untuk mengetahui Ft digunakan persamaan :
P = 284 . d
= 284 x 5
= 1420

76
Jadi Ft = . 2
.4
cd
P

= 3.14 4,0192
1420 4
x
x
= 111 kg/mm2
Luas penampang baut :
2
24

pcdd
A

=
2
2
4,480 4,019
4
3,14

= 14 mm2
Maka :
14
111 g
= 7,9 Kg/mm

Anda mungkin juga menyukai