Teknologi
Ekonomi
OUTPUT
Proses
Transformasi
Dana Masuk
Produk
Limbah
Informasi
Dana Keluar
Proses Manajemen
Politik
Sosial Budaya
2.1 Peramalan
2.1.1
Definisi
Peramalan adalah proses untuk memperkirakan berapa kebutuhan dimasa
datang yang meliputi kebutuhan dalam ukuran kuantitas, kualitas, waktu dan lokasi
yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi permintaan barang.
Peramalan tidak terlalu dibutuhkan dalam kondisi permintaan relatif kecil.
Tetapi peramalan akan sangat dibutuhkan dalam kondisi permintaan pasar bersifat
komplek dan dinamis.
Dalam kondisi pasar bebas, permintaan pasar lebih banyak bersifat komplek
dan dinamis karena permintaan tersebut akan tergantung dari keadaan sosial,
ekonomi, politik aspek teknologi, produk pesaing, dan produk substitusi. Oleh karena
itu, peramalan yang akurat merupakan informasi yang sangat dibutuhkan dalam
pengambilan keputusan manajemen. (Nasution, 2003)
2.1.2
hubungannya
dengan
horison
waktu
peramalan,
kita
dapat
Jenis-Jenis Peramalan
Dalam membuat suatu keputusan bisnis, seorang manajer membutuhkan
informasi dari berbagai sisi yang berbeda. Oleh karena itu seorang manajer perlu
melakukan peramalan pada beberapa bidang penting antara lain peramalan tentang
perkembangan teknologi, peramalan tentang kondisi ekonomi, serta peramalan
Peramalan Permintaan
Peramalan permintaan merupakan tingkat permintaan produk-produk yang
diharapkan akan terealisasi untuk jangka waktu tertentu pada masa yang akan datang.
Peramalan permintaan ini akan menjadi masukan yang sangat penting dalam
keputusan perencanaan dan pengendalian perusahaan. Karena bagian operasional
produksi bertanggung jawab terhadap pembuatan produk yang dibutuhkan
konsumen, maka keputusan-keputusan operasi produksi sangat dipengaruhi hasil dari
peramalan permintaan. Peramalan permintaan ini digunakan untuk meramalkan
permintaan dari produk yang bersifat bebas (tidak tergantung), seperti peramalan
produk jadi. (Nasution, 2003)
2.1.5
berbagai faktor yang saling berinteraksi dalam pasar. Faktor-faktor ini hampir selalu
merupakan kekuatan yang berada di luar kendali perusahaan. Berbagai faktor
tersebut antara lain :
a. Siklus Bisnis
Penjualan produk akan dipengaruhi oleh permintaan akan produk tersebut
dan permintaan akan suatu produk akan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi
yang membentuk siklus bisnis dengan fase-fase inflasi, resesi, depresi dan
masa pemulihan.
b. Siklus Hidup Produk
Siklus hidup suatu produk biasanya mengikuti suatu pola yang biasa disebut
kurva S. Kurva S menggambarkan besarnya permintaan terhadap waktu, dimana
siklus hidup suatu produk akan dibagi menjadi fase pengenalan, fase pertumbuhan,
fase kematangan, dan akhinya fase penurunan. Untuk menjaga kelangsungan usaha,
maka perlu dilakukan inovasi produk pada saat yang tepat. (Nasution, 2003)
Penjualan
II
Perkenalan
Pertumbuhan
III
Kejenuhan
IV
Penurunan
Waktu
Keterangan gambar :
1.
2.
3.
4.
Permintaan
Perusahaan
2.1.6
Metode Peramalan
Secara umum, peramalan diklarifikasikan menjadi 2 macam, yaitu :
1. Peramalan yang bersifat subyektif
2. Peramalan yang bersifat obektif
Perbedaan antara kedua macam peramalan ini berdasarkan pada cara
Metode Delphi.
Metode ini merupakan cara sistematis untuk mendapatkan keputusan
bersama dari suatu grup yang terdiri dari para ahli dan berasal dari
disiplin yang berbeda. Grup ini tidak bertemu secara bersama dalam suatu
forum untuk berdiskusi, tetapi mereka diminta pendapatnya secara
terpisah dan tidak boleh saling berunding. Hal ini dilakukan untuk
menghindari pendapat yang bias karena pengaruh kelompok. Pendapat
yang berbeda secara signifikan dari ahli yang lain dalam group tersebut
akan ditanyakan lagi kepada yang bersangkutan, sehingga akhirnya
diperoleh angka estimasi pada interval tertentu yang dapat diterima.
Metode Delphi ini akan dipakai dalam peramalan teknologi yang sudah
digunakan pada pengoperasian jangka panjang. Selain itu, metode ini juga
Peramalan objektif merupakan prosedur peramalan yang mengikuti aturanaturan matematis dan statistik dalam menunjukkan hubungan antara permintaan
dengan satu atau variabel yang mempengaruhinya. Selain itu, peramalan yang
objektif juga mengasumsikan bahwa tingkat keeratan dan macam dari hubungan
antara variable-variabel bebas dengan permintaan yang terjadi pada masa lalu akan
berulang juga pada masa yang akan datang. Peramalan objektif terdiri atas dua
metode, yaitu metode intrinsik dan metode ekstrinsik.
1. Metode Intrinsik
Metode
membuat
peramalan
hanya
berdasarkan
pada
proyeksi
2. Metode Ekstrinsik
Metode ini mempertimbangkan faktor-faktor eksternal yang mungkin
dapat mempengaruhi besarnya permintaan dimasa datang dalam model
peramalannnya. Metode ini lebih cocok untuk peramalan jangka panjang
karena dapat menunjukkan hubungan sebab akibat yang jelas dalam hasil
peramalannya sehingga disebut metode kausal dan dapat memprediksi
titik-titik perubahan. Kelemahan dari metode ini adalah dalam hal
mahalnya biaya aplikasinya dan frekwensi perbaikan hasil peramalan
yang rendah karena sulitnya menyediakan informasi perubahan faktorfaktor eksternal yang terukur. Metode ekstrinsik banyak dipakai untuk
peramalan pada tingkat agregat. Metode ini akan diwakili oleh metode
regresi.
Pembatas :
Keputusan :
1. Data
3. Keahlian
1. Seleksi data
2. Waktu
4. Dana
2. Seleksi Metode
Inputs
Outputs
Data Internal :
Metode
Peramalan :
a. Historis
b. Subjektif
Permintaan yang
Jangka Panjang
diharapkan
Jangka Menengah
1. Prediktif
c. Survey
Jangka Pendek
2. Causal
Data Internal :
a. Historis
3. Time Series
Kesalahan
Peramalan
b. Subyektif
c. Survey
Umpan Balik
Kriteria Performan :
1. Keakuratan
2.Stabilitas Vs Ketanggapan
Benefit of
3.Obyektivitas
Cost Ratio
4.Waktu Persiapan
Gambar 2.4 Input, Jenis dan Umpan Balik Proses Peramalan
Sumber : Nasution, 2003
dalam periode waktu yang lama, sehingga diharapkan pola tersebut masih akan tetap
berlanjut.
Permintaan dimasa lalu pada analisa deret waktu akan dipengaruhi keempat
komponen utama T, C, S, dan R. Penjelasan tentang komponen-komponen tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Kecendrungan/Trend (T).
Trend merupakan sifat dari permintaan dimasa lalu terhadap waktu
terjadinya, apakah permintaan tersebut cenderung naik, turun atau
konstan.
2. Siklus/Cycle (C).
Permintaan suatu produk dapat memiliki siklus yang berulang secara
periodik, biasanya lebih dari satu tahun, sehingga pola ini tidak perlu
dimasukkan dalam peramalan jangka pendek. Pola ini amat berguna
untuk peramalan jangka menengah dan jangka panjang.
3. Pola Musiman/Season (S).
Fluktuasi permintaan suatu produk dapat naik turun disekitar garis trend
dan biasanya berulang setiap tahun. Pola ini biasanya disebabkan oleh
faktor cuaca, musim libur panjang, dan hari raya keagamaan yang akan
berulang secara periodik setiap tahunnya.
4. Variasi Acak/Random (R).
Permintaan dari suatu produk dapat mengikuti pola bervariasi secara
acak karena faktor-faktor adanya bencana alam, bangkrutnya perusahaan
pesaing, promosi khusus, dan kejadian-kejadian lainnya yang tidak
mempunyai pola tertentu. Variasi acak ini diperlukan dalam rangka
menentukan persediaan pengamanan untuk mengantisipasi kekurangan
persediaan bila terjadi lonjakan permintaan.
2.2.8.1 Rata-Rata Bergerak (Moving Average = MA)
Moving Average diperoleh dengan merata-rata permintaan berdasarkan
beberapa data masa lalu yang terbaru. Tujuan utama dari penggunaan teknik MA ini
adalah untuk mengurangi atau menghilangkan variasi acak permintaan dalam
hubungannya dengan waktu. Tujuan ini dicapai dengan merata-ratakan beberapa nilai
data secara bersama-sama, dan menggunakan nilai rata-rata tersebut sebagai ramalan
permintaan untuk periode yang akan datang. Disebut rata-rata bergerak karena begitu
setiap data aktual permintaan yang paling terdahulu akan dikeluarkan dari
perhitungan, kemudian suatu nilai rata-rata baru akan dihitung. Secara sistematis,
maka MA akan dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :
Komponen Tren
Komponen Musiman
Komponen Siklus
Komponen Acak
4
(Tahun)
t =
t -1 t -2 t -3 .... t -M
m
(2.1)
Dimana :
m = adalah jumlah periode yang digunakan sebagai dasar peramalan (nilai m
ini bila minimal 2 dan maksimal tidak ada ditentukan secara subjektif)
t = ramalan permintaan (real) untuk periode t
t = permintaan aktual pada periode t
2.2.8.2 Rata-Rata Bergerak dengan Bobot (Weighted Moving Average = WMA)
Secara matematis, WMA dapat dinyatakan sebagai berikut :
t (t) = c1 t -1 + c2 t -2 + cm t -m
Dimana :
(2.2)
c1
(1-) t -1
(2.3)
Dimana :
2.2 Persediaan
2.2.1
Pengertian Persediaan
Secara umum, persediaan adalah sumber daya organisasi yang disimpan dalam
mengalami stock out (kehabisan barang). Bila perusahaan tidak memiliki persediaan
yang mencukupi, biaya pengadaan darurat akan lebih mahal. Dampak lain kosongnya
barang di pasaran dapat membuat konsumen kecewa dan lari ke merek lain.
Mengingat konsekuensi logis yang dilematis (kekurangan atau kelebihan) dari
persediaan, perusahaan harus merencanakan dan mengendalikan persediaan ini pada
tingkat yang optimal. Kriteria optimal adalah minimalisasi keseluruhan biaya yang
terkait dengan semua konsekuensi kebijakan persediaan (Baroto, 2002).
2.2.3
2.2.4
pengeluaran dan kerugian yang timbul sebagai akibat adanya persediaan. Biaya
sistem persediaan terdiri dari biaya pembelian, biaya pemesanan, biaya simpan dan
biaya kekurangan persediaan. Berikut ini macam-macam biaya-biaya dalam sistem
persediaan:
1.
2.
3.
Biaya
Keterangan: Periode 0 adalah periode lalu. Informasi yang berkaitan dengan inventori awal yang ada
ditempatkan pada periode 0.
Langkah 3: Menentukan kapabilitas produksi, berkaitan dengan sumbersumber daya yang ada.
Langkah 4: Melakukan partnership meeting yang dihadiri oleh manajer
umum, manajer PPIC, manajer pemasaran, manajer keuangan, manajer rekayasa
(engineering), manajer pembelian, manajer jaminan kualitas, dan manajer-manajer
lain yang dianggap relevan. Di sini diasumsikan bahwa yang menjalankan operasi
manufakturing sehari-hari adalah manajer umum dengan dibantu oleh para manajer
lainnya dan mereka mempunyai otoritas untuk membuat keputusan. Apabila yang
memiliki otoritas yang berkaitan dengan pengambilan keputusan penting adalah para
direktur, seyogianya partnership meeting itu dihadiri oleh para direktur. Beberapa hal
penting yang dibahas dalam partnership meeting itu seyogianya diagendakan dan
keputusan yang diambil secara konsensus harus menjadi komitmen bersama. Hal-hal
yang mungkin perlu dicatat adalah: isu-isu khusus, performansi perusahaan berkaitan
dengan pelayanan pelanggan, isu-isu bisnis dan keuangan, laporan dari masingmasing departemen, diskusi tentang produk baru, masalah-masalah dalam proses
produksi, kualitas, biaya produksi, penetapan harga, pembelian bahan baku,
performansi pemasok material, dan lain-lain.
Rencana produksi harus mengacu pada permintaan total, sehingga formula
umum untuk rencana produksi adalah:
Rencana Produksi = (Permintaan Total Inventori Awal) + Inventori Akhir
Formula di atas adalah formula umum dengan masih memberikan toleransi
pada penyimpanan inventori akhir sebagai tindakan pengaman untuk menjaga
kemungkinan hasil produksi aktual lebih rendah dari permintaan total.
Pada dasarnya dalam system MRP II terdapat tiga alternatif strategi
perencanaan produksi, yaitu: level method, chase strategy, dan compromise strategy.
Level method didefinisikan sebagai metode perencanaan produksi yang
mempunyai distribusi merata dalam produksi. Dalam perencanaan produksi, level
method akan mempertahankan tingkat kestabilan produksi sementara menggunakan
inventori yang bervariasi untuk mengakumulasi output apabila terjadi kelebihan
permintaan total.
Chase strategy didefinisikan sebagai metode perencanaan produksi yang
mempertahankan tingkat kestabilan inventori, sementara produksi bervariasi
mengikuti permintaan total.
Compromise strategy merupakan kompromi antara kedua metode perencanaan
produksi di atas.
Berikut ini diberikan contoh hipotesis dari ketiga strategi perencanaan produksi
di atas, dimana hasil dari perencanaan produksi itu dapat ditampilkan dalam bentuk
tabel (lihat Tabel 2.2), dalam bentuk grafik permintaan-produksi-inventori (lihat
Gambar 2.6).
Tabel 2.2 Permintaan-Produksi-Inventori Berdasarkan Tiga Metode
Keterangan:
5. Rencana produksi berdasarkan level method (baris 2) = permintaan total tahunan / banyaknya
periode dalam satu tahun = 240/12 = 20 unit per bulan. Rencana produksi berdasarkan chase
strategy (baris 4) adalah bervariasi setiap bulan mengikuti secara tepat permintaan total pada bulan
itu. Sedangkan rencana produksi berdasarkan compromise (baris 6) ditetapkan bahwa akan
dilakukan produksi selama 6 bulan dengan rata-rata produksi per bulan adalah: 240/6 = 40 unit.
Produksi dimulai pada saat inventori yang tersedia tidak mampu lagi memenuhi permintaan total
pada bulan itu.
6. Inventori yang tersedia pada bulan tertentu (baris 3, 5, dan 7) dihitung dengan cara: (inventori
awal + produksi) permintaan total. Inventori awal adalah inventori pada bulan sebelumnya.
Nilai permintaan total ada dalam baris (1).
3. Berdasarkan hasil-hasil perencanaan produksi di atas, apabila manajemen industri ingin
menerapkan sistem MRP II, dapat mempertimbangkan untuk memilih salah satu dari tiga strategi
itu. Metode Compromise sering dipilih dalam sistem MRP II.
2.4 Penjadwalan Produksi Induk (MPS) atau Jadwal Induk Produksi (JIP)
2.5.1
production scheduling = MPS) perlu dikemukakan kedua istilah tentang MPS yang
dalam buku ini digunakan secara bersamaan yaitu : (1) penjadwalan produksi induk
(master production scheduling = MPS), dan (2) jadwal produksi induk (master
production schedule = MPS). Pada dasarnya istilah MPS yang digunakan untuk
jadwal produksi induk (master production scheduling = MPS). Dengan demikian
apabila ditemukan uraian yang berkaitan dengan aktivitas proses untuk menghasilkan
MPS, yang dimaksudkan dengan MPS disini adalah jadwal produksi induk (master
production schedule = MPS), sedangkan istilah MPS untuk penjadwalan produksi
induk (master production schedule = MPS) mengacu pada aktivitas proses untuk
menghasilkan jadwal produksi induk itu. Dalam beberapa teks yang berkaitan dengan
production planning and inventory control sering istilah untuk penjadwalan produksi
induk yang mengacu pada aktivitas proses menghasilkan MPS disebut sebagai
master scheduling, dan output dari aktivitas itu disebut sebagai master production
schedule (MPS).
Pada dasarnya jadwal produksi induk MPS merupakan suatu pernyataan
tentang produk akhir (termasuk parts pengganti dan suku cadang) dari suatu
perusahaan industri manufaktur yang merencanakan memproduksi output berkaitan
dengan
kuantitas
dan
periode
waktu.
MPS
mendisagregasikan
dan
Data Permintaan Total merupakan salah satu sumber data bagi proses
penjadwalan produksi induk. Data permintaan total berkaitan dengan
ramalan penjualan (sales forecests) dan pesanan-pesanan (orders).
Informasi
dari
RCCP
berupa
kebutuhan
kapasitas
untuk
Rough Cut
Capacity
Planning
(RCCP)
INPUT :
1. Data Permintaan total
2. Status Inventori
3. Rencana Produksi
4. Data Perencanaan
5. Informasi dari RCCP
PROSES :
Penjadwalan
Produksi Induk
(MPS)
OUTPUT :
Jadwal
Produksi Induk
(MPS)
Umpan-balik
Gambar 2.7 Proses Penjadwalan Produksi Induk
Sumber : Gaspersz, 1998
Seperti telah dikemukakan dalam sistem MRP II, Penjadwalan Produksi Induk
(Master Production Scheduling = MPS) merupakan aktivitas perencanaan yang
berada pada level 2 dalam hierarki perencanaan prioritas, sedangkan Perencanaan
Produksi (Production Planning) merupakan aktivitas perencanaan yang berada pada
level 1 (level yang lebih tinggi) dalam hierarki perencanaan prioritas. Pada dasarnya
terdapat sejumlah perbedaan antara Rencana Produksi (Production Plan) dan Jadwal
Produksi Induk (Master Production Schedule = MPS) yang merupakan hasil dari
kedua aktivitas perencanaan tersebut, seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.3.
Deskripsi
Definisi
Rencana Produksi
Tingkat
produksi
berdasarkan
Item yang
Tingkat
produksi
berdasarkan
Direncanakan
Horizon
Waktu
Perencanaan
tunggu
kumulatif
komponen.
4
Batasan-batasan
material
5
2.5.2
Hubungan
Agregasi MPS
Revisi ke-: 0
Disetujui Oleh:
DESKRISPSI PEKERJAAN
FUNGSI DASAR :
Bertanggung jawab untuk perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian aktivitas dari
penyusunan jadual produksi dalam Departemen Perencanaan Kapasitas dan Material.
MELAPOR KE : Manajer Perencanaan Kapasitas dan Material
SUPERVISES : Order Entry Administrator, Assembly Schedulers, Master Scheduling Planners
TANGGUNG JAWAB :
1.
Bertanggung jawab untuk membuat dan memelihara MPS yang valid dan realistik untuk
semua produk Portland. MPS harus merefleksikan kebutuhan untuk pesanan pelanggan, pesanan
stok, depot, rencana ketersediaan produk dan option forecast, pesanan antar-pabrik dan ekspor
dengan pertimbangan ekonomis dan waktu untuk inventori pabrik, efisiensi manufakturing,
pelayanan pelanggan dan kapasitas pabrik. MPS yang tepat akan memungkinkan pabrik
beroperasi pada tingkat yang stabil selama periode oversold order bookings tanpa suatu build up
of past due job orders and inventories, sementara secara simultan tidak akan menimbulkan idle
capacity pada bottleneck work centers.
2.
Bertanggung jawab untuk keakuratan, tepat waktu, dan terorganisasi bagi pemasukan
pesanan dari pesanan penjualan ( sales orders ), termasuk IMTs and Export Orders, untuk semua
portland manufactured lift trucks, carriers, winches, sold alones and production parts.
Bertanggung jawab untuk memelihara komunikasi dengan Industrial Truck and Tractor
Attachment Sales Order desks guna memberikan komitmen pengiriman pesanan pelanggan yang
akurat dan tepat waktu.
3.
4.
Bertanggung jawab untuk menjadualkan industrial truck, carrier, sold alone and winch
assembly guna mendukung komitmen pelanggan dalam batas-batas MPS, Assembly Department
and Parts Bank. Bertanggung jawab untuk penjadwalan major weldments and front ends guna
mendukung assembly schedule.
5.
6.
Memilih, mengembangkan, dan mengevaluasi tenaga kerja, sehingga mereka sebagai tim
kerja sama, mampu menyelesaikan tugas-tugas secara profesional, efisien, dan berwawasan
bisnis
( businesslike ).
Gambar 2.8 Deskripsi Pekerjaan dari Penyusun Jadwal Produksi Induk (Master Scheduler).
Sumber : Gaspersz, 1998
menentukan proses penjadwalan produksi induk (MPS). Beberapa faktor utama itu
adalah:
1. Lingkungan manufakturing.
2. Struktur produk.
3. Horizon perencanaan, waktu tunggu produk (product lead time) dan production
time fences.
4. Pemilihan item-item MPS.
Berikut ini akan dibahas hal-hal yang penting berkaitan dengan faktor-faktor di
atas.
Karakteristik
1.
Make-to-Stock
Assembly-to-Order
Make-to-Order
Rendah
Sedang
Tinggi
Singkat
Sedang
Panjang
Tinggi
Sedang
Rendah
3.
4.
Rendah
Sedang
Tinggi
5.
Ramalan
Ramalan dan
Backlog
Seasonalitas
backlog
Tinggi
Sedang
Rendah
(pengaruh musiman)
7.
Stabilitas produk
Tinggi
Sedang
Rendah
8.
Penanganan ketidakpastian
Stok pengaman
Over-planning dari
Hanya sedikit
komponen dan
ketidakpastian
subassemblies
yang ada
Ditentukan oleh
Digunakan untuk
MPS
pesanan pelanggan
kebanyakan
permintaan
9.
operasi assembly
10.
BOM standar
untuk setiap
structure)
produk
Planning BOM
adalah produk akhir, bagian tengah adalah assemblies, dan bagian bawah atau dasar
adalah komponen dan bahan baku).
Terdapat juga produk-produk seperti mobil dan komputer yang memiliki
struktur modular (synonym: hourglass structure), di mana lebih sedikit
subassemblies atau modules daripada produk akhir (berbentuk dua buah segitiga
dengan dua puncak yang bertemu di tengah, dengan bagian atas adalah produk akhir,
bagian tengah adalah assemblies, dan bagian bawah adalah komponen dan bahan
baku).
Terakhir ada produk seperti : minyak, kertas, dan gelas yang memiliki struktur
inverted, dimana lebih sedikit subasemblies dibandingkan produk akhir, dan lebih
sedikit komponen dan bahan baku dibandingkan subasemblies (berbentuk segitiga
terbalik, dengan bagian atas adalah produk akhir, bagian tengah adalah assemblies,
dan bagian bawah adalah komponen dan bahan baku).
Struktur standar, modular, dan inverted, ditunjukkan dalam Gambar 2.9. Dari
itu tampak grafik tiga tipe genetik dari struktur manufakturing. Tampak bahan baku
(raw materials) berada pada level bawah; assemblies berada pada level tengah; dan
produk akhir (end items) berada pada level puncak (atas). Di bawah grafik itu
dijelaskan secara singkat tentang masing-masing lingkungan manufakturing, yaitu :
make-to-stock, assemble-to-order, dan make-to-order.
Seringkali untuk keperluan peramalan dan perencanaan digunakan pendekatan
Planning terhadap struktur produk dan BOM, sehingga dikenal adanya Planning
BOM. Metode Planning BOM ini akan mengijinkan perencana untuk memenuhi
tujuan-tujuan operasi maupun nonoperasional yang lain. Biasanya pendekatan
Planning BOM akan efektif apabila terdapat perubahan proses yang meningkat dan
lingkungan yang kompetitif serta dinamik. Planning BOM didefinisikan sebagai suatu
pengelompokan artificial dari item-item dan/atau kejadian-kejadian dalam format
BOM. Itu pergunakan untuk memudahkan penjadwalan produksi induk (MPS) atau
perencanaan kebutuhan material (MRP).
Planning BOM tidak menggambarkan produk aktual yang akan dibuat, tetapi
menggambarkan pseudo product atau composite product yang diciptakan untuk
memudahkan dan meningkatkan akurasi peramalan penjualan, mengurangi jumlah
end items, membuat proses perencanaan dan penjadwalan menjadi lebih akurat,
menyederhanakan
pemasukan
pesanan
pelanggan
(customer
order
entry),
menciptakan sistem pemeliharaan dan penyimpanan data yang efisien dan fleksibel,
serta melakukan penjadwalan dua tingkat (two-level MPS). Jenis BOM yang dipakai
untuk keperluan perencanaan ini sering disebut sebagai : planning bill of materials
(planning BOM) atau sering disingkat sebagai planning bill, yang dapat dibagi
kedalam dua jenis, yaitu :
Planning bills dengan item yang dijadwalkan merupakan komponen atau
subasemblies untuk pembuatan produk akhir (end items), di mana item-item yang
dijadwalkan itu secara fisik lebih kecil daripada produk akhir (end items).
Termasuk ke dalam kategori ini adalah modular bill of material dan inverted bill
of material.
Planning bills dengan item yang dijadwalkan memiliki produk akhir sebagai
Assemble-to-Order
Make-to-Order
End Items
FAS &
FAS
MPS
Assemblies
S
T
A
N
D
A
R
FAS
M
O
D
U
L
A
R
I
N
V
E
R
T
E
D
MPS
Raw
Materials
Dalam struktru standar sedikit
end items standar yang dibuat
dari komponen-komponen.
Produk akhir ini disimpan
dalam stock untuk pengiriman.
MPS
Dalam struktur modular banyak
end items yang dibuat dari
subassemblies yang sama,
kemudian disimpan untuk
assembly guna memenuhi
pesanan pelanggan.
Berikut ini akan dibahas secara sekilas tentang planning bills yang dimaksud di
atas. Planning Bills dengan Scheduled Items Merupakan Komponen dari Produk
Akhir:
Body
Engine
Transmission
Accessories
2-door
V-6
Manual
No accessories
4-door
V-8
Automatic
Accessory package # 1
Convertible
Diesel
Accessory package # 2
Accessory package # 3
Dari Tabel 2.5 tampak bahwa banyaknya mobil dengan pilihan kombinasi
berbeda yang dapat dijual adalah : 3 x 3 x 2 x 4 = 72. Jika mobil-mobil merupakan
make-to-stock dan MPS memasukkan semua kombinasi yang mungkin (72), maka
perencana harus meramalkan setiap jenis mobil dari 72 kombinasi itu, sebagai misal:
jenis mobil 4-door body, V-8 engine, automatic transmission, accessory package # 3,
dan seterusnya.
Dengan menggunakan modular bills, kemudian menjadwalkan modules dalam
MPS, perencana hanya perlu meramalkan setiap module atau pilihan (option), di
mana dalam contoh ini adalah sebanyak 12 (= 3 + 3 + 2 + 4). Dengan menggunakan
modular bills, penyusun MPS menjadwalkan setiap module dalam MPS, dan MRP
menjadwalkan subassemblies dan komponen-komponen untuk membangun setiap
module. Final assembly schedule (FAS) menggunakan produk akhir dari BOM yang
akan mendiktekan modules mana yang secara aktual dirakit untuk memenuhi
pesanan spesifik dari pelanggan. Perusahaan-perusahaan yang memiliki strategi
seperti: minyak, besi, pulp, atau coklat, yang dapat diubah ke dalam banyak
produk unik.
Gambar 2.10 menunjukkan suatu inverted bill of material untuk minyak
(petroleum).
Petroleum (100 %)
Gasoline (50%)
Kerosene (15%)
Asphalt
(10%)
Gambar 2.10 Inverted Bill of Materials for Petroleum
Sumber : Gaspersz, 1998
Dalam inverted bills of materials, peramalan dan MPS dilakukan pada level
bahan baku (raw material), dan bukan pada level produk akhir (end items).
Peramalan pada level bahan baku agregat lebih akurat daripada peramalan pada level
produk akhir individual. Inverted bills didasarkan pada asumsi bahwa persentase
penggunaan relatif konstan dan dapat diperkirakan. Perencanaan menggunakan
inverted bills umum diterapkan dalam industri proses (flow shop manufacturing).
Planning Bills dengan Scheduled Items yang Memiliki Produk Akhir Sebagai
Komponen :
Super Bills of Material. Suatu planning bills di mana item yang dijadwalkan
lebih besar daripada produk akhir disebut sebagai Super Bills. Secara spesifik,
suatu super bill adalah single-level BOM di mana parent adalah pseudo (not real)
assembly, dan children adalah real end products. Kuantitas dari setiap child
adalah fraksi atau pecahan dari ramalan total untuk parent. Berdasarkan
kenyataan ini, super bill juga sebagai ratio bill or percentage bill. Fraksi untuk
setiap child biasanya didasarkan pada informasi penjualan waktu lalu, meskipun
dapat juga merefleksikan kecenderungan penjualan yang diproyeksikan. Super
bills membutuhkan two-level MPS untuk penjadwalan. Di bawah sistem twolevel MPS, perencana memasukkan permintaan total untuk super (and pseudo)
assembly ke dalam level puncak dari MPS. Sistem MPS kemudian explode level
puncak, menggunakan fraksi dalam super bill, kemudian menghitung jadwal
produksi untuk produk akhir aktual dalam level yang lebih rendah dari MPS.
Gambar 2.11 menunjukkan format dari super bill of material dari perusahaan
pembuat peralatan lantai dan taman.
Lawn & Garden Equipment (100 %)
Push Lawn
Self-Propelled
Riding Lawn
Mower
Lawn Mower
Mower
(49%)
(13%)
(20%)
Roto-Tiller
Garden Tractor
(10%)
(8%)
Gambar 2.11 Super Bill for a Lawn and Garden Equipment Manufacturer
Sumber : Gaspersz, 1998
Bor 1/16
(12%)
Bor 1/8
Bor
(34%)
(37%)
Bor
(10%)
Bor
(7%)
Sering kali perusahaan yang memiliki line product sangat besar akan
membagi produk-produk ke dalam kelompok-kelompok agar memudahkan
perencanaan dan pengendalian. Perusahaan dapat membuat misalnya: 5000
sampai 10000 produk akhir dapat dikelompokkan secara logik ke dalam 10
sampai 30 kelompok pseudo product. Penampilan dan penggunaan dari super
family bill of material serupa dengan super bill of material, kecuali perbedaannya
terletak pada bagaimana parent pseudo product ditentukan.
Super Modular Bill of Material merupakan kombinasi antar super bill dan
modular bill. Dalam hal ini parent adalah suatu unbuildable group of modules
yang digunakan hanya untuk tujuan perencanaan, sedangkan children adalah
modules yang dapat muncul dalam produk akhir. Penggunaan super modular bill
untuk mobil ditunjukkan dalam Gambar 2.13.
Dalam Gambar 2.13 terlihat bahwa mobil memiliki mesin: 50% V-6, 40% V8, dan 10% diesel, yang jelas merupakan unbuildable group of modules (tidak
dapat dirakit atau dioperasikan). Bagaimanapun ia dapat digunakan untuk
meramalkan dan membangun berbagai modules yang diperlukan untuk merakit
mobil yang nyata (real auto mobiles). Dalam kebanyakan situasi, para praktisi
lebih suka menggunakan super modular bill dibandingkan modular bill, karena
pseudo assembly of modules biasanya dapat diramalkan secara lebih akurat
dibandingkan setiap individual module.
Deskripsi
Persen
Mobil
100
Body
100
2-door
40
4-door
50
Convertible
10
Engine
100
V-6
50
V-8
40
Diesel
10
Transmission
100
Manual
30
Automatic
70
Accessories
80
Accessory Package 1
40
Accessory Package 2
30
Accessory Package 3
10
Common Parts
100
K-Bills:
K-Bills adalah contoh lain dari penggunaan planning bills yang terjadi apabila
beberapa komponen kecil, seperti baut, mur, dan lain-lain., dibutuhkan dalam
kombinasi yang sama, namun disebut dalam struktur yang berbeda. Hal ini secara
umum dilakukan apabila kasus item-item level 1 dipromosikan ke status level 0
dalam modularization, dimana dari sudut pandang perencanaan item-item kecil itu
diperlakukan sebagai komponen dari suatu imaginary assembly. Keadaan ini disebut
sebagai: kit number atau lebih sering disebut sebagai K-bill. Contoh penggunaan
Common Parts Kit untuk produk pintu garasi dan pembukanya, ditunjukkan dalam
Gambar 2.14.
2.5.3.3 Horizon Perencanaan, Waktu Tunggu Produk (Product Lead Time) dan
Production Time Fences.
Di samping faktor lingkungan manufakturing dan struktur produk, ada faktorfaktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain MPS, yaitu horizon
perencanaan, waktu tunggu produk dan production time fences. Gambar 2.15
menunjukkan horizon perencanaan, waktu tunggu, dan production time finces yang
berkaitan dengan MPS.
Memperhatikan faktor horizon perencanaan, waktu tunggu produk dan
production time fences dalam proses desain MPS mengharuskan kita untuk bekerja
secara profesional terutama yang berkaitan dengan manajemen waktu. Berikut ini
akan dibahas secara singkat ketiga aspek yang berkaitan dengan manajemen waktu
dalam proses desain MPS.
Motor Assembly
Overhead Door
Assembly
ITEM
1151
1152
1153
1201
1202
1203
1321
1322
1331
1332
1333
1341
Bolt
Washer
Nuts
Cotter Pin
Fastener
Clips
Cable
Spring
Side Rails
Angle Rails
Top Rails
Rail Mount
KIT NUMBER
4
4
4
2
4
6
2
9
2
2
4
16
K-1002
5
5
5
3
5
6
2
12
2
2
4
18
K-1003
5
5
5
3
5
6
4
12
2
2
4
18
K-1000
Gambar 2.14 Contoh Penggunaan K-Bills untuk Produk Garage Door & Opener
Sumber : Gaspersz, 1998
AKTIVITAS OPERASI
PLANNING VISIBILITY
HORIZON
Waktu Tunggu
Perolehan Material
dan Rekayasa
FREE
Waktu Tunggu
Assembly
Komponen
Waktu Tunggu
Final Assembly
Make-to-Stock
Waktu Tunggu
Proses Pesanan
Dan Pengiriman
PLANNING
FENCE
FIRM
SLUSHY
FREE
DEMAND
FENCE
Assemble-to-Order
FIRM
SLUSHY
PLANNING
FENCE
DEMAND
FENCE
FREE
FIRM
SLUSHY
Make-to-Order
DEMAND
FENCE
PLANNING
FENCE
kapasitas dari pusat-pusat kerja utama (primary work centers). Perlu diperhatikan
bahwa dalam menetapkan horizon perencanaan harus dipertimbangkan aspekaspek berikut: horizon perencanaan paling sedikit sepanjang waktu tunggu
produk kumulatif, additional visibility lebih disukai, panjang dari horizon
perencanaan harus sama dengan banyaknya periode dikalikan dengan panjang
dari setiap periode (H = L x N, di mana: H = Horizon, L = Length of period, dan
N = Number of periods). Horizon perencanaan dari MPS ditunjukkan dalam
bentuk yang lebih sederhana seperti tampak dalam Gambar 2.16.
Assembly
Fabrikasi
Procurement
Visibility
(3-6 bulan)
Future
Gambar 2.16 MPS Planning Horizon
Sumber : Gaspersz, 1998
di mana dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS tidak diijinkan atau
tidak diterima karena akan menimbulkan kerugian biaya yang besar akibat
ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal. Sedangkan planning time fence (PTF)
didefinisikan sebagai periode mendatang dari MPS di mana dalam periode ini
perubahan-perubahan terhadap MPS dievaluasi guna mencegah ketidaksesuaian atau
kekacauan jadwal yang akan menimbulkan kerugian dalam biaya. MPS biasanya
dinyatakan sebagai firm planned orders (FPO) dalam PTF.
Berdasarkan dua jenis time fence di atas, didefinisikan tiga periode manajemen
waktu untuk MPS, yaitu : firm (or frozen) period, slushy period, dan free (or liquid
period). Dalam firm (or frozen) period, yaitu periode di dalam DTF, tidak boleh ada
perubahan-perubahan terhadap MPS. Apabila dibutuhkan perubahan-perubahan yang
bersifat sangat darurat (emergency changes) yang harus dibuat, penyusun MPS hanya
PTF
Emergency
Changes
Assembly
Mix Changes
Only
Fabrikasi
Procurement
Rates and
Any Changes
Visibility
(3-6 bulan)
Future
Gambar 2.17 MPS Time Fences
Sumber : Gaspersz, 1998
Setiap item yang dibuat harus memiliki BOM, sehingga MPS dapat explode
melalui BOM untuk menentukan kebutuhan komponen dan material.
2.5.4
berdasarkan laporan dari printout komputer. Pada saat ini telah banyak program
On Hand adalah posisi inventori awal yang secara fisik tersedia dalam stok,
yang merupakan kuantitas dari item yang ada dalam stok.
Lot Size adalah kuantitas dari item yang biasanya dipesan dari pabrik atau
pemasok. Sering disebut juga sebagai kuantitas pesanan (order quantity) atau
ukuran batch (batch size).
Safety Stock adalah stok tambahan dari item yang direncanakan untuk berada
dalam inventori yang dijadikan sebagai stok pengaman guna mengatasi fluktuasi
dalam ramalan penjualan, pesanan-pesanan pelanggan dalam waktu singkat
(short-term customer orders), penyerahan item untuk pengisian kembali inventori
, dan lain-lain. Safety Stock merupakan kebijaksanaan manajemen berkaitan
dengan stabilisasi dari sistem manufakturing, di mana apabila sistem
manufakturing semakin stabil kebijaksanaan stok pengaman ini dapat
diminimumkan.
Demand Time Fence (DTF) adalah periode mendatang dari MPS di mana
dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS tidak diijinkan atau tidak
diterima karena akan menimbulkan kerugian biaya yang besar akibat
ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal.
Planning Time Fence (PTF) adalah periode mendatang dari MPS di mana
dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS dievaluasi guna mencegah
ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal yang akan menimbulkan kerugian dalam
biaya. MPS biasanya dinyatakan sebagai firm planned orders (FPO) dalam PTF.
PTF sering ditetapkan pada waktu tunggu kumulatif (lihat Gambar 2.17). Waktu
tunggu kumulatif (cumulative lead time) merupakan waktu yang dibutuhkan
untuk memproduksi produk-produk sejak awal, yang merupakan jalur waktu
terpanjang dari puncak (end items) ke bawah (raw materials) dalam struktur
produk. Perubahan-perubahan dalam MPS melewati waktu tunggu kumulatif
(melewati PTF) dapat dibuat dengan cepat oleh penyusun MPS karena akan
cukup waktu untuk membeli atau membuat perubahan dalam produk. Namun
perubahan-perubahan dalam waktu tunggu kumulatif harus diselidiki sebelum
disetujui, apakah cukup waktu untuk membuat atau membeli item itu, karena
dapat mengganggu jadwal produksi yang telah ditetapkan. Kekacauan pada
jadwal produksi akan berakibat pada keterlambatan produksi dan penyerahan
Time Periods for Display adalah banyaknya periode waktu yang ditampilkan
dalam format MPS. Dalam Gambar 2.18 ditampilkan periode waktu 6 minggu
(dengan asumsi PTF = 4 minggu). Dalam sistem MRP II biasanya periode waktu
ditampilkan dalam unit waktu mingguan. Penyusun MPS harus menjadwalkan
produksi melewati waktu tunggu kumulatif untuk produk (dalam Gambar 2.18
diasumsikan waktu tunggu kumulatif adalah 4 minggu). Banyaknya periode
waktu dalam perencanaan MPS ini sering disebut sebagai horizon perencanaan
MPS. Dalam Gambar 2.18 tampak
Lead Time: 1
On Hand: 10
Sales Plan (Sales Forecast)
Actual Orders
Projected Available Balances (PAB)
Available To Promise (ATP)
Cummulative ATP
MPS
20
0 - 5 = 13
PAB (After DTF) = Prior-period PAB + MPS Greater Value of Sales Forecast or
Actual Orders
PAB3 = 13 + 20 - 20 = 13
PAB4 = 13 +
0 - 10 =
PAB5 = 3 +
0 - 10 = -7
PAB6 = -7 +
0 - 10 = -17
ATP3 = (
20 0) (20 + 5) = 20 25 = -5
Berdasarkan hasil perhitungan tampak bahwa nilai ATP pada minggu pertama
adalah 13 unit. Hal ini berarti bahwa pada minggu pertama masih tersedia 13 unit
produk untuk pesanan baru. Dengan demikian, apabila ada pelanggan baru yang
memesan, katakanlah 10 unit, kita boleh menjamin bahwa pesanan itu akan dapat
dikirim pada minggu pertama, karena nilai ATP = 13 unit lebih besar daripada
pesanan baru sebesar 10 unit itu. Cumulative ATP menunjukkan ATP pada periode
waktu tertentu; sebagai misal cumulative ATP pada minggu ketiga adalah 8 unit,
berarti apabila ada pesanan baru dari pelanggan yang meminta untuk dikirim pada
minggu ketiga sebesar 10 unit, maka kita tidak boleh menjanjikannya, karena ATP
pada periode ketiga hanya 8 unit (lebih rendah daripada pesanan baru yang masuk
sebesar 10 unit). Berdasarkan kenyataan ini, informasi yang berasal dari nilai-nilai
ATP akan memungkinkan bagian pemasaran untuk menjawab secara tepat setiap
pertanyaan pelanggan yang berkaitan dengan kuantitas pemesanan produk dan waktu
penyerahannya.
2.5 Material Requirement Planning (MRP)
MRP adalah suatu prosedur logis berupa aturan keputusan dan teknik transaksi
berbasis komputer yang dirancang untuk menerjemahkan Jadwal Induk Produksi
menjadi kebutuhan bersih untuk semua item. Sistem MRP dikembangkan untuk
membantu perusahaan manufaktur mengatasi kebutuhan akan item-item dependent
secara lebih baik dan efisien. Disamping itu sistem MRP dirancang untuk membuat
pesanan-pesanan produksi dan pembelian untuk mengatur aliran bahan baku dan
persediaan dalam proses sehingga sesuai dengan jadwal produksi untuk produk akhir.
Hal ini memungkinkan perusahaan memelihara tingkat minimum dari item-item yang
kebutuhannya dependent, tetapi tetap dapat menjamin terpenuhinya jadwal produksi
untuk produk akhirnya. Sistem MRP juga dikenal sebagai perencanaan kebutuhan
berdasarkan tahapan waktu (time-phase requirements planning).
2.5.1
yang tepat untuk melakukan tindakan yang tepat (pembatalan pemesanan, pesan
ulang, dan penjadwalan ulang). Tindakan ini juga merupakan dasar untuk membuat
keputusan baru mengenai pembelian atau produksi yang merupakan perbaikan atas
keputusan yang telah dibuat sebelumnya.
Ada empat tujuan yang menjadi cirri utama sistem MRP yaitu sebagai berikut :
1. Menentukan kebutuhan pada saat yang tepat.
2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item.
3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan.
4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang
sudah direncanakan.
2.5.2
jumlahnya
karena
transaksi-transaksi
yang
terjadi,
seperti
MPS
PROGRAM KOMPUTER
MRP
BOM
FILE
PERSEDIAAN
LAPORAN
Ke Bagian
Pembelian
Ke Bagian
Produksi
2.5.4
kompleks,
2.5.5
5
400
-150
850
150
1000
1000
Penjelasan yang berkaitan dengan format tampilan horizontal dari MRP di atas
akan dibahas berikut ini.
Lot Size merupakan kuantitas pesanan (order quantity) dari item yang
memberitahukan MRP berapa banyak kuantitas yang harus dipesan serta teknik
lot-sizing apa yang dipakai. Pembahasan dalam buku ini akan menggunakan
teknik fixed quantity lot-size yang merupakan teknik lot-sizing dengan kuantitas
pesanan tetap. Dalam kasus yang dikemukakan di atas, ukuran kuantitas pesanan
adalah tetap sebesar 1000 unit.
Dalam kasus yang dikemukakan dalam Gambar 2.21, dikemukakan bahwa onhand pada awal periode 1 adalah 550 unit, sehingga projected on-hand untuk periode
1, 2, 3, 4, dan 5 dihitung sebagai berikut:
Projected on-hand periode 1 = 550 + 0 250 = 300 unit
Projected on-hand periode 2 = 300 + 1000 500 = 800 unit
Projected on-hand periode 3 = 800 + 0 200 = 600 unit
Projected on-hand periode 4 = 600 + 0 350 = 250 unit
Projected on-hand periode 5 = 250 + 0 400 = -150 unit
Tampak bahwa projected on-hand balance pada periode 5 telah menjadi
negatif, yang berarti kita telah memperkirakan akan terjadi kekurangan item
sebanyak 150 unit dalam periode 5. Dengan demikian net ruquirements dalam
periode 5 adalah 150 unit. Net requirements itu perlu dipenuhi melalui planned order
receipts yang dapat dimasukkan untuk periode yang sama (menggunakan angka lot
size) dan selanjutnya planned order release dapat dimasukkan menggunakan lead
time offset. Dalam kasus yang dikemukakan angka lot size adalah 1000 unit,
sehingga planned order receipts untuk periode 5 (periode di mana net requirements
adalah 150 unit) adalah 1000 unit, selanjutnya planned order release dihitung
mundur ke belakang (backward) sebanyak lead time 3 minggu sehingga diperoleh: 5
3 = 2; berarti planned order release ditempatkan dalam periode (minggu) ke-2
sebanyak 1000 unit. (Catatan: planned order release selalu memiliki kuantitas yang
sama dengan planned order receipts, tetapi ditetapkan mundur ke belakang dengan
menggunakan panjang waktu tunggu (lead time offset).
Beberapa catatan penting yang perlu diketahui di sini adalah:
1. Baris projected on-hand tidak menggambarkan planned order receipts, tetapi
hanya menunjukkan scheduled receipts.
2. Sekali projected on-hand menjadi negatif, ia akan terus menjadi negatif. Nilai
negatif akan terus menjadi lebih besar pada setiap periode waktu dengan
bertambahnya gross requirements, kecuali telah muncul scheduled receipts yang
menutupi kekurangan item itu.
3. Net Requirements akan ditunjukkan sebagai nilai positif yang sesuai dengan
pertambahan negatif dari projected on-hand dalam periode yang sama.
4. Apabila lot size tidak ditentukan, planned order receipts untuk satu periode akan
identik dengan net requirements yang ditunjukkan pada periode yang sama.
Dalam hal ini berarti kita menggunakan teknik lot-for-lot.
= 550 + 0 + 0 250
= 300 unit
= 800 + 0 + 0 200
= 600 unit
= 600 + 0 + 0 350
= 250 unit
oleh MRP untuk diterima pada periode tertentu guna memenuhi kebutuhan bersih
(net requirements). Apabila menggunakan teknik lot-for-lot, maka planned order
receipts dalam setiap periode selalu sama dengan net requirements pada periode
itu. Jika planned order dimodifikasi melalui kebijaksanaan lot sizing, maka
planned orders dapat melebihi net requirements akan dimasukkan ke dalam
projected available inventory untuk penggunaan pada periode berikutnya.
kadang disebut sebagai: record balancing. Proses balancing terdiri dari perhitunganperhitungan baris projected on-hand atau projected available untuk setiap periode
dalam planning horizon untuk menjamin bahwa semua kekurangan material di masa
yang akan datang dapat di penuhi oleh planned orders. Beginning on-hand balances,
allocated quantities, dan safety stock, semuanya dimasukkan dalam perhitungan.
Beberapa
catatan
tambahan
yang
perlu
diperhatikan
dalam
proses
penghitungan MRP, adalah: (1) allocated stock harus dikurangkan dari beginning onhand balance guna memberikan beginning balance available untuk perencanaan, (2)
safety stock dikurangkan dari beginning on-hand balance, serta net requirements
muncul apabila projected on-hand jatuh pada atau di bawah kuantitas safety stock.
Dari pembahasan di atas, tampak bahwa proses MRP merupakan suatu
kombinasi dari empat proses logik yang sangat sederhana, yaitu : (1) penentuan net
requirements untuk setiap periode, (2) penentuan planned orders untuk setiap
periode, (3) lead time offesetting, dan (4) exploding planned orders.