Anda di halaman 1dari 60

BAB 2

PRODUCT PLANNING INVENTORY


CONTROL (PPIC)
2.1. Sistem Produksi
Aktivitas produksi sebagai suatu bagian dari organisasi perusahaan
bertanggung jawab terhadap pengolahan bahan baku menjadi produksi jadi yang
dapat dijual. Untuk melaksanakan fungsi produksi tersebut, diperlukan rangkaian
kegiatan yang akan membentuk suatu sistem produksi. Ada tiga fungsi utama dari
kegiatan-kegiatan produksi yang dapat kita identifikasi, yaitu :
1. Proses Produksi, yaitu metode dan teknik yang digunakan dalam mengolah bahan
baku menjadi produk
2. Perencanaan Produksi, yaitu merupakan tindakan antisipasi dimasa mendatang
sesuai dengan periode waktu yang direncanakan.
3. Pengendalian Produksi, yaitu tindakan yang menjamin bahwa semua kegiatan
yang dilaksanakan dalam perencanaan telah dilakukan sesuai dengan target yang
telah ditetapkan.
Untuk melaksanakan fungsi-fungsi produksi dengan baik, maka diperlukan
rangkaian kegiatan yang akan membentuk suatu sistem produksi. Sistem produksi
merupakan kumpulan dari sub sistem-sub sistem yang saling berinteraksi dengan
tujuan mentransformasi input produksi menjadi output produksi. Input produksi ini
dapat berupa bahan baku, mesin, tenaga kerja, modal, dan informasi, sedangkan
output produksi merupakan produk yang dihasilkan berikut hasil sampingannya
seperti limbah, informasi, dan sebagainya. (Nasution, 2003)
INPUT
Material
Tenaga Kerja
Dana
Mesin
Informasi

Teknologi

Ekonomi

OUTPUT

Proses
Transformasi

Dana Masuk

Produk
Limbah
Informasi
Dana Keluar

Proses Manajemen

Politik

Sosial Budaya

Gambar 2.1 Skema Proses Transformasi


Sumber : Nasution, 2003

Bidang produksi mempunyai lima tanggung jawab keputusan utama yaitu :


1. Proses
Keputusan-keputusan dalam kategori ini menentukan proses fisik atau fasilitas
yang digunakan untuk untuk memproduksi barang atau jasa. Keputusan mencakup
jenis peralatan dan teknologi, arus proses, tata letak (layout) peralatan dan seluruh
aspek fisik pabrik atau fasilitas jasa pelayanan.
2. Kapasitas
Keputusan kapasitas dimaksudkan untuk menentukan besarnya kapasitas yang
tepat dan penyediaan waktu yang tepat. Kapasitas jangka panjang ditentukan oleh
besarnya fasilitas fisik yang dibangun. Dalam jangka pendek kapasitas kadangkadang diperbesar dengan mengadakan sub-kontrak kepada pihak luar atau
penambahan regu (shift) atau menyewa ruangan / peralatan tambahan.
3. Persediaan
Manajer persediaan membuat keputusan-keputusan dalam bidang produksi,
menyangkut apa yang dipesan, berapa banyak pemesanan, serta kapan pemesanan
dilakukan.
4. Tenaga kerja
Dalam manajemen produksi, penentuan dan pengelolaan tenaga kerja atau sumber
daya manusia menempati posisi sangat penting. Proses produksi tidak mungkin
berlangsung tanpa tenaga kerja yang menggarap kegiatan untuk menghasilkan
produk, baik berupa barang atau jasa. Keputusan tentang tenaga kerja mencakup
seleksi, penggajian, pelatihan, penempatan, penyelian atau supervisi.
5. Mutu / kualitas
Fungsi produksi ditandai dengan penekanan tanggung jawab yang lebih besar
terhadap mutu barang atau jasa yang dihasilkan. Mutu merupakan tanggung jawab
produksi yang penting dan harus didukung oleh organisasi secara keseluruhan.
Tujuan umum perusahaan manufaktur adalah memproduksi secara sukses,
ekonomis, tepat waktu sesuai dengan janji yang diberikan, dan memperoleh
keuntungan. Salah satu fungsi yang terpenting dalam mendukung usaha untuk
mencapai tujuan perusahaan manufaktur adalah perencanaan dan pengendalian
produksi. (Permono, 2005)

Aktivitas perencanaan dan pengendalian produksi akan merupakan langkah


manajemen yang sangat penting terutama untuk menjaga kelancaran aliran material
dari saat awal sampai dengan akhir produksi. Dalam kaitan ini, fungsi-fungsi
perencanaan dan pengendalian produksi dapat dijabarkan secara sistematis sebagai
berikut : (Wignjosubroto, 2003)
1. Fungsi Peramalan (forecasting)
Fungsi ini akan membuat ramalan kebutuhan (demand) dari produk yang harus
dibuat, yang dinyatakan dalam kuantitas (jumlah) produk sebagai fungsi dari
waktu. Peramalan dilakukan dalam jangka panjang (long term), jangka menengah
(medium term), dan jangka pendek (short term).
Keseluruhan ramalan dikembangkan oleh top manajemen dan menjadi panduan
perencanaan produksi. Peramalan memuat garis besar tujuan dan sasaran
perusahaan, termasuk barang dan jasa tertentu yang akan ditawarkan pada tahuntahun mendatang serta memerinci jumlah pabrik atau fasilitas jasa, tenaga kerja,
permesinan, fasilitas transportasi, gudang atau penyimpanan yang akan diperlukan
untuk memenuhi permintaan.
2. Fungsi Perencanaan Produksi (agregate production planning)
Seperti halnya ramalan kebutuhan, maka perencanaan produksi juga dibuat dalam
jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek. Perencanaan produksi
dibuat dengan memperhatikan berbagai macam alternatif produksi yang
didasarkan pada kapasitas internal yang dimiliki untuk bisa menghasilkan strategi
berproduksi yang optimal. Singkatnya semua sumberdaya produktif harus
dialokasikan dan selalu siap tersedia untuk memenuhi rencana produksi
berdasarkan ramalan kebutuhan yang dibuat.
3. Fungsi Perencanaan dan Pengendalian Persediaan (inventory planning and
control)
Merupakan fungsi perencanaan dan pengendalian persediaan, terutama yang
berkaitan dengan persediaan bahan baku (material), baik yang berupa material
langsung maupun tidak langsung dalam jumlah yang optimal untuk menjaga
kelancaran proses operasional.
Spesifikasi dari sistem dan prosedur persediaan meliputi :
a. Macam dan sistem pengorderan

b. Jumlah atau besar order setiap kali dibuat


c. Ada tidaknya safety atau buffer stock
Sejumlah metode yang membantu dalam mengendalikan persediaan diantaranya
adalah pengendalian persediaaan dengan metode EOQ, EPQ, MRP, JIT (Just In
Time) dan lain-lain.
4. Fungsi Penjadwalan Produksi/Operasional (operation scheduling)
Proses untuk membuat perencanaan produksi agregat menjadi lebih berjalan
mulus. Dalam hal ini proses produksi dijadwalkan dalam skala waktu yang
singkat/pendek (minggu, hari, ataupun jam) untuk memenuhi permintaan
(demand) akan produk.
Penjadwalan terjadi pada berbagai tingkat. Pertama, suatu tingkat puncak atau
jadwal produksi induk (master production schedule) yaitu jadwal yang
memperlihatkan produk mana yang akan diproduksi, kapan produksi akan dimulai
dan sumber daya apa yang akan digunakan selama periode waktu yang sudah
ditentukan.
5. Fungsi Pengendalian Performa (performance control)
Meliputi fungsi pengendalian kualitas produk maupun proses, perawatan untuk
menjaga keandalan kinerja dari sistem produksi, pengendalian biaya (budget), dan
lain-lain.
Pengendaliaan mutu ini harus dimulai dari tahap awal yaitu dari bahan mentah,
proses produksi, sampai barang jadi.
Untuk mengelola kualitas, perusahaan ada yang menggunakan cara Manajemen
Kualitas Total atau Total Quality Management (TQM) yaitu jumlah seluruh
kegiatan yang diperlukan untuk menempatkan kualitas barang dan jasa ke dalam
tempat pasar.
Alat yang sering digunakan dalam manajemen kualitas total adalah
a. Analisa nilai tambah
b. Kontrol proses statistik
c. Studi kualitas / biaya
d. Tim gugus kendali mutu
e. Benchmarking

2.1 Peramalan
2.1.1

Definisi
Peramalan adalah proses untuk memperkirakan berapa kebutuhan dimasa

datang yang meliputi kebutuhan dalam ukuran kuantitas, kualitas, waktu dan lokasi
yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi permintaan barang.
Peramalan tidak terlalu dibutuhkan dalam kondisi permintaan relatif kecil.
Tetapi peramalan akan sangat dibutuhkan dalam kondisi permintaan pasar bersifat
komplek dan dinamis.
Dalam kondisi pasar bebas, permintaan pasar lebih banyak bersifat komplek
dan dinamis karena permintaan tersebut akan tergantung dari keadaan sosial,
ekonomi, politik aspek teknologi, produk pesaing, dan produk substitusi. Oleh karena
itu, peramalan yang akurat merupakan informasi yang sangat dibutuhkan dalam
pengambilan keputusan manajemen. (Nasution, 2003)
2.1.2

Peramalan dan Horison Waktu


Dalam

hubungannya

dengan

horison

waktu

peramalan,

kita

dapat

mengklasifikasikan peramalan tersebut ke dalam 3 kelompok yaitu:


1. Peramalan Jangka Panjang, umumnya 2 sampai 10 tahun. Peramalan ini
digunakan untuk perencanaan produk dan perencanaan sumber daya.
2. Peramalan Jangka Menengah, umumnya 1 sampai 24 bulan.Peramalan ini
biasa digunakan untuk menentukan aliran ka,perencanaan produksi, dan
penentuan anggaran.
3. Peramalan Jangka Pendek, umumnya 1 sampai 5 minggu.Peramalan ini
digunakan untuk mengambil keputusan dalam hal perlu tidaknya lembur,
penjadwalan kerja, dan lain-lain keputusan untuk pengontrolan jangka
pendek. (Nasution, 2003)
2.1.3

Jenis-Jenis Peramalan
Dalam membuat suatu keputusan bisnis, seorang manajer membutuhkan

informasi dari berbagai sisi yang berbeda. Oleh karena itu seorang manajer perlu
melakukan peramalan pada beberapa bidang penting antara lain peramalan tentang
perkembangan teknologi, peramalan tentang kondisi ekonomi, serta peramalan

permintaan. Pada bidang perencanaan dan pengendalian produksi (PPC), bidang


peramalan yang difokuskan adalah peramalan permintaan. (Nasution, 2003)
2.1.4

Peramalan Permintaan
Peramalan permintaan merupakan tingkat permintaan produk-produk yang

diharapkan akan terealisasi untuk jangka waktu tertentu pada masa yang akan datang.
Peramalan permintaan ini akan menjadi masukan yang sangat penting dalam
keputusan perencanaan dan pengendalian perusahaan. Karena bagian operasional
produksi bertanggung jawab terhadap pembuatan produk yang dibutuhkan
konsumen, maka keputusan-keputusan operasi produksi sangat dipengaruhi hasil dari
peramalan permintaan. Peramalan permintaan ini digunakan untuk meramalkan
permintaan dari produk yang bersifat bebas (tidak tergantung), seperti peramalan
produk jadi. (Nasution, 2003)
2.1.5

Faktor yang Mempengaruhi Permintaan


Permintaan akan suatu produk pada suatu perusahaan merupakan resultan dari

berbagai faktor yang saling berinteraksi dalam pasar. Faktor-faktor ini hampir selalu
merupakan kekuatan yang berada di luar kendali perusahaan. Berbagai faktor
tersebut antara lain :
a. Siklus Bisnis
Penjualan produk akan dipengaruhi oleh permintaan akan produk tersebut
dan permintaan akan suatu produk akan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi
yang membentuk siklus bisnis dengan fase-fase inflasi, resesi, depresi dan
masa pemulihan.
b. Siklus Hidup Produk
Siklus hidup suatu produk biasanya mengikuti suatu pola yang biasa disebut
kurva S. Kurva S menggambarkan besarnya permintaan terhadap waktu, dimana
siklus hidup suatu produk akan dibagi menjadi fase pengenalan, fase pertumbuhan,
fase kematangan, dan akhinya fase penurunan. Untuk menjaga kelangsungan usaha,
maka perlu dilakukan inovasi produk pada saat yang tepat. (Nasution, 2003)

Penjualan

II

Perkenalan

Pertumbuhan

III
Kejenuhan

IV
Penurunan

Waktu

Gambar 2.2 Tahapan Siklus Hidup Suatu Produk


Sumber : Nasution, 2003

Keterangan gambar :
1.

Perkenalan : pertumbuhan penjualan lambat karena produk baru saja


diperkenalkan kepada konsumen sedangkan biaya sangat tinggi sehingga
produk tidak menghasilkan keuntungan sama sekali.

2.

Pertumbuhan : pasar dengan cepat menerima produk baru sehingga


penjualan melonjak dan menghasilkan keuntungan yang besar.

3.

Kejenuhan : periode dimana pertumbuhan penjualan menurun karena


produk sudah bisa diterima oleh sebagian besar pembeli potensial. Jumlah
keuntungan mantap, stabil, atau menurun karena meningkatnya biaya
pemasaran untuk melawan para pesaing.

4.

Penurunan : dalam periode ini penjualan menurun dengan tajam diikuti


dengan menyusutnya keuntungan.

Faktor-faktor Lain. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi permintaan


adalah reaksi balik dari pesaing, perilaku konsumen yang berubah, dan usaha-usaha
yang dilakukan sendiri oleh perusahaan, seperti peningkatan kualitas, pelayanan,
anggaran periklanan, dan kebijaksanaan pembayaran secara kredit.

Permintaan

Perusahaan

Gambar 2.3 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Permintaan


Sumber : Nasution, 2003

2.1.6

Karakteristik Peramalan yang Baik


Peramalan yang baik mempunyai kriteria yang penting antara akurasi, biaya,

dan kemudahan. Penjelasan dari kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut :


a. Akurasi, akurasi dari dari hasil dari suatu peramalan diukur dengan
kebiasaan

dan kekonsistenan peramalan tersebut. Hasil peramalan

dikatakan bias bila peramalan tersebut terlalu tinggi rendah dibandingkan


kenyataan. Dan dikatakan konsisten jika kesalahan dalam peramalan relatif
kecil. Peramalan yang terlalu rendah akan mengakibatkan kekurangan
persediaan, sehingga permintaan konsumen tidak dapat dipenuhi segera,
akibatnya adalah perusahaan dimungkinkan kehilangan pelanggan dan
kehilangan keuntungan penjualan. Peramalan yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan terjadinya penumpukan persediaan, sehingga banyak modal
yang terserap sia-sia. Keakuratan dari hasil peramalan ini berperan penting
dalam menyeimbangkan persediaan yang ideal (meminimasi penumpukan
persediaan dan memaksimasi tingkat pelayanan).
b. Biaya, biaya yang diperlukan dalam peramalan tergantung dari jumlah item
yang diramalkan, lamanya periode peramalan, dan metode peramalan yang

dipakai. Ketiga faktor pemicu biaya tersebut akan mempengaruhi beberapa


banyak data yang dibutuhkan, bagaimana pengelolahan datanya (manual atau
komputerisasi), bagaimana penyimpanan datanya dan siapa tenaga ahli yang
diperbantukan.
c. Kemudahan, penggunaan metode peramalan yang sederhana, mudah dibuat,
dan mudah diaplikasikan akan memberikan keuntungan bagi perusahaan.
Adalah percuma dengan metode yang canggih, tetapi tidak dapat
diaplikasikan pada sistem perusahaan karena keterbatasan dana, sumber
daya manusia, maupun peralatan teknologi. (Nasution, 2003)
2.1.7

Metode Peramalan
Secara umum, peramalan diklarifikasikan menjadi 2 macam, yaitu :
1. Peramalan yang bersifat subyektif
2. Peramalan yang bersifat obektif
Perbedaan antara kedua macam peramalan ini berdasarkan pada cara

mendapatkan nila-nilai ramalan. Peramalan subyektif lebih menekankan kepada


keputusan-keputusan hasil diskusi, pendapat pribadi seseorang, dan intuisi yang
meskipun kelihatannya kurang ilmiah tetapi dapat memberikan hasil yang baik.
Peramalan subyektif ini akan diwakili oleh metode Delphi dan metode penelitian
pasar.
1.

Metode Delphi.
Metode ini merupakan cara sistematis untuk mendapatkan keputusan
bersama dari suatu grup yang terdiri dari para ahli dan berasal dari
disiplin yang berbeda. Grup ini tidak bertemu secara bersama dalam suatu
forum untuk berdiskusi, tetapi mereka diminta pendapatnya secara
terpisah dan tidak boleh saling berunding. Hal ini dilakukan untuk
menghindari pendapat yang bias karena pengaruh kelompok. Pendapat
yang berbeda secara signifikan dari ahli yang lain dalam group tersebut
akan ditanyakan lagi kepada yang bersangkutan, sehingga akhirnya
diperoleh angka estimasi pada interval tertentu yang dapat diterima.
Metode Delphi ini akan dipakai dalam peramalan teknologi yang sudah
digunakan pada pengoperasian jangka panjang. Selain itu, metode ini juga

bermanfaat dalam pengembangan produk baru, pengembangan kapasitas


produksi, penerebosan kesegmen pasar baru dan strategi keputusan bisnis
lainnya.
2.

Metode Penelitian Pasar


Metode ini mengumpulkan dan menganalisa fakta secara sistematis pada
bidang yang berhubungan dengan pemasaran. Salah satu teknik utama
dalam penelitian pasar ini adalah survey konsumen. Survey konsumen
akan memberikan informasi mengenai selera yang diharapkan oleh
konsumen, dimana informasi tersebut diperoleh dari sample dengan cara
kuisioner. Penelitian pasar sering digunakan dalam merencanakan produk
baru, sistem periklanan dan promosi yang tepat. Hasil dari penelitian
pasar ini kadang-kadang jika dipakai sebagai dasar peramalan permintaan
produk baru.

Peramalan objektif merupakan prosedur peramalan yang mengikuti aturanaturan matematis dan statistik dalam menunjukkan hubungan antara permintaan
dengan satu atau variabel yang mempengaruhinya. Selain itu, peramalan yang
objektif juga mengasumsikan bahwa tingkat keeratan dan macam dari hubungan
antara variable-variabel bebas dengan permintaan yang terjadi pada masa lalu akan
berulang juga pada masa yang akan datang. Peramalan objektif terdiri atas dua
metode, yaitu metode intrinsik dan metode ekstrinsik.
1. Metode Intrinsik
Metode

membuat

peramalan

hanya

berdasarkan

pada

proyeksi

permintaan historis tanpa mempertimbangkan faktor-faktor eksternal


yang mungkin mempengaruhi besarnya permintaan. Metode ini hanya
cocok untuk peramalan jangka pendek pada kegiatan produksi, dimana
dalam rangka pengendalian produksi dan pengendalian persediaan bahan
baku seringkali perusahaan harus melibatkan banyak item yang berbeda.
Hal ini tentu membosankan, sehingga memerlukan metode-metode
peramalan yang mudah dan murah. Metode intrinsik akan diwakili oleh
analisis deret waktu (Time Series).

2. Metode Ekstrinsik
Metode ini mempertimbangkan faktor-faktor eksternal yang mungkin
dapat mempengaruhi besarnya permintaan dimasa datang dalam model
peramalannnya. Metode ini lebih cocok untuk peramalan jangka panjang
karena dapat menunjukkan hubungan sebab akibat yang jelas dalam hasil
peramalannya sehingga disebut metode kausal dan dapat memprediksi
titik-titik perubahan. Kelemahan dari metode ini adalah dalam hal
mahalnya biaya aplikasinya dan frekwensi perbaikan hasil peramalan
yang rendah karena sulitnya menyediakan informasi perubahan faktorfaktor eksternal yang terukur. Metode ekstrinsik banyak dipakai untuk
peramalan pada tingkat agregat. Metode ini akan diwakili oleh metode
regresi.

Pembatas :

Keputusan :

1. Data

3. Keahlian

1. Seleksi data

2. Waktu

4. Dana

2. Seleksi Metode

Inputs

Outputs

Data Internal :
Metode
Peramalan :

a. Historis
b. Subjektif

Permintaan yang

Jangka Panjang

diharapkan

Jangka Menengah

1. Prediktif

c. Survey

Jangka Pendek

2. Causal
Data Internal :
a. Historis

3. Time Series

Kesalahan
Peramalan

b. Subyektif
c. Survey
Umpan Balik
Kriteria Performan :
1. Keakuratan
2.Stabilitas Vs Ketanggapan

Benefit of

3.Obyektivitas

Cost Ratio

4.Waktu Persiapan
Gambar 2.4 Input, Jenis dan Umpan Balik Proses Peramalan
Sumber : Nasution, 2003

2.2.8 Analisa Deret Waktu (Time Series)


Analisa Deret Waktu didasarkan pada asumsi bahwa deret waktu tersebut
terdiri dari komponen-komponen Trend (T), siklus/Cycle (C), Pola Musiman/Season
(S), dan variasi Acak/Random (R) yang akan menunjukkan suatu pola tertentu.
Komponen-komponen tersebut kemudian dipakai sebagai dasar dalam membuat
persamaan matematis. Analisa Deret Waktu ini sangat tepat dipakai untuk
meramalkan permintaan yang pola permintaan dimasa lalunya cukup konsisten

dalam periode waktu yang lama, sehingga diharapkan pola tersebut masih akan tetap
berlanjut.
Permintaan dimasa lalu pada analisa deret waktu akan dipengaruhi keempat
komponen utama T, C, S, dan R. Penjelasan tentang komponen-komponen tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Kecendrungan/Trend (T).
Trend merupakan sifat dari permintaan dimasa lalu terhadap waktu
terjadinya, apakah permintaan tersebut cenderung naik, turun atau
konstan.
2. Siklus/Cycle (C).
Permintaan suatu produk dapat memiliki siklus yang berulang secara
periodik, biasanya lebih dari satu tahun, sehingga pola ini tidak perlu
dimasukkan dalam peramalan jangka pendek. Pola ini amat berguna
untuk peramalan jangka menengah dan jangka panjang.
3. Pola Musiman/Season (S).
Fluktuasi permintaan suatu produk dapat naik turun disekitar garis trend
dan biasanya berulang setiap tahun. Pola ini biasanya disebabkan oleh
faktor cuaca, musim libur panjang, dan hari raya keagamaan yang akan
berulang secara periodik setiap tahunnya.
4. Variasi Acak/Random (R).
Permintaan dari suatu produk dapat mengikuti pola bervariasi secara
acak karena faktor-faktor adanya bencana alam, bangkrutnya perusahaan
pesaing, promosi khusus, dan kejadian-kejadian lainnya yang tidak
mempunyai pola tertentu. Variasi acak ini diperlukan dalam rangka
menentukan persediaan pengamanan untuk mengantisipasi kekurangan
persediaan bila terjadi lonjakan permintaan.
2.2.8.1 Rata-Rata Bergerak (Moving Average = MA)
Moving Average diperoleh dengan merata-rata permintaan berdasarkan
beberapa data masa lalu yang terbaru. Tujuan utama dari penggunaan teknik MA ini
adalah untuk mengurangi atau menghilangkan variasi acak permintaan dalam
hubungannya dengan waktu. Tujuan ini dicapai dengan merata-ratakan beberapa nilai

data secara bersama-sama, dan menggunakan nilai rata-rata tersebut sebagai ramalan
permintaan untuk periode yang akan datang. Disebut rata-rata bergerak karena begitu
setiap data aktual permintaan yang paling terdahulu akan dikeluarkan dari
perhitungan, kemudian suatu nilai rata-rata baru akan dihitung. Secara sistematis,
maka MA akan dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :

Komponen Tren

Komponen Musiman

Komponen Siklus

Komponen Acak

4
(Tahun)

Gambar 2.5 Deret Waktu Selama 4 Tahun dan Komponen-Komponennya


Sumber : Nasution, 2003

t =

t -1 t -2 t -3 .... t -M
m

(2.1)

Dimana :
m = adalah jumlah periode yang digunakan sebagai dasar peramalan (nilai m
ini bila minimal 2 dan maksimal tidak ada ditentukan secara subjektif)
t = ramalan permintaan (real) untuk periode t
t = permintaan aktual pada periode t
2.2.8.2 Rata-Rata Bergerak dengan Bobot (Weighted Moving Average = WMA)
Secara matematis, WMA dapat dinyatakan sebagai berikut :
t (t) = c1 t -1 + c2 t -2 + cm t -m
Dimana :

(2.2)

= ramalan permintaan (real) untuk periode t

= permintaan aktual pada periode t

c1

= bobot masing-masing data yang digunakan (c1 = 1),


ditentukan secara subjektif

= jumlah periode yang digunakan untuk peramalan (subjektif)

2.2.8.3 Pemulusan Eksponensial (Exponensial Smoothing = ES)


Kelemahan teknik MA dalam kebutuhan akan data-data masa lalu yang cukup
banyak dapat diatasi dengan teknik ES. Model matematis ES ini dapat dikembangkan
dari persamaan berikut :
t

(1-) t -1

(2.3)
Dimana :

= perkiraan permintaan pada periode t

= suatu nilai (0 < < 1) yang ditentukan secara subjektif

= permintaan aktual pada periode t

= perkiraan permintaan pada periode t-1

2.2 Persediaan
2.2.1

Pengertian Persediaan
Secara umum, persediaan adalah sumber daya organisasi yang disimpan dalam

antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan. Persediaan adalah komponen,


material, atau produk jadi yang tersedia di tangan, menunggu untuk digunakan atau
diijual (Baroto, 2002).
Persediaan adalah bahan mentah, barang dalam proses (work in process),
barang jadi, bahan pembantu, bahan pelengkap, komponen yang disimpan dalam
antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan (Baroto, 2002).
Persediaan adalah sumber daya menganggur (idle resources yang menunggu
proses lebih lanjut (Nasution, 2003), yang dimaksud dengan proses lebih lanjut
tersebut berupa kegiatan produksi pada sistem manufaktur, kegiatan pemasaran pada
sistem distribusi ataupun kegiatan konsumsi pangan pada sistem rumah tangga.
Persediaan merupakan timbunan barang (bahan baku, komponen, produk
setengah jadi atau produk akhir, dan lain-lain) yang secara sengaja disimpan sebagai
cadangan (safety atau buffer-stock untuk menghadapi kelangkaan pada saat proses
produksi sedang berlangsung (Wignjosubroto, 2003).
2.2.2

Sistem Pengendalian Persediaan


Sistem pengendalian persediaan dapat didefinisikan sebagai serangkaian

kebijakan pengendalian untuk menentukan tingkat persediaan yang harus dijaga,


kapan pesanan untuk menambah persediaan harus dilakukan dan berapa besar
pesanan harus diadakan. Sistem ini menentukan dan menjamin tersedianya
persediaan yang tepat dalam kuantitas dan waktu yang tepat (Herjanto, 1999).
Pengendalian persediaan merupakan fungsi manajerial yang sangat penting,
karena mayoritas perusahaan melibatkan investasi besar pada aspek ini (20% sampai
60%). Hal ini merupakan dilema bagi perusahaan. Bila persediaan dilebihkan, biaya
penyimpanan dan modal yang diperlukan bertambah. Bila perusahaan menanam
terlalu banyak modalnya dalam persediaan, menyebabkan pernyimpanan yang
berlebihan. Kelebihan persediaan juga membuat modal menjadi berhenti, semestinya
modal tersebut dapat diinestasikan pada sektor lain yang lebih menguntungkan
(opportunity cost). Sebaliknya, bila persediaan dikurangi, suatu ketika bisa

mengalami stock out (kehabisan barang). Bila perusahaan tidak memiliki persediaan
yang mencukupi, biaya pengadaan darurat akan lebih mahal. Dampak lain kosongnya
barang di pasaran dapat membuat konsumen kecewa dan lari ke merek lain.
Mengingat konsekuensi logis yang dilematis (kekurangan atau kelebihan) dari
persediaan, perusahaan harus merencanakan dan mengendalikan persediaan ini pada
tingkat yang optimal. Kriteria optimal adalah minimalisasi keseluruhan biaya yang
terkait dengan semua konsekuensi kebijakan persediaan (Baroto, 2002).
2.2.3

Jenis-Jenis Persediaan Menurut Fisik


Secara fisik, jenis-jenis persediaan dapat dikelompokkan dalam lima kategori,

yaitu sebagai berikut : (Baroto, 2002)


1. Bahan mentah (raw materials)
Barang-barang berwujud seperti baja, kayu, tanah liat, atau bahan-bahan mentah
lainnya yang diperoleh dari sumber-sumber alam, atau dibeli dari pemasok, atau
diolah sendiri oleh perusahaan untuk digunakan perusahaan dalam proses
produksinya sendiri.
2. Komponen
Barang-barang yang terdiri atas bagian-bagian (parts) yang diperoleh dari
perusahaan lain atau hasil produksi sendiri untuk digunakan dalam pembuatan
barang jadi atau barang setengah jadi.
3. Barang setengah jadi (work in process)
Barang-barang keluaran dari tiap operasi produksi atau perakitan yang telah
memiliki bentuk lebih kompleks daripada komponen, namun masih perlu proses
lebih lanjut untuk menjadi barang jadi.
4. Barang jadi (finished good)
Barang-barang yang telah selesai diproses dan siap untuk didistribusikan ke
konsumen.
5. Bahan pembantu Barang-barang yang diperlukan dalam proses pembuatan atau
perakitan barang, namun bukan merupakan komponen barang jadi.

2.2.4

Biaya-Biaya dalam Sistem Persediaan


Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem persediaan adalah semua

pengeluaran dan kerugian yang timbul sebagai akibat adanya persediaan. Biaya
sistem persediaan terdiri dari biaya pembelian, biaya pemesanan, biaya simpan dan
biaya kekurangan persediaan. Berikut ini macam-macam biaya-biaya dalam sistem
persediaan:
1.

Biaya pembelian (Purchasing Cost) yaitu biaya yang dikeluarkan untuk


membeli barang. Besarnya biaya pembelian ini tergantung pada jumlah
barang yang dibeli dan harga satuan barang.

2.

Biaya pengadaan (Procurement Cost) yaitu biaya pemesanan bila yang


diperlukan diperlukan dari pihak luar dan biaya pembuatan bila barang
diperoleh dengan memproduksi sendiri. Biaya ini meliputi biaya
pemesanan dan biaya pembuatan.

3.

Biaya

penyimpanan (Holding Cost) yaitu semua pengeluaran yang

timbul akibat menyimpan barang. Biaya ini meliputi biaya memiliki


persediaan (biaya modal), biaya gudang, biaya kerusakan dan
penyusutan, biaya kadaluwarsa (Absolence), biaya asuransi, biaya
administrasi dan pemindahan. Dalam manajemen persediaan, terutama
yang berhubungan dengan masalah kuantitatif, biaya simpan per-unit
diasumsikan linier terhadap jumlah barang yang disimpan (misalnya:
Rp/unit/tahun).
4.

Biaya kekurangan persediaan (Shortage Cost) yaitu bila perusahaan


kehabisan barang pada saat ada permintaan, maka akan terjadi keadaan
kekurangan persediaan. Keadaan ini akan menimbulkan kerugian karena
proses produksi akan terganggu dan kehilangan mendapatkan keuntungan
atau kehilangan konsumen pelanggan karena kecewa sehingga beralih ke
tempat lain. Biaya kekurangan persediaan dapat di ukur dari kuantitas
yang tidak dapat dipenuhi, waktu pemenuhan dan biaya pengadaan
darurat.

2.3 Perencanaan Produksi


Pada dasarnya proses perencanaan produksi dapat dikemukakan melalui empat
langkah utama, sebagai berikut :
Langkah 1: Mengumpulkan data yang relevan dengan perencanaan produksi.
Beberapa informasi yang dibutuhkan adalah: sales forecast yang bersifat tidak pasti
dan pesanan-pesanan (orders) yang bersifat pasti selama periode waktu tertentu.
Selanjutnya perlu pula diperhatikan backlog (pesanan yang telah diterima pada
waktu lalu namun belum dikirim), kuantitas produksi di waktu lalu yang masih
kurang dan harus diproduksi, dan lain-lain. Penjumlahan dari data ini merupakan
total kebutuhan atau total permintaan produk pada titik waktu tertentu. Selanjutnya
dikumpulkan informasi yang berkaitan dengan inventori awal (beginning inventory)
yang ada sekarang sebelum produksi itu dimulai.
Langkah 2: Mengembangkan data yang relevan itu menjadi informasi yang
teratur seperti dikemukakan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Informasi yang Diperlukan untuk Perencanaan Produksi

Keterangan: Periode 0 adalah periode lalu. Informasi yang berkaitan dengan inventori awal yang ada
ditempatkan pada periode 0.

Langkah 3: Menentukan kapabilitas produksi, berkaitan dengan sumbersumber daya yang ada.
Langkah 4: Melakukan partnership meeting yang dihadiri oleh manajer
umum, manajer PPIC, manajer pemasaran, manajer keuangan, manajer rekayasa
(engineering), manajer pembelian, manajer jaminan kualitas, dan manajer-manajer
lain yang dianggap relevan. Di sini diasumsikan bahwa yang menjalankan operasi

manufakturing sehari-hari adalah manajer umum dengan dibantu oleh para manajer
lainnya dan mereka mempunyai otoritas untuk membuat keputusan. Apabila yang
memiliki otoritas yang berkaitan dengan pengambilan keputusan penting adalah para
direktur, seyogianya partnership meeting itu dihadiri oleh para direktur. Beberapa hal
penting yang dibahas dalam partnership meeting itu seyogianya diagendakan dan
keputusan yang diambil secara konsensus harus menjadi komitmen bersama. Hal-hal
yang mungkin perlu dicatat adalah: isu-isu khusus, performansi perusahaan berkaitan
dengan pelayanan pelanggan, isu-isu bisnis dan keuangan, laporan dari masingmasing departemen, diskusi tentang produk baru, masalah-masalah dalam proses
produksi, kualitas, biaya produksi, penetapan harga, pembelian bahan baku,
performansi pemasok material, dan lain-lain.
Rencana produksi harus mengacu pada permintaan total, sehingga formula
umum untuk rencana produksi adalah:
Rencana Produksi = (Permintaan Total Inventori Awal) + Inventori Akhir
Formula di atas adalah formula umum dengan masih memberikan toleransi
pada penyimpanan inventori akhir sebagai tindakan pengaman untuk menjaga
kemungkinan hasil produksi aktual lebih rendah dari permintaan total.
Pada dasarnya dalam system MRP II terdapat tiga alternatif strategi
perencanaan produksi, yaitu: level method, chase strategy, dan compromise strategy.
Level method didefinisikan sebagai metode perencanaan produksi yang
mempunyai distribusi merata dalam produksi. Dalam perencanaan produksi, level
method akan mempertahankan tingkat kestabilan produksi sementara menggunakan
inventori yang bervariasi untuk mengakumulasi output apabila terjadi kelebihan
permintaan total.
Chase strategy didefinisikan sebagai metode perencanaan produksi yang
mempertahankan tingkat kestabilan inventori, sementara produksi bervariasi
mengikuti permintaan total.
Compromise strategy merupakan kompromi antara kedua metode perencanaan
produksi di atas.

Berikut ini diberikan contoh hipotesis dari ketiga strategi perencanaan produksi
di atas, dimana hasil dari perencanaan produksi itu dapat ditampilkan dalam bentuk
tabel (lihat Tabel 2.2), dalam bentuk grafik permintaan-produksi-inventori (lihat
Gambar 2.6).
Tabel 2.2 Permintaan-Produksi-Inventori Berdasarkan Tiga Metode

Keterangan:
5. Rencana produksi berdasarkan level method (baris 2) = permintaan total tahunan / banyaknya
periode dalam satu tahun = 240/12 = 20 unit per bulan. Rencana produksi berdasarkan chase
strategy (baris 4) adalah bervariasi setiap bulan mengikuti secara tepat permintaan total pada bulan
itu. Sedangkan rencana produksi berdasarkan compromise (baris 6) ditetapkan bahwa akan
dilakukan produksi selama 6 bulan dengan rata-rata produksi per bulan adalah: 240/6 = 40 unit.
Produksi dimulai pada saat inventori yang tersedia tidak mampu lagi memenuhi permintaan total
pada bulan itu.
6. Inventori yang tersedia pada bulan tertentu (baris 3, 5, dan 7) dihitung dengan cara: (inventori
awal + produksi) permintaan total. Inventori awal adalah inventori pada bulan sebelumnya.
Nilai permintaan total ada dalam baris (1).
3. Berdasarkan hasil-hasil perencanaan produksi di atas, apabila manajemen industri ingin
menerapkan sistem MRP II, dapat mempertimbangkan untuk memilih salah satu dari tiga strategi
itu. Metode Compromise sering dipilih dalam sistem MRP II.

Gambar 2.6 Permintaan-Produksi-Inventori Berdasarkan Level, Chase, dan Compromise


Sumber : Gaspersz, 1998

2.4 Penjadwalan Produksi Induk (MPS) atau Jadwal Induk Produksi (JIP)
2.5.1

Konsep Dasar Tentang Aktivitas Penjadwalan Produksi Induk


Sebelum memulai pembahasan tentang penjadwalan produksi induk (master

production scheduling = MPS) perlu dikemukakan kedua istilah tentang MPS yang
dalam buku ini digunakan secara bersamaan yaitu : (1) penjadwalan produksi induk
(master production scheduling = MPS), dan (2) jadwal produksi induk (master
production schedule = MPS). Pada dasarnya istilah MPS yang digunakan untuk
jadwal produksi induk (master production scheduling = MPS). Dengan demikian
apabila ditemukan uraian yang berkaitan dengan aktivitas proses untuk menghasilkan
MPS, yang dimaksudkan dengan MPS disini adalah jadwal produksi induk (master
production schedule = MPS), sedangkan istilah MPS untuk penjadwalan produksi
induk (master production schedule = MPS) mengacu pada aktivitas proses untuk
menghasilkan jadwal produksi induk itu. Dalam beberapa teks yang berkaitan dengan
production planning and inventory control sering istilah untuk penjadwalan produksi
induk yang mengacu pada aktivitas proses menghasilkan MPS disebut sebagai
master scheduling, dan output dari aktivitas itu disebut sebagai master production
schedule (MPS).
Pada dasarnya jadwal produksi induk MPS merupakan suatu pernyataan
tentang produk akhir (termasuk parts pengganti dan suku cadang) dari suatu
perusahaan industri manufaktur yang merencanakan memproduksi output berkaitan
dengan

kuantitas

dan

periode

waktu.

MPS

mendisagregasikan

dan

mengimplementasikan rencana produksi. Apabila rencana produksi yang merupakan


hasil dari proses perencanaan produksi (aktivitas pada level 1 dalam hierarki
perencanaan prioritas) dinyatakan dalam bentuk agregat, jadwal produksi induk MPS
yang merupakan hasil dari proses penjadwalan produksi induk MPS dinyatakan
dalam konfigurasi spesifik dengan nomor-nomor item yang ada dalam Item Master
dan BOM (Bills of Material) files.
Aktivitas penjadwalan produksi induk (MPS or master scheduling) pada
dasarnya berkaitan dengan bagaimana menyusun dan memperbaharui jadwal
produksi induk (MPS), memproses transaksi dari MPS, memelihara catatan-catatan
MPS, mengevaluasi efektivitas dari MPS, dan memberikan laporan evaluasi dalam
periode waktu yang teratur untuk keperluan umpan-balik dan tinjauan ulang.

Berdasarkan uraian di atas, kita mengetahui bahwa MPS berkaitan dengan


pernyataan tentang produksi, dan bukan pernyataan tentang permintaan pasar. MPS
sering didefinisikan sebagai anticipated build schedule untuk item-item yang disusun
oleh perencana jadwal produksi induk (master schedule). MPS membentuk jalinan
komunikasi antara bagian pemasaran dan bagian manufakturing, sehingga
seyogyanya bagian pemasaran juga mengetahui informasi yang ada dalam MPS
terutama berkaitan dalam MPS terutama berkaitan dengan ATP (Available To
Promise) agar dapat memberikan janji yang akurat kepada pelanggaran. Jangan
sampai di era globalisasi yang menuntut profesionalisme tinggi, apabila ada
pertanyaan dari pelanggan tentang : Apakah pesanan saya bisa dikirim pada tanggal
15 April (tahun tertentu) ?, lalu masih dijumpai jawaban dari orang-orang di bagian
pemasaran berupa : Wah saya tidak bisa menentukan karena semuanya tergantung
pada bagian produksi di pabrik, mereka yang menyusun jadwal, apalagi pesanan lagi
banyak dan menumpuk, serta kapasitas produksi kami terbatas! Jawaban seperti ini
menunjukkan bahwa industri manufaktur itu dikelola oleh orang-orang yang tidak
profesional, karena tidak ada penerapan sistem manajemen manufaktur dalam
industri itu.
Pertanyaan penulis buku ini, Apa tugas dan tanggung jawab dari bagian
pemasaran dan bagian produksi dalam industri manufaktur itu ? Jawaban seperti di
atas menunjukkan tidak adanya kerjasama dan komunikasi antara bagian pemasaran
dan bagian produksi, serta masing-masing bagian tidak mengetahui tugas dan
tanggung jawab profesional dalam sistem manajemen industri manufaktur. Yang ada
adalah sama-sama kerja (bukan kerja sama) dengan motivasi sekadar untuk mencari
makan di perusahaan industri manufaktur itu, dengan prinsip: lu-lu, gue-gue, yang
penting tugas saya selesai! Tugas apa? Tugas yang tidak profesional? Suatu hal yang
mustahil untuk memenangkan persaingan global, apabila industri manufaktur di
Indonesia masih dikelola secara tidak profesional seperti contoh kasus yang masih
sering dijumpai oleh penulis di atas.
Penjadwalan produksi induk pada dasarnya berkaitan dengan aktivitas
melakukan empat fungsi utama berikut :
1. Menyediakan atau memberikan input utama kepada sistem perencanaan
kebutuhan material dan kapasitas (material and capacity requirements

planning = M&CRP). M&CRP merupakan aktivitas perencanaan level 3


dalam hierarki perencanaan prioritas dan perencanaan kapasitas pada sistem
MRP II.
2. Menjadwalkan pesanan-pesanan produksi dan pembelian (production and
purchase orders) untuk item-item MPS.
3. Memberikan landasan untuk penentuan kebutuhan sumber daya dan
kapasitas.
4. Memberikan basis untuk pembuatan janji tentang penyerahan produk
(delivery promise) kepada pelanggan.
Sebagai suatu aktivitas proses, penjadwalan produksi induk (MPS)
membutuhkan lima input utama seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.7.

Data Permintaan Total merupakan salah satu sumber data bagi proses
penjadwalan produksi induk. Data permintaan total berkaitan dengan
ramalan penjualan (sales forecests) dan pesanan-pesanan (orders).

Status Inventori berkaitan dengan informasi tentang on-hand inventory,


stok yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated stock),
pesanan-pesanan produksi dan pembelian yang dikeluarkan (released
production and purchase orders), dan firm planned orders. MPS harus
mengetahui secara akurat berapa banyak inventori yang tersedia dan
menentukan berapa banyak yang harus dipesan.

Data Produksi memberikan sekumpulan batasan kepada MPS. MPS harus


menjumlahkannya untuk menentukan tingkat produksi, inventori, dan
sumber-sumber daya lain dalam rencana produksi itu.

Data Perencanaan berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot sizing yang


harus digunakan, shrinkage factor, stok pengaman (safety stock), dan waktu
tunggu (lead time) dari masing-masing item yang biasanya tersedia dalam
file induk dari item (Item Master File).

Informasi

dari

RCCP

berupa

kebutuhan

kapasitas

untuk

mengimplementasikan MPS menjadi salah satu input bagi MPS. Pada


dasarnya RCCP dan MPS merupakan aktivitas perencanaan yang berada
pada level yang sama (level 2) dalam hierarki perencanaan prioritas dan
perencanaan kapasitas pada sistem MRP II. RCCP menentukan kebutuhan

kapasitas untuk mengimplementasikan MPS, menguji kelayakan dari MPS,


dan memberikan umpan-balik kepada perencana atau menyusun jadwal
produksi induk (Master Scheduler) untuk mengambil tindakan perbaikan
apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian antara penjadwalan produksi
induk dan kapasitas yang tersedia.

Rough Cut
Capacity
Planning
(RCCP)

INPUT :
1. Data Permintaan total
2. Status Inventori
3. Rencana Produksi
4. Data Perencanaan
5. Informasi dari RCCP

PROSES :
Penjadwalan
Produksi Induk
(MPS)

OUTPUT :
Jadwal
Produksi Induk
(MPS)

Umpan-balik
Gambar 2.7 Proses Penjadwalan Produksi Induk
Sumber : Gaspersz, 1998

Seperti telah dikemukakan dalam sistem MRP II, Penjadwalan Produksi Induk
(Master Production Scheduling = MPS) merupakan aktivitas perencanaan yang
berada pada level 2 dalam hierarki perencanaan prioritas, sedangkan Perencanaan
Produksi (Production Planning) merupakan aktivitas perencanaan yang berada pada
level 1 (level yang lebih tinggi) dalam hierarki perencanaan prioritas. Pada dasarnya
terdapat sejumlah perbedaan antara Rencana Produksi (Production Plan) dan Jadwal
Produksi Induk (Master Production Schedule = MPS) yang merupakan hasil dari
kedua aktivitas perencanaan tersebut, seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Perbedaan antara Rencana Produksi dan MPS


No
1

Deskripsi
Definisi

Rencana Produksi
Tingkat

produksi

berdasarkan

Jadwal Produksi Induk (MPS)


Anticipated build schedule

kelompok atau famili produk.


2
3

Item yang

Tingkat

produksi

berdasarkan

Produk akhir atau item spesifik

Direncanakan

famili atau kelompok produk

dalam bill materials (BOM)

Horizon

Sumber daya dengan waktu tunggu

Waktu

Perencanaan

terpanjang (longest lead time)

(cumulative lead time) untuk

tunggu

kumulatif

komponen.
4

Batasan-batasan

Kapasitas peralatan dan pabrik dan

Rencana produksi, kapasitas.

material
5

2.5.2

Hubungan

Agregasi MPS

Disagregasi Rencana Produksi

Tugas dan Tanggung Jawab Penyusun Jadwal Produksi Induk


Tugas dan tanggung jawab profesional dari penyusun jadwal produksi induk

(master production scheduler) adalah membuat perubahan-perubahan pada catatan


MPS, mendisagregasikan Rencana Produksi untuk menciptakan MPS, menjamin
bahwa keputusan-keputusan produksi yang ada dalam MPS itu telah sesuai dengan
rencana produksi, dan yang terpenting adalah mengkomunikasikan hal-hal utama
dalam MPS itu kepada bagian-bagian lain yang terkait dalam perusahaan. Seperti
telah dikemukakan, MPS membangun jalinan komunikasi dengan bagian
manufakturing, sehingga hal ini bagian manufakturing (PPIC) yang menyusun MPS
harus mengkomunikasikan output nya kepada bagian-bagian lain, seperti : bagian
pemasaran, bagian inventori atau pembelian material, bagian rekayasa, R & D,
produksi, dan lain-lain.

Departemen: Perencanaan Kapasitas & Material

Judul Tugas: Penyusun Jadwal Produksi Induk

Nama Lokasi: Potland Plant

Revisi ke-: 0

Disiapkan Oleh: Roger B. Brooks

Disetujui Oleh:

DESKRISPSI PEKERJAAN
FUNGSI DASAR :
Bertanggung jawab untuk perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian aktivitas dari
penyusunan jadual produksi dalam Departemen Perencanaan Kapasitas dan Material.
MELAPOR KE : Manajer Perencanaan Kapasitas dan Material
SUPERVISES : Order Entry Administrator, Assembly Schedulers, Master Scheduling Planners
TANGGUNG JAWAB :
1.

Bertanggung jawab untuk membuat dan memelihara MPS yang valid dan realistik untuk
semua produk Portland. MPS harus merefleksikan kebutuhan untuk pesanan pelanggan, pesanan
stok, depot, rencana ketersediaan produk dan option forecast, pesanan antar-pabrik dan ekspor
dengan pertimbangan ekonomis dan waktu untuk inventori pabrik, efisiensi manufakturing,
pelayanan pelanggan dan kapasitas pabrik. MPS yang tepat akan memungkinkan pabrik
beroperasi pada tingkat yang stabil selama periode oversold order bookings tanpa suatu build up
of past due job orders and inventories, sementara secara simultan tidak akan menimbulkan idle
capacity pada bottleneck work centers.

2.

Bertanggung jawab untuk keakuratan, tepat waktu, dan terorganisasi bagi pemasukan
pesanan dari pesanan penjualan ( sales orders ), termasuk IMTs and Export Orders, untuk semua
portland manufactured lift trucks, carriers, winches, sold alones and production parts.
Bertanggung jawab untuk memelihara komunikasi dengan Industrial Truck and Tractor
Attachment Sales Order desks guna memberikan komitmen pengiriman pesanan pelanggan yang
akurat dan tepat waktu.

3.

Bertanggung jawab untuk memperoleh instruksi-instruksi pengiriman untuk semua


pesanan pelanggan melalui komunikasi dengan Industrial Truck and Tractor Attachment Sales
Order desk guna mencegah keterlambatan pengiriman.

4.

Bertanggung jawab untuk menjadualkan industrial truck, carrier, sold alone and winch
assembly guna mendukung komitmen pelanggan dalam batas-batas MPS, Assembly Department
and Parts Bank. Bertanggung jawab untuk penjadwalan major weldments and front ends guna
mendukung assembly schedule.

5.

Bertanggung jawab untuk mempublikasi Laporan Produksi Harian dan Laporan


Pengiriman Produk dalam bentuk akurat dan tepat waktu.

6.

Memilih, mengembangkan, dan mengevaluasi tenaga kerja, sehingga mereka sebagai tim
kerja sama, mampu menyelesaikan tugas-tugas secara profesional, efisien, dan berwawasan

bisnis
( businesslike ).
Gambar 2.8 Deskripsi Pekerjaan dari Penyusun Jadwal Produksi Induk (Master Scheduler).
Sumber : Gaspersz, 1998

Selanjutnya sebagai bagian dari proses umpan-balik secara umum, penyusun


jadwal produksi induk harus memantau performasi aktual terhadap MPS dan
Rencana Produksi dan hasil-hasil operasional untuk diberikan kepada manajemen
puncak. Berdasarkan pemantauan ini, penyusun jadwal produksi induk yang
profesional akan mampu melakukan analisis sebab-akibat yang memberikan dampak
pada MPS apabila terjadi perubahan-perubahan dalam rencana. Penyusun jadwal
produksi induk juga harus bertanggung jawab untuk mengumumkan final assembly
schedule. Final assembly schedule itu merupakan komitmen akhir untuk
dilaksanakan secara konsisten, karena final assembly schedule telah disusun
berdasarkan item-item produk akhir yang spesifik.
Perusahaan industri manufaktur yang ingin menerapkan praktek-praktek
manajemen industri profesional seyogyanya mendokumentasikan tugas dan tanggung
jawab dari personel yang terlibat dalam aktivitas manajemen industri itu. Berkaitan
dengan sistem kualitas ISO 9000 yang telah banyak diadopsi oleh perusahaanperusahaan industri manufaktur, kita dapat mendokumentasikan tugas dan tanggung
jawab dari penyusun jadwal produksi induk itu. Salah satu contoh format
dokumentasi dari deskripsi pekerjaan penyusun jadwal produksi induk pada
perusahaan Hyster-Portland, ditunjukkan dalam Gambar 2.8.
2.5.3

Beberapa Pertimbangan dalam Desain MPS


Ketika akan mendesain MPS, perlu diperhatikan beberapa faktor utama yang

menentukan proses penjadwalan produksi induk (MPS). Beberapa faktor utama itu
adalah:
1. Lingkungan manufakturing.
2. Struktur produk.
3. Horizon perencanaan, waktu tunggu produk (product lead time) dan production
time fences.
4. Pemilihan item-item MPS.
Berikut ini akan dibahas hal-hal yang penting berkaitan dengan faktor-faktor di
atas.

2.5.3.1 Lingkungan Manufakturing


Lingkungan manufakturing sangat menentukan proses penjadwalan produksi
induk (MPS). Lingkungan manufakturing yang umum dipertimbangkan ketikan akan
mendesain MPS adalah : make-to-stock, make-to-order, dan assemble-to-order.
Produk-produk dari lingkungan make-to-stock biasanya dikirim secara
langsung dan gudang produk akhir, dan karena itu harus ada stok sebelum pesanan
pelanggan (customer order) tiba. Hal ini berarti produk akhir harus dibuat atau
diselesaikan terlebih dahulu sebelum menerima pesanan pelanggan.
Produk-produk dari lingkungan make-to-order biasanya baru dikerjakan atau
diselesaikan setelah menerima pesanan pelanggan. Sering kali komponen-komponen
yang mempunyai waktu tunggu panjang (long lead time) direncanakan atau dibuat
lebih awal guna mengurangi waktu tunggu penyerahan kepada pelanggan, apabila
pelanggan memesan produk.
Pada dasarnya produk-produk dalam lingkungan assemble-to-order adalah
make-to-order-product, di mana semua komponen (semifinished, intermediate,
suhasembly, fabricated, purchased, packaging, dan lain-lain) yang digunakan dalam
assembly, pengepakan, atau proses akhir, direncanakan atau dibuat awal, kemudian
disimpan dalam stok guna mengantisipasi pesanan pelanggan.
Karakteristik dari ketiga lingkungan manufakturing di atas ditunjukkan dalam
Tabel 2.4.
Dari Tabel 2.4 kita melihat karakteristik dari lingkungan produksi berbeda
untuk make-to-stock, assemble-to-order, dan make-to-order, sehingga dalam
mendesain jadwal produksi induk (MPS) perlu diperhatikan bahwa MPS itu didesain
untuk lingkungan manufakturing yang mana, apakah : make-to-stock, assemble-toorder, atau make-to-order. Tampak bahwa lingkungan assemble-to-order merupakan
kombinasi dari make to-stock dan make-to-order.

Tabel 2.4 Karakteristik dari Lingkungan Manufakturing


No.

Karakteristik

1.

Keterkaitan antara pemasok

Make-to-Stock

Assembly-to-Order

Make-to-Order

Rendah

Sedang

Tinggi

Singkat

Sedang

Panjang

Tinggi

Sedang

Rendah

(perusahaan industri) dan


pelanggan (customer)
2.

Waktu penyerahan produk


ke pelanggan

3.

Volume produksi untuk


setiap unit penjualan

4.

Range dari product line

Rendah

Sedang

Tinggi

5.

Basis untuk perencanaan

Ramalan

Ramalan dan

Backlog

dan penjadwalan produksi


6.

Seasonalitas

backlog
Tinggi

Sedang

Rendah

(pengaruh musiman)
7.

Stabilitas produk

Tinggi

Sedang

Rendah

8.

Penanganan ketidakpastian

Stok pengaman

Over-planning dari

Hanya sedikit

komponen dan

ketidakpastian

subassemblies

yang ada

Terkait erat dengan

Ditentukan oleh

Digunakan untuk

MPS

pesanan pelanggan

kebanyakan

permintaan
9.

Final assembly schedule

operasi assembly
10.

Bill of material (BOM) atau

BOM standar

struktur produk (producy

untuk setiap

structure)

produk

Planning BOM

BOM unik untuk


setiap pesanan

2.5.3.2 Struktur Produk (Product Structure) atau Bill of Materials (BOM)


Struktur produk atau bill of materials (BOM) didefinisikan sebagai cara
komponen-komponen itu bergabung ke dalam suatu produk selama proses
manufakturing. Struktur produk typical akan menunjukkan bahan baku yang
dikonversi ke dalam komponen-komponen fabrikasi, kemudian komponenkomponen itu bergabung secara bersama untuk membuat subassemblies, kemudian
subassemblies bergabung bersama membuat assemblies, dan seterusnya sampai
produk akhir. Struktur produk sering ditampilkan dalam bentuk gambar (chart
format). Kebanyakan produk memiliki struktur standar (synonym: tree structure,
pyramid structure), dimana lebih banyak subassemblies daripada produk akhir, dan
lebih banyak komponen daripada subassemblies (berbentuk segitiga dengan puncak

adalah produk akhir, bagian tengah adalah assemblies, dan bagian bawah atau dasar
adalah komponen dan bahan baku).
Terdapat juga produk-produk seperti mobil dan komputer yang memiliki
struktur modular (synonym: hourglass structure), di mana lebih sedikit
subassemblies atau modules daripada produk akhir (berbentuk dua buah segitiga
dengan dua puncak yang bertemu di tengah, dengan bagian atas adalah produk akhir,
bagian tengah adalah assemblies, dan bagian bawah adalah komponen dan bahan
baku).
Terakhir ada produk seperti : minyak, kertas, dan gelas yang memiliki struktur
inverted, dimana lebih sedikit subasemblies dibandingkan produk akhir, dan lebih
sedikit komponen dan bahan baku dibandingkan subasemblies (berbentuk segitiga
terbalik, dengan bagian atas adalah produk akhir, bagian tengah adalah assemblies,
dan bagian bawah adalah komponen dan bahan baku).
Struktur standar, modular, dan inverted, ditunjukkan dalam Gambar 2.9. Dari
itu tampak grafik tiga tipe genetik dari struktur manufakturing. Tampak bahan baku
(raw materials) berada pada level bawah; assemblies berada pada level tengah; dan
produk akhir (end items) berada pada level puncak (atas). Di bawah grafik itu
dijelaskan secara singkat tentang masing-masing lingkungan manufakturing, yaitu :
make-to-stock, assemble-to-order, dan make-to-order.
Seringkali untuk keperluan peramalan dan perencanaan digunakan pendekatan
Planning terhadap struktur produk dan BOM, sehingga dikenal adanya Planning
BOM. Metode Planning BOM ini akan mengijinkan perencana untuk memenuhi
tujuan-tujuan operasi maupun nonoperasional yang lain. Biasanya pendekatan
Planning BOM akan efektif apabila terdapat perubahan proses yang meningkat dan
lingkungan yang kompetitif serta dinamik. Planning BOM didefinisikan sebagai suatu
pengelompokan artificial dari item-item dan/atau kejadian-kejadian dalam format
BOM. Itu pergunakan untuk memudahkan penjadwalan produksi induk (MPS) atau
perencanaan kebutuhan material (MRP).
Planning BOM tidak menggambarkan produk aktual yang akan dibuat, tetapi
menggambarkan pseudo product atau composite product yang diciptakan untuk
memudahkan dan meningkatkan akurasi peramalan penjualan, mengurangi jumlah
end items, membuat proses perencanaan dan penjadwalan menjadi lebih akurat,

menyederhanakan

pemasukan

pesanan

pelanggan

(customer

order

entry),

menciptakan sistem pemeliharaan dan penyimpanan data yang efisien dan fleksibel,
serta melakukan penjadwalan dua tingkat (two-level MPS). Jenis BOM yang dipakai
untuk keperluan perencanaan ini sering disebut sebagai : planning bill of materials
(planning BOM) atau sering disingkat sebagai planning bill, yang dapat dibagi
kedalam dua jenis, yaitu :
Planning bills dengan item yang dijadwalkan merupakan komponen atau

subasemblies untuk pembuatan produk akhir (end items), di mana item-item yang
dijadwalkan itu secara fisik lebih kecil daripada produk akhir (end items).
Termasuk ke dalam kategori ini adalah modular bill of material dan inverted bill
of material.
Planning bills dengan item yang dijadwalkan memiliki produk akhir sebagai

komponennya (super bills), di mana item-item yang dijadwalkan secara fisik


lebih besar daripada produk akhir. Termasuk dalam kategori ini adalah : super
bill of material, super family bill of material, dan super modular bill of material.
Make-to-Stock

Assemble-to-Order

Make-to-Order

End Items
FAS &
FAS
MPS
Assemblies

S
T
A
N
D
A
R

FAS

M
O
D
U
L
A
R

I
N
V
E
R
T
E
D

MPS

Raw
Materials
Dalam struktru standar sedikit
end items standar yang dibuat
dari komponen-komponen.
Produk akhir ini disimpan
dalam stock untuk pengiriman.

MPS
Dalam struktur modular banyak
end items yang dibuat dari
subassemblies yang sama,
kemudian disimpan untuk
assembly guna memenuhi
pesanan pelanggan.

Dalam struktur inverted


banyak end items dibuat
dari sejumlah raw materials yang terbatas, berdasarkan pada pesanan
pelanggan.

Keterangan : FAS = Final Assembly Schedule ; MPS = Master Production Schedule


Gambar 2.9 Bentuk Umum dari Struktur Produk atau Bill of Materials (BOM)

Sumber : Gaspersz, 1998

Berikut ini akan dibahas secara sekilas tentang planning bills yang dimaksud di
atas. Planning Bills dengan Scheduled Items Merupakan Komponen dari Produk
Akhir:

Modular Bills mengelompokkan subassemblies dan parts berdasarkan pada


apakah mereka adalah unit terhadap specific or common product option terhadap
semua konfigurasi produk. Setiap kelompok disebut: module, yang dijadwalkan
dalam MPS (catatan: bukan produk akhir yang dijadwalkan). Untuk memahami
mengapa modular bills dapat bermanfaat, perhatian contoh modular options
untuk pembuatan satu mobil seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Contoh Modular Option dalam Pembuatan Mobil

Body

Engine

Transmission

Accessories

2-door

V-6

Manual

No accessories

4-door

V-8

Automatic

Accessory package # 1

Convertible

Diesel

Accessory package # 2
Accessory package # 3

Dari Tabel 2.5 tampak bahwa banyaknya mobil dengan pilihan kombinasi
berbeda yang dapat dijual adalah : 3 x 3 x 2 x 4 = 72. Jika mobil-mobil merupakan
make-to-stock dan MPS memasukkan semua kombinasi yang mungkin (72), maka
perencana harus meramalkan setiap jenis mobil dari 72 kombinasi itu, sebagai misal:
jenis mobil 4-door body, V-8 engine, automatic transmission, accessory package # 3,
dan seterusnya.
Dengan menggunakan modular bills, kemudian menjadwalkan modules dalam
MPS, perencana hanya perlu meramalkan setiap module atau pilihan (option), di
mana dalam contoh ini adalah sebanyak 12 (= 3 + 3 + 2 + 4). Dengan menggunakan
modular bills, penyusun MPS menjadwalkan setiap module dalam MPS, dan MRP
menjadwalkan subassemblies dan komponen-komponen untuk membangun setiap
module. Final assembly schedule (FAS) menggunakan produk akhir dari BOM yang
akan mendiktekan modules mana yang secara aktual dirakit untuk memenuhi
pesanan spesifik dari pelanggan. Perusahaan-perusahaan yang memiliki strategi

respons permintaan assemble-to-order biasanya menggunakan modular bills untuk


keperluan perencanaan.
Keuntungan dari penggunaan modular planning bills adalah: (1) cocok
dipergunakan untuk produk yang memiliki banyak pilihan, (2) jumlah item yang
dijadwalkan dalam MPS menjadi lebih sedikit, dan (3) peramalan berdasarkan
modules lebih akurat dibandingkan dengan peramalan untuk konfigurasi spesifik.
Inverted Bills of Material adalah suatu komponen tunggal atau bahan baku,

seperti: minyak, besi, pulp, atau coklat, yang dapat diubah ke dalam banyak
produk unik.
Gambar 2.10 menunjukkan suatu inverted bill of material untuk minyak
(petroleum).
Petroleum (100 %)

Gasoline (50%)

Kerosene (15%)

Diesel Fuel (25%)

Asphalt

(10%)
Gambar 2.10 Inverted Bill of Materials for Petroleum
Sumber : Gaspersz, 1998

Dalam inverted bills of materials, peramalan dan MPS dilakukan pada level
bahan baku (raw material), dan bukan pada level produk akhir (end items).
Peramalan pada level bahan baku agregat lebih akurat daripada peramalan pada level
produk akhir individual. Inverted bills didasarkan pada asumsi bahwa persentase
penggunaan relatif konstan dan dapat diperkirakan. Perencanaan menggunakan
inverted bills umum diterapkan dalam industri proses (flow shop manufacturing).
Planning Bills dengan Scheduled Items yang Memiliki Produk Akhir Sebagai
Komponen :

Super Bills of Material. Suatu planning bills di mana item yang dijadwalkan
lebih besar daripada produk akhir disebut sebagai Super Bills. Secara spesifik,
suatu super bill adalah single-level BOM di mana parent adalah pseudo (not real)
assembly, dan children adalah real end products. Kuantitas dari setiap child
adalah fraksi atau pecahan dari ramalan total untuk parent. Berdasarkan

kenyataan ini, super bill juga sebagai ratio bill or percentage bill. Fraksi untuk
setiap child biasanya didasarkan pada informasi penjualan waktu lalu, meskipun
dapat juga merefleksikan kecenderungan penjualan yang diproyeksikan. Super
bills membutuhkan two-level MPS untuk penjadwalan. Di bawah sistem twolevel MPS, perencana memasukkan permintaan total untuk super (and pseudo)
assembly ke dalam level puncak dari MPS. Sistem MPS kemudian explode level
puncak, menggunakan fraksi dalam super bill, kemudian menghitung jadwal
produksi untuk produk akhir aktual dalam level yang lebih rendah dari MPS.
Gambar 2.11 menunjukkan format dari super bill of material dari perusahaan
pembuat peralatan lantai dan taman.
Lawn & Garden Equipment (100 %)

Push Lawn

Self-Propelled

Riding Lawn

Mower

Lawn Mower

Mower

(49%)

(13%)

(20%)

Roto-Tiller

Garden Tractor

(10%)

(8%)

Gambar 2.11 Super Bill for a Lawn and Garden Equipment Manufacturer
Sumber : Gaspersz, 1998

Super Family Bills of Materials. Untuk meningkatkan akurasi dari


peramalan permintaan, banyak perusahaan membentuk kelompok dari produk
dengan pola permintaan serupa. Ramalan agregat (family) biasanya lebih akurat
daripada ramalan untuk satu produk. Penggunaan ramalan agregat harus
mengembangkan super family bill of material yang terdiri dari family (pseudo)
assembly sebagai parent dan berbagai produk akhir individual dalam family itu
sebagai children. Sebagai contoh perusahaan pembuat alat-alat pertukangan
mungkin memiliki families untuk : hammers, gergaji, bor, dan lain-lain.
Selanjutnya family dari bor memiliki produk individual seperti : bor ukuran 1/16
(12%), bor ukuran 3/4 (7%), yang dapat dinyatakan sebagai super bill untuk
family produk bor seperti tampak dalam Gambar 2.12.

Produk Bor (Family, 100 %)

Bor 1/16
(12%)

Bor 1/8

Bor

(34%)

(37%)

Bor
(10%)

Bor
(7%)

Gambar 2.12 Super Bill untuk Family Produk Bor


Sumber : Gaspersz, 1998

Sering kali perusahaan yang memiliki line product sangat besar akan
membagi produk-produk ke dalam kelompok-kelompok agar memudahkan
perencanaan dan pengendalian. Perusahaan dapat membuat misalnya: 5000
sampai 10000 produk akhir dapat dikelompokkan secara logik ke dalam 10
sampai 30 kelompok pseudo product. Penampilan dan penggunaan dari super
family bill of material serupa dengan super bill of material, kecuali perbedaannya
terletak pada bagaimana parent pseudo product ditentukan.

Super Modular Bill of Material merupakan kombinasi antar super bill dan
modular bill. Dalam hal ini parent adalah suatu unbuildable group of modules
yang digunakan hanya untuk tujuan perencanaan, sedangkan children adalah
modules yang dapat muncul dalam produk akhir. Penggunaan super modular bill
untuk mobil ditunjukkan dalam Gambar 2.13.
Dalam Gambar 2.13 terlihat bahwa mobil memiliki mesin: 50% V-6, 40% V8, dan 10% diesel, yang jelas merupakan unbuildable group of modules (tidak
dapat dirakit atau dioperasikan). Bagaimanapun ia dapat digunakan untuk
meramalkan dan membangun berbagai modules yang diperlukan untuk merakit
mobil yang nyata (real auto mobiles). Dalam kebanyakan situasi, para praktisi
lebih suka menggunakan super modular bill dibandingkan modular bill, karena
pseudo assembly of modules biasanya dapat diramalkan secara lebih akurat
dibandingkan setiap individual module.

Deskripsi

Persen

Mobil

100

Body

100

2-door

40

4-door

50

Convertible

10

Engine

100

V-6

50

V-8

40

Diesel

10

Transmission

100

Manual

30

Automatic

70

Accessories

80

Accessory Package 1

40

Accessory Package 2

30

Accessory Package 3

10

Common Parts

100

Gambar 2.13 Super Modular Bill untuk Mobil


Sumber : Gaspersz, 1998

K-Bills:
K-Bills adalah contoh lain dari penggunaan planning bills yang terjadi apabila
beberapa komponen kecil, seperti baut, mur, dan lain-lain., dibutuhkan dalam
kombinasi yang sama, namun disebut dalam struktur yang berbeda. Hal ini secara
umum dilakukan apabila kasus item-item level 1 dipromosikan ke status level 0

dalam modularization, dimana dari sudut pandang perencanaan item-item kecil itu
diperlakukan sebagai komponen dari suatu imaginary assembly. Keadaan ini disebut
sebagai: kit number atau lebih sering disebut sebagai K-bill. Contoh penggunaan
Common Parts Kit untuk produk pintu garasi dan pembukanya, ditunjukkan dalam
Gambar 2.14.
2.5.3.3 Horizon Perencanaan, Waktu Tunggu Produk (Product Lead Time) dan
Production Time Fences.
Di samping faktor lingkungan manufakturing dan struktur produk, ada faktorfaktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain MPS, yaitu horizon
perencanaan, waktu tunggu produk dan production time fences. Gambar 2.15
menunjukkan horizon perencanaan, waktu tunggu, dan production time finces yang
berkaitan dengan MPS.
Memperhatikan faktor horizon perencanaan, waktu tunggu produk dan
production time fences dalam proses desain MPS mengharuskan kita untuk bekerja
secara profesional terutama yang berkaitan dengan manajemen waktu. Berikut ini
akan dibahas secara singkat ketiga aspek yang berkaitan dengan manajemen waktu
dalam proses desain MPS.

Garage Door & Opener

Common Part Kit

Motor Assembly

Overhead Door
Assembly

Keterangan: Common Parts Kit


NO

ITEM

1151
1152
1153
1201
1202
1203
1321
1322
1331
1332
1333
1341

Bolt
Washer
Nuts
Cotter Pin
Fastener
Clips
Cable
Spring
Side Rails
Angle Rails
Top Rails
Rail Mount

KIT NUMBER

REGULAR DELUXE HEAVY-DUTY MAX QTY


3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
K-1001

4
4
4
2
4
6
2
9
2
2
4
16
K-1002

5
5
5
3
5
6
2
12
2
2
4
18
K-1003

5
5
5
3
5
6
4
12
2
2
4
18
K-1000

Gambar 2.14 Contoh Penggunaan K-Bills untuk Produk Garage Door & Opener
Sumber : Gaspersz, 1998

AKTIVITAS OPERASI
PLANNING VISIBILITY

HORIZON
Waktu Tunggu
Perolehan Material
dan Rekayasa

FREE

Waktu Tunggu
Assembly
Komponen
Waktu Tunggu
Final Assembly

Make-to-Stock

Waktu Tunggu
Proses Pesanan
Dan Pengiriman

PLANNING
FENCE

FIRM

SLUSHY

FREE

DEMAND
FENCE

Assemble-to-Order
FIRM

SLUSHY
PLANNING
FENCE

DEMAND
FENCE

FREE
FIRM

SLUSHY
Make-to-Order

DEMAND
FENCE

PLANNING
FENCE

Gambar 2.15 Horizon Perencanaan, Waktu Tunggu, dan Time Fences


Sumber : Gaspersz, 1998

Panjang horizon perencanaan. Horizon perencanaan didefinisikan sebagai


periode waktu mendatang terjauh dari jadwal produksi. Biasanya ditetapkan
dengan memperhatikan waktu tunggu kumulatif (cumulative lead time) ditambah
waktu untuk lot-sizing komponen-komponen level rendah dan perubahan

kapasitas dari pusat-pusat kerja utama (primary work centers). Perlu diperhatikan
bahwa dalam menetapkan horizon perencanaan harus dipertimbangkan aspekaspek berikut: horizon perencanaan paling sedikit sepanjang waktu tunggu
produk kumulatif, additional visibility lebih disukai, panjang dari horizon
perencanaan harus sama dengan banyaknya periode dikalikan dengan panjang
dari setiap periode (H = L x N, di mana: H = Horizon, L = Length of period, dan
N = Number of periods). Horizon perencanaan dari MPS ditunjukkan dalam
bentuk yang lebih sederhana seperti tampak dalam Gambar 2.16.

Assembly

Fabrikasi

Procurement

Visibility
(3-6 bulan)

Waktu tunggu kumulatif (cumulative lead time)

MPS Planning Horizon


Today

Future
Gambar 2.16 MPS Planning Horizon
Sumber : Gaspersz, 1998

Waktu tunggu produksi. Waktu tunggu didefinisikan sebagai waktu lama


menunggu sejak penempatan pesanan (memesan) sampai memperoleh pesanan
itu. Dalam sistem produksi, waktu tunggu berkaitan dengan waktu menunggu
diproses, bergerak atau berpindah, antri, setup, dan run time untuk setiap
komponen yang diproduksi. Pada dasarnya horizon perencanaan dibagi ke dalam
empat aktivitas operasi, yang masing-masing mempunyai waktu tunggu. Waktu
tunggu dari keempat aktivitas operasi ini adalah: waktu tunggu proses pesanan
dan pengiriman, waktu tunggu final assembly, waktu tunggu component
assembly, dan waktu tunggu perolehan material dan rekayasa.

The Fences. Perubahan-perubahan dalam MPS akan menjadi sulit, kacau


(disruptive), dan mahal (costly), apabila dibuat pada saat mendekati waktu
penyelesaian produk. Untuk menstabilkan jadwal dan memberikan keyakinan
bahwa perubahan-perubahan telah dipertimbangkan secara tepat sebelum
perubahan-perubahan itu disetujui, MPS dapat dibagi ke dalama beberapa zona
waktu dengan menetapkan prosedur berbeda dalam mengatur perubahanperubahan jadwal dalam setiap zona waktu (time zone). Time fences memisahkan
zona waktu itu. Dengan demikian time fence dapat didefinisikan sebagai suatu
kebijakan atau petunjuk yang ditetapkan untuk mencatat di mana (dalam zona
waktu) terdapat berbagai keterbatasan atau perubahan dalam prosedur operasi
manufakturing. Batas-batas di antara periode horizon perencanaan akan
membantu penyusun MPS dengan cara mengijinkan petunjuk yang berbeda guna
mengatur modifikasi jadwal. Perubahan-perubahan terhadap MPS dapat
dilakukan dengan relatif lebih mudah apabila mereka terjadi melewati waktu
tunggu kumulatif. Bagaimanapun perubahan-perubahan akan menjadi sulit dan
tidak efisien apabila terjadi dalam time fences. Time fences yang paling umum
dikenal adalah demand time fence (DTP) dan planning time fence (PTF), di mana
DTF ditetapkan pada waktu final assembly sedangkan PTF ditetapkan pada
waktu tunggu kumulatif.
Demand time fence (DTF) didefinisikan sebagai periode mendatang dari MPS

di mana dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS tidak diijinkan atau
tidak diterima karena akan menimbulkan kerugian biaya yang besar akibat
ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal. Sedangkan planning time fence (PTF)
didefinisikan sebagai periode mendatang dari MPS di mana dalam periode ini
perubahan-perubahan terhadap MPS dievaluasi guna mencegah ketidaksesuaian atau
kekacauan jadwal yang akan menimbulkan kerugian dalam biaya. MPS biasanya
dinyatakan sebagai firm planned orders (FPO) dalam PTF.
Berdasarkan dua jenis time fence di atas, didefinisikan tiga periode manajemen
waktu untuk MPS, yaitu : firm (or frozen) period, slushy period, dan free (or liquid
period). Dalam firm (or frozen) period, yaitu periode di dalam DTF, tidak boleh ada
perubahan-perubahan terhadap MPS. Apabila dibutuhkan perubahan-perubahan yang
bersifat sangat darurat (emergency changes) yang harus dibuat, penyusun MPS hanya

boleh mengubah setelah memperoleh persetujuan dari manajemen puncak atau


manajer manufakturing. Dalam slushy period, yaitu periode di antara DTF dan PTF,
penyusun MPS dapat mengubah product mix, dengan tetap memperhatikan
ketersediaan dari material dan kapasitas. Dalam periode ini penyusun MPS tidak
dapat mengubah tingkat produksi tanpa menjamin bahwa material dan sumbersumber daya lain dapat disesuaikan untuk mengakomodasi tingkat produksi baru.
Dalam free (or liquid) period, yaitu periode di luar PTF, penyusun MPS dapat secara
bebas mengubah tingkat produksi untuk memenuhi perubahan-perubahan yang
diantisipasi dalam permintaan oleh bagian pemasaran.
Melewati PTF, terdapat dua fungsi yang diberikan MPS, yaitu: (1) memberikan
suatu input kepada Rough Cut Capacity Planning (RCCP) dan dengan demikian
memberikan dasar bagi pembuatan keputusan tentang perolehan sumber daya jangka
panjang yang membutuhkan waktu tunggu panjang, serta (2) memberikan visibility
yang lebih besar atas bahan baku dan komponen yang mempunyai waktu tunggu
yang panjang (long-lead-time component and raw material), sehingga memberikan
kemampuan kepada fungsi pembelian untuk berhubungan lebih erat dengan pemasok
(supplier). Apabila manajemen industri ingin mengadopsi sistem Just-In-Time, di
sinilah peranan bagian pembelian untuk membina hubungan jangka panjang. Dalam
bentuk yang lebih sederhana, MPS time fences dapat diilustrasikan dalam Gambar
2.17.
DTF

PTF

Emergency
Changes
Assembly

Mix Changes
Only
Fabrikasi

Procurement

Rates and
Any Changes
Visibility
(3-6 bulan)

Waktu tunggu kumulatif (cumulative lead time)


MPS Planning Horizon
Today

Future
Gambar 2.17 MPS Time Fences
Sumber : Gaspersz, 1998

2.5.3.4 Pemilihan Item-item MPS


Faktor utama lain yang perlu diperhatikan dalam mendesain MPS adalah
pemilihan item-item MPS. Pemilihan item-item yang dijadwalkan melalui MPS juga
perlu mendapat perhatian khusus. Pemilihan item-item ini penting, karena tidak
hanya mempengaruhi bagaimana MPS beroperasi, tetapi juga mempengaruhi
bagaimana sistem perencanaan dan pengendalian manufakturing secara keseluruhan
beroperasi. Terdapat beberapa kriteria dasar yang mengatur pemilihan item-item
dalam MPS, yaitu:

Item-item yang dijadwalkan seharusnya merupakan produk akhir, kecuali


ada pertimbangan yang jelas menguntungkan untuk menjadwalkan item-item
yang lebih kecil daripada produk akhir seperti: modular or inverted planning
bills, atau lebih besar daripada produk akhir seperti: super family, super modular,
atau super planning bills lainnya. Penjadwalan produk-produk akhir dalam MPS
menyebabkan itu menjadi sama seperti: final assembly schedule (FAS).

Jumlah item-item MPS seharusnya sedikit, karena manajemen tidak dapat


membuat keputusan yang efektif terhadap MPS apabila jumlah item MPS terlalu
banyak.

Seharusnya memungkinkan untuk meramalkan permintaan dari item-item


MPS (kecuali item itu adalah made-to-order). Item-item yang dijadwalkan harus
berkaitan erat dengan item-item yang dijual.

Setiap item yang dibuat harus memiliki BOM, sehingga MPS dapat explode
melalui BOM untuk menentukan kebutuhan komponen dan material.

Item-item yang dipilih harus dimasukkan dalam perhitungan kapasitas


produksi yang dibutuhkan.

Item-item MPS harus memudahkan dalam penerjemahan pesanan-pesanan


pelanggan ke dalam pembuatan produk yang akan dikirim.

2.5.4

Teknik Penyusunan MPS


Banyak input yang dibutuhkan dalam penyusunan MPS telah dapat diperoleh

berdasarkan laporan dari printout komputer. Pada saat ini telah banyak program

komputer untuk sistem manufakturing yang tersedia, sehingga akan sangat


membantu dalam perhitungan. Dengan demikian, masalah perhitungan telah terbantu
melalui program-program komputer itu. Persoalan nyata adalah bagaimana
memahami konsep-konsep termasuk mekanisme kerja dari sistem manufakturing itu
sendiri. Tujuan dari buku ini adalah membahas konsep-konsep dasar dan mekanisme
kerja dari production planning and inventory control, sehingga pembahasannya tidak
diarahkan untuk menjadi mahir dalam perhitungan, tetapi harus memahami apa
makna dari hasil-hasil perhitungan itu, selanjutnya harus dapat menerjemahkan hasilhasil perhitungan itu menjadi informasi yang berguna bagi pembuatan keputusan
manufakturing, guna meningkatkan performasi total dari sistem manufakturing.
Bentuk atau format umum dari MPS ditunjukkan dalam Gambar 2.18
Berikut ini akan dikemukakan penjelasan singkat berkaitan dengan informasi
yang ada dalam MPS seperti tampak dalam Gambar 2.18.

MASTER PRODUCTION SCHEDULE (MPS)


Demand Time
Fence :
Planning Time
Safety Stock :
Fence :
Time Periods (Weeks)
Lot Size :
Lead Time :
On Hand :

Sales Plan (Sales Forecast)


Actual Orders
Projected Available Balances (PAB)
Available To Promise (ATP)
Cumulative ATP
MPS

Gambar 2.18 Bentuk Umum dari Master Production Schedule


Sumber : Gaspersz, 1998

Lead Time adalah waktu (banyaknya periode) yang dibutuhkan untuk


memproduksi atau membeli suatu item.

On Hand adalah posisi inventori awal yang secara fisik tersedia dalam stok,
yang merupakan kuantitas dari item yang ada dalam stok.

Lot Size adalah kuantitas dari item yang biasanya dipesan dari pabrik atau
pemasok. Sering disebut juga sebagai kuantitas pesanan (order quantity) atau
ukuran batch (batch size).

Safety Stock adalah stok tambahan dari item yang direncanakan untuk berada
dalam inventori yang dijadikan sebagai stok pengaman guna mengatasi fluktuasi
dalam ramalan penjualan, pesanan-pesanan pelanggan dalam waktu singkat
(short-term customer orders), penyerahan item untuk pengisian kembali inventori
, dan lain-lain. Safety Stock merupakan kebijaksanaan manajemen berkaitan
dengan stabilisasi dari sistem manufakturing, di mana apabila sistem
manufakturing semakin stabil kebijaksanaan stok pengaman ini dapat
diminimumkan.

Demand Time Fence (DTF) adalah periode mendatang dari MPS di mana
dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS tidak diijinkan atau tidak
diterima karena akan menimbulkan kerugian biaya yang besar akibat
ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal.

Planning Time Fence (PTF) adalah periode mendatang dari MPS di mana
dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS dievaluasi guna mencegah
ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal yang akan menimbulkan kerugian dalam
biaya. MPS biasanya dinyatakan sebagai firm planned orders (FPO) dalam PTF.
PTF sering ditetapkan pada waktu tunggu kumulatif (lihat Gambar 2.17). Waktu
tunggu kumulatif (cumulative lead time) merupakan waktu yang dibutuhkan
untuk memproduksi produk-produk sejak awal, yang merupakan jalur waktu
terpanjang dari puncak (end items) ke bawah (raw materials) dalam struktur
produk. Perubahan-perubahan dalam MPS melewati waktu tunggu kumulatif
(melewati PTF) dapat dibuat dengan cepat oleh penyusun MPS karena akan
cukup waktu untuk membeli atau membuat perubahan dalam produk. Namun
perubahan-perubahan dalam waktu tunggu kumulatif harus diselidiki sebelum
disetujui, apakah cukup waktu untuk membuat atau membeli item itu, karena
dapat mengganggu jadwal produksi yang telah ditetapkan. Kekacauan pada
jadwal produksi akan berakibat pada keterlambatan produksi dan penyerahan

kepada pelanggan, sehingga menurunkan daya saing dari perusahaan dalam


aspek ketepatan waktu penyerahan.

Time Periods for Display adalah banyaknya periode waktu yang ditampilkan
dalam format MPS. Dalam Gambar 2.18 ditampilkan periode waktu 6 minggu
(dengan asumsi PTF = 4 minggu). Dalam sistem MRP II biasanya periode waktu
ditampilkan dalam unit waktu mingguan. Penyusun MPS harus menjadwalkan
produksi melewati waktu tunggu kumulatif untuk produk (dalam Gambar 2.18
diasumsikan waktu tunggu kumulatif adalah 4 minggu). Banyaknya periode
waktu dalam perencanaan MPS ini sering disebut sebagai horizon perencanaan
MPS. Dalam Gambar 2.18 tampak

bahwa apabila waktu tunggu kumulatif

adalah 4 minggu, terdapat additional visibility sebesar 2 minggu. Additional


visibility adalah periode waktu tambahan yang direncanakan melewati waktu
tunggu kumulatif, biasanya berkisar antara 3 6 bulan. Additional visibility yang
berkaitan dengan MPS planning horizon atau MPS time fences dapat dilihat
dalam Gambar 2.16 dan Gambar 2.17.

Sales Plan (Sales Forecast) merupakan rencana penjualan atau peramalan


penjualan untuk item yang dijadwalkan itu. Dalam konsep manajemen
permintaan yang telah dibahas dalam Bab III, sales forecast atau sales plan
bersifat tidak pasti (uncertain).

Actual Orders merupakan pesanan-pesanan yang diterima dan bersifat pasti


(certain). Dalam konsep manajemen permintaan semua pesanan yang bersifat
pasti ini dikelompokkan ke dalam aktivitas order service, sedangkan sales
forecast dikategorikan ke dalam aktivitas peramalan (forecasting).

Projected Available Balances (PAB) merupakan proyeksi on-hand inventory


dari waktu ke waktu selama horizon perencanaan MPS, yang menunjukkan status
inventori yang diproyeksikan pada akhir dari setiap periode waktu dalam horizon
perencanaan MPS. Dalam buku-buku teks yang lain, PAB juga disebut sebagai
Project On-Hand Balance. Dalam lingkungan manufakturing make-to-order,
pada umumnya inventori tidak tersedia sebelumnya; on hand-inventory tidak ada.
Dalam kasus ini, perhitungan PAB dapat dipandang sebagai suatu perbandingan
antara penawaran (supply) dan permintaan (supply) tidak mampu memenuhi
permintaan (demand). Apabila PAB bernilai negatif berarti pada periode itu

produksi atau penawaran (supply) tidak mampu memenuhi permintaan (demand).


Sebaliknya untuk lingkungan manufakturing make-to-stock, kenaikan terusmenerus dalam nilai PAB menunjukkan bahwa inventori dari item yang
dijadwalkan itu semakin menumpuk. Berdasarkan informasi PAB, berbagai
kebijaksanaan dan tindakan korektif dapat diambil untuk perbaikan terusmenerus dari proses manufakturing. PAB dinyatakan melewati PTF hanya
sebagai informasi saja, sementara MPS dan ATP tidak direncanakan melewati
PTF (planning time fence).

Available-To-Promise (ATP) merupakan informasi yang sangat berguna bagi


departemen pemasaran untuk mampu memberikan jawaban yang tepat terhadap
pertanyaan pelanggaran tentang: Kapan Anda dapat mengirimkan item yang
telah dipesan itu? Nilai ATP memberikan informasi tentang berapa banyak item
atau produk tertentu yang dijadwalkan pada periode waktu itu tersedia untuk
pesanan pelanggan, sehingga berdasarkan informasi ini bagian pemasaran dapat
membuat janji yang tepat kepada pelanggan. ATP dapat juga dihitung secara
kumulatif untuk memberikan informasi tentang cumulative ATP pada periode
waktu tertentu.

Master Production Schedule (MPS) merupakan jadwal produksi atau


manufakturing yang diantisipasi (anticipated manufacturing schedule) untuk item
tertentu.
Berikut ini akan dikemukakan contoh sederhana dalam penyusunan MPS

mengikuti format umum yang akan ditampilkan dalam Gambar 2.19.


Gambar 2.19 menunjukkan bahwa rencana produksi menggunakan Chase
Strategy dengan lot size = 20 unit. Pada dasarnya rencana produksi dapat
menggunakan salah satu dari tiga strategi, yaitu : level method, chase strategy, atau
compromise.
Informasi tentang sales forecast dihitung berdasarkan teknik-teknik peramalan,
sedangkan actual orders merupakan pesanan aktual yang diterima dari pelanggan
(eksternal maupun internal). Actual orders merupakan pesanan-pesanan yang telah
dijanjikan untuk diselesaikan pada periode waktu itu. Nilai-nilai MPS diambil dari
rencana produksi yang telah ditentukan dengan ukuran lot (lot size) sebesar 20 unit.
Perhitungan yang perlu dilakukan untuk melengkapi tabel pada Gambar 2.19 adalah

Projected Available Balance (PAB) dan Available-To-Promise (ATP). Contoh


perhitungan PAB dan ATP dikemukakan berikut ini.

MASTER PRODUCTION SCHEDULE (MPS)


Lot Size: 20
Demand Time Fence: 2
Safety Stock: 0
Planning Time Fence: 4
Time Periods (Weeks)
1
2
3
4
5
6
10
10
10
10
10
10
12
5
20
5
0
0
18
13
13
3
-7
-17
13
-5
13
13
8
8
20
20

Lead Time: 1
On Hand: 10
Sales Plan (Sales Forecast)
Actual Orders
Projected Available Balances (PAB)
Available To Promise (ATP)
Cummulative ATP
MPS

Gambar 2.19 Chase Production MPS Response With Lot Size =


Sumber : Gaspersz, 1998

20

Perhitungan PAB untuk tabel pada Gambar 2.19 :

PAB (prior to DTF) = Prior-period PAB or On-Hand Balance + MPS Actual


Orders
PAB1 = 10 + 20 - 12 = 18
PAB2 = 18 +

0 - 5 = 13

PAB (After DTF) = Prior-period PAB + MPS Greater Value of Sales Forecast or
Actual Orders
PAB3 = 13 + 20 - 20 = 13

PAB4 = 13 +

0 - 10 =

PAB5 = 3 +

0 - 10 = -7

PAB6 = -7 +

0 - 10 = -17

Perhitungan ATP untuk tabel pada Gambar 2.19 :

ATP = (On-Hand Balance + MPS Safety Stock) Sum of Actual Orders


First Period Only

Before Next MPS

ATP1 = (10 + 20 0) (12 + 5) = 30 17 = 13

ATP3 = (

20 0) (20 + 5) = 20 25 = -5

Berdasarkan hasil perhitungan tampak bahwa nilai ATP pada minggu pertama
adalah 13 unit. Hal ini berarti bahwa pada minggu pertama masih tersedia 13 unit
produk untuk pesanan baru. Dengan demikian, apabila ada pelanggan baru yang
memesan, katakanlah 10 unit, kita boleh menjamin bahwa pesanan itu akan dapat
dikirim pada minggu pertama, karena nilai ATP = 13 unit lebih besar daripada
pesanan baru sebesar 10 unit itu. Cumulative ATP menunjukkan ATP pada periode
waktu tertentu; sebagai misal cumulative ATP pada minggu ketiga adalah 8 unit,
berarti apabila ada pesanan baru dari pelanggan yang meminta untuk dikirim pada
minggu ketiga sebesar 10 unit, maka kita tidak boleh menjanjikannya, karena ATP
pada periode ketiga hanya 8 unit (lebih rendah daripada pesanan baru yang masuk
sebesar 10 unit). Berdasarkan kenyataan ini, informasi yang berasal dari nilai-nilai
ATP akan memungkinkan bagian pemasaran untuk menjawab secara tepat setiap
pertanyaan pelanggan yang berkaitan dengan kuantitas pemesanan produk dan waktu
penyerahannya.
2.5 Material Requirement Planning (MRP)
MRP adalah suatu prosedur logis berupa aturan keputusan dan teknik transaksi
berbasis komputer yang dirancang untuk menerjemahkan Jadwal Induk Produksi
menjadi kebutuhan bersih untuk semua item. Sistem MRP dikembangkan untuk
membantu perusahaan manufaktur mengatasi kebutuhan akan item-item dependent
secara lebih baik dan efisien. Disamping itu sistem MRP dirancang untuk membuat
pesanan-pesanan produksi dan pembelian untuk mengatur aliran bahan baku dan
persediaan dalam proses sehingga sesuai dengan jadwal produksi untuk produk akhir.
Hal ini memungkinkan perusahaan memelihara tingkat minimum dari item-item yang
kebutuhannya dependent, tetapi tetap dapat menjamin terpenuhinya jadwal produksi
untuk produk akhirnya. Sistem MRP juga dikenal sebagai perencanaan kebutuhan
berdasarkan tahapan waktu (time-phase requirements planning).
2.5.1

Tujuan Sistem MRP


Sistem MRP adalah suatu sistem yang bertujuan untuk menghasilkan informasi

yang tepat untuk melakukan tindakan yang tepat (pembatalan pemesanan, pesan

ulang, dan penjadwalan ulang). Tindakan ini juga merupakan dasar untuk membuat
keputusan baru mengenai pembelian atau produksi yang merupakan perbaikan atas
keputusan yang telah dibuat sebelumnya.
Ada empat tujuan yang menjadi cirri utama sistem MRP yaitu sebagai berikut :
1. Menentukan kebutuhan pada saat yang tepat.
2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item.
3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan.
4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang
sudah direncanakan.
2.5.2

Input Sistem MRP


Ada tiga input yang dibutuhkan oleh sistem MRP, yaitu :
1. Jadwal Induk Produksi (JIP)
Jadwal Induk Produksi (JIP) didasarkan pada peramalan atas permintaan
dari setiap produk akhir yang akan dibuat. Hasil peramalan (perencanaan
jangka panjang) dipakai untuk membuat rencana produksi (perencanaan
jangka sedang) yang pada akhirnya dipakai untuk membuat JIP
(perencanaan jangka pendek) yang berisi rencana secara mendetail
mengenai jumlah produksi yang dibutuhkan untuk setiap produk akhir
beserta periode waktunya untuk suatu jangka perencanaan dengan
memperhatikan kapasitas yang tersedia (pekerja, mesin, dan bahan)
2. Catatan Keadaan Persediaan
Catatan Keadaan Persediaan menggambarkan status semua item yang ada
dalam persediaan. Setiap item persediaan harus diidentifikasikan secara
jelas

jumlahnya

karena

transaksi-transaksi

yang

terjadi,

seperti

penerimaan pengeluaran, produk cacat, dan data-data tentang lead time,


teknik ukuran lot yang dipakai, persediaan pengaman dan sebagainya. Hal
ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam perencanaan.
3. Struktur Produk
Struktur produk berisi informasi tentang hubungan antara komponenkomponen dalam suatu proses assembling. Informasi ini dibutuhkan

dalam menentukan kebutuhan kotor dan kebutuhan bersih suatu


komponen. Selain itu, struktur produk juga berisi informasi tentang
jumlah kebutuhan komponen pada setiap tahap assembling dan jumlah
produk akhir yang harus dibuat.
Ketiga input tersebut berisi membentuk arsip-arsip yang saling berhubungan
dengan bagian produksi dan pembelian sehingga dapat menghasilkan informasi
terbaru tentang pemesanan, penerimaan, dan pengeluaran komponen dari gudang.
2.5.3

Output Sistem MRP


Output dari perhitungan MRP adalah penentuan jumlah masing-masing BOM

(Bill of Materials) dari item yang dibutuhkan bersamaan dengan tanggal


dibutuhkannya. Pelepasan pesanan yang direncanakan (planned order release, POR)
secara otomatis dihasilkan oleh sistem komputer MRP bersamaan dengan pesananpesanan yang harus dijadwalkan kembali, dimodifikasi, ditangguhkan, atau
dibatalkan. Dengan cara ini, MRP menjadi suatu alat untuk perencanaan operasi bagi
manajer produksi. Berdasarkan uraian diatas, output yang dapat diperoleh dari sistem
MRP dapat kita rangkum sebagai berikut :
1. Memberikan catatan tentang pesanan penjadwalan yang harus dilakukan
atau direncanakan, baik dari pabrik sendiri maupun dari suplier
2.

Memberikan indikasi bila diperlukan penjadwalan ulang

3. Memberikan indikasi untuk pembatalan atas pesanan


4. Memberikan indikasi tentang keadaan dari persediaan
Input dan output dari sistem MRP tersebut disimpan dan diproses secara
terkomputerisasi. Hal ini disebabkan karena banyaknya data yang harus disimpan
dan diproses, sehingga perhitungan secara manual akan menyulitkan dan
membingungkan. Skematik diagram dari sistem MRP terkomputerisasi diberikan
pada Gambar 2.20

MPS

PROGRAM KOMPUTER
MRP

BOM

FILE
PERSEDIAAN

LAPORAN
Ke Bagian
Pembelian

Ke Bagian
Produksi

Gambar 2.20 Sistem MRP Terkomputerisasi


Sumber : Nasution, 2003

2.5.4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesulitan dalam Penerapan


Sistem MRP
Ada beberapa faktor yang menyulitkan praktisi dalam menerapkan sistem

MRP. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :


1. Struktur Produk
Struktur produk merupakan sesuatu yang mutlak harus ada bila kita ingin
menerapkan sistem MRP, tetapi struktur produk yang rumit dan banyak
tingkat (multi level) akan membuat perhitungan semakin

kompleks,

terutama dalam proses eksplosion.


2. Ukuran Lot
Beberapa teknik ukuran lot yang bisa dipakai adalah teknik FPR, L-4-L,
FOQ, dan EOQ. Teknik-teknik tersebut akan memberikan hasil yang
berbeda dalam ongkos total persediaannya, tetapi yang banyak dipakai
karena sederhana adalah teknik L-4-L.
3. Lead Time Berubah-ubah
Lead Time akan mempengaruhi proses offsetting, sehingga jika lead time
berubah-ubah, maka kegiatan produksi akan tidak dapat terjadwal dengan
baik.

2.5.5

Mekanisme Dasar dari Proses MRP


Sebelum menjelaskan dasar dari proses MRP, perhatikan tampilan horizontal

dari MRP dalam Gambar 2.21.

MATERIAL REQUIREMENTS PLANNING (MRP)

Lead Time: 3 weeks


On Hand: 550
Gross Requirements
Scheduled Receipts
Projected On-Hand
Projected Available
Net Requirements
Planned Order Receipts
Planned Order Release

Lot Size: 1000


Safety Stock: 0
Time Periods (Weeks)
1
2
3
4
250
500
200
350
1000
300
800
600
250
300
800
600
250

5
400
-150
850
150
1000

1000

Gambar 2.21 Tampilan Horizontal dari MRP


Sumber : Gaspersz, 1998

Penjelasan yang berkaitan dengan format tampilan horizontal dari MRP di atas
akan dibahas berikut ini.

Lead Time merupakan jangka waktu yang dibutuhkan sejak MRP


menyarankan suatu pesanan sampai item yang dipesan itu siap untuk digunakan.
Dalam Gambar 2.21 diketahui bahwa waktu tunggu (lead time) adalah 3 minggu.

On Hand merupakan inventori on-hand yang menunjukkan kuantitas dari


item yang secara fisik ada dalam stockroom. Dalam Gambar 2.21 diketahui
bahwa inventori on-hand adalah 550 unit.

Lot Size merupakan kuantitas pesanan (order quantity) dari item yang
memberitahukan MRP berapa banyak kuantitas yang harus dipesan serta teknik

lot-sizing apa yang dipakai. Pembahasan dalam buku ini akan menggunakan
teknik fixed quantity lot-size yang merupakan teknik lot-sizing dengan kuantitas
pesanan tetap. Dalam kasus yang dikemukakan di atas, ukuran kuantitas pesanan
adalah tetap sebesar 1000 unit.

Safety Stock merupakan stok pengaman yang ditetapkan oleh perencana


MRP untuk mengatasi fluktuasi dalam permintaan (demand) dan/atau penawaran
(supply). MRP merencanakan untuk mempertahankan tingkat stok pada level ini
(safety stock level) pada semua periode waktu. Dalam kasus yang dikemukakan
dalam Gambar 2.21 di atas, stok pengaman diasumsikan nol.

Planning Horizon merupakan banyaknya waktu ke depan (masa mendatang)


yang tercakup dalam perencanaan. Dalam praktek, horizon perencanaan harus
ditetapkan paling sedikit sepanjang waktu tunggu kumulatif dari sekumpulan
item yang terlibat dalam proses manufakturing. Dalam kasus yang dikemukakan
dalam Gambar 2.21 di atas, horizon perencanaan adalah 5 minggu.

Gross Requirements merupakan total dari semua kebutuhan, termasuk


kebutuhan yang diantisipasi (anticipated requirement), untuk setiap periode
waktu. Suatu part tertentu dapat mempunyai kebutuhan kotor (gross
requirements) yang mencakup dependent and independent demand. Sebagai
contoh, proses pembuatan komputer yang menggunakan disk drives, keyboards,
dan power supplies (dependent demand), pada saat yang sama ketika perusahaan
juga menjual disk drives, keyboards, dan power supplies secara langsung ke
pelanggan sebagai parts pengganti (independent demand). Dalam contoh ini:
parts disk drives, keyboards, dan power supplies merupakan dependent and
independent demand. Dalam kasus contoh yang dikemukakan dalam Gambar
2.21 di atas, kita mengetahui bahwa kebutuhan kotor (gross requirements) untuk
periode 1 adalah 250 unit, periode 2 adalah 500 unit, periode 3 adalah 200 unit,
periode 4 adalah 350 unit, dan periode 5 adalah 400 unit.

Projected On-Hand merupakan projected available balance (PAB), dan tidak


termasuk planned orders. Projected on-hand dihitung berdasarkan formula:

Projected On-Hand = On pada awal periode + Schedule Receipts Gross


Requirements.

Dalam kasus yang dikemukakan dalam Gambar 2.21, dikemukakan bahwa onhand pada awal periode 1 adalah 550 unit, sehingga projected on-hand untuk periode
1, 2, 3, 4, dan 5 dihitung sebagai berikut:
Projected on-hand periode 1 = 550 + 0 250 = 300 unit
Projected on-hand periode 2 = 300 + 1000 500 = 800 unit
Projected on-hand periode 3 = 800 + 0 200 = 600 unit
Projected on-hand periode 4 = 600 + 0 350 = 250 unit
Projected on-hand periode 5 = 250 + 0 400 = -150 unit
Tampak bahwa projected on-hand balance pada periode 5 telah menjadi
negatif, yang berarti kita telah memperkirakan akan terjadi kekurangan item
sebanyak 150 unit dalam periode 5. Dengan demikian net ruquirements dalam
periode 5 adalah 150 unit. Net requirements itu perlu dipenuhi melalui planned order
receipts yang dapat dimasukkan untuk periode yang sama (menggunakan angka lot
size) dan selanjutnya planned order release dapat dimasukkan menggunakan lead
time offset. Dalam kasus yang dikemukakan angka lot size adalah 1000 unit,
sehingga planned order receipts untuk periode 5 (periode di mana net requirements
adalah 150 unit) adalah 1000 unit, selanjutnya planned order release dihitung
mundur ke belakang (backward) sebanyak lead time 3 minggu sehingga diperoleh: 5
3 = 2; berarti planned order release ditempatkan dalam periode (minggu) ke-2
sebanyak 1000 unit. (Catatan: planned order release selalu memiliki kuantitas yang
sama dengan planned order receipts, tetapi ditetapkan mundur ke belakang dengan
menggunakan panjang waktu tunggu (lead time offset).
Beberapa catatan penting yang perlu diketahui di sini adalah:
1. Baris projected on-hand tidak menggambarkan planned order receipts, tetapi
hanya menunjukkan scheduled receipts.
2. Sekali projected on-hand menjadi negatif, ia akan terus menjadi negatif. Nilai
negatif akan terus menjadi lebih besar pada setiap periode waktu dengan
bertambahnya gross requirements, kecuali telah muncul scheduled receipts yang
menutupi kekurangan item itu.
3. Net Requirements akan ditunjukkan sebagai nilai positif yang sesuai dengan
pertambahan negatif dari projected on-hand dalam periode yang sama.

4. Apabila lot size tidak ditentukan, planned order receipts untuk satu periode akan
identik dengan net requirements yang ditunjukkan pada periode yang sama.
Dalam hal ini berarti kita menggunakan teknik lot-for-lot.

Projected Available merupakan kuantitas yang diharapkan ada dalam


inventori pada akhir periode, dan tersedia untuk penggunaan dalam periode
selanjutnya. Projected available dihitung berdasarkan formula berikut:
Projected Available = On-Hand pada awal periode (atau Projected Available

periode sebelumnya) + Scheduled Receipts periode sekarang + Planned Order


Receipts periode sekarang Gross Requirements periode sekarang.
Dalam kasus yang dikemukakan, Projected Available untuk setiap periode
dihitung sebagai berikut:
Projected Available pada akhir periode 1

= 550 + 0 + 0 250
= 300 unit

Projected Available pada akhir periode 2

= 300 + 1000 + 0 500


= 800 unit

Projected Available pada akhir periode 3

= 800 + 0 + 0 200
= 600 unit

Projected Available pada akhir periode 4

= 600 + 0 + 0 350
= 250 unit

Projected Available pada akhir periode 5

= 250 + 0 + 1000 400


= 850 unit

Beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan adalah :


1. Projected Available adalah alternatif terhadap projected on-hand yang
menggambarkan planned order receipts dan juga scheduled receipts.
2. Dalam catatan MRP yang seimbang, projected available seharusnya tidak pernah
negatif sebab planned order release akan dibangun untuk menutupi kekurangan
material yang diperkirakan terjadi.

Net Requirements, merupakan kekurangan material yang diproyeksikan


untuk periode ini, sehingga perlu diambil tindakan ke dalam perhitungan planned
order receipts agar menutupi kekurangan material pada periode itu. Net
Requirements dihitung berdasarkan formula berikut:

Net Requirements = Gross Requirements + Allocations + Safety Stock


Scheduled Receipts Projected Available pada akhir periode lalu.
Catatan: Allocations adalah item atau material yang telah dialokasikan untuk
keperluan produksi spesifik di masa mendatang tetapi belum dipergunakan. Item ini
sering disebut sebagai allocated items. Dalam kasus contoh di atas, allocations sama
dengan nol.
Berdasarkan formula di atas, kita dapat menghitung net requirements untuk
periode 5, sebagai berikut:
Net Requirements pada periode 5 = 400 + 0 + 0 0 250 = 150 unit
Beberapa catatan yang perlu diperhatikan di sini adalah :
1. Apabila lot sizing dipakai, net requirements adalah prediksi kekurangan
material, sehingga perlu dimasukkan dalam perhitungan planned order
receipts, dan tidak hanya menghitung kenaikan dalam nilai negatif yang
ditunjukkan dalam baris projected on-hand.
2. Aturan: apabila menggunakan fixed quantity lot size, dan bila ada net
requirements, maka banyaknya kuantitas planned order receipts akan
mengambil salah satu nilai yaitu: standard lot size atau net requirements
aktual, tergantung mana yang lebih besar. Dalam kasus yang dikemukakan
tampak bahwa net requirements pada periode 5 adalah 150 unit, sedangkan
standard lot size adalah 1000 unit, maksimum (1000, 150) = 1000 unit.
Apabila menggunakan suatu fixed multiple quantity lot size, planned order
receipts seharusnya menjadi sebesar standard lot size atau kelipatan dari
besaran standard lot size agar cukup memenuhi net requirements.
3. Dalam kebanyakan kasus, planned order receipts akan melebihi besaran net
requirements, sehingga membiarkan beberapa kuantitas inventori disimpan
samapi periode berikut.
4. Dalam keadaan rolling schedule akan menjadi normal bahwa besaran
scheduled receipts adalah sama dengan kuantitas lot size, karena kuantitas itu
yang telah dipesan.

Planned Order Receipts merupakan kuantitas pesanan pengisian kembali


(pesanan manufakturing dan/atau pesanan pembelian) yang telah direncanakan

oleh MRP untuk diterima pada periode tertentu guna memenuhi kebutuhan bersih
(net requirements). Apabila menggunakan teknik lot-for-lot, maka planned order
receipts dalam setiap periode selalu sama dengan net requirements pada periode
itu. Jika planned order dimodifikasi melalui kebijaksanaan lot sizing, maka
planned orders dapat melebihi net requirements akan dimasukkan ke dalam
projected available inventory untuk penggunaan pada periode berikutnya.

Planned Order Releases merupakan kuantitas planned orders yang


ditempatkan atau dikeluarkan dalam periode tertentu, agar item yang dipesan itu
akan tersedia pada saat yang dibutuhkan. Item yang tersedia pada saat dibutuhkan
itu tidak lain adalah kuantitas planned order receipts yang ditetapkan
menggunakan lead time offset.
Proses penghitungan rencana material untuk setiap item dalam MRP kadang-

kadang disebut sebagai: record balancing. Proses balancing terdiri dari perhitunganperhitungan baris projected on-hand atau projected available untuk setiap periode
dalam planning horizon untuk menjamin bahwa semua kekurangan material di masa
yang akan datang dapat di penuhi oleh planned orders. Beginning on-hand balances,
allocated quantities, dan safety stock, semuanya dimasukkan dalam perhitungan.
Beberapa

catatan

tambahan

yang

perlu

diperhatikan

dalam

proses

penghitungan MRP, adalah: (1) allocated stock harus dikurangkan dari beginning onhand balance guna memberikan beginning balance available untuk perencanaan, (2)
safety stock dikurangkan dari beginning on-hand balance, serta net requirements
muncul apabila projected on-hand jatuh pada atau di bawah kuantitas safety stock.
Dari pembahasan di atas, tampak bahwa proses MRP merupakan suatu
kombinasi dari empat proses logik yang sangat sederhana, yaitu : (1) penentuan net
requirements untuk setiap periode, (2) penentuan planned orders untuk setiap
periode, (3) lead time offesetting, dan (4) exploding planned orders.

Anda mungkin juga menyukai