Anda di halaman 1dari 34

Daftar Isi

Kata Pengantar..
ii
Daftar Isi.iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...
.1
B. Rumusan Masalah..
.2
C. Batasan Masalah....
..3
D. Tujuan.............................................................................................
.....................3
E. Manfaat.
...3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendahuluan.................................................................4
B. Kenapa Persediaan Muncul?.........................................5
C. Ukur Persediaan............................................................6
D. Klasifikasi Persediaan...................................................7
E. Model Persediaan untuk Produk dengan Permintaan Relatif Stabil
.....................................................................................8
F. Model Persediaan untuk Produk dengan Permintaan
Musiman14
G. Mengurangi Kesalahan Persediaan dengan Mendeteksi Respon
Awal.19
H. Pendekatan Kapasitas Reaktif....
21
I. Vendor Managed Inventory (VMI)
24
J. Beberapa Hambatan dalam Manajemen
Persediaan..25
BAB III PENUTUP
Kesimpulan............................................................................32
Daftar Pustaka

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
pertolonganNya kami dapat menyelesaiakan makalah mata kuliah Manajemen Operasional
yang berjudul Pusat Biaya. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang kami alami
dalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikannya tepat waktu.

Tak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yaitu Pak Dr.
Ahmad Shalahuddin, SE, MM yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang
bagaimana cara menyusun makalah ini yang baik dan sesuai kaidah.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi
saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalah lain yang berkaitan pada makalah-makalah selanjutnya.

Semoga makalah yang kami buat ini dapat membuat kita mencapai kehidupan yang
lebih baik lagi dan dapat digunakan sebaik-baiknya dimasa datang.

Pontianak, 26 april 2017

Kelompok 6

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Persediaan di sepanjang supply chain memiliki implikasi yang besar terhadap kinerja
finansial suatu perusahaan. Jumlah uang yang tertananm dalam bentuk persediaan bisaanya
sangat besar sehingga persediaan adalah salah satu aset terbesar yang dimiliki supply chain.
Banyak perusahaan yangmemiliki nilai persediaannya melebihi 25% dari nilai keseluruhan
aset yang dimiliki. Ini berarti bahwa biaya modal yang tertanam dalam bentuk persediaan di
suatu perusahaan/suppy chain bisa sangat besar. Manajemen perusahaan yang baik bisa
berpengaruh besar terhadap kinerja finansial sebuah perusahaan.
Pesediaan muncul di berbagai tempat dengan berbagai bentuk dan fungsi di sepanjang
supply chain. Mari kita kembali pada contoh supply chain biskuit kaleng yang didiskusikan
pada bab 1. Di mana sajakah dan dalam bentuk apa sajakah persediaan di sepanjang supply
chain biskuit kaleng tersebutApabila anda mengamati secara cermat mungkin ada ribuan jenis
persediaan yang ada di berbagai tempat pada supply chain biskuit. Termasuk di antaranya
adalah:
Persediaan biskuit kaleng di berbagai supermarket dan toko yang siap dijual
ke pelanggan. Ukuran, gambar, model, dan isi kaleng terlalu banyak
variasinya. Ini berarti, setiap supermarket bisa menyimpan ratusan jenis
biskuit kaleng.
Persediaan dengan bentuk yang sama juga ada di Gudang distributor pusat
maupun distributor cabang. Sebelum dikirim ke distributor, produk-produk
terebut juga tersimpan di gudangnya pabrik biskuit.
Pabrik juga pasti menyimpan bahan baku seperti tepung, gula, garam, zat
pewarna, air, dan kaleng yang sudah siap diisi.
Pabrik kaleng memiliki persediaan kaleng yang sudah jadi dan siap dikirim ke
pabrik, persediaan kaleng yang belum jadi tetapi sudah sebagian di proses
(work in process), maupun aluminium sebagai bahan baku kaleng.
Pabrik tepung, pabrik gula, pabrik garam, dan sebagainya juga punya berbagai
macam persediaan dengan berbagai bentuk.

Kalau dirinci secara detail , tentulah sangat banyak jenis persediaan yang ada di
sebuah supply chain biskuit kaleng. Belum lagi kalau kita memperhitungkan persediaan
barang-barang lain yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam supply chain
biskuit tadi. Ini termasuk persediaan komponen mesin, karton pembungkus (packaging),
kertas, dan sebagainya.
Mengelola aliran material/produk dengan tepat adalah salah satu tujuan utama dari
supply chain. Aliran yang tepat berarti tidak terlalu terlambat dan tidak terlalu dini,
jumlahnya sesuai dengan kebutuhan, dan terkirim ke tempat yang memang membutuhkan.
Bayangkan misalnya pada saat biskuit sudah selesai diproduksi dan siap dikirim ke gudang-
gudang distributor di seluruh Indonesia.Bagaimana pabrik harus menentukan jumlah dan
tujuan pengiriman? Tentunya jumlah yang dikirim harus mencerminkan kebutuhan masing-
masing wilayah pemasaran. Kalau tidak, satu wilayah akan kekurangan produk dan wilayah

3
lain akan kelebihan. Kekurangan maupun kelebihan pasokan produk sama-sama berdampak
negatif bagi kinerja supply chain. Selain alokasi pengiriman harus tepat, pabrik juga harus
memproduksi biskuit sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Namun harus tentu disadari bahwa
kebutuhan pelanggan hanya bisa diramalkan. Kesalahan bisa berupa memproduksi terlalu
banyak atau terlalu sedikit (volume error) atau memproduksi jenis biskut yang salah (mix
error). Kedua-duanya menimbulkan masalah persediaan.
Dikehidupan yang modern seperi sekarang ini,tentunya masalah seputar dunia bisnis
menjadi semakin maju. Dimana saja, siapa saja, berbondong-bondong untuk membangun
dunia usaha (Bisnis). Ada saja cara-cara yang dipergunakan oleh para pelaku bisnis untuk
memajukan serta menjalankan bisnisnya dengan efektif dan seefisien mungkin. Banyak cara
dilakukan namun terkadang belum mancapai target yang di inginkan.
Salah satu contoh yang bisa kita uraikan adalah masalah penyedian produk yang
murah, berkualitas dan cepat, belum dapat terkoordinir dengan baik, serta trasportasi dan
jaringan belum memadai. Untuk itu para pelaku bisnis harus menyadari bahwasannya,
dengan proses yang terstruktur dan perhitungan dalam mengabil keputusan adalah penting
untuk kemajuan bisnis tersebut.
Ketersediaan produk dan harga jual yang ekonomis hanya dapat terjadi jika ada
koordinasi yang baik antara perusahaan retail dengan pihak-pihak dalam rantai suplainya.
Koordinasi antara pihak-pihak dalam rantai suplai tidak hanya melibatkan koordinasi
persediaan saja, tetapi juga informasi tentang pasar yang berguna bagi perencanaan
perusahaan. Kekurangan persediaan produk pada distributor akan berakibat kehilangan
penjualan, sedangkan kelebihan tertentu akan berakibat menumpuknya produk dan
meningkatnya biaya pemeliharaan persediaan.
Selain itu, koordinasi dengan toko-toko cabang sebagai salah satu mata rantai suplai
adalah penting, dimana kantor pusat dapat berbagi informasi dan mengumpulkan informasi
mengenai masing-masing supplier agar pengelolaan suplai dan perencanaan penjualan produk
dapat dilakukan dengan lebih baik. Pelaku industri pun mulai sadar bahwa untuk
menyediakan produk yang murah, berkualitas, dan cepat, perbaikan di internal sebuah
perusahaan manufaktur tidaklah cukup. Kesadaran akan pentingnya peran semua pihak dalam
menciptakan produk yang murah, berkualitas, dan cepat inilah yang kemudian melahirkan
konsep baru tahun 1990-an yaitu supply chain management (SCM).

B. Identifikasi Masalah
1. Apakah fungsi ketersediaan supply chain?
2. Di mana dan dalam bentuk apa persediaan pada suatu supply chain berada?
3. Apa saja alat ukur kinerja persediaan?
4. Apa saja keputusan yang diambil dalam kaitannya dengan persediaan?
5. Bagaimana model-model persediaan yang bias digunakan dalam mengambil keputusan
persediaan?
6. Bagaimana model-model tersebut berbeda untuk item karakteristik berbeda?
7. Apa yang dinamakan VMI dana pa keuntungannya?
8. Apa kendala-kendala yang bias terjadi dalam menciptakan manajemen persediaan yang
efektif?

4
C. Batasan Masalah
Untuk menyediakan produk yang murah, berkualitas dan cepat, maka perlu adanya
pengunaan konsep yang efektif dan efisien. Untuk memenuhi tunutan tersebut konsep apa
yang akan digunakan ?

D. Tujuan
Tujuan dari karya ilmiah ini, sebagai salah satu tugas mata kuliah Riset Operasional serta
membantu dan mempelajari sedikit dari sekian banyak konsep-konsep manajemen agar lebih
terstruktur dan kreatif. Salah satu konsep yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini yaitu
Supply Chain Manajement (SCM).

E. Manfaat
Untuk sedikit membantu para pelaku-pelaku bisnis dalam menciptakan suatu produk yang
murah, berkualitas dan cepat. Serta, memanagemen Sistem transportasi dan jaringan
distributor agar lebih terstruktur.

5
BAB II
PEMBAHASAN

Mengelola Persediaan pada Supply Chain

A. Pendahuluan
Persediaan di sepanjang supply chain memiliki implikasi yang besar terhadap kinerja
finansial suatu perusahaan. Jumlah uang yang tertananm dalam bentuk persediaan bisaanya
sangat besar sehingga persediaan adalah salah satu aset terbesar yang dimiliki supply chain.
Banyak perusahaan yangmemiliki nilai persediaannya melebihi 25% dari nilai keseluruhan
aset yang dimiliki. Ini berarti bahwa biaya modal yang tertanam dalam bentuk persediaan di
suatu perusahaan/suppy chain bisa sangat besar. Manajemen perusahaan yang baik bisa
berpengaruh besar terhadap kinerja finansial sebuah perusahaan.
Pesediaan muncul di berbagai tempat dengan berbagai bentuk dan fungsi di sepanjang
supply chain. Mari kita kembali pada contoh supply chain biskuit kaleng yang didiskusikan
pada bab 1. Di mana sajakah dan dalam bentuk apa sajakah persediaan di sepanjang supply
chain biskuit kaleng tersebutApabila anda mengamati secara cermat mungkin ada ribuan jenis
persediaan yang ada di berbagai tempat pada supply chain biskuit. Termasuk di antaranya
adalah:
Persediaan biskuit kaleng di berbagai supermarket dan toko yang siap dijual
ke pelanggan. Ukuran, gambar, model, dan isi kaleng terlalu banyak
variasinya. Ini berarti, setiap supermarket bisa menyimpan ratusan jenis
biskuit kaleng.
Persediaan dengan bentuk yang sama juga ada di Gudang distributor pusat
maupun distributor cabang. Sebelum dikirim ke distributor, produk-produk
terebut juga tersimpan di gudangnya pabrik biskuit.
Pabrik juga pasti menyimpan bahan baku seperti tepung, gula, garam, zat
pewarna, air, dan kaleng yang sudah siap diisi.
Pabrik kaleng memiliki persediaan kaleng yang sudah jadi dan siap dikirim ke
pabrik, persediaan kaleng yang belum jadi tetapi sudah sebagian di proses
(work in process), maupun aluminium sebagai bahan baku kaleng.
Pabrik tepung, pabrik gula, pabrik garam, dan sebagainya juga punya berbagai
macam persediaan dengan berbagai bentuk.

Kalau dirinci secara detail , tentulah sangat banyak jenis persediaan yang ada di
sebuah supply chain biskuit kaleng. Belum lagi kalau kita memperhitungkan persediaan
barang-barang lain yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam supply chain
biskuit tadi. Ini termasuk persediaan komponen mesin, karton pembungkus (packaging),
kertas, dan sebagainya.
Mengelola aliran material/produk dengan tepat adalah salah satu tujuan utama dari
supply chain. Aliran yang tepat berarti tidak terlalu terlambat dan tidak terlalu dini,
jumlahnya sesuai dengan kebutuhan, dan terkirim ke tempat yang memang membutuhkan.
Bayangkan misalnya pada saat biskuit sudah selesai diproduksi dan siap dikirim ke gudang-
gudang distributor di seluruh Indonesia.Bagaimana pabrik harus menentukan jumlah dan
tujuan pengiriman? Tentunya jumlah yang dikirim harus mencerminkan kebutuhan masing-
masing wilayah pemasaran. Kalau tidak, satu wilayah akan kekurangan produk dan wilayah
lain akan kelebihan. Kekurangan maupun kelebihan pasokan produk sama-sama berdampak
negatif bagi kinerja supply chain. Selain alokasi pengiriman harus tepat, pabrik juga harus
memproduksi biskuit sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Namun harus tentu disadari bahwa
kebutuhan pelanggan hanya bisa diramalkan. Kesalahan bisa berupa memproduksi terlalu
banyak atau terlalu sedikit (volume error) atau memproduksi jenis biskut yang salah (mix
error). Kedua-duanya menimbulkan masalah persediaan.
Pada bab ini kita akan membahas manajemen persediaan yang merupakan isu sangat
penting pada supply chain. Kita akan mulai dengan mendiskusikan beberapa konsep
persediaan kemudian akan disusul dengan model-model yang bisa digunakan untuk
membantu membuat keputusan tentang persediaan. Mengingat inti dari supply chain
management adalah koordinasi dan kolaborasi, pada bab ini kita juga akan membahas dan
membedakan model-model persediaan dengan sistem tanpa dan dengan koordinasi antar
pihak supply chain.

B. Kenapa Persediaan Muncul?


Persediaan bisa muncul karena memang direncanakan atau merupakan akibat dari
ketidaktahuan terhadap suatu informasi. Jadi ada perusahaan yang memiliki persediaan
karena sengaja membuat produk lebih awal atau lebih banyak dari waktu dan jumlah yang
akan dikirim atau dijual pada suatu waktu tertentu, ada juga karena merupakan akibat dari
permintaan yang terlalu sedikit dibandingkan dengan perkiraan awal.
Mari kita lihat beberapa contoh berikut. Pabrik biskuit tahun ini membuat terlalu
banyak biskuit jenis A. permintaan sesungguhnya hanya 5320 kaleng padahal produksinya
5500 kaleng. Sisanya sebanyak 180 kaleng tidak terjual sampai akhir masa kadaluwarsanaya.
Persediaan ini muncul karena ketidakpastiaan permintaan. Dengan kata lain, perusahaan tidak
punya informasi yang akurat tentang permintaan suatu produk memang tidak pernah bisa
diketahui sebebelum terjadi. Mungkinkah permintaannya hanya benar-benar 5320 kaleng?
Bisa jadi tidak. Kalua sistem distribusinya kurang bagus, mungkin sisa 180 kaleng tersebut
terlalu banyak produk dikirim ke Jawa Timur padahal sebagian toko di Jawa Barat tidak
terpasok dengan baik.
Ketidakpastian tersebut juga dialami oleh banyak perusahaan yang beroperasi dengan
sistem make to stock. Bahkan banyak perusahaan yang akan menghadapi ketidakpastian yang
sangat tinggi sehingga bisa memiliki persediaan berlebih yang cukup banyak di akhir masa
jual produk tersebut. Pabrik kamera digital, telepon genggam, garmen, pemasok sayur-
sayuran dan buah-buahan, pedagang nasi pecel, perusahaan percetakan buku, majalah dan
koran semuanya menghadapi permasalahan yang sejenis.
Ketidakpastian pada supply chain tidak hanya muncul dari arah permintaan tetapi juga
dari arah pasokan dan operasi internal. Ketidakpastian pengiriman dan harga bahan baku
menyebabkan pabrik menimbun persediaan bahan baku. Ketidakpastian pengiriman dari
pabrik menyebabkan distributor harus menyimpan persediaan cadangan (safety stock).
Ketidakpastian proses internal seperti mesin Yang kurang handal dan kecepatan mesin yang
bervariasi memaksa pabrik untuk memiliki cadangan barang setengah jadi (WIP).
Selain ketidakpastian perbedaan lokasi, yang membuat munculnya lead time
pengiriman, juga merupakan sumber dari persediaan. Pabrik di Indonesia yang membeli
bahan baku dari Eropa membutuhkan waktu 1-3 bulan tentu bharus memikirkan cadangan
bahan baku yang bisa digunakan selama menunggu kiriman dari supplier. Semakin lama
waktu yang dibutuhkan untuk mengirim bahan baku tersebut, semakin banyak persediaan
cadangan yang dibutuhkan.
Persediaan juga muncul akibat dari motif ekonomi dalam melakukan suatu kegiatan
produksiatau pengiriman. Pabrik tidak akan bisa memproduksi dengan jumlah yang terlalu
sedikit karena tidak akan mencapai apa yang dinamakan skala ekonomi (economiesof scale).
Begitu juga tidak akan ekonomis berjalan kalua hanya mengirim 1 kuintal tepung terigu dari
pabrik tepung ke pabrik biskuit. Karena ada kepentingan mencapai skala ekonomi, produksi
atau pengiriman dilakukan dengan ukuran batch besar. Pabrik biskuit mungkin harus
menerima 10 ton tepung untuk setiap pengiriman, padahan 10 ton tersebut cukup untuk
kebutuhan produksi 10 hari. Kalau produksi berjalan kurang lebih dengan kecepatan tetap
dan penhiriman tepung dilakukan setiap 10 hari, pabrik biskuit akan menyimpan rata-rata 5
ton tepung terigu akibat motif mencapai skala ekonomi pengiriman.

C. Ukur Persediaan
Perusahaan perlu menggunakan ukuran-ukuran untuk melihat kinerja persediaan. Pada
prinsipnya kinerjapersediaan harus berorientasi pada efisiensi operasi di satu pihak dan
pelayanan terhadap pelanggan (service level) di pihak lain. Kedua hal ini sering bertentangan.
Kalau tidak dilakukan perubahan mendasar pada sistem, peningkatan service level bisaanya
berimplikasi pada peningkatan persediaan. Beberapa ukuran yang bisa digunakan untuk
memonitor kinerja persediaan adalah:
1. Tingkat perputaran persediaan (inventory turnover rate). Ini melihat seberapa cepay
produk atau barang mengalir relatif terhadap jumlah yang rata-rata tersimpan sebagai
persediaan. Nilainya bisa diukur untuk tiap individu produk atau secara agregat
mewakili satu kelompok atau keseluruhan produk. Tingkat perputaran bisaanya diukur
dalam setahun. Kalau pengukuran dilakukan untuk kelompok atau keseluruhan
produk, pembilang maupun penyebut bisaanya diwujudkan dalam bentuk nilai uang.
Misalkan perusahaan menjual 150 jenis produk. Nilai penjualan dalam setahun untuk
keseluruhan produk adalah 40 milyar dimana 25% nya merupakan marjin. Berarti
nilai persediaan yang terjual dalam setahun adalah 30 milyar sehingga tingkat
perputarannya adalah 10 kali dalam setahun. Semakin besar nilainya semakin bagus.
Nilai normal untuk tiap industri tentu berbeda-beda.
2. Inventory days of supply. Dedefinisikan sebagai rata-rata jumlah dari suatu
perusahaan bisa beroperasi dengan jumlah persediaan yang dimiliki. Ukuran ini
sebenarnya bisa dikatakan seirama dengan tinkat perputaran persediaan. Kalau
inventory days of supply panjang maka tingkat perputarannya rendah. Misalkan untuk
kasus di atas perusahaan beroperasi selama 250 hari dalam setahun. Berarti nilai
persediaan yang terjual per hari adalah 30 milyar / 300 hari = 0.10 milyar. Dengan
demikian maka nilai inventory days of supply dari kasus tersebut adalah 3 milyar per
hari dibagi 0.10 milyar = 30 hari. Jadi rata-rata perusahaan memiliki persediaan untuk
30 hari kerja.
3. Fill rate adalah persentase jumlah item yang tersedia ketika diminta oleh pelanggan.
Jadi fill rate 97% berarti ada kemungkinan 3% dari item yang diminta oleh pelanggan
tidak tersedia. Akibatnya pelanggan harus menunggu beberapa lamaatau pindah ke
tempat lain untuk mendapatkannya. Fill rate bisa diukur untuk beberapa produk secara
individual untuk keseluruhan produk secara agregat. Untuk menciptakan supply chain
management yang efektif, perusahaan mungkin harus membedakan target fill rate
untuk tiap pelanggan dan tiap item. Perbedaan target fill rate ini bisaanya
mencerminkan nilai strategis dari tiap kelompok item atau kelompok pelanggan
tersebut.
D. Klasifikasi Persediaan
Persediaan bisa diklasifikasikan dengan berbagai cara. Pada bagian ini kita akan melihat
persediaan dari 3 klasifikasi :
1. Berdasarkan bentuknya, persediaan bisa diklasifikasikan menjadi bahan baku (raw
materials), barang setengah jadi (WIP), dan produk jadi (finished product).
Klasifikasi ini bisaanya hanya berlaku pada konteks perusahaan manufaktur.
Produk jadi yang dihasilkan oleh supplier akan menjadi bahan baku bagi sebuah
pabrik perakitan. Jadi, dalam konteks supply chain mestinya produk jadi adalah
produk yang tidak akan mengalami proses pengolahan lagi dan siap digunakan
oleh pemakai akhir.
2. Berdasarkan fungsinya, persediaan bisa dibedakan menjadi :
a. Pipeline/transit inventory. Persediaan ini muncul karena lead time pengiriman
dari satu tempat ke tempat lain. Barang yang tersimpan di truk sewaktu
pengiriman adalah salah satu contohnya. Persediaan ini akan banyak kalua
jarak (dan waktu) pengiriman panjang. Jadi, persediaan jenis ini bisa dikurangi
dengan mempercepat pengiriman misalnya dengan mengubah alat atau mode
transportasi atau dengan mencari pemasok yang lokasinya lebih dekat
(tentunya dengan mempertimbangkan konsekuensi lain seperti onkos kirim,
harga dan kualitas).
b. Cycle stock. Ini adalah persediaan akibat motif memenuhi skala ekonomi
seperti yang didiskusikan di atas. Persediaan ini mempunyai siklus tertentu.
Pada saat pengiriman jumlahnya banyak, kemudian sedikit demi sedikit
berkurang akibat dipakai atau dijual sampai akhirnya habis atau hampir habis,
kemudian mulai dengan siklus baru lagi.
c. Persediaan pengaman (safety stock). Fungsinya adalah sebagai perlindungan
akibat dari ketidakpastian permintaan maupun pasokan. Perusahaan bisaanya
menyimpan lebih banyak dari yang diperkirakan selama suatu periode tertentu
supaya kebutuhan yang lebih banyak bisa dipenuhi tanpa harus menunggu.
Menentukan berapa besarnya persediaan pengaman adalah pekerjaan yang
sulit. Besar kecilnya persediaan pengaman terkait dengan biaya persediaan
dan service level.
d. Anticipation stock adalah persediaan yang dibutuhkan untuk mengantisipasi
kenaikan permintaan akibat sifat musiman dari permintaan terhadap suatu
produk. Walaupun anticipation stock pada hakekatnya mengantisipasi
permintaan yang tidak pasti, namun perusahaan bisa memprediksi adanya
kenaikan dalam jumlah yang signifikan (bukan sekedar pola acak).
3. Persediaan juga bisa diklasifikasikan berdasarkan sifat ketergantungan kebutuhan
antara satu item dengan item lainnya. Item-item yang kebutuhannnya tergantung
pada kebutuhan item lain dinamakan dependent demand item. Sebaliknya,
kebutuhan independent demand item bisaanta adalah komponen atau bahan baku
yang akan digunakan untuk membuat produk jadi. Kebutuhan bahan baku dan
komponen tersebut ditentukan oleh banyaknya jumlah produk jadi yang akan
dibuat menggunakan komponen atau bahan baku tersebut. Ketergantungan
permintaan ini bisaanya diwujudkan dalam bentuk struktur/ komposisi produk
atau bill of materials (BOM). Produk jadi bisaanya tergolong dalam independent
demand item karena kebutuhan akan satu produk jadi tidak langsung
mempengaruhi kebutuhan produk jadi yang lain.
E. Model Persediaan untuk Produk dengan Permintaan Relatif Stabil
Model Economic Order Quality (EOQ)
Salah satu keputusan yang harus diambil dalam manajemen persediaan adalah ukuran
pesanan. Untuk item yang permintaan atau kebutuhannya relative stabil dalam jangka
panjang, ukuran pesanan akan berimplikasi pada frekuensi pemesanan dan rata-rata
persediaan yang akan disimpan oleh perusahaan. Semakin kecil ukuran pesanan berarti
semakin cepat persediaan habis sehingga semakin sering pesanan harus dilakukan. Karena
bisaanya ada ongkos tetap setiap kali memesan suatu material atau produk maka ukuran
pesanan yang terlalu kecil berimplikasi pada ongkos-ongkos tetap pemesanan yang terlalu
besar. Sebaliknya, kalua pesanan dilakukan dalam jumlah besar, perusahaan akan lebih jarang
memesan, namun secara rata-rata harus menyimpan persediaan dalam jumlah yang lebih
besar.
Salah satu model sederhana yang bisa digunaka untukn menentukan ukuran pesanan
yang ekonomis adalah model economic order quantity (EOQ). Model ini mempertimbangkan
dua ongkos persediaan di atas, yakni ongkos pesan dan ongkos simpan. Ongkos pesan yang
dimaksud adalah ongkos-ongkos tetap yang keluar setiap kali pemesanan dilakukan dan tidak
tergantung ukuran dan volume pesanan. Sedangkan ongkos simpan adalah ongkos yang
terjadi akibat perusahaan menyimpan barang tersebut selama suatu periode tertentu. Bagian
terbesar ongkos simpan bisaanya adalah biaya modal akibat tertahannya uang dalam bentuk
barang yang besarnya kira-kira sama dengan rate of return (ROR) dari perusahaan yang
bersangkutan. Lebih sederhananya biaya modal ini sering diisamakan dengan bunga
simpanan di bank. Di samping biaya modal, ongkos simpan juga diakibatkan oleh biaya
gudang, biaya kerusakan, biaya keusangan atau kadaluwarsa, pajak dan asuransi. Karena
tingkat keusangan dan tingkat kesulitan penyimpanan tiap barang berbeda-beda maka biaya
simpan bervariasi antara satu jenis barang dengan dengan jenis yang lainnya. Namu secara
umum biaya simpan per tahun berkisar antara 20% - 35% per tahun dari nilai barang yang
disimpan. Artinya, kalua suatu perusahaan memiliki persediaan dengan nilai rata-rata 10
milyar maka biaya simpan per tahun sekitar 2 - 3.5 milyar! Anka sebesar ini sering tidak
disadari karena bagian terbesar ongkos simpan (yang berupa biaya modal) tidak tercatat
dalam laporan akuntansi.
Model EOQ dibuat dengan sejumlah asumsi. Artinya, model ini hanya bisa digunakan
dengan cukup baik apabila sejumlah asumsi tersebut dipenuhi atau setidaknya mendekati.
Asumsi pertama adalah permintaan terhadap suatu item bersifat kontinyu dengan tingkat
yang seragam. Artinya, item tersebut dbutuhkan dengan jumlah yang sama dari waktu ke
waktu tidak terlalu besar. Di lapangan banyak kasus di mana permintaan atau kebutuhan
suatu item relative tetap dari waktu ke waktu. Contohnya, di sebuah pabrik roti yang cukup
besar di mana produksi dari waktu ke waktu berada pada kapasitas yang relative tetap,
kenutuhan akan bahan baku utama seperti tepung terigu, gula pasir dan garam akan relative
stabil. Bahkan pada industry yang relative inovatif seperti sepeda motor pasti memiliki
sejumlah komponen yang kenutuhannya relative tetap dari waktu ke waktu walaupun jenis
sepeda motor yang diproduksi berubah-ubah. Ini bisaanya terjadi pada komponen-komponen
dasar yang tidak banyak mengalami perubahan walaupun ada variasi pada sepeda motor yang
dijual.
Untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana model ini bekerja, mari kita
gunakan contoh sederhana berikut. Sebuah pabrik biscuit menggunakan sekitar 1 ton tepung
terigu per hari untuk kebutuhan produksinya. Perusahaan hanya bekerja selama 7 hari dalam
seminggu atau 365 hari dalam setahun. Perusahaan memesan keseluruhan kebutuhan tepung
terigu ke PT. AZ. Harga satu ton tepung sekitar Rp. 5 juta. Setiap kali memesan tepung terigu
perusahaan harus mengeluarkan biaya-biaya administrasi sebesar Rp. 0,25 juta. Bagian
akuntansi memperkirakan ongkos simpan per tahun 25% dari nilai persediaan tepung rata-
rata. Setiap berapa hari perusahaan seharusnya memesan tepung terigu kke PT. AZ?
Misalkan Q adalah ukuran pesanan, D adalah kebutuhan tepung terigu per tahun, h 1,
adalah ongkos simpan per ton per tahun, dan Cb adalah ongkos pesan maka total ongkos
(TC) dalam setahun adalah :
Total ongkos tersebut terdiri dari ongkos pesan yang besarnya Cb kali frekuensi
pemesanan dan H b kali rata-rata persediaan tepung terigu. Nilai h harus diubah ke dalam
rupiah per ton per tahun. Dengan menurunkan persamaan (1) terhadap Q maka diperoleh
rumusan Q yang optimal sebagai berikut :
Q = ( 2 ) C b D /h
Sehingga untuk kasus di atas nilai Q yang optimal adalah :


juta
Q= (2 x Rp. 0,25 juta x 365 tahun ) Rp. 1.25 juta
ton
=12ton
tahun

Jadi perusahaan seharusnya memesan tepung terigu tiap 12 hari dengan ukuran 12 ton tiap
kali pemesanan. Berapakah rata-rata persediaan tepung terigu yang disimpan oleh
perusahaan? Dengan asumsi bahwa pemakaian tepung berlangsung dengan kecepatan sama
dari waktu ke waktu maka rata-rata persediaan adalah 6 ton.
Koordinasi dengan Supplier
Model EOQ di atas dibuat hanya dengan mempertimbangkan ongkos-ongkos yang
ditanggung oleh perusahaan pembeli (yang memesan). Ongtkos-ongkos yang dilkeluarkan
supplier tidak diperhitungkan. Pada bagian ini kita akan melihat bagaimana kalau model
EOQ diperluas dengan mempertimbangkan ongkos-ongkos yang dikeluarkan oleh pembeli
maupun pemasok. Misalkan setiap kali pembeli memesan, pemasok akan mengeluarkan
sejumlah biaya tetap untuk administrasi pemenuhan pesanan. Ongkos ini bisa sangat besar
apabila setiap pesanan dipenuhi dengan produksi yang membutuhkan biaya set up yang besar.
Misalkan ongkos pembeli adalah C s . Ongkos simpan per unit per tahun yang dikeluarkan
oleh supplier adalah h s . Maka total ongkos yang ditanggung supplier dalam setahun
adalah :
TC(s) = (D/Q) C s +(Q/2) h s
Kalua parameter ongkos-ongkos kedua belah pihak tidak sama maka ukuran yang optimal
bagi pemasok. Untuk mendapatkan ukuran yang optimal bagi kedua belah pihak maka nilai Q
yang ekonomis harus diturunkan dari total ongkos system, yakni total ongkos yang
ditanggung oleh pembeli dan pemasok. Dengan cara yang sama, nilai Q yang optimal bisa
didapatkan sebagai berikut :
b
b
hs +h


Q( b s s) =
s +C I
c
2 D

Contoh Permasalahan
Misalkan untuk setiap kali pesanan dari pembeli, supplier tepung terigu harus menaggung
biaya-biaya tetap sebesar Rp. 1 juta. Bisaanya ongkos simpan untuk produk yang sama di
pemasok sedikit lebih rendah. Asumsikan ongkos simpan per ton per tahun di pemasok
sebesar Rp. 1.1 juta. Buat perbandingan antara dua situasi (tanpa koordinasi dengan supplier
Dan dengan koordinasi). Bandingkan:
a. Ukuran pesanan yang ekonomis
b. Biaya yang ditanggung pembeli dalam setahun
c. Biaya yang ditanggung pemasok dalam setahun
d. Biaya total sistem (pembeli dan pemasok) dalam setahun
Jawaban
Dengan menggunakan rumus-rumus di atas bisa diperoleh perbandingan seperti pada Tabel
6.1 berikut.
Tabel 6. 1 Perbandingan antara sebelum dan sesudah koordinasi dengan supplier

Tanpa koordinasi Dengan koordinasi


Ukuran pesanan ekonomis 12 ton 20 ton
Total ongkos pembeli 15.10 juta 17.06 juta
Total ongkos pemasok 37.02 juta 29.25 juta
Total ongkos sistem 52.12 juta 46.31 juta

Apakah artinya angka-angka di atas? Ilustrasi tersebut secara matematis menunjukkan


manfaat koordinasi pada supply chain. Dengan koordinasi sistem secara total akan
memperoleh penghematan biaya-biaya persediaan. Namun perlu dicermati bahwa dengan
melakukan koordinasi ongkos yang ditanggung pembeli meningkat. Ini berarti bahwa
perubahan pada kebijakan pemesanan tidak selalu menguntungkan kedua belah pihak.
Pembeli tentulah tidak akan mudah mengubah kebijakannya karena jelas dia akan rugi. Tetapi
kalau mekanime koordinasi ini diikuti dengan pembagian keuntungan yang adil, kedua belah
pihak akan mendapat keuntungan karena secara total biaya uang ditanggung kedua belah
pihak menurun.
Pembagian keuntungan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah
dengan memberikan bonus atau diskon terhadap pembeli. Apabila kedua belah pihak
memiliki posisi tawar yang seimbang maka penghematan total dibagi sama rata. Dari contoh
di atas penghematan total per tahun adalah Rp.5.81 juta. Kedua belah pihak akan mendapat
bagian sebesar Rp. 2.90 juta. Nilainya memang tidak terlalu besar untuk contoh di atas.
Tetapi kalau nilai pembelian setahun mencapai 100 milyar rupiah tentu penghematan yang
diperoleh akan jauh lebih besar.
Model model di atas dibuat berdasarkan asumsi situasi yang deterministik. Artinya,
permintaan maupun pasokan dianggap pasti. Lead time juga belum dipertimbangkan pada
model model tersebut. Apabila kita beroperasi pada situasi dengan ketidakpastian maka
dibutuhkan persediaan pengaman untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekurangan
terhadap barang yang bersangkutan. Selanjutnya, adalah lead time membuat kita harus
menentukan waktu pemesanan. Kalau lead time suatu pengiriman konstan selama 7 hari
(tidak mengandung ketidakpastian), maka kita memesan 7 hari sebelum barang habis
digunakan sehingga pesanan yang baru akan datang pas pada saat barang yang ada habis
terjual atau terpakai. Namun dalam kenyataannya, baik permintaan maupun lead time sama-
sama tidak pasti. Oleh karena itu, waktu pemesanan kembali suatu barang harus
mempertimbangkan ketidakpastian pada dua aspek tersebut.
Waktu pemesanan kembali sering diwujudkan dalam bentuk nilai reorder point.
Misalkan untuk contoh tepung terigu di atas. Perusahaan menggunakan tepung sebanyak 1
ton per hari. Misalkan lead time antara pemesanan sampai pengiriman tepung terigu adalah 5
hari maka perusahaan harus melakukan pemesanan kembali pada saat tepung terigu tersisa 5
ton. Dengan demikian pesanan tersebut akan datang tepat pada saat tepung terigu habis. Jadi,
reorder point adalah banyaknya barang tersisa dimana kita harus melakukan pemesanan
kembali.
Bagaimana jika lead time selama 5 hari itu hanya nilai rata-rata dan dalam
kenyataannya bisa berdistribusi antara 3 sampai 7 hari? Bagaimana juga bila permintaan per
hari memiliki variasi dengan standar deviasi 0.2 ton? Kalau ini yang terjadi maka reoder
point bisaanya lebih besar untuk mengurangi probabilitas terjadinya kekurangan tepung
terigu sebelum pesanan berikutnya datang. Jadi, pada situasi dimana ada ketidakpastian pada
sisi pasokan maupun permintaan, reorder point bisa dihitung dengan rumus berikut:

ROP = permintaan selama lead time + safety stock

Misalkan permintaan rata-rata perhari adalah d, rata-rata lead time adalah l hari maka
ROP = d x l + safety stock

Menentukan safety stock


Persediaan pegaman atau safety stock berfungsi untuk melindungi kesalahan dalam
memprediksi permintaan selama lead time. Bagian pertama dari ROP di atas hanya
mengambil nilai rata-rata permintaan selama lead time, d x l. Nilai sesungguhnya bisa lebih
kecil atau lebih besar dari d x l tersebut. Persediaan pengaman akan berfungsi apabila
permintaan yang sesungguhnya lebih besar dari nilai rata rata tersebut. Untuk mendapatkan
gambaran seberapa tidak pasti permintaan selama lead time tersebut, perusahaan perlu
menggumpulkan data untuk mendapatkan distribusinya. Misalkan data permintaan selama
lead time berdistribusi normal, maka perhitungan nilai safety stock bisa dilakukan dengan
cukup mudah. Yang perlu diketahui hanyalah standar deviasi permintaan selama lead time
(sdl) dan suatu nilai dari tabel distribusi normal standar yang berkolerasi dengan probabilitas
tertentu (Z). Nilai Z bisaanya diterjemahkan dari keputusan manajemen. Kalau manajemen
memberikan toleransi terjadinya kekurangan 5 kali untuk setiap 100 siklus pemesanan maka
berarti service total yang diinginkan adalah 95%. Nilai Z yang berkorelasi dengan service
level 95% adalah 1.645. Besarnya safety stock (SS) secara umum dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Besarnya nilai safety stock tergantung pada ketidakpastian pasokan maupun
permintaan. Pada situasi normal, ketidakpastian pasokan bisa diwakili dengan standar deviasi
lead time dari supplier, yaitu waktu antara perusahaan memesan sampai material atau barang
diterima. Sedangkan ketidakpastian permintaan bisaanya diwakili dengan standar deviasi
besarnya permintaan per periode. Kalau permintaan per periode maupun lead time sama sama
konstan maka tidak diperlukan safety stock karena permintaan selama lead time memiliki

standar deviasi nol.


Nilai sdl bisa dicari dengan mengumpulkan langsung data permintaan selama lead
time untuk suatu periode yang cukup panjang, atau diperoleh dengan terlebih dahulu
mendapatkan data rata-rata dan standar deviasi dan dua komponen penyusunnya, yaitu
permintaan per periode dan lead time. Dengan mendapatkan empat parameter tersebut maka
nilai sdl bisa dihitung sebagai berikut:
Dimana Sl dan Sd adalah standar deviasi lead time dan standar deviasi permintaan per

periode.

Dengan menggunakan patokan rumus tersebut maka kita bisa melihat empat kondisi seperti
yang ditunjukkan oleh Gambar 6.2

Contoh
Misalkan untuk kasus tepung terigu di atas lead time pengiriman berdistribusi normal dengan
rata-rata 5 hari dan standar deviasi 0.5 hari dan permintaan per hari rata-rata 1 ton dengan
standar deviasi 0.1 ton. Manajemen menetapkan service level 95%. Hitung safety stock yang

dibutuhkan dan berapa nilai ROP nya?

Jadi perusahaan harus memesan sebanyak nilai Q optimal setiap persediaan tepung terigu
tersisa 5,9 ton. Dalam prakteknya nilai ini lebih mudah kalau dibulatkan menjadi 6 ton.

Distribusi kesalahan ramalan


Pada berbagai software manajemen persediaan, besarnya permintaan diramalkan dengan
model-model statistik seperti exponential smoothing, moving average, dan sebagainya.
Akurasi ramalan yang dibuat dengan metode-metode tersebut sangat mempengaruhi besar
kecilnya safety stock yang harus disediakan. Semakin tinggi akurasinya, semakin rendah
kebutuhan persediaan pengaman. Apabila akurasi ramalan diukur dengan MAD (Mean
Absolute Deviation), maka nilai safety stock bisa dihitung dengan mudah. Dengan
menggunakan asumsi bahwa kesalahan ramalan berdistribusi normal, maka standar deviasi
kesalahan ramalan (se) nilainya sekitar 1.25 dari nilai MAD-nya. Jadi, safety stock bisa
dihitung sebagai berikut:

SS = Z se = Z(1.25 MAD)

Suplemen
Memahami Standar Deviasi Lead Time dan Permintaan
Lead time bisa didefinisikan sebagai waktu antara pelanggan memesan suatu produk
sampai produk tersebut diterimanya. Total waktu tersebut merupakan penjumlahan dari waktu
dari masing-masing aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi pesanan tersebut. Ini bisa
berupa waktu pemesanan oleh pelanggan, waktu pemrosesan pesanan, dan waktu pengiriman
produk yang dipesan ke pelanggan. Masing-masing aktivitas tersebut membutuhkan waktu
yang bervariasi. Waktu pemrosesan pesanan misalkan, tergantung pada ada tidaknya
persediaan dan besar kecilnya ukuran pesanan. Waktu pengiriman tergantung pada berbagai
faktor termasuk kondisi lalu lintas, cuaca, dan faktor teknis lainnya.
Ketidakpastian lead time tergantung pada ketidakpastian masing-masing komponen
tersebut. Semakin tidak pasti komponen-komponen penyusunnya, semakin besar pula
ketidakpastian lead time secara total. Misalkan kita memecah tiga komponen lead time
menjadi:
a. Waktu pemesanan
b. Waktu pemrosesan pesanan
c. Waktu pengiriman
Untuk memahami bagaimana ketidakpastian masing-masing komponen penyusunnya
tersebut berkontribusi terhadap ketidakpastian lead time secara total, mari kita ambil contoh
berikut. Setelah melakukan pengumpulan data yang cukup banyak, perusahaan memperoleh

distribusi empiris dari tiga penyusun lead time tersebut sebagai berikut:

Secara matematis, apabila mean dan standar deviasi masing-masing elemen waktu
diketahui maka mean dan standar deviasi lead time secara keseluruhan bisa dihitung dengan
menggunakan prinsip:
Rata-rata lead time = jumlah rata-rata semua elemen
Total variance = jumlah dari variance masing-masing elemen
Standar deviasi = akar dari variance
Misalkan elemen a, b, dan c memiliki mean ma, mb, dan mc. Standar deviasi masing-masing
adalah sa, sb, dan sc. Mean dari lead time adalah ma + mb + mc. Sedangkan standar deviasi
dari lead time adalah:

Hubungan-hubungan diatas juga berlaku untuk permintaan. Sebuah pabrik mungkin


memasok puluhan pusat distribusi. Tiap pusat distribusi memiliki permintaan yang bervariasi
dengan distribusi tertentu. Dengan mengetahui distribusi permintaan dari masing-masing
pusat distribusi maka distribusi permintaan agregat bisa diperoleh. Variabilitas dari lead time
maupun permintaan agregat akan lebih kecil dari variabilitas masing-masing komponennya,
relatif terhadap nilai mean mereka masing-masing. Ini bisa diukur dengan koefisien variansi
masing-masing (koefisien variansi adalah standar deviasi bagi mean). Apakah implikasi
konsep di atas terhadap manajemen persediaan?

F. Model Persediaan untuk Produk dengan Permintaan Musiman


Pada model EOQ di atas kita berupaya mencari keseimbangan antara ongkos simpan
dengan ongkos pesan. Konsep ini tepat untuk item-item yang permintaannya relatif stabil.
Untuk item-item yang permintaannya bersifat musiman, ongkos simpan dan ongkos pesan
bukanlah isu utama yang harus diperhatikan. Untuk item-item ini, isu yang mendasar adalah
mencari keseimbangan antara ongkos kelebihan dan ongkos kekurangan produk selama suatu
musim penjualan. Produk-produk yang permintaannya bersifat musiman akan beresiko tinggi
bila tidak habis pada musim jualnya. Risiko ini bisa berupa tidak terjual sama sekali karena
melewati masa kadaluarsa (seperti makanan, minuman, sayur segar, daging, surat kabar, dan
majalah) atau harus didiskon sampai dibawah harga pabrik pada akhir musim jualnya (seperti
garmen dan kamera digital).
Keputusan persediaan yang harus diambil pada jenis barang seperti ini adalah
banyaknya barang yang harus dipesan untuk memenuhi permintaan suatu musim jual. Musim
jual untuk tiap komoditi atau barang tentu berbeda-beda. Ambil contoh sebuah ritel pakaian
di inggris. Perusahaan ini sedang merencanakan untuk memesan suatu jenis celana jin warna
coklat ukuran tertentu dari subkontraktornya di indonesia. Satu celana dijual dengan harga
normal 35. Namun kalau celana ini tersisa di akhir musim jualnya, harganya harus didiskon
menjadi 10. Pabrik di indonesia memberikan harga 17.5 per unit termasuk ongkos
kirimnya ke inggris. Permintaan celana ini tentunya belum diketahui dan perusahaan harus
meramalkannya. Sebagaimana didiskusikan pada bab-bab sebelumnya, kesalahan ramalan
untuk produk-produk seperti ini bisa cukup besar.
Dari ilustrasi di atas bisa dihitung bahwa untuk satu unit celana yang terjual dengan
harga normal, perusahaan akan mendapat untung 17.5. Ini juga berarti bahwa ongkos
kesempatan akibat tidak memenuhi satu unit permintaan pelanggan (karena kehabisan stok)
adalah 17.5. Sebaliknya kalau ada stok yang harus dijual dengan harga diskon, perusahaan
harus menanggung kerugian sebesar 7.5, yakni harga beli dari pabrik dikurangi harga jual
diskon. Untuk jelasnya mari kita notasikan (lihat gambar 6.4):

o
C = ongkos kelebihan satu unit
u
C = ongkos kekurangan satu unit
c = harga beli dari pabrik (supplier)
p = harga jual normal
s = harga jual diskon

o
Dari sini bisa dilihat bahwa C = c s dan Cn = p c dan perusahaan punya
tujuan untuk memaksimumkan keuntungan. Keuntungan perusahaan besarnya (p-c) Q kalau
Q < D dimana Q adalah ukuran pesanan dan D adalah permintaan selama musim jual. Kalau
Q > D maka besarnya keuntungan adalah (p-s) D + (s-c) Q. Secara umum keuntungan
perushaan bisa dirumuskan sebagai berikut:
u o
P(b) = C Min (Q,D) max (0,[Q-D] C )
Mari kita coba analisis kasus celana jin di atas. Kita memiliki co dan cu masing-masing 7.5
dan 17.5. Misalkan perusahaan memesan sebanyak 1000 unit dan permintaan sesungguhnya
900 unit. Keuntungan perusahaan adalah 900 x 17.5 100 x 7.5 = 15000. Bagaimanakah
caranya menentukan banyaknya celana yang harus dipesan agar ekspektasi keuntungan
maksimum? Apabila permintaan selama musim jual diketahui berdistribusi normal dengan
rata-rata d dan standar deviasi sd maka besarnya permintaan yang optimal adalah:
Q = d + Z(SL*) x sd
Dimana SL* adalah service level yang optimal. Jadi Z (SL*) adalah nilai invers distribusi
normal standar yang berkorelasi dengan probabilitas SL*. Besarnya SL* inilah yang pertama
harus ditentukan agar Q yang optimal bisa dihitung. Nilai SL* merupakan trade off antara
ongkos kelebihan (Co) dan ongkos kekurangan (Cu). Apabila Co sama dengan Cu maka
keputusan yang terbaik adalah memesan pada nilai rata-rata (d) yang berarti berkorespodensi
denganj service level 50%. Apabila Cu lebih besar dari Co maka ekspektasi keuntungan akan
lebih besar kalau perusahaan memesan lebih dari nilai rata-rata. Ini berarti bahwa SL* akan
semakin besar kalau Cu/Co semakin besar nilainya. Dengan manipulasi matematis, nilai SL*
bisa dihitung sebagai berikut:
SL* = cu / (cu + co)
Dengan demikian maka untuk contoh celana jin di atas, SL* adalah 17.5 / (7.5 +17.5) atau
sebesar 70%. Nilai Z(0.7) adalah 0.524. kalau permintaan berdistribusi normal dengan rata-
rata 1000 dan standar deviasi 300 maka ukuran pesanan yang optimal adalah:
Q = 1000 + 0.524 x 300 = 1157 unit
Berapakah ekspektasi keuntungan perusahaan kalau dia memesan pada ukuran Q optimal di
atas? Dengan asumsi bahwa permintaan berdistribusi normal seperti di atas maka ekspektasi
kauntungan bisa dicari nilainya dengan menggunakan simulasi. normal seperti di atas maka
ekspetasi keuntungan bisa dicari nilainya dengan menggunakan simulasi. Caranya adalah
seperti langkah langkah yang ditunjukkan pada kotak (Gambar 6.5)

Simulasi Keuntungan Pembeli


Generate demand (D) yang berdistribusi normal dengan mean 1000 dan standar
deviasi 300. Pada Excel ini bisa dilakukan dengan perintah:
D = max(0, Round(NORMINV(Rand(), 1000, 300,0)).
Profit untuk perusahaan (BP) adalah 1157 * 17.5 kalau permintaan lebih besar
dari 1157dan D* 17.5 (Q-D)*7.5 kalau permintaan kurang dari 1157. Pada
EXCEL formulasinya adalah:
BP = Min (1157,D)*17.5 Max (0,(1157-D))*7.5
Gambar 6.5 Langkah-langkah simulasi keuntungan pembeli

Tabel 6.2 menunjukkan hasil simulasi yang dilakukan di EXCEL dengan replikasi
5000 kali. Simulasi juga dilakukan untuk ukuran Q yang lain (dibawah daan diatas ukuran
optimal) yaitu 1000, 1100, 1200, 1300. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai ekspetasi
keuntungan memang maksimum pada ukuran Q optimal. Semakin jauh ukuran pesanan dari
Q optimal, semakin kecil ekspetai keuntungannya, seperti yang diilustrasikan oleh grafik
pada gambar 6.6. Menarik juga untuk dilihat bahwa variabilitas ekspetasi keuntungan
meningkat dengan semakin besarnya ukuran pesanan. Ini bisa dilihat dari membesarnya nilai
standar deviasi maupun selisih antara nilai maksimum dan nilai minimum keuntungan.

Tabel 6.2 Ekspetasi keuntungan untuk ukuran pesanan yang berbeda


Parameter Demand Keuntungan
Q=1000 Q=1100 Q=1157 Q=1200 Q=1300
Rata-rata 999,6 14438,1 14794,9 14858,5 14845,9 14616,4

Standar deviasi 305,5 4522,8 5352,6 5784,6 6085,4 6660,1

Koefisien 0,306 0,313 0,362 0,389 0,410 0,456

variasi 0 -7500 -8250 -8678 -9000 -9750

Minimum 2249 17500 19250 20248 21000 22750

Maksimum
Gambar 6.6 Grafik ekspetasi keuntungan ritel untuk ukuran Q yang berbeda

Koordinasi dengan pemasok

Model untuk menentukan ukuran pesanan yang didiskusikan diatas dibuat hanya berdasarkan
informasi yang dimilki oleh ritel. Pabrik tidak dilibatkan dalam menentukan ukuran pesanan,
melainkan hanya pasif merespon pesanan dari ritel. Bagaimana kalau informasi ongkos-
ongkos yang dikeluarkan oleh pabrik juga digunakan sebagai dasar dalam penentuan berapa
yang akan dipasok ke pasar?

Pada model diatas, ongkos kekurangan maupun kelebihan persediaan hanya dilihat dari sudut
pandang ritel. Seandainya kedua bela pihak membagi informasi secara transparan tentang
struktur ongkos mereka maka ongkos kekurangan dan ongkos kelebihan persediaan bisa
ditentukan dari sudut pandang sistem. Misalkan pabrik mengeluarkan ongkos sebesar v untuk
memproduksi dan memasok satu unit celana seperti diperlihatkan pada gambar 6.7. Dari
sudut supply chain (pabrik dan ritel). Kelebihan satu unit celana akan mengakibatkan
kerugian sebesar v s. Sedangkan untuk setiap satu unit yang terjual dengan harga normal,
supply chain akan mendapatkan keuntungan sebesar p v. Dengan demikian maka C =
v s dan C = p v. Dengan informasi yang baru ini mereke bisa menentukan service level
u
u
yang optimal dengan menggunakan formasi SL* di atas, yaitu Cu /(C +
C). Penentuan ukuran pesanan yang optimal bagi kedua bela pihak juga mengkuti prosedur
yang sama seperti di atas.
Sebagai ilustrasi mari kita kembali ke contoh celana jin diatas. Misalkan pabrik
mengeluarkan biaya-biaya sebesar 15 per unit celana yang diproduksi dan dikirim ke ritel di
inggris. Maka dari sudut supply chain kita memiliki C sebesar 5. Dengan rumus diatasn
nilai SI 20/25 = 80% dan besarnya ukuran pesanan yang optimal adalah :

Q= 1000 + Z(0.8)x300= 1253unit.

Perubahan pesanan dari 1157 unit menjadi 1253 unit tentu berimplikasi pada ekspetasi
keuntungan masing-masing pihak maupun jumlah kedeuanya. Keuntungan pabrik jelas
bertambah karena mereka berproduksi berdsarkan pesanan dan pesanan (dengan marjin
keuntungan tetapm per unit) meningkat sebanyak 96 unit. Karena satu unit celana
mendatangkan keuntungan sebesar 2.5 bagi pabrik maka pertambahan pesanan tersebut
mendatangkan tambahan keuntungan baginya sebesar 240. Bagaimana halnya dengan ritel?
Ritel akan mengalami penurunan ekspetasi keuntungan karena ukuran pesanannya bergeser
(lebih besar dari optimal bagi dia). Untuk mengevaluasi dampaknya bagi ritel perlu dilakukan
simulasi dengan cara yang sama seperti di atas, tetapi dengan menggunakan Q sebesar 1253
unit. Tabel 6.3 menunjukkan perbandingan antara sebelum dan sesudah koordinasi. Tampak
dari hasil tersebut bahwa ukuran pesanan membesar dengan diperhatikannya struktur ongkos
pabrik. Ini disebabkan karena kalau dilihat dari sistem secara keseluruhan, nilai C
membesar, sedangkan nilai C mengecil. Ekspetasi keuntungan ritel menurun 101, namun
keuntungan pabrik meningkat sebesar 240 yang berarti bahwa secara keseluruhan mereka
untung 139.

Tabel 6.3 Perbedaan antara sebelum dan setelah koordinasi


Tanpa koordinasi Dengan Perubahan
koordinasi
SI 70% 80% 10%

Q 1157 1253 96

Keuntungan ritel (ekspetasi) 14858 14758 -101

Keuntungan pabrik 2893 3133 240

Keuntungan total 17751 17890 139

Apa yang harus dilakukan pabrik agar ritel mau membeli sebanyak 1253 unit?
tentunya harus ada pembagian keuntungan yang adil diantara kedua bela pihak. Pabrik
mungkin bisa menurunkan harga jual per unit atau bersedia berbagi keuntungan maupun
kerugian secara bersama. Ini adalah konsep yang sangat mendasar dalam supply chain
management. Berbagai mekanisme pembagian keuntungan bisa diterapkan untuk antara
pabrik dan ritel.
Ilustrasi di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa semakin luas kita melihat
sistem, semakin optimal keputusan bisa dibuat. Supply chain menagement menganjurkan
pihak-pihak pada suatu supply chain untuk membagi informasi dan mengambil keputusan
secara kolaboratif. Contoh sederhana di atas membuktikan bahwa secara matematis dua hal
tersebut menguntungkan bagi sistem secara keseluruhan. Namun tentu saja dalam prakteknya
banyak hal-hal yang bisa membatasi terjadinya praktik kolaborasi pada supply chain.

G. Mengurangi Kesalahan Persediaan dengan Mendeteksi Respon Awal


Risiko atas kelebihan dan kekurangan persediaan pada produk-produk inovatif bisa dikurangi
engan meningkatkan akurasi ramalan permintaan. Akurasi ramalan bisa meningkat apabila
perusahaan tau supply chain bisa memanfaatkan informasi reaksi pasar diawal musim jual
untuk merevisi ramalan. Namun hal ini hanya bisa dilakukan secara efektif apabila leadtime
antara perancangan sampai distribusi produk ke pasar cukup pendek yang memungkinkan
supply chain untuk merespon pasar dengan menambah atau mengurangi jumlah produksi
suatu item tertentu setelah melihat reaksi awal dari pasar.
Beberapa perusahaan yang bergerak di sektor industri garmen seperti Sport Obemeyer
dan Zara melakukan pemendekan lead time sehingga mereka bisa menggunakan informasi
tentang awal dari pasar untuk merevisi rencana produksi dan pengiriman mereka. Dengan
informasi tersebut, akurasi ramalan dapat ditingkatkan secara dramatis. Gambar 6.8
mengilustrasikan peningkatan akurasi ramalan setelah respon awal dari pasar digunakan
dalam peramalan permintaan suatu produk. Gambar (a) menunjukkan akurasi ramalan yang
sangat rendah dimana permintaan aktuaal (vertikal) sering kali jauh lebih besar atau lebih
kecil dari ramalan (horizontal).Gambar (b) menunjukkan akurasi yang jauh lebih tinggi
sebagai akibat dari digunakannya reaksi awal pasar dalam merevisi rencana produksi dan
pengiriman.

H. Pendekatan Kapasitas Reaktif

Pada industri yang produknya hanya terjual pada ssuatu musim jual yang relatif pendek,
melakukan pemesanan sekali di awal musim mengakibatkan resiko yang tinggi. Pada industri
garmen misalnya, lead time dan musim jual yang relatif pendek memaksa ritel melakukan
pemesanan sekali, yang pada akhirnya bisa nmengakibatkan kelebihan produk yang banyak
(sehingga perlu program diskon) atau kekurangan produk (sehingga banyak permintaan yang
tidak terlayani). Namun, ada kalanya ritel bisa melkukan ebih dari sekali pemesanan untuk
memenuhi kebutuhan satu musim jual. Gambar 6.9 mengilustrasikan sebuah ritel yang
melakukan pemesanan sebanyak dua kali untuk memenuhi satu musim jual yang berlangsung
mulai Februari sampai Juli.
Pada gambar tersebut tampak bahwa ramalan dan order pertama dibuat pada awal
bulan Oktober. Order ini baru datang pada akhir Januari (jadi lead time pemesanan adalah 4
bulan). Setelah melakukan pengamalan terhadap penjualan pada dua bulan pertaman, ritel
menentukan berapa yang akan dipesan sebagai tambahan dari pemesanan pertama. Pesanan
kedua ini akan dipenuhi dalam waktu 1 bulan oleh suppkier. Tentu pemendekan lead time ini
berimplikasi pada biaya yang tinggi karena mungkin supplier harus menggunakan jam
lembur dan transportasi menggunakan mode yang lebih cepat dan mahal. Namun, apabila
biaya tambahan pemesanan kedua cukup besar, ritel harus melakukan kakulasi, apakah lebih
untung membeli (yang berakibat pada penambahan penjualan) atau tidak membeli (yang
berakibat pada lost sales).
Untuk memebrikan gambaran bagaimana perubahan kebijakan ritel ada peluang untuk
melakukan pemesanan kedua, perhatikan kembali ilustrasi pada sub-bab 6.6. Misalkan kita
punya informasi tambahan, bahwa pemesanan kedua dimungkinkan, tapi dengan kenaikan
harga 20% dari harga pemesanan pertama. Dengan asumsi bahwa informasi yang diperoleh
dari data penjualan awal akan bisa digunakan sebagai dasar yang akurat dalam meramalkan
permintaan, keputusan pembelian pertama akan lebih penting dari pembelian kedua. Apabila
pembelian pertaman terlalu banyak, tentu akan bisa berakibat kelebihan persediaan di akhir
musim jual, walaupun order kedua besarnya nol sekalipun. Namun bila order pertama
ukurannya kecil, dan permintaan cukup besar, maka jumlah pesanan kedua akan besar, yang
artinya ritel harus membayar cukup mahal karena adanya kenaikan harga 20%. Dengan dasar
ini kita bisa menentukan nilai-nilai Co dan Cu. Nilai Co tidak berubah karena kelebihan 1
unit akibat membei terlalu banyak pada order pertama tetap akan membuat biaya 7,5 per
unit. Namun, kalau perusahaan membeli terlalu sedikit, akan terjadi pengurangan keuntungan
sebesar 3.5 (yakni 20% dari harga 17.5 yang merupakan tambahann biaya). jadi, nilai Cu
disini adalah 3.5. Nilai-nilai Co dan Cu ini kita bisa gunakan untuk nmenentukan besarnya
ukuran order pertama. Dengan prosedur di atas, kita daatkan service level optimall adalah
31,8%. Dengan demikian maka ukuran ordernya adalah 1000+(-0.473) x 300 = 859 unit.
Berapakah ekspetasi ukuran order kedua? kiat bisa menghitungnya dengan mencari
ekspetasi besarnya lost sale dengan ukuran pemesanan pertama, yakni ekspetasi nilai D Q1
bila D > Q1 dimana D adalah variabel random yang berdistribusi normal dengan rata-rata
1000 dan standar deviasi 300, sedangkan Q1 adalah ukuran order pertama. Ekspetasi lost
sales bisa dirumuskan dengan :
Ekspetasi lost sales = x I,(z)
Dimana:
adalah standar deviasi permintaan
I,(z) adalah loss function pada distribusi normal standar. Nialinya, bisa dicari di Excel
dengan Normdist (z,0,1,0) z * (1 Normsdist(z0)

Untuk contoh diatas, ekspetasi besarnya order kedua adalah 300 x 0.679 204 unit. Tentu kita
bisa mengevaluasi akibat kebijakan ini pada ekspetasi keuntungan ritel dan
membandingkannya dengan kebijakan satu order.
Contoh Kasus

Zara
Berawal dari sebuah pabrik piyama dan pakaiwan wanita di La Coruna, Spanyol, Zara adalah
satun perusahaan pakaian yang paling sukses di dunia dalam menerapkan konsep quick
response. Perusahaan ini tercatat sebagai satu-satunya jaringan penjual pakaian kelas ndunia
yang mampu mengrimkan pakaian jadi ke toko-toko di seluruh dunia, yang pada Mei 2010
berjumlah 1395 tersebar di 74 negara, dalam waktu dua minggu setelah proses desain.
Kiriman pakaian datang ke setiap toko dua kali seminggu. Kebanyakan item hanya berada
disebuah toko kurang dari dua minggu. Kondisi ini memungkinkan Zara kelihatan ramping
(lean), sangat kontras dengan toko-toko pakaian lain seperti Next, Mark & Spencer, dan H &
M (inggris), Gap ( Amerika Serikat), Benetton (Italia), atau Mtahari di Indonesia. kalau toko-
toko lain bisaanya penuh dengan kelebihan stok di akhir musim jual, sehingga harus didiskon
harganya secara besar-besaran, Zara termasuk yang tidak banyak mendiskon harga jua karena
memang tidak banyak kelebihan stok di akhir musim jual. Lead time yang pendek
memungkinkan mereka memproduksi ukuran batch kecil serta menggunakan reaksi pasar di
awal musim jual untuk mengambil keputusan perancangan, produksi, dan pengiriman dengan
cepat, seperti yng diilustrasikan oleh gambar 6.10. Kunci penting dalam merajut keberhasila
ini adalah integrasi yang erat antara keseuruhan proses yang terdiri dari desain, pengadaan,
produksi, distribusi, dan retailing.
DiKantor pusatnya, Zara memliki sekitar 300 orang staf yang bekerja sebagai
desainer, spesialis pasar, dan spesialis pembeli (buyers). Setiap athunnya mereka
mengeluarkan sekitar 40 ribu rancangan produk baru dimana sekitar seperempatnya akhirnya
dipilih untuk diproduksi. Usia mereka rata-rata 26 tahun dan memiliki semangat kolegial dan
dinamika yang tinggi dengan kedudukan yang relatif sama tanpa hirarki yang kaku. Inspirasi
rancangan diperoleh dari berbagai kegiatan internasional seperti pameran, diskotik, majalah,
dan peragaan busana. Di sam[ing itu, mereka memperoleh umpan balik tentang selera pasar
dari setiap toko di seluruh dunia. Para perancang untuk pakaian anak-anak, pakaian wanita,
dan pakaian pria masing-masing menempati ruangan besar yang modern. Di antara mereka
tampak beberapa meja bundar yang besar dengan kursi yang nyaman serta rak-rak yang berisi
koleksi majalah fashion dn katalog. Iklim informalitas dan keterbukaan sangat menonjol
diantara mereka
Desainer bertugas untuk membuat rancangan awal. Rancangan tersebut kemudin
didiskusikan dengan spesialis pasar dan bagian pengadaan (yang juga berfungsi sebagai
perencana produksi). Dilengkapi dengan peralatan CAD (computer aided design), mereka
kemudin merevisi rancangan sesuai dengan hasil kesepakatan. Setelah rancangan selesai,
proses selanjutnya adalah pembuatan sampel. Masing-masing spesialis pasar bertugas untuk
menangani toko-toko tertentu. Selama proses pengembangan produk baru, komuniasi intensif
terjadi antara desainer, spesialis pasar, buyers, dan manajer toko. Keputusan produk mana
yang akan diproduksi dan seberapa jumlah order dan masing-masing toko didasarkan atas
diskusi-diskusi antara mereka.
Sekitar setengah dari produksi dilakukan oleh jaringan pabrik mereka sendiri yang
berjumlah 22, dimana 18 diantaranya berlokasi di sekitar komplek La Coruna. Namun semua
proses penjahitan dilakukan oleh subkontraktor yang jumlahnya sekitar 500 dan semua
berlokasi di sekitar La Coruna. Setangahnya lagi dibeli dari sekitar 400 pemasok (produk
jadi) luar, 70% diantaranya berlokasi di eropa dan selebihnya mayoritas di Asia. Sebagian
besar pemasok Zara di Eropa berlokasi di Portugal dan Spanyol. Kedekatan lokasi ini
mempermudah mereka untuk menciptakan respon yang cepat dalam memenuhi kebutuhan
atau keinginan pasar. Pemasok dari Asia bisaanya diperlukan untuk memasok pesanan yang
relatif standar dengan volume besar. Untuk menciptakan fleksibelitas terhadap perubahan
rencana produksi, kain bisaanya dibeli dalam bentuk yang belum berwarna. Sekitar 40% dari
kain dipasok oleh pabrik yang masih satu grup kepemilikan dengan Zara, selebihnya
diperoleh dari sekitar 260 pemsok luar.
Zara memilik satu pusat industri di La Coruna yang menempati area 50 ribu meter
persegi dengan tenaga kerja 1200 orang. Beroperasi selama 4 hari dalam seminggu, pusat
distribusi ini menggunakan teknologi canggih untuk keperluan pergudangan dan penjadwalan
pengiriman. Di sini kegiatan pengepakan dan pelabelan dilakukan sebelum produk akhirnya
dikirim ke toko-toko seluruh dunia. Produk-produk hanya berada di sini sekitar 8 jam
sebelum dikirim. Data tahun 2001 menunjukkan ada sekitar 400 ribu potong pakaian yang
harus dikirim setiap harinya. Pengiriman dilakukan oleh armada truk pihak ketiga
berdasarkan jadwal yang tellah dib uat. Jadwal tersebut bisaanya diketahui dengan baik oleh
semua pihak, termasuk toko-toko yang memesan. Toko-toko di eropa bisaanya menerima
pesanan mereka dalam 24 jam, Amerika 48 jam, Jepang antara 48 jam sampai 72 jam setelah
dikirim dari pusat distribusi. Akurasi pengiriman mencapai sekitar 99%.
Tingkat persediaan rata-rata Zara relatif terhadap tingkat penjualan mereka secara
signifikan lebih rendah dari toko-toko sejenis lainnya. Saat ini bisnis Zara tumbuh peat. Di
samping 600 toko yang sudah dimilki, perusahaan membuka sekitar 2 toko baru tiap minggu.
Sembilan puluh persen dari toko-toko baru tersebut didirikan diluar spanyol.

I. Vendor Managed Inventory (VMI)


Secara tradisional, perusahaan pembeli selalu menentukan waktu dan ukuran pesanan
berdasarkan informasi yang mereka miliki, pemasok akan merespon permintaan tersebut
secara pasif, tanpa memberi tahu lebih lanjut kenapa perusahaan pembeli memesan sejumlah
tersebut. Praktek di atas mengakibatkan inefisiensi karena beberapa alasan. Pertama,
pemasok tidak mendapatkan cukup early signal dari pembeli akan jumlah dan waktu
pesanan. Akibatnya, pemasok meramalkan apa, kapan, dan berapa yang akan dipesan oleh
pembeli. Ini tentu mengakibatkan pemasok harus menyimpan persediaan lebih banyak untuk
mengantisipasi ketidakpastian pesanan dari pelanggan atau pembeli. Kedua, pemasok sering
harus mengubah jadwal produksi secara tiba-tiba karena apa yang diminta pelanggan tiba-tiba
berubah dari apa yang diperkirakan oleh pemasok atau karena pelanggan yang lebih penting
tiba-tiba melakukan pemesanan mendadak sehingga produksi untuk memenuhi pesanan dari
pelanggan kelas dunia terpaksa dijadwal ulang. Perubahan pada jadwal produksi
selanjutnya mengakibatkan perubahan pada kebutuhan bahan baku, komponen maupun jam
kerja. Perubahan yang terlalu sering pada jadwal produksi bisa mengakibatkan apa yang di
namakan schedule nervousness. Di samping inefisiensi, fenomena di atas juga
mengakibatkan servis level yang rendah karena banyak permintaan yang tidak akan bisa
dipenuhi tepat waktu.
Sebagai jawaban terhadap masalah tersebut, dewasa ini banyak perusahaan yang
mengubah praktek di atas dengan model yang dinamakan vendor managed inventory (VMI).
Pada model ini perusahaan pembeli tidak lagi memutuskan apa, kapan, dan berapa yang akan
dipesan, melainkan hanya memberikan informasi permintaan dari pelanggan mereka,
persediaan yang tersisa, serta informasi lain seperti rencana promosi atau kegiatan lain yang
bisa mempengaruhi penjualan di masa yang akan datang. Kalau perusahaan pembeli yang
dimaksud adalah perusahaan manufaktur, informasi permintaan yang dimaksud mungkin
berupa informasi kebutuhan mereka terhadap bahan baku atau komponen dalam beberapa
periode mendatang. Dengan mengetahui informasi tersebut, pemasok akan menentukan
sendiri waktu dan jumlah pengiriman ke perusahaan pembeli. Tentu pembeli juga harus
memberikan indikasi berupa minimum dan maksimum persediaan yang mereka harapkan.
Diperlukan koordinasi dan pertukaran informasi yang lancar antara kedua belah pihak
untuk menjamin model VMI ini berjalan dengan baik. Mereka yang sukses menerapkan
program VMI adalah yang memiliki infrastuktur komunikasi dan informasi yang bagus
sehingga pembeli bisa memberikan data penjualan maupun persediaan dari waktu ke waktu
secara real time. Pemasok juga harus punya kemampuan untuk mengambil keputusan
pengiriman dengan tepat. Kemampuan untuk menganalisis pola permintaan , lead time
pengiriman, dan meramalkan permintaan perlu dimiliki oleh pemasok. Mereka juga harus
sama-sama memahami berapa service level yang harus di capai.
Berbagai perusahaan seperti IBM, lucent Technologies, unilever telah menerapkan
program VMI untuk sebagian produk-produk mereka barilla spa, sebuah pabrik pasta di italia
menggunakan system VMI untuk pengiriman produk-produk ke distributor mereka yang
bernama Cortese (gambar 6.11) Cortese tidak lagi memutuskan ukuran dan waktu pesanan,
melainkan bertugas untuk memberikan informasi persediaan serta data penjualan (point of
sale atau POS). Barilla bisa merealisasikan berbagai keuntungan seperti pengurangan
stockout dari 6-7 persen menjadi hampir nol persen, persediaan berkurang sekitar 46%, dan
pengiriman ke Cortese menjadi jauh lebih konsisten. Beberapa kalangan lebih suka
menggunakan istilah Co-Managed Inventory (CMI) daripada VMI karena pada hakekatnya
diperlukan partisipasi aktif kedua belah pihak untuk mengambil keputusan persediaan yang
tepat.

Informasi POS dan data persediaan


secara real time

Barilla Spa Cortese

Membuat keputusan pengiriman ke cortese

Gambar 6.11 VMI di Barilla Spa

J. Beberapa Hambatan dalam Manajemen Persediaan


Banyak hal yang mengakibatkan system persediaan pada supply chain tidak efektif.
sebab-sebab tersebut sangat bervariasi, ada yang teknis dan ada yang terkait dengan perilaku
individu maupun organisasi. Lee dan billington dalam tulisannya di Sloan Management
Review tahun 1992 mengemukakan 14 jebakan yang bisa muncul dalam mengelola
persediaan pada supply chain. Pada bagian ini kita akan mendiskusikan beberapa diantaranya,
yaitu :
1. Tidak ada metrik kinerja yang jelas. Kinerja supply chain banyak terkait dengan
persediaan. Misalnya tingkat perputaran persediaan (inventory turnover rate), rata-rata
lama permintaan atau kebutuhan bisa dipenuhi oleh persediaan (inventory days of
supply), banyaknya persediaan yang kadaluwarsa, dan sebagainya. Walaupun ukuran-
ukuran tersebut relative jelas definisi dan cara mengukurnya di lapangan, memilih
ukuran mana yang pas dan berapa target yang harus dicapai bukanlah hal yang simple.
Supply chain memiliki strategi yang bebeda beda dan strategi tersebut harus
mencerminkan kemampuan sumber daya dan kebutuhan pasar. Supply chain yang
berada pada lingkungan industri yang relative stabil dengan siklus produk yang
panjang. Pengukuran kinerja persediaan selalu harus dihubungkan dengan
kemampuan supply chain untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Ukuran customer
service seperti stockout rate atau fill rate perlu didefinisikan dengan baik. Perusahaan
yang memasok banyak produk ke satu pelanggan harus melihat mana yang lebih
penting mengukur fill rate untuk setiap item secara individu atau fill rate untuk
semua item secara agregat. Pelanggan dan pemasok mungkin punya target fill rate
yang berbeda. Dalam supply chain, ukuran-ukuran kinerja harus mencerminkan
kepentingan kedua belah pihak dan sedapat mungkin didefinisikan bersama dengan
target yang sama pula.

2. Status pesanan tidak akurat. Ketika pelanggan memesan suatu produk ke pemasok,
mereka berharap bisa mendapatkan informasi kapan pesanan tersebut bisa dipenuhi.
Walaupun pada awalnya pelanggan sudah mendapatkan informasi yang mutakhir
tentang perkembangan pesanan mereka dari waktu ke waktu. Namun sangat sering
terjadi supplier tidak mampu memberikan informasi tentang status pengiriman yang
akurat. Akibatnya, perasaan ketidakpastian tinggi dan mendorong pelanggan untuk
menyimpan cadangan persediaan yang lebih banyak.

3. System informasi tidak handal. Perusahaan tidak akan bisa memberikan informasi
status pesanan kalau system informasi antar bagian di dalam perusahaan maupun
sistem yang bisa menghubungkan perusahaan dengan pelanggan tidak handal. Sering
kali tiap bagian di dalam perusahaan tidak memiliki informasi yang sama tentang
persediaan. Catatan di gudang berbeda dengan catatan yang dimiliki oleh bagian
perencanaan produksi. Bagian produksi juga memiliki catatan tersendiri. Bagian
pemasaran tidak bisa mengakses data persediaan sehingga mereka sering melakukan
kesepakatan dengan pelanggan dengan menggunakan data persediaan yang tidak
mutakhir. Banyak perusahaan yang sudah menggunakan system informasi yang
terintegrasi (seperti ERP) sehingga semua bagian bisa mengakses data persediaan
yang sama. Namun tetap saja masalah akurasi catatan bisa bermasalah karena ini
ditentukan oleh ketelitian dan kemauan mereka yang bertugas untuk memelihara data.

4. Kebijakan persediaan terlalu sederhana dan mengabaikan ketidakpastian. Di


literature kita banyak menjumpai model-model persediaan. Model-model tersebut
bisaanya sederhana dan menggunakan berbagai asumsi yang sering tidak berlaku di
lapangan. Dasar-dasar tersebut memang sangat penting sebagai landasan, namun
dalam kenyataannya staff dan manajer perlu pemahaman situasi lapangan dengan
banyak melakukan analisis data seperti lead time, permintaan, akurasi catatan
persediaan, persentase kerusakan (reject/defect rate), dan sebagainya . perusahaan
sering menyamaratakan kebijakan persediaan untuk semua item (SKU) yang
sebenarnya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ada item yang memiliki
ketidakpastian lead time tinggi namun kebutuhannya relatif stabil, ada yang
kebutuhannya sangat fluktuatif namun lead timenya relatif bisa di prediksi. Ada juga
yang ketidakpastiannya tinggi untuk kedua komponen tersebut. Kebijakan safety
stock, reorder point, dan kebijakan-kebijakan lainnya tentu harus berbeda antara item
yang satu dengan yang lain. Sering dijumpai di lapangan dimana manajer menetapkan
safety stock satu minggu atau dua minggu untuk semua item tanpa melihat
karakteristik individu mereka. Ini tentu merupakan sumber inefisiensi yang besar.

5. Biaya-biaya persediaan tidak ditaksir dengan benar. Ketika perusahaan mencari


solusi terhadap lead time pengiriman yang panjang dan tidak pasti, transportasi udara
bisaanya tidak masuk sebagai pertimbangan. Banyak orang yang sejak awal
mengambil keputusan, tanpa analisis, bahwa pengiriman lewat udara pasti tidak layak.
Tentu ini tidak selalu benar. Ada perusahaan yang setalah melakukan analisis
transportasi ternyata bisa merealisasikan penghematan luar bisaa karena pindah dari
transportasi laut ke transportasi udara. Untuk produk-produk yang relatif kecil
volumenya dan membutuhkan kecepatan respon yang tinggi, ongkos transportasi yang
jauh lebih mahal bisa dibayar dengan penghematan dari berkurangnya tumpukan
persediaan yang menghasbiskan biaya modal yang besar serta kesempatan jual yang
lebih banyak akibat pemendekan waktu untuk mencapai pasar. Orang sering
melupakan ongkos-ongkos kesempatan dalam menaksir biaya persediaan terutama
karena ongkos ongkos tersebut tidak tercatat dalam laporan akuntansi.

6. Keputusan supply chain tidak terintegrasi. Implikasi dari keputusan supply chain
terhadap persediaan sering tidak dipahami dengan baik. Sebelum dilakukan perubahan
pada proses perakitan dan distribusi , sebuah perusahaan printer di Amerika menerima
pesanan dari pusat-pusat penjualan mereka di seluruh dunia. Tiap Negara bisaanya
memiliki kebutuhan yang berbeda terutama karena perbedaan bahasa yang akan
digunakan pada buku petunjuk serta perbedaan system sumber daya listrik (power
supply). Awalnya pabrik di amerika mengirim produk yang sudah jadi ke masing-
masing pusat penjualan. Namun karena pesanan tersebut bisaanya dibuat berdasarkan
ramalan,pusat penjualan sering kali mengubah pesanan ketika printer yang mereka
pesan sudah hampir sampai di tempat mereka. Akibatnya banyak terjadi penumpukan
persediaan di satu lokasi dan kekurangan di tempat lain. Mereka kemudian melakukan
perubahan pada proses perakitan dan distribusi. Pabrik di amerika hanya membuat
produk dasar yang standar dan masing-masing pusat distribusi bertugas melakukan
finalisasi produk berupa pemberian buku petunjuk dan perangkat power supply.

1. Setiap supply chain memiliki persediaan di berbagai lokasi dalam berbagai bentuk.
Disebuah perusahaan manufaktur misalnya, persediaan bisa dalam bentuk bahan
baku, barang setengah jadi, produk jadi, suku cadang mesin, alat tulis kantor, dan
sebagainya.

2. Efek finalisasi dari persediaan terhadap supply chain bisaanya cukup besar. Di banyak
perusahaan, nilai persediaan mencapai 25% atau lebih dari nilai keseluruhan asset
yang dimiliki. Manajemen persediaan yang baik bisa menekan ongkos-ongkos
persediaan serta meningkatkan service level ke pelanggan.

3. Persediaan bisa muncul karena berbagai sebab antara lain : lokasi permintaan berbeda
dengan lokasi produksi ( sehingga ada lead time), kecepatan produksi berbeda dengan
kecepatan permintaan, ketidakpastian permintaan maupun pasokan, serta adanya
motif untuk mencapai skala ekonomi pada kegiatan produksi maupun pengiriman.

4. Kinerja persediaan bisa diukur dengan beberapa metrik seperti kecepatan perputaran
persediaan (inventory turnover rate), inventory days of supply, dan service level.

5. Dilihat dari fungsinya, persediaan bisa dibedakan menjadi cycle stock, safety stock,
pipeline inventory, dan anticipation inventory. Berdasarkan sifat ketergantungan
permintaan antar item, persediaan bisa diklasifikasikan menjadi item yang
permintaanya tergantung(dependent demand item) dan yang permintaanya tidak
tergantung.

6. Model-model persediaan diperlukan untuk membantu membuat keputusan pada


pengelolaan persediaan jenis keputusan dan model-model yang digunakan bisa
berbeda berdasarkan tipe item yang dikelola. Oleh karena itu pemahaman terhadap
sifat-sifat tiap item diperlukan untuk menentukan model mana yang bisa digunakan.

7. Untuk tipe item yang kebutuhan maupun pasokannya relatif stabil, model EOQ bisa
digunakan untuk membantu menentukan ukuran pemesanan yang ekonomis. Untuk
mengakomodasikan ketidakpastian permintaan maupun pasokan, model EOQ
bisaanya digunakan dengan mekanisme reorder point dimana didalamnya
diperhitungkan persediaan pengaman.
8. Untuk tipe item yang permintaannya bersifat musiman, trade off penting dalam
membuat keputusan adalah ongkos kelebihan dan kekurangan produk pada suatu
musim jual.

9. Pada produk-produk yang permintaannya bersifat musiman, risiko kelebihan produk


bisa dikurangi dengan menurunkan harga jual di akhir musim jualnya. Namun cara
yang dianggap lebih baik adalah mengurangi lead time sehingga supply chain bisa
mengubah keputusan produksi dan pengiriman mereka setelah membaca respon awal
dari pasar.

10. Pada produk yang permintaannya stabil maupun musiman, koordinasi antara pembeli
dan pemasok pada hakekatnya menguntungkan keseluruhan supply chain. Namun
diperlukan mekanisme pembagian keuntungan yang adil agar kedua belah pihak mau
melakukan kerjasama.

11. Vendor Managed Inventory (VMI) adalah model pengelolaan persediaan dimana
keputusan waktu dan ukuran pengiriman ditentukan oleh pemasok dan pembeli
memberikan informasi yang up to date tentang persediaan yang tersisa dan
permintaan atau kebutuhan dari waktu ke waktu. Model ini bisa mengungguli cara
tradisional dimana pembeli menentukan waktu dan ukuran pesanan sedangkan
pemasok secara reaktif memenuhi pesanan tersebut. Diperlukan kerjasama dan
infrastruktur yang memadai antara kedua belah pihak agar VMI bisa berjalan dengan
baik.

12. Banyak kendala atau jebakan yang bisa muncul dalam mengelola persediaan pada
supply chain. Termasuk didalam kendala atau jebakan tersebut adalah metrik yang
tidak terdefin isi dengan jelas, status pesanan tidak akurat, system informasi tidak
handal, kebijakan persediaan terlalu sederhana dan mengabaikan ketidakpastian,
ongkos-ongkos persediaan tidak ditaksir dengan akurat, dan keputusan supply chain
yang tidak terintegrasi.

Studi kasus :
Perubahan jaringan dan sistem persediaan CD-RW di Hewlett-Packard
Hewlett-Packard (HP) adalah salah satu pionir pada industry CD-RW (compact disc re-
writable) pada akhri tahun 90-an. Walaupun pada awalnya produk ini ditujukan untuk
kalangan bisnis, namun kepraktisannya dibandingkan disket membuatnya juga sangat popular
di kalngan konsumen individual. Volume penjualan meningkat tajam dari tahun ke tahun,
mulai hanya 100 ribu pada tahun 1997 menjadi lebih dari 5 juta sampai april 2001.
Sebagaimana layaknya industry consumer electronics yang lain, revolusi teknologi
untuk CD-RW berlangsung cepat dan siklus hidup menurun secara drastis dari waktu ke
waktu. kompetitor baru juga bermunculan, dari hanya 4 pada tahun 1997 menjadi 50 di tahun
2001. Perkembangan teknologi dan persaingan yang ketat mendorong turunnya harga jual di
pasar sampai 50% per tahun. Kondisi seperti ini membuat HP tidak lagi Berjaya di pasar.
Keadaan memaksa mereka mengevaluasi kembali sistem supply chain produk CD-RW
tersebut.
Konfigurasi supply chain mereka saat itu dapat di gambarkan sebagai berikut (gambar
6.11). produk dibuat oleh dua supplier di Asia yaitu jepang dan Malaysia. Produk tersebut
dikirm ke tiga pusat distribusi regional (RDC) yang berlokasi di belanda, singapura, dan
amerika untuk proses konversi, lokalisasi, dan distribusi. RDC belanda selanjutnya melayani
pasar Eropa, RDC singapura untuk wilayah Asia Pasifik, sedangkan RDC Amerika untuk
pasar Amerika yang meliputi USA, Kanada dan Amerika Latin. Untuk pasar mexico dan
Amerika latin mereka memiliki gudang masing-masing di Mexico dan Miami. Pengiriman
produk dari supplier di Asia ke RDC belanda dan amerika dilakukan lewat laut dan
memakan waktu kurang lebih 30 hari. Karena lead time pengiriman panjang, RDC perlu
meyimpan persediaan cukup banyak untuk mengantisipasi ketidakpastian lama pengiriman
maupun permintaan.

Belanda Eropa
Jepang
Asia Pasifik
Singapura
Malaysia USA

USA Kanada

Mexico Mexico

USA-Miami Amerika Latin


Gambar 6.12. Konfigurasi awal supply chain CD-RW HP
Selama 3 bulan mulai November 1998 melalui grup strategic planning and modeling (SpaM)-
nya, HP mulai melakukan analisis untuk mengevaluasi dan merancang ulang supply chain
mereka. Supply chain mereka dianggap lambat, mahal, dan tidak responsive. Jadi, persediaan
terlalu lama tersimpan dalam perjalanan maupun digudang sehingga menimbulkan biaya-
biaya yang besar, diperkirakan sekitar 8% dari nilai penjualan per tahunnya . waktu siklus
antara HP memesan ke supplier sampai produk dikirim ke pelanggan (dalam hal ini toko-
toko) memakan waktu 126 hari yang terdiri dari :

- Transit dari supplier ke distribution center 30 hari

- Berada di distribution center 91 hari

- Transit dari distribution center (DC) ke pelanggan (toko) 5 hari.

Setelah melakukan evaluasi, tim kemudian mengajukan 8 skenario konfigurasi supply chain.
Setelah dikaji dan dievaluasi, mereka akhirnya memilih satu skenario seperti yang
ditunjukkan pada gambar 6.12 . model ini mengusulkan adanya satu world wide distribution
center yang akan melakukan semua kegiatan konversi menggantikan 3 RDC yang ada waktu
itu. Perubahan fundamental juga dilakukan pada aspek transportasi. Mereka mengubah
modus transportasi dan pengapalan menjadi pengiriman lewat udara.
Hasil
Reeingineering ini menciptakan supply chain yang lebih efisien dan sekaligus lebih fleksibel
dan responsif. Perputaran persediaan meningkat dari 3 menjadi 45 dan siklus pemesanan ke
supplier sampai produk dikirim ke toko turun dari 126 hari menjadi hanya 8 hari.
Penghematan yang dihasilkan juga luar bisaa, yakni $50 juta per tahun yang berasal dari
penurunan ongkos-ongkos persediaan , penurunan biaya overhead pabrik untuk proses
konversi dan lokalisasi, dan beberapa manfaat financial dari negosiasi dengan supplier.

Eropa
Jepang Asia Pasifik
WW Center
Malaysia Singapura USA

Kanada
Mexico
Mexico

USA-Miami Amerika Latin

Gambar 6.13. Konfigurasi supply chain CD-RW HP setelah perubahan

Manajemen Proyek
Proyek reengineering ini melibatkan 100 orang yang berasal dari 14 organisasi dalam
lingkungan HP dan 4 dari luar. Mereka berada di 5 negara dan 6 zone waktu yang berbeda.
Koordinasi dilakukan dengan e-mail, voicemail, dan teleconference . mereka memiliki file-
file kunci yang bisa diakses oleh semua anggota tim. Isu penting dalam tim besar dan
beragam latar belakang seperti ini adalah menjaga semangat setiap orang dan bekerja secara
parallel. HP melibatkan pimpinan puncak sebagai sponsor dan steering committee yang
terlibat secara aktif untuk melakukan review dan problem solving. Teleconference bisaanya
dilakukan mingguan waktu pagi Amerika (siang di Eropa dan malam di Asia). Tim inti
diberikan bonus atau hadiah untuk menjaga moral dan spirit mereka. Melibatkan supplier
pada proyek ini awalnya bukan hal yang mudah Karena mereka tidak melihat keuntungan
yang berarti. Akhirnya dengan mengadakan workshop 3 hari bersama supplier melalui beer
game , supplier akhirnya mau terlibat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai