Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Glaukoma merupakan penyebab kebutaan terbanyak kedua di seluruh dunia.


Menurut WHO pada tahun 2002, penyebab kebutaan yang pertama adalah katarak
(47,8%), diikuti glaukoma pada urutan kedua (12,7%) (Depkes,2003). WHO
memperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia, di mana sepertiganya
berada di Asia Tenggara. Diperkirakan 12 orang menjadi buta tiap menit di dunia,
dan 4 orang diantaranya berasal dari Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia
diperkirakan setiap menit ada satu orang menjadi buta. Sebagian besar orang buta
(tunanetra) di Indonesia berada di daerah miskin dengan kondisi sosial ekonomi
lemah. Survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996,
menunjukkan angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5%. Penyebab utama
kebutaan adalah katarak (0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%),
dan penyakit penyakit lain yang berhubungan dengan lanjut usia (0,38%) (Komite
Nasional PGPK, 2013).
Glaukoma adalah sekumpulan gejala dengan karakteristik adanya neuropati optik
glaukomatosa bersamaan dengan gangguan lapang pandang yang khas, disertai
dengan peningkatan tekanan intraokuler (TIO) tinggi (>21mmHg) yang
merupakan salah satu faktor risiko utamanya (Coplin & Lundy, 2007).
Di dalam dunia kedokteran, glaukoma dibagi atas glaukoma sudut terbuka,
glaukoma sudut tertutup dan glaukoma pada anak (Lisegang, et al., 2009).
Klasifikasi glaukoma secara lengkap dan terperinci tertera pada klasifikasi
glaukoma berdasarkan American Academy of Ophthalmology. Dari ketiga
glaukoma ini, glaukoma sudut terbuka yang paling sering dijumpai. Sekitar 75%
penderita glaukoma menderita glaukoma sudut terbuka (Skuta, et al., 2010).
Glaukoma sudut terbuka primer merupakan neuropati optik kronis dengan
progresifitas yang perlahan-lahan dengan karakteristik adanya ekskavatio dari
syaraf optik, gangguan lapang pandangan, hilangnya sel dan akson ganglion retina

dan memiliki sudut iridocorneal yang terbuka. Glaukoma sudut terbuka primer ini
lebih sering dijumpai pada usia dewasa (Lisegang, et al., 2005).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologi Humor Aquos
Tekanan intraokuler ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor aquos
dan tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Humor aquos merupakan
cairan jernih yang mengisi kamera okuli anterior dan posterior. Volume
humor aquos sekitar 250 L, dan kecepatan pembentukannya 2,5
L/menit. Komposisi humor aquos hampir sama dengan komposisi
plasma, yaitu mengandung askorbat, piruvat, laktat, protein, dan glukosa.
Tabel 2. Perbandingan komposisi plasma dan humor aquos
Komponen
mmol/KgHO

Plasma

Humor Aquos

Na

146

163

Cl
HCO3
Askorbat
Glukosa

109
28
0,04
6

134
20
1,06
3

Humor aquos merupakan media refrakta jadi harus jernih. Sistem


pengeluaran humor aquos terbagi menjadi 2 jalur, yaitu sebagian besar
melalui sistem vena dan sebagian kecil melalui otot ciliaris.

Gambar 1. Aliran humor aquos normal


Pada sistem vena, humor aquos diproduksi oleh prosesus ciliaris masuk
melewati kamera okuli posterior menuju kamera okuli anterior melalui

pupil. Setelah melewati kamera okuli anterior cairan humor aquos menuju
trabekula meshwork ke angulus iridokornealis dan menuju kanalis
Schlemm yang akhirnya masuk ke sistem vena. Aliran humor aquos akan
melewati jaringan trabekulum sekitar 90 %. Sedangkan sebagian kecil
humor aquos keluar dari mata melalui otot siliaris menuju ruang
suprakoroid untuk selanjutnya keluar melalui sklera atau saraf maupun
pembuluh darah. Jalur ini disebut juga jalur uveosklera (10-15%).
2.2.1

2.2 Glaukoma
Definisi
Glaukoma merupakan suatu neuropati optik yang ditandai dengan
pencekungan cupping diskus optikus dan penyempitan lapang
pandang yang disertai dengan peningkatan tekanan intraokuler
yang merupakan faktor resiko terjadinya glaukoma. Mekanisme
peningkatan tekanan intraokuler pada glaukoma dipengaruhi oleh

2.2.2

gangguan aliran keluar humor aquos.


Klasifikasi Glaukoma
Menurut Vaughan (1995), klasifikasi

glaukoma

menurut

etiologinya dikelompokkan dalam glaukoma primer, glaukoma


kongenital, glaukoma sekunder dan glaukoma absolut.
A. Glaukoma Primer :
Glaukoma sudut terbuka disebut juga glaukoma simpleks,
glaukoma simpleks menahun. Bentuk glaukoma ini adalah
bentuk yang paling sering ditemukan, dan presentasinya
sekitar 85%-90% dari seluruh kasus glaukoma. Sementara
itu, glaukoma sudut tertutup disebut juga glaukoma sudut
sempit bentuk glaukoma ini dapat terjadi melalui beberapa
stadium yaitu: akut, subakut, khronik/menahun, dan iris
plato/plateau iris.
B. Glaukoma Kongenital :
1. Glaukoma kongenital primer,
2. Glaukoma yang berkaitan

dengan

anomali

kongenital dan perkembangan:


a) Sindroma pembelahan bilik mata depan,
yaitu sindroma Axenfeld, sindroma Rieger
dan anomali Peter

b) Aniridia
3. Glaukoma
berkaitan

dengan

gangguan

perkembangan ekstra okuler, seperti Sindroma


Sturge-Weber,

Sindroma

Marfan,

Neurofibromatosis, Sindroma Lowe, dan Rubela


kongenital.
C. Glaukoma Sekunder :
1. Glaukoma berpigmen
2. Sindroma eksfoliat
3. Karena kelainan lensa, yaitu dislokasi, intumesensi,
dan fakolitik
4. Karena kelainan uvea, yaitu uveitis, synechia
posterior, dan tumor
5. Sindroma iridokorneo endotelial
6. Trauma, yaitu Hiphema dan pendarahan bilik mata
belakang
7.

yang

masif,

serta

pergeseran

akar

iris/cekungan sudut
Pasca Operasi :
a) Ciliary block glaucoma/glaukoma akibat
hambatan siliaris
b) Sinekhia Anterior Perifer
c) Pertumbuhan epitel ke dalam bilik mata

depan
d) Pasca operasi Keratoplasti
e) Pasca operasi ablasio retina
8. Glaukoma neovaskuler, oleh karena Diabetes
mellitus, serta pembuntuan/ sumbatan pembuluh
darah vena retina yang sentral
9. Kenaikan tekanan vena epi sklera, yaitu Fistula
kovernosa karotikus, dan Sindroma Sturge-Weber
10. Akibat pemakaian kortikosteroid
D. Glaukoma Absolut
Akhir dari semua glaukoma yang tidak terkontrol akan
terjadi glaukoma absolut, dengan cirri-ciri mata teraba
keras, tajam penglihatan nol, dan seringkali disertai dengan
nyeri mata hebat. Keadaan ini dapat terjadi pada bentuk
Glaukoma sudut terbuka maupun glaukoma sudut tertutup.
2.3.1

2.3 Glaukoma Simpleks (Glaukoma Sudut Terbuka)


Definisi

Glaukoma simpleks adalah glaukoma yang penyebabnya tidak


diketahui. Merupakan suatu glaukoma primer yang ditandai dengan
sudut bilik mata terbuka. Glaukoma simpleks ini diagnosisnya
dibuat jika ditemukan glaukoma pada kedua mata pada
pemeriksaan pertama, tanpa ditemukan kelainan yang dapat
2.3.2

merupakan penyebab.
Faktor Resiko
A. Tekanan bola mata yang meningkat
Sejumlah faktor yang dapat berhubungan dengan timbulnya
glaukoma sudut terbuka primer adalah tekanan bola mata.
Hal ini disebabkan karena tekanan bola mata merupakan
salah satu faktor yang paling mudah dan paling penting
untuk meramalkan timbulnya glaukoma di masa mendatang
(Vaughan, 1995). Secara umum dinyatakan bahwa tekanan
bola mata yang lebih tinggi akan lebih memungkinkan
terhadap peningkatan progresifitas kerusakan disku optikus,
walaupun hubungan antara tingginya tekanan bola mata dan
besarnya kerusakan, sampai saat ini masih diperdebatkan.
Beberapa kasus menunjukkan, bahwa adanya tekanan bola
mata yang berada di atas normal akan diikuti dengan
kerusakan diskus optikus dan gangguan lapang pandangan
dalam beberapa tahun. Sebaliknya, terjadi juga pada banyak
kasus, bahwa selama pemeriksaan tekanan bola mata tidak
pernah di atas normal, namun terjadi kerusakan pada papil
dan lapang pandangan yang khas glaukoma. Oleh karena
itu, definisi tekanan bola mata yang normal sangat sukar
untuk ditentukan dengan pasti. Jika dalam suatu populasi
dinyatakan rerata tekanan bola mata 16 mmHg dengan
standard deviation 3 mmHg, maka nilai tekanan bola mata
yang normal berada di antara 1022 mmHg. Jika dilakukan
pemeriksaan tekanan bola mata pada populasi umur di atas
40 tahun, maka diperkirakan tekanan bola mata yang di atas
22 mmHg adalah 5%- 10% (Boyd ,2002). Masalah lain

yang harus dipertimbangkan mengenai tekanan bola mata,


adalah adanya pengaruh variasi diurnal dari tekanan bola
mata itu sendiri, yaitu bahwa tekanan bola mata sangat
fluktuatif, tergantung pada waktu saat pemeriksaan, yaitu
pagi, siang, sore atau malam hari (Liesegang, 2003).
Beberapa peneliti menyatakan bahwa, variasi diurnal yang
lebih besar dari normal dapat digunakan sebagai pembeda
untuk menentukan bentuk glaukoma-nya. Di samping itu,
terdapat pula pengaruh makanan dan konsumsi cairan.
Disebutkan bahwa, variasi diurnal pada orang normal
berkisar antara 3.5-5 mmHg. Keadaan ini menjadi lebih
nyata pada glaukoma sudut terbuka primer yang tidak
diobati. Variasi tekanan bola mata yang luas ini sangat
mempengaruhi kondisi untuk mendiagnosis secara dini
dengan cepat, hal ini ditunjukkan dalam suatu survei
populasi

yang

terdiagnosis

menyebutkan

glaukoma

sudut

bahwa
terbuka

50%

penderita

primer

tidak

menunjukkan adanya kenaikan tekanan bola mata pada saat


pemeriksaan pendahuluan, di samping itu juga ditemukan
adanya kenaikan tekanan bola mata tanpa gangguan diskus
optikus dan lapang pandangan (hipertensi okuler). Secara
umum dinyatakan bahwa hanya sekitar 0.5%-2% per tahun
terjadi kerusakan papil dan lapang pandangan selama
pengamatan. Ironisnya, sebagian besar penderita glaukoma
sudut terbuka primer hampir tidak pernah menyadari bahwa
tekanan bola matanya mengalami peningkatan. Seringkali
mereka baru menyadari setelah merasakan ada gangguan
yang jelas terhadap tajam penglihatan, atau penyempitan
lapang pandangan. Liesegang (2003), juga menyatakan
bahwa kenaikan tekanan bola mata, merupakan salah satu
faktor resiko utama terjadinya glaukoma. Sementara itu,
nilai batas normal tekanan bola mata dalam populasi

berkisar antara 10 22 mmHg. Menurut Sommer (Boyd,


2002), pada populasi, nilai rerata tekanan bola mata yang
normal adalah 16 mmHg dengan standard deviasi 3 mmHg.
B. Pelebaran Gaung Diskus Optikus
Faktor yang berhubungan dengan kerusakan yang khas
glaukoma adalah melebarnya penggaungan pada diskus
optikus. Oleh karena itu, pelebaran penggaungan diskus
optikus merupakan salah satu tanda adanya kerusakan khas
glaukoma.

Jika

pada

penderita

ditemukan

adanya

penggaungan diskus optikus, maka untuk sementara harus


diduga

bahwa,

penderita

mempunyai

tanda

tanda

permulaan dari penyakit glaukoma. Kondisi penggaungan


diskus optikus ini secara normal juga sangat individual.
Oleh karena, pada individu yang mengalami pelebaran
gaung diskus optikus tidak harus dinyatakan telah
menderita glaukoma, melainkan masih tergantung dari
ada/tidaknya kerusakan pada jaringan neuroretinal rim. Hal
ini dapat terjadi akibat adanya penggaungan yang bersifat
fisiologis. Sementara dapat dimengerti bahwa cupping atau
gaung yang lebih lebar merupakan faktor yang lebih besar
untuk terjadinya kerusakan khas glaukoma daripada
cupping yang lebih kecil dengan adanya kenaikan tekanan
bola mata .
C. Ras
Wilensky (1994) yang didukung oleh beberapa penelitian
menyatakan, bahwa faktor ras dan atau kulit berwarna
mempunyai prevalensi glaukoma sudut terbuka primer yang
lebih tinggi daripada orang kulit putih dan penderita yang
berasal

dari

daerah

oriental.

Di

Amerika

Serikat

perbandingan prevalensinya sekitar 2:1 untuk ras kulit


berwarna. Sementara pada populasi lain tampaknya
perbandingan tersebut lebih besar lagi. Hasil survei yang
dilakukan di Kepulauan Karibia pada populasi umur di atas
40 tahun, dinyatakan bahwa prevalensi pada kulit berwarna

sekitar 14%, sedang pada kulit putih hanya sekitar 2%.


Diperkirakan juga bahwa beratnya kasus glaukoma pada
kulit berwarna lebih berbahaya daripada kulit putih.
Sementara, kasus yang menjadi buta pada orang kulit
berwarna insidensinya 8 kali lebih banyak daripada kulit
putih. Di samping itu ditinjau dari hasil pengobatan
maupun tindakan pembedahan, hasilnya lebih baik
pada kulit putih daripada kulit berwarna.
D. Faktor Umur
Faktor bertambahnya umur mempunyai peluang lebih besar
untuk menderita glaukoma sudut terbuka primer. Vaughan
(1995), menyatakan bahwa frekuensi pada umur sekitar 40
tahun adalah 0.4%0.7% jumlah penduduk, sedangkan
pada umur sekitar 70 tahun frekuensinya meningkat
menjadi 2%3% dari jumlah penduduk. Framingham Study
dalam laporannya tahun 1994 menyatakan bahwa populasi
glaukoma adalah sekitar 0.7% penduduk yang berumur 52
64 tahun, dan meningkat menjadi 1.6% penduduk yang
berumur 6574 tahun, serta 4.2% pada penduduk yang
berusia 7585 tahun. Keadaan tersebut didukung juga oleh
pernyataan yang dikeluarkan oleh Ferndale Glaucoma
Study di tahun yang sama.
E. Faktor Keluarga
Glaukoma sudut terbuka primer merupakan suatu penyakit
yang dipengaruhi faktor keluarga. Hal ini dapat ditunjukkan
oleh beberapa survei yang dilakukan, namun hasil survei
tersebut tidak lengkap karena tidak mengikut-sertakan
anak-anak dan orang yang belum mencapai umur 40 tahun
yang

kemungkinan

dicurigai

menderita

glaukoma.

Walaupun demikian hasil survei tersebut cukup bermanfaat


karena dapat menunjukkan adanya indikasi bahwa 1 dari 10
orang pada garis keturunan pertama atau first degree
menderita glaukoma seperti yang diderita orangtua mereka.
F. Penyakit Sistemik

Insiden dari glaukoma sudut terbuka primer seringkali


dihubungkan dengan dua penyakit sistemik, yaitu Diabetes
Mellitus dan Hipertensi arterial. Sehubungan dengan hal
tersebut dilaporkan bahwa glaukoma sudut terbuka primer
prevalensinya akan meningkat 3 kali lebih tinggi pada
Diabetes

Mellitus

daripada

non

Diabetes

Mellitus.

Berdasarkan penelitian studi kasuscontrol, ditemukan


perbedaan resiko-relatif antara penderita hipertensi yang
diobati dengan tanpa pengobatan hipertensi. Problem yang
sampai saat ini banyak menjadi bahan diskusi para pakar
tentang glaukoma adalah patogenesis terjadinya glaukoma
sudut terbuka primer yang masih belum diketahui secara
jelas. Beberapa kemajuan sudah mulai tampak, yaitu mulai
muncul kesepakatan diantara mereka, bahwa berkurangnya
atau hilangnya sel endotel trabecular meshwork merupakan
penyebab utama terjadinya hambatan outflow cairan akuos
yang berakhir dengan kenaikan tekanan bola mata. Tetapi
sampai saat ini, semua peneliti tidak atau belum dapat
menjelaskan tentang bagaimana mekanisme terjadinya
pengurangan atau hilangnya sel endotel

trabecular

meshwork tersebut. Untuk memberikan penanganan yang


tepat kepada penderita hipertensi okuler dan glaukoma,
diperlukan usaha yang maksimal untuk mengungkap
mekanisme terjadinya pengurangan sel endotel trabecular
meshwork melalui upaya penelitian, serta melalui berbagai
2.3.3

pendekatan.
Patogenesis Neuropati Optik Glaukoma
Patogenesis glaukoma sampai saat ini masih belum jelas. Dada,et
al (2006), menyatakan bahwa kerusakan syaraf optik tidak hanya
oleh karena peningkatan tekanan intra okuli , tetapi penurunan
aliran/perfusi darah dapat menyebabkan kerusakan syaraf optik.
Selain itu faktor genetik, faktor metabolik dan faktor-faktor yang
bersifat toksik seperti glutamat, NMDA, eksitotoksin, radikal bebas

dan nitrix oxide juga berpengaruh terhadap kerusakan syaraf optik


(Schwartz, 2003). Kerusakan syaraf optik pada glaukoma dapat
dibagi atas 2 tipe yakni kerusakan neuron primer (primary
neuronal damage) dan kerusakan neuron sekunder (secondary
neuronal damage) (Dada, et al., 2006; Schwartz, 2003).
A. Kerusakan Neuron Primer
Kerusakan neuron primer ini disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain faktor mekanik dan faktor iskemik.
1. Faktor Mekanik
Menurut teori mekanis, TIO yang tinggi berperan
menyebabkan kerusakan langsung pada nervus
optikus dan akan mengubah struktur jaringan.
Kenaikan TIO akan menghasilkan dorongan dari
dalam ke luar (inside-outside push) yang akan
menekan lapisan laminar ke arah luar dan
meningkatkan regangan laminar serta meningkatkan
regangan dinding sklera (Lewis, et al., 1993). Selain
itu dengan meningkatnya TIO akan menyebabkan
remodelling dan irregularitas matriks ekstraselular
syaraf optik yang akan menurunkan mechanical
support bagi serabut-serabut syaraf (Sihota, et al.,
2006).
Peningkatan TIO juga dapat memblok aliran
aksoplasma sehingga pengiriman growth factor
esensial yang dihasilkan oleh sel target dari
kollikulus superior dan korpus genikulatum lateralis
ke papil syaraf optik akan turun (Dada, et al., 2006)
Selain itu, peningkatan TIO juga disebabkan oleh
karena meningkatnya tahanan/ resistensi pada
humor akuous. Ada beberapa faktor yang diduga
dapat menyebabkan bertambahnya resistensi pada
outflow humor akuous, antara lain penyempitan
ruang intertrabekular, penebalan lamella trabekular,
collaps kanalis sklemmi, dan hilangnya sel-sel

endotel trabekula. Keadaan tersebut secara fisiologis


terjadi pada proses penuaan, tetapi pada glaukoma
proses tersebut terjadi lebih progresif (Dada, et al.,
2006).
2. Faktor Iskemik
Menurut teori iskemik, turunnya aliran darah di
dalam lamina kribrosa akan menyebabkan iskemia
dan tidak tercukupinya energi yang diperlukan
untuk transport aksonal. Iskemik dan transport
aksonal akan memacu terjadinya apoptosis (Lewis
et al., 1993).
Pada hakekatnya kematian sel (apoptosis) dapat
terjadi karena rangsangan atau jejas letal yang
berasal dari luar ataupun dari dalam sel itu sendiri
(bersifat aktif ataupun pasif). Kematian sel yang
berasal dari dalam sel itu sendiri dapat terjadi
melalui mekanisme genetik, yang merupakan suatu
proses fisiologis dalam keadaan mempertahankan
keseimbangan fungsinya. Proses kematian yang
berasal dari luar sel dan bersifat pasif dapat tejadi
karena jejas ataupun injury yang letal akibat faktor
fisik, kimia, iskhemik maupun biologis (Chen,
2003). Pada proses iskemik, terjadi mekanisme
autoregulasi yang abnormal sehingga tidak dapat
mengkompensasi perfusi yang kurang dan terjadi
resistensi (hambatan) aliran humor akuous pada
trabekular meshwork yang akhirnya menyebabkan
peningkatan tekanan intraokuli (TIO) (Lewis,
1993).
Hipotesis lain yang mendasari teori ini adalah
turunya

perfusi

menyebabkan

aliran

akumulasi

darah

yang

eksitotoksin

dapat
seperti

glutamat yang berakhir dengan kematian sel lebih


lanjut. Fase iskemia yang diikuti dengan perbaikan

pasokan darah juga dapat menyebabkan reperfusion


injury pada sel ganglion retina oleh karena adanya
radikal bebas (Dada, et al., 2006).
3. Reperfusion Injury
Reperfusion injury atau cedera reperfusi adalah
kerusakan

jaringan

yang

disebabkan

oleh

kekurangan aliran darah ke jaringan setelah


kurangnya pasokan oksigen (iskemia). Proses
restorasi aliran darah ini secara paradoks akan
menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut
(Flammer, et al., 2002). Saat terjadi proses reperfusi
sel-sel endotel trabekular meshwork yang terpapar
iskemia akan terjadi adhesi leukosit dan platelet
yang akan menyebabkan permeabilitas sel endotel
akan meningkat. Leukosit adherent tersebut juga
akan melepas spesies oksigen reaktif (radikal bebas)
dan bermacam sitokin yang mengakibatkan kaskade
inflamatorik. Pathway inflamatorik dan produksi
radikal bebas saling bertumpang tindih yang akan
menimbulkan kerusakan yang lebih berat pada
cedera reperfusi (Izzoti, et al., 2006). Pada
glaukoma sudut terbuka primer, tekanan oksigen
pada jaringan selalu rendah. Turunnya tekanan ini
biasanya ringan, tetapi selalu rekuren selama
beberapa tahun. Reperfusi pada glaukoma sudut
terbuka dapat terjadi pada penderita dengan tekanan
intra okuli yang tinggi maupun tekanan darah yang
rendah yang melebihi kapasitas dari autoregulasi,
begitu

juga

pada

penderita

dengan

tekanan

intraokuli normal ataupun sedikit meningkat dan


pada penderita dengan tekanan darah normal
ataupun rendah jika terjadi gangguan autoregulasi
(Flammer. et al., 2002). Reperfusi rekuren akan

dapat menyebabkan stress oksidatif kronis terutama


di mitokondria. Mitokondria sangat banyak pada
syaraf optik yang disebabkan tingginya asupan
energi pada area serabut-serabut mielin. Apabila
terjadi reperfusi, maka mitokondria akan mendapat
lebih banyak kerusakan dan supplai energi akan
semakin berkurang. (Izzoti, et al., 2006).
B. Kerusakan Neuron Sekunder
Kerusakan neuron primer telah memicu pelepasan sejumlah
faktor dari sel ganglion retina yang dapat menyebabkan
kerusakan sekunder sel-sel sekitarnya. Istilah degenerasi
neuron sekunder digunakan untuk neuropati progresif yang
meluas di sekitar area neuron yang telah mengalami
kerusakan sebelumnya. Kerusakan neuron sekunder ini
merupakan akibat sejumlah proses yang dipicu oleh trauma
dan juga oleh faktor-faktor yang bersifat toksis yang berasal
dari kerusakan primer sebelumnya seperti glutamat
eksitotoksin, radikal bebas dan nitrit oksida. Faktor-faktor
toksik tersebut memicu serangkaian peristiwa yang
menyebabkan apoptosis. Akibatnya kerusakan fungsional
jaringan neuron berlanjut dan semakin berat sehingga hal
inilah yang menyebabkan mengapa pada pasien glaukoma
progresifitas pernyakit tersebut terus berlangsung meskipun
TIO sudah terkontrol (Dada, et al., 2006). Menurut
Advance Glaucoma Intervention Study dalam menilai
progresifitas glaukoma ada 3 parameter yang harus dinilai
yaitu syaraf optik dan lapisan serabut syaraf retina, lapang
pandangan dan tekanan intraokuli (Shaban & Demirel,
2009). Berdasarkan hal-hal tersebut maka diperlukan suatu
neuroprotektif

untuk

meminimalkan

dan

degenerasi neuron sekunder (Schwartz, 2003).

mencegah

2.3.4

Penilaian Glaukoma
A. Tonometri
Tonometri

merupakan

suatu

pengukuran

tekanan

intraokuler yang menggunakan alat berupa tonometer


Goldman. Faktor yang dapat mempengaruhi biasnya
penilaian tergantung pada ketebalan kornea masing-masing
individu. Semakin tebal kornea pasien maka tekanan
intraokuler yang di hasilkan cenderung tinggi, begitu pula
sebaliknya, semakin tipis kornea pasien tekanan intraokuler
bola mata juga rendah. Penilaian tekanan intraokuler
normal berkisar 10-22 mmHg. Pada usia lanjut rentang
tekanan normal lebih tinggi yaitu sampai 24 mmHg. Pada
glaukoma sudut terbuka primer , 32-50% pasien ditemukan
dengan tekanan intraokuler yang normal pada saat pertama
kali diperiksa.
B. Penilaian Diskus Optikus
Diskus optikus yang normal memiliki cekungan di bagian
tengahnya. Pada pasien glaukoma terdapat pembesaran
cawan optik atau pencekungan sehingga tidak dapat terlihat
saraf pada bagian tepinya
C. Pemeriksaan Lapang Pandang
Gangguan lapangan pandang pada glaukoma dapat
mengenai 30 derajat lapangan pandang bagian central. Cara
pemeriksaan

lapangan

pandang

dapat

menggunakan

automated perimeter.
D. Gonioskopi
Gonioskopi merupakan pemeriksaan dengan alat yang
menggunakan lensa khusus untuk melihat aliran keluarnya
humor aquos. Fungsi dari gonioskopi secara diagnostik
dapat membantu mengidentifikasi sudut yang abnormal dan
menilai lebar sudut kamera okuli anterior.
2.3.5

Penatalaksanaan Medikamentosa
A. Supresi Pembentukan Humor Aquos

1. Golongan -adrenergik Bloker


Obat golongan ini dapat digunakan

sebagai

monoterapi atau dengan kombinasi dengan obat


yang lain. Contoh obat golongan -adrenergic
bloker misalnya timolol maleat 0,25% dan 0.5%,
betaxolol 0,25% dan 0,5%, levobunolol dan lainlain.
Timolol

maleat

merupakan

-adrenergik

non

selektif baik 1 atau 2. Timolol tidak memiliki


aktivitas

simpatomimetik,

sehingga

apabila

diteteskan pada mata dapat mengurangi tekanan


intraokuler. Timolol dapat menurunkan tekanan
intraokuler sekitar 20-30%. Reseptor - adrenergik
terletak pada epitel siliaris, jika reseptornya
terangsang aktifitas sekresinya akan meningkatkan
inflow humor aquos melalui proses komplek enzim
adenyl

cyclase-reseptor

sehingga

menurunkan

produksi humor aquos.


Farmakodinamik golongan -adrenergic bloker
dengan cara menekan pembentukan humor aquos
sehingga

tekanan

Sedangkan

intraokuler

farmakokinetiknya

dapat

turun.

sebagian

besar

diserap dengan baik oleh usus secara peroral


sehingga bioavaibilitas rendah , dan memiliki kadar
puncak dalam plasma mencapai 1 sampai 3 jam.
Kebanyakan golongan -adrenergic bloker memiliki
waktu paruh antara 3 sampai 10 jam. Waktu
ekskresi

yang

dibutuhkan

ginjal

untuk

mengeluarkan obat golongan ini dapat diperpanjang


apabila terdapat hambatan aliran darah yang menuju
ke hati atau hambatan enzim hati.
Penggunaan obat golongan ini dalam jangka lama
dapat

mengakibatkan

kontraindikasi

berupa

obstruksi jalan napas kronik. Indikasi pemakaian

diberikan pada pasien glaukoma sudut terbuka


sebagai terapi inisial baik secara tunggal atau
kombinasi terapi dengan miotik.
Indikasi lainnya dapat diberikan pada glaukoma
inflamasi,

hipertensi

okuler

dan

glaukoma

kongenital.
2. Golongan 2-adrenergik Agonis
Golongan 2-adrenergik agonis obat ini dibagi
menjadi 2 yaitu selektif dan tidak selektif. Golongan
2-adrenergic

agonis

yang

selektif

misalnya

apraklonidin memiliki efek menurunkan produksi


humor aquos, meningkatkan aliran keluar humor
aquos

melalui

trabekula

meshwork

dengan

menurunkan tekanan vena episklera dan dapat juga


meningkatkan aliran keluar uveosklera.
Farmakokinetik dari pemberian apraklonidin 1%
dalam waktu 1 jam dapat menghasilkan penurunan
tekanan intraokuler yang cepat paling sedikit 20%
dari tekanan intraokuler awal. Efek maksimal dari
apraklonidin dalam menurunkan tekanan intraokuler
dapat terjadi sekitar 3-5 jam setelah pemberian
terapi. Indikasi penggunaan apraklonidin untuk
mengontrol peningkatan akut tekanan intraokuler
pasca tindakan laser. Sedangkan kontraindikasi
pemakaian obat ini apabila pasien dengan mono
amin oksidase (MAO) dan trisiklik depresan karena
mempengaruhi

metabolisme

dan

uptake

katekolamin.
3. Penghambat Karbonat Anhidrase
a) Asetasolamid Oral
Asetasolamid oral merupakan obat yang
sering di gunakan karena dapat menekan
pembentukan humor aquos sebanyak 4060%. Bekerja efektif dalam menurunkan
tekanan intraokuler apabila konsentrasi obat

bebas dalam plasma 2,5 M. Apabila


diberikan secara oral, konsentrasi puncak
pada plasma dapat diperoleh dalam 2 jam
setelah pemberian dapat bertahan selama 4-6
jam dan menurun dengan cepat karena
ekskresi pada urin. Indikasi asetasolamid
terutama

untuk

intraokuler,

menurunkan

mencegah

prolaps

tekanan
korpus

vitreum, dan menurunkan tekanan introkuler


pada pseudo tumor serebri. Kontraindikasi
relatif untuk sirosis hati, penyakit paru
obstruktif menahun, gagal ginjal, diabetes
ketoasidosis dan urolithiasis. Efek samping
yang paling sering dikeluhkan parastesi dan
inisial diuresis, sedangkan efek lain yang
dapat muncul apabila digunakan dalam
jangka lama antara lain metalic taste,
malaise,

nausea,

anoreksia,

depresi,

pembentukan batu ginjal, depresi sumsum


tulang, dan anemia aplastik.
b) Penghambat Karbonat Anhidrase Topikal
Penghambat karbonat anhidrase topikal
bersifat larut lemak sehingga bila digunakan
secara topikal daya penetrasi ke kornea
relatif rendah. Pemberian dorsolamid topikal
akan terjadi penetrasi melalui kornea dan
sklera ke epitel tak berpigmen prosesus
siliaris sehingga dapat menurunkan produksi
humor aqueus dan HCO3- dengan cara
menekan enzim karbonik anhidrase II.
Penghambat karbonik anhidrase topikal
seperti

dorsolamid

bekerja

efektif

menurunkan tekanan intraokuler karena

konsentrasi di prosesus siliaris mencapai 210M.

Penghambat

karbonat

anhidrase

topikal (dorsolamid) dapat menurunkan


tekanan

intraokuler

Indikasi

pemberian

sebesar
untuk

15-20%.
mengontrol

glaukoma baik jangka pendek maupun


jangka panjang, sebagai obat tunggal atau
kombinasi. Indikasi lain untuk mencegah
kenaikan tekanan intraokuler pasca bedah
intraokuler.

Efek

samping

lokal

yang

dijumpai seperti mata pedih, keratopati


pungtata superfisial, dan reaksi alergi. Efek
samping sistemik jarang dijumpai seperti
metalic taste, gangguan gastrointestinal dan
urtikaria.
B. Fasilitasi keluar Humor Aquos
1. Parasimpatomimetik
Golongan
obat
parasimpatomimetik

dapat

menimbulkan efek miosis pada mata dan bersifat


sekresi pada mata, sehingga menimbulkan kontraksi
muskulus ciliaris supaya iris membuka dan aliran
humor aquos dapat keluar.
2. Analog Prostaglandin
Analog prostaglandin merupakan obat lini pertama
yang efektif digunakan pada terapi glaukoma
misalnya, latanopros. Latanopros merupakan obat
baru yang paling efektif katena dapat ditoleransi
dengan baik dan tidak menimbulkan efek samping
sistemik. Farmakokinetik latanopros mengalami
hidrolisis enzim di kornea dan diaktifkan menjadi
asam latanopros. Penurunan tekanan intraokuler
dapat dilihat setelah 3-4 jam setelah pemberian dan
efek maksimal yang terjadi antara 8-12 jam. Cara
kerja obat ini dengan meningkatkan aliran keluarnya

humor

aqueus

diindikasikan

melalui
pada

uveosklera.

glaukoma

Obat

sudut

ini

terbuka,

hipertensi okuler yang tidak toleran dengan


antiglaukoma lain. Kontrandikasi pada pasien yang
sensitif dengan latanopros.
C. Penurunan Volume Vitreous
Obat yang digunakan dalam menurunkan volume vitreus
dapat menggunakan obat hiperosmotik dengan cara
mengubah darah menjadi hipertonik sehingga air tertarik
keluar dari vitreus dan menyebabkan pengecilan vitreus
sehingga

terjadi

penurunan

produksi

humor

aquos.

Penurunan volume vitreus bermanfaat dalam pengobatan


glaukoma

sudut

tertutup

akut

dan

maligna

yang

menyebabkan pergeseran lensa kristalina ke anterior yang


menyebabkan penutupan sudut ( glaukoma sudut tertutup
sekunder ).

BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari laporan ini adalah:
1. Glaukoma simpleks adalah glaukoma yang penyebabnya tidak diketahui.
Merupakan suatu glaukoma primer yang ditandai dengan sudut bilik mata
terbuka
2. Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan glaukoma simpleks,
diantaranya tekanan bola mata meningkat, pelebaran gaung diskus optikus,
ras, faktor umur, faktor keluarga, dan penyakit sistemik
3. Penilaian glaukoma simpleks dapat dilakukan dengan pemeriksaan tonometri,
penilaian diskus optikus, pemeriksaan lapang pandang, dan gonioskopi

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai