Anda di halaman 1dari 12

TUGAS SUMBER ENERGI BARU TERBARUKAN

The Production of Bioethanol Fermentation Substrate


from
Eucheuma cottonii Seaweed through Hydrolysis by
Cellulose Enzyme
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Sumber Energi Baru Terbarukan

Dosen Pengampu: Dr. Setia Budi Sasongko

Disusun oleh :

Anang Baharuddin Sahaq


21030116410014

PROGRAM MAGISTER TEKNIK KIMIA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO

2016
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS DIPONEGORO
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER TEKNIK KIMIA
Jl. Prof. H. Soedarto, SH. Kampus Tembalang Semarang 50239
Telp. (024) 7460058, Fax. (024) 7460055

LEMBAR PENGESAHAN
Tugas ini telah diselesaikan oleh
Anang Baharuddin Sahaq
21030116410014
Mata Kuliah : Sumber Energi Baru Terbarukan

Mengetahui,
Dosen Pengampu

Dr. Setia Budi


Sasongko
I.

PENDAHULUAN
Energi merupakan komponen yang sangat penting bagi hidup manusia
sehingga penggunaannya selalu mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya penduduk. Kebutuhan energi di dunia masih bergantung pada
sumber energi fosil, sementara itu sumber energi yang berasal dari fosil
semakin berkurang dan diramalkan akan habis dalam beberapa tahun
kedepan. Menurut Energy Information Administration 2015 konsumsi bahan
bakar fosil dunia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2015
konsumsi bahan bakar fosil sebesar 92,74 juta barel/hari sedangkan produksi
bahan bakar fosil sebesar 94,61 juta barel/hari, konsumsi bahan bakar fosil
mengalami kenaikan sebesar 1,36 juta barel/hari dari tahun 2014 (EIA.,
2015). Dengan konsumsi dan produksi seperti ini diperkirakan energi fosil
akan habis dalam waktu 40-50 tahun mendatang. Selain itu penggunaan
bahan bakar fosil di berbagai sektor juga menyebabkan meningkatnya emisi
CO2 dan menyebabkan global warming (Ma et al., 2015).
Salah satu sumber energi alternatif adalah energi biomassa dari bahan
baku organik, salah satunya bioetanol. Bioetanol (C 2H5OH) merupakan salah
satu

bentuk

energi

terbaharui

yang

dapat

diproduksi

dari

proses

fermentasasi dan bahan baku yang digunakan berupa bahan mentah seperti
mono/disakarida (gula tebu, sorgum dan tetes tebu), bahan berpati (padi,
jagung, umbi dan lain-lain) dan bahan selulosa (Dajue., 2009; Hagerdal.,
2007; Jang et al., 2012).
Pada makalah ini akan dibahas tentang proses produksi bioetanol
dengan bahan selulosa dari beberapa jenis tanaman. Pengaruh parameter
operasi seperti pH, suhu,pretreatment, rasio pencampuran akan dipelajari
lebih mendalam sebagai parameter yang berpengaruh dalam produksi
bioetanol.

II.

BAHAN DAN METODE


Bahan Baku Yang Digunakan
Rumput laut E. Cottonii kering didapatkan dari Buton, Sulawesi Selatan,
Indosnesia. Bahan lain yang digunakan adalah air distilasi Nelson A, Nelson
B, Arsenomolibdat, dan cellulose enzyme (CV. Endsany Jaya Engineering
Surakarta). Peralatan yang digunakan adalah beaker, timbangan analisis,
spectrophotometer, vortex, electric stove, dan hotplate stirrer.

Metode Yang Digunakan


1. Persiapan
Rumput laut direndam selama 2 jam kemudian dicuci dan dikeringkan.
Setelah itu, dipotong menjadi kecil-kecil. Ditimbang 10 grams tiap
sampel, kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 ml.
2. Persiapan cellulase enzyme
Larutan cellulase (1 g enzyme cellulase: 1 ml air distillasi) disentrifugasi
dengan kecepatan 7000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan solid
dan liquid kemudian dihidrolisis. Untuk mendapatkan 19 AU cellulase
enzyme, 5 g of enzyme yang dilarutkan dalam 5 ml air distillasi.
Melakukan hal yang sama untuk mendapatkan enzyme cellulase 36 AU
dan 52 AU.
3. Proses Hydrolisis
Hydrolysis dilakukan pada cellulase 19, 36, and 52 AU suhu yang
digunakan adalah 40 dan 50C. Selain dipanaskan juga dilakukan
pengadukan saat hidrolisis, peralatan yang digunakan adalah hotplate
stirrer dengan kecepatan 100 rpm dan termometer untuk memonitor
suhu. Proses hidrolisis berlangsung selama 24 jam.

4. Menentukan reduksi gula


Menyiapkan 1 ml larutan sampel ke dalam test tube, menambahkan 1 ml
Nelson reagent, dan melakukan persiapan larutan standar dari glukosa.
5. Experimental Design
Desain eksperimen menggunakan Completely Randomized Design (CRD)
dengan 2 faktor. Faktor 1 adalah konsentrasi cellulase enzyme yaitu 19,
36, and 52 AU. Faktor 2 adalah suhu hydrolysis dengan 2 variasi, 40 and
50C. Dari 2 faktor itu akan didapatkan 6 kombinasi treatment.
Parameter yang dianalisis adalah pengurangan kandungan gula. Data
yang didapat dianalisa menggunakan software SPSS dengan real different
test (t test).

III.

MEKANISME METODE
Simultaneous Saccharification and Fermentation dan Separated Hydrolisis
and Fermentation merupakan proses tahapan biologi dengan bantuan enzim
dan mikroorganisme untuk memecah selulosa menjadi senyawa gula
sederhana yang selanjutnya akan diubah kembali oleh mikroorganisme
menjadi bioetanol. Enzim yang digunakan untuk menghidrolisis selulosa
menjadi glukosa adalah enzim selulase. Karena strukturnya yang rigid,
selulosa kristalin resisten terhadap aksi individual selulase. Konversi efektif
dari selulosa menjadi monosakarida hanya dimungkinkan oleh kerja sinergis
dari ketiga subgroup selulase berikut :

Endo-1,4-Dglukanase yang memecah ikatan internal glukosidik yang


berada diantara rantai glukan yang utuh.

Exo-1,4-Dglukanase/exo-1,4-selobiohidrolase

yang

memecah

dimer selobiosa dari rantai glukan dan melepaskannya ke dalam

larutan,

glucosidase yang menyempurnakan hidrolisis selulosa menjadi


glukosa dengan memecah selobiosa menjadi monomer glukosa.

Selulase

dapat

Trichoderma

dihasilkan

dari

resei, Trichoderma

mikroorganisme

longbractium,

diantaranya

Trichoderma

yaitu

harzianum,

dan T. Aureoviride. Mikroorganisme lainnya yang juga bisa memproduksi


selulase adalah Aspergillus terreus (Samsuri et al., 2008).
Secara teoritis reaksi sakarifikasi selulosa menjadi bioethanol adalah
sebagai berikut:
selulase
(C6H10O5)n + nH2O
.............................................. (2.1)

n C6H12O6

Sedangkan reaksi parsial selulosa menjadi selobiosa sebagai berikut :


(C6H10O5)n + n/2 H2O
......................(2.2)

selulase

n/2 (C12H22O11)

Sedangkan reaksi sakarifikasi selobiosa menjadi glukosa sebagai


berikut :
selobiase
n/2 C12H22O11 + n/2 H2O
nC6H12O6 ................... (2.3)
Secara teoritis reaksi sakarifikasi hemiselulosa menjadi xilosa
dapat

ditulis

(C5H8O4)n + n H2O
................................... (2.4)

selobiase

nC5H10O5

Lalu dilanjutkan dengan fermentasi dengan reaksi berikut


(2.5)
(2.6)

IV.

C6H12O6 + yeast
3C5H10O5 + yeast

2C2H5OH + 2 CO2 ...............


5C2H5OH + 5CO2 ............

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Rumput Laut E. Cottonii
E. cottonii merupakan rumput laut tipe algae merah (Rhodophyta)
yang berstruktur halus dan berbentuk silinder, warna dari E. Cottonii sendiri

bervariasi yaitu hijau, kuning kehijauan, abu-abu, dan merah. Rumput laut ini
tumbuh menempel pada substrate dan membentuk koloni discs (Atmaja et
al., 1996 in Wiratmaja, 2011). Rumput laut mngandung bahan organik
macroalgae, terutama carbohydrates dan bentuk monomers dan polymers.
Kandungan dari rumput laut spesies algae merah yaitu Polysaccharide,
Carrageenan, Agar, Cellulose, Lignin monosaccharide, Glucose, Galactose,
and Agarose.
Selulosa

dari

rumput

laut

dapat

dikonversi

menjadi

bioetanol.

Berdasarkan tes proksimat, E. cottonii terdiri dari 75,32% kandungan air,


kadar abu 4: 13%, kadar protein 1,76%, lemak 0,35%, serat kasar 2,60% and
15.85%

karbohidrat.

Selain

itu,

komposisi

rumput

laut

E.

Cottonii

mengandung 7,11% selulosa. Komponen organik dari lignoselulosa di alam


terdiri dari tiga jenis polimer, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin.
Komponen ini merupakan bahan penting untuk menghasilkan produk gula
dari fermentasi, bahan kimia, dan biofuel. Selulosa dapat dihidrolisis menjadi
glukosa menggunakan media air dan dibantu dengan katalis asam atau
enzim. Studi sebelumnya (Nurdin, 2012) telah menganalisis kualitas pasca
panen rumput laut E. cottonii di Buton, Sulawesi Tenggara. Penelitian ini
dikembangkan untuk menentukan potensi rumput laut untuk menghasilkan
bioetanol melalui fermentasi substrat dengan gula reduksi tertinggi.
Hasil Hydrolysis Enzimatis
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan
gula reduksi yang tinggi dari proses hidrolisis. Hasil ini diperoleh dengan
membandingkan variasi konsentrasi enzim selulosa yang digunakan dan
suhu selama proses hidrolisis, serta selama proses pengambilan sampel dari
hidrolisis selama 24 jam. Ada 6 seri eksperimen dilakukan dalam serangkaian
percobaan. Hasil rata-rata gula reduksi yang diperoleh disajikan pada
Gambar 1 untuk hidrolisis pada suhu 40 C dan Gambar 2 untuk hidrolisis
pada suhu 50 C. Kandungan gula reduksi tertinggi diperoleh pada hidrolisis
selama 12 jam. Kinerja enzim meningkat dimulai dari 0 sampai 12 jam

hidrolisis ditunjukkan oleh kadar gula reduksi meningkat. Namun, sampling


dari 18 jam dari gula reduksi menurun. Ini menunjukkan bahwa enzim
selulase yang digunakan hanya mencapai maksimal bekerja sampai 12 jam.
Penurunan kadar gula reduksi setelah 12 jam dikarenakan enzim yang
digunakan dipengaruhi oleh waktu dan suhu. Semakin lama penggunaan
enzim selulase di proses hidrolisis, aktivitas dari enzim menurun seperti yang
ditunjukkan oleh penurunan kadar gula reduksi (Gambar 1 dan Gambar 2).
Kodri (2013) di Gautam et.al (2011) menyatakan bahwa aktivitas enzim
selulosa akan meningkat pada awal dan mulai menurun setelah hari
kedelapan. Selain itu, penurunan aktivitas enzim juga karena faktor suhu
sebagai akibat dari Trichoderma sp, mold jenis ini tidak tahan terhadap suhu
terlalu tinggi. Sejalan dengan studi sebelumnya, Gautam et.al (2011)
diperoleh aktivitas enzim tertinggi di kisaran suhu 40-50 C untuk produksi
enzim selulase dari Trichoderma sp.

Fig. 1. Reduksi Yield Gula Rata-Rata (mg/ml) vs Waktu Hydrolysis


(Jam) Pada Suhu 40C

Fig. 2. Reduksi Yield Gula Rata-Rata (mg/ml) vs Waktu Hydrolysis


(Jam) Pada Suhu 50C

Hasil

kadar

gula

reduksi

menunjukkan

tingkat

yang

berbeda

dibandingkan dengan suhu proses hidrolisis (Tabel 1). Jadi Enzim selulase
dipengaruhi oleh suhu yang digunakan selama proses hidrolisis.

Gula reduksi meningkat dari 0 jam sampai 12 jam tetapi menurun


setelah itu. Nilai tertinggi dari kadar gula reduksi adalah 8,045 mg/ml atau
0,865% dengan 36 AU suhu 50 C selama 12 jam hidrolisis (lihat Gambar 2
dan Tabel 1). Hal ini dikarenakan di awal proses hidrolisis, masih banyak
substrat dan gula yang tersedia untuk memungkinkan peningkatan kadar
glukosa pada waktu tertentu, tapi setelah itu akan mengalami penurunan.
Setelah proses hidrolisis telah mencapai tingkat tertinggi hasil glukosa akan

memperlihatkan trend yang konstan. Taherzadeh (2008) menyatakan bahwa


hidrolisis enzimatik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan hidrolisis
asam pada nilai rendemen gula tinggi dan tidak terdegradasi, juga dapat
berlangsung pada suhu rendah.
Faktor lain yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah faktor internal
dari bahan baku (rumput laut) itu sendiri, transportasi dan penyimpanan
rumput laut selama transportasi, adanya mikroba yang mengkonsumsi gula.
Selain dari bahan baku, juga dipengaruhi oleh enzim selulosa yang
digunakan selama penelitian yang sudah disimpan untuk sementara waktu
dan membuat kualitas enzim menurun. Gambar 2 akan terlihat dari waktu ke
waktu kinerja enzim menurun atau berhenti. Semakin lama interaksi antara
enzim dengan substrat maka semakin banyak glukosa yang terbentuk.
Namun konsentrasi glukosa hidrolisis juga akan menurun. Penurunan ini
disebabkan oleh akumulasi dari produk yang telah terbentuk sebelumnya
dan menghambat enzim selulosa. Inhibitor dari Enzyme cellulose adalah
glukosa dan cellobiose. Cellobiose menghambat enzim exogluconase dimana
glukosa menghambat enzim -glucosidase.
Hidrolisis dengan enzim selulosa 36 variasi AU dan suhu 50C
menghasilkan 8,045 mg/gula reduksi ml. Hasil ini lebih tinggi, seperti yang
disebutkan oleh Andhi (2010) bahwa kadar gula yang optimal diperlukan
untuk kegiatan S.cereviceae selama fermentasi adalah 17-18 g / ml. Jika
larutan gula melebihi tingkat, itu akan menyebabkan S.cereviceae tidak bisa
berkembang dengan baik dan jika kadar gula kurang dari 17-18 g / ml,
S.cereviceae akan masih hidup dan berkembang, meskipun jumlah etanol
yang dihasilkan akan lebih kecil karena gula yang diolah menjadi etanol juga
lebih sedikit.
Hasil uji t-test menunjukkan bahwa nilai t-test adalah 0,519, sehingga
lebih besar dari 0,05, jadi tidak ada perbedaan yang signifikan dari
penggunaan 19 AU dan 36 AU. Menurut Maiorella et al. (1981) di Ega et al.
(2013), 1,0 g glukosa secara teoritis akan menghasilkan 0,51 g etanol.
Namun pada kenyataannya, ethanol diperoleh hanya sekitar 90% dari hasil
teoritis. Etanol yang sebenarnya dihasilkan tidak sampai 90%, karena

glukosa juga sedang digunakan selama pertumbuhan S. cereviceae selama


proses fermentasi. Bahkan, kemungkinan etanol yang dihasilkan adalah 1 g
glukosa akan menghasilkan 0.357 g etanol atau 60-70% hasil. Dari uraian
tersebut dengan 25 kg bahan baku akan menghasilkan substrat dengan
kandungan gula dari 17,5 g dan etanol 6,25 g atau 70% dari produksi
teoritis. Volume 6,25 g etanol adalah 8.01 ml. Dengan demikian, hasilnya
hanya 2,4 liter etanol per tahun, dan kita dapat menyimpulkan bahwa bahan
ini tidak cocok sebagai media bioetanol fermentasi, dibandingkan dengan
Saputra et al. (2012) yang meneliti rumput laut Sargassum sebagai bahan
bioetanol dengan hidrolisis asam, glukosa yang diperoleh adalah 28.051 mg /
ml atau akan menghasilkan 0,0571 ml etanol. Jauh berbeda dengan hasil
etanol yang dihasilkan dari fermentasi substrat dalam penelitian ini.
V.

KESIMPULAN
Eucheuma cottonii dapat digunakan sebagai substrat bioetanol fermentasi
dalam bentuk gula reduksi dengan enzimatik hidrolisis menggunakan enzim
selulosa. Kondisi terbaik dari hidrolisis enzimatik enzim selulosa adalah 36
AU dengan suhu 50 C dan gula reduksi yang diperoleh adalah 8,045 mg /
ml atau 0,865%. Namun, berdasarkan t-test analisis statistik hasil kadar gula
reduksi tidak berbeda secara signifikan dengan hasil selulase enzim hidrolisis
pada suhu 50 C, 19 AU yang menghasilkan kadar gula reduksi pada 7,937
mg / ml atau 0,794%.

DAFTAR PUSTAKA
Fessenden, R.J and Fessenden, J.S. 1982. Kimia Organik (3rd ed.) Jakarta:
Erlangga.
Samsuri, M., Gozan, M., Prasetya, B., and Nasikin, M. 2008. Enzimatic
hydrolysis of lignocellulosic bagasse for bioethanol production. The 4th
Indonesian Biotechnology Conference. Bogor. Indonesia.
Sekar Puspawati, Wagiman, Makhmudun Ainuri, Darmawan Ari
Nugraha, Haslianti. The Production of Bioethanol Fermentation
Substrate from Eucheuma cottonii Seaweed through Hydrolysis
by

Cellulose

Procedia

Enzyme.

Agriculture

and

Agricultural

Science

3 ( 2015 ) 200 205

Yuan, Z., Xie, J., Sun, Y., Xu, Y. (2015). Consolidated bioprocess for bioethanol
production with alkali-pretreated sugarcane bagasse. Applied Energy.
157: 517522.
*) Tebal adalah artikel jurnal yang direview

Anda mungkin juga menyukai