Anda di halaman 1dari 25

Pneumonia

1.1 Definisi Pneumonia


Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract
(LRT)) akut, biasanya disebabkan oleh infeksi (Jeremy, 2007). Sebenarnya
pneumonia bukan penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan
diketahui ada sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma,
jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel. Penyakit ini dapat terjadi pada
semua umur, walaupun manifestasi klinik terparah muncul pada anak, orang tua
dan penderita penyakit kronis (Elin, 2008).
1.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Tabel 2.1 memuat daftar mikroorganisme dan
masalah patologis yang menyebabkan pneumonia (Jeremy, 2007).
Tabel 2.1 Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia
Infeksi Bakteri
Streptococcus
pneumoniae
Haemophillus influenza
Klebsiella pneumoniae
Pseudomonas aeruginosa
Gram-negatif (E. Coli)
Infeksi Virus
Influenza
Coxsackie
Adenovirus
Sinsitial respiratori
(Jeremy, 2007)

1.3 Patogenesis

Infeksi Atipikal
Mycoplasma pneumoniae

Infeksi Jamur
Aspergillus

Legionella pneumophillia Histoplasmosis


Coxiella burnetii
Candida
Chlamydia psittaci
Nocardia
Infeksi Protozoa
Pneumocytis carinii
Toksoplasmosis
Amebiasis

Penyebab Lain
Aspirasi
Pneumonia lipoid
Bronkiektasis
Fibrosis kistik

Dalam

keadaan

sehat,

pada

pru

tidak

akan

terjadi

pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan


paru. Terdapatnya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara
daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme
dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.
Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat memlalui
berbagai cara:
a. Inhalasi langsung dari udara
b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
d. Penyebaran secara hematogen (Supandi, 1992).
1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pneumonia
Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu:
a. Mekanisme pertahanan paru
Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang terhirup
seperti partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru.
Beberapa bentuk mekanisme ini antara lain bentuk anatomis saluran napas,
reflex batuk, sistem mukosilier, juga sistem fagositosis yang dilakukan oleh
sel-sel tertentu dengan memakan partikel-partikel yag mencapai permukaan
alveoli. Bila fungsi ini berjalan baik, maka bahan infeksi yang bersifat
infeksius dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, sehingga pada orang sehat
tidak akan terjadi infeksi serius.. Infeksi saluran napas berulang terjadi akibat
berbagai komponen sistem pertahanan paru yang tidak bekerja dengan baik.
2. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan

Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri yang bersifat komnesal. Bila
jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang
cukup, kuman ini kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan
akibat kegagalan mekanisme pembersihan saluran napas, keadaan ini
bermanifestasi sebagai penyakit. Mikroorganisme yang tidak menempel pada
permukaan mukosa saluran anaps akan ikut dengan sekresi saluran napas dan
terbawa bersama mekanisme pembersihan, sehingga tidak terjadi kolonisasi.
3. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius
Saluran napas bawah dan paru berulangkali dimasuki oleh berbagai
mikroorganisme dari saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit,
ini menunjukkan adanya suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien
sehingga

dapat

menyapu

bersih

mikroorganisme

sebelum

mereka

bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit. Pertahanan paru terhadap bahanbahan berbahaya dan infeksius berupa reflex batuk, penyempitan saluran
napas, juga dibantu oleh respon imunitas humoral (Supandi, 1992).
1.5 Epidemiologi
Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15-45% perlu di rawat
dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU. Insidensi paling tinggi pada
pasien yang sangat muda dan usia lanjut. Mortalitas: 5-12% pada pasien yang
dirawat di rumah sakit; 25-50% pada pasien ICU (Jeremy, 2007). Di United
States, insidensi untuk penyakit ini mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa.
Kematian untuk pasien rawat jalan kurang dari 1%, tetapi kematian pada pasien
yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical
Association, 2002). Di negara berkembang sekitar 10-20% pasien yang

memerlukan perawatan di rumah sakit dan angka kematian diantara pasien


tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa, 2011). Di Indonesia
sendiri, insidensi penyakit ini cukup tinggi sekitar 5-35% dengan kematian
mencapai 20-50% (Farmacia, 2006).
1.6 Klasifikasi Pneumonia
a. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired pneumonia,
CAP): pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di
luar lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah
dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit
selama > 14 hari (Jeremy, 2007).
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang
terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini
didapat selama penderita dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir 1%
dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama
dalam perawatannya. Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat di
ICU, lebih dari 60% akan menderita pneumonia (Supandi, 1992).
c. Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain
setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa
didapat pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan
gangguan refleks menelan (Jeremy, 2007).
d. Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya
steroid, kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan
mikobakteri, selain organisme bakteria lain (Jeremy, 2007).

e. Pneumonia rekuren: disebabkan organisme aerob dan aneorob yang terjadi pada
fibrosis kistik dan bronkietaksis (Jeremy, 2007).
1.7 Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia
antara lain usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik (misalnya ginjal,
dan paru), diabetes mellitus, imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV),
ketergantungan alkohol, aspirasi (misalnya epilepsi), penyakit virus yang baru
terjadi (misalnya influenza), malnutrisi, ventilasi mekanik, pascaoperasi,
lingkungan, pekerjaan, pendingin ruangan (Jeremy, 2007; Misnadirly, 2008).
1.8 Anamnesis
Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien pneumonia adalah sesak
napas, peningkatan suhu tubuh, dan batuk. Pada pasien dengan pneumonia,
keluhan batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum
obat batuk yang biasanya tersedia di pasaran. Pada awalnya keluhan batuk yang
tidak produktif, tapi selanjutnya akan berkembang menjadi batuk produktif
dengan mucus purulen kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, dan seringkali berbau
busuk. Pasien biasanya mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil.
Adanya keluhan nyeri dada, sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan,
lemas, dan kepala nyeri (Supandi, 1992; Jeremy, 2007; Alberta Medical
Assosiation, 2011).
1.9 Diagnosis
Tujuannya adalah untuk menegakkan diagnosis, mengidentifikasi komplikasi,
menilai keparahan, dan menentukan klasifikasi untuk membantu memilih
antibiotika (Jeremy, 2007). Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis,

sedangkan pemeriksaaan foto polos dada perlu dilakukan untuk menunjang


diagnosis, diamping untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat
(Supandi, 1992).
1.10 Gambaran Klinis
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian
atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu
tubuh kadang-kadang melebihi 40oC, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga
disertai batuk, dengan sputum purulen, kadang-kadang berdarah (Supandi, 1992).
Pada pasien muda atau tua dan pneumonia atipikal (misalnya Mycoplasma),
gambaran nonrespirasi (misalnya konfusi, ruam, diare) dapat menonjol (Jeremy,
2007).
1.11 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat peningkatan sel darah
putih (White blood Cells, WBC) biasanya didapatkan jumlah WBC 15.00040.000/mm3, jika disebabkan oleh virus atau mikoplasme jumlah WBC dapat
normal atau menurun (Supandi, 1992; Jeremy, 2007). Dalam keadaan leukopenia
laju endap darah (LED) biasanya meningkat hingga 100/mm3, dan protein reaktif
C mengkonfirmasi infeksi bakteri. Gas darah mengidentifikasi gagal napas
(Jeremy, 2007). Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak
diobati. Kadang-kadang didapatkan peningkatan kadar ureum darah, akan tetapi
kreatinin masih dalam batas normal (Supandi, 1992).
Gambaran radiologis pada pneumonia tidak dapat menunjukkan perbedaan
nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya
menunjukkan gambaran infiltrat intertisial dan hiperinflasi. Pneumonia yang

disebabkan oleh kuman Pseudomonas sering memperlihatkan adanya infiltrate


bilateral atau bronkopneumonia.
1.12 Penatalaksanaan
a. Terapi antibiotika awal: menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada
klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis
tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila ada hasil dan
sensitivitas antibiotika (Jeremy, 2007).
b. Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa
(SaO2 < 90%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas
hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan
napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi
mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi
membantu bersihan sputum (Jeremy, 2007).
2.2 Antibiotika
2.2.1 Definisi Antibiotika
Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman. Peresepan
antibiotika untuk pasien yang tidak membutuhkan dapat mengakibatkan resistensi
(Setiabudy, 2007).
2.2.2 Pilihan Antibiotika dan Posologi
Setelah dokter menetapkan perlu diberikannya antibiotika kepada pasien, cara
berikutnya adalah memilih antibiotika, serta menentukan dosis dan cara
pemberian. Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor

sensitivitas bakterinya terhadap antibiotika, keadaan tubuh hospes, dan faktor


biaya pengobatan (Setiabudy, 2007).
Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotika secara pasti perlu
dilakukan pembiakan kuman penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji kepekaan.
Bahan biologik dari hospes untuk pembiakan, diambil sebelum pemberian
antibiotika. Setelah pengambilan bahan tersebut, terutama dalam keadaan
penyakit infeksi yang berat, terapi dengan antibiotika dapat dimulai dengan
memilih antibiotika yang tepat berdasarkan gambaran klinik pasien. Dalam
praktek sehari-hari tidak mungkin melakukan pemeriksaan biakan pada setiap
terapi penyakit infeksi. Bila dapat diperkirakan kuman penyebab dan pola
kepekaannya, dapat dipilih antibiotika yang tepat. Bila dari hasil uji kepekaan
ternyata pilihan antibiotika semula tadi tepat serta gejala klinik jelas membaik
dapat dilanjutkan terus dengan menggunakan antibiotika tersebut. Dalam hal hasil
uji sensitivitas menunjukkan ada antibiotika yang lebih efektif, sedangkan dengan
antibiotika semula gejala klinik penyakit menunjukkan perbaikan-perbaikan yang
meyakinkan, antibiotika semula tersebut sebaiknya dilanjutkan. Tetapi bila hasil
perbaikan klinik kurang memuaskan, antibiotika yang diberikan semula dapat
diganti dengan yang lebih tepat, sesuai dengan hasil uji sensitivitas (Setiabudy,
2007).
Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus
didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi
yang paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih
antibiotika yang didasarkan pada luas spektrum kerjanya, tidak dibenarkan karena

hasil terapi tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika
berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan
antibiotika berspektrum luas (Setiabudy, 2007).
Tabel 2.2 Daftar nama kuman penyebab pneumonia dan terapi empiris antibiotika
yang digunakan
Antibiotika
Pilihan
Yang
Agen Penyebab
Tanggapan
Digunakan
Antibiotika
Lain
Legionella
Eritromisin
Klaritromisin
dengan
atau atau azitromisin,
tanpa
rifampin
rifampin,
siprofloksasin
doksisiklin
dengan
rifampin,
ofloksasin
Mycoplasma
Doksisiklin,
Klaritromisin
Selama
pneumoniae
eritromisin
atau azitromisin, 1-2 minggu
rifampin,
siprofloksasin
atau ofloksasin
Chlamydia
Doksisiklin,
Klaritromisin
Selama
pneumoniae
eritromisin
atau azitromisin, 1-2 minggu
Siprofloksasin
atau ofloksasin
Chlamydia
Doksisiklin
Eritromisin,
psittaci
kloramfenikol

Tabel 2.2 Sambungan

Agen Penyebab
S. pneumonia
Sensitif terhadap
penisilin
(MIC < 0,1 ug/ml)

Resistensi sedang
terhadap penisilin
(MIC 0,1-1 ug/ml)

Resistensi tinggi
terhadap Penisilin
(MIC > 1 ug/ml)

H. influenzae

S. aureus

Antibiotika
Yang
Digunakan

Pilihan

Antibiotika
Lain
Penisilin G atau Sefalosporin:
V
sefazolin,

Penisilin G:
2-3 juta unit/4
jam
seftriakson,
sefotaksim.
Agen oral:
makrolida,
sefuroksim,
sefodoksim
Vankomisin

Sefalosporin
generasi kedua
atau ketiga,
klaritromisin,
azitromisin,
trimetoprinsulfametoksazol
Nafsilin/oxasillin
dengan
atau
tanpa
rimfapisin atau
gentamisin

Tanggapan

Dosis untuk
penyakit berat:
Penisilin IV:
sefuroksim,
0,5 juta unit/4
jam
Sefuroksim:
sefotaksim,
750 mg/8 jam IV
Seftriakson:
seftizoksim,
2 g/hari IV
Sefotaksim:
seftriakson,
2 g/6 jam IV
Vankomisin:
sefalosporin oral 1 g/12 jam IV
Vankomisin
Tingkat resistensi
sedang:
0,1-1 ug/ml; 80%
biasanya sensitif
terhadap
sefalosporin

Imipenem

Tetrasiklin;
betalaktambetalaktamase,
fluorokuinolon,
kloramfenikol
Sefazolin atau
sefuroksim,
vankomisin,
klindamisin,
trimetoprinsulfametoksazol,

Resistensi tingkat
tinggi:
> 1 ug/ml;
20% perlu
vankomisin

Enterobakteriaceae
(E. coli,
Klebsiella,
Proteus,
Enterobacter)
(Barlett, 2001)

Sefalosporin
generasi kedua
atau ketiga
dengan/tanpa
aminoglikosida

fluorokuinolon
Aztreonam,
imipenem,
betalaktambetalaktamase

2.2.2.1 Golongan Betalaktam


Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan
sefalosporin.
A. Kelompok Penisilin
Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis
yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja. Penisillin
bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dnding sel. Efek
samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria, dan
kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi fatal (Elin, 2008).
1. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Gram-positif
(khususnya cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G tidak tahanasam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus intravena. Ikatan
dengan protein plasma lebih kurang 60%; plasma t nya sangat singkat, hanya
30 menit dan kadar darahnya cepat menurun. Eksresinya berlangsung sebagian
besar melalui transport aktif tubuler dari ginjal dan dalam keadaan utuh.
Aktivitas penisilin G masih dinyatakan dalam Unit Internasional (UI) (Tjay,
2007).
2. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam dan
memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi terhadap
kuman negatif (antara lain suku Nesseira dan bacilli H. influenzae) 5-10 kali

lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan oleh asam lambung. Ikatan
dengan protein plasma lebih kurang 80%, plasma t 30-60 menit. Sebagian
besar zat dirombak di dalam hati, dan rata-rata 30% dieksresikan lewat kemih
dalam keadaan utuh. Dosis oral 3-6 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau
2 jam sesudah makan (Tjay, 2007; Elin, 2008).
3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas spektrum
kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya peka bagi
penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang memproduksi
penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan amoksisilin). Ampisilin
efektif terhadap E. coli, H. influenzae, Salmonella, dan beberapa suku Proteus.
Resorpsinya dari usus 30-40% (dihambat oleh makanan), plasma t nya 1-2
jam. Ikatan dengan protein plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G
dan penisilin V. Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45% dalam
keadaan utuh aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan
dengan gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1
g (garam-K atau trihidrat) sebelum makan (Tjay, 2007; Elin, 2008).
4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin.
Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali lipat.
Ikatan dengan protein plasma dan t nya lebih kurang sama, namun difusinya
ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam klavulanat
efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek samping yang
umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit lebih jarang terjadi.
Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10 tahun 3 dd 10 mg/kg,
juga diberikan secara i.m/i.v (Istiantoro, 2007; Tjay, 2007; Elin, 2008).

5. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat (penghambat beta


laktamase). Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki antibakterial.
Tetapi dengan menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap
bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap amoksisilin (Tjay, 2007).
6. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang
disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap
beberapa kuman gram negatif, termasuk Proteus spp dan Bacteroides fragilis
(Tjay, 2007).
B. Kelompok Sefalosporin
Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal
dari Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur,
khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungankeuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup
enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi
tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Istiantoro,
2007; Elin, 2008).
Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua
golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena
diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan
parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena
menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga
misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar
tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan
meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta,

mencapai kadar tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada
pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif
tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi
terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke
urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieskresi melalui empedu. Oleh
karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (Elin,
2008).
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi
anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang
biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi
penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan
zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan
aminoglikosida. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida mempermudah
terjadinya nefrotoksisitas (Elin, 2008).
Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah:
1. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan
sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif
terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes, Str.
viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah
Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim,
sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini diindikasikan
untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang
terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan
jaringan lunak (Tjay, 2007; Elin, 2008).

2. Sefalosporin generasi kedua: Sefaklor, sefamandol, sefmetazol, sefuroksim.


Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang
aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap gram negatif,
misalnya H. Influenza, E. Coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif
terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan terhadap
penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan memiliki aktivitas
yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N. Gonorrheae (Tjay, 2007; Elin,
2008).
3. Sefalosporin generasi ketiga: sefoperazon, sefotaksim, seftriakson, sefiksim,
sefodoksim, sefprozil. Golongan ini umumnya kurang efektif terhadap kokus
gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif
terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase (Elin,
2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan
meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim (Tjay, 2007).
4. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat baru ini
sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap
pseudomonas (Tjay, 2007).
C. Antibiotika Laktam Lainnya
1. Imipenem: khasiat bakterisidnya berdasarkan perintangan sintesis dinding-sel
kuman. Spektrum kerjanya luas meliputi, banyak kuman gram-positif dan
negatif termasuk Pseudomonas, Enterococcus, dan Bacteroides, juga kuman
patogen anaerob. Tahan terhadap kebanyakan betalaktamase kuman, tetapi
berdaya menginduksi produksi enzim ini. Oleh ginjal dehidropeptidase-1
dirombak menjadi metabolit nefrotoksis, maka hanya digunakan terkombinasi

dengan suatu penghambat enzim yaitu silastatin. Dosis terkombinasi dengan


cilastatin i.v. sebagai infus 250-1.000mg setiap 5 jam (Tjay, 2007). Efek
samping sama dengan antibiotika betalaktam lainnya. Neurotoksisitas pernah
dilaporkan pada dosis sangat tinggi dan pada pasien gagal ginjal (Elin, 2008).
2. Meropenem sama dengan imipenem, tetapi lebih tahan terhadap enzim di ginjal
sehingga dapat diberikan tanpa silastin. Penetrasinya ke dalam semua jaringan
baik termasuk ke dalam cairan serebrospinal sehingga efektif terhadap
meningitis bakterial. Dosisnya untuk intravena atau infus 10-120 mg/kg dalam
3-4 dosis atau setiap 8-12 jam (Elin, 2008).
2.2.2.2 Golongan Makrolida
Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya
klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida
diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450
menjadi metabolit inaktif. Pengecualian adalah metabolit OH dari klaritromisin
dengan aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta
kemih, terutama dalam bentuk inaktif (Elin, 2008).
Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa
diare, nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada
eritromisin akibat penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis
tinggi dapat menimbulkan ketulian yang reversibel. Semua makrolida dapat
mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-nilai enzim
tertentu dalam serum (Iriantoro, 2007; Elin, 2008).
a.

Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan sama


dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pengganti

penisilin (Elin, 2008). Eritromisin bersifat bakteriostatis terhadap bakteri


gram-positif. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada
ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Absorpsinya tidak
teratur, agak sering menimbulkan efek samping saluran cerna, sedangkan
masa paruhnya singkat, maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin
merupakan pilihan pertama khususnya pada infeksi paru-paru dengan
Legionella

pneumophila

dan

Mycoplasna

pneumonia.

Eritromisin

menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada
saat perut kosong selama maksimal 7 hari (Tjay, 2007; Elin, 2008).
b. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki
sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara
lain resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula
daya tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t1/2 13
jam yang memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari.
Makanan memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat
perut kosong (Tjay, 2007).
2.2.2.3 Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida dihasilkan

oleh jenis-jenis

fungi Streptomyces

dan

Micromonospora. Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk


menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses
translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan.
Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah streptomisin, gentamisin, amikasin,
kanamisin, neomisin, dan paramomisin (Tjay, 2007).

a.

Amikasin: merupakan turunan kanamisin. Obat ini tahan terhadap 8 dari 9


enzim yang merusak aminoglikosida, sedangkan gentamisin dapat dirusak
oleh 5 dari enzim tersebut. Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram
negatif yang resisten terhadap gentamisin. Guna menghindari resisten, jangan
digunakan lebih dari 10 hari (Tjay, 2007).

b. Gentamisin: spektrum antibakterinya luas, tapi tida efektif terhadap kuman


anaerob, kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan pada
infeksi berat yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi
dengan penisilin dan/atau metronidazol (Elin, 2008). Dosis harian 5 mg/kg
dalam dosis terbagi tiap 8 jam (bila fungsi ginjal normal). Sebaiknya
pemberian jangan melebihi 7 hari. Dosis lebih tinggi kadang-kadang
diperlukan pada neonatus dan defisiensi imunologis (Tjay, 2007; Elin, 2008).
2.2.2.4 Golongan Fluorokuinolon
a. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman grampositif dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia
trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan
H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis
polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan
bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50% , t
nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% zat ini dirombak menjadi glukuronida
inaktif. Eksresinya melaui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih
kurang 10% secara utuh. Efek samping umum berupa gangguan lambung-usus,
neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang sangat

berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam bentuk
anemia (Tjay, 2007; Elin, 2008).
b. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh Streptpmyces
orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan
anaerob termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya
kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting
sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah jika antibiotika yang
lain tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk
penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih
baik pada enteris. Vankomisin mempunyai t nya 5-11 jam. Eksresinya
berlangsung 80% melalui kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi
ginjal, terutama pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer,
reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida
meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah i.v.
(infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%) setiap 12 jam
dengan jangka waktu minimal 2 jam (Elin, 2008).
c. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman
yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir
lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti
tetrasiklin, namun tidak boleh dikombinasi dengan logam berat (besi,
aluminium, dana bismuth). Doksisiklin mempunyai t yang panjang (14-17
jam), sekali sehari 100 mg setelah dimulai, dengan loading dose 200 mg.
Efek samping dapat mengakibatkan borok kerongkongan bila ditelan dalam
keadaan berbaring atau dengan terlampau sedikit air( Tjay, 2007; Elin, 2008).

2.2.3 Sebab-Sebab Kegagalan Terapi


Kepekaan kuman terhadap antibiotika tertentu tidak dapat menjamin
efektivitas klinis. Faktor berikut dapat menjadi penyebab kegagalan terapi:
a. Dosis kurang
Dosis suatu antibiotika seringkali bergantung dari tempat infeksi, walaupun
kuman penyebanya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G yang diperlukan
untuk mengobati meningitis oleh Pneumococcus jauh lebih tinggi daripada
dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi saluran napas bawah yang
disebabkan oleh kuman yang sama.
b. Masa terapi yang kurang
Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk setiap jenis infeksi perlu
diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah
ditinggalkan. Pada umunya para ahli cenderung melakukan individualisasi
masa terapi, yang sesuai dengan tercapai respon klinik yang memuaskan.
Namun untuk penyakit tertentu seperti tuberkulosis paru tetap dipertahankan
masa terapi yang cukup walaupun perbaikan klinis cepat terlihat.
c. Kesalahan dalam menetapkan etiologi
Demam tidak selalu disebabkan oleh kuman, virus, jamur, parasit, reaksi obat,
dan lain-lain dapat meningkatkan suhu badan. Pemberian antibiotika yang
lazim diberikan dalam keadaan ini tidak bermanfaat.
d. Pilihan antibotika yang kurang tepat
Suatu daftar antibiotika yang dinyatakan efektif dalam uji sensitivitas tidak
dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap antibiotika akan memberikan
aktivitas klinik yang sama. Disini dokter harus dapat mengenali dan memilih

antibiotika yang secara klinis merupakan obat terpilih untuk suatu kuman
tertentu. Sebagai contoh obat terpilih untuk infeksi S. faecalis adalah ampisilin,
walaupun secara in vitro kuman tersebut juga dinyatakan sensitif terhadap
sefamandol atau gentamisin.
e. Faktor pasien
Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme pertahanan tubuh
(selular dan humoral) merupakan faktor penting yang menyebabkan gagalnya
terapi antibotika. Sebagai contoh obat imunosupresan, AIDS (Setiabudy,
2007).
2.4. Drug Related Problems ( DRP )
Drug related problems adalah sebuah kejadian atau problem yang melibatkan
terapi obat penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. Drug Related
Problems (DRP) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari
pengalaman pasien atau diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu
keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki (Cipolle, 1998).
DRP dapat diatasi atau dicegah ketika penyebab dari masalah tersebut
dipahami dengan jelas. Dengan demikian perlu untuk mengidentifikasi dan
mengkategorikan DRP dan penyebabnya. Jenis-jenis DRP dan penyebabnya
menurut standar disajikan sebagai berikut:
A. Indikasi tanpa obat
1. Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru.
2. Pasien yang kronik membutuhkan lanjutan terapi obat.
3. Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan kombinasi
farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau potensiasi.

4. Pasien dengan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru dapat dicegah


dengan penggunaan terapi prophylactic drug atau premedication.
B. Terapi Obat yang Tidak Perlu
1. Pasien yang mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi.
2. Pasien yang keracunan karena obat atau hasil pengobatan.
3. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol dan rokok.
4. Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik diobati dengan non drug
therapy.
5. Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug
therapy dapat digunakan.
6. Pasien dengan terapi obat dengan penyembuhan dapat menghindari reaksi
yang merugikan dengan pengobatan lainnya.
C. Salah Obat
1. Pasien dimana obatnya tidak efektif.
2. Pasien alergi.
3. Pasien penerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan.
4. Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi penggunaan obat.
5. Pasien menerima obat efektif tetapi least costly.
6. Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman.
7. Pasien yang terkena infeksi resisten terhadap obat yang digunakan.
D. Dosis Terlalu Rendah
1. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.
2. Pasien menerima kombinasi produk yang tidak perlu dimana single drugs
dapat memberikan pengobatan yang tepat.

3. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menimbulkan respon.


4. Konsentrasi obat dalam serum pasien di bawah range terapeutik yang
diharapkan.
5. Obat prophylaxis (presugikal) antibiotik diberikan terlalu cepat.
6. Dosis dan flexibility tidak cukup untuk pasien.
7. Terapi obat berubah sebelum terapeutik percobaan cukup untuk pasien.
8. Pemberian obat terlalu cepat.
9. Pasien alergi
E. Reaksi Obat yang Merugikan
1. Pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila obat digunakan.
2. Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau
makanan pasien.
3. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien.
4. Efek dari obat diubah enzyme inhibitor atau induktor dari obat lain.
5. Efek dari obat diubah dengan pemindahan obat dari binding cite oleh obat
lain.
6. Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan obat lain.
F. Dosis Terlalu Tinggi
1. Dosis terlalu tinggi
2. Konsentrasi obat dalam serum pasien diatas therapeutic range obat yang
diharapkan.
3. Dosis obat meningkat terlalu cepat.
4. Obat, dosis rute, perubahan formulasi yang tidak tepat.
5. Dosis dan interval flexibility tidak tepat

G. Kepatuhan
1. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan obat,
pemberian, pemakaian).
2. Pasien tidak menuruti (ketaatan) rekomendasi yang diberikan untuk
pengobatan.
3. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.
4. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang
mengerti.
5. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan secara konsisten
karena merasa sudah sehat (Cipolle, 2008)

DAFTAR PUSTAKA

1. www.klikpdpi.com

Anda mungkin juga menyukai