1.3 Patogenesis
Infeksi Atipikal
Mycoplasma pneumoniae
Infeksi Jamur
Aspergillus
Penyebab Lain
Aspirasi
Pneumonia lipoid
Bronkiektasis
Fibrosis kistik
Dalam
keadaan
sehat,
pada
pru
tidak
akan
terjadi
pertumbuhan
Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri yang bersifat komnesal. Bila
jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang
cukup, kuman ini kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan
akibat kegagalan mekanisme pembersihan saluran napas, keadaan ini
bermanifestasi sebagai penyakit. Mikroorganisme yang tidak menempel pada
permukaan mukosa saluran anaps akan ikut dengan sekresi saluran napas dan
terbawa bersama mekanisme pembersihan, sehingga tidak terjadi kolonisasi.
3. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius
Saluran napas bawah dan paru berulangkali dimasuki oleh berbagai
mikroorganisme dari saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit,
ini menunjukkan adanya suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien
sehingga
dapat
menyapu
bersih
mikroorganisme
sebelum
mereka
bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit. Pertahanan paru terhadap bahanbahan berbahaya dan infeksius berupa reflex batuk, penyempitan saluran
napas, juga dibantu oleh respon imunitas humoral (Supandi, 1992).
1.5 Epidemiologi
Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15-45% perlu di rawat
dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU. Insidensi paling tinggi pada
pasien yang sangat muda dan usia lanjut. Mortalitas: 5-12% pada pasien yang
dirawat di rumah sakit; 25-50% pada pasien ICU (Jeremy, 2007). Di United
States, insidensi untuk penyakit ini mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa.
Kematian untuk pasien rawat jalan kurang dari 1%, tetapi kematian pada pasien
yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical
Association, 2002). Di negara berkembang sekitar 10-20% pasien yang
e. Pneumonia rekuren: disebabkan organisme aerob dan aneorob yang terjadi pada
fibrosis kistik dan bronkietaksis (Jeremy, 2007).
1.7 Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia
antara lain usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik (misalnya ginjal,
dan paru), diabetes mellitus, imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV),
ketergantungan alkohol, aspirasi (misalnya epilepsi), penyakit virus yang baru
terjadi (misalnya influenza), malnutrisi, ventilasi mekanik, pascaoperasi,
lingkungan, pekerjaan, pendingin ruangan (Jeremy, 2007; Misnadirly, 2008).
1.8 Anamnesis
Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien pneumonia adalah sesak
napas, peningkatan suhu tubuh, dan batuk. Pada pasien dengan pneumonia,
keluhan batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum
obat batuk yang biasanya tersedia di pasaran. Pada awalnya keluhan batuk yang
tidak produktif, tapi selanjutnya akan berkembang menjadi batuk produktif
dengan mucus purulen kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, dan seringkali berbau
busuk. Pasien biasanya mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil.
Adanya keluhan nyeri dada, sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan,
lemas, dan kepala nyeri (Supandi, 1992; Jeremy, 2007; Alberta Medical
Assosiation, 2011).
1.9 Diagnosis
Tujuannya adalah untuk menegakkan diagnosis, mengidentifikasi komplikasi,
menilai keparahan, dan menentukan klasifikasi untuk membantu memilih
antibiotika (Jeremy, 2007). Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis,
hasil terapi tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika
berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan
antibiotika berspektrum luas (Setiabudy, 2007).
Tabel 2.2 Daftar nama kuman penyebab pneumonia dan terapi empiris antibiotika
yang digunakan
Antibiotika
Pilihan
Yang
Agen Penyebab
Tanggapan
Digunakan
Antibiotika
Lain
Legionella
Eritromisin
Klaritromisin
dengan
atau atau azitromisin,
tanpa
rifampin
rifampin,
siprofloksasin
doksisiklin
dengan
rifampin,
ofloksasin
Mycoplasma
Doksisiklin,
Klaritromisin
Selama
pneumoniae
eritromisin
atau azitromisin, 1-2 minggu
rifampin,
siprofloksasin
atau ofloksasin
Chlamydia
Doksisiklin,
Klaritromisin
Selama
pneumoniae
eritromisin
atau azitromisin, 1-2 minggu
Siprofloksasin
atau ofloksasin
Chlamydia
Doksisiklin
Eritromisin,
psittaci
kloramfenikol
Agen Penyebab
S. pneumonia
Sensitif terhadap
penisilin
(MIC < 0,1 ug/ml)
Resistensi sedang
terhadap penisilin
(MIC 0,1-1 ug/ml)
Resistensi tinggi
terhadap Penisilin
(MIC > 1 ug/ml)
H. influenzae
S. aureus
Antibiotika
Yang
Digunakan
Pilihan
Antibiotika
Lain
Penisilin G atau Sefalosporin:
V
sefazolin,
Penisilin G:
2-3 juta unit/4
jam
seftriakson,
sefotaksim.
Agen oral:
makrolida,
sefuroksim,
sefodoksim
Vankomisin
Sefalosporin
generasi kedua
atau ketiga,
klaritromisin,
azitromisin,
trimetoprinsulfametoksazol
Nafsilin/oxasillin
dengan
atau
tanpa
rimfapisin atau
gentamisin
Tanggapan
Dosis untuk
penyakit berat:
Penisilin IV:
sefuroksim,
0,5 juta unit/4
jam
Sefuroksim:
sefotaksim,
750 mg/8 jam IV
Seftriakson:
seftizoksim,
2 g/hari IV
Sefotaksim:
seftriakson,
2 g/6 jam IV
Vankomisin:
sefalosporin oral 1 g/12 jam IV
Vankomisin
Tingkat resistensi
sedang:
0,1-1 ug/ml; 80%
biasanya sensitif
terhadap
sefalosporin
Imipenem
Tetrasiklin;
betalaktambetalaktamase,
fluorokuinolon,
kloramfenikol
Sefazolin atau
sefuroksim,
vankomisin,
klindamisin,
trimetoprinsulfametoksazol,
Resistensi tingkat
tinggi:
> 1 ug/ml;
20% perlu
vankomisin
Enterobakteriaceae
(E. coli,
Klebsiella,
Proteus,
Enterobacter)
(Barlett, 2001)
Sefalosporin
generasi kedua
atau ketiga
dengan/tanpa
aminoglikosida
fluorokuinolon
Aztreonam,
imipenem,
betalaktambetalaktamase
lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan oleh asam lambung. Ikatan
dengan protein plasma lebih kurang 80%, plasma t 30-60 menit. Sebagian
besar zat dirombak di dalam hati, dan rata-rata 30% dieksresikan lewat kemih
dalam keadaan utuh. Dosis oral 3-6 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau
2 jam sesudah makan (Tjay, 2007; Elin, 2008).
3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas spektrum
kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya peka bagi
penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang memproduksi
penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan amoksisilin). Ampisilin
efektif terhadap E. coli, H. influenzae, Salmonella, dan beberapa suku Proteus.
Resorpsinya dari usus 30-40% (dihambat oleh makanan), plasma t nya 1-2
jam. Ikatan dengan protein plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G
dan penisilin V. Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45% dalam
keadaan utuh aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan
dengan gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1
g (garam-K atau trihidrat) sebelum makan (Tjay, 2007; Elin, 2008).
4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin.
Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali lipat.
Ikatan dengan protein plasma dan t nya lebih kurang sama, namun difusinya
ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam klavulanat
efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek samping yang
umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit lebih jarang terjadi.
Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10 tahun 3 dd 10 mg/kg,
juga diberikan secara i.m/i.v (Istiantoro, 2007; Tjay, 2007; Elin, 2008).
mencapai kadar tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada
pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif
tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi
terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke
urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieskresi melalui empedu. Oleh
karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (Elin,
2008).
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi
anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang
biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi
penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan
zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan
aminoglikosida. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida mempermudah
terjadinya nefrotoksisitas (Elin, 2008).
Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah:
1. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan
sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif
terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes, Str.
viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah
Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim,
sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini diindikasikan
untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang
terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan
jaringan lunak (Tjay, 2007; Elin, 2008).
pneumophila
dan
Mycoplasna
pneumonia.
Eritromisin
menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada
saat perut kosong selama maksimal 7 hari (Tjay, 2007; Elin, 2008).
b. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki
sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara
lain resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula
daya tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t1/2 13
jam yang memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari.
Makanan memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat
perut kosong (Tjay, 2007).
2.2.2.3 Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida dihasilkan
oleh jenis-jenis
fungi Streptomyces
dan
a.
berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam bentuk
anemia (Tjay, 2007; Elin, 2008).
b. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh Streptpmyces
orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan
anaerob termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya
kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting
sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah jika antibiotika yang
lain tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk
penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih
baik pada enteris. Vankomisin mempunyai t nya 5-11 jam. Eksresinya
berlangsung 80% melalui kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi
ginjal, terutama pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer,
reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida
meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah i.v.
(infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%) setiap 12 jam
dengan jangka waktu minimal 2 jam (Elin, 2008).
c. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman
yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir
lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti
tetrasiklin, namun tidak boleh dikombinasi dengan logam berat (besi,
aluminium, dana bismuth). Doksisiklin mempunyai t yang panjang (14-17
jam), sekali sehari 100 mg setelah dimulai, dengan loading dose 200 mg.
Efek samping dapat mengakibatkan borok kerongkongan bila ditelan dalam
keadaan berbaring atau dengan terlampau sedikit air( Tjay, 2007; Elin, 2008).
antibiotika yang secara klinis merupakan obat terpilih untuk suatu kuman
tertentu. Sebagai contoh obat terpilih untuk infeksi S. faecalis adalah ampisilin,
walaupun secara in vitro kuman tersebut juga dinyatakan sensitif terhadap
sefamandol atau gentamisin.
e. Faktor pasien
Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme pertahanan tubuh
(selular dan humoral) merupakan faktor penting yang menyebabkan gagalnya
terapi antibotika. Sebagai contoh obat imunosupresan, AIDS (Setiabudy,
2007).
2.4. Drug Related Problems ( DRP )
Drug related problems adalah sebuah kejadian atau problem yang melibatkan
terapi obat penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. Drug Related
Problems (DRP) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari
pengalaman pasien atau diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu
keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki (Cipolle, 1998).
DRP dapat diatasi atau dicegah ketika penyebab dari masalah tersebut
dipahami dengan jelas. Dengan demikian perlu untuk mengidentifikasi dan
mengkategorikan DRP dan penyebabnya. Jenis-jenis DRP dan penyebabnya
menurut standar disajikan sebagai berikut:
A. Indikasi tanpa obat
1. Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru.
2. Pasien yang kronik membutuhkan lanjutan terapi obat.
3. Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan kombinasi
farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau potensiasi.
G. Kepatuhan
1. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan obat,
pemberian, pemakaian).
2. Pasien tidak menuruti (ketaatan) rekomendasi yang diberikan untuk
pengobatan.
3. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.
4. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang
mengerti.
5. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan secara konsisten
karena merasa sudah sehat (Cipolle, 2008)
DAFTAR PUSTAKA
1. www.klikpdpi.com