Anda di halaman 1dari 7

Toleransi dalam Islam

Des 25, 2013Muhammad Abduh Tuasikal, MScAqidah4

Prinsip toleransi yang ditawarkan Islam dan ditawarkan sebagian kaum muslimin sungguh
sangat jauh berbeda. Sebagian orang yang disebut ulama mengajak umat untuk turut serta dan
berucap selamat pada perayaan non muslim. Namun Islam tidaklah mengajarkan demikian.
Prinsip toleransi yang diajarkan Islam adalah membiarkan umat lain untuk beribadah dan
berhari raya tanpa mengusik mereka. Senyatanya, prinsip toleransi yang diyakini sebagian
orang berasal dari kafir Quraisy di mana mereka pernah berkata pada Nabi kita Muhammad,
Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim)
juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita.
Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan
agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih
baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya. (Tafsir Al Qurthubi, 14:
425).
Prinsipnya sama dengan kaum muslimin saat ini di saat non muslim mengucapkan selamat
Idul Fitri, mereka pun balik membalas mengucapkan selamat natal. Itulah tanda akidah yang
rapuh.
Toleransi dalam Islam vs JIL

Siapa bilang Islam tidak mengajarkan toleransi? Justru Islam menjunjung tinggi toleransi.
Namun toleransi apa dulu yang dimaksud. Toleransi yang dimaksud adalah bila kita memiliki
tetangga atau teman Nashrani, maka biarkan ia merayakan hari besar mereka tanpa perlu kita
mengusiknya. Namun tinggalkan segala kegiatan agamanya, karena menurut syariat islam,
segala praktek ibadah mereka adalah menyimpang dari ajaran Islam alias bentuk kekufuran.
Satu kesalahan besar bila kita turut serta merayakan atau meramaikan perayaan mereka,
termasuk juga mengucapkan selamat. Sebagaimana salah besar bila teman kita masuk toilet
lantas kita turut serta masuk ke toilet bersamanya. Kalau ia masuk toilet, maka biarkan ia
tunaikan hajatnya tersebut. Apa ada yang mau temani temannya juga untuk lepaskan
kotorannya? Itulah ibarat mudah mengapa seorang muslim tidak perlu mengucapkan selamat
natal. Yang kita lakukan adalah dengan toleransi yaitu kita biarkan saja non muslim
merayakannnya tanpa mengusik mereka. Jadi jangan tertipu dengan ajaran toleransi ala
orang-orang JIL (Jaringan Islam Liberal) yang sok intelek yang tak tahu arti toleransi
dalam Islam yang sebenarnya.
Toleransi dalam Islam

Allah Taala berfirman,


(8)

(9)
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.
Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim. (QS. Al Mumtahanah: 8-9)
Ayat ini mengajarkan prinsip toleransi, yaitu hendaklah setiap muslim berbuat baik pada
lainnya selama tidak ada sangkut pautnya dengan hal agama.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non
muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang
lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang
berbuat adil. (Tafsir Al Quran Al Azhim, 7: 247). Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah
mengatakan bahwa bentuk berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap agama. Lihat
Tafsir Ath Thobari, 14: 81.
Sedangkan ayat selanjutnya yaitu ayat kesembilan adalah berisi larangan untuk loyal pada
non muslim yang jelas adalah musuh Islam. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim, 7: 248.
Bentuk Toleransi atau Berbuat Baik dalam Islam

Bagaimana toleransi atau bentuk berbuat baik yang diajarkan oleh Islam?
1- Islam mengajarkan menolong siapa pun, baik orang miskin maupun orang yang sakit.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,



Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala. (HR. Bukhari
no. 2363 dan Muslim no. 2244). Lihatlah Islam masih mengajarkan peduli sesama.
2- Tetap menjalin hubungan kerabat pada orang tua atau saudara non muslim.

Allah Taala berfirman,



Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak
ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik. (QS. Luqman: 15). Dipaksa syirik, namun tetap kita disuruh
berbuat baik pada orang tua.
Lihat contohnya pada Asma binti Abi Bakr radhiyallahu anhuma, ia berkata, Ibuku pernah
mendatangiku di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan membenci Islam.
Aku pun bertanya pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk tetap jalin hubungan baik
dengannya. Beliau menjawab, Iya, boleh. Ibnu Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu
turunlah ayat,

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu . (QS. Al Mumtahanah: 8) (HR. Bukhari no. 5978).
3- Boleh memberi hadiah pada non muslim.

Lebih-lebih lagi untuk membuat mereka tertarik pada Islam, atau ingin mendakwahi mereka,
atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, beliau berkata,
.

.
. .

Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jumat dan
ketika ada tamu yang mendatangimu. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun berkata,
Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian
sedikit pun di akhirat. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam didatangkan
beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada Umar. Umar pun berkata,
Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa
mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat? Nabi shallallahu alaihi
wa sallam menjawab, Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa
mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.
Kemudian Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya di Makkah sebelum
saudaranya tersebut masuk Islam. (HR. Bukhari no. 2619). Lihatlah sahabat mulia Umar bin
Khottob masih berbuat baik dengan memberi pakaian pada saudaranya yang non muslim.
Prinsip Lakum Diinukum Wa Liya Diin

Islam mengajarkan kita toleransi dengan membiarkan ibadah dan perayaan non muslim,
bukan turut memeriahkan atau mengucapkan selamat. Karena Islam mengajarkan prinsip,

Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Al Kafirun: 6).
Prinsip di atas disebutkan pula dalam ayat lain,

Katakanlah: Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. (QS. Al Isra:
84)

Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa
yang kamu kerjakan. (QS. Yunus: 41)

Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu. (QS. Al Qashshash: 55)
Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai lakum diinukum wa liya diin, Bagi kalian
agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih
dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas agama tersebut.
Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya. Karena
sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama selain itu. (Tafsir
Ath Thobari, 14: 425).
Toleransi yang Ditawarkan oleh Non Muslim

Bertoleransi yang ada saat ini sebenarnya ditawarkan dari non muslim. Mereka sengaja
memberi selamat kepada kita saat lebaran atau Idul Fitri, biar kita nantinya juga
mengucapkan selamat kepada mereka. Prinsip seperti ini ditawarkan oleh kafir Quraisy pada
Nabi shallallahu alaihi wa sallam di masa silam. Ketika Al Walid bin Mughirah, Al Ash bin
Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu alaihi
wa sallam, mereka menawarkan pada beliau,

.

Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim)
juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita.
Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan

agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih
baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya. (Tafsir Al Qurthubi, 14:
425)
Itulah prinsip toleransi yang digelontorkan oleh kafir Quraisy di masa silam, hingga Allah
pun menurunkan ayat,
. . . . .

Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), Hai orang-orang yang kafir, aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan
untukkulah agamaku. (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Jangan heran, jika non muslim sengaja beri ucapan selamat pada perayaan Idul Fitri yang kita
rayakan. Itu semua bertujuan supaya kita bisa membalas ucapan selamat di perayaan Natal
mereka. Inilah prinsip yang ditawarkan oleh kafir Quraisy di masa silam pada nabi kita
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Namun bagaimanakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyikapi toleransi seperti itu?
Tentu seperti prinsip yang diajarkan dalam ayat, lakum diinukum wa liya diin, bagi kalian
agama kalian, bagi kami agama kami. Sudahlah biarkan mereka beribadah dan berhari raya,
tanpa kita turut serta dalam perayaan mereka. Tanpa ada kata ucap selamat, hadiri undangan
atau melakukan bentuk tolong menolong lainnya.
Jangan Turut Campur dalam Perayaan Non Muslim

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non
muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitabkitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Umar bin Al
Khottob radhiyallahu anhu, ia berkata,

Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka.
Karena saat itu sedang turun murka Allah.
Umar berkata,

Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka. Demikian apa yang disebutkan oleh
Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.

Juga sifat ibadurrahman, yaitu hamba Allah yang beriman juga tidak menghadiri acara yang
di dalamnya mengandung maksiat. Perayaan natal bukanlah maksiat biasa, karena perayaan
tersebut berarti merayakan kelahiran Isa yang dianggap sebagai anak Tuhan. Sedangkan kita
diperintahkan Allah Taala berfirman menjauhi acara maksiat lebih-lebih acara kekufuran,

Dan orang-orang yang tidak memberikan menghadiri az zuur, dan apabila mereka bertemu
dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka
lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al Furqon: 72). Yang dimaksud
menghadiri acara az zuur adalah acara yang mengandung maksiat. Jadi, jika sampai ada kyai
atau keturunan kyai yang menghadiri misa natal, itu suatu musibah dan bencana.
Wallahu waliyyut taufiq.

Selesai disusun di pagi hari penuh berkah di Pesantren Darush Sholihin, Panggang,
Gunungkidul, 22 Safar 1435 H
Oleh akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal
Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom

http://rumaysho.com/aqidah/toleransi-dalam-islam-5673

Dalam kamus besar bahasa Indonesia toleransi berarti bersifat atau bersikap menghargai,
membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan kepercayaan) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri. (Pengertian Toleransi menurut Etimologi dan
Terminologi)
Sesesungguhnya toleransimerupakan salah satu diantara sekian ajaran inti dari Islam.
Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih sayang (rahmah)
kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (al-Maslahah al-ammah), dan keadilan .
Toleransi merupakan salah satu kebajikan fundamental demokrasi, namun ia memiliki
kekuatan ambivalen yang termanivestasi dalam dua bentuk: bentuk solid dan bentuk
demokratis. Menjadi toleran adalah membiarkan atau membolehkan orang lain menjadi diri
mereka sendiri, menghargai orang lain, dengan menghargai asal-usul dan latar belakang
mereka. Toleransi mengundang dialog untuk mengkomunikasikan adanya saling pengakuan.
Hakikat toleransi pada intinya adalah usaha kebaikan, khususnya pada kemajemukan agama
yang memiliki tujuan luhur yaitu tercapainya kerukunan, baik intern agama maupun antar
agama.
Mengakui eksistensi suatu agama bukanlah berarti mengakui kebenaran ajaran agama
tersebut. Kaisar Heraklius dari Bizantium dan al-Mukaukis penguasa Kristen Koptik dari
Mesir mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw, namun pengakuan itu tidak lantas
menjadikan mereka muslim.
Seorang ahli tafsir klasik terkemuka mengatakan, Din atau agama hanyalah satu, sementara
syariat berbeda-beda. al-Syahrastani teolog Islam dan ahli terkemuka dalam perbandingan
agama dalam Husein Muhammad menyampaikan pendapatnya, bahwa agama adalah ketaatan
(al-Jaza), dan penghitungan pada hari akhir. Menurutnya, al-Mutadayyin (orang yang
beragama) adalah orang Islam yang taat, yang mengakui adanya balasan dan perhitungan
amal pada hari akhirat.
Referensi Makalah
Kepustakaan:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta:
Balai Pustaka, 2005). Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural (Jakarta: Erlangga 2005).

Anda mungkin juga menyukai