TUJUAN
a. Untuk mengetahui cara penegakan diagnosis bronkopneumonia
b. Untuk mengetahui penanganan bronkopneumonia secara tepat.
c. Untuk melatih kemampuan dokter muda dalam menganalisa suatu kasus
dari anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan follow up
harian.
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama
: An. R
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 13 bulan
Alamat
Anak ke
: 3 dari 3 bersaudara
MRS
: 13 Januari 2009
ANAMNESA
Alloanamnesa (oleh ibu kandung pasien), pada 13 Januari 2009
Keluhan Utama : sesak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sesak sejak seminggu yang lalu terutama pada malam hari parah pada
kemarin malam (1 hari sebelum MRS) hingga tidak bisa tidur, sebelumnya anak
mengalami batuk pilek selama 10 hari. Batuk berdahak, riwayat demam (+).
Riwayat berkeringat malam (-), riwayat kontak dengan penderita TB (-). Riwayat
mencret (-), muntah (-). Riwayat sesak kambuh bila cuaca dingin malam atau
subuh, dengan riwayat 1x/bulan, bila kambuh sesak bisa berlangsung selama 5-7
hari.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat batuk 3 bulan yang lalu, batuk berlendir. Berobat ke dr. Sp.A
dijelaskan ada flek pada paru Sejak 3 bulan lalu bila batuk, nafas kadang
berbunyi.
Bila cuaca dingin atau malam pasien tampak sesak, kadang bila anak tampak
sesak sekali, ibu pasien memberikan salbutamol tablet 4 mg , dan
deksametason tablet, sesak berkurang.
Alergi terhadap debu, bila berada di lingkungan tersebut pasien sering bersin.
Riwayat Keluarga :
Ibu pasien menderita asma, dan kakak kandung pasien juga menderita asma.
Tidak ada riwayat penyakit lain dalam riwayat penyakit keluarga.
Anak I
Anak II
Anak III
Aterm, prematur
Persalinan
Usia/tgl lahir
Aterm
Aterm
Aterm
Spontan/bedah
Spontan
Spontan
Spontan
09 -02- 2000
24-030-2003
03-12-2007
Keadaan
sehat/sakit/meninggal
Sehat
Sehat
: 2500 gr
: 48 cm
: 9 kg
: 75 cm
Gigi keluar
: 6 bulan
Tersenyum
: 3 bulan
Miring
: 4 bulan
Tengkurap
: 6 bulan
Duduk
: 7 bulan
Merangkak
: 8 bulan
Berdiri
: 9 bulan
Berjalan
: 1 tahun
: 1 tahun 2 bulan
: 0 bulan 6bulan
Susu SGM 2
: 6 bulan
Buah
Bubur susu
: 4 bulan
Tim saring
: 7 bulan
Pemeliharaan Prenatal
: 1x/bulan
Periksa di
: Puskesmas
Riwayat Kelahiran :
Lahir di
: 9 bulan
Jenis partus
Pemeliharaan postnatal
: Puskesmas
Keadaan anak
: Sehat
Keluarga berencana
:Ya
Memakai sistem
: Suntik
: Percaya
IMUNISASI
Imunisasi
II
III
IV
BCG
////////
/////////
//////////
Polio
Campak
////////////
//////////
DPT
//////////
Hepatitis B
//////////
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 14 Januari 2009, pukul 14.00 WITA
Berat badan
: 9 kg
Panjang Badan
: 75 cm
Tanda Vital
Nadi
: 138 kali/menit
Suhu badan
: 37.8oC
Frekuensi nafas
: 54 kali/menit
Tekanan darah
: 90/70 mmHg
Kesadaran
Kepala
Rambut merah
: (-)
Ubun-ubun cekung
: (-)
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
Kaku kuduk
: (-)
Dada
8
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: hipersonor
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
: Flat
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
Genitalia
Ekstremitas
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin
10.2
Leukosit
8.100
Hematokrit
39.9%
Trombosit
339.000
MCV
79.3
MCH
26.3
MCHC
33.1
10
Vital sign
Kepala
Thorak
Abdomen
:-
Ekstremitas
: akral hangat
Diagnosis
: susp. Bronkopneumonia
PENATALAKSANAAN :
IGD : ivfd KN1B 10 tetes/menit
Ampicillin 3 x 200 mg injeksi
Gentamisin 2 x 20 mg
Actifed exp 3 x cth
Pamol 3 x cth (bila perlu)
11
12
Tinjauan Pustaka
2.1 Pneumonia
13
hamper seperlima kematian anak di seluruh dunia.4 Sekitar 2 juta anak balita
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar di Afrika dan Asia
Tenggara. Menurut survey Kesehatan Nasional (SKN) 2001, 27.6% kematian bayi
dan 22.8% kematian balita disebabkan oleh penyakit respiratorik terutama
pneumonia. Faktor yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pada anak
balita di Negara berkembang adalah pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat
badan lahir rendah, tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat,
malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri pathogen
di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industry atau
asap rokok).4,6
2.1.3. Etiologi
14
15
3 minggu 3 bulan
4 bulan 5 tahun
5 tahun remaja
Bakteri
Chlamydia trachomatis
Streptococcus pneumonia
Virus
Respiratory synctitial virus
Virus influenza
Parainfluenza 1,2, 3
Virus adeno
Bakteri
Streptococcus pneumonia
Chlamydia pneumonia
Virus
Respiratory synctitial virus
Virus influenza
Virus parainfluenza
Rhinovirus
Adenovirus
Virus measles
Bakteri
Chlamydia pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Streptococcus pneumonia
Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonia
Ureoplasma urealyticum
Virus
CMV virus
Virus herpes simpleks
Bakteri
Bordetella pertusis
Haemophyllus influenza type B
Non typical
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Ureaplasma urelyticum
Virus: varicella zoster
Bakteri
Haemophyllus influenza type B
Moraxella catarrhalis
Neisseria meningitides
Staphylococcus aureus
Virus: varicella zoster
Bakteri
Haemophyllus influenza tipe B
Legonella sp
Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Ebstein barr virus
Virus influenza
Virus para influenza
Rhinovirus
Respiratory synctitial virus
Virus varizella zoster
dan barier mekanik, juga pertahanan tubuh local maupun sistemik. Barier anatomi
dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi
dengan reflex epiglottis, ekspulsi benda asing melalui reflex batuk. Pembersihan
ke arah kranial oleh mukosilier. System pertahanan tubuh yang terlibat baik
sekresi lokal immunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel laukosit,
komplemen, sitokin, immunoglobulin, alveolar makrofag dan cell mediated
immunity. 4,5
Setelah mikroorganisme terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiretorik, mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman
terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi sebukan sel PMN, fibrin, eritrosit,
cairan edema dan ditemukannya kuman di alveoli. Area edema ini akan membesar
secara sentrifugal.4,5,6 Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya
deposit fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan
terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi
kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mnegalami
degenerasi. Fibrin akan menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini
disebut stadium resolusi. System bronkopulmoner jaringan paru yang tidak
terkena akan tetap normal.4
Pada pneumonia terjadi gangguan pada kompnen volume dari ventilasi
akibat kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat
gangguan volume ini tubuh akan berusaha mengkompensasi dengan cara
meningkatkan tidak tercapai volume tidal dan frekuensi nafas sehingga secara
17
klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda inspiratory effort. Akiba
tpenurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi (V/Q < 4/5) yang
disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha meningkatkannya
sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Sesak itu dengan
berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan
mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang
berakibat terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bis a terjadi gagal nafas.4
2.1.5. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab,
usia, pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis
bisa berat yaitu sesak, sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti
pada neonates. Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan sebagai berikut: 7,8
1. Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare,
kembung,
sakit
perut,
kadang-kadang
ditemukan
gejala
infeksi
ekstrapulmoner
2. Gejala gangguan respiratori: batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea,
nafas cuping hidung, merintih dan sianosis. Pada neonates bias tanpa
batuk. Wheezing mungkin akan ditemui pada anak-anak dengan
pneumonia viral atau mikoplasma, seperti yang ditemukan pada anak-anak
dengan asma atau bronkiolitis.
18
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,
suara nafas melemah, dan ronkhi basah halus (khas untuk pasien yang lebih
besar). Akan tetapi pada neonates dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia
lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru
umumnya tidak ditemukan kelainan
Tabel 2. Rentang pernafasan normal menurut kalsifikasi umur
Umur
0-2 bulan
2-12 bulan
1-5 tahun
>5tahun
Takipnea
>60
>50
>40
>20
Secara klinis pada anak sulit membedakan antara pneumonia bakteri dan
virus. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakteri
awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis dan
perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. Namun keadaan ini sulit dijumpai
pada seluruh kasus.4
Perinatal pneumonia terjadi segera setelah kolonisasi kuman dari jalan
lahir atau ascending dari infeksi intrauterine. Kuman penyebab terutama GBS
(Streptococcus Group B) selain kuman-kuman gram negatif. Gejalanya berupa
respiratory distress yaitu merintih, nafas cuping hidung, retraksi dan sianosis.
Sepsis akan terjadi dalam hitungan jam, hampir semua bayi mengarah sepsis
dalam 48 jam pertama kehidupan. Pada bayi prematur, gambaran infeksi oleh
karena GBS menyerupai gambaran RDS (Respiratory Distress syndrome).4
19
20
daerah
perifer paru,
disertai
peningkatan corakan
peribronkhial.
2.1.7. Diagnosis
Diagnosis pneumonia pada anak didiagnosis berdasarkan gambaran klinis
yang menunjukkan keterlibatan system respiratori, serta gambaran radiologis,
karena diagnosis berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi dan serologi tidak selalu
21
Pneumonia
Bila ada nafas cepat > 60 x/menit atau sesak nafas
Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
Tidak ada nafas cepat atausesak nafas
Tidak perlu dirawat cukup diberikan pengobatan simptomatik
2.1.8 Diagnosis Banding Pneumonia
1. Bronkiolitis
2. Eksaserbasi bronkiektasis
3. Payah jantung
4. Aspirasi benda asing
5. Abses paru
2.1.9 Tatalaksana4
1. Tidak semua penderita pneumonia di rawat, adapun indikasi rawat inap adalah
sebagai berikut:
22
dipuasakan, tetapi bila sesak berkurang asupan oral dapat segera diberikan.
Pemberian asupan oral diberikan bertahap
nassogastrik) drip susu atau makanan cair. Untuk mencegah edema paru
dan SIADH (Syndrome Of Inappropriate Anti Diuretic Hormone )
pemberian cairan direstriksi 2/3 dari kebutuhan rumatan.
3. Jika sekresi lender berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
untuk memperbaiki transport mukosilier atau ekspektoran
4. Koreksi elektrolit atau metabolic yang terjadi misalnya hipoglikemia,
asidosis metabolic.
5. Mengatasi penyakit penyerta seperti kejang, diare dan lainnya serta
komplikasi bila ada.
3. Terapi antibiotik: 4
1. Pada penyakit ringan, mungkin virus tidak perlu antibiotic
2. Pada penderita yang dirawat inap (pneumonia berat) harus segera diberi
antibiotic
23
3
bulan-5
tahun
Streptococcus pneumonia
Hemophilus pneumonia
Stafilococcus
Streptococcus pneumonia
Antibiotic
Kombinasi:
prokain
Gentamycin
penisilin
Dosis
50.000-100.000/kg/hr i.m
5-7 mg/kg/hr/im/iv 2-3 x/hr
50 mg/kg/hr im/iv, 4 x/hr
5-7 mg/kg
Kombinasi:
Kloksasilin
Gentamisin
Kombinasi : Penisilin
Prokain
50.000-100.000iu/kg/hr, im ,
1-2x/hr
Kloramfenikol
Kombinasi
Ampicillin
Kloksasilin
Kombinasi :
Eritromisin :
Kloramfenikol
Penisilin prokain
Fenoksimetil penisilin
Eritromisin
Kotrimoksazol
Mikoplasma
5.
6.
7.
8.
Meningitis
Atelektasis
Bronkiektasis
Arthritis
2.1.11 Pencegahan4
Pemberian imunisasi memberikan arti penting dalam pencegahan pneumonia
a. Vaksin Hib mencegah infeksi Haemophilus influenza B
b. Vaksin Pneumococcal heptavalent mencegah infeksi tujuh serotype
Streptococcus pneumonia
2.2. Asma bronchial
2.2.1. Definisi Asma
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas
dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.11 Pada
orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak
nafas, rasa dada terekan, dan batuk khususnya malam atau dini hari. Gejala ini
biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversible baik secara spontan
maupun
dengan
pengobatan.
Inflamasi
ini
juga
berhubungan
dengan
25
timbul secara episodic, cenderung pada malam /dini hari (nokturnal, musiman,
setelah aktivitas fisik, dan bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada saluran nafas. Inflamasi
kronik ini disebabkan oleh hiperresponsivitas saluran nafas terhadap berbagai
rangsangan dengan gejala eksaserbasi yang berulang dan penyempitan saluran
nafas. .
2.2.2.Klasifikasi derajat asma anak
Secara umum asma dibagi 2 yakni asma alergi dan nonalergi dengan gambaran
patologi yang ditemukan tidak berbeda walaupun berbeda penyebabnya. 12 Secara
arbitreri KNAA membagi asma anak menjadi 3 derajat.
Tabel 4. Klasifikasi Asma Berdasarkan Derajat11
Asma episodic
jarang
Asma episodic
sering
Asma persisten
1
2
Parameter klinis,
kebutuhan obat, dan faal
paru
Frekuensi serangan
Lama serangan
3-4 x/tahun
Sebentar atau
beberapa hari
1x/bulan
Beberapa hari s/d 1
minggu
3
4
Intensitas serangan
Diantara serangan
Biasanya ringan
Tanpa gejala
Biasanya sedang
Sering ada gejala
5
6
Tidak terganggu
Normal (tidak
ditemukan
kelainan)
Tidak perlu
Sering terganggu
Mungkin terganggu
(ditemukan
kelainan)
Perlu, nonsteroid
atau steroid inhalasi
dosis 100-200
PEF/FEV1 60-80%
Sering 1x/bulan
Hamper
sepanjang tahun
atau tidak ada
remisi.
Biasanya berat
Gejala siang dan
malam
Sangat terganggu
Tidak pernah
normal
PEF/FEV1 >
80%
Perlu, steroid
inhalasi dosis
400 g/hr
PEF/FEV1 <60%
variabilitas 20-
26
Variabilitas
20%
variabilitas30%
30%
Variabilitas 50%
2.2.2. Epidemiologi
Diperkirakan asma diderita oleh 100-150 juta jiwa di seluruh dunia.
Permasalahan ini tidak hanya timbul di Negara maju tetapi juga dinegara
berkembang. Di amerika setiap tahun sekitar 1.5-2 juta kunjungan ke unit gawat
darurat dan kasus asma akut mencapai 2.5-10% angka kunjungan di pusat
kesehatan perkotaan.12
Asma pada anak masih merupakan masalah kesehatan karena memerlukan
biaya yang tinggi, ketidakhadiran di sekolah dan kunjungan ke rumah sakit yang
masih tinggi. Kekerapan anak menderita asma di Inggris sekitar 20-33%. 13
Infeksi virus pada saluran nafas merupakan penyebab utama terjadinya
mengi pada anak dan dewasa yang menderita asma yaitu sekitar 10-85 % pada
anak dan 10-45% pada dewasa. Virus yang menyebabkan infeksi pada saluran
nafas adalah Respiratory Syncitial virus, rhinovirus, parainfluenza, adenovirus,
influenza, corona virus.13
2.2.3. Patofisiologi Asma
Perubahan akibat inflamasi pada pendrita asma merupakan dasar kelainan
faal.
Kelainan
patologi
yang
terjadi
adalah
obstruksi
saluran
nafas,
27
keterbatasan aliran udara yang ireversibel, eksaserbasi, asma malam dan anlisis
gas darah.12
1. Obstruksi saluran nafas
Bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat membaik spontan atau
dengan pengobatan. Penyempitan saluran nafas ini menyebabkan gejala batuk,
rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai stimuli.
Penyebabnya multifactor, yang utama adalah kontraksi otot polos bronkus yang
diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi.12
2. Hiperresponsifitas saluran nafas
Mekanisme pasti hiperresposifitas saluran nafas belum diketahui jelas,
diduga karena perubahan sifat otot polos saluran nafas sekunder terhadap
perubahan fenotip kontraktilitas. Inflamasi dinding salurannafas terutama di
daerah peribronkial dapat menambah penyempitan saluran nafas selama kontraksi
otot polos. Hiperesponsifitas saluran nafas dapat diukur dengan uji provokasi
bronkus.12
3. Kontraksi otot polos bronkus
Pada penderita asma terjadi peningkatan pemendekan otot polos bronkus
saat kontraksi isotonic. Perubahan fungsi kontraksi mungkin disebabkan oelh
perubahan apparatus kontraksi.12
4. Hipersekresi bronkus
28
29
padamalam/ dini hari (nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik serta adanya
riwayat asma dan atau atopi pada pasien dan keluarganya. 11
Untuk anak yang sudah besar (> 6 tahun) pemeriksaan faal paru bila
fasilitas ada perlu dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow
meter atau yang lebih lengkap dengan spirometer. 11
Uji profokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan exercise,
udara kering dan dingin atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui tiga cara
yaitu didapatkannya:11
1. Hiperreaktivitas bronkus, yaitu penurunan 20 % pada PFR atau FEV1
setelah provokasi bronkus.
2. Reversibilitas, kenaikan 20 % pada PFR atau FEV1 setelah pemberian
inhalasi bronkodilator
3. Variabilitas, yaitu perubahan PFR atau FEV1 20% antara pagi dan sore
Penilaian variabilitas yang baik bila PFR pagi dan sore dapat dilakukan
pengamatan yang berlangsung 2 minggu. Bila tidak ada alat pemeriksaan faal
paru maka lembar catatan harian dapat digunakan sebagai alternative karena
mempunyai korelasi yang baik dengan faal paru. Jika untuk pemeriksaan PFR saja
juga tidak mungkin dilakukan maka respon klinik terhadap bronkodilator/
kortikosteroid yang diberikan selama 1 minggu sudah memadai.11
Jika gejala dan tanda asmanya jelas dan respon terhadap pemberian obat
asma baik maka tidak harus selalu dilakukan pemeriksaan diagnostic lebih lanjut.
Bila respon terhadap obat asma tidak baik jangan tergesa-gesa menggugurkan
30
diagnosis asma tetapi perlu dinilai terlebih dahulu apakah dosisnya sudah adekuat,
cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua
aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar perlu dipikirkan
kemungkinan bukan asma. 7,11
Pasien dengan batuk produktif, infkesi saluran nafas berulang, gejala
respiratorik sejak masa neonates, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau
kelainan fokal paru, perlu pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu
dilakukan adalah diperiksa foto rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji profokasi.
Selain itu mungkin juga perlu diperiksa foto rontgen sinus paranasalis, uji
keringat, uji imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier,
bahkan sampai bronkoskopi. 11
Di Indonesia, tuberculosis masihmerupakan penyakit kronik yang banyak
dijumpai dan saah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu
uji tuberculin perlu dilakukan baik pada kelompok yang patut dicurgai asma
maupun yang bukan. Dengan cara itu maka penyakit tuberculosis yang mungkin
bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan mendapat terapi tuberkulosisnya.
Ika pasien kemudian mmeperoleh steroid untuk asmanya, tidak akan
memperburuk tuberkulosisnya karena sudah dilindungi dengan obat. 11
31
32
Berdasarkan alur di atas, setiap anak yang menunjukkan gejala batuk dan atau
mengi maka diagnosis akhirnya dapat berupa:
1. Asma
2. Asma dengan penyakit lain
3. Bukan asma
2.2.5. Pem#eriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah uji fungsi paru yang
menunjukkan variabilitas >20% dan reversibilitas >20 pada asma. Selain
pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eosinofil total dapat membantu
penegakan diagnosis asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan
uji provokasi dengan histamine atau metakolin. Bila uji provokasi positif, maka
diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan. 7,11
2.2.6.Tatalaksana
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalahuntuk menjamin
tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensinya.
Secara lebih khusus tujuan yang ingin di capai adalah : 11
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak, termasuk bermain
dan berolahraga
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan
33
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin
timbul, terutama yang memepengaruhi tumbuh kembang anak
Apabila tujuan ini belum tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah
perlu tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan
atau bila tujuan telah tercapai dan stabil 1-3 bulan apakah sudah perlu dilakukan
penurunan pelan-pelan (step down). 11
1. Tatalaksana Medikamentosa
Berdasarkan kegunaannya, secara garis besar obat asma dikenal terdiri dari
dua jenis yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat
pereda ada yang menyebutnya obat pelega atau obat serangan. Obat kelompok ini
digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila
serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat tidak ini tidak
digunakan lagi atau diberikan hanya bila perlu. Kelompok obat kedua adalah obat
pengendali, yang disebut jga obat pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan
untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan
demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada
gejalanya kemudian pemberiaannya diturunkan pelan-pelan yaitu 25% setiap
penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 1 - 2 bulan.
Asma episodik jarang
Asma episodic jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa
bonkodilator beta agonis hirupan kerja pendek (SABA) jika ada gejala atau
serangan. Anjuran ini tidak mudah dilakukan berhubunga obat tersebut mahal dan
34
tidak selalu tersedia di semua daerah. Di samping itu pemakaian obat hirupan
(mdi) memerlukan perhatian yang benar (untuk anak besar) dan membutuhkan
alat bantu (untuk anak keci/bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya.
Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat menggunakan maka SABA
diberikan per oral. Sebenarnya kecenderungan saat ini teofilin makin kurang
perannya dalam tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun
mengingat di Indonesia obat beta agonis oral tidak selalu ada dan teofilin sangat
dikenal maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan
timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan beta agonis oral tunggal
dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi, dan
hal ini dapat dikurangi dengan menguarangi dosisnya serta dikombinasikan
dengan teofilin yang juga dikurangi dosisnya.
Asma episodik sering
Jika penggunaan obat pereda sudah lebih dari 3 x per minggu (tanpa
menghitung penggunaan preaktivitas fisik) atau serangan sedang/berat terjadi
lebih dari sekali dalam sebulan maka penggunaan anti inflamasi sebagai
pengendali sudah terindikasi. Berarti derajat asmanya sudah termasuk episodic
sering atau pasien sejak semula menunjukkan gejala dan tanda-tanda yang sesuai
dengan criteria episodic sering. Antiinflamasi lepas pertama yang digunakan
adalah kromoglikat. Dengan dosis minimum 10 mg 2-4 kali perhari. Obat ini
diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah
terkendali, pemberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari.
35
Sampai sekarang obat ini tetap apling aman untuk pengendalian asma anak, dan
efek sampingnya ringan, yaitu sesekali menyebabbkan batuk. Nedokromil
merupakan obat satu golongan dengan kromoglikat namun lebih poten dan tidak
menyebabakan batuk. Di luar negeri obat ini sudah diijinkan pemakaiannya untuk
anak > 2 tahun. Namun untuk Indonesia saat ini ijin yang ada untuk anak > 12
tahun.
Bila disodium kromoglikat tidak mampu mencegah atau tidak ada
preparatnya maka pada asma episodic sering dapat diberikan obat pencegahan
berupa steroid hirupan dosis rendah 100-200g/hari.
Di samping itu efektivitas DSCG untuk mengatasi penurunan faal paru
atau mencegah airway remodeling masih menjadi pertentangan. Sedangkan obat
golongan leukotriene receptor antagonis belum ada bukti apabila dipakai jangka
panjang dapat mencegah airway remodeling. Maka pada asma episodic sering
diberikan obat pencegahan berupa steroid hirupan dosis rendah.
Asma persisten
Jika setelah 6-8 minggu pemberian steroid hirupan dosis rendah gagal dan
obat serangan tetap diperlukan 3x/minggu maka berarti asmanya termasuk asma
persisten. Sebagai obat pengendali atau pencegahan pilihan berikutnya adalah
obat steroid hirupan dosis 200-400g/hr yang masih termasuk dosis rendah.
Steroid hirupan biasanya efektif dengan dosis rendah yaitu 100-400g.
dalam penggunaan budesonis dengan dosis 200g/hari, belum pernah dilaporkan
adanya efek samping jangka panjang. Dosis yang masih dianggap aman adalah
36
setara dengan dosis sampai dengan 400g budesonis selama sehari. Di atas
400g/hari dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan
dosis 800 g/hr agaknya mulai berpengaruh terhadap poros hipotalamus-hipofisisadrenal sehingga dapat berdampak pada pertumbuhan. Efek sistemik steroid
hiurpan dapat dikurangi dengan penggunaan alat spacer yang akan mengurangi
absorbs sistemik danmeningkatkan deposisi obat di paru.
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang
optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 1-2 bulan, maka dosis steroid
dapat dikurangi bertahap sehingga mencapai dosis terkecil yang masih bias
mengendalikan asmanya. Sementara itu obat pelega atau obat serangan tetap
diberikan bila perlu saja.
Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum
terkendali dan masih menggunakan SABA3x/hr berarti pasien di anggap
menderita asma persisten yang lebih berat. Penggunaan beta agonis kerja pendek,
hirupan > 3x/hr secara teratur dan terus menerus diduga mempunyai peranan
dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas asma diduga karena adanya down
regulation dari reseptor 2 agonis. Oleh karena itu obat dan cara penggunaannya
secara terus menerus lebih dari pada 3 kali perminggu dalam waktu lama harus
dihindari. Tetapi jika pemberiannya disertai dengan steroid hirupan dosis sedang
400-600g/hr maka proses down regulation dari 2 agonis dapat lebih dihindari
dan bahkan untuk memudahkan pemberian dan meningkatkan ketaatan makan
obat SABA digantikan dengan LABA. Dan selain itu pemberian LABA dan ICS
400 g/hr terbukti lebih baik daripada peningkatan ICS dua kali lipat.
37
38
39
Serotype
cc
Asma
Rhinovirus
Corona virus
Influenza
Parainfluenza
RSV
Adenovirus
1-100+
229,EOC43
A,B,C
1,2,3,4 +
A,B
1-43
+++
++
+
+
+
+
+++
++
+
+/+
+
Cc
: common cold
+/-
Pneumoni
Bronchitis
Bronkio
a
+/-
litis
+
++
++
+
++
+
+
+
+
+++
+
: jarang
diketahui
++
: sering
+++
: penyebab utama
Intosh melaporkan 32 anak usia 1-5 tahun yang menderita asma, dari 139 episode
serangan asma ditemukan 58 episode (42%) disebabkan oleh RSV. Respiratory
synctitial virus terdiri atas 2 subtipe yaitu tipe A dan B, namun tidak ada
perbedaan antara keduanya dalam hal peningkatan insidens mengi atau
bronkiolitis. Kira-kira 60-70% gejala mengi akan menghilang sejalan dengan
bertambahnya usia dan hanya 30% yang akan berkembang menjadi asma,
biasanya pada anak yang sebelumnya sudah mempunyai factor atopi. 13
40
Atopi dapat dijumpai pada anak yang terinfeksi campak atau tidak
terinfeksi tuberculosis. Shaheen tahun 1994 melaporkan sepertiga dari jumlah
anak yang menderita campak di Guinea Bissau Afrika Barat mempunyai
sensitisasi terhadap allergen lebih besar dibandingkan dengan anak yang
mendapat vaksin campak. 13
2.3.1
Sebagian besar anak terinfeksi RSV pada usia kurang dari 2 tahun dan dapat
menyebabkan mengi karena :
1. Terjadi respon imun yang menyebabkan inflamasi pada individu tertentu
2. Anatomi saluran nafas diameternya lebih kecil sehingga hasil reaksi
inflamasi akan menyumbat
3. Biasanya terjadi penurunan system imun yang akan meningkatkan
sensitisasi allergen dan tidak aktifnya respon anti virus sehingga infeksi
semakin berat.
Virus masuk ke saluran nafas melalui mukosilier dan bereplikasi dalam 24
jam pertama. Masuknya virus ke epitel saluran nafas menyebabkan respon imun
non spesifik dini, setelah masuk ke sel epitel virus akan merangsang system
proteolisis kappa B dan mengaktifkan nuclear factor kappa B (NF kappa B) yang
selanjutnya akan mengeluarkan sitokin proinflamasi
seperti granulocyte
41
imun seluler sel T akan teraktivasi oleh virus yang dihasilkan IFN, GM-CSF, IL4, IL-5 dan IL-10 yang akan meregulasi sel efektor dan eosinofil sehingga terjadi
inflamasi seperti tampak pada gambar 1.13
42
atopi dan serum IgE yang tinggi, hal yang sama dilaporkan juga oleh Shirakawa
(1994).13
Respom imun seluler melibatkan makrofag, limfosit, sel mast, eosinofil, neutrofil,
natural killer cell (NK)
1. Makrofag
Makrofag dapat ditemukan di mukosa, submukosa saluran nafas dan
alveoli. Makrofag di alveoli (makrofag alveolar) merupakan sel terbanyak yang
ditemukan pada pemeriksaan kurasan bronkoalveolar yaitu kira-kira 90%. Fungsi
makrofag memfagosit virus melalui TNF dan INF . Selain itu fungsinya
mempresentasikan antigen kepada sel T yang selanjutnya akan mengeluarkan
sitokin dan mediator seperti INF , RANTES, GM-CSF dan IL5
2. Limfosit
Pada infeksi virus jumlah limfosit bertambah di jaringan paru dan
sebaliknya menurun di pembuluh darah perifer karena terjadi migrasi.
Peningkatan jumlah limfosit berbanding lurus dengan derajat reaktivitas infeksi
virus. Respon antigen akan mengaktivasi Th2 atau Th2. Percobaan dengan
binatang yang terinfeksi RSV didapatkan aktivasi Th1 atau Th2 tergantung pada
jenis protein virus. Pada penderita asma yang terinfeksi rhinovirus 16 didapatkan
sitokin Th1 dan Th2 yang seimbang banyaknya dalam sputum. Sitokin Th1 adalah
INF dan sitokin Th2 adalah IL-5 yang selanjutnya akan mempengaruhi produksi
dan pematangan eosinofil.
43
3. Sel mast
Sel mast banyak ditemukan pada saluran nafas terutama di epitel bronkus,
lumen saluran nafas dan membrane basalis. Jumlah sel mast akan meningkat
setelah infeksi virus. Sel mast akan mengeluarkan mediator inflamasi leukotrien
(LT)C4. Selama infeksi RSV terjadi peningkatan jumlah LTC4 yang berbanding
lurus dengan beratnya gejala penyakit. Pada anak yang menderita bronkiolotis
jumlah sel mast meningkat 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan anak yang
menderita gejala penyakit saluran nafas atas. Leukotrien C4 merupakan salah satu
mediator yang menyebabkan bronkokontriksi pada asma.
4. Eosinofil
Infiltrasi eosinofil di saluran nafas merupakan gambaran khas pada
penderita asma alergi. Pada biopsy epitel bronkus didapatkan jumlah eosinofil
yang meningkat pada orang normal dan penderita asma yang terinfeksi rhinovirus.
Eosinofil akan meningkat lebih dari 6 minggu pada penderita asma. Eosinofil
berkumpul di saluran nafas di bawah pengaruh IL-5, GM-CSF, IL-8 dan
RANTES.
Granulocyte
Macrophage
Colony
Stimulating
Factor
(GMCSF)
44
6. NK cell
Natural killer cell merupakan sel yang penting dalam respon imun,
fungsinya mengeliminasi sel target termasuk sel yang terinfeksi virus. Natural
killer cell dibentuk saat permulaan infeksi virus namun perannya pada saluran
nafas penderita asma belum jelas.13
45
Produksi mediator
Induksi inflamasi
Disregulasi Ig E
Remodeling saluran nafas
Respon saraf
46
alergi atau asma, terpajan allergen, dan factor resiko utama infeksi virus terutama
rhinovirusdan terpajan asap rokok (tabel 7) .
Tabel 7. Hubungan Mengi Bayi dan Asma13
Factor
predisposisi
Factor
utama
resiko
Mengi bayi
Premature
Fungsi paru rendah
Ibu perokok
Infeksi virus
Asma
Factor genetic: ibu asma, ibu
atopi
Dermatitis atopi
Alergi makanan
Terpajan aeroallergen
Pembahasan
47
16,7,8,9
Dari
Pada pasien
Batuk berdahak , dahak kental berwarna keputihan
+
+
Teori asma
Riwayat sesak episodic
Nocturnal
Pasca aktivitas fisik
Riwayat atopi pasien
Pada pasien
(+)(mereda
bila
diberi
salbutamol
dan
deksametason
(+)Muncul bila malam hari, atau udara dingin
+
Terdapat riwayat alergi terhadap jenis udang laut,
bila terkena debu dan asap pasien bersin-bersin
yang sering
(+) Ibu dan kakak kandung pasien menderita asma
48
Pada pasien
+
+
54 x/menit
Tanda asma
Takipnea
Tanda dispneu : Retraksi intercosta
Retraksisuopraklavikula,
Perkusi hipersonor
Auskultasi : ronkhi, wheezing,
+
+
+
pemanjangan ekspirasi
49
1,5
pneumokokus.
Bronkopneumonia
disebabkan
oleh
infeksi
1,10
virus biasanya didapatkan infiltrate difus didaerah perihiler. Pada pasien ini tidak
dilakukan pemeriksaan rontgen oleh karena orang tua menyampaikan foto rontgen
yang sebelumnya ( 3 bulan yang lalu). Untuk kepastian penyebab dapat dilakukan
dengan identifikasi kuman penyebab: kultur sputum atau bilasan cairan lambung,
50
kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus, deteksi
antigen bakteri, tetapi pada pasien tidak dilakukan. 1,2,3,4
Untuk menegakkan diagnosis asma bronkhiale, pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan adalah pengukuran fungsi paru dengan peak flow
meter/spirometri, pemeriksaan hitung jenis neutrofil, dan tes alergi kulit.
Berdasarkan teori pada penderita asma terjadi hiperesponsivitas saluran nafas
dengan respon imunologi berupa pelepasan mediator seprti histamine,
prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast
sedangkan eosinofil akan melepaskan platelet activating factor (PAF), major basic
protein (MBP) dan eosinophyl chemotactic factor (ECF) serta sel inflamasi seperti
sel mast, makrofag, eosinofil, neutrofil, limfosit T, basofil, sel dendrite, sel
structural.12 Sedangkan infeksi virus pada penderita asma akan menimbulkan
respon imun seluler dengan peningkatan makrofag, limfosit, sel mast, eosinofil,
neutrofil, sel NK.12 Timbulnya eksaserbasi asma pada penderita yang mempunyai
predisposisi timbulnya asma dengan kasus infeksi saluran nafas dapat dijelaskan
karena infeksi mikroba pada sel epitel saluran nafas akan mengaktivasi sel mast
serta mencetuskan peningkatan produksi sitokin seperti IFN , IL-1, IL-2, IL-4,
IL-6 dan TNF yang berperan dalam eksaserbasi asma. 13
Pada pasien ini karena usia 13 bulan sulit untuk dilakukan pemeriksaan
spirometri/peak flow meter. Berdasarkan literature, pemeriksaan faal paru dengan
alat tersebut hanya dapat dilakukan pada anak yang sudah besar (> 6 tahun). Dari
literature juga disebutkan jika gejala dan tanda asmanya
51
terhadap pemberian obat asma baik tidak harus dilakukan pemeriksaan diagnostic
lebih lanjut. Untuk klasifikasi asma yang diderita pasien 4
Asma episodic
Asma persisten
jarang
faal paru
Frekuensi serangan
Lama serangan
3-4 x/tahun
Sebentar atau
1x/bulan
Beberapa hari s/d 1
Sering 1x/bulan
Hamper sepanjang
beberapa hari
minggu
Intensitas serangan
Diantara serangan
Biasanya ringan
Tanpa gejala
Biasanya sedang
Sering ada gejala
remisi.
Biasanya berat
Gejala siang dan
Tidak terganggu
Normal (tidak
Sering terganggu
Mungkin terganggu
malam
Sangat terganggu
Tidak pernah normal
luar serangan
Obat pengendali
ditemukan kelainan)
Tidak perlu
(ditemukan kelainan)
Perlu, nonsteroid atau
(anti inflamasi)
Uji faal paru (di luar
100-200
PEF/FEV1 60-80%
PEF/FEV1 <60%
serangan
Variabilitas faal
Variabilitas 20%
variabilitas30%
variabilitas 20-30%
Variabilitas 50%
Pada pasien didapatkan sejak 3 bulan yang lalu frekuensi asma kadang
terjadi 1x dalam 1 bulan terutama bila subuh atau malam hari, apabila terjadi
kambuhan biasa berlangung selama 5 hari-7 hari, dan tidur malam menjadi
52
53
3
bulan
-5
tahun
Dugaan
kuman
penyebab
Streptococcus
pneumonia
Stafilococcus
Enterobactericeae
Streptococcus
pneumonia
Hemophilus
pneumonia
Stafilococcus
Antibiotic
Dosis
Kombinasi:
penisilin prokain
Gentamycin
50.000-100.000/kg/hr i.m
5-7 mg/kg/hr/im/iv 2-3
x/hr
50 mg/kg/hr im/iv, 4 x/hr
5-7 mg/kg
Kombinasi:
Kloksasilin
Gentamisin
Kombinasi
: 50.000-100.000iu/kg/hr,
Penisilin Prokain
im , 1-2x/hr
Kloramfenikol
Kombinasi
Ampicillin
Kloksasilin
Kombinasi :
Eritromisin :
Kloramfenikol
Streptococcus
pneumonia
Penisilin prokain
Fenoksimetil
penisilin
Eritromisin
Kotrimoksazol
50-100mg/kg/hr
4x/hr
iv/oral,
Mikoplasma
Trimetophrim
mg/kg/hr, oral, 2x/hr
Berdasarkan jenis kuman terbanyak pada usia ini yakni S. pneumonia dan
H influenza maka dapat dipilihkan penisilin/ampicilin dan aminoglikosida atau
ampisilin dan kloramfenikol.4,9 Pilihan antibiotik ampicillin dan gentamysin ini
dengan pertimbangan sebagai antibiotic tingkat rendah dibandingkan golongan
lain seperti sefalosforin untuk menghindari bahaya resistensi.
Pilihan ampicillin merupakan antibiotic turunan beta laktam memiliki
anti bakterisidal dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel
bakteri. Antibiotik ini memiliki spectrum luas mencakup E.coli, Streptococccus
pyogenes,
Streptococcus
pneumonia,
Hemophilus
influenza,
Neisseria
gonorrheae.17
Gentamisin adalah golongan aminoglikosida yang diturunkan dari
actinomycete atau derivate semisintetik. Aminoglikosida terdiri dari dua atau lebih
asam amino gula yang terikat suatu cincin aminocyclitol dengan ikatan glycosidic.
Aminoglikosida adalah senyawa polar yang bersifat poli kationik, larut dalam air
yang bekerja menghambat sintesis protein melalui pengikatan ribosom 30 S secara
irreversible dan menyebabkan kode mRNA salah untuk dibaca oleh tRNA pada
waktu sintesis protein sehingga protein yang terbentuk adalah protein abnormal
yang nonfungsional bagi makroba. Aminoglikosida termasuk Gentamisin ini
efektif terhadap bakteri aerob gram positif terutama S.aureus dan koagulase
negative Staphylococcus, Streptococcus viridians, Enterococcus sp. Juga efektif
55
terhadap
bakteri
aerob
gram
negative
E.coli,
K.pneumoniae,
Proteus,
57
14
Mekanisme kerja adalah dengan cara membuka gugus sulfidril pada mucoprotein
sehingga menurunkan viskositas mucus.7 Pada pasien ini diberikan bentuk sediaan
campuran yakni Actifed ekspektoran dengan komposisi di dalam 5 ml
mengandung Triprolidine HCl 1.25 mg pseudoefedrine HCl 30 mg, guaifenesin
100 mg.20
Pada penatalaksanaan bronkopneumonia pada pasien ini, dilakukan konsul
kepada bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan diathermy dan chest fisioterapi.
Dan pada evaluasi batuk dan sesak pada pasien lebih berkurang. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa pada kasus bronkopneumonia ini dijumpai permasalahan
fisioterapi baik kapasitas fisik maupun kemampuan fungsional kapasitas fisik
58
yang diantaranya adalah adanya batuk dan sputum susah keluar, adanya sesak
nafas, adanya spasme otot-otot pernafasan dan adanya keterbatasan sangkar
thorak, dan kemampuan fungsional diantaranya pasien mengalami gangguan
dalam minum ASI.21 Sebagai perbandingan dari penelitian penatalaksanaan
fisioterapi pada pasien balita bronkopneumonia RS Karyadi Yogyakarta dengan
menggunakan modalitas inhalasi memakai alat nebulizer, chest terapi dan massage
yang bertujuan mengeluarkan sputum, mengurangi spasme otot pernafasan,
mengurangi sesak nafas dan meningkatkan mobilitas sangkar thorak serta dapat
meningkatkan kemampuan pasien seperti minum ASI. Untuk memberikan
penanganan yang efektif dan efisien, dilakukan suatu metode pemeriksaan yaitu
letak sputum dengan auskultasi, mendengarkan suara paru dengan perkusi dan
mobilitas sangkar thorak dengan menggunakan midline, spasme otot dengan
palpasi serta mengetahui adanya sesak nafas dengan penghitungan respiratory
rate. Dalam membantu mengatasi masalah-masalah tersebut dapat digunakan
modalitas berupa inhalasi menggunakan alat nebulizer, chest terapi dan massage.
Dan pada akhirnya didapatkan perubahan yaitu sputum pada paru kiri dengan
hasil 5 menjadi 2 dan pada paru kanan dari 5 menjadi 1, penurunan spasme otot
pernafasan pada M. sternocleidomastoideus dari 2 menjadi 0, pada M.
intercostalis eksternus dari 2 menjadi 1, pada M. upper trapezius dari 2 menjadi 0
dan pada M. serratus anterior dari 2 menjadi 0. Adanya penurunan sesak nafas dari
60 x/menit menjadi 50 x/menit. Dan terjadi peningkatan mobilitas sangkar thorak
pada daerah axilla inspirasi 39 cm dan ekspirasi 38 cm menjadi 40 cm pada saat
inspirasi dan 39 cm saat ekspirasi, pada daearah intercostal space ke-5 inspirasi 38
59
60
Daftar Pustaka
Eksaserbasi Asma.
63