Anda di halaman 1dari 63

PENDAHULUAN

Bronkopneumonia sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada


sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada
alveoli paru.1 Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal
ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik.
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus /bakteri) dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia (hidrokarbon, lipoid
substances) benda asing yang teraspirasi. Pola kuman penyebab pneumonia
biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien. Sebagian besar
pneumonia disebabkan oleh virus, sebagai penyebab tersering adalah respiratory
synctitial virus (RSV), para influenza virus, influenza virus dan adenovirus.1
Anak dengan daya tahan terganggu akan menderita bronkopneumonia
berulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu mengatasi penyakit ini
dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor iatrogen juga memacu timbulnya
penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anestesia, pengobatan dengan antibiotika
yang tidak sempurna. 1
Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok
walaupun ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Respina, Hal di atas
disebabkan oleh munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit)
yang resisten terhadap antibiotik. Adanya organisme-organisme baru dan penyakit

seperti AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang semakin memperluas


spektrum dan derajat kemungkinan terjadinya bronkopneumonia ini. 1
Berdasarkan survey Kesehatan Rumah Tangga Depkes 2001 yang
menyatakan bahwa infeksi saluran pernafasan bagian bawah termasuk
prenumonia dan bronkopneumonia

berada pada peringkat kedua sebagai

penyebab kematian tertinggi di Indonesia.2


Permasalahan infeksi pada saluran nafas seperti halnya bronkopneumonia
juga dapat mencetuskan eksaerbasi pada penderita asma. Timbulnya eksaserbasi
asma pada penderita yang mempunyai predisposisi timbulnya asma dengan kasus
infeksi saluran nafas dapat dijelaskan karena infeksi mikroba pada sel epitel
saluran nafas akan mengaktivasi sel mast serta mencetuskan peningkatan produksi
sitokin seperti IFN , IL-1, IL-2, IL-4, IL-6 dan TNF yang berperan dalam
eksaserbasi asma.3 Berikut akan dilaporkan kasus asma bronkhial dengan
bronkopneumonia.

TUJUAN
a. Untuk mengetahui cara penegakan diagnosis bronkopneumonia
b. Untuk mengetahui penanganan bronkopneumonia secara tepat.
c. Untuk melatih kemampuan dokter muda dalam menganalisa suatu kasus
dari anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan follow up
harian.

LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama

: An. R

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 13 bulan

Alamat

: Jl. M.Said Gg. Irsyadiah Karang paci Samarinda


No. Telp: 0813463926651

Anak ke

: 3 dari 3 bersaudara

MRS

: 13 Januari 2009

ANAMNESA
Alloanamnesa (oleh ibu kandung pasien), pada 13 Januari 2009
Keluhan Utama : sesak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sesak sejak seminggu yang lalu terutama pada malam hari parah pada
kemarin malam (1 hari sebelum MRS) hingga tidak bisa tidur, sebelumnya anak
mengalami batuk pilek selama 10 hari. Batuk berdahak, riwayat demam (+).

Riwayat berkeringat malam (-), riwayat kontak dengan penderita TB (-). Riwayat
mencret (-), muntah (-). Riwayat sesak kambuh bila cuaca dingin malam atau
subuh, dengan riwayat 1x/bulan, bila kambuh sesak bisa berlangsung selama 5-7
hari.
Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat batuk 3 bulan yang lalu, batuk berlendir. Berobat ke dr. Sp.A
dijelaskan ada flek pada paru Sejak 3 bulan lalu bila batuk, nafas kadang
berbunyi.

Bila cuaca dingin atau malam pasien tampak sesak, kadang bila anak tampak
sesak sekali, ibu pasien memberikan salbutamol tablet 4 mg , dan
deksametason tablet, sesak berkurang.

Alergi terhadap debu, bila berada di lingkungan tersebut pasien sering bersin.

Alergi makanan terhadap jenis udang laut.

Riwayat Keluarga :
Ibu pasien menderita asma, dan kakak kandung pasien juga menderita asma.
Tidak ada riwayat penyakit lain dalam riwayat penyakit keluarga.

Anak I
Anak II
Anak III

Aterm, prematur

Persalinan

Usia/tgl lahir

Aterm
Aterm
Aterm

Spontan/bedah
Spontan
Spontan
Spontan

09 -02- 2000
24-030-2003
03-12-2007

Keadaan
sehat/sakit/meninggal
Sehat
Sehat

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :

Berat badan lahir

: 2500 gr

Panjang badan lahir

: 48 cm

Berat badan sekarang

: 9 kg

Tinggi badan sekarang

: 75 cm

Gigi keluar

: 6 bulan

Tersenyum

: 3 bulan

Miring

: 4 bulan

Tengkurap

: 6 bulan

Duduk

: 7 bulan

Merangkak

: 8 bulan

Berdiri

: 9 bulan

Berjalan

: 1 tahun

Berbicara 2 suku kata

: 1 tahun 2 bulan

Makan Minum anak :


Susu SGM 1

: 0 bulan 6bulan

Susu SGM 2

: 6 bulan

Buah

: Usia 5 bulan, berupa pisang

Bubur susu

: 4 bulan

Tim saring

: 7 bulan

Makanan padat dan lauknya

: 9 bulan (3x per hari )

Pemeliharaan Prenatal

: 1x/bulan

Periksa di

: Puskesmas

Obat-obatan yang sering diminum

: Vitamin, penambah nafsu makan.

Riwayat Kelahiran :
Lahir di

: Klinik, di tolong oleh : bidan

Berapa bulan dalam kandungan

: 9 bulan

Jenis partus

: Spontan, langsung menangis

Pemeliharaan postnatal

: Puskesmas

Keadaan anak

: Sehat

Keluarga berencana

:Ya

Memakai sistem

: Suntik

Sikap dan kepercayaan

: Percaya

IMUNISASI
Imunisasi

Usia saat imunisasi


I

II

III

IV

BCG

+ (Ibu lupa kapan)

////////

/////////

//////////

Polio

+ (Ibu lupa kapan)

Campak

////////////

//////////

DPT

//////////

Hepatitis B

//////////

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 14 Januari 2009, pukul 14.00 WITA
Berat badan

: 9 kg

Panjang Badan

: 75 cm

Tanda Vital
Nadi

: 138 kali/menit

Suhu badan

: 37.8oC

Frekuensi nafas

: 54 kali/menit

Tekanan darah

: 90/70 mmHg

Kesadaran

: Compos Mentis, tampak berkeringat dan

Wajah kemerahan, anak rewel


Status Gizi

: Baik; Berat badan ideal adalah 10.17 Kg


(9.5 Kg/10,17 Kg x 100 % = 88,49 %)

Kepala
Rambut merah

: (-)

Ubun-ubun cekung

: (-)

Mata

: Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Sianosis (-/-), Refleks


Cahaya (+/+), Pupil: Isokor ( 3 mm/3mm)

Hidung

: pernafasan cuping hidung (-), Sumbat (-), Sekret


(+) putih, jernih

Telinga
Mulut

: Bersih, Sekret (-)


: Bibir lembab, Lidah bersih, Faring Hiperemis (-),
Pembesaran Tonsil (-/-)

Leher
Kaku kuduk

: (-)

Pembesaran Kelenjar limfe : (-)

Dada
8

Inspeksi

: Gerakan simetris, retraksi intercostal +, retraksi


suprasternal +, retraksi supraklavikula (+)

Palpasi

: krepitasi (-), fremitus raba kanan=kiri

Perkusi

: hipersonor

Auskultasi

: bronkhovesikuler, Ronkhi (+/+), Wheezing (+/+),

Jantung
Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: batas jantung normal

Auskultasi

: S1/S2 tunggal reguler, suara tambahan (-)

Abdomen
Inspeksi

: Flat

Palpasi

: Hepar/ lien tidak teraba, kembung (-), turgor baik

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+/N)

Genitalia

: Dalam batas normal

Ekstremitas

: Akral hangat, edema (-), sianosis (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin

10.2

Leukosit

8.100

Hematokrit

39.9%

Trombosit

339.000

MCV

79.3

MCH

26.3

MCHC

33.1

Diagnosa Kerja Sementara : Bronkopneumonia + asma bronkhiale


Usulan : DL, foto rontgen thorak, tes kulit
PENATALAKSANAAN :
IGD : ivfd KN1B 10 tetes/menit
Ampicillin 3 x 200 mg injeksi
Gentamisin 2 x 20 mg
Actifed exp 3 x cth

10

Pamol 3 x cth (bila perlu)


Lembar UGD
Anamnesis

: batuk disertai sesak sejak tadi malam, demam

Vital sign

: Nadi 100x/menit, pernafasan 52x/menit, suhu 37.8 oC

Kepala

: anemia (-), sianosis (-)

Thorak

: retraksi +/+, rhonki +/+

Abdomen

:-

Ekstremitas

: akral hangat

Diagnosis

: susp. Bronkopneumonia

PENATALAKSANAAN :
IGD : ivfd KN1B 10 tetes/menit
Ampicillin 3 x 200 mg injeksi
Gentamisin 2 x 20 mg
Actifed exp 3 x cth
Pamol 3 x cth (bila perlu)

11

12

Tinjauan Pustaka
2.1 Pneumonia

13

2.11. Definisi Pneumonia dan Bronkopneumonia


Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru (meliputi
alveolus dan jaringan interstitial) yang ditandai batuk, sesak nafas, demam, ronkhi
basah halus, dengan gambaran infiltrate pada foto polos dada.4,5 bronkopneumonia
merupakan peradangan pada paru dimana proses peradangannya menyebar
membentuk bercak infiltrate yang berlkasi di alveoli paru dan dapat pula
melibatkan bronkiolus terminal. 1,2
2.1.2. Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan utama
pada anak di negara berkembang.1,2,4 Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan

mortalitas anak berusia di bawah lima tahun. Diperkirakan

hamper seperlima kematian anak di seluruh dunia.4 Sekitar 2 juta anak balita
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar di Afrika dan Asia
Tenggara. Menurut survey Kesehatan Nasional (SKN) 2001, 27.6% kematian bayi
dan 22.8% kematian balita disebabkan oleh penyakit respiratorik terutama
pneumonia. Faktor yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pada anak
balita di Negara berkembang adalah pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat
badan lahir rendah, tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat,
malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri pathogen
di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industry atau
asap rokok).4,6
2.1.3. Etiologi

14

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus


/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia
(hidrokarbon, lipoid substances) benda asing yang teraspirasi. Pola kuman
penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien.
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh virus, sebagai penyebab tersering
adalah respiratory synctitial virus (RSV), para influenza virus, influenza virus dan
adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah
Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Staphylococcus aureus,
Streptococcus group B, serta kuman atipik Chlamidia dan Mycoplasma. 4
Pada masa neonates Streptokokus group B dan Listeria monocytogenes
merupakan penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak
pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia.4
Selain itu Streptococcus pneumonia merupakan penyebab paling utama
pneumonia bacterial. Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumonia
merupakan penyebab yang sering didapatkan pada anak di atas usia 5 tahun. 4

Tabel 1. Etiologi pneumonia sesuai dengan kelompok usia di Negara maju4


Usia
Usia 20 hari

Etiologi yang sering


Bakteri
Streptococcus group B
Listeria monocytogenes

Etiologi yang jarang


Bakteri
Bakteri anaerob
Streptococcus group D

15

3 minggu 3 bulan

4 bulan 5 tahun

5 tahun remaja

Bakteri
Chlamydia trachomatis
Streptococcus pneumonia
Virus
Respiratory synctitial virus
Virus influenza
Parainfluenza 1,2, 3
Virus adeno
Bakteri
Streptococcus pneumonia
Chlamydia pneumonia
Virus
Respiratory synctitial virus
Virus influenza
Virus parainfluenza
Rhinovirus
Adenovirus
Virus measles
Bakteri
Chlamydia pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Streptococcus pneumonia

Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonia
Ureoplasma urealyticum
Virus
CMV virus
Virus herpes simpleks
Bakteri
Bordetella pertusis
Haemophyllus influenza type B
Non typical
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Ureaplasma urelyticum
Virus: varicella zoster
Bakteri
Haemophyllus influenza type B
Moraxella catarrhalis
Neisseria meningitides
Staphylococcus aureus
Virus: varicella zoster

Bakteri
Haemophyllus influenza tipe B
Legonella sp
Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Ebstein barr virus
Virus influenza
Virus para influenza
Rhinovirus
Respiratory synctitial virus
Virus varizella zoster

2.1.4. Patologi dan Patogenensis


Sebagian besar dari pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari saluran respiratori atas. Hanya sebagian kecil
merupakan akibat sekunder dari viremia/ bakteremia atau infeksi intraabdomen. 4
Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barier anatomi
16

dan barier mekanik, juga pertahanan tubuh local maupun sistemik. Barier anatomi
dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi
dengan reflex epiglottis, ekspulsi benda asing melalui reflex batuk. Pembersihan
ke arah kranial oleh mukosilier. System pertahanan tubuh yang terlibat baik
sekresi lokal immunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel laukosit,
komplemen, sitokin, immunoglobulin, alveolar makrofag dan cell mediated
immunity. 4,5
Setelah mikroorganisme terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiretorik, mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman

ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang

terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi sebukan sel PMN, fibrin, eritrosit,
cairan edema dan ditemukannya kuman di alveoli. Area edema ini akan membesar
secara sentrifugal.4,5,6 Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya
deposit fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan
terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi
kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mnegalami
degenerasi. Fibrin akan menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini
disebut stadium resolusi. System bronkopulmoner jaringan paru yang tidak
terkena akan tetap normal.4
Pada pneumonia terjadi gangguan pada kompnen volume dari ventilasi
akibat kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat
gangguan volume ini tubuh akan berusaha mengkompensasi dengan cara
meningkatkan tidak tercapai volume tidal dan frekuensi nafas sehingga secara
17

klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda inspiratory effort. Akiba
tpenurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi (V/Q < 4/5) yang
disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha meningkatkannya
sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Sesak itu dengan
berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan
mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang
berakibat terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bis a terjadi gagal nafas.4
2.1.5. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab,
usia, pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis
bisa berat yaitu sesak, sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti
pada neonates. Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan sebagai berikut: 7,8
1. Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare,
kembung,

sakit

perut,

kadang-kadang

ditemukan

gejala

infeksi

ekstrapulmoner
2. Gejala gangguan respiratori: batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea,
nafas cuping hidung, merintih dan sianosis. Pada neonates bias tanpa
batuk. Wheezing mungkin akan ditemui pada anak-anak dengan
pneumonia viral atau mikoplasma, seperti yang ditemukan pada anak-anak
dengan asma atau bronkiolitis.

18

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,
suara nafas melemah, dan ronkhi basah halus (khas untuk pasien yang lebih
besar). Akan tetapi pada neonates dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia
lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru
umumnya tidak ditemukan kelainan
Tabel 2. Rentang pernafasan normal menurut kalsifikasi umur
Umur
0-2 bulan
2-12 bulan
1-5 tahun
>5tahun

Laju nafas normal


30-50
25-40
20-30
15-25

Takipnea
>60
>50
>40
>20

Secara klinis pada anak sulit membedakan antara pneumonia bakteri dan
virus. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakteri
awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis dan
perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. Namun keadaan ini sulit dijumpai
pada seluruh kasus.4
Perinatal pneumonia terjadi segera setelah kolonisasi kuman dari jalan
lahir atau ascending dari infeksi intrauterine. Kuman penyebab terutama GBS
(Streptococcus Group B) selain kuman-kuman gram negatif. Gejalanya berupa
respiratory distress yaitu merintih, nafas cuping hidung, retraksi dan sianosis.
Sepsis akan terjadi dalam hitungan jam, hampir semua bayi mengarah sepsis
dalam 48 jam pertama kehidupan. Pada bayi prematur, gambaran infeksi oleh
karena GBS menyerupai gambaran RDS (Respiratory Distress syndrome).4

19

2.1.6. Pemeriksaan penunjang4,7,8,9


1. Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meingkat. Pada pneumonia bakteri
didapatkan leukositosis yang berkisar 15.000-40.000 /mm3 dengan
predominan PMN. Leukopeni (<5000/mm3 dengan predominan PMN.
Leukopeni
2. C reactive protein
C reactive protein adalah protein yang disisntesis oleh hepatosit, sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan. Produksi C-RP distimulasi oleh
sitokin, interleukin (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF).
Fungsinya mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel
yang rusak. C-RP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri
superfisialis dari infeksi profunda. Kadang dipakai untuk evaluasi respon
terapi antibiotic. Walaupun demikian C-RP bekum terbukti membedakan
infeksi bakteri atau virus
3. Uji serologi. Uji serologic untuk mendeteksi antigen dan antibody pada
infeksi bakteri tipik mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah.
Akan tetapi, diagnosis infeksi Streptococcus group B dapat dikonfirmasi
dengan peningkatan antibody seperti antistreptolisisn O, streptozin, atau
anti DNAse B. peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi
terdahulu. Untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase
konvalesen (paired sera)
4. Pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis
pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang

20

dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mirkobiologik, specimen dapat berasal


dari usap tenggorok, secret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi
pleura atau aspirasi paru. Diagnosis definitive bila ditemukan kuman dari
darah, cairan pleura atau aspirasi paru. Pada pneumonia anak dilaporkan
hanya 10-30 % ditemukan bakteri pada kultur darah.
5. Pemeriksaan rontgen thorak. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia
tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-kadang bercak
sudah ditemukan pada gambaran radiologi sebelum timbul gejala klinis.
Resolusi infiltrate memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis
menghilang. Foto rontgen toraks AP dan lateral hanya dilakukan pada
pasien dengan tanda dan gejala klinis distress nafas. Secara umum
gambaran foto toraksi terdiri dari:10
a. Infiltrate interstitial, ditandai dengan peningkatann corakan
bronkovaskular peribronkhial cuffing dan hiperaerasi.
b. Infiltrate alveolar, merupakan konsolidasi paru fengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut
pneumonia lobaris.
c. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrate yang dapat meluas
hingga

daerah

perifer paru,

disertai

peningkatan corakan

peribronkhial.
2.1.7. Diagnosis
Diagnosis pneumonia pada anak didiagnosis berdasarkan gambaran klinis
yang menunjukkan keterlibatan system respiratori, serta gambaran radiologis,
karena diagnosis berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi dan serologi tidak selalu
21

mudah. Berikut ini adalah klasifikasi pneumonis berdasarkan pedoman WHO


yang ditujukan untuk pelayanan kesehatan primer dalam rangka menanggulangi
angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita sebagai berikut:4,7,9,10
a. Pneumonia berat
Bila ada sesak nafas
b. harus dirawat dan diberikan antibiotik
b. Pneumonia
Bila tidak ada sesak nafas
Ada nafas cepat dengan laju nafas :>50 x/menit untuk anak usia 2
bulan 1tahun
>40 x/menit untuk anak usia >1-5 tahun
Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
c. Bukan pneumonia
Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas
Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotic, hanya diberikan obat
simptomatis seperti penurun panas.
Bayi berumur < 2bulan. Perjalanan penyakitnya lebih bervariasi, mudah terjadi
komplikasi dan sering menyebabkan kmeatian. Pneumonia pada usia ini dapat
dikelompokkan sebagai berikut:

Pneumonia
Bila ada nafas cepat > 60 x/menit atau sesak nafas
Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
Tidak ada nafas cepat atausesak nafas
Tidak perlu dirawat cukup diberikan pengobatan simptomatik
2.1.8 Diagnosis Banding Pneumonia
1. Bronkiolitis
2. Eksaserbasi bronkiektasis
3. Payah jantung
4. Aspirasi benda asing
5. Abses paru
2.1.9 Tatalaksana4
1. Tidak semua penderita pneumonia di rawat, adapun indikasi rawat inap adalah
sebagai berikut:
22

a. Penderita tampak toksik


b. umur kurang dari 6 bulan
c. distress pernafasan berat
d. hipoksemia (saturasi oksigen < 93-94% pada kondisi ruangan
e. Dehidrasi atau muntah
f. Terdapat efusi pleura atau abses paru
g. Kondisi imunosupresi
h. Ketidakmampuan orang tua untuk merawat
i. Didapatkan penyakit penyerta lain, misalnya penyakit jantung bawaan
j. Pasien membutuhkan pemberian secara parenteral
2. Terapi suportif yang diberikan kepada penderita pneumonia adalah sebagai
berikut:
1. Pemberian oksigen melalui kateter hidung atau masker. Bila gagal nafas
harus diberikan alat bantu nafas.
2. Pemberian cairan dan nutrisi adekuat. Cairan yang diberikan mengandung
gula dan elektrolit yang cukup. Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan
suhu dan status hidrasi. Penderita yang

sesak nafas berat dapat

dipuasakan, tetapi bila sesak berkurang asupan oral dapat segera diberikan.
Pemberian asupan oral diberikan bertahap

melalui NGT (selang

nassogastrik) drip susu atau makanan cair. Untuk mencegah edema paru
dan SIADH (Syndrome Of Inappropriate Anti Diuretic Hormone )
pemberian cairan direstriksi 2/3 dari kebutuhan rumatan.
3. Jika sekresi lender berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
untuk memperbaiki transport mukosilier atau ekspektoran
4. Koreksi elektrolit atau metabolic yang terjadi misalnya hipoglikemia,
asidosis metabolic.
5. Mengatasi penyakit penyerta seperti kejang, diare dan lainnya serta
komplikasi bila ada.
3. Terapi antibiotik: 4
1. Pada penyakit ringan, mungkin virus tidak perlu antibiotic
2. Pada penderita yang dirawat inap (pneumonia berat) harus segera diberi
antibiotic

23

3. Pemilihan jenis antibiotic berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan


dugaan kuman penyebab
Tabel 3. Pemilihan Antibiotik pada Pneumonia Menurut Klasifikasi Umur4
Umur
<3
bulan

Dugaan kuman penyebab


Streptococcus pneumonia
Stafilococcus
Enterobactericeae

3
bulan-5
tahun

Streptococcus pneumonia
Hemophilus pneumonia
Stafilococcus

Streptococcus pneumonia

Antibiotic
Kombinasi:
prokain
Gentamycin

penisilin

Dosis
50.000-100.000/kg/hr i.m
5-7 mg/kg/hr/im/iv 2-3 x/hr
50 mg/kg/hr im/iv, 4 x/hr
5-7 mg/kg

Kombinasi:
Kloksasilin
Gentamisin
Kombinasi : Penisilin
Prokain

50.000-100.000iu/kg/hr, im ,
1-2x/hr

Kloramfenikol

50-100mg/kg/hr iv/oral, 4x/hr

Kombinasi
Ampicillin
Kloksasilin
Kombinasi :
Eritromisin :
Kloramfenikol
Penisilin prokain
Fenoksimetil penisilin
Eritromisin
Kotrimoksazol

50-100 mg/kg/hr im/iv, 4x/hr


50 mg/kg/hr/im/iv, 4x/hr
50 mg/kg/hr, oral, 4x/hr
Dosis sama dengan di atas
Dosis sama dengan di atas
250.000-500.000
iu/kg/hr,
oral, 4x/hr
Dosis sama dengan di atas
Trimetophrim 6 mg/kg/hr,
oral, 2x/hr

Mikoplasma

Lamanya pemberian antibiotic tergantung pada:


a. Kemajuan klinis penderita
b. Jenis kuman penyebab : Staphilococcus perlu 6 minggu parenteral,
H.influenza/streptococcus pneumonia cukup 10-14 hari.
2.1.10 Komplikasi pneumonia
1. Abses paru
2. Efusi pleura
3. Empiema/pneumotoraks
4. Sepsis
24

5.
6.
7.
8.

Meningitis
Atelektasis
Bronkiektasis
Arthritis

2.1.11 Pencegahan4
Pemberian imunisasi memberikan arti penting dalam pencegahan pneumonia
a. Vaksin Hib mencegah infeksi Haemophilus influenza B
b. Vaksin Pneumococcal heptavalent mencegah infeksi tujuh serotype
Streptococcus pneumonia
2.2. Asma bronchial
2.2.1. Definisi Asma
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas
dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.11 Pada
orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak
nafas, rasa dada terekan, dan batuk khususnya malam atau dini hari. Gejala ini
biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversible baik secara spontan
maupun

dengan

pengobatan.

Inflamasi

ini

juga

berhubungan

dengan

hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan. 11


Batasan di atas memang sangat lengkap namun dalam penggunaan kilinis
sehari-hari untuk anak tidak praktis agaknya karena itu para perumus konsesnsus
internasional dalam pernyataan ketiganya tetap menggunakan definisi yaitu
mengi berulang dan atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut :

25

timbul secara episodic, cenderung pada malam /dini hari (nokturnal, musiman,
setelah aktivitas fisik, dan bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada saluran nafas. Inflamasi
kronik ini disebabkan oleh hiperresponsivitas saluran nafas terhadap berbagai
rangsangan dengan gejala eksaserbasi yang berulang dan penyempitan saluran
nafas. .
2.2.2.Klasifikasi derajat asma anak
Secara umum asma dibagi 2 yakni asma alergi dan nonalergi dengan gambaran
patologi yang ditemukan tidak berbeda walaupun berbeda penyebabnya. 12 Secara
arbitreri KNAA membagi asma anak menjadi 3 derajat.
Tabel 4. Klasifikasi Asma Berdasarkan Derajat11
Asma episodic
jarang

Asma episodic
sering

Asma persisten

1
2

Parameter klinis,
kebutuhan obat, dan faal
paru
Frekuensi serangan
Lama serangan

3-4 x/tahun
Sebentar atau
beberapa hari

1x/bulan
Beberapa hari s/d 1
minggu

3
4

Intensitas serangan
Diantara serangan

Biasanya ringan
Tanpa gejala

Biasanya sedang
Sering ada gejala

5
6

Tidur dan aktivitas


Pemeriksaan fisik di luar
serangan

Obat pengendali (anti


inflamasi)

Tidak terganggu
Normal (tidak
ditemukan
kelainan)
Tidak perlu

Uji faal paru (di luar


serangan

Sering terganggu
Mungkin terganggu
(ditemukan
kelainan)
Perlu, nonsteroid
atau steroid inhalasi
dosis 100-200
PEF/FEV1 60-80%

Sering 1x/bulan
Hamper
sepanjang tahun
atau tidak ada
remisi.
Biasanya berat
Gejala siang dan
malam
Sangat terganggu
Tidak pernah
normal

PEF/FEV1 >
80%

Perlu, steroid
inhalasi dosis
400 g/hr
PEF/FEV1 <60%
variabilitas 20-

26

Variabilitas faal paru (bila


ada serangan)

Variabilitas
20%

variabilitas30%

30%
Variabilitas 50%

2.2.2. Epidemiologi
Diperkirakan asma diderita oleh 100-150 juta jiwa di seluruh dunia.
Permasalahan ini tidak hanya timbul di Negara maju tetapi juga dinegara
berkembang. Di amerika setiap tahun sekitar 1.5-2 juta kunjungan ke unit gawat
darurat dan kasus asma akut mencapai 2.5-10% angka kunjungan di pusat
kesehatan perkotaan.12
Asma pada anak masih merupakan masalah kesehatan karena memerlukan
biaya yang tinggi, ketidakhadiran di sekolah dan kunjungan ke rumah sakit yang
masih tinggi. Kekerapan anak menderita asma di Inggris sekitar 20-33%. 13
Infeksi virus pada saluran nafas merupakan penyebab utama terjadinya
mengi pada anak dan dewasa yang menderita asma yaitu sekitar 10-85 % pada
anak dan 10-45% pada dewasa. Virus yang menyebabkan infeksi pada saluran
nafas adalah Respiratory Syncitial virus, rhinovirus, parainfluenza, adenovirus,
influenza, corona virus.13
2.2.3. Patofisiologi Asma
Perubahan akibat inflamasi pada pendrita asma merupakan dasar kelainan
faal.

Kelainan

patologi

yang

terjadi

adalah

obstruksi

saluran

nafas,

hiperresponsifitas saluran nafas, kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukos,

27

keterbatasan aliran udara yang ireversibel, eksaserbasi, asma malam dan anlisis
gas darah.12
1. Obstruksi saluran nafas
Bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat membaik spontan atau
dengan pengobatan. Penyempitan saluran nafas ini menyebabkan gejala batuk,
rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai stimuli.
Penyebabnya multifactor, yang utama adalah kontraksi otot polos bronkus yang
diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi.12
2. Hiperresponsifitas saluran nafas
Mekanisme pasti hiperresposifitas saluran nafas belum diketahui jelas,
diduga karena perubahan sifat otot polos saluran nafas sekunder terhadap
perubahan fenotip kontraktilitas. Inflamasi dinding salurannafas terutama di
daerah peribronkial dapat menambah penyempitan saluran nafas selama kontraksi
otot polos. Hiperesponsifitas saluran nafas dapat diukur dengan uji provokasi
bronkus.12
3. Kontraksi otot polos bronkus
Pada penderita asma terjadi peningkatan pemendekan otot polos bronkus
saat kontraksi isotonic. Perubahan fungsi kontraksi mungkin disebabkan oelh
perubahan apparatus kontraksi.12
4. Hipersekresi bronkus

28

Terjadi hyperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet pada salurannafas


penderita asma. Penyumbatan saluran nafas oleh mukos hamper selalu didapatkan
pada asma yang fatal. Hipersekresi mucus akan mengurangi gerakan silia,
mempengaruhi lama inflamasi dan menyebabkan kerusakan struktur/fungsi epitel.
12

5. Keterbatasan aliran udara ireversibel


Penebalan dinding saluran nafas adalah karakteristik remodeling yang
terdapat pada saluran nafas besar maupun kecil. Gambaran ini terlihat secara
patologi maupun radiologi.12
Episode eksaserbasi merupakan gambaran yang umum pada asma. Factor
penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan penyebab bronkokontriksi saja
(inciter) seperti latihan, udara dingin, kabut/asap dan rangsangan penyebab
inflamasi (inducer) seperti pajanan allergen, sensitisasi zat di tempat kerja, ozn
dan infeksi saluran nafas oleh virus.13
2.2.4. Diagnosis
Yang perlu dipertimbangkan asma adalah selain anak yang wheezing juga
termasuk anak-anak yang hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda
dan pada saat diperiksa tanda-tanda mengi dan tanda-tanda lain tidak
timbul.kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak anak yang
menunjukkan batuk dan atau mengi yang timbul secara episodic, cenderung

29

padamalam/ dini hari (nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik serta adanya
riwayat asma dan atau atopi pada pasien dan keluarganya. 11
Untuk anak yang sudah besar (> 6 tahun) pemeriksaan faal paru bila
fasilitas ada perlu dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow
meter atau yang lebih lengkap dengan spirometer. 11
Uji profokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan exercise,
udara kering dan dingin atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui tiga cara
yaitu didapatkannya:11
1. Hiperreaktivitas bronkus, yaitu penurunan 20 % pada PFR atau FEV1
setelah provokasi bronkus.
2. Reversibilitas, kenaikan 20 % pada PFR atau FEV1 setelah pemberian
inhalasi bronkodilator
3. Variabilitas, yaitu perubahan PFR atau FEV1 20% antara pagi dan sore
Penilaian variabilitas yang baik bila PFR pagi dan sore dapat dilakukan
pengamatan yang berlangsung 2 minggu. Bila tidak ada alat pemeriksaan faal
paru maka lembar catatan harian dapat digunakan sebagai alternative karena
mempunyai korelasi yang baik dengan faal paru. Jika untuk pemeriksaan PFR saja
juga tidak mungkin dilakukan maka respon klinik terhadap bronkodilator/
kortikosteroid yang diberikan selama 1 minggu sudah memadai.11
Jika gejala dan tanda asmanya jelas dan respon terhadap pemberian obat
asma baik maka tidak harus selalu dilakukan pemeriksaan diagnostic lebih lanjut.
Bila respon terhadap obat asma tidak baik jangan tergesa-gesa menggugurkan
30

diagnosis asma tetapi perlu dinilai terlebih dahulu apakah dosisnya sudah adekuat,
cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua
aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar perlu dipikirkan
kemungkinan bukan asma. 7,11
Pasien dengan batuk produktif, infkesi saluran nafas berulang, gejala
respiratorik sejak masa neonates, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau
kelainan fokal paru, perlu pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu
dilakukan adalah diperiksa foto rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji profokasi.
Selain itu mungkin juga perlu diperiksa foto rontgen sinus paranasalis, uji
keringat, uji imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier,
bahkan sampai bronkoskopi. 11
Di Indonesia, tuberculosis masihmerupakan penyakit kronik yang banyak
dijumpai dan saah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu
uji tuberculin perlu dilakukan baik pada kelompok yang patut dicurgai asma
maupun yang bukan. Dengan cara itu maka penyakit tuberculosis yang mungkin
bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan mendapat terapi tuberkulosisnya.
Ika pasien kemudian mmeperoleh steroid untuk asmanya, tidak akan
memperburuk tuberkulosisnya karena sudah dilindungi dengan obat. 11

31

Bagan 1. Alur Diagnosis Asma pada Anak.4

32

Berdasarkan alur di atas, setiap anak yang menunjukkan gejala batuk dan atau
mengi maka diagnosis akhirnya dapat berupa:
1. Asma
2. Asma dengan penyakit lain
3. Bukan asma
2.2.5. Pem#eriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah uji fungsi paru yang
menunjukkan variabilitas >20% dan reversibilitas >20 pada asma. Selain
pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eosinofil total dapat membantu
penegakan diagnosis asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan
uji provokasi dengan histamine atau metakolin. Bila uji provokasi positif, maka
diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan. 7,11
2.2.6.Tatalaksana
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalahuntuk menjamin
tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensinya.
Secara lebih khusus tujuan yang ingin di capai adalah : 11
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak, termasuk bermain
dan berolahraga
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan

33

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin
timbul, terutama yang memepengaruhi tumbuh kembang anak
Apabila tujuan ini belum tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah
perlu tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan
atau bila tujuan telah tercapai dan stabil 1-3 bulan apakah sudah perlu dilakukan
penurunan pelan-pelan (step down). 11
1. Tatalaksana Medikamentosa
Berdasarkan kegunaannya, secara garis besar obat asma dikenal terdiri dari
dua jenis yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat
pereda ada yang menyebutnya obat pelega atau obat serangan. Obat kelompok ini
digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila
serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat tidak ini tidak
digunakan lagi atau diberikan hanya bila perlu. Kelompok obat kedua adalah obat
pengendali, yang disebut jga obat pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan
untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan
demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada
gejalanya kemudian pemberiaannya diturunkan pelan-pelan yaitu 25% setiap
penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 1 - 2 bulan.
Asma episodik jarang
Asma episodic jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa
bonkodilator beta agonis hirupan kerja pendek (SABA) jika ada gejala atau
serangan. Anjuran ini tidak mudah dilakukan berhubunga obat tersebut mahal dan
34

tidak selalu tersedia di semua daerah. Di samping itu pemakaian obat hirupan
(mdi) memerlukan perhatian yang benar (untuk anak besar) dan membutuhkan
alat bantu (untuk anak keci/bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya.
Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat menggunakan maka SABA
diberikan per oral. Sebenarnya kecenderungan saat ini teofilin makin kurang
perannya dalam tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun
mengingat di Indonesia obat beta agonis oral tidak selalu ada dan teofilin sangat
dikenal maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan
timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan beta agonis oral tunggal
dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi, dan
hal ini dapat dikurangi dengan menguarangi dosisnya serta dikombinasikan
dengan teofilin yang juga dikurangi dosisnya.
Asma episodik sering
Jika penggunaan obat pereda sudah lebih dari 3 x per minggu (tanpa
menghitung penggunaan preaktivitas fisik) atau serangan sedang/berat terjadi
lebih dari sekali dalam sebulan maka penggunaan anti inflamasi sebagai
pengendali sudah terindikasi. Berarti derajat asmanya sudah termasuk episodic
sering atau pasien sejak semula menunjukkan gejala dan tanda-tanda yang sesuai
dengan criteria episodic sering. Antiinflamasi lepas pertama yang digunakan
adalah kromoglikat. Dengan dosis minimum 10 mg 2-4 kali perhari. Obat ini
diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah
terkendali, pemberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari.

35

Sampai sekarang obat ini tetap apling aman untuk pengendalian asma anak, dan
efek sampingnya ringan, yaitu sesekali menyebabbkan batuk. Nedokromil
merupakan obat satu golongan dengan kromoglikat namun lebih poten dan tidak
menyebabakan batuk. Di luar negeri obat ini sudah diijinkan pemakaiannya untuk
anak > 2 tahun. Namun untuk Indonesia saat ini ijin yang ada untuk anak > 12
tahun.
Bila disodium kromoglikat tidak mampu mencegah atau tidak ada
preparatnya maka pada asma episodic sering dapat diberikan obat pencegahan
berupa steroid hirupan dosis rendah 100-200g/hari.
Di samping itu efektivitas DSCG untuk mengatasi penurunan faal paru
atau mencegah airway remodeling masih menjadi pertentangan. Sedangkan obat
golongan leukotriene receptor antagonis belum ada bukti apabila dipakai jangka
panjang dapat mencegah airway remodeling. Maka pada asma episodic sering
diberikan obat pencegahan berupa steroid hirupan dosis rendah.
Asma persisten
Jika setelah 6-8 minggu pemberian steroid hirupan dosis rendah gagal dan
obat serangan tetap diperlukan 3x/minggu maka berarti asmanya termasuk asma
persisten. Sebagai obat pengendali atau pencegahan pilihan berikutnya adalah
obat steroid hirupan dosis 200-400g/hr yang masih termasuk dosis rendah.
Steroid hirupan biasanya efektif dengan dosis rendah yaitu 100-400g.
dalam penggunaan budesonis dengan dosis 200g/hari, belum pernah dilaporkan
adanya efek samping jangka panjang. Dosis yang masih dianggap aman adalah
36

setara dengan dosis sampai dengan 400g budesonis selama sehari. Di atas
400g/hari dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan
dosis 800 g/hr agaknya mulai berpengaruh terhadap poros hipotalamus-hipofisisadrenal sehingga dapat berdampak pada pertumbuhan. Efek sistemik steroid
hiurpan dapat dikurangi dengan penggunaan alat spacer yang akan mengurangi
absorbs sistemik danmeningkatkan deposisi obat di paru.
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang
optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 1-2 bulan, maka dosis steroid
dapat dikurangi bertahap sehingga mencapai dosis terkecil yang masih bias
mengendalikan asmanya. Sementara itu obat pelega atau obat serangan tetap
diberikan bila perlu saja.
Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum
terkendali dan masih menggunakan SABA3x/hr berarti pasien di anggap
menderita asma persisten yang lebih berat. Penggunaan beta agonis kerja pendek,
hirupan > 3x/hr secara teratur dan terus menerus diduga mempunyai peranan
dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas asma diduga karena adanya down
regulation dari reseptor 2 agonis. Oleh karena itu obat dan cara penggunaannya
secara terus menerus lebih dari pada 3 kali perminggu dalam waktu lama harus
dihindari. Tetapi jika pemberiannya disertai dengan steroid hirupan dosis sedang
400-600g/hr maka proses down regulation dari 2 agonis dapat lebih dihindari
dan bahkan untuk memudahkan pemberian dan meningkatkan ketaatan makan
obat SABA digantikan dengan LABA. Dan selain itu pemberian LABA dan ICS
400 g/hr terbukti lebih baik daripada peningkatan ICS dua kali lipat.
37

Pengobatan suportif pada asma diperlukan. Pada keadaan tertentu,


misalnya sudah terjadi komolikasi atelektasis, diperlukan tambahan fisioterapi.
Penyakit penyerta lain seperti rhinitis alergi, sinusitis, atau refluks gastroesofagus
(RGE) perlu ditangani dengan baik karena dengan menghilangkan penyakit
penyerta, maka asma lebih mudah dikendalikan. Pada keadaan khusus yaitu
adanya gangguan psikologis, maka peran psikolog atau psikiater anak dangat
diperlukan karena stress psikologis merupakan salah satu pencetus terjadinya
serangan asma.
Bagan 2. Alur Tatalaksana Asma Anak

38

2.3. Infeksi Saluran Nafas dan Eksaserbasi Asma


Eksaserbasi asma adalah episode peningkatan progresifitas secara cepat
dengan pernafasan pendek, batuk, mengi, rasa berat di dada atau beberapa
kombinasi gejala-gejala ini. Episode eksaserbasi merupakan masalah yang sering
dalam penanganan eksaserbasi asma. Eksaserbasi yang disebabkan oleh bakteri,
walaupun cukup jelas tetapi insiden sulit ditentukan pasti karena biakan tidak
selalu dilakukan dan virus merupakan mokroorganisme lain penyebab penting
eksaserbasi.3
Infeksi saluran nafas mempunyai hubungan yang kompleks dengan asma.
Infeksi pada awal kehidupan berhubungan dengan peningkatan resiko
terbentuknya asma sedangkan infeksi yang terjadi pada tahap kehidupan
selanjutnya dapat berhubungan dengan awitan (onset) eksaserbasi asma. 3
Hubungan antara asma dan infeksi saluran nafas merupakan hal penting ditinjau
dari dua hal.
1. Infeksi saluran nafas

karena virus dan mikroorganisme seperti

M.pneumoniae dan C.pneumonia merupakan penyebab sering eksaserbasi


asma
2. Infeksi virus synctitial, C. pneumoniae mungkin menyebabkan terjadi
asma.
Mekanisme patofisiologis yang berperan adalah kolonisasi bakteri, kerusakan
bersihan mukosiliar, peningkatan sekresi mucus, akibat hyperplasia sel goblet
yang akhirnya menyebabkan terjadinya infeksi. 3

39

Infeksi virus pada saluran nafas merupakan penyebab utama terjadinya


mengi pada anak dan dewasa yang menderita asma yaitu sekitar 10-85 % pada
anak dan 10-45% pada dewasa. Virus yang menyebabkan infeksi pada saluran
nafas adalah Respiratory Syncitial virus, rhinovirus, parainfluenza, adenovirus,
influenza, corona virus. 13
Tabel 5. Virus Penyebab Infeksi Pada Saluran Nafas
Tipe virus

Serotype

cc

Asma

Rhinovirus
Corona virus
Influenza
Parainfluenza
RSV
Adenovirus

1-100+
229,EOC43
A,B,C
1,2,3,4 +
A,B
1-43

+++
++
+
+
+
+

+++
++
+
+/+
+

Cc

: common cold

+/-

Pneumoni

Bronchitis

Bronkio

a
+/-

litis
+

++
++
+
++

+
+
+
+

+++
+

: jarang

diketahui
++

: sering

+++

: penyebab utama

Respiratory synctitial virus merupakan penyebab utama terjadinya mengi


pada anak, sedangkan rhinovirus

sebagai penyebab serangan asma akut. Mc

Intosh melaporkan 32 anak usia 1-5 tahun yang menderita asma, dari 139 episode
serangan asma ditemukan 58 episode (42%) disebabkan oleh RSV. Respiratory
synctitial virus terdiri atas 2 subtipe yaitu tipe A dan B, namun tidak ada
perbedaan antara keduanya dalam hal peningkatan insidens mengi atau
bronkiolitis. Kira-kira 60-70% gejala mengi akan menghilang sejalan dengan
bertambahnya usia dan hanya 30% yang akan berkembang menjadi asma,
biasanya pada anak yang sebelumnya sudah mempunyai factor atopi. 13

40

Atopi dapat dijumpai pada anak yang terinfeksi campak atau tidak
terinfeksi tuberculosis. Shaheen tahun 1994 melaporkan sepertiga dari jumlah
anak yang menderita campak di Guinea Bissau Afrika Barat mempunyai
sensitisasi terhadap allergen lebih besar dibandingkan dengan anak yang
mendapat vaksin campak. 13
2.3.1

Pathogenesis Infeksi Virus pada Saluran Nafas

Sebagian besar anak terinfeksi RSV pada usia kurang dari 2 tahun dan dapat
menyebabkan mengi karena :
1. Terjadi respon imun yang menyebabkan inflamasi pada individu tertentu
2. Anatomi saluran nafas diameternya lebih kecil sehingga hasil reaksi
inflamasi akan menyumbat
3. Biasanya terjadi penurunan system imun yang akan meningkatkan
sensitisasi allergen dan tidak aktifnya respon anti virus sehingga infeksi
semakin berat.
Virus masuk ke saluran nafas melalui mukosilier dan bereplikasi dalam 24
jam pertama. Masuknya virus ke epitel saluran nafas menyebabkan respon imun
non spesifik dini, setelah masuk ke sel epitel virus akan merangsang system
proteolisis kappa B dan mengaktifkan nuclear factor kappa B (NF kappa B) yang
selanjutnya akan mengeluarkan sitokin proinflamasi

seperti granulocyte

macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), interleukin-6 (IL-6), IL-8,


regulated on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES) dan IL11. Dari makrofag akan dikeluarkan tmour necrosis factor (TNF), IL-8 dan
interferon (IFN) yang mempunyai efek antivirus dan proinflamasi. Pada respon

41

imun seluler sel T akan teraktivasi oleh virus yang dihasilkan IFN, GM-CSF, IL4, IL-5 dan IL-10 yang akan meregulasi sel efektor dan eosinofil sehingga terjadi
inflamasi seperti tampak pada gambar 1.13

Gambar 1. Respon Inflamasi Infeksi Virus pada Saluran Nafas13


Pada bayi baru lahir dari orang tua dengan riwayat atopi terutama ibunya,
didapatkan IL-4 dan IL-5 yang meningkat dibandingkan dengan bukan atopi. Pada
manusia factor atopi berhubungan dengan kromosom 5q31-q33 dan 11q.
hubungan kelainan kromosom 5q dan atopi pertama kali dilaporkan oleh Marsh
(1994) yang mendapatkan pada orang dengan serum IgE tinggi ditemukan
kelainan kromosom 5q. hal ini dibantah oleh Kamitani (1997) yang mengatakan
tidak ada hubungan antara kromosom 5q denganasma atau atopi. Folster (1998)
melaporkan hubungan antara kelainan kromosom 11q pada orang dengan riwayat

42

atopi dan serum IgE yang tinggi, hal yang sama dilaporkan juga oleh Shirakawa
(1994).13
Respom imun seluler melibatkan makrofag, limfosit, sel mast, eosinofil, neutrofil,
natural killer cell (NK)
1. Makrofag
Makrofag dapat ditemukan di mukosa, submukosa saluran nafas dan
alveoli. Makrofag di alveoli (makrofag alveolar) merupakan sel terbanyak yang
ditemukan pada pemeriksaan kurasan bronkoalveolar yaitu kira-kira 90%. Fungsi
makrofag memfagosit virus melalui TNF dan INF . Selain itu fungsinya
mempresentasikan antigen kepada sel T yang selanjutnya akan mengeluarkan
sitokin dan mediator seperti INF , RANTES, GM-CSF dan IL5
2. Limfosit
Pada infeksi virus jumlah limfosit bertambah di jaringan paru dan
sebaliknya menurun di pembuluh darah perifer karena terjadi migrasi.
Peningkatan jumlah limfosit berbanding lurus dengan derajat reaktivitas infeksi
virus. Respon antigen akan mengaktivasi Th2 atau Th2. Percobaan dengan
binatang yang terinfeksi RSV didapatkan aktivasi Th1 atau Th2 tergantung pada
jenis protein virus. Pada penderita asma yang terinfeksi rhinovirus 16 didapatkan
sitokin Th1 dan Th2 yang seimbang banyaknya dalam sputum. Sitokin Th1 adalah
INF dan sitokin Th2 adalah IL-5 yang selanjutnya akan mempengaruhi produksi
dan pematangan eosinofil.

43

3. Sel mast
Sel mast banyak ditemukan pada saluran nafas terutama di epitel bronkus,
lumen saluran nafas dan membrane basalis. Jumlah sel mast akan meningkat
setelah infeksi virus. Sel mast akan mengeluarkan mediator inflamasi leukotrien
(LT)C4. Selama infeksi RSV terjadi peningkatan jumlah LTC4 yang berbanding
lurus dengan beratnya gejala penyakit. Pada anak yang menderita bronkiolotis
jumlah sel mast meningkat 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan anak yang
menderita gejala penyakit saluran nafas atas. Leukotrien C4 merupakan salah satu
mediator yang menyebabkan bronkokontriksi pada asma.
4. Eosinofil
Infiltrasi eosinofil di saluran nafas merupakan gambaran khas pada
penderita asma alergi. Pada biopsy epitel bronkus didapatkan jumlah eosinofil
yang meningkat pada orang normal dan penderita asma yang terinfeksi rhinovirus.
Eosinofil akan meningkat lebih dari 6 minggu pada penderita asma. Eosinofil
berkumpul di saluran nafas di bawah pengaruh IL-5, GM-CSF, IL-8 dan
RANTES.
Granulocyte

Macrophage

Colony

Stimulating

Factor

(GMCSF)

mempengaruhi pembentukan eosinofil di sumsum tulang dan memperpanjang


umur eosinofil namun jumlahnya tidak meningkat pada penderita yang terinfeksi
virus saluran nafas atas. Regulated on activation normal T cell expressed and
secreted akan meningkat jumlahnya pada secret hidung anak asma yang terinfeksi
virus. Regulated on activation normal T cell expressed and secreted berfungsi

44

mempengaruhi produksi eosinofil di sumsum tulang dan memperpanjang umur


eosinofil. Pada binatang percobaan diketahui eosinofil mempunyai efek antivirus.
5. Neutrofil
Jumlah neutrofil akan meningkat pada penderita asma dan bukan asma
yang terinfeksi virus. Peningkatan terjadi pada hari ke 4 dan berbanding lurus
dengan IL-8. Interleukin 8 merupakan kemokin yang mengaktivasi neutrofil,
limfosit, basofil dan eosinofil. Pada penderita asma atopi yang terinfeksi
rhinovisur 16 didapatkan peningkatan IL-8 dan neutrofil pada kurasan cairan
hidung selama masa akut infeksi, kadar neutrofil myeperoksidase berbanding
lurus dengan beratnya gejala asma.
Wark melaporkan penderita asma yang terinfeksi virus akan terjadi
peningkatan neutrofil yang berbanding lurus dengan berat seranga asma dan lama
rawat di rumah sakit.

6. NK cell
Natural killer cell merupakan sel yang penting dalam respon imun,
fungsinya mengeliminasi sel target termasuk sel yang terinfeksi virus. Natural
killer cell dibentuk saat permulaan infeksi virus namun perannya pada saluran
nafas penderita asma belum jelas.13

45

2.3.2. Hubungan Infeksi Virus dan Inflamasi Saluran Nafas


Hubungan infeksi virus dan inflamasi saluran nafas adalah pada penderita
asma yang terinfeksi virus lebih berat gejala gangguan pernafasannya
dibandingkan dengan penderita bukan asma yang terinfeksi virus. Mekanisme
imunologi hubungan ini secara detail selum jelas namun diduga infeksi virus
meningkatkan sensivitas saluran nafas penderita asma. Hipotesis lain tentang
pathogenesis serangan asma yang disebabkan infeksi virus dapat dilihat pada tabel
6.
Tabel 6. Hipotesis Pathogenesis Serangan Asma karena Infeksi Virus13
Kerusakan epitel

Produksi mediator

Induksi inflamasi
Disregulasi Ig E
Remodeling saluran nafas

Respon saraf

Gangguan bersihan siliar


Permeabilitas meningkat
Kehilangan fungsi proteksi
Komplemen
Metabolisme asam arakhidonat
Produksi oksigen reaktif
Sitokin
Kemokin
Ig E total meningkat
Produksi Ig E antivirus
Otot polos saluran nafas
Fifbroblas
Mielofibroblas
Factor pertumbuhan
Sensitivitas kolinergik meningkat
Modulasi metabolism neuropeptid
Disfungsi reseptor beta adrenergik

2.3.3 Hubungan Mengi Bayi dan Asma13


Mengi bayi dapat terjadi jika ada factor predisposisi seperti imatur, fungsi
paru yang rendah saat lahir, ibu perokok, sering terinfeksi virus dan factor resiko
utama infeksi virus terutama RSV dan terpajan asap rokok. Mengi bayi akan
menjasi asma bila mempunyai factor resiko seperti lahir dari ibu yang menderita

46

alergi atau asma, terpajan allergen, dan factor resiko utama infeksi virus terutama
rhinovirusdan terpajan asap rokok (tabel 7) .
Tabel 7. Hubungan Mengi Bayi dan Asma13

Factor
predisposisi

Factor
utama

resiko

Mengi bayi
Premature
Fungsi paru rendah
Ibu perokok
Infeksi virus

Asma
Factor genetic: ibu asma, ibu
atopi
Dermatitis atopi
Alergi makanan
Terpajan aeroallergen

Infeksi virus terutama RSV


Terpajan asap rokok

Infeksi virus terutama RV


Terpajan aeroallergen
Terpajan asap rokok

Pembahasan

Pada pasien ini didiagnosis dengan bronkopneumonia dan asma bronkhial.


Berdasarkan teori diagnosis bronkopneumonia didapatkan dari anamnesis, gejala

47

klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan foto toraks.

16,7,8,9

Dari

anamnesis didapatkan data positif untuk bronkopneumonia


Teori
Batuk berdahak
Sesak
Riwayat Demam

Pada pasien
Batuk berdahak , dahak kental berwarna keputihan
+
+

Dari anamnesis juga dicari riwayat penyakit lainnya dan didapatkan


adanya riwayat sesak bila cuaca dingin terutama malam hari dan mereda bila
diberi salbutamol dan deksametason. Adanya riwayat penyakit dalam keluarga
dari orang tua (ibu pasien) yang menderita asma turut menjadi kecurigaan asma
diderita oleh pasien.

Teori asma
Riwayat sesak episodic
Nocturnal
Pasca aktivitas fisik
Riwayat atopi pasien

Pada pasien
(+)(mereda
bila

diberi

salbutamol

dan

deksametason
(+)Muncul bila malam hari, atau udara dingin
+
Terdapat riwayat alergi terhadap jenis udang laut,
bila terkena debu dan asap pasien bersin-bersin

Riwayat atopi keluarga

yang sering
(+) Ibu dan kakak kandung pasien menderita asma

48

Berdasarkan teori, adanya riwayat atopi dapat dijelaskan berhubungan


dengan factor kromosom 5q31-q33 dan 11q.13 Dari anamnesa tidak didapatkan
riwayat kontak dengan penderita TB, atau riwayat batuk lebih dari 3 minggu, hal
ini upaya untuk menelusuri kemungkinan terinfeksi oleh penyakit TB.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan
Tanda positif bronkopneumonia
Tanda dispneu
Pernafasan cuping hidung
Retraksi supraclavikula, suprasternal, intercostals
Suaran nafas : Ronkhi
Pernafasan (respiratory rate )

Pada pasien
+
+
54 x/menit

Tanda asma
Takipnea
Tanda dispneu : Retraksi intercosta
Retraksisuopraklavikula,
Perkusi hipersonor
Auskultasi : ronkhi, wheezing,

+
+
+

pemanjangan ekspirasi

Diagnosis yang dibuat adalah bronkopneumonia dan asthma bronkhiale.


Diagnosis banding lainnya adalah bronkiolitis, eksaserbasi bronkiektasis, payah
jantung, aspirasi benda asing, abses paru.
Untuk menegakkan diagnosis bronkopneumonia, diperlukan pemeriksaan
penunjang yakni laboratorium darah lengkap, foto rontgen thorak. 2 Pemeriksaan
laboratorium darah untuk melihat adanya infeksi. Pada infeksi yang disebabkan

49

oleh bakteri biasanya ditemukan leukositosis, sedangkan pada infeksi virus


mungkin tidak didapatkan leukosistosis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
pasien didapatkan Hb 13.2 gr/dl, leukosit 8.100, trombosit 339.800. disimpulkan
bahwa infeksi yang terjadi pada pasien adalah infeksi virus. Berdasarkan literature
bahwa penyebab utama terjadinya mengi pada anak adalah Respiratory synctitial
virus, sedangkan rhinovirus sebagai penyebab serangan asma akut.13
Pemeriksaan rontgen thorak yang diusulkan bertujuan untuk melihat
gambaran paru oleh karena adanya infeksi pada alveoli paru dapat memberikan
gambaran sebaran bercak infiltrate pada lapangan paru.
Dalam literature dijelaskan, gambaran radiologis pneumonia dibagi
menjadi 3 yakni air space pneumonia (pneumona alveolar), bronkopneumonia dan
pneumonia interstitial.
disebabkan

1,5

Secara patofisiologi air space pneumonia biasanya

pneumokokus.

Bronkopneumonia

disebabkan

oleh

infeksi

stafilokokus. Infeksi ini bermula dari jalan nafas menyebar ke alveoli


peribronkial. Pada bronkopneumonia dari foto thorax tampak infiltrate
peribronkial yang semiopak dan inhomogen di daerah hilus menyebabkan batas
jantung menghilang (silhouette sign). Tampak juga air bronkogram, dapat terjadi
nekrosis dan kavitasi pada parenkim paru.

1,10

Pada pneumonia yang disebabkan

virus biasanya didapatkan infiltrate difus didaerah perihiler. Pada pasien ini tidak
dilakukan pemeriksaan rontgen oleh karena orang tua menyampaikan foto rontgen
yang sebelumnya ( 3 bulan yang lalu). Untuk kepastian penyebab dapat dilakukan
dengan identifikasi kuman penyebab: kultur sputum atau bilasan cairan lambung,

50

kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus, deteksi
antigen bakteri, tetapi pada pasien tidak dilakukan. 1,2,3,4
Untuk menegakkan diagnosis asma bronkhiale, pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan adalah pengukuran fungsi paru dengan peak flow
meter/spirometri, pemeriksaan hitung jenis neutrofil, dan tes alergi kulit.
Berdasarkan teori pada penderita asma terjadi hiperesponsivitas saluran nafas
dengan respon imunologi berupa pelepasan mediator seprti histamine,
prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast
sedangkan eosinofil akan melepaskan platelet activating factor (PAF), major basic
protein (MBP) dan eosinophyl chemotactic factor (ECF) serta sel inflamasi seperti
sel mast, makrofag, eosinofil, neutrofil, limfosit T, basofil, sel dendrite, sel
structural.12 Sedangkan infeksi virus pada penderita asma akan menimbulkan
respon imun seluler dengan peningkatan makrofag, limfosit, sel mast, eosinofil,
neutrofil, sel NK.12 Timbulnya eksaserbasi asma pada penderita yang mempunyai
predisposisi timbulnya asma dengan kasus infeksi saluran nafas dapat dijelaskan
karena infeksi mikroba pada sel epitel saluran nafas akan mengaktivasi sel mast
serta mencetuskan peningkatan produksi sitokin seperti IFN , IL-1, IL-2, IL-4,
IL-6 dan TNF yang berperan dalam eksaserbasi asma. 13
Pada pasien ini karena usia 13 bulan sulit untuk dilakukan pemeriksaan
spirometri/peak flow meter. Berdasarkan literature, pemeriksaan faal paru dengan
alat tersebut hanya dapat dilakukan pada anak yang sudah besar (> 6 tahun). Dari
literature juga disebutkan jika gejala dan tanda asmanya

jelas serta respon

51

terhadap pemberian obat asma baik tidak harus dilakukan pemeriksaan diagnostic
lebih lanjut. Untuk klasifikasi asma yang diderita pasien 4

Tabel 4. Klasifikasi Asma Berdasarkan Derajat11


Parameter klinis,

Asma episodic

Asma episodic sering

Asma persisten

kebutuhan obat, dan

jarang

faal paru
Frekuensi serangan
Lama serangan

3-4 x/tahun
Sebentar atau

1x/bulan
Beberapa hari s/d 1

Sering 1x/bulan
Hamper sepanjang

beberapa hari

minggu

tahun atau tidak ada

Intensitas serangan
Diantara serangan

Biasanya ringan
Tanpa gejala

Biasanya sedang
Sering ada gejala

remisi.
Biasanya berat
Gejala siang dan

Tidur dan aktivitas


Pemeriksaan fisik di

Tidak terganggu
Normal (tidak

Sering terganggu
Mungkin terganggu

malam
Sangat terganggu
Tidak pernah normal

luar serangan
Obat pengendali

ditemukan kelainan)
Tidak perlu

(ditemukan kelainan)
Perlu, nonsteroid atau

Perlu, steroid inhalasi

steroid inhalasi dosis

dosis 400 g/hr

(anti inflamasi)
Uji faal paru (di luar

PEF/FEV1 > 80%

100-200
PEF/FEV1 60-80%

PEF/FEV1 <60%

serangan
Variabilitas faal

Variabilitas 20%

variabilitas30%

variabilitas 20-30%
Variabilitas 50%

paru (bila ada


serangan)

Pada pasien didapatkan sejak 3 bulan yang lalu frekuensi asma kadang
terjadi 1x dalam 1 bulan terutama bila subuh atau malam hari, apabila terjadi
kambuhan biasa berlangung selama 5 hari-7 hari, dan tidur malam menjadi
52

terganggu. Dari kelompok asma berdasarkan KNAA maka pasien digolongkan


menderita asma episodic sering.
Sehingga dari anamnese, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium
darah diagnosis pasien disimpulkan bronkopneumonia dan asma bronkhiale
(episodic sering).
Pada penatalaksanaan untuk pneumonia biasanya diberikan antibotik
terutama akibat infeksi bakteri.1,3,4,14,15 Pada pasien ini juga diberikan antibiotik
meskipun dugaan infeksi disebabkan oleh virus dan nilai leukosit masih dalam
batas normal dengan pertimbangan infeksi bakteri yang menyertai infeksi virus.
Dalam penggunaan antibiotic dikenal adanya terapi antibiotic yang appropriate
dan adekuat.15 Berdasarkan literature, terapi antibiotic yang appropriate adalah
suatu terapi yang sesuai dengan guidelines yang telah dibuat scientific society atau
clinical pathway, pathogen penyebabnya sensitive terhadap antibiotik tersebut
serta tidak ada tiwayat alergi atau adverse event pada pengobatan sebelumnya.
Sedangkan terapi antibiotik yang adekuat adalah apabila dosis dan cara pemberian
minimal sesuai dengan farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotic tersebut.14,15
Dalam penggunaan antibiotic pada anak lebih rumit daripada orang dewasa.
Pemakaian antibiotic yang itdak tepat (inappropriate) terutama pada anak dapat
menyebabkan munculnya resistensi kuman secara global.16 Terapi empiris yang
merupakan pemberian antibiotic sebelum data laboratorik pendukun diperoleh
dilakukan sengn cara menebak mikroba penyebab. Terapi definitive dilakukan
setelah hasil biakan kuman dan uji kepekaan diperoleh.16

53

Akan tetapi karena pertimbangan biaya yang cukup tinggi. Sehingga


pilihan antibiotic dilakukan berdasarkan penyebab tersering yang menyebabkan
penyakit tersebut (terapi empiris). Pemilihan antibiotic berdasarkan pemilihan
antibiotikuntuk pneumonia pada Negara maju.4

Tabel 3. Pemilihan Antibiotik pada Pneumonia Menurut Klasifikasi Umur4


Umur
<3
bulan

3
bulan
-5
tahun

Dugaan
kuman
penyebab
Streptococcus
pneumonia
Stafilococcus
Enterobactericeae

Streptococcus
pneumonia
Hemophilus
pneumonia
Stafilococcus

Antibiotic

Dosis

Kombinasi:
penisilin prokain
Gentamycin

50.000-100.000/kg/hr i.m
5-7 mg/kg/hr/im/iv 2-3
x/hr
50 mg/kg/hr im/iv, 4 x/hr
5-7 mg/kg

Kombinasi:
Kloksasilin
Gentamisin
Kombinasi
: 50.000-100.000iu/kg/hr,
Penisilin Prokain
im , 1-2x/hr
Kloramfenikol
Kombinasi
Ampicillin
Kloksasilin
Kombinasi :
Eritromisin :
Kloramfenikol

Streptococcus
pneumonia

Penisilin prokain
Fenoksimetil
penisilin
Eritromisin
Kotrimoksazol

50-100mg/kg/hr
4x/hr

iv/oral,

50-100 mg/kg/hr im/iv,


4x/hr
50 mg/kg/hr/im/iv, 4x/hr
50 mg/kg/hr, oral, 4x/hr
Dosis sama dengan di
atas
Dosis sama dengan di
atas
250.000-500.000
iu/kg/hr, oral, 4x/hr
Dosis sama dengan di
atas
54

Mikoplasma

Trimetophrim
mg/kg/hr, oral, 2x/hr

Berdasarkan jenis kuman terbanyak pada usia ini yakni S. pneumonia dan
H influenza maka dapat dipilihkan penisilin/ampicilin dan aminoglikosida atau
ampisilin dan kloramfenikol.4,9 Pilihan antibiotik ampicillin dan gentamysin ini
dengan pertimbangan sebagai antibiotic tingkat rendah dibandingkan golongan
lain seperti sefalosforin untuk menghindari bahaya resistensi.
Pilihan ampicillin merupakan antibiotic turunan beta laktam memiliki
anti bakterisidal dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel
bakteri. Antibiotik ini memiliki spectrum luas mencakup E.coli, Streptococccus
pyogenes,

Streptococcus

pneumonia,

Hemophilus

influenza,

Neisseria

gonorrheae.17
Gentamisin adalah golongan aminoglikosida yang diturunkan dari
actinomycete atau derivate semisintetik. Aminoglikosida terdiri dari dua atau lebih
asam amino gula yang terikat suatu cincin aminocyclitol dengan ikatan glycosidic.
Aminoglikosida adalah senyawa polar yang bersifat poli kationik, larut dalam air
yang bekerja menghambat sintesis protein melalui pengikatan ribosom 30 S secara
irreversible dan menyebabkan kode mRNA salah untuk dibaca oleh tRNA pada
waktu sintesis protein sehingga protein yang terbentuk adalah protein abnormal
yang nonfungsional bagi makroba. Aminoglikosida termasuk Gentamisin ini
efektif terhadap bakteri aerob gram positif terutama S.aureus dan koagulase
negative Staphylococcus, Streptococcus viridians, Enterococcus sp. Juga efektif
55

terhadap

bakteri

aerob

gram

negative

E.coli,

K.pneumoniae,

Proteus,

Acinetobacter, Citrobacter, Enterobacter, Morganella, Providencia, Serratia,


Salmonella, Shigella, Pseudomonas aerugenosa.17 Dari perhitungan dosis
Ampicillin dan Gentamisin, (50-100) x 10 kg : 3 dosis, yakni 166- 333 mg,
sehingga dosis 200 mg yang diberikan masih dalam rentang dosis terapeutik.
Sedangkan untu gentamisisn (5-8 mg) x 10 kg : 3 dosis , yakni 16.6 -26.6 mg.
sehingga dosis 20 mg masih dalam rentang dosis terapeutik.
Keputusan untuk menentukan kapan antibiotic intravena dihentikan dan
digantikan oral (terapi sulih atau switch therapy) tergantung dari penilaian respon
klinis seperti batuk, produksi dahak, sesak nafas, demam, dan leukositosis. Bila
pasien telah stabil secara klinis, terapi sulih dapat dilakukan.salah satu tujuannya
adalah untuk mempersingkat masa perawatan di rumah sakit sehingga mengurangi
perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Berdasarkan American Thoracix
Society, criteria rekomendasi untuk perubahan obat suntik ke oral adalah frekuensi
batuk dan sesak nafas berkurang, tidak demam dalam 2 kali pengukuran selang 8
jam, penurunan leukosit.2 Berdasarkan consensus IDAI antibiotic parenteral
diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun, dilanjutkan dengan pemberian
per oral selama 7-10 hari.7
Penanganan asma pada pasien diberikan teofilin 3 x 30 mg dan dari
evaluasi hari berikutnya didapatkan masih adanya wheezing ditambahkan terapi
steroid (deksametason) 3 x 1/3 ampul. berdasarkan consensus penatalaksanaan
asma untuk asma episodic sering adalah obat pelega berupa beta agonis atau
teofilin (hirupan atau oral) bila perlu dan ditambahkan obat pengendali
56

kromolin/steroid hirupan dosis rendah (100-200g/hari). Untuk beta agonis


seperti salbutamol dosis 0.1-0.15mg/kg/dosis, 3-4x/hari, untuk golongan derivate
xantin, amynophylline 4 mg/kg/dosis, 3-4 x/hari atau teophylline 3 mg/kg/dosis,
3-4x/hari. Untuk steroid lebih dipilihkan prednisone dengan dosis 0.5-2
mg/kg/hari dibagi 3 dosis. Pilihan steroid hirupan dimaksudkan untuk mengurangi
efek sistemik steroid yang tidak diinginkan akan tetapi harga jauh lebih mahal dan
perlunya edukasi dalam penggunaan preparat hirupan.
Steroid diberikan untuk menekan pelepasan mediator inflamasi yang
banyak terjadi pada penderita asma sesuai patofisiologi sebagai inflamasi kronik
selain pada infeksi lain seperti bronkopneumonia pada pasien. 7 Dari terapi yang
diberikan yakni deksametason , dari perhitungan dosis (0.5- 2)mg/hari x 10 kg
dibagi 3 dosis yakni 1.67- 3.34 mg/dosis. Pada evaluasi hari berikutnya anak
mengalami banyak perbaikan.
Berdasarkan revisi GINA 2003 yakni GINA guide line bahwa dalam
mengatasi sesak pada asma bronkhiale, menekankan pada kontrol asma. Pada
GINA 2003 pendekatan asma lebih pada klasifikasi keparahan sebelum memulai
terapi yang tepat. Namun untuk GINA 2006, tiga kata kunci yang penting adalah
asses, treat, monitor. Bila dijabarkan meliputi penilaian asma terkontrol dan
memonitor asma supaya tetap terkontrol.18,19
Sesuai dokumen GINA 2006, ada klasifikasi untuk menentukan asma
terkontrol yaitu terkontrol, terkontrol sebagian dan tidak terkontrol. Untuk
menentukan kondisi pasien, sesuai criteria tersebut, bisa dinilai dari beberapa

57

criteria. Pembagian ini mencerminkan pemahaman bahwa keparahan asma


melibatkan tidak hanya beratnya penyakit itu sendiri namun juga tingkat
responsive terhadap terapi. GINA merekomendasikan kombinasi kortikosteroid
inhalasi dan long acting 2 agonist (LABA). 18,19
Pada kasus ini juga diberikan analgesic antipiretik berdasarkan teori pada
penanganan infeksi saluran pernafasan ini, Obat ini digunakan untuk mengatasi
gejala letargi, malaise demam terkait infeksi pernafasan. Dosis yang diberikan
untuk paracetamol adalah 10-15 mg/kg/dosis yakni 90-150 mg/dosis atau cth
hingga 1 cth.
Pada kasus batuk ini, perlu diberikan mukolitik untuk mengencerkan
mucus yang kental, sehingga mudah diekspektorasi. Agen yang banyak dipakai
adalah acetylcystein yang dapat diberikan melalui nebulisasi maupun oral.

14

Mekanisme kerja adalah dengan cara membuka gugus sulfidril pada mucoprotein
sehingga menurunkan viskositas mucus.7 Pada pasien ini diberikan bentuk sediaan
campuran yakni Actifed ekspektoran dengan komposisi di dalam 5 ml
mengandung Triprolidine HCl 1.25 mg pseudoefedrine HCl 30 mg, guaifenesin
100 mg.20
Pada penatalaksanaan bronkopneumonia pada pasien ini, dilakukan konsul
kepada bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan diathermy dan chest fisioterapi.
Dan pada evaluasi batuk dan sesak pada pasien lebih berkurang. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa pada kasus bronkopneumonia ini dijumpai permasalahan
fisioterapi baik kapasitas fisik maupun kemampuan fungsional kapasitas fisik

58

yang diantaranya adalah adanya batuk dan sputum susah keluar, adanya sesak
nafas, adanya spasme otot-otot pernafasan dan adanya keterbatasan sangkar
thorak, dan kemampuan fungsional diantaranya pasien mengalami gangguan
dalam minum ASI.21 Sebagai perbandingan dari penelitian penatalaksanaan
fisioterapi pada pasien balita bronkopneumonia RS Karyadi Yogyakarta dengan
menggunakan modalitas inhalasi memakai alat nebulizer, chest terapi dan massage
yang bertujuan mengeluarkan sputum, mengurangi spasme otot pernafasan,
mengurangi sesak nafas dan meningkatkan mobilitas sangkar thorak serta dapat
meningkatkan kemampuan pasien seperti minum ASI. Untuk memberikan
penanganan yang efektif dan efisien, dilakukan suatu metode pemeriksaan yaitu
letak sputum dengan auskultasi, mendengarkan suara paru dengan perkusi dan
mobilitas sangkar thorak dengan menggunakan midline, spasme otot dengan
palpasi serta mengetahui adanya sesak nafas dengan penghitungan respiratory
rate. Dalam membantu mengatasi masalah-masalah tersebut dapat digunakan
modalitas berupa inhalasi menggunakan alat nebulizer, chest terapi dan massage.
Dan pada akhirnya didapatkan perubahan yaitu sputum pada paru kiri dengan
hasil 5 menjadi 2 dan pada paru kanan dari 5 menjadi 1, penurunan spasme otot
pernafasan pada M. sternocleidomastoideus dari 2 menjadi 0, pada M.
intercostalis eksternus dari 2 menjadi 1, pada M. upper trapezius dari 2 menjadi 0
dan pada M. serratus anterior dari 2 menjadi 0. Adanya penurunan sesak nafas dari
60 x/menit menjadi 50 x/menit. Dan terjadi peningkatan mobilitas sangkar thorak
pada daerah axilla inspirasi 39 cm dan ekspirasi 38 cm menjadi 40 cm pada saat
inspirasi dan 39 cm saat ekspirasi, pada daearah intercostal space ke-5 inspirasi 38

59

cm dan ekspirasi 37 cm menjadi 39 cm saat inspirasi dan 38 cm saat ekspirasi, dan


pada daerah xipoideus inspirasi 37 cm dan ekspirasi 36 cm menjadi 38 cm saat
inspirasi an 37 cm saat ekspirasi. Serta adanya peningkatan kemampuan pasien
yaitu minum ASI menjadi meningkat.21
Sebagai edukasi bagi orang tua pasien adalah apabila didapatkan sesak
pada anak perlunya memposisikan anak pada posisi semi fowler. Hal ini
dijelaskan dalam teori dalam penatalaksanaan bronkopneumonia. Dengan riwayat
adanya alergi maka sebaiknya menghindarkan dari makanan yang sering
menimbulkan alergi seperti jenis makanan laut kerang atau udang, atau makanan
lain seperti daging, susu sapi, telur dan kacang tanah.22
Hal ini disebabkan banyaknya permasalahan alergi pada bayi dan anak
yang terkait dengan mekanisme dalam tubuh yang belum sempurna, seperti
immaturitas pada saluran cerna, defisiensi sementara terhadap IgA, kondisi atopic,
paparan lingkungan (asap, tembakau, polusi udara), paparan antigen di usus yang
berlebihan, hingga efek penekanan imunitas pada infeksi virus. Biasanya
mekanisme alergi didominasi oleh sel mast yang mendapat paparan oleh allergen
kemudian akan melepaskan enzim antibpdi IgE. Pelepasan IgE akan memicu
degranulasi dan mengakibatkan ledakan histamine, leukotrien dan mediator
lainnya, sehingga dari sinilah muncul reaksi alergi.22

60

Daftar Pustaka

1. Rahmawati, A., Kurniawati, A.D. 2008. Bronkopneumonia. Medical study


club (MiSC)fkui.org.
2. Kantjananingrat, M. 2006. Saatnya Mengenal Radang Paru Non-TB yang
Tak Kalah Mematikan. Farmacia Vol.V No.9 April 2006. Jakarta: PT
Amythas Publicita.
3. Melintira, I., Yunus, F., Wiyono, W.H. 2003. Peranan Chlamydia
pneumonia dan Mycoplasma pneumonia Terhadap

Eksaserbasi Asma.

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Dalam Cermin Dunia Kedokteran No.14, 2003.
Jakarta : PT Kalbe Farma.
4. Sukartini, Khotimah, S., Yuliana, Meiliati, Yadi. 2008. Buku Panduan
Tutor Blok 9 Anak dan Remaja tahun akademik 2008/2009. Samarinda:
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
5. Anderson, S. 2000. Patofisiologi Kedokteran . Jilid II. Jakarta: penerbit
buku Kedokteran EGC
6. Tim Penyusun. 2005. Pedoman Diagnosis dan terapi Bag/SMF Ilmu
Penyakit Paru RSU Dr. Soetomo. Surabaya: FK Univesitas Airlangga.
7. Pusponegoro, H.D., Hadinegoro, S.R.S., Firmanda, D., Tridjaja, B.,
Pudjiadi, A.H., dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
8. Rochmat, R. 2008. Bronkopneumonia. Diperoleh dari http://ratihrochmat.
blogspot.com diakses tanggal 15 januari 2009.
9. Sukartini, Setiono, Y.B., Mnthurio, Tamboen, I. 2008. Pedoman Diagnosis
Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahanie Samarinda
61

10. Maleuka, R.G. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Penerbit Pustaka


Cendekia Press.
11. Rahajoe, N. Deteksi dan Penanganan Jangka Panjang Asma pada Anak.
Disampaikan dalam Symposium Masalah Alergi dan Penyakit Infeksi pada
Anak, Samarinda 3 oktober 2004.
12. Wiyono, W.H., Yunus, F., Rahmawati, I. 2003. Patogenesis dan
Patofisiologi Asma. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dalam Cermin Dunia
Kedokteran No.14, 2003. Jakarta : PT Kalbe Farma.
13. Rusli, A., Wiyono, W.H., Yunus, F. 2003. Pengaruh Infeksi Virus pada
Perkembangan Asma. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dalam Cermin Dunia
Kedokteran No.14, 2003. Jakarta PT Kalbe Farma.
14. Umar, F., Zardania, E., Nirwani, R., Purnama, N.R., Istiqomah, S.N., dkk.
2005. Pharmeceutical Care untuk Penyakit Infeksi saluran Pernafasan.
Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas Klinik. Ditjen Bina Farmasi
dan Alkes. Departemen kesehatan RI.
15. Soedarsono, 2005. Simposium Pulmonary Update II Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia.20-21 Agustus. Farmacia Vol.V, No. 3 Oktober 2005. PT.
Amythas Publicita.
16. Tambunan, T. 2004. Cegah Resistensi Antibiotic pada Anak. Dalam
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak ke-46 (PKB
IKA 46), 5-6 September. Farmacia: Vol.1v. No.3. Oktober 2004. PT
Amythas Publicita.
17. Istiantoro, Y.H. 2006. Menelisik Antibiotik Anyar. Farmacia: Vol.V. No.7
Februari 2006. Penerbit PT Amythas Publicita
18. Rasyid, A. 2006. Terapi kombinasi Asma. Farmacia Vol.VI, No. 1 Agustus
2006. PT. Amythas Publicita
62

19. Rasyid, A. 2007. Medikasi Tepat Asma Terkontrol. Symposium Pertemuan


Ilmiah Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi 2007.al PAPDI ke-4.
Farmacia Vol.VI. Januari 2007. Jakarta : PT. Amythas Publicita
20. Evaris, Suciati, R. 2008. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi . Jakarta
PT InfoMaster lisensi dari CMP Medica.
21. Hapsari, a.p.w. 2007. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Balita Dengan
Kondisi Bronkopneumonia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta .
Diperoleh dari http://etd.library.ums.ac.id/go.php. Diakses tanggal 10
januari 2009
22. Rengganis, I. 2006. Menyiasati Alergi Susu Sapi pada Anak dalam Jakarta
Allergy and Clinical Immunology Asia Pacific Association of pediatric
Allergy, Respiratory and Immunology (JACI APAPARI ) Jakarta: 21-23
April 2006. Farmacia Vol.V No.11 Juni 2006. Penerbit PT Amythas
Publicita.

63

Anda mungkin juga menyukai