Anda di halaman 1dari 24

PENDAHULUAN

Belakang ini dukungan segenap pihak dalam rangka pemberdayaan UKM, mengalir amat
deras. Kondisi yang menggembirakan itu, memperlihatkan komitmen yang tidak perlu
diragukan lagi dari semua pihak terhadap pemberdayaan UKM. Dalam hal ini setidaknya
terdapat tiga hal yang menarik untuk dicermati. Pertama, timbulnya kesadaran yang kuat
untuk merubah orientasi pembangunan ekonomi, ke paradigma baru. Proses pembangunan
di masa lalu yang kurang menguntungkan, dan berakibat terjadinya krisis ekonomi, telah
menimbulkan kesadaran semua pihak, khususnya pemerintah, untuk berpihak pada pemberdayaan UKM. Paradigma pembangunan kemudian, lebih menitikberatkan pada
pemberdayaan ekonomi dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas yang berdasarkan pada semangat kerakyatan, kemartabatan dan kemandirian, dalam upaya penciptaan
pemerataan, dengan tanpa meninggalkan aspek pertumbuhannya.
Kedua, di tengah terjadinya krisis ekonomi, UKM justru berfungsi sebagai
penyelamat dari krisis yang lebih dalam. Pada saat usaha besar dan konglomerat banyak
yang gulung tikar, karena tanggungan utang yang makin melambung akibat depresiasi
nilai tukar rupiah yang merosot tajam, UKM justeru dapat tetap bertahan. Sektor ini,
bahkan, telah dapat menopang ekses yang ditimbulkan krisis, dengan menampung para
penganggur di sektor informal.
Ketiga, seiring dengan proses demokratisasi, peran serta masyarakat menjadi terbuka
lebar. Dengan terbukanya kesempatan itu banyak elemen masyarakat yang menyuarakan
pentingnya perhatian kepada UKM. Dengan dukungan dan desakan itu, sebenarnya
kondisi sekarang ini merupakan momentum yang tepat untuk memberikan porsi pantas
dalam proses pemberdayaan UKM di tanah air. Dalam hal ini peran serta masyarakat
merupakan kata kunci perubahan paradigma pemberdayaan UKM. Partisipasi juga
sebagai tolok ukur dalam menilai kinerja pemerintah. Karena itu peningkatan peranserta
masyarakat merupakan hal penting. Dalam hal ini pemerintah tidak lebih hanyalah
menjalankan fungsi sebagai regulator, fasilitator dan stimulator /dinamisator .
Pertanyaannya, apakah hal-hal tersebut telah cukup dijadikan dasar untuk
melakukan pemberdayaan UKM? Apakah pendekatan dalam pemberdayaan UKM telah
berjalan efektif? Apa, bagaimana dan mengapa pendekatan klaster? Bagaimana pengalaman penerapan klaster di Indonesia? Dan akhirnya bagaimana persfektif perkembangan
klaster ke depan.

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

POSISI PERKEMBANGAN UKM

Harus diakui bahwa UKM merupakan potensi yang sangat penting dan strategis dalam
perekonomian nasional. Karena selain memiliki jumlah yang besar, UKM juga menyebar
hingga ke pelosok pedesaan. Dari segi kuantitatif, jumlah pelaku usaha di Indonesia pada
tahun 2001 mencapai 40.197.611 juta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 99,86 persen di
antaranya adalah usaha kecil (40.137.773), dimana 97,6 persen di antaranya adalah usaha
mikro. Sedang jumlah usaha berskala menengah sebanyak 57.743 atau 0,14 persen, dan
usaha besar hanya 0,005 persen atau berjumlah 2.095 saja (BPS, 2001).
Kontribusi UKM juga amat jelas. Usaha kecil dan menengah yang jumlahnya dominan
tersebut, mampu menyediakan 99,04 persen lapangan kerja. Demikian halnya
sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Non Migas, cukup meyakinkan
yaitu sebesar 63,11% persen. UKM juga memberikan kontribusi pada ekspor non migas
sebesar 14,20% (BPS, 2001). Hal ini berarti pada sektor-sektor dimana terbuka bagi
masyarakat luas UKM mempunyai sumbangan yang nyata. Sehingga kemampuan untuk
melahirkan percepatan pemulihan ekonomi akan ikut ditentukan oleh kemampuan
menggerakan UKM.
Di sisi lain UKM juga menghadapi berbagai permasalahan yang cukup krusial.
Secara spesifik setidaknya terdapat empat permasalahan internal dan delapan permasalahan eksternal, yang merupakan problem klasik yang dihadapi UKM.1 Keempat
permasalahan internal tersebut adalah: (1) terbatasnya penguasaan dan pemilikan aset
produksi, terutama permodalan; (2) rendahnya kemampuan SDM; (3) ditinjau dari
konsentrasi pekerjaan sumberdayanya, pengembanganya terhambat oleh konsentrasi
rakyat di pedesaan yang bergerak pada sektor pertanian; (4) kelembagaan usaha belum
berkembang secara optimal dalam penyediaan fasilitas bagi kegiatan ekonomi rakyat.
Sementara kedelapan permasalahan eksternal yang dimaksud adalah: (1) terbatasnya
pengakuan dan jaminan keberadaan UKM; (2) kesulitan mendapatkan data yang jelas dan
pasti tentang jumlah dan penyebaran UKM; (3) alokasi kredit sebagai aspek pembiayaan
masih sangat timpang, baik antargolongan, antarwilayah, dan antardesa-kota; (4) sebagian
besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk-produk fashion
dan kerajinan dengan lifetime yang pendek; (5) rendahnya nilai tukar komoditi yang
dihasilkan; (6) terbatasnya akses pasar; (7) terdapatnya pungutan-pungutan atau biaya
siluman yang tidak proporsional; (8) munculnya krisis ekonomi dengan berbagai
implikasinya.
Beberapa problem lain yang juga tak kalah seriusnya, antara lain, mekanisme
perencanaan dari atas ke bawah yang tidak efektif untuk mengatasi detail-detail
problematika faktual yang dihadapi UKM; perumusan program yang tidak terkait dengan
prakondisi dasar pemberdayaan ekonomi rakyat (yakni mentalitas enterpreneurship); masih
adanya kelompok-kelompok kepentingan di lingkaran kekuasaan; hingga jaring-jaring
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masih kuat.2
Sejak krisis moneter muncul, dan kemudian diikuti krisis ekonomi lebih luas,
dampak tidak menyenangkan dialami pula di sektor UKM. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut, antara lain: (1) tingginya bunga kredit, sehingga suplai kredit
Adi Sasono, Hambatan dan Pokok Persoalan Ekonomi Rakyat dalam Adi Sasono Pikiran, Langkah, dan
Komitmennya terhadap Ekonomi Kerakyatan, (CIDES, 2000) h.74.
2 Indra Ismawan, Sukses di Era Ekonomi Liberal Bagi Koperasi dan Perusahaan Kecil-Menengah (Grasindo,
2001)
1

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

berkurang, berakibat pada kurang terbukanya sektor produksi; (2) tingginya biaya impor
bahan baku dan suku cadang, yang mengakibatkan meningkatnya biaya produksi,
sehingga keperluan modal kerja meningkat; (3) tingginya biaya untuk permesinan, peralatan, dan suku cadang, yang berkaitan dengan teknologi; (4) cash flow terganggu akibat
lambatnya pembayaran utang; (5) nilai tukar mata uang asing yang masih volatile,
meningkatkan risiko transaksi antarnegara.3
Rintangan-rintangan di atas, bagaimanapun menghalangi pembentukan kelas wirausaha
yang bebas mendirikan perusahaan mereka sendiri. Perusahaan kecil dan menengah sering
tampak sebagai usaha sia-sia dan nirlaba. Padahal, aktivitas wirausaha dibutuhkan untuk
membangun sebuah kekuatan ekonomi berbasis luas. Ada hubungan kuat antara eksistensi
kelas wirausaha yang kokoh dengan sebuah kondisi ekonomi yang beragam, dan keduanya
berpadu untuk menciptakan ekonomi nasional yang lebih ulet, menghadapi perilaku pasar
internasional, yang tidak selalu dapat dipastikan, dan berkemampuan menyediakan
kesempatan pekerjaan yang lebih besar dengan biaya lebih murah.4

Lihat, Soeharto Prawirokusumo, Ekonomi Rakyat, Konsep, Kebijakan, dan Strategi (BPFE, 2001).
Lihat, poin Mendorong Perusahaan-perusahaan Bisnis Kecil dan Menengah dalam Penilaian Demokratisasi
di Indonesia diterbitkan oleh Lembaga Internasional untuk Bantuan Demokrasi dan Pemilu (International
IDEA), 2000.
3
4

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

PENGEMBANGAN PENDEKATAN
PEMBERDAYAAN UKM

Pemerintah

di berbagai negara, pada umumnya mendukung UKM. Hal tersebut


dilakukan mengingat kontribusinya yang signifikan atas lapangan kerja, inovasi dan
pertumbuhan. Dukungan pemerintah tersebut bertujuan memajukan sektor UKM, agar
bergairah dan tumbuh secara dinamis. Namun demikian, biasanya dukungan pemerintah
terhadap UKM tersebut, tidak berjalan secara optimal.
Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan peran negara kurang memuaskan dalam
pemberdayaan UKM. Pertama, relevansi pembinaan terhadap UKM terbatas. Maksudnya
penyediaan jasa berlandaskan pandangan sempit tentang kebutuhan UKM, yaitu lebih
banyak ditentukan dari sisi pemberian layanan (supply driven) dan bukan karena
pengetahuan tentang apa yang diperlukan UKM. Kedua, jangkauan sasaran terbatas. Hal ini
disebabkan oleh ketergangtungan pada subsidi dan ketentuan jenis bantuan pemerintah
terhadap UKM. Akibatnya jumlah perusahaan yang menerima bantuan menjadi terbatas,
terutama oleh jumlah dana yang dianggarkan pemerintah. Ketiga, kesinambungan yang
lemah. Kemacetan program yang tengah dijalankan terjadi akibat ketergantungannya pada
dana pemerintah dan sifat mekanisme pemberian bantuan, akibatnya fatal ketika bantuan
dana dihentikan atau seringkali hanya berlaku untuk sekali saja.
Berkaca dari berbagai hal di atas, kini telah dikembangkan wacana praktek terbaik
(best practice) dalam konteks pengembangan UKM yang dapat diterapkan di berbagai
negara.5 Pengembangan UKM dibedakan ke dalam dua aspek: finansial dan nonfinansial.
Meskipun Indonesia telah lama memiliki program pengembangan usaha
kecil/industri kecil namun dirasakan masih belum efektif dan berkelanjutan (sustain).
Untuk itu ada satu persyaratan penting yang selama ini kita abaikan yaitu: Focused, Strategic
and Coelective approach. 6 Untuk memungkinkan pendekatan yang Cost effective dan Demand
driven maka hanya dapat dilakukan bila Cluster of Small Business dapat beroperasi dalam
batas kawasan yang dekat antara satu dengan lainnya serta memiliki keterkaitan yang kuat
sebagai suatu sistem yang produktif. Cluster pada umumnya merupakan kecenderungan
spontan dari usaha sejenis untuk melakukan kegiatan yang saling mendekati. Meskipun
terdapat berbagai macam bentuk klaster yang dikembangkan seperti Pusat Inkubasi Teknologi, Technological Park, Lingkungan Industri Kecil, Kawasan Berikat dan lain-lain
maupun yang sifatnya embrional seperti sentra industri yang menjadi fokus adalah
membangun dinamika klaster sehingga kegiatan UKM yang ada di dalamnya dapat
mencapai kemajuan.
Praktek Terbaik Dukungan Non-Finansial
Praktek terbaik dukungan non-finansial memperhatikan tiga hal: menciptakan
business development services (BDS) atau jasa pengembangan usaha yang efektif; penggunaan
teknologi secara tepat bagi pengembangan UKM; fasilitasi akses teknologi informasi dan
Hal ini telah dibicarakan dan menjadi wacana utama praktek terbaik pengembangan UKM, dalam Trade and
Development Board Commision on Enterprise, Business Facilitation and Development Expert Meeting on Sustainable Financial
and Non-Financial Services for SME Development, Geneva, 2-4 Juni 1999.
6 United Nation Conference on Trade and Development Providing Sustaniable Financial and non Financial
Services for SME Develoment, Genere, 16 April 1999 P.4
5

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

telekomunikasi. Pendekatan best practices pemenuhan pelayanan aspek non-finansial, setidaknya harus mempertimbangkan prinsip-prinsip7 sebagai berikut: (1) orientasi demandside dan penyesuaian terhadap kebutuhan pengguna; (2) subsidiarity (siapa dapat bekerja
menghasilkan apa yang terbaik); (3) terfokus, dengan pendekatan kolektif dan strategis;
(4) orientasi pasar dan bisnis; (5) pengembalian ongkos (cost recovery); (5) subsidi silang
dalam pelayanan dan rekanan; (6) berkesinambungan (finansial dan kelembagaan); dan
(7) monitoring dan performance measurement.
Menciptakan Business Development Services (BDS) atau Layanan
Pengembangan Bisnis yang efektif.
Istilah BDS dalam konteks pengembangan UKM, kini, setidaknya telah dikenal
luas. Istilah ini penting bagi pengembangan UKM pada aspek non-finansial. Secara
singkat, BDS kerap diartikan sebagai jasa non-finansial yang bertujuan meningkatkan
kinerja suatu perusahaan individual.
Secara khusus, Committee of Donor Agencies for Small Enterprise Development
mendefinisikan BDS sebagai jasa non-finansial yang meningkatkan kinerja perusahaan,
aksesnya ke pasar, dan kemampuannya untuk bersaing, yang mencakup beraneka ragam
jasa usaha yang dirancang untuk melayani kebutuhan perusahaan secara individual, bukan
untuk melayani komunitas bisnis secara luas.
Sementara, dalam suatu studi OECD tahun 1985 Boosting Businesses Advisory Services,
BDS dirumuskan sebagai jasa non-finansial yang bertujuan meningkatkan berfungsinya
UKM dalam beraneka ragam aktivitas dan meningkatkan kinerjanya, melalui pemberian
saran dan keahlian khusus eksternal dalam jangka waktu singkat atau sementara, sebagai
pelengkap sumberdaya internal perusahaan bersangkutan.
Dari definisi-definisi di atas, setidaknya, secara generik BDS, diartikan sebagai jasa nonfinansial yang bertujuan meningkatkan kinerja, akses ke pasar dan kemampuan bersaing
suatu perusahaan individual, yang tersedia untuk jangka waktu singkat atau sementara.
Lingkup aneka jasa yang dimaksud antara lain: pelatihan manajemen dan teknik (jangka
pendek); konsultasi masalah manajerial dan teknis; perbaikan dan pemeliharaan; desain
produk; sertifikasi produk dan proses; konsultasi jasa teknologi informasi dan komputer;
jasa informasi; jasa kurir; jasa riset pasar, pialang perdagangan, jasa iklan dan hubungan
masyarakat; jaringan pialang; jasa akuntansi, sekretarial, perpajakan, dan hukum; konsultasi
finansial dan kepialangan; serta konsultasi dan pelatihan pembukaan usaha baru.
Suatu strategi realistik dengan kinerja tinggi dan ekonomis untuk menciptakan jasa
pengembangan usaha (BDS), setidaknya harus didasarkan pada tiga tiang utama: pertama,
harus diciptakan kondisi untuk menggairahkan pengembangan sektor swasta. Sektor
swasta bagaimanapun memerankan peran yang signifikan bagi pengembangan UKM, oleh
karenanya pemerintah harus mengkondisikan iklim usaha yang kondusif yang berdampak
positif bagi pasar dan bisnis. Kedua, pengembangan pasar BDS yang semakin diprioritaskan. Artinya pola penyediaan jasa BDS yang berdasar pada ketersediaan dan subsidi
pemerintah, harus digeser ke arah pola yang mengembangkan lingkungan pasar yang
efektif, sehingga memungkinkan penyediaan BDS secara komersial atas dasar permintaan
pasar. Ketiga, upaya mengembangkan pasar BDS swasta seyogyanya dilengkapi dengan
pengurangan dan rasionalisasi keterlibatan sektor pemerintah. Pengurangan peran
kovensional pemerintah dalam penyediaan jasa dapat didorong dengan cara memperketat
aturan pengembalian ongkos (cost recovery) BDS agar program ini bisa berlanjut secara
finansial, menggunakan sektor swasta untuk menyalurkan BDS yang di danai pemerintah,
1.

Lihat, UNCTAD Secretariat, Providing Sustainable Financial and Non-Financial Services for SME Development 1999.

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

dan melakukan evaluasi lebih ketat terhadap dampak yang terkait dengan alokasi
anggaran untuk BDS. Rasionalisasi pengucuran dana pemerintah untuk BDS dapat
diikuti dengan swastanisasi program yang telah sepenuhnya mencapai cost recovery.
Dalam konteks penyedia jasa BDS, setidaknya harus diperhatikan dua hal:
selayaknya bersikap sebagaimana pelaku pasar lainnya dan mengikuti permintaan pasar
(market oriented); sebaiknya memfokuskan diri pada bidang yang benar-benar dikuasainya.
Bagaimanapun, tampaknya, jasa bisnis menjadi semakin penting di semua negara. Di
negara maju separuh dari angka pertumbuhan GDP diperoleh dari jasa bisnis, sedangkan
di negara berkembang sekitar sepertiga, dan jasa bisnis merupakan bidang dengan
pertumbuhan tertinggi di negara industri. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sesungguhnya keberadaan jasa bisnis (di tengah lingkungan global dan lokal yang makin
kompleks dan kompetitif) sebagai penambah nilai pada komoditi, barang dan proses
makin diakui, sehingga memungkinkan perusahaan bersaing lebih efektif, dapat mengakses pasar baik yang ada maupun yang baru dan beroperasi dengan lebih efisien.
Dalam rangka pengembangan BDS itu sendiri, diperlukan intervensi secara
langsung, terutama dari pemerintah dan donor, sebagai upaya menghadapi kendala
institusional-fundamental dan guna mengembangkan pasar secara efektif. Hal ini terkait
dengan hambatan khas UKM dan respon intervensinya secara tepat.
Pengalaman internasional dan best practice menuju ke suatu fokus baru, yakni
memfasilitasi pengembangan pasar dan bekerja dengan berbagai macam mitra, daripada
memberikan subsidi kepada penyediaan jasa. Dalam konteks pengembangan praktek
terbaik, perlu diperhatikan beberapa prinsip, yaitu: (1) tujuan intervensi haruslah
pengembangan pasar; (2) intervensi pemerintah harus menjelaskan bagaimana
kesinambungan akan tercapai. Artinya, misalnya, hal seperti kontrol, biaya pembayaran
jasa, dan pengukuran kinerja dan evaluasi harus dipertimbangkan sejak awal dan bukan
sesudahnya; (3) diperlukan pelaku dan mekanisme berbeda untuk mendukung pengembangan pasar. Dalam hal ini terdapat dua pelaku dalam mendukung jasa bisnis: penyedia
BDS dan fasilitator BDS.
Penyedia BDS umumnya merupakan lembaga bisnis cari laba (for profit businesses)
yang menyediakan jasa usaha secara langsung ke klien dengan suatu bayaran, atau
digabung dengan suatu transaksi komersial lainnya. Sedangkan fasilitator BDS adalah
lembaga internasional atau lokal yang menetapkan tujuan utamanya untuk
mempromosikan pengembangan pasar lokal BDS. Cakupannya antara lain, beraneka
ragam bagi penyedia BDS (misalnya, informasi, pendidikan mengenai potensi pembelian
jasa BDS). Fasilitator bisa merupakan organisasi cari untung atau tidak cari untung, tetapi
prinsipnya harus dekat dan memahami cara kerja pasar dan perusahaan meskipun mereka
sendiri bukan pelaku langsung dalam pasar. Fasilitator BDS haruslah berada di luar
pemerintah dan donor, meskipun harus bertanggungjawab kepada mereka, agar bisa
berinteraksi secara wajar dengan pelaku pasar.
Penyaluran dukungan pemerintah atau donor ke fasilitator BDS, bukan ke lembaga
penyedia BDS (apalagi langsung ke perusahaan UKM), merupakan elemen kunci dalam
pendekatan baru untuk mengembangkan pasar BDS yang berfungsi dengan baik. Hal ini
merupakan suatu perkembangan yang baru terjadi sekitar pertengahan tahun 1990-an,
namun sudah terkumpul banyak dari pengalaman Amerika latin, Afrika, dan Asia.
Indikator perkembangan pasar, merupakan salah satu hal untuk mengukur kinerja
intervensi, selain indikator pengkajian dampak intervensi BDS di tingkat perusahaan, dan
indikator pengukuran kinerja pada tingkat penyedia komersial BDS. Indikator
Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

10

perkembangan pasar, terkait dengan tiga dimensi pasar yang menjadi fokus khusus dalam
proses riset: ukuran, diversitas dan kemampuan bersaingan, serta akses oleh kelompok
yang kurang mendapat BDS (lihat tabel).
Tabel 1
Tipe Indikator Kunci Pengembangan Pasar

DIMENSI PASAR
Ukuran

FOKUS INDIKATOR
Jumlah perusahaan yang membeli jasa BDS
Omset penjualan penyedia BDS
Persentasi yang tercapai di pasar potensial
Diversitas
Jumlah Penyedia
Jumlah Produk
Distribusi rentang harga
Jumlah alur bisnis ke bisnis
Akses
Jumlah dan persentase pemakai dari sasaran
populasi
Sumber: Praktek Terbaik dalam Menyediakan Jasa Pengembangan Usaha bagi Usaha Kecil Menengah

Strategi pengembangan BDS dalam konteks pengembangan UKM, sebagaimana


diuraikan di atas, sesungguhnya merupakan embrio atas konsep klaster bisnis. Konsep
klaster bisnis, yang dimaksud dalam hal ini, setidaknya merupakan pendekatan baru, yang
membedakan dengan kebijakan-kebijakan lama (konvensional). Dengan demikian,
sesungguhnya, klaster bisnis bisa berkembang, dengan tidak harus melibatkan intervensi
langsung pemerintah dan lembaga donor dalam konteks pengembangan UKM yang
memang sudah seharusnya berorientasi bisnis.
2.

Teknologi untuk Pengembangan UKM


Globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia telah membuka kesempatan bagi
perusahaan-perusahaan di seantero dunia, terutama negara-negara sedang berkembang,
dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan tingkat kompetitifnya. Namun
demikian, agaknya bagi UKM masih terdapat kesulitan untuk mengakses, memanfaatkan,
dan menguasai teknologi. Padahal dengan penguasaan atau akuisisi teknologi (technology
acquisition) secara baik, akan didapatkan efektivitas dan efisiensi dalam soal waktu, biaya, dan
resiko, terutama dalam mengembangkan perusahaan UKM yang profesional.
Akuisisi teknologi merentang dalam berbagai bentuk, mulai dari aspek pembelanjaan
(purchases), franchising, licensing, hingga aliansi strategis antara perusahaan dengan pihak yang
menguasai program-program teknologi dalam konteks transfer teknologi. Namun
demikian, efektivitas transfer teknologi, tidak saja tergantung pada aksesibilitas dan hal-hal
yang terkait dengan penguasaan teknologi semata, namun juga harus melihat kondisi
permintaan lokal (local demand condition) dan kemampuan untuk menentukan skala prioritas
teknis pembangunan dan kemampuan manajerial, yang mampu menyerap dan mengelola
implementasi penguasaan teknologi tersebut.
Penguasaan teknologi, terkait dengan segala aspek yang menyertai pengembangan
UKM, dari mulai pengadaan bahan baku, pengolahan dan peningkatan mutu produk,
distribusi, dan kelayakan atas kondisi pasar yang ada. Dengan demikian, diharapkan
UKM akan semakin efektif dan efisien, memenuhi kebutuhan skala lokal, bahkan jika
memungkinkan juga kebutuhan dalam skala internasional.
Rintangan klasik dalam upaya penguasaan teknologi adalah kurangnya kapasitas lokal
dan keahlian untuk menyeleksi, memperoleh, mengadaptasi, dan mengasimilasi teknologi,
seiring dengan keterbatasan dan kekurangan sarana finansial, sebagaimana pula dalam
penguasaan informasi. Tidak banyak UKM yang telah memiliki kapasitas jaringan dan
monitoring yang memungkinkan mereka untuk mampu mengakses informasi secara baik.
Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

11

Padahal, biasanya UKM bisa menentang kehadiran resiko lebih parah, bila mereka mampu
melakukan inovasi-inovasi yang didasarkan pada teknologi baru.
Walaupun memiliki keterbatasan, format baru yang dikembangkan dengan memakai
teknologi yang tepat, merupakan awal yang baik bagi tumbuhnya pendapatan yang akan
diperoleh perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Gambaran umum
atas format baru yang dimaksud, terkait dengan kemampuan untuk mengembangkan
produk-produk baru, dengan melibatkan teknologi dan proses-proses yang terkait
dengannya, atau dengan memproduksi dan memasarkan produk-produk baru tersebut.8
Dalam konteks penguasaan bio-teknologi dan informasi pengembangan teknologi
terbaru, diperlukan kerjasama antara perusahaan-perusahaan UKM lokal dengan
perusahaan-perusahaan asing (foreign firms) yang berkembang dalam konteks hubungan
antar-negara Utara-Selatan (North-South) dan Selatan-Selatan (South-South).9 Kerjasama
dan pengembangan jaringan antara perusahaan dan lembaga riset dan teknologi antara
Selatan dan Utara-Selatan telah menjadi hal yang menggejala. Contoh yang baik dalam
konteks ini, misalnya tipe jaringan (network) yang dikembangkan oleh Agricultural Research
and Extension Network (AGREN), Rural Development Forestry Network (RDFN), dan Cassava
Biotechnology Network (CBN).10
Agaknya sudah menjadi catatan umum bahwa transfer teknologi telah menjadi proses
penting, dan merupakan kunci bagi perusahaan UKM, dalam konteks penguatan dan
pengembangan inovasi, serta kapabilitas perusahaan dalam menumbuhkan industri dan
kompetisi internasional. Dengan mempelajari teknologi, bagaimanapun, tidak akan menempatkan mereka dalam isolasi atau ketertutupan dengan yang lain. Lebih dari itu, perspektif
inovasi teknologi membuat mereka mampu berinteraksi dalam dan antar-perusahaan, dengan
para supplier, para rekanan (clients), serta struktur pendukung lokal (local support structures), seperti
lembaga litbang dan produktivitas, lembaga kredit, universitas, dan para pembuat kebijakan
(policy makers).
Peran pemerintah dalam hal ini amatlah signifikan. Pemerintah sebagai fasilitator,
memungkinkan untuk menciptakan situasi kondusif bagi pengembangan dan penguasaan
teknologi, serta merangsang pelbagai inovasi atas penguasaan teknologi tersebut, serta, yang
utama ialah menumbuhkan semangat belajar untuk menguasai teknologi baru yang
berkembang demikian cepat. Kendalanya, selama ini berbagai perusahaan dengan tingkat
yang berbeda-beda mencoba mempelajari sendiri penguasaan teknologi, sehingga hasilnya
adalah kesulitan untuk menetapkan strategi inovasi. Dalam konteks ini undur fleksibilitas
memang penting, terutama dalam konteks kebijakan yang dinamis. Dibutuhkan interaksi
antara penentu kebijakan dengan aktor UKM dalam mengembangkan proses
pengembangan UKM berbasis teknologi yang terkait erat dengan investasi dan pemasaran.
Dalam menata dan mengembangkan kappabilitas lokal untuk mentransfer teknologi
dan inovasi, dibutuhkan kolaborasi, jaringan, dan klaster-klaster. Hal ini memungkinkan
perusahaan UKM untuk memperhitungkan tingkat resiko dan biaya, dalam mengakses
8 Lihat juga UNCTAD (1997), An Overview of Activities in the Area of Inter-firm Cooperation: A Progress Report
(UNCTAD/ITE/EDS/2); UNCTAD (1998) Selected Policy Issues, Measures and Progarmmes on Inter-firm Partnerships
(TD/B/Com.3/EM.4/2); UNCTAD (1996) Exchanging Experiences of Technology Partnership: The Helsinki Meeting of
Experts (UNCTAD/DST/15).
9 Lihat UNCTAD, World Invesment Report 1996 (untuk pengembangan bio-teknologi) and 1998 (untuk teknologi
informasi), dan L. Acorta et.all. (1998), untuk kolaborasi teknologi antar-perusahaan.
10 Untuk analisa yang detil di seputar jaringan riset dan teknologi Utara-Selatan, lihat R.J. Engelhard dan Louk
Box, Making North-South Research Networks Work (UNCTAD).

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

12

pasar, baik yang terkait dengan perusahaan kecil, sedang (menengah), dan besar, juga
dalam konteks tukar-menukar informasi (sebagai contoh, dalam hal pengembangan
teknologi dan pemasaran produk-produk alami) serta hubungan komersial. Dengan
demikian, sesungguhnya UKM amat potensial untuk berpartisipasi atau terlibat dalam
pasar internasional yang demikian kompetitif.
Struktur pendukung teknis dan komersial, semisal laboratorium litbang, pusat
transfer teknologi, fasilitas kontrol kualitas, dan agensi promosi ekspor, haruslah
dikembangkan secara seksama. Demikian pula menyoal penciptaan desain dalam
memperoleh dan memanfaatkan informasi atas jasa teknologi, kaitannya dengan pengembangan UKM. Dukungan atas struktur teknis dan komersial di atas, memerlukan
identifikasi atas kebutuhan, kesesuaian, adaptasi, dan aspek follow-up-nya dalam konteks
post-transfer teknologi. Dalam hal ini, masing-masing negara berkesempatan untuk
mengembangkan UKM dengan selalu memperhatikan perkembangan teknologi yang
ada, tentu saja bila tak mau ketinggalan dengan yang lain.
3.

Fasilitasi Akses Teknologi Informasi dan Telekomunikasi


Teknologi informasi dan telekomunikasi telah merambah ke semua sektor ekonomi,
termasuk di dalamnya komoditi primer, manufaktur, dan jasa. Pentingnya penguasaan
teknologi informasi dan telekomunikasi makin dirasakan manfaatnya, terutama dalam
mengantisipasi perkembangan dan kompetisi usaha yang makin dinamis. Teknologi
informasi dan telekomunikasi memberi kesempatan pada perusahaan untuk memperoleh
informasi signifikan bagi upaya mengembangkan usahanya, dan sebagai akibatnya bisa
dicapai optimalisasi efektifitas dan efisiensi usaha. Diakui perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, memicu upaya-upaya efektifitas dan efisiensi usaha, dan dengan
demikian manfaatnya bagi perusahaan, tak saja mereka tetap eksis dan bertahan,
melainkan diharapkan mampu melakukan inovasi dan langkah-langkah maju.
Beberapa negara telah merambah industri teknologi informasi dan telekomunikasi,
semisal Cina, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Dan tampaknya pasar
teknologi informasi dan telekomunikasi masih amat lebar, seiring dengan pesatnya
perkembangan teknologi informasi yang ada. Yang kini tengah menjadi fenomena adalah
kehadiran internet, yang dirasakan sebagai sarana yang revolusioner dalam memecahkan
jarak dan waktu, dengan sedemikian efisien dan murah. Walaupun fenomena internet telah
mewabah, di Indonesia kesadaran atas penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi
bagi pengembangan UKM masih perlu ditumbuhkan. Tidak hanya kesadaran saja tapi juga
penguasaan dan pemanfaatan yang seoptimal mungkin, dalam konteks membangun
jaringan, mengakses pasar, dan memperoleh informasi terkini dan hal-hal yang merangsang
inovasi.
Internet, bagaimanapun, merupakan sarana bagi negera-negara sedang berkembang
untuk bisa bekerjasama dan mengakses infrastruktur informasi global. Meskipun tingkat
pertumbuhan pengguna atau pemanfaat internet diperkirakan makin meningkat dan
cukup tinggi, agaknya masih saja yang optimal memanfaatkan masih terkonsentrasi di
negara-negara industri maju. Banyak data yang setidaknya membuktikan bahwa sekitar 90
persen pengguna internet adalah dari kalangan berpendidikan tinggi yang jumlahnya
terbatas. Dan, agaknya akses ke teknologi informasi dan telekomunikasi di negara-negara
berkembang atau negara-negara dalam transisi penguasaan teknologi, masih diliputi
keterbatasan-keterbatasan. Sebagai catatan misalnya, pada tahun 1998 pengguna internet
di Paraguay, India, dan Filipina hanya 0,01 persen dari total populasi; Taiwan, Kores

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

13

Selatan, dan Kuwait 2-2,5 persen; Perancis 6,5 persen; Jepang 9,6 persen; Australia 18
persen; dan Finlandia 35 persen.11
Dengan penguasaan dan pemanfaatan yang optimal akan teknologi informasi dan
telekomunikasi, UKM berkesempatan untuk memenangkan kompetisi ekonomi global,
terutama dari sudut penguasaan informasi. Mereka terpacu untuk meningkatkan kualitas
produk berdasarkan standar internasional, serta membangun aliansi strategis dan hubungan
kerjasama silang (cross-border partnerships) antar perusahaan di berbagai negara. Pemanfaatan
internet secara optimal juga mampu menekan biaya yang signifikan bagi UKM, terutama
dalam mengiklankan (advertises) dan mempromosikan produk-produk dan kontak antara
buyers dan suppliers dalam tingkat global.
Penguasaan insfrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi tampaknya telah
menjadi kebutuhan utama, dalam konteks pengembangan UKM. Maka keahlian dalam
bidang penguasaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan telekomunikasi, amat
mendesak untuk dilakukan, bahkan telah menjadi keharusan. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain: kemampuan untuk mengakses infrastruktur teknologi informasi
dan telekomunikasi; kemampuan untuk mengembangkan teknik-teknik e-commerce;
kemampuan untuk menginformasikan produk-produk yang dikembangkan dalam modelmodel bisnis yang ada; dan sebagainya.
Penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi amat bermanfaat bagi
pengembangan internal perusahaan, serta keperluan interconections dengan pasar dan
suppliers. Penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi, sesungguhnya tidak hanya
terbatas pada kapabilitas teknis, tetapi juga, yang lebih penting lagi adalah, kaitannya
dengan efektifitas perencanaan dan kemampuan organisasional. Pemerintah, sebagai
pihak fasilitator, sudah selayaknya membantu mengembangkan infrastruktur teknologi
informasi dan telekomunikasi, dan juga menciptakan berbagai aturan kebijakan yang
konstruktif dan merangsang inovasi serta berkepentingan untuk memasyarakatkan
penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi bagi pengembangan UKM.
Praktek Terbaik Dukungan Finansial
Di atas telah dipaparkan aspek non-finansial dalam pendekatan praktek terbaik
pengembangan UKM. Kini, saatnya menyimak pendekatan praktek terbaik pada aspek
finansial. Dalam konteks ini dibahas tentang hambatan utama pembiayaan UKM; dan,
eksistensi jasa finansial dan keterbatasannya.12
1.

Hambatan Utama Pembiayaan UKM


Keterbatasan pembiayaan bagi pengembangan UKM, merupakan persoalan klasik
yang banyak dijumpai di negara sedang berkembang. Hal itu mempengaruhi tingkat produksi dan pertumbuhannya. Dana-dana publik yang disediakan negara untuk pengembangan
UKM disalurkan melalui lembaga-lembaga finansial khusus, seperti misalnya bank pembangunan industri dan agrobisnis. Bank-bank komersial diharapkan mampu mendorong
partisipasinya di sektor ini melalui kuota peminjaman, subsidi, pemasukan pajak, dan
penjaminan terhadap kegagalan. Bank-bank pembangunan milik pemerintah di negaraData lebih lanjut tentang pengguna dan konektivitas internet di negara-negara sedang berkembang, lihat,
UNCTAD (1998) Policy Issues Relating to Acces to Participation in Electronic Commerce, TD/B/COM.3/16.
12 Uraian berikut didasarkan atas bahan yang dikembangkan UNCTAD Secretariat, Finacial Services for SME
Development dalam Providing Sustainable Financial and Non-Financial Services for SME Development (UNCTAD,
1999).
11

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

14

negara sedang berkembang telah menunjukkan sedikit-banyak kesuksesannya dalam


memfasilitasi pengembangan UKM. Banyak lembaga-lembaga pengembangan finansial telah
memungkinkan operasinya berorientasi profit untuk diterapkan pada UKM.
Banyak ahli menilai bahwa kegagalan program pemberian kredit langsung,
disebabkan antara lain oleh keterbatasan pengaruh mereka atas kekuatan pasar yang tergantung pada tingkat suku bunga, dan juga kurangnya mobilisasi tabungan dalam desain
program kredit mereka. Di tambah lagi, di negara-negara yang kurang aktif dalam
mengembangkan pasar kapital mereka, biasanya UKM amat kesulitan mendapatkan dana
yang diharapkan mampu menggerakkan usahanya. Maka, biasanya mereka pun
menggunakan modal amat terbatas yang dimilikinya untuk memulai dan menyambung
usahanya. Sebagai contoh, sebanyak 59 hingga 98 persen UKM-UKM di negara-negara
Afrika menggunakan aset perorangan (personal assets) mereka sebagai modal menggerakkan perusahaannya.13
Belum banyak contoh yang dapat dipakai untuk menunjukkan keberhasilan lembagalembaga pengembangan finansial dalam upayanya melakukan kerjasama dengan UKM.
Namun demikian bukan berarti ia gagal sama sekali, sebab biasanya yang menyebabkan
kegagalan itu adalah munculnya faktor di luar kemampuan mereka, semisal el nino.
Biasanya bank komersial tak dapat memberikan tingkat suku bunga lebih rendah pada
UKM sebab ukuran pinjamannya yang kecil, biaya transaksi tinggi, kurangya aspek
kolateral, dan miskinnya informasi data finansial yang baik, membuat proses evaluasi bagi
UKM banyak menelan biaya dan menemui banyak kesulitan. Ditambah lagi, pihak bank
tidak memiliki banyak tenaga ahli yang mampu menilai secara efisien terhadap proposal
proyek potensial yang diajukan para pelaku UKM yang mengajukan kreditnya. Dua hal ini
juga menciptakan hambatan bagi bank komersial untuk meminjamkan kreditnya pada
UKM: UKM rentan bangkrut (bankruptcy); dan amat tergantung pada seorang individu,
yang memposisikan dirinya sebagai enterpreneur. Hal-hal di atas, setidaknya menggambarkan
bahwa, bagaimanapun UKM memiliki beberapa keterbatasan.
2.

Jasa Finansial dan Keterbatasannya


Berikut ini akan dijelaskan secara singkat hal-hal yang berkaitan dengan jenis-jenis
jasa financial serta beberapa hal yang melingkupinya.
a.

Sektor Jasa Finansial Formal


Sektor jasa finansial formal, terutama bank-bank komersial, menunjukkan kesukaran dalam menumbuhkan UKM dalam akses penguasaan modal (kapital):
!
Laba yang sedikit atau tak ada sama sekali, bila berurusan dengan sektor UKM;
!
Merupakan pasar yang tidak komplet (incomplete market) untuk instrumen finansial,
khususnya untuk hutang jangka-panjang;
!
Membutuhkan waktu lama, dari lamanya negosiasi dan prosesnya hingga disetujui
(approval);
!
Respon yang lambat dalam merubah kebutuhan hak-hak dalam lingkungan yang
berubah;
!
Produk-produk finansial yang berorientasi non-pelanggan (non-customized); dan,
!
Jasa-jasa untuk kebutuhan individual UKM.

13

UNCTAD Issues Concerning SMEs Acces to Finance (1995)

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

15

Halangan-halangan itu makin membuat kondisi lebih buruk di negara-negara


sedang berkembang yang pasar modal finansialnya lemah, kealian pengelolaan finansial
yang terbatas dan regulasi serta iklim politik yang tidak stabil.
b.

Sektor Jasa Finansial Informal


Pembiayaan informal ternyata telah memainkan peran dan pengaruhnya yang luas
dalam soal financing bagi UKM di negara-negara sedang berkembang. Termasuk dalam
hal ini antara lain modal dari para pemberi hutang individual (individual moneylenders),
tabungan bersama (mutual savings), dan asosiasi pemberi pinjaman, dan perusahaan-perusahaan mitra (partnership firms). Sektor jasa finansial informal dicirikan oleh:
! Adanya fleksibilitas (keluwesan) dan kecepatan (speed);
! Memerlukan biaya-biaya transaksi yang tinggi atau bersifat high transactions costs.
! Tingkat bunga yang melebihi rata-rata;
! Pinjaman berskala kecil dalam jangka waktu pendek;
! Pengembalian hutang yang tinggi bagi peminjam yang mengandalkan prosedur
tertutup, ketelitian dalam memonitor para peminjam, mengandalkan kedekatan
dengan para peminjam, dan adanya tekanan pada unsur ketelitian.
c.

Pemisahan atas lembaga finansial dan bank-bank pembangunan


(development banks)
Banyak negara yang telah mapan (established) memisahkan lembaga finansial mereka
dalam menyediakan kredit khusus bagi UKM. Penampilan dari lembaga finansial khusus
bagi UKM dan bank pembangunan, dicirikan oleh:
!
Kecilnya kemampuan menghasilkan laba (poor profitability);
!
Biaya administrasi yang tinggi;
!
!
!

Ekspansi horisontal atas jasa-jasa, termasuk asistensi teknikal, pelatihan, dan


sebagainya;
Ekspansi jasa-jasa termasuk pinjaman-pinjaman dari perusahaan besar;
Ketergantungan pada subsidi pemerintah, pembubaran (dissolution) atau likuidasi
(liquidation).

d.

Skema penjaminan
Beberapa lembaga finansial internasional dan pemerintah yang memiliki skema garansi
(penjaminan) yang mapan (established) telah mampu mendorong bank-bank komersial
meminjamkan dananya untuk pengembangan UKM. Dengan premi 1 sampai 3 persen akan
tergaransi hingga di atas 80 persen. Pengalaman atas skema penjaminan bagi UKM, menunjukkan masih banyak yang gagal dan sedikit yang sukses. Salah satu problem utamanya adalah
persoalan kesinambungan aktivitas yang dijalankan, yang memakan waktu lama, apalagi
setelah memperoleh dana dari pemerintah dan lembaga donor. Dalam banyak kasus UKM
yang telah memperoleh dana pinjaman untuk investasi, ternyata tidak bisa memanfaatkannya
dengan baik, dengan demikian hal ini menumbuhkan tingkat resiko yang tinggi bagi
penjaminnya. Oleh karena itu kekawatiran akan terjadinya moral hazaid, sehingga dalam
pelaksanaannya perlu berhati-hatian yang tinggi dan tidak menjadi informasi yang terbuka
bebas,.
e.

Leasing

Leasing finansial adalah sebuah persetujuan kontrak di mana UKM dapat


memanfaatkan aset yang ada dengan membayar sewa yang ditetapkan. Biasanya karena
Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

16

perusahaan leasing yang memiliki aset, maka uang sewa yang diberikan lebih dianggap
sebagai biaya operasi ketimbang financing charge. Perusahaan leasing biasanya pula menekankan agar UKM mampu mengelola cash flow-nya. Biasanya mereka mencadangkan 10
persen untuk biaya keamanan, dan akan berakhir setalah 3 hingga 5 tahun. Leasing, bagaimanapun merupakan salah satu cara bagi UKM untuk memecahkan problema kebutuhan
modal jangka menengah. Biasanya, UKM di negara-negara sedang berkembang
menggantungkan keuntungan mereka pada penggunaan (atas manfaat) transfer teknologi
yang ada, sehingga banyak membutuhkan kebutuhan finansial jangka menengah.
Dana Modal Ventura (Venture capital funds)
Dana modal ventura adalah sebuah mekanisme investasi yang terdiri dari modal
equity dan asistensi manajerial untuk menumbuhkan perusahaan. Sebagai target
perusahaan untuk mengembangkan produk-produk dan jasa-jasa baru, penyediapenyedia modal ventura melakukan tugasnya dengan mengatasi kendala-kendala biaya
UKM.
f.

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

17

PENDEKATAN BARU
PENGEMBANGAN UKM DENGAN KLASTER BISNIS

Pengembangan UKM di Indonesia, setidaknya bisa ditilik dari empat tataran

kebijakan pengembangan. Kebijakan pembangunan UKM dapat dibedakan ke dalam


empat tataran, yaitu: tataran meta, tataran makro, tataran meso, dan tataran mikro.
Pada tataran meta, kemauan politik para pendiri Republik ini telah memberikan
dukungan landasan peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas kepada koperasi,
sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya. MPR RI juga
secara tegas selalu mencantumkan perlunya pemberdayaan UKM pada setiap GBHN
yang ditetapkan, dan selanjutnya diperkuat dengan adanya UU nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian, dan UU No.9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Kebijakan pada tataran makro akan menentukan kondusif atau tidaknya sistem dan
kondisi perekonomian dengan pembangunan UKM. Kebijakan pada tataran makro akan
menentukan struktur dan tingkat persaingan pasar yang dihadapi oleh pelaku usaha
termasuk UKM. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) untuk menumbuhkan iklim usaha
yang kondusif bagi UKM, dalam arti UKM memiliki kesempatan berusaha yang sama
dan menanggungg beban yang sama dibandingkan pelaku usaha lainnya secara
proporsional.
Menjadikan Sentra Kegiatan UKM Sebagai Titik Masuk
Pendekatan pengembangan UKM dengan membuat fokus sasaran adalah sentra
dimulai oleh Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan Pengusaha Kecil dan
Menengah (BPS-KPKM) pada tahun anggaran 2001 yang lalu. Pada dasarnya pendekatan
ini adalah memberikan perkuatan untuk menjaga dinamika sentra agar tumbuh menjadi
Klaster Bisnis UKM melalui perkuatan tiga komponen yaitu: dukungan non finansial,
advokasi, dan dukungan finansial sebagai penggerak awal. Prinsip dasar pembinaan
UKM melalui strategi klaster bisnis dengan pengembangan dukungan non finansial dan
finansial antara lain :
a. Tujuannya untuk meningkatkan fokus pembinaan agar lebih terarah.
b. Melakukan proses transformasi pembinaan UKM agar menjadi sebuah industri jasa
yang dapat dilakukan oleh swasta secara profesional melalui pasar.
c. Dengan penetapan jangka waktu yang cukup akan terjadi proses pengguliran
program secara berkelanjutan, bukan sekedar pengguliran dana.
d. Hadirnya dukungan non finansial akan mengawal proses dinamika klaster yang
tidak terpaku pada pengembangan jenis industri yang ada, sehingga eksistensi UKM
di dalam klaster dapat terus menanggapi setiap perubahan.
Kebijakan makro bisa ditransfer ke dalam tataran mikro (skala usaha UKM)
umumnya melalui mekanisme dukungan perkuatan pada tataran meso. Pada tataran
meso, kebijakan dukungan perkuatan ini dapat dibedakan menjadi dukungan keuangan
(finansial) dan dukungan bukan keuangan (non-finansial). Proses transmisi dukungan
perkuatan pada tataran meso ke tataran mikro memerlukan alat berupa proses inovasi
dan pemberdayaan, agar sasaran pelaku yaitu UKM dapat antisipatif dan responsif
terhadap kebijakan pada tataran meta, makro dan meso. Dengan demikian efektifitas
pemberdayaan UKM ditentukan oleh keselarasan dan sinergi kebijakan di tataran meta,
makro, mikro, dan meso.
Tantangan pengembangan UKM di Indonesia, setidaknya terkait dengan keempat
tataran kebijakan di atas. Dan bagaimanapun, pembenahan kembali atas pembangunan

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

18

dan pengembangan UKM harus memperhatikan aspek-aspek yang telah diwacanakan


dan dikembangkan dalam best practices di atas.
Prioritas mendesak bagi pendekatan pemerintah Indonesia di dalam pengembangan
UKM, antara lain menciptakan kondisi kondusif bagi sektor swasta untuk bergerak dan
berkembang. Maka, perlu dilakukan reformasi lingkungan kewenangan formal di mana
perusahaan beroperasi, yakni kebijakan dan peraturan yang tepat. Dalam konteks
pengembangan UKM, tantangan utama bagi setiap pemerintah, termasuk di dalamnya
pemerintah Indonesia, adalah mendefinisikan apa peran yang akan dimainkannya dalam
mengembangkan pasar BDS secara efektif.
Dalam rangka merumuskan lebih lanjut suatu pendekatan baru penyediaan BDS,
terdapat tiga implikasi penting untuk Indonesia. Pertama, kejelasan strategi tentang peran
pemerintah dalam jasa pengembangan usaha. Hal ini dikaitkan dengan adanya perbedaan
sangat jelas antara peran sah pemerintah dalam memberikan proteksi dan
mengembangkan individu serta kelompok yang kurang beruntung di masyarakat (tujuan
kesejahteraan sosial), dan peran pemerintah dalam pengembangan sektor swasta. Kedua
tujuan tersebut tidak dapat dicampur-aduk. Tujuan pengembangan bisnis biasanya jarang
tercapai melalui mekanisme kesejahteraan sosial, dampak proteksi dan subsidi seringkali
tidak bermanfaat. Dalam konteks ini terdapat dua isu yang relevan untuk dijawab: apakah
perusahaan yang menjadi sasaran berada dalam posisi bisa berkembang melalui BDS?
Apakah BDS memang benar merupakan solusi permasalahan?
Kedua, mempertimbangkan penyediaan BDS yang disubsidi. Tujuan subsidi perlu
secara eksplisit dipertimbangkan. Pertimbangan itu harus menjelaskan apakah dukungan
tersebut dimaksudkan menjadi perangsang perusahaan sekali saja, atau kalau memang
bukan demikian, maka harus dijelaskan bagaimana jaminan akses berlanjut UKM ke jasa
BDS. Model pemberian subsidi melalui system voucher yang dirintis oleh Swisscontact
terbukti dapat berjalan, walaupun keterpaduan dengan program lain masih perlu
dikembangkan. Pertimbangan tersebut juga harus dapat menjelaskan bagaimana
dukungan bersudsidi itu dapat meningkatkan daya saing dan memperbaiki lingkungan
UKM yang kondusif, dan tidak memperpanjang proteksi. Ketiga, adanya keterbatasan pemerintah dalam berperan sebagai penyedia langsung BDS. Secara umum pemerintah
seyogyanya menghindari peran sebagai penyedia jasa BDS. Banyak pengalaman
membuktikan bahwa peran demikian tidaklah positif. Struktur, budaya dan kapasitas
pemerintah tidak cocok untuk melakukan fungsi inti pasar dan menyediakan jasa yang
relevan serta tepat waktu untuk UKM. Terlebih pula, karena insentif, tujuan dan struktur
kepemilikan berbeda, pelibatan pemerintah menanggung resiko menimbulkan distorsi,
bukannya pengembangan pasar.
Kendala terhadap fleksibilitas, kecekatan (responsiveness) dan inovasi juga dapat
menghambat pemerintah dalam memainkan peran fasilitator langsung di pasar BDS.
Fasilitator BDS harusnya merupakan lembaga non-profit di luar pemerintah. Ketika
intervensi langsung dianggap tidak terhindarkan, sedapat mungkin pemerintah mengikuti
prinsip dan norma pasar, demi menghindari distorsi. Sebaiknya pemerintah juga
meminimalkan salah satu resiko intervensi, yakni kelembamam program (programme
inertia), yakni tatkala intervensi jangka pendek berubah menjadi fungsi permanen demi
kepentingan birokratis. Maka, desain awal program harus secara eksplisit mencantumkan
strategi keluar (exit strategy) atau mekanisme alih peran kepada sektor swasta. Pendekatan
partisipasi (partisipatory approach) lebih diperlukan. Dan dalam konteks ini, banyak
diperankan oleh BDS-BDS yang membina sentra-sentra bisnis dan mengembangkan
klaster-klaster yang andal.

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

19

Peran pemerintah yang wajar, dalam pengembangan UKM adalah mendukung


fungsi peningkatan pasar. Hal ini tidak saja terkait dengan transaksi tradisional yang
melibatkan penjual dan pembeli, namun juga terkait dengan serangkaian fungsi pelengkap pendukung perkembangan pasar yang efektif, yaitu ketersediaan informasi, penelitian
dan pengembangan, tingkat koordinasi yang wajar, regulasi dan kendali mutu,
perlindungan konsumen dan sebagainya.
Dalam konteks ini pula, seyogyanya pemerintah mampu melakukan pendekatan
yang tepat bagi pengembangan UKM dari aspek finansial. Oleh karenanya, iklim
kondusif perlu dikembangkan, baik dari sisi penyedia modal maupun para pelaku UKM
yang membutuhkannya. Bantuan yang diberikan pemerintah dan lembaga donor, dalam
konteks ini, hendaknya tidak dikembangkan dengan mengedepankan paradigma karitatif,
melainkan memandang UKM sebagai potensi yang perlu dikembangkan dengan
berorientasi kemandirian dan mampu bersaing di pasar (orientasi pasar). Pemerintah,
dengan demikian bukan sinterklas, melainkan fasilitator dan regulator yang diharapkan
mampu berperan baik.
Beberapa catatan di atas, setidaknya dapat dipetik pelajaran paling berharga bahwa
strategi pengembangan UKM di masa depan. Khususnya untuk menghindari terjadinya
semacam kebingungan bagi masyarakat pelaku UKM, yang mengharapkan peran konkret
dan konsisten dari pemerintah. Inkonsistensinya penataan kelembagaan, misalnya, dalam
konteks pengembangan UKM, bagaimana pun, merupakan problem serius, yang
sesungguhnya mencerminkan lemahnya keberpihakan pemerintah dalam pengembangan
UKM di tanah air.
Masyarakat luas sebenarnya sangat paham bahwa strategi pengembangan UKM
secara umum harus berdasarkan pada dua pilar utama: (1) tegaknya sistem dan
mekanisme pasar yang sehat; (2) berfungsinya pengaturan kelembagaan atau regulasi
pemerataan ekonomi yang efektif. Pemihakan terhadap pengembangan UKM, selama ini
lebih cenderung mementingkan hasil (ends) dari pada proses dan mekanisme (means) yang
harus dilalui untuk mencapai hasil akhir tersebut.14
Pemberdayaan SDM telah menjadi tema pokok yang tak bisa dipisahkan dari upaya
mengatasi berbagai problema yang dihadapi UKM. Hal ini tidak saja terkait dengan
bagaimana kualitas SDM yang ada mampu memodernisasi usahanya lewat penguasaan
teknologi, tapi juga terletak pada kemampuan manajerialnya. Maka, upaya pendidikan dan
pelatihan, kemampuan mengakses informasi dan teknologi dan pemanfaatannya secara
optimal, serta kemampuan manajerial para pelaku UKM, masih amat diperlukan. Dalam
kaitan ini, bila SDM andal, maka diharapkan mereka mampu mengembangkan klasterklaster bisnis dengan baik dan kokoh.
Studi-studi mengenai klaster-klaster UKM di Eropa Barat, setidaknya menunjukkan
bahwa ada sejumlah faktor, yang membuat mereka dapat berkembang dengan pesat,
antara lain15: (1) di dalam sentra terdapat juga pemasok bahan baku, alat-alat produksi,
mesin, dan komponen-komponen, subkontraktor, dan produsen barang-barang jadi.
Selain mengurangi ongkos produksi, satu sama lain saling bersinergi, memperlancar
keterkaitan bisnis antarmereka; (2) adanya suatu kombinasi antara persaingan yang ketat
di satu pihak, dan kerjasama yang baik di pihak lain, antar sesama pengusaha UKM.
14
15

Bustanul Arifin dan Didik J Rachbini, Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik (Grasindo, 2001).
Tulus TH Tambunan, ibid. h.129.

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

20

Dengan demikian terciptalah tingkat efisiensi kolektif (collective efficiency) yang tinggi; (3) di
dalam klaster-klaster terdapat pusat-pusat pelayanan, terutama yang disediakan oleh
pemerintah lokal, yang dapat digunakan secara kolektif oleh semua pengusaha yang ada
di sana; (4) UKM yanag ada di dalam klaster menjadi sangat fleksibel dalam menghadapi
perubahan-perubahan di pasar, di mana telah tercipta network yang baik, serta inovasiinovasi yang cerdas.
Kondisi Pengembangan Klaster di Indonesia
Berdasarkan catatan berbagai instansi yang berhasil dikumpulkan oleh Tim Studi
JICA (2002), pada saat ini paling tidak terdapat 9.800 unit sentra UKM dengan tingkat
perkembangan derajad keterkaitan dalam klaster yang umumnya masih rendah. Jumlah
unit UKM yang tepantau dalam sentra sebagai embrio klaster tersebut diperkirakan
mencapai sekitar 475.000. Dilihat dari penyebarannya sekitar 58% sentra yang ada berada
di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Ditinjau dari jenis kegiatan memang pada umumnya pengelompokan tersebut
disektor yang berkaitan industri. Dari seluruh sentra industri yang ada 50% klaster UKM
tersebut pada industri pengolahan makanan dan minuman ISIC 31 dan tekstil ISIC 32.
salah satu bukti belum berkembangnya klaster industri kecil yang ada dapat dilihat
tingkat tekhnologi yang digunakan pada umumnya masih rendah. Hampir 73% klaster
UKM yang ada pada dasarnya berada pada tahap awal dengan teknologi yang tergolong
rendah atau sederhana misalnya pada ISIC 31, ISIC 32 dan ISIC 34.
Dari sisi tenaga kerja yang diperkejakan, UKM pada klaster rata-rata mempunyai
tenaga 3 orang atau hampir sama dengan industri rumah tangga yang batasannya
memiliki tenaga kerja kurang dari 5 orang atau 4 orang pekerja atau kurang. Pada sentrasentra UKM sebesar 3 orang hanya sedikit diatas rata-rata industri rumah tangga secara
nasional termasuk diluar klaster sebesar 2 orang. Namun masih jauh dari rata-rata
penggunaan tenaga kerja pada industri kecil sebesar 8 orang. Dengan demikian kondisi
pengunaan tenaga kerja pada klaster yang ada memang masih dalam tahap yang sangat
awal untuk bertahan dalam kegiatannya. Hal ini didukung oleh temuan bahwa sekitar
70% pengelompokan industri menurut penggunaan tenaga kerja berada pada tingkat
penggunaan tekhnologi yang rendah di tiga jenis industri pilar kegiatan UKM.
Akibat langsung yang terlihat dari rendahnya tingkat tekhnologi dan struktur penggunaan
tenaga kerja, sebagaimana diperlihatkan dengan keragaman nilai tambah yang diperoleh
klaster UKM hanya mencapai Rp. 1.0 miliyar atau lebih rendah dibandingkan industri
rumah tangga sebesar Rp. 1.2 miliyar. Sementara industri kecil diluar klaster mencapai
Rp. 2.9 miliyar atau 2 kali lebih besar. Rendahnya produktivitas klaster ini juga terjadi di
semua sektor ekonomi. Dengan demikian kondisi klaster yang ada pada umumnya dapat
digolongkan ke dalam tiga tahap perkembangan sesuai dengan produktivitas tenaga kerja
dan penggunaan tekhnologi yaitu tekhnologi rendah yang memiliki produktivitas/tenaga
sebesar Rp. 970.000,- sebagai tekhnologi rendah. Pada tingkat tekhnologi menengah
sebesar Rp. 2.055.000,- serta tekhnologi tinggi sebesar Rp. 8.240.000,- secara rinci dapat
digambarkan dalam grafik berikut :

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

21

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

22

PENGEMBANGAN SENTRA UKM


TAHUN 2001

Pemberdayaan UKM dilakukan dengan menetapkan sentra UKM sebagai titik

masuk (entry point). Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran untuk memberikan layanan
kepada UKM secara lebih fokus, kolektif dan efisien, karena dengan sumberdaya yang
terbatas mampu menjangkau kelompok UKM yang lebih luas. Pendekatan ini juga
mempunyai efektifitas yang tinggi, karena jelas sasarannya dan unit usaha yang ada pada
sentra umumnya dicirikan dengan kebutuhan dan permasalahan yang sama, baik dari sisi
produksi, pemasaran, teknologi dan lain-lain. Di samping itu, sentra-sentra UKM akan
menjadi titik pertumbuhan (growth point) di daerahnya, sehingga mampu mendukung
upaya peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan nilai tambah.
Adapun beberapa hal penting yang harus diperhatikan sebagai persyaratan dasar
sebuah klaster, agar dapat berkembang secara sehat:
a. Dalam setiap sentra yang akan ditumbuhkan sebagai klaster harus memiliki satu
usaha sejenis yang prospek pasarnya jelas. Sekurang-kurangnya terdapat 50 unit
usaha kecil yang melakukan kegiatan sejenis.
b. Omset dari keseluruhan unit usaha dalam klaster tersebut paling sedikit Rp. 500
juta,-/bulan. Angka ini akan memungkinkan timbulnya pasar jasa pengembangan
yang dapat tumbuh secara sehat, industri pendukung yang terdorong masuk dan
pengembangan outlet yang layak. Dari segi finansial dengan total transaksi semacam
itu akan menjamin tumbuhnya jasa Perkreditan koperasi yang layak.
c. Telah terjadi sentuhan teknologi yang memungkinkan tercapainya peningkatan
produktivitas, karena masalah pokok usaha kecil di bidang pertanian adalah
produktivitas/tenaga kerja hanya kurang dari 3% produktivitas usaha besar disektor
yang sama, atau hanya 1,5% dari produktivitas usaha menengah. Sentuhan
teknologi harus menjadi elemen penting untuk melaksanakan perubahan bagi
peternak.
d. Persyaratan lain yang berkaitan dengan infrastruktur, jaringan pasar, ketersediaan
lembaga keuangan dan lain-lain merupakan syarat tambahan yang menyediakan
daya tarik klaster bersangkutan melalui jaringan informasi.
PENDEKATAN PENGEMBANGAN UKM
MELALUI KLASTER BISNIS
JARINGAN
LAPORAN

IT-NET

BPS-KPKM
UK
Dukungan Awal

MA P
SENTRA INDUSTRI
USAHA SEJENI S

UK
Bank / L embaga Keuangan
Pembi na

3 TH KERJASAMA

UB
LPB

Lay an

a ha
an U s

Laporan

UK

UM
UM

UK

MA
P

MAP
Pembinaan

SDM

Jasa LPB:
!Konsultasi :
!Ma najemen
!Informasi
!Teknologi
!Jaringa n Pasar

Lembaga pe latihan SDM & PPM


Pelatihan pe ndampingan/
pelopor advokasi/gerakan/asos iasi
TH 2001

LKM/KSP

Pertemuan Reguler / Monitoring 2X/Tahun

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

23

Adapun kriteria pemilihannya bisa didasarkan pada prospek pasar domestik atau
pun ekspor, potensi kesempatan kerja yang dapat diciptakan, serta intensitas penggunaan
atau pemanfaatan sumberdaya lokal. Selanjutnya dilakukan cluster diagnosis, untuk
memetakan kelebihan dan kelemahannya, serta untuk merumuskan bentuk-bentuk
bantuan yang tepat. Pengembangan klaster dalam konteks UKM agaknya harus
berorientasi bisnis (klaster bisnis), sehingga klaster tersebut bisa mandiri, kokoh, dan
mampu bersaing di pasar bebas. Strategi klaster bisnis, merupakan salah satu solusi dan
jawaban bagi pengembangan UKM secara terarah, terpadu dan berkesinambungan.
Untuk tercapainya tujuan pengembangan UKM, yaitu peningkatan efisiensi dan
daya saing yang berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar (market driven), maka
sumberdaya yang dialokasikan pada sentra meliputi dukungan kebijakan untuk
menciptakan iklim yang kondusif, dukungan finansial dalam bentuk modal awal dan
padanan (MAP) dan dukungan non finansial berupa Layanan Pengembangan
Bisnis/Business Development Service (LPB/BDS) serta pendidikan dan latihan. Dengan
berbagai dukungan yang diberikan, terutama LPB/BDS dan lembaga keuangan mikro
(KSP/USP) yang terkait dengan lembaga keuangan modern yang saling bersinergi
dengan UKM di sentra, maka diharapkan dapat langsung meningkatkan dinamika bisnis
mereka. Terlebih lagi, secara kultural, UKM di sentra tidak akan mengalami perubahan
budaya, karena sentra usaha mereka tetap berada di tempat semula.
Dalam hal ini, tugas LPB/BDS adalah memberikan layanan pengembangan bisnis
pada sentra UKM terpilih, yang meliputi (1) layanan informasi, (2) layanan konsultasi, (3)
layanan pelatihan, (4) melakukan bimbingan/pendampingan, (5) menyelenggarakan
kontak bisnis, (6) fasilitasi dalam memperluas akses pasar, (7) fasilitasi dalam
memperoleh permodalan, (8) fasilitasi dalam pengembangan organisasi dan manajemen,
(9) fasilitasi dalam pengembangan teknologi, dan
(10) penyusunan proposal
pengembangan bisnis.
Diharapkan LPB/BDS dapat memberikan gagasan-gagasan yang feasible, sehingga
pada tataran strategis terjadi transformasi informasi, teknologi dan etos kerja pada UKM
melalui business clustering dan business arrangement, dimana UKM yang masih traditional dan
scattered akan dikembangkan, sehingga mampu untuk mengakses pasar dan lembaga
keuangan. Dari berbagai kegiatan itu, yang keseluruhannya dilakukan dalam kerangka
bisnis, LPB/BDS tentu akan memperoleh pendapatan langsung, khususnya dari kegiatan
konsultasi, asistensi, pelatihan, business clustering dan business arrangement. Di samping itu,
LPB/BDS masih berpeluang memperoleh pendapatan tidak langsung, yaitu berasal dari
peningkatan jumlah pembiayaan, sebagai akibat dari meningkatnya jumlah calon
cunstomers dari UKM yang dilayani. Pada tahun 2001 telah ditangani kesepakatan dengan
90 BDS untuk bekerjasama dalam pengembangan UKM pada sentra yang telah ditunjuk.
Disamping itu terjadi keikut sertaan perusahaan swasta secara sukarela untuk
mengembangkan usaha kecil sub-kontraktor melalui pendekatan baru ini. Perusahaan
tersebut adalah PT. Suwastama di Surakarta yang mendirikan lembaga pengembangan
usaha kecil.
Dalam rangka memperkuat permodalan UKM terutama di sentra UKM, maka pada
tahun 2001 dilaksanakan Program Perkuatan Permodalan dan Lembaga Keuangannya Bagi
UKM melalui Penyediaan Modal Awal dan Padanan (MAP) sebesar Rp. 39,6 Milyar.
Tujuannya adalah untuk menstimulasi pengembangan permodalan UKM melalui koperasi
serta menggalang partisipasi berbagai pihak dalam pengembangan basis permodalan UKM.
Program tersebut dilaksanakan melalui:
Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

24

a.

100 Lembaga Keuangan Mikro di 30 propinsi dengan dana sebesar Rp. 5 Milyar
atau Rp. 50 juta,-/LKM.
b. 113 Koperasi Simpan Pinjam / Usaha Simpan Pinjam Koperasi di 30 propinsi
dengan dana sebesar Rp. 22,6 Milyar atau Rp. 200 juta,-/USP/KSP.
c. Pola Penjaminan (co-penjaminan bersama Perum Sarana Pengembangan Usaha) di
4 propinsi dengan dana Rp. 5 Milyar.
d. Lembaga Modal Ventura di 5 propinsi dengan dana sebesar Rp. 5 Milyar.
e. Inkubator bisnis UKM di 3 propinsi dengan dana Rp. 2 Milyar.
Pada tahun ke dua dalam tahap pengembangan, paling tidak, ada beberapa agenda
yang telah ditetapkan terhadap pengembangan sentra di maksud. Pertama, melanjutkan
proses pembuatan perkuatan BDS dengan berbagai program bersama, Akreditasi pada
jaringan konsultasi internasional dan pengembangan jaringan kerjasama antar BDS;
Kedua, melanjutkan pemantapan layanan USP/KSP kepada UKM pada sentra dimaksud
dan menyatukan ke dalam kawasan sentra bagi yang belum terlaksana; Ketiga,
menumbuhkan organisasi atau representasi dari pelaku usaha kecil pada sentra tersebut.
Melihat pengalaman dan catatan-catatan keberhasilan atas fenomena klaster-klaster
UKM, maka tidak ada salahnya dan telah menjadi sesuatu yang tepat bila, strategi
clustering bagi UKM diterapkan di Indonesia. Apalagi dalam setahun dijalankannya konsep
ini telah memperlihatkan bukti-bukti dan perkembangan yang cukup menggembirakan.
Dengan mengabungkannya dengan strategi best practices pengembangan UKM yang telah
diakui keunggulannya secara internasional, maka diharapkan dapat ditemukan strategi
clustering yang tepat, rasional, efektif, dan efisien. Tentu saja, penerapan strategi klaster
bisnis, memerlukan peran pemerintah, terutama dalam mendukung pihak-pihak yang
menyediakan jasa pelayanan pengembangan sentra-sentra UKM terpilih.
Disadari bahwa perkembangan klaster sangat ditentukan oleh potensi pertumbuhan
produksi klaster. Untuk menilai potensi pertumbuhan digunakan dua faktor utama yaitu
faktor kesempatan bagi pertumbuhan klaster yang dapat dilihat dari kondisi permintaan
dan penawaran, pesaing dan keterkaitan industri, sementara disisi lain untuk tujuan
pengembangan kemampuan perencanaan dan tindakan untuk menyambut (action taking
capacity) yang menilai kesiapan klaster untuk memperoleh sentuhan dari luar.
Faktor Kondisi

Faktor Umum

1.
2.
3.
4.

Faktor Khusus

1.
2.
3.
4.

Kondisi
Permintaan
Industri
Pendukung /
Instansi terkait

Industri Terkait

5.
1.
2.
1.
2.
3.
4.

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

Lokasi geografis
Kedekatan Infrastruktur
Dampak Lingkungan
Sumbangan
terhadap
perekonomian local
Kesempatan pelatihan
Bahan baku utama
Jarak terhadap bahan
baku
Akses terhadap lembaga
keuangan formal
Jasa Informasi
Trend volume permintaan
Kualitas permintaan
Input lokal / penyediaan
bahan
Dukungan
pemerintah
terhadap klaster
BDS Tempatan
Lembaga Ristek
25

Strategi
Persaingan dan
kerjasama

Persaingan
kerjasama

5. Common input industri


yang
competitive
di
daerah sekitar
1. Persaingan antar klaster
2. kerjasama dan tindakan
bersama

Pentahapan pengembangan klaster sesuai kesiapan dan kemajuan tekhnologi yang


telah dicapai menjadi penting. Secara konseptual pentahapan melalui tahapan bertahan
(Survival), maju (advance) dan matang (mature) sangat bermanfaat. Pentahapan ini akan
mencerminkan perlakuan sesuai dengan karekter UKM serta orientasi dalam tujuan
pembangunan secara keseluruhan.

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

26

PENUTUP
Dengan pendekatan ini diharapkan akan terbentuk sebuah komunitas dalam
pengembangan UKM, dalam bentuk asosiasi, perhimpunan atau dalam bentuk organisasi
yang lain. Karena sifatnya pembinaan maka lembaga ini merupakan lembaga nonprofit
yang terdiri dari para stakeholder UKM yang melakukan pengembangan secara mandiri.
Perlu diingat bahwa tiga pilar keberhasilan penopang dinamika klaster adalah
adanya dukungan non-financial (BDS), dukungan financial untuk penggerak (USP/KSP),
dan adanya asosiasi atau lembaga yang menjadi representatif/perwakilan mereka.
Kesemuannya itu akan bekerja dalam klaster, yang didukung oleh jaringan sistem
informasi yang menjadi instrumen penting, dalam penyelesakan kegiatan-kegiatan yang
ada.
Karena itu proses pengembangan UKM akan berjalan baik apabila berlanjut
menjadi lembaga swasta murni, dengan pendekatan pasar. Hal ini dilakukan agar fungsi
kelembagaan pembinaan UKM di dalam klaster berfungsi secara lebih efisien dan efektif
dengan menjalankan prinsip saling menguntungkan. Adapun untuk pengembangan
selanjutnya dapat dilakukan dengan replikasi terhadap sentra-sentra yang telah ada.

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

27

DAFTAR BACAAN
1.

ADB SME DEVELOPMENT TA INDONESIA, Kantor Menteri Negara Koperasi dan UKM, Praktek
Terbaik dalam Menyediakan Jasa Pengembangan Usaha bagi Usaha Kecil dan Menengah, 2000
2. Adi Sasono, Pikiran, Langkah, dan Komitmennya terhadap Ekonomi Kerakyatan, CIDES, 2000
3. APEC, Contact in Republic of Korea, A Strategy for Internationalization of SMEs in the Asia-Pacific Region:
Lessons from the Empirical Study on Korean and Other APEC Member Economies, October, 1999
4. Bappenas, Perekonomian Indonesia Tahun 2002: Prospek dan Kebijakan. Desember, 2001
5. Bustanul Arifin dan Didik J Rachbini, Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik Grasindo, 2001.
6. Indra Ismawan, Sukses di Era Ekonomi Liberal Bagi Koperasi dan Perusahaan Kecil-Menengah, Grasindo, 2001
7. International IDEA, Penilaian Demokratisasi di Indonesia Lembaga Internasional untuk Bantuan Demokrasi
dan Pemilu (International IDEA), 2000.
8. Myrna R. Co, Bridging the Gap, Philippine SMEs and Globalization, 2001
9. Nicholas MOUSSIS, Bridging the Gap, Philippine SMEs and Globalization, Handbook of European Union
Myrna R. Co, 1994
10. R.J. Engelhard dan Louk Box, Making North-South Research Networks Work (UNCTAD).
11. Shujiro Urata Ph.D, Policy Recommendation for SME Promotion in the Republic of Indonesia, JICA, July 26, 2000
12. Soeharto Prawirokusumo, Ekonomi Rakyat, Konsep, Kebijakan, dan Strategi, BPFE, 2001.
13. Tulus TH Tambunan, Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang, Kasus Indonesia, Ghalia Indonesia,
2001
14. UNCTAD, An Overview of Activities in the Area of Inter-firm Cooperation: A Progress Report,
UNCTAD Secretariat, 1997
15. ---------------, Providing Sustainable Financial and Non-Financial Services for SME Development,
UNCTAD Secretariat, 1999.
16. ---------------, Exchanging Experiences of Technology Partnership: The Helsinki Meeting of Experts, UNCTAD
Secretariat1996
17. ---------------, Issues Concerning SMEs Acces to Finance, UNCTAD Secretariat, 1995
18. ---------------, Policy Issues Relating to Acces to Participation in Electronic Commerce, UNCTAD Secretariat, 1998
19. ---------------, Selected Policy Issues, Measures and Progarmmes on Inter-firm Partnerships, UNCTAD Secretariat,
1998
20. ---------------, World Invesment Report, UNCTAD Secretariat, 1996
21. ---------------, World Invesment Report, UNCTAD Secretariat, 1998
22. UNITED NATIONS, Development Strategies And Support Services for SMEs: Proceedings of Four Intergovernmental
Expert Meetings, Volume I , New York and Geneva, 2000,
23. ---------------, Development Strategies And Support Services for SMEs: Proceedings of Four Intergovernmental Expert
Meetings, Volume II, New York and Geneva, 2000.
24.
---------------, United Nation Conference on Trade and Development Providing Sustaniable Financial and non
Financial Services for SME Develoment, Genere, 16 April 1999

Strategi Penguatan UKM melalui Pendekatan Klaster Bisnis

28

Anda mungkin juga menyukai