Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG


2.2.2.1.1 ANATOMI HIDUNG
A. Hidung Luar dan Hidung Dalam
Secara letak, anatomi hidung dibagi menjadi dua bagian
yaitu hidung luar dan hidung dalam. Dilihat dari arah depan,
hidung merupakan organ berbentuk piramida yang terletak pada
garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, sedangkan di dalam
hidung terbagi menjadi dua oleh sekat hidung (septum nasi).
Susunan hidung luar dari atas kebawah meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pangkal hidung (bridge)


Batang hidung atau dorsum
Puncak hidung (tip/apeks)
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior).
Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal

sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk


cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut
filtrum.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot

kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan


lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari :
1. Tulang hidung (os nasal)
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontal.
Kerangka tulang rawan terdiri dari :
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor)
3. Tepi anterior kartilago septum.

Gambar 1. Hidung luar dan tulang pembentuk hidung

Rongga hidung atau kavum nasi merupakan daerah yang


dimulai dari os internum di bagian anterior sampai ke koana di
bagian posterior. Pintu (lubang) masuk rongga hidung di bagian
depan disebut nares anterior dan pintu keluar dibagian belakang
disebut nares posterior (koana) yang merupakan penghubung
rongga hidung dan nasofaring. Cavum nasi dibagi menjadi dua
bagian oleh septum nasi dibagian tengahnya. Septum nasi

struktur tulang dibagian tengah yang terdiri dari tulang dan


tulang rawan.
Bagian tulangnya meliputi :
1.
2.
3.
4.

Lamina perpendikularis os etmoid terletak disebelah atas;


Vomer dan rostrum sfenoid di bagian posterior ;
Krista nasalis os maksila;
Krista nasalis os palatine;
Kedua krista merupakan struktur bagian bawah.
Bagian tulang rawan meliputi kartilago septum

(kuadrangularis) di bagian anterior dan kolumela. Tiap kavum


nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.
Dinding lateralnya terdiri dari empat buah konka :
1. Konka inferior, paling besar dan letaknya paling bawah
2. Konka media, lebih kecil, tepat diatas konka inferior
3. Konka superior, ukurannya lebih kecil lagi dari konka
media, letaknya diatas konka media
4. Konka suprema merupakan yang terkecil, biasanya
rudimenter, jarang ditemukan.
Disela-sela konka, terdapat rongga udara sempit yang
tidak teratur, yang disebut meatus. Penamaan meatus sesuai
dengan konka yang ada diatasnya. Pada meatus inferior bagian
anterior, terdapat duktus nasolakrimalis. Hiatus semilunaris pada
meatus media merupakan muara sinus anterior (frontalis,
maksilaris dan etmoidalis anterior). Pada meatus superior
terdapat muara sinus etmoidales posterior, sedangkan sinus
sfenoidales bermuara di resesus sfenoidalis.

B. Vakularisasi Hidung

Sistem perdarahan hidung bermula dari dua arteri utama


yaitu arteri maksilaris interna dan arteri etmoidalis. Sistem
drainase vena berawal dari pleksus kavernosus dibawah
membrane mukosa, lalu melalui vena oftalmika, vena fasialis
anterior, dan vena sfenopalatina.
Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan
melalui beberapa anastomosis. Di anterior septum kartilaginosa,
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor beranastomosis menjadi pleksus kiesselbach
(little area) yang merupakan lokasi epistaksis tersering.

Gambar 2. Vaskularisasi Hidung

C. Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang
dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus.
Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang
oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang
pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan
cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi

menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan


nervus infratroklearis.
Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina
kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri
etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan
disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan
lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion
sfenopalatinum.
Ganglion

sfenopalatina,

selain

memberi

persarafan

sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom


untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut
sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus
petrosus

profundus.

Ganglion

sfenopalatinum

terletak

dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media.


Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 3. Persarafan Hidung

D. Sistem Mukosiliar Hidung


1

Histologi Mukosa
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan
total volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh
mukosa respiratorius.Secara histologis, mukosa hidung terdiri
dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis
semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri
dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar
profunda.

Epitel

Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu


epitel

skuamous

kompleks

pada

vestibulum,

epitel

transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel


kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa
respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia.
Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang
sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel
yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan
kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel
basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari
epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus
merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida
yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan
sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000
sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700
sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel
kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki
silia.
Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka
inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia
(10%) dari total permukaan. Lebih kebelakang epitel bersilia
menutupi 2/3 posterior kavum nasi.
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan
sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan
bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada

10

tiap sel. Panjangnya antara 2-6 m dengan diameter 0,3 m.


Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal
yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masingmasing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan
elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia
tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah
permukaan sel.
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke
salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh
lapisan

mukoid

sehingga

menggerakan

lapisan

ini..

Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung


tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan
durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan
silia

seolah-olah

menyerupai

ayunan

tangan

seorang

perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi


berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada
satu area arahnya sama.
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur
satu sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari
mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase.
ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan
mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antarapasangan
yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan
elastis yang diduga neksin.
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang
maksimal 2 m dan diameternya 0,1 m atau 1/3 diameter

11

silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel


kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada
permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel.
Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan
bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel,
yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini
membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam
sel

epitel.

Dengan

demikian

mencegah

kekeringan

permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih


3

baik dibanding dengan sel epitel gepeng.


Palut Lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan
liat, merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet,
kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua
lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan
mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan perisiliar. Lapisan
ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan
superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh
batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan
superficial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak
berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar
dibawahnya.
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus,
protein serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah.
Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia,
karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini,

12

sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan


superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus.
Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel
terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan
dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada
temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang
terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap.
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk
mengatur interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat
menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan
perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat
akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada
keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan
mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan
4

kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali.


Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran
rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini
terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas

kolagen dan fibril retikulin.


Lamina Propia
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana
basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan
subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial,
lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan
kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel

13

jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar,


pembuluh darah dan saraf.
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari
mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih
sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada
membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat
erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat
ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung
melalui

ostium masingmasing. Diantara

semua sinus

paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel


6

goblet yang paling tinggi.


Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme
mukosa

hidung untuk

membersihkan

dirinya

dengan

mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada


palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan
lokal pada mukosa hidung. Transportasi mukosiliar disebut
juga clearance mukosiliar.
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang
merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang
bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan
aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan
mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana
enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut
sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan
ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi

14

sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga


ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi
virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk
menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke
arah posterior bersama materi asing yang terperangkap
didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan
dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi
mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi
mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk
kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara
sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lender
akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit.
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media
dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke
belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari
meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah
gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat
yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah
secara progresifsaat mencapai ostium, dan pada daerah
ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20
mm/menit.
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di
berbagai bagian hidung. Pada segmen hidung anterior
kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen
posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit. Pada dinding lateral

15

rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung


dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid
anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui
anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke
arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid
posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid,
kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius
menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun
kebawah oleh gerakan menelan.
2.1.2 FISIOLOGI HIDUNG
Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat
perhatian lebih dari biasanya, merupakan salah satu organ
pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.
Fungsi fisiologis hidung dan SPN adalah :
1. Fungsi

respirasi:

air

conditioning,

purifikasi

udara,

humidifikasi, penyeimband dalam pertukaran tekanan dan


2.
3.
4.
5.

mekanisme imunologik local


Fungsi penghidu
Fungsi fonasi
Fungsi statik dan mekanik
Refleks nasal.
Pada fungsi respirasi, vibrissae pada vestibulum nasi, silia

serta palut lendir membantu filtrasi udara pada inspirasi. Perlu


diketahui

bahwa

anatomi

hidung

dalam

yang

ireguler

menyebabkan arus balik udara inspirasi yang mengakibatkan


penimbunan partikel dalam hidung dan nasofaring, akan tetapi

16

benda asing tersebut akan di ekspektorans atau diangkut melalui


transport mukosiliar ke lambung untuk disterilkan menggunakan
asam lambung.
Pada fungsi penyesuaian udara atau air conditioning udara
yang masuk ke hidung akan disesuaikan suhunya dengan suhu
tubuh yaitu berkisar 370C oleh pembuluh darah yang ada di bawah
epitel, permukaan konka dan septum yang luas (turbulensi
mengenai konka dan septum).
Cabang nervus olfaktorius pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga atas septum berperan dalam fungsi penghidu
hidung. Partikel bau dapat mencapat daerah nervus sensorius
tersebut dengan cara difusi dengan palut lendir dan dengan cara
menarik nafas dengan kuat.
Hidung juga membantu dalam proses pengecapan, untuk
membedakan asal rasa manis, dan membedakan asam cuka atau
asam jawa. Proses bicara merupakan suatu proses yang kompleks,
melibatkan paruparu sebagai sumber tenaga, laring sebagai
generator suara, dan struktur kepala dan leher seperti bibir, lidah,
gigi, dll sebagai articulator untuk mengubah suara dasar dari laring
menjadi pembicaraan yang dapat di mengerti. Sinus, nasofaring
dan resonansi hidung berperan pula dalam artikulasi, khususnya
pada bunyi tertentu seperti m, n, ing.
2.2. DEFINISI OZAENA

17

Ozaena merupakan rhinitis atrofi yang ditandai dengan adanya sekret


mukopurulen kental, pembentukan krusta pada mukosa, dan fetor. Penyakit
ini memiliki karakteristk berupa perubahan pada membrane mukosa dan
patensi jalan napas abnormal akibat dari atrofi mukosa dan tulang
dibawahnya, bersamaan dengan sekresi kental dan tebal sehingga ketika
mengering mengeluarkan bau.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi penyakit ini bervariasi di berbagai daerah di dunia, dimana
muncul sebagai kondisi yang umum di negara-negara tropikal seperti India.
Di negara dengan prevalensi tinggi, rhinitis atrofi dapat terjadi pada 0,31,0% populasi, dan lebih umum terjadi pada masyrakat ekonomi kelas
menengah kebawah dan tinggal di kondisi higienis yang buruk. Rinitis atrofi
kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 5,6:1.
Penyakit ini paling sering menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun,
terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status estrogen
(faktor hormonal).
2.4. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas 2 tipe, yaitu:
a. Rinitis atrofi primer (idiopatik), merupakan bentuk klasik rinitis atrofi
dalam bentuk onset spontan, progressif lambat, dan terjadi pada
hidung yang sebelumnya sehat. Rinitis ini diagnosis pereksklusionam
setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi disingkirkan.
Penyebab primernya merupakan infeksi, dimana tersering disebabkan
oleh Klebsiella ozenae.

18

b. Rinitis atrofi sekunder, dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, bedah


sinus, radiasi, trauma, penyakit infeksi lainnya, serta penyakit
granuloma.
2.5. ETIOLOGI
Etiologi dari rinitis atrofi masih belum ditemukan secara pasti. Namun
terdapat beberapa jenis mikroorganisme yang dikaitkan dengan penyakit ini,
diantaranya :
a. Klebsiella ozaenae
b. Coccobacillus foetidus ozaenae
c. Bacillus mucosus
d. Diphtheroids bacillus
e. Bacillus pertussis
f. Haemophilus influenza
g. Pseudomonas aeruginosa
h. Proteus species
Rinitis atrofi sekunder paling sering disebabkan oleh bedah sinus,
radiasi, trauma, penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa. Bedah sinus
merupakan penyebab 90% rinitis atrofi sekunder. Prosedur bedah yang
diketahui berpengaruh adalah turbinektomi parsial dan total (80%), operasi
sinus tanpa turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%).
Penyakit granulomatosa yang mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya
penyakit sarkoid, lepra, dan rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk
tuberkulosis dan sifilis. Pada negara berkembang, infeksi hanya berperan
sebanyak 1-2% sebagai penyebab rinitis atrofi sekunder.
2.6. PATOGENESIS
Rinitis atrofi mempunyai gejala yang khas yaitu dengan adanya
perubahan atrofi pada seluruh bagian hidung. dr.Benhard fraenkel pada
tahun 1876 menyatakan adanya trias Rinitis atrofi meliputi, bau, krusta, dan
atrofi nasal. Histopatologi Rinitis atrofi ditandai dengan adanya perubahan
epitel respirasi normal menjadi epitel kubus atau epitel gepeng skuamosa

19

betingkat (metaplasia), dengan atau tanpa keratinisasi. Atrofi pada silia,


mukosa dan kelenjar submukosa, dimana mukosa menjadi pucat, tampak
lengket, terdapat secret yang mengering membentuk krusta berwarna hijau
kekuningan dan scabs. Bau yang tercium merupakan akibat dari terjadinya
infeksi sekunder.
Keluhan anosmia terjadi karena proses atrofi juga mengenai epitel
olfaktorius,

sel

saraf

bipolar

dan

serat

saraf,

ditambah

dengan

insufisiensinya udara untuk mencapai area olfaktorius karena adanya krusta


yang menghalangi.
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik
pada rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal
terdiri atas epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan
serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa
dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan
pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula
mukosa mengalami atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga
terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga penyakit pada pembuluh darah
kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis
atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu sendiri).
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I,
adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi
kronik yang membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe
II, terdapat vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi
estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui

20

infiltrasi sel bulat di submukosa. Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi
positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang
yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan
pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran
nafas jadi lapang.
Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi
adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi
surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung
terhadap

infeksi.Fungsi

surfaktan

yang

abnormal

menyebabkan

pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh kurang baik


terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya
lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya
silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel,
membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk
pertumbuhan kuman.
2.7. GEJALA KLINIS
Pasien biasanya mengeluh obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas,
dan perasaan kering pada hidung. Selain itu gejala yang sering dikeluhkan
berupa bau (foeter ex nasi) dari pasien. Pada beberapa kasus, bau ini bisa
berat. Hal ini akan menyebabkan ganggguan pada setiap orang kecuali
pasien, karena pasien mengalami anosmia. Pada pemeriksaan fisik akan
didapatkan krusta berwarna kuning, hijau, atau hitam yang berbau, rongga
hidung tampak lapang, dan pelepasan krusta akan menyebabkan ulserasi dan
pendarahan mukosa hidung.
Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga
tingkat :

21

a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan


berlendir, krusta sedikit.
b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering,
warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak
sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan
krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.
2.8. DIAGNOSA
A. Anamnesa
Keluhan yang paling sering di keluhkan pasien adalah adanya
perasaan hidung yang tersumbat dikarenakan adanya blunting effect,
dan krusta yang besar yang mengahalangi aliran udara. Keluhan lain
yang juga sering dikeluhkan pasien adalah bau busuk yang dikeluhkan
orang sekitar, yang membuat pasien jadi memiliki masalah sosial,
pasien sendiri tidak dapat mencium bau busuk tersebut, karena pasien
mengalami anosmia. Pusing, sekret purulent, krusta kehijauan berbau
busuk yang terlepas dan menyebabkan pendarahan hidung, dll.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada 100% kasus ditemui krusta, kavum nasi yang lapang dan
tidak

ditemuinya

konka

inferior

(atrofi) pada rhinoskopi anterior (62%


parsial, 37% total), atrofi konka media
pada 57% kasus, adanya sekret pada
52% kasus, dan perforasi septum yang
hanya ditemui pada 10% kasus.
C. Pemeriksaan Penunjang
- Radiologi

Gambar 4. Hasil endoskopi pada


rinitis atrofi

22

Pada foto rontgen ditemukan :


1. Penebalan mukoperiostal pada SPN
2. Hipoplasia sinus maksilaris
3. Pembesaran kavum nasi dengan erosi dan bowing pada
dinding lateralnya
4. Resorpsi tulang dan atrofi mukosa konka inferior dan konka
media.
Posisi foto yang dapat digunakan posisi Waters, AP, Caldwell dan
Lateral.

Gambar5. Gambaran Radiologi

Mikrobiologi
Dapat

ditemukan

bakteri

Klebsiella

Ozaena,

Pseudomonas Aeroginosa dan lainnya seperti yang tertera di


etiologi pada hasil kultur bakteri.
-

Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan :
1. Metaplasia skuamosa
2. Atrofi kelenjar mucus
3. Absensi silia
4. Endarteritis obliterans

23

Mukosa Hidung Normal

Mukosa Hidung Rinitis A

Gambar 6. Perbandingan histopatologi mukosa normal dan rhinitis atrofi

2.9. TATALAKSANA
Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan yaitu
secara topikal, sistemik, dan pembedahan. Keseluruhan teknik ini bertujuan
untuk pemulihan hidrasi nasal dan meminimalisir terbentuknya krusta.
a. Terapi Topikal
Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah
dengan irigasi nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu
terapi pencegahan atau sebagai suatu terapi yang bersifat rumatan.
Fungsi dari irigasi nasal sendiri ialah mencegah terbentuknya
pengumpulan krusta dalam rongga hidung.
Nasal irrigation & douches, dengan komposisi 28.4g sodium
bicarbonate (disolusi krusta), 28.4g sodium diborate (antiseptik,
bertindak sebagai bakterisidal dalam asam dan membantu untuk
membuffer bicarbonate), 56.7 sodium chloride (untuk membuat
larutan menjadi isotonik). Satu sendok teh campuran diatas dicampur
dengan 280ml air hangat-luke, dapat digunakan sebagai douches pada
kavum nasi untuk membersihkan krusta menggunakan disposibel 10
atau 20 cc. Dapat diulang 3-4 kali sehari.
Saat prosedur berlangsung, pasien diminta untuk terus
mengucapkan K,K,K untuk menutup nasofaringeal isthmus,

24

sehingga resiko aspirasi jadi semakin kecil. Larutan dihirup ke dalam


rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuatkuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut.
Berdasarkan studi di California, penggunaan hipertonik salin
pulsasi nasal irigasi selama tiga sampai enam minggu menunjukkan
perubahan yang signifikan pada gejala-gejala tersebut. Jika sukar
mendapatkan

larutan

diatasm

dapat

dilakukan

juga

dengan

menggunakan 100cc air hangat, satu sendok makan betadine (15cc),


atau larutan garam dapur setengah sendok teh dicampur segelas air
hangat.
b. Terapi Sistemik
Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi
topikal. Terapi yang biasa digunakan ialah dengan pemberian
antibiotik. Diberikan antibiotik berspektrum luas atau sesuai dengan
uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda
infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan akan terjadinya
infeksi akut dengan menggunakan antibiotik aminoglikosida oral atau
streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali cukup
efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun waktu 2
tahun pemakaian.
Beberapa terapi sistemik lain juga dianjurkan diantaranya ialah
adjuvan berupa vitamin A yang terbukti berhasil mengalami
peningkatan >80% dalam sebuah penelitian dan adjuvan berupa besi
yang juga berhasil mengalami peningkatan >50%. Penggunaan
kortikosteroid juga pernah diajukan sebagai suatu adjuvan namun
beberapa ahli menyatakan penggunaan kortikosteroid merupakan

25

kontra indikasi bagi pasien dengan rinitis atropi. Vasokontriksi untuk


kongesti nasal juga merupakan kontra indikasi karena berhubungan
dengan berkurangnya vaskularisasi di mukosa.
Tetes hidung glukosa-gliserin juga dapat di administrasikan
setelah melakukan douches. Glukosa diharapkan dapat menghambat
infeksi saprofitik, dan bakteri proteolitik, serta meningkatkan
pertumbuhan flora komensal. Gliserin disisi lain membantu sebagai
lubrikan dan agen higroskopik. Efek samping dari gliserin dapat
menyebabkan iritasi. Pada Rinitis Atrofi tipe satu dapat diberikan,
estradiol dalam minyak arachis dalam bentuk obat tetes dan semprot
(100.000 unit/ml). Perlu diperhatikan, penggunaan dekongestan
merupakan

kontraindikasi

pada

rinitis

atrofi

karena

dapat

memperburuk patologis penyakit.


c. Terapi Bedah
Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medikamentosa
yang maksimal, pasien akan selalu mengeluhkan krusta yang
terbentuk dan bau dari rongga hidung yang muncul meskipun sudah
seringkali melakukan terapi lanjutan. Dalam rangka mencegah pasien
untuk bergantung pada terapi medikamentosa sepanjang hidupnya
perlu dilakukan terapi bedah. Secara umum terapi bedah terdiri dalam
3 bagian kategori antara lain denervasi, reduksi volume rongga hidung
dan penutupan nasal.
Prinsip pembedahan pada rinitis atrofi dibagi dalam empat
kelompok besar :
a. Mengurangi ukuran dari kavum nasi, untuk mengurangi
turbulensi udaradalam kavum nasi dan mencegah pengeringan
mukosa serta produksi krusta,

26

b. Menginduksi regenerasi mukosa normal nasal dengan cara


penyempitan rongga hidung sebagian atau total, dengan
implantasi, dilakukan selama dua tahun,
c. Meningkatkan lubrikasi pada mukosa nasal yang kering,
d. Improvisasi vaskularisasi pada kavum nasi.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain:


- Operasi Young
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah
dilaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung
sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung
-

bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.


Operasi Young yang dimodifikasi
Penutupan lubanghidung dengan meninggalkan 3 mm
yang terbuka. Metode ini menginduksi regenerasi mukosa nasal.

Operasi Lautenschlager
Pembedahan dengan tujuan mengurangi ukuran dari
kavum nasi pertama kali dilakukan oleh Lautenschlager, dengan
cara menarik dinding lateral nasal kearah medial, atau dinding
medial dari antrum maksilaris dengan metode Caldwell-Luc.

Tindakan ini sering disebut juga rekalibrasi fosa nasalis.


Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit,
bahan sintetis seperti teflon, campuran triosite dan lem fibrin.
- MetodeWittmack
Induksi lubrikasi pada kavum nasal yang kering dapat
dilakukan

dengan

metodeWiitmack,

dimana

implantasi duktus stensen ke antrum maksilaris.

dilakukan

27

Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara


lain:
- Simpatektomi servikal
- Blokade ganglion Stellata
- Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina

Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana


menggunakan flap faring pada penderita rinitis atrofi anak berhasil
dengan memuaskan. Penutupan ini juga dapat dilakukan pada nares
anterior yang bertujuan untuk mengistirahatkan mukosa hidung.

2.10. PROGNOSIS
Prognosis rinitis atrofi tergantung dari etiologi dan progresifitas
penyakitnya, jika cepat ditangani umumnya akan berakhir baik. Jika
penyakit di diagnosa pada tahap awal dan penyebabnya dapat dipastikan
bakteri, maka terapi antimikrobial yang adekuat serta cuci hidung yang rutin
diharapkan dapat mengembalikan fungsi hidung kembali. Jika penyakit
didapati dengan gejala klinis yang parah, tetap dicoba dengan terapi medika
mentosa, dan jika tidak berhasil perlu dipikirkan untuk melakukan tindakan
bedah.

2.11. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada Ozaena dapat berupa:
-

Perforasi septum
Faringitis
Sinusitis

28

Miasis hidung
Hidung pelana

Anda mungkin juga menyukai