TINJAUAN PUSTAKA
B. Vakularisasi Hidung
C. Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang
dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus.
Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang
oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang
pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan
cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi
sfenopalatina,
selain
memberi
persarafan
profundus.
Ganglion
sfenopalatinum
terletak
Histologi Mukosa
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan
total volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh
mukosa respiratorius.Secara histologis, mukosa hidung terdiri
dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis
semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri
dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar
profunda.
Epitel
skuamous
kompleks
pada
vestibulum,
epitel
10
mukoid
sehingga
menggerakan
lapisan
ini..
seolah-olah
menyerupai
ayunan
tangan
seorang
11
epitel.
Dengan
demikian
mencegah
kekeringan
12
13
semua sinus
hidung untuk
membersihkan
dirinya
dengan
14
15
respirasi:
air
conditioning,
purifikasi
udara,
bahwa
anatomi
hidung
dalam
yang
ireguler
16
17
18
19
sel
saraf
bipolar
dan
serat
saraf,
ditambah
dengan
20
infiltrasi sel bulat di submukosa. Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi
positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang
yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan
pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran
nafas jadi lapang.
Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi
adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi
surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung
terhadap
infeksi.Fungsi
surfaktan
yang
abnormal
menyebabkan
21
ditemuinya
konka
inferior
22
Mikrobiologi
Dapat
ditemukan
bakteri
Klebsiella
Ozaena,
Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan :
1. Metaplasia skuamosa
2. Atrofi kelenjar mucus
3. Absensi silia
4. Endarteritis obliterans
23
2.9. TATALAKSANA
Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan yaitu
secara topikal, sistemik, dan pembedahan. Keseluruhan teknik ini bertujuan
untuk pemulihan hidrasi nasal dan meminimalisir terbentuknya krusta.
a. Terapi Topikal
Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah
dengan irigasi nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu
terapi pencegahan atau sebagai suatu terapi yang bersifat rumatan.
Fungsi dari irigasi nasal sendiri ialah mencegah terbentuknya
pengumpulan krusta dalam rongga hidung.
Nasal irrigation & douches, dengan komposisi 28.4g sodium
bicarbonate (disolusi krusta), 28.4g sodium diborate (antiseptik,
bertindak sebagai bakterisidal dalam asam dan membantu untuk
membuffer bicarbonate), 56.7 sodium chloride (untuk membuat
larutan menjadi isotonik). Satu sendok teh campuran diatas dicampur
dengan 280ml air hangat-luke, dapat digunakan sebagai douches pada
kavum nasi untuk membersihkan krusta menggunakan disposibel 10
atau 20 cc. Dapat diulang 3-4 kali sehari.
Saat prosedur berlangsung, pasien diminta untuk terus
mengucapkan K,K,K untuk menutup nasofaringeal isthmus,
24
larutan
diatasm
dapat
dilakukan
juga
dengan
25
kontraindikasi
pada
rinitis
atrofi
karena
dapat
26
Operasi Lautenschlager
Pembedahan dengan tujuan mengurangi ukuran dari
kavum nasi pertama kali dilakukan oleh Lautenschlager, dengan
cara menarik dinding lateral nasal kearah medial, atau dinding
medial dari antrum maksilaris dengan metode Caldwell-Luc.
dengan
metodeWiitmack,
dimana
dilakukan
27
2.10. PROGNOSIS
Prognosis rinitis atrofi tergantung dari etiologi dan progresifitas
penyakitnya, jika cepat ditangani umumnya akan berakhir baik. Jika
penyakit di diagnosa pada tahap awal dan penyebabnya dapat dipastikan
bakteri, maka terapi antimikrobial yang adekuat serta cuci hidung yang rutin
diharapkan dapat mengembalikan fungsi hidung kembali. Jika penyakit
didapati dengan gejala klinis yang parah, tetap dicoba dengan terapi medika
mentosa, dan jika tidak berhasil perlu dipikirkan untuk melakukan tindakan
bedah.
2.11. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada Ozaena dapat berupa:
-
Perforasi septum
Faringitis
Sinusitis
28
Miasis hidung
Hidung pelana