Anda di halaman 1dari 6

Ketidakadilan Dalam Eksploitasi Buruh

Keadilan adalah bagaimana hidup dengan benar dan membuat kehidupan


itu sendiri benar bersama dengan yang lainnya, keadilan adalah anugerah hidup.
Itulah sebabnya mengapa ketidakadilan memiliki dimensi individual dan dimensi
sosial. Dalam hal ini, keadilan dapat diartikan sebagai sebuah prinsip kehidupan
yang mengatur keseimbangan distribusi akan hak dan kewajiban tiap Individu
beserta pembagian keuntungan yang layak atas beban kerjasama sosial diantara
mereka semua sehingga Individu-individu tersebut dapat menjalani kehidupan
dengan benar tanpa ada yang saling dirugikan. 1 Keadilan juga merupakan sebuah
anugerah kehidupan, mengingat keadilan itu sendiri merupakan salah satu hak
asasi yang dimiliki oleh manusia sebagai pemberian dari Tuhan dan tidak ada
satupun manusia lain yang boleh merenggutnya. Oleh karena itu, apabila terdapat
suatu bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh beberapa orang maka dengan
sendirinya hal itu dapat mengancam kehidupan atau hak asasi orang lain.
Ketidakadilan disini memuat dimensi individual dan dimensi sosial.
Ketidakadilan berdasar pada dimensi individual hanya berdampak pada
perseorangan, namun ketidakadilan yang mencakup dimensi sosial memiliki
pengaruh yang sangat besar terutama pada tatanan struktur masyarakat.
Mengingat bahwa struktur masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok sosial
tertentu yang didalamnya terhimpun berbagai individu. Dengan kata lain,
ketidakadilan struktural atau sosial akan bermuara pula dampaknya terhadap
ketidakadilan personal atau individu.
1

1 John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan


Kesejahteraan Sosial Dalam Negara ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 5.

Beralih pada pembahasan tentang konsep keadilan dan ketidakadilan, kini


kita akan mengaitkan konsep tersebut dengan konteks eksploitasi yang dipaparkan
oleh Nancy Holmstrom. Berdasarkan artikel Nancy Holmstrom terkait dengan
eksploitasi, eksploitasi dapat didefinisikan sebagai suatu pemanfaatan secara
berlebihan terhadap suatu subyek guna mencapai keuntungan maksimal yang
dinikmati oleh beberapa pihak tanpa mempertimbangkan adanya prinsip keadilan
dan kompensasi kesejahteraan. Nancy berpacu pada teori Marx dalam memahami
sebuah fenomena eksploitasi tersebut. Adapun yang dimaksud dengan subyek
dalam definisi tersebut adalah buruh atau pekerja, sedangkan pihak-pihak yang
melakukan eksploitasi adalah kaum borjuis atau pemilik modal. Dengan
demikian, maka pembahasan eksploitasi ini hanya berkutat pada tindakan
eksploitasi terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh kaum borjuis atau pemilik
modal yang cenderung mengabaikan prinsip keadilan dalam pembagian
keuntungan. Dalam artikel Nancy yang berisi kritikan terhadap fenomena
eksploitasi tersebut, ia mencoba mengelaborasi pandangan Marx yang
berpendapat bahwa eksploitasi adalah suatu tindak kejahatan besar yang dibawa
oleh sistem kapitalisme.
Kini kita akan mengkaji lebih dalam mengenai eksploitasi terhadap buruh
itu sendiri. Di mata kapitalis atau pemilik modal, buruh dipandang sebagai suatu
komoditas alat produksi. Nilai atau harga mereka ditentukan berdasarkan
mekanisme pasar. Mekanisme pasar yang dimaksud adalah penentuan harga
berdasarkan pada tingkat penawaran dan permintaan terhadap kebutuhan akan
buruh tersebut dalam pasar. Kondisi tersebut tentu akan sangat merugikan kaum

buruh apabila jumlah buruh yang terdapat dalam pasar sangat banyak (surplus
labor) sehingga mereka dihargai atau diberi upah yang sedikit. Padahal tenaga
kerja yang mereka keluarkan dalam rentang waktu kerja yang cukup lama
sangatlah besar untuk memproduksi suatu produk tertentu yang nantinya sangat
memberikan keuntungan besar pada perusahaan, namun sekali lagi sistem upah
yang mereka terima adalah berdasarkan pada mekanisme pasar bukan pada
besarnya tenaga yang dikeluarkan dalam membuat suatu produk tertentu. Alhasil
sistem pembagian upah yang semacam itu cenderung mengarah pada tindak
ketidakadilan. Kami memiliki beberapa contoh sederhana dalam menggambarkan
tindak eksploitasi buruh yang kerap kali terjadi. Misalkan ada seorang buruh
bernama Budi. Ia bekerja di sebuah pabrik sepatu dan digaji sebesar
Rp1.000.00,00/ bulan untuk 20 hari kerja. Setiap hari selama 12 jam ia bekerja, ia
mampu membuat 10 pasang sepatu yang tiap pasang sepatunya dijual dengan
harga Rp300.000,00. Padahal modal ( bahan, perawatan, peralatan) yang
dikeluarkan untuk tiap pasang sepatu sebesar Rp100.000,00. Dengan demikian,
maka Budi setiap harinya telah menghasilkan laba bersih kepada perusahaan
sebesar Rp2.000.000,00 ( 10x Rp200.000,00). Jika kita hitung selama sebulan,
maka Budi dapat menghasilkan laba bersih kepada perusahaan sebesar
Rp40.000.000,00. Bandingkan anatara gaji yang ia terima dengan laba bersih yang
ia hasilkan kepada perusahaan, yaitu Rp1.000.000,00 : Rp40.000.000,00 atau 1 :
40. Dengan kata lain, Budi hanya memperoleh upah 0,025% dari keseluruhan laba
bersih yang ia hasilkan tiap bulannya. Padahal dia sudah bekerja sangat keras
dalam menghasilkan keuntungan perusahaan tersebut, namun pembagian

keuntungan tersebut nyatanya tidaklah adil karena porsi keuntungan lebih besar
dinikmati oleh para pemilik modal ketimbang pekerjanya.
Dalam praktik eksploitasi yang telah kami jelaskan sebelumnya,
ketidakadilan sering sekali muncul sebagai dampak dari tidak adanya kesetaraan.
Kesetaraan dapat diartikan sebagai kesempatan yang sama yang dimiliki oleh
semua orang tanpa melihat posisi siapa dan bagaimana.

Oleh karena itu

kesetaraan diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi


ketidakadilan.
Eksploitasi sering bertentangan dengan prinsip kesetaraan. Dalam
eksploitasi, kelebihan pendapatan sering kali tidak dinikmati oleh para buruh dan
hanya dinikmati untuk kepentingan para kapitalis. Hal tersebut terjadi karena
tidak adanya kesempatan yang sama bagi para buruh untuk mengatur pembagian
keuntungan yang sepadan antara tenaga yang mereka keluarkan dengan hasil yang
mereka dapatkan berdasarkan keseluruhan dari keuntungan perusahaan. Crocker
menyebutnya sebagai undemocratic control of production dan menyebutnya
sebagai penyebab Marx mengutuk eksploitasi. Undemocratic control yang
dimaksud adalah karakteristik eksploitasi yang hanya mengambil keputusan
secara sepihak, keputusan absolut hanya berasal dari sang kapitalis. Sehingga,
para buruh mendapatkan kontrol sepenuhnya dari para pemilik modal.2 Untuk
mengatasi hal tersebut, diperlukan adanya transparansi dalam pembagian
keuntungan perusahaan. Selain itu, dibutuhkan adanya pemberian hak kepada
kaum buruh untuk dapat mengartikulasikan pendapat mereka, sehingga mereka
dapat ikut campur dalam perumusan pembagian keuntungan yang sesuai dengan
2

2 Nancy Holmstrom, Exploitation, Canadian Journal of Philosophy 3, No. 2 (1977) : 10.

kesepakatan antara kedua belah pihak. Sehingga dengan adanya hal tersebut
dapat tercipta sebuah sistem pembagian keuntungan yang layak.

Zadat Taqwa

F1D015036

Muchamad Dias Anang Setiawan

F1D015031

Stefanus Kris Indarto

F1D015043

Arief Syaefudin

F1D015002

Della Oktaviana

F1D015048

DAFTAR PUSTAKA
Holmstrom, Nancy. Exploitation. Canadian Journal of Philosophy 3, No. 2 (1977): 10

Press, The University of Chicago. The Chicago Manual of Style: Sixteenth


Edition. Chicago dan London: The University of Chicago Press, 2010.
Rawls, John. Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial Dalam Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Anda mungkin juga menyukai