Anda di halaman 1dari 10

FARMAKOTERAPI

Walaupun psikoterapi spesifik dan jangka pendek, seperti terapi interpersonal,


memengaruhi pendekatan terapi gangguan depresif berat, metode farmakoterapi
pada gangguan mood mengubah terapi dan secara dramatis memengaruhi
perjalanan gangguan mood, serta mengurangi kerugian yang melekat pada
masyarakat. Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi
psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood sebagai gangguan yang
berkembang dari hal yang berkaitan dengan psikodinamik, ambivalensi mereka
mengenai penggunaan obat dapat memberikan hasil buruk, ketidakpatuhan, serta
mungkin dosis yang tidak adekuat untuk periode terapi yang terlalu singkat. Atau,
jika dokter mengabaikan kebutuhan psikososial pasien, hasil farmakoterapi dapat
terganggu.
A. Gangguan Depresif Berat
Terapi gangguan depresif berat yang efektif dan spesifik, seperti obat
trisiklik, telah tersedia selama 40 tahun. Penggunaan farmakoterapi
spesifik diperkirakan melipatgandakan kemungkinan bahwa pasien depresi
akan pulih dalam 1 bulan. Meskipun demikian, masalah tetap ada di dalam
terapi gangguan depresif berat: Sejumlah pasien tidak memberikan respons
terhadap terapi pertama; semua antidepresan yang saat ini tersedia
membutuhkan 3 sampai 4 minggu hingga memberikan pengaruh terapeutik
yang bermakna, walaupun obat tersebut dapat mulai menunjukkan
pengaruhnya lebih dini, dan relatif sampai saat ini, semua antidepresan
yang tersedia bersifat toksik bila overdosis serta memiliki efek samping.
Pengenalan SSRI, seperti fluoxetine, paroksetin (Paxil), dan sertralin
(Zoloft), juga bupropion, venlafaksin (Effexor), nefazodon, dan mirtazapin
(Remeron), menawarkan klinisi obat-obat yang sama fektif tetapi lebih
aman dan lebih ditoleransi daripada obat-obatsebelumnya. Indikasi saat ini
untuk obat antidepresan (contohnya, gangguan makan, dan gangguan
ansietas) membuat pengelompokan obat-obat ini di bawah satu label
antidepresan yang membingungkan.
Indikasi utama antidepresan adalah episode depresif berat. Gejala pertama
yang akan membaik adalah pola tidur dan nafsu makan yang buruk.

Agitasi, ansietas, episode depresif, dan rasa putus asa adalah gejala yang
selanjutnya akan membaik. Gejala target lainnya adalah kurang tenaga,
konsentrasi buruk, ketidakberdayaan, dan menurunnya libido.
1. Edukasi Pasien
Edukasi pasien dengan adekuat mengenai penggunaan antidepresan
adalah hal yang sama pentingnya dengn memilih obat serta dosis yang
paling tepat untuk keberhasilan terapi. Ketika mengenalkan topik
percobaan obat kepada pasien, dokter harus menekankan bahwa
gangguan depresif berat adalah kombinasi faktor biologis dan
psikologis, kedua faktor tersebut akan memperoleh keuntungan
melalui terapi obat. Dokter juga harus menekankan bahwa pasien tidak
akan mengalamiketergantungan obat antidepresan, karena obat ini
tidak memberikan kepuasan dengan segera. Lebih jauh lagi, obat ini
mungkin akan membutuhkan 3 4 minggu sebelum efek
antidepresannya dapat dirasakan, dan bahkan jika pasien tidak
menunjukkan perbaikan setelah waktu itu, obat-obat lain juga tersedia.
Sejumlah

klinisi

menyatakan

bahwa

adanya

efek

samping

menunjukkan bahwa obat tersebut bekerja, tetapi efk samping harus


dijelaskan secara terperinci. Contohnya, beberapa pasien yang minum
SSRI mungki akan mengalami agitasi, gangguan gastrointestinal, atau
mual sebelum adanya perbaikan depresi. Efek samping obat terjadi
seiring waktu. Dengan obat trisiklik dan MAOI, dokter mungkin
merasa berguna untuk menjelaskan kepada pasien bahwa tidur dan
nafsu makan akan membaik lebih dulu, diikuti perasaan energi
memulih, serta rasa depresi, sayangnya, akan menjadi gejala terakhir
yang berubah.
Dokter harus selalu mempertimbangkan risiko bunuh diri pada pasien
dengan gangguan mood. Sebagian besar antidepresan bersifat letal jika
diminum dalam jumlah banyak. Tidaklah bijaksana untuk memberikan
resep dalam jumlah besar bagi sebagian besar pasien dengan gangguan
mood ketika mereka keluar dari rumah sakit, kecuali jika orang lain
mengawasi pemberian obat.
2. Alternatif Terapi Obat

Dua terapi organik yang merupakan alternatif farmakoterapi adalah


terapi elektokonvulsif dan fototerapi. Terapi elektokonvulsif umumnya
digunakan ketika pasien tidak memberikan respons terhadap
farmakoterapi atau tidak dapat menoleransi farmakoterapi atau situasi
klinis sedemikian beratnya sehingga diperlukan perbaikan cepat
melalui penggunaan terapi elektokonvulsif. Walaupun penggunaan
terapi

elektokonvulsif

sering

dibatasi

tiga

situasi,

terapi

elektokonvulsif merupakan terapi antidepresan yang efektif dan secara


masuk akal dapat dipertimbangkan sebagai terapi pilihan bagi
sejumlah pasien, seperti pasien depresi usia lanjut. Fototerapi
merupakan terapi baru yang telah digunakan pada pasien dengan pola
musiman untuk gangguan mood mereka. Fototerapi bisa digunakan
secara tersendiri pada kasus gangguan mood ringan dengan pola
musiman. Untuk pasien dengan gangguan yang berat, fototerapi dapat
digunakan dalam kombinasi dengan farmakoterapi, walaupun studi
efektivitas kombinasi ini belum mmberikan hasil yang pasti.
3. Obat yang Tersedia
SSRI adalah obat antidepresan yang paling luas digunakan di Amerika
Serikat. Obat ini adlah agen pilihan karena efektif, mudah digunakan,
efek sampingnya relatif lebih sedikit bahkan pada dosis tinggi. Karena
ditoleransi dengan baik, SSRI diresepkan dokter untuk berbagai
bidang. Dari agen yang lebih baru, citalopram (Celexa), escitalopram
(Lexapro), buproprion, venlafaksin (Effexor), fluovoxamin (Luvox),
dan nefazodon, telah digunakn luas oleh psikiater. Semua agen ini
lebih aman daripada obat trisiklik dan tetrasiklik serta MAOI, selain
itu masing-masing obat ini juga terlihat sama efektif terhadap depresi
pada prcobaan klinis. Obat trisiklik dan tetrasiklik, trazodon (Desyrel),
alprazolam (Xanax), dan mirtazapin, dapat menimbulkan sedasi.
MAOI membutuhkan restriksi diet. Obat-obat ini lebih sedikit
digunakan karena efek sampingnya. Obat-obat simptomimetik, seperti
dekstroamfetamin (Dexedrine) dan metilfenidat (Ritalin), dapat
menghasilkan perbaikan mood yang cepat (dalam 1 minggu) dan
diindikasikan dalam situasi yang diawasi ketat.

4. Kerja Farmakologis
Pada pasien yang menoleransi dosis terapeutik utuh berbagai
antidepresan yang tersedia, tidak ada satupun agen yang menunjukan
keunggulan nyata. Meskipun demikian, terdapat perbedaan nyata profil
efek sampingnya dan masing-masing pasien dapat berespons terhadap
satu antidepresan tetapi tidak terhadap antidepresan lain. Sebagian
besar antidepresan berinteraksi dengan neurotransmisi serotonergik
atau noradrenergik atau keduanya. Lebih lagi, potensiasi sistem
neurotransmiter ini terbukti merangsang sistem lainnya, sehingga
perincian farmakodinamik masing-masing obat sulit diperkirakan
efektivitasnya.
MAOI lebih jaran dipilih karena dapat menyebabkan hipertensi krisis
jika pasien mengonsumsi makanan dengan kandungan tiramin yang
tinggi, yang membutuhkan kepatuhan ketat terhadap rangkaian
sederhana panduan diet. Alprazolam, suatu benzodiazepin, adalah obat
yang disetujui FDA di Amerika untuk terapi depresi, tetapi jaran
digunakan karena kekhawatiran mengenai sedasinya dan karena obat
ini

dapat

bersifat

adiktif

serta

mungkin

sulit

dihentikan.

Simpatomimetik, walaupun di antara obat antidepresan yang paling


efektif, juga jarang digunakan, walaupun bukan pada dosis rendah,
biasanya diperlukan untuk terapi depresi.
5. Efek Samping
Salah satu kekhawatiran yang paling serius mengenai antidepresan
adalah dapat mengakibatkan kematian jika dikonsumsi overdosis. Obat
trisiklik dan tetrasiklik adalah antidepresan yang paling mematikan;
SSRI, buproprion, trazodon, nefazodon, mirtazapin, venlafaksin, dan
MAOI lebih aman, walaupun obat-obat ini juga bisa bersifat letal jika
dikonsumsi overdosis dalam kombinasi denan alkohol atau obat lain.
Kekhawatiran lain mengenai antidepresan adalah keamanannya bagi
jantung. Sekali lagi, obat trisiklik dan tetrasiklik umumnya paling tidak
aman.

Hipotensi

merupakan

efek

samping

potensial

banyak

antidepresan, amoksapin (Asendin), maprotilin (Ludiomil), nortriptilin,


dan trazodon dikaitkan dengan lbih sedikit hipotensi. Satu rangkaian
efek samping yang dengan tidak sesuai diabaikan banyak klinisi adalah

efek samping seksual antidepresan. Hampir semua antidepresan,


kecuali nefazodon dan mirtazapin, dikaitkan dengan menurunnya
libido, disfungsi ereksi, atau anorgasmia. Obat-obat srotonergik
mungkin lebih erat dikaitkan dengan efek samping seksual daripada
senyawa nonadrenergik.
6. Interaksi Obat
Kekhawatiran meningkat lainnya di antara klinisi dalam meresepkan
obat untuk gangguan atau keadaan depresi adalah kemungkinan
interaksi obat, terutama mengacu pada enzim sitokrom hepatik P450
(CYP). Sistem isoenzim CYP terlibat di dalam metabolisme sebagian
besar obat, tetapi sejumlah orang secara genetik memiliki resiko
mengalami konsentrasi obat yang tinggi di dalam darah yang
dimetabolisme salah satu enzim CYP, seperti CYP 2D6.
7. Terapi Tipe Spesifik
Sejumlah tipe klinis episode depresif berat dapat memiliki berbagai
respons terhadap antidepresan tertentu. Contohnya, pasien gangguan
depresif berat dengan ciri atipikal (kadang-kadang disebut disforia
histeroid) dapat lebih berespons terhadap terapi dengan MAOI. Dua
kelompok spesifik lainnya adalah pasien gangguan bipolar I depresi
dan pasien episode depresif berat dengan ciri psikotik.
Litium adalah agen farmakologis lini pertama yang potensial di dalam
tatalaksana depresi pada pasien gangguan bipolar I yang diterapi
dengan periodisitas yang nyata. Pasien gangguan bipolar I yang
diterapi dengan antidepresan konvensional harus diobservasi secara
teliti untuk timbulnya gejala manik.
Antidepresan saja tampaknya tidak efektif dalam tatalaksana episode
depresif berat dengan ciri psikotik. Satu pengecualian mungkin
amoksapin, antidepresan yang mirip dengan loksapin (Loxitane), suatu
antipsikotik: meskipun demikian, klinisi biasanya menggunakan
kombinasi antidepresan dan antipsikotik. Sejumlah studi juga telah
menunjukkan bahwa terapi elektokonvulsif efektif untuk indikasi ini,
mungkin lebih efektif daripada farmakoterapi.
8. Pedoman Klinis Umum
Kesalahan klinis yang paling lazim terjadi yang menyebabkan
ketidakberhasilan percobaan obat antidepresan adalah penggunaan

dosis yan terlalu rendah dalam waktu yang singkat. Kecuali terjadi
efek samping, dosis antidepresan harus dinaikkan sampai kadar
maksimum yang direkomendasikan dan dipertahankan pada kadar
tersbut setidaknya selama 4 5 minggu sebelum percobaan obat dapat
diangap tidak berhasil. Atau jika pasien membaik secara klinis pada
dosis yang rendah, dosis ini sebaiknya tidak dinaikkan kecuali
perbaikan klinis berhenti sebelum keuntungan maksimal diperoleh.
Ketika pasien tidak mulai memberikan respons terhadap dosis obat
yang sesuai setelah 2 3 minggu, klinisi dapat memutuskan untuk
mendapatkan konsentrasi plasma obat jika tersedia uji untuk obat
tertentu yang sedang digunakan. Uji ini dapat menunjukkan
ketidakpatuhan atau disposisi farmakokinetik yang tidak biasa pada
obat itu dan dengan demikian dapat disarankan dosis alternatif.
9. Lama Pemakaian dan Profilaksis
Terapi antidepresan harus dipertahankan setidaknya 6 bulan atau
selama episode sebelumnya, bergantung mana lebih lama. Sejumlah
studi menunjukan bahwa terapi profilaksis dengan antidepresan efektif
dalam menurunkan jumlah keparahan kekambuhan. Kesimpulan yang
ditarik dari satu studi adalah bahwa, ketika episode kurang dari 2,5
tahun yang lalu, terapi profilaksis selama 5 tahun mungkin
diindikasikan. Faktor lain yang menyarankan terapi profilaksis adalah
keparahan episode depresif sebelumnya. Episode yang melibatkan
gagasan bunuh diri yang bermakna atau gangguan fungsi psikososial
dapat menunjukkan bahwa klinisi harus mempertimbangkan terapi
profilaksis. Jika antidepresan dihentikan, mereka harus menurunkan
dosis secara bertahap selama 1 2 minggu bergantung waktu paruh
senyawa tersebut. Sejumlah studi menunjukkan bahwa rumatan obat
antidepresan tampak aman dan efektif untuk terapi depresi kronis.
10. Kegagalan Uji Obat
Ketika obat antidepresan pertama digunakan untuk suatu uji yang
adekuat dan, jika sesuai, klinisi yakin bahwa bila konsentrasi plasma
yang adekuat diperoleh, terdapat 2 pilihan jika gejala tidak membaik
dengan memuaskan: memperkuat obat dengan litium, liotironin
(isomer levorotatori triiodotironin [T3]), atau L-triptofan, atau

mengganti ke agen primer alternatif. Strategi yang saat ini jarang


digunakan adalah mengombinasikan obat trisiklik atau tetrasiklik
dengan MAOI. Ketika mengganti agen, klinisi harus mengubah obat
pada pasien yang menggunakan trisiklik atau tetrasiklik menjadi SSRI
(atau mungkin MAOI) dan harus mengubah obat pada pasien yang
menggunakan nefazodon, obat trisiklik atau tetrasiklik, mirtazapin,
trazodon, atau mungkin MAOI. Setidaknya terdapat jarak 2 minggu
antara penggunaan SSRI dan penggunan MAOI, dan kedua obat tidak
boleh digunakan bersamaan karena dapat timbul sindrom serotonin.
a. Litium
Litium (900 1200 mg/hari, kadar serum antara 0,6 0,8 mEq/L)
dapat ditambahkan pada dosis antidepresan selama 7 14 hari.
Pendekatan ini mengubah dalam jumlah bermakna pasien yang
tidak berespons terhadap antidepresan menjadi memberikan
respons. Mekanisme kerjanya tidak diketahui walaupun litium
dapat meningkatkan potensi sistem neuronal serotonerik. Sejumlah
data menunjukkan bahwa terapi awal dengan antidepresan saja
penting untuk efek ini dan bahwa di awal terapi dengan dua obat
bersamaan tidak seefektif jika memulai dengan antidepresan dan
menambahkan litium.
b. Liotironin
Penambahan 25 50 mg liotironin per hari pada regimen
antidepresan selama 7 14 hari dapat mengubah pasien yang tidak
berespons menjadii memberikan respons. Efek samping liotironin
sedikit tetapi dapat mencakup sakit kepala dan rasa hangat.
Mekanisme kerja penambahan liotironin tidak diketahui, walaupun
diduga terdapat modulasi reseptor -adrenergik dan adanya
kelainan aksis tiroid yang tidak terdeteksi pada gangguan depresif
berat. Jika penambahan liotironin berhasil, liotironin harus
diteruskan selama 2 bulan dan kemudian diturunkan dengan laju
12,5 mg/hari selama 3 7 hari.
c. L-Triptofan
d. L-Triptofan, prekursor asam amino untuk serotonin, telah
digunakan sebagai tambahan oat antidepresan pada gangguan

depresif berat dan gangguan bipolar I. L-Triptofan juga telah


digunakkan tersendiri sebagai antidepresan dan hipnotik. Produk
yang mengandung L-Triptofan ditarik kembali di Amerika Serikat
karena wabah sindrom mialgia-eosinofilia akibat penggunaan LTriptofan. Gejala sindrom ini mencakup lelah, mialgia, napas
pendek, ruam, serta pembengkakan ekstremitas. Gagal jantung
kongestif dan kematian juga dapat terjadi. Walaupun sejumlah
studi menunjukkan bahwa L-Triptofan adalah tambahan efektif
dalam terapi gangguan mood, obat ini sebaiknya tidak digunakan
untuk tujuan apapun sampai masalah dengan sindrom ini benarbenar telah diatasi. Sindrom ini mungkin berkaitan dengan
kontaminan pada satu tempat produksi tetapi hipotesis ini belum
diuji.
e. Kombinasi Obat Trisiklik atau Tetrasiklik dan MAOI
Kombinasi obat trisiklik atau tetrasiklik dengan MAOI kadangkadang digunakan pada pasien yang belum memberikan respons
terhadap beberapa terapi farmakologis lain. Dengan ketersediaan
kisaran luas antidepresan, terapi kombinasi ini jarang digunakan.
Karena insiden efek sampingnya tinggi, kombinasi ini bukanlah
merupakan terapi pilihan pertama, kedua, atau bahkan ketiga. Jika
kombinasi ini digunakan, klinisi harus memulai terapi dengan
kedua obat ini dalam dosis rendah dan kemudian menaikkan dosis
perlahan. Imipramin atau trimipramin (Surmontil) dan MAOI tidak
boleh digunakan dalam kombinasi karena insiden efek toksiknya
yang tinggi, termasuk gelisah, pusing, tremor, kedutan otot,
berkeringat, kejang, hiperpireksia, dan kadang kematian.
Ketika pasien telah mendapatkan obat trisiklik atau tetrasiklik,
dokter harus membagi empat dosis obat tersebut selama 5 sampai 7
hari dan kemudian dengan perlahan menambahkan MAOI pada
regimen tersebut. Ketika pasien mendapatkan MAOI, dokter harus
menghentikan obat tersebut selama 2 minggu dan kemudian
memulai kedua obat secara bersamaan. Alasan strategi ini adalah
bahwa MAOI secara ireversibel menghambat monoamine oksidase

sehingga membutuhkan sekitar 2 minggu untuk memperoleh kadar


aktivitas MAOI normal setelah penggunaan MAOI.
B. Gangguan Bipolar I
Litium, divalproeks (Depakote), dan olanzapin (Zyprexa) adalah satusatunya terapi yang disetujui FDA untuk fase manic gangguan bipolar
tetapi karbamazepin (Tegretol) juga merupakan terapi yang berhasil baik.
Gabapentin (Neurontin) dan lamotrigin (Lamictal) adalah terapi yang
menjanjikan untuk pasien yang refrakter atau tidak menoleransi terapi.
Efektivitas 2 agen yang disebut terakhir belum ditegakkan dengan baik
tetapi penggunaan klinisnya meluas. Topiramat (Topamax) adalah
antikonvulsan lain yang menunjukkan keuntungan pada pasien bipolar.
ECT sangat efektif pada semua fase gangguan bipolar. Karbamazepin,
divalproeks, dan asam valproat tampak lebih efektif daripada litium untuk
tatalaksana mania campuran atau disforik, siklus cepat, serta mania
psikotik, dan untuk tatalaksana pasien dengan riwayat episode manic
multiple atau penyalahgunaan zat komorbid.
1. Litium
Masih merupakan terapi standar gangguan bipolar I. Efek samping
yang

membatasi

penggunaan

dan

menyebabkan

klinisi

mempertimbangkan penggunaan baik karbamazepin atau valproat


mencakup efek pada ginjal (haus, poliuria), sistem saraf (tremor, hilang
memori),

metabolic

(penambahan

berat

badan), GIT (diare),

dermatologis (akne, psoriasis), serta tiroid (struma, miksedema). Yang


berpotensi serius adalah efek pada ginjal, yang mencakup gangguan
fungsi tubulus sedang atau kadang berat; yang tidak lazim, perubahan
morfologis sedang yang tidak spesifik; dan yang jarang, sindrom
nefrotik. Sehingga membutuhkan pengawasan teliti status ginjal dan
tiroid pasien.
2. Valproat
Data efisiensi untuk valproat saat ini cukup untuk menjamin
penggunaannya sebagai obat lini pertama. Pasien dalam jumlah
signifikan

tampaknya

dapat

menoleransi

valproat

lebih

baik

dibandingkan litium dan karbamazepin. Asam valproat dan divalproeks


memiliki indeks terapeutik yang luas dan tampak efektif pada kadar 50

125 g/mL. Pemeriksaan praterapi mencakup hitung darah lengkap,


uji fungsi hati, dan uji kehamilan.
3. Karbamazepin
Biasanya ditritasi untuk menilai respons dan bukan untuk mengukur
kadarnya di dalam darah, wlaupun banyak klinisi menitrasi untuk
mencapai kadar 4 12 g/mL. Evaluasi praterapi harus mencakup uji
fungsi hati dan hitung jenis darah lengkap serta EKG, elektrolit,
retikulosit, dan tes kehamilan.
4. Antikonvulsan Lain
Lamotrigin dan gabapentin adalah antikonvulsan yang mungkin
memiliki sifat antidepresan, antimanik, dan penstabil mood. Obat-obat
ini tidak memerlukan pengawasan darah.
5. Agen Lain
Mencakup verapamil, nimodipin, klonidin,

klonazepam,

dan

levotiroksin. ECT dapat dipertimbangkan pada kasus yang terutama


berat atau resisten obat sebagai terapi alternative untuk gangguan
bipolar I.
6. Siklus Cepat
Karena penggunaan antidepresan konvensional, terutama trisiklik, dan
dengan adanya hipotiroidisme.
7. Rumatan
Didasarkan pada keparahan gangguan pasien, resiko efek samping obat
tertentu,

serta

kualitas

sistem

dukungan

pasien.

Umumnya

diindikasikan untuk profilaksis gangguan bipolar I pada setiap pasien


yang memiliki lebih dari 1 episode.
C. Gangguan Bipolar II
Harus dilakukan dengan pendekatan hati-hati; terapi episode depresif
dengan antidepresan dapat mencetuskan episode manic.

Anda mungkin juga menyukai