Anda di halaman 1dari 13

TANTANGAN PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BAHASA ARAB

MADRASAH MASA DEPAN: ADAPTASI DALAM TEKNOLOGI PENDIDIKAN


Ismail Suardi Wekke* & Ghita Tamalia**
*Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong
**Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
Email: iswekke@gmail.com
Dipresentasikan dalam Seminar Nasional The 21st Century Skills Guru
pada Jenjang Pendidikan Dasar
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 27 Oktober 2016
ABSTRAK: Pembelajaran bahasa Arab dengan menggunakan media akan lebih
memudahkan pelaksanaan pembelajaran, tidak saja bagi murid tetapi juga bagi
guru. Untuk itu, makalah ini secara khusus menganalisis penggunaan teknologi
untuk diadaptasi dalam pelaksanaan pendidikan bahasa Arab di madrasah.
Penelitian dilaksanakan di madrasah wilayah Sorong Raya, Papua Barat.
Wawancara dan pengamatan dilaksanakan untuk mengumpulkan data. Untuk
kepentingan triangulasi data dilaksanakan diskusi terarah sebanyak dua kali.
Penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi dengan segala variannya perlu
digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Teknologi tidak perlu berarti mahal
dan tidak terjangkau. Justru dengan peralatan teknologi informasi yang ada,
dapat saja digunakan untuk membantu murid dalam belajar untuk kegiatans
ehari-hari. Hanya saja, guru perlu memberikan panduan kepada murid sehingga
penggunaan teknologi tersebut akan memberikan dampak yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran. Makalah ini juga mendiskusikan bagaimana menggunakan
teknologi yang tersedia dalam kehidupan sehari-hari untuk diadaptasi menjadi
bagian dari pengembangan pembelajaran. Terakhir, sinergi teknologi dalam
pembelajaran akan memberikan kesempatan kepada siswa dan guru untuk
bersama-sama untuk menjalankan proses pembelajaran.
Kata Kunci: teknologi pembelajaran, bahasa Arab, madrasah, media, sinergi
PENDAHULUAN
Posisi Bahasa Arab yang sentral, tidak hanya sebagai media komunikasi
dalam urusan keduniawian tetapi juga dalam urusan dengan Yang Maha Kuasa,
merupakan sebuah kesempatan sekaligus tantangan. Selain sebagai alat interaksi
dengan individu lain, dialog dengan Tuhan juga dilaksanakan dengan

menggunakan bahasa Arab. Sebagaimana bahasa al-Quran dan hadis juga


dituliskan dengan aksara Arab. Dalam kondisi seperti ini, maka selalu terbuka
peluang untuk mengadakan adaptasi dan juga terobosan dalam mengusahakan
proses belajar yang mampu mencapai sasaran dengan lebih memadai (Al-Batal,
2006). Ditambah dengan kemajuan teknologi informasi yang di dalamnya juga
terkait dengan media pembelajaran berupa aplikasi komputer. Jikalau tidak
dapat membangun sebuah aplikasi dengan segala keterbatasan, maka aplikasi
yang siap pakai bahkan yang gratis juga tersedia. Ini dapat digunakan sebagai
media pembelajaran yang menarik minat mahasiswa kapan dan dimana saja
untuk digunakan.
Penggunaan aplikasi tidak lagi hanya dapat dijalankan dalam komputer
pribadi ataupun menggunakan komputer jinjing. Hanya dengan menggunakan
telepon seluler, maka aplikasi komputer sudah dapat dijalankan. Inipun dengan
memberi kesempatan untuk interaksi antara guru dan siswa dengan biaya yang
sangat murah. Untuk sebuah paket data yang disediakan perusahaan
telekomunikasi dapat menggunakan akses internet melalui telepon seluler tidak
melebihi angka puluhan ribu (Ni, & Zhou, 2005). Apalagi kalau akses internet
difasilitasi juga oleh sekolah. Ini akan menjadi daya dukung bagi proses
pembelajaran yang lebih memudahkan aktivitas, baik untuk siswa maupun guru.
Kondisi ini dapat disinergikan dengan pelaksanaan proses belajar mengajar.
Dimana pembelajaran tidak semata-mata soal situasi kelas tetapi beberapa hal
berkaitan dengan faktor yang luas (Wekke, 2012).
Pemanfaatan laman seperti youtube yang khusus berisi video dapat
digunakan sebagai bahan untuk menyimak (Elkhafaifi, 2005). Dengan
karakteristik video yang multimedia memungkinkan sekaligus untuk menyaksikan
ekspresi dalam video tersebut. Dengan demikian, ini akan membantu siswa
dalam mempelajari bahasa Arab tidak dalam kondisi kaku. Selanjutnya, mediamedia sosial dapat digunakan untuk melatih kemampuan menulis (Khaldieh,
2000). Status dalam Facebook ataupun tulisan dalam laman Twitter berupa
kalimat yang lengkap menjadi sebuah kesempatan yang dilakukan dengan
terstruktur sekaligus tidak dalam suasana kelas. Bahkan siswa dapat merekam ke
dalam vido dan menyimpannya dalam web untuk diakses oleh semua orang
yang berada dalam kelompok belajar tersebut. Sementara itu, guru dapat
memberikan umpan balik berupa diskusi yang diikuti oleh segenap siswa dalam
kelas yang tidak dibatasi oleh waktu. Peluang-peluang untuk melakukan aktivitas
ini merupakan bagian dari belajar bahasa Arab sebagai perkembangan terkini.
Penggunaan teknologi informasi sepertinya menjadi bagian yang dapat
memberikan kesempatan bagi siswa lebih cepat dan lebih menyenangkan
dibandingkan dengan masa sebelumnya.

TANTANGAN PEMBELAJARAN ABAD INFORMASI


Madrasah dikelola dengan sistem yang terpusat. Terutama dalam urusan
kurikulum dan alokasi jam belajar siswa (Wekke, 2012). Ketika ini diterapkan,
maka target pencapaian yang ditetapkan pemerintah merupakan keharusan
tanpa memperhatikan secara khusus karakteristik masing-masing madrasah.
Bahkan pemerintahpun menjadi pihak secara mutlak menentukan kepala
madrasah baik swasta maupun negeri. Padahal aspek kepimpinan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan untuk mendorong kemajuan. Walaupun sama-sama
berasal dari rumpun pendidikan Islam tetapi kalau tidak memahami bahwa
pembelajaran bahasa Arab adalah bagian utama dari pengajaran di madrasah, ini
tidak akan menjadikan program bahasa Arab untuk diperhatikan dalam urusan
manajemen madrasah (Storch, & Aldosari, 2010).
Sementara itu keberadaan sekolah Islam seperti Sekolah Dasar Islam
Terpadu dan tingkatan sekolah menengah menjadikan bahasa Arab sebagai
pelajaran utama. Sehingga dengan keberadaan sekolah ini diperlukan
pengembangan tema pembelajaran yang sejalan dengan mata pelajaran lainnya.
Hanya saja, guru yang tersedia sepenuhnya bukan lulusan dari pendidikan tinggi
Islam yang menguasai keterampilan berbahasa Arab (Trowler, Fanghanel, &
Wareham, 2005). Mereka kadang hanya menjadi guru pengganti. Sebuah
sekolah di Aimas bahkan menggunakan tenaga lulusan pendidikan bahasa Inggris
untuk mengajarkan bahasa Arab. Begitu juga dengan lulusan program studi
pendidikan bahasa Arab untuk mengajarkan bahasa Inggris. Keterbatasan ini
mencerminkan bahwa ketersediaan tenaga pengajar dengan kompetensi sesuai
dengan mata pelajaran yang diajarkan belum dapat disinkronisasikan.
Bahasa asing juga bermakna sebagai budaya asing. Ketika pemerolehan
bahasa dilalui maka penguasaan paling tidak pemahaman akan budaya yang
mengiringi bahasa tersebut juga sudah dikuasai. Sebuah perjalanan belajar bahasa
juga akan menjadi perjalanan dalam belajar budaya lain. Ini bukan hasil yang
otomatis atau merupakan produk sampingan yang datang secara serta merta.
Bahkan bisa saja orang yang belajar bahasa tidak memahami sedikitpun konsepsi
dan norma yang dipraktikkan penutur bahasa itu (Richardson, 2004).
Bukan tentang akulturasi yang menjadi masalah, kadang bahkan adanya
gegar budaya. Pelaksanaan pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ)
tingkat Kota Sorong, Maret 2014 dapat dijadikan sebuah contoh. Walaupun
belajar bahasa Arab dan menjadikan al-Quran menjadi panduan, ini tidak akan
berarti bahwa pakai jubah dan surban sebagai kelengkapan yang wajib. Tradisi
Indonesia dan kekhasan yang digunakan dalam tradisi setempat merupakan juga
identitas keislaman. Bukanlah Islam kemudian harus menjadikan sebagai sebuah

proses Arabisasi. Islam tetap saja kompatibel dengan budaya apapun karena
Islam hanya memberikan aturan norma dan bukannya aturan praktik, apalagi
kalau sampai pada sebuah simbolisasi semata.
Sehingga belajar tidaklah berarti mesti menjadikan perubahan kebudayaan
dan cara pandang kehidupan yang telah dilalui sejak lahir. Kekhasan yang kita
miliki merupakan anugrah dan begitulah cara yang kita gunakan untuk
menjalankan hidup dengan alam yang kita miliki. Justru dengan belajar bahasa
merupakan sebuah kesempatan untuk melihat bagaimana tradisi orang lain
tumbuh dalam pandangan mereka sendiri. Kehadiran kita semata-mata untuk
memahami bagaimana mereka menggunakan bahasa itu untuk kepentingan
interaksi dengan mereka. Tidak lebih dari itu. Sementara bahasa Arab adalah
merupakan usaha untuk pemahaman keagamaan. Sehingga dapat menjalankan
Islam dengan lebih sempurna dari waktu ke waktu.
Jika tahapan pembelajaran budaya dilalui seiring dengan penguasaan
bahasa, maka akan terjadi penerimaan identitas dirinya yang tidak berubah.
Justru, ia akan memahami nilai, sikap, dan pembawaan orang lain yang
bersumber dari budaya bahasa yang dipelajarinya (DonitsaSchmidt, Inbar, &
Shohamy, 2004). Ini akan menjadi momentum untuk memeriksa sejauh mana ia
sudah mulai terpengaruh dengan budaya yang dipelajarinya dalam budayanya
sendiri. Dengan memahami budaya orang lain justru akan mengukuhkan
identitas dirinya sendiri. Mengenali diri dapat dilakukan dengan proses
memahami orang lain. Pada gilirannya, akan menjadi dasar dalam berinteraksi.
Perbedaan bukanlah untuk diagungkan tetapi menjadi bagian dari memaknai
kehidupan.
Minat dan motivasi belajar bahasa Arab perlu ditumbuhkan. Tidak saja
karena ini menjadi pilar utama ibadah. Tetapi penggunaanya secara komersil
juga tidak bisa dinafikan. Interaksi dengan dunia Arab dan peluang ekonomi
yang menyertainya merupakan bagian yang akan mengikuti penguasaanya.
Penguatan minat dan motivasi dapat ditumbuhkan dengan mendekatkan
aktivitas siswa ke dalam realitas dan juga fungsi yang dapat diraih dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satunya dengan menjadikan bahasa Arab sebagai
komunikasi dalam dunia ekonomi. Dengan kesamaan ideologi keagamaan
memungkinkan perdagangan yang sudah berjalan ribuan tahun akan terhubung
dengan lebih baik. Sebuah anggapan yang perlu disingkirkan bahwa bahasa Arab
semata-mata adalah bahasa agama saja. Padahal, bahasa ini menjadi lingua
franca di dunia Islam. Bentangan dunia Arab yang menjangkau Asia dan Afrika
merupakan sebuah peluang untuk dalam pelbagai aspek kehidupan dalam
pengembangan.

Hukuman yang dijalankan untuk memberikan stimulasi belajar bahasa tidak


hanya dapat dipandang dalam bentuk keuntungan. Hukuman juga berarti bahwa
ini merupakan sebuah kerugian baik bagi siswa yang dihukum maupun bagi guru
yang memberi hukuman. Walaupun hukuman itu berbentuk tidak adanya
pemberian imbalan positif atau menyediakan stimulus yang disukai. Pada saat
meninggikan suara sesungguhnya sudah merupakan sebuah hukuman. Jikalau ini
dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang, tidak lagi dirasakan sebagai
sebuah bentuk hukuman. Bahkan dalam skala tertentu akan menjadi bahan olokolokan yang justru tidak lagi produktif. Hukuman hanya akan meberikan
dampak dalam waktu yang pendek. Rentang waktu yang panjang secara terus
menerus akan merugikan jikalau tidak diimbangi dengan imbalan positif bagi
respon sebaliknya.
Untuk itu, salah satu bentuk terbaik yang ditawarkan dari sistem hukuman
adalah dengan meniadakan respon positif. Ketimbang memberikan larangan
yang berulang-ulang bagi siswa bermain di ruang kelas, akan lebih jikalau
mengarahkan mereka bermain di luar ruangan. Bahkan dengan menyediakan
lapangan olahraga. Dengan menahan diri dari reaksi negatif akan lebih
menyenangkan memunculkan sikap yang positif. Perilaku-perilaku yang tidak
dikehendaki susah untuk dilenyapkan bagaimanapun bentuknya. Walaupun akan
dilakukan setahap demi setahap. Tetapi ketika respon positif yang muncul justru
akan menjadi stimulus bagi siswa untuk menghadirkan aktivitas yang produktif.
Hukuman dapat saja digunakan dengan pola yang produktif. Seperti ketika
tidak menggunakan bahasa dalam praktik sehari-hari, maka siswa dihukum untuk
menghapal kosakata tambahan. Sehingga walaupun statusnya adalah hukuman
tetap saja tidak ada kesempatan bagi siswa untuk mengalami perasaan rendah
diri. Justru ini sebagai sebuah aktivitas yang akan memberikan penguatan dalam
proses belajar. Hukuman juga menjadi aplikasi dari kesatuan pembelajaran.
Tidak lagi menjadi sarana pemaksanaan bagi siswa. Secara sukarela mereka akan
mengerjakannya dan turut berpartisipasi dalam perbaikan proses belajar.
PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA ARAB
Penetapan materi Bahasa Arab bisa saja sama tetapi soal metodologi dalam
penguatan dan pencapaian keterampilan itu yang tidak sama. Sehingga hasil yang
dicapaipun juga akan berbeda. Penerapan metodologi akan menentukan
penguasaan materi yang diajarkan. Materi yang telah ditetapkan berusaha untuk
dibagi ke dalam bentuk-bentuk kegiatan. Melalui kegiatan itu, akan didapatkan
pemahaman berupa penguasaan dan kemampuan. Belajar bahasa tidaklah
berhenti dalam soal kognitif semata. Sebab belajar bahasa bukanlah belajar

tentang bahasa sebagaimana mata pelajaran lainnya. Belajar bahasa harus terlihat
dalam bentuk penguasaan keterampilan aspek kebahasaan.
Pada urusan evaluasi untuk hasil belajar akhir, penyusunan soal menjadi
masalah tersendiri. Tidak adanya bentuk-bentuk tes yang komprehensif dan
memadai menjadikan pengajaran bahasa Arab hanya sekedar menjadi formalitas
belaka. Tidak didapatkan upaya untuk menilai bagaimana perkembangan yang
sudah dijalankan sekaligus merencanakan deskripsi program yang akan
dijalankan pada semester berikutnya. Ada pula anggapan para siswa yang
mungkin saja benar. Guru hanya pintar untuk membuat soal tetapi tidak
mengerjakannya. Ini karena soal yang mereka kerjakan tidak pernah
dikembalikan sebagai bukti bahwa jawaban mereka dikoreksi. Untuk itu, dapat
saja sebuah prakarsa dilakukan dengan mengembalikan lembar jawaban siswa
yang telah dikoreksi oleh guru. Ini untuk memberikan stimulus bahwa apa yang
telah dilakukan siswa sesungguhnya bukanlah kesia-siaan. Ini menjadi salah satu
unsur pembelajaran dengan menempatkan proses evaluasi sebagai bagian dari
aktivitas yang berlangsung. Evaluasi tidak saja dilaksanakan pada bagian akhir
program belajar tetapi dilaksanakan secara berkelanjutan. Bahkan sejak awal
ketika program dilaksanakan, saat itu pula evaluasi sudah mulai dijalankan.
Menemukan lingkungan yang menjadi tempat menyenangkan untuk belajar
bahasa merupakan sebuah masalah tersendiri (Roff, McAleer, & Skinner, 2005).
Kemampuan berbahasa secara langsung tidak diterapkan karena pelbagai kendala
(Abu-Rabia, 2000). Sehingga ini mengurangi frekuensi untuk berlatih dengan
rutin. Waktu belajar di madrasah yang terbatas. Begitu juga dengan jumlah siswa
dalam setiap kelas yang kadang tidak menggunakan jumlah minimal. Sementara
jumlah mata pelajaran yang juga tidak sedikit. Semuanya menjadi rangkaian yang
membentuk masalah tersendiri sehingga tidak dapat menemukan sebuah
keberhasilan pembelajaran. Dalam kondisi seperti ini, maka lingkungan akan
menjadi aktivitas tambahan untuk penguasaan bahasa.
PEMBENTUKAN LINGKUNGAN
Pembelajaran bahasa Arab dengan menggunakan teknik hapalan sudah
jamak dilaksanakan. Hanya saja jika melihatnya dalam konteks belajar bahasa,
maka ini sama saja dengan memberikan tantangan bagi siswa untuk mempelajari
satuan-satuan terkecil dari bahasa. Bahkan dengan pembelajaran hapalan
merupakan item yang tidak terkait sama sekali dengan sistem kognitif. Materi
bahasa akan lebih mudah jika ditempatkan dalam satu kalimat yang utuh.
Dengan penggabungan sekaligus, maka beberapa kata akan membentuk makna.
Dengan bentuk seperti ini, bagian-bagian yang terpisah dihubungkan ke dalam
satu bagian yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Ada proses

yang utuh terbangun dan berada secara sistematis dalam bentuk yang sudah
utuh. Mengaitkan satu kata dengan kata yang lain akan membantu siswa dalam
pengingatan dan memunculkan kembali seluruh item.
Evaluasi yang dilaksanakan hanya dikenal dengan sistem ujian. Padahal
dalam penilaian belajar, tidak hanya bersangkutan dengan hasil belajar sematamata tetapi juga berkaitan dengan proses belajar. Evaluasi hendaknya berada
dalam dua sisi secara bersama-sama, guru dan siswa. Kajian ulang ini dilakukan
sebagai kesempatan untuk melihat kembali apa yang sudah dilakukan dan
sejauhmana menepati tujuan yang diinginkan. Apabila belum memadai, maka
dilakukan pengulangan dan penyempurnaan. Bisa saja setiap kelompok siswa
saling memberikan informasi dan bertukar informasi. Dengan demikian, evaluasi
bukan tentang angka semata-mata. Perlu juga dilakukan deskripsi untuk
menggambarkan bagaimana aktivitas belajar dilakukan.
Setelah didapatkan penjelasan dari evaluasi yang dilakukan, perlu
dilaksanakan tindak lanjut. Dengan harapan, evaluasi itu merupakan bagian yang
akan menjadi sebuah kesimpulan mengenai aktivitas yang sudah diterapkan.
Sekaligus melatih keterampilan siswa paling tidak dalam empat hal yaitu
membangkitkan motivasi dan semangat belajar siswa. Memahami dan mengenali
karakteristik siswa (bakat, minat, dan sikap). Mengkomunikasikan hasil belajar
dan perbaikan yang perlu dilakukan. Terakhir, mengajukan pertanyaan ingatan
dan pemahaman berkenaan pelajaran yang sudah dituntaskan. Kalau evaluasi
hanya berhenti dalam satu aktivitas saja, ini tidak dapat dipergunakan dalam
langkah berikutnya.
Manajemen pembelajaran menjadi sebuah masalah jikalau tidak dikelola
dengan baik. Distribusi beban tugas, materi belajar, kesinambungan
pembelajaran, dan evaluasi pencapaian menjadi bagian yang akan diselesaikan
manajemen. Hanya saja, jikalau manajemen tidak terlaksana dengan baik akan
memberikan dampak bagi tidak maksimalnya hasil belajar. Tim guru, materi
belajar, dan siswa, tidak akan saling bersinergi kecuali jikalau ada manajemen.
Untuk itu, pucuk pimpinan atau apapun namanya yang akan menjadi komando
dalam menyatukan kesemua unsur-unsur belajar.
Manajemen juga mesti ditopang oleh kekompakan dan kesalingpengertian.
Ketika sering terjadi kesalahpahaman, maka akan menjadi kendala tersendiri. Ini
bahkan pada soal yang terkecil sekalipun. Juga pada petugas yang paling bawah
juga. Seperti dalam hal penyediaan kunci untuk ruangan belajar. Proses belajar
akan terkendala jikalau saja ruangan yang akan dipakai untuk proses belajar tidak
dapat dibuka hanya karena kunci yang dipegang oleh salah seorang staf yang
tidak berada di kawasan madrasah. Padahal, sudah ada staf lain yang bertugas
untuk membukanya. Saat ketika staf yang memegang kunci belum kembali ke

madrasah dan masih berada di luar, ini akan menghambat penyediaan ruangan
kelas. Akibatnya, proses belajar tidak akan berjalan sebagaimana program yang
telah ditetapkan. Hanya karena soal yang sangat sepele yaitu pemakai terakhir
ruangan setelah menguncinya tidak mengembalikan kunci ke petugas pemegang
kunci.
PELUANG BAGI MASA DEPAN
Sebuah contoh dari sekolah Islam terpadu yang beraktivitas di kota Sorong.
Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMP-IT) al-Izzah, Sorong sudah
menerima siswa. Padahal saat itu, belum ada penamatan dari sekolah dasar. Ini
karena SMP-IT al-Izzah ingin mendapatkan siswa sejak awal. Walaupun sekolah
dasar belum menyelesaikan akhir tahun ajaran. Dengan demikian, hanya siswa
dan orang tua yang punya keinginan kuat untuk belajar yang menjadi siswa di
sekolah itu. Proses seleksi bukanlah ketat. Hanya ingin memastikan bagaimana
sekolah nantinya berjalan dengan siswa yang memiliki semangat belajar lebih
dibandingkan siswa yang lain. Dengan demikian, program apapun yang
dilaksanakan kalau dengan siswa yang bersemangat akan dapat dijalankan.
Prakarsa ini dimulai dari Sekolah Dasar Islam Terpadu al-Izzah. Program
intensifikasi pendidikan agama secara terpadu dilakukan sehingga mampu
mengakselerasi kemampuan siswa dalam penguasaan agama. Termasuk
diantaranya keterampilan berbahasa. Adapun kemampuan bahasa yang dijadikan
sebagai materi belajar adalah untuk mendukung mata pelajaran lainnya. Sebagai
sebuah dasar untuk memahami Islam lebih baik, maka dalam beberapa materi
pembelajaran yang ditetapkan adalah sebagai bagian yang terintegrasi dengan
materi lainnya (Lubis & Wekke, 2009). Keberhasilan program ini karena sekolah
menetapkan kurikulum tambahan yang diwajibkan oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Tidak hanya terpaku secara kaku dengan mata pelajaran yang
dijadikan sebagai program wajid di sekolah dasar. Tetapi juga menjadikan materi
keislaman sebagai sebuah ciri khas tersendiri.
Akhirnya, masyarakat Islam Kota Sorong memberikan kepercayaan kepada
pengelola sekolah untuk pendidikan anak-anak. Secara bertahap pengurus
yayasan mulai mengembangkan pada tingkatan sekolah menengah pertama.
Nantinya diharapkan akan menjangkau sampai sekolah menengah atas. Tidak
secara ekslusif menganut paham keagamaan tertentu tetapi menjadikan materi
keislaman yang menjadi arus utama pendidikan Islam Indonesia. Keberadaan alIzzah setidaknya merupakan sebuah harapan dan juga jawaban bahwa ada
sekolah Islam yang berkualitas dan mampu menjawab keperluan umat. Selama
ini walaupun sudah ada madrasah baik di tingkatan dasar maupun menengah
tetapi sekadar menjalankan kurikulum yang ditetapkan secara nasional. Padahal

dalam konteks masyarakat minoritas muslim, salah satu kepentingan utama


sebuah rumah tangga adalah terbangunnya sikap dan identitas diri seorang
muslim. Ini dapat dibangun salah satunya melalui institusi pendidikan.
Dengan semua masalah yang melingkupi bukan berarti pembelajaran
bahasa Arab kemudian harus berhenti dan menjadi alasan untuk tidak lagi belajar
bahasa Arab. Usaha para ahli pendidikan dan bahasa berusaha untuk
mengembangkan pehamanan yang baru untuk meningkatkan kemampuan
penguasaan berbahasa. Dengan makin mapannya metode audiolingual, maka
beberapa terbosan diperkenalkan. Dengan menggunakan metode audiolingual,
seseorang yang belajar bahasa diharapkan untuk mengkondisikan suasana untuk
meniru, mengulang, dan mengikuti suasana belajar bahasa ibu. Selalu saja ada
tawaran untuk mengaplikasikan metode yang didukung dari disiplin yang bukan
saja bidang pendidikan. Tetapi metode yang lahir merupakan gagasan dari
pelbagai disiplin ilmu pengetahuan sehingga lebih lengkap dan juga dapat
digunakan dalam kondisi tertentu.
IMPLIKASI TEORITIS
Kecerdasan bukanlah akhir dari pelaksanaan pendidikan. Untuk itu,
pembelajaran sudah perlu mempertimbangkan untuk mengukuhkan jati diri
kebangsaan dan juga nilai dasar kemanusiaan (Wekke, 2013). Keduanya
merupakan bagian pendidikan yang kadang terlupakan begitu saja. Kita bisa
melihat bagaiamana bangsa Jepang memberikan penguatan kepada
masyarakatnya. Mereka maju dengan pengetahuan modern dan mutakhir,
menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, produsen alat-alat eletronik
yang canggih, dan menguasai pasar industri pangan dan otomotif dunia. Namun
dengan segala kemajuan itu, mereka tetap saja kukuh pada budaya dan tradisi
yang melingkupi kehidupannya. Dengan kemajuan tidak menjadikan mereka
kemudian lupa dan mulai mengadopsi budaya dan teknologi orang lain (AlSenaidi, Lin, & Poirot, 2009). Justru nilai-nilai yang diterapkan dalam
memajukan perusahan dan institusi pendidikannya berasal dan berpijak pada
budaya mereka sendiri. Bahkan nilai itu sekarang sudah mulai diimport dan
dijadikan sebagai acuan untuk kemajuan perusahaan di negara lain. Seperti
prinsip penyusunan kabinet kaizen dalam ilmu politik yang menjadi
kecenderungan yang dimodifikasi oleh partai-partai politik dunia.
Negara tetangganya, Korea Selatan demikian pula adanya. Kemajuan
teknologi informasi dan perangkat telepon diwarnai oleh pengembangan
perusahaan raksasa yang berasal dari Seoul diantaranya Samsung, LG, dan lainlain. Inovasi dan kreativitas menjadi kunci bagaimana dominasi Iphone dan
Nokia mendapatkan saingan yang ketat. Justru penguasaan pasar yang

sebelumnya dikuasai oleh Nokia semakin menurun karena sekarang ini pasar
mulai didominasi oleh produk yang berasal dari Korea Selatan. Sementara itu
beberapa merek mulai dilupakan seperti Motorola dan Ericson. Padahal kedua
merek ini sebelumnya menguasai pasar teknologi informasi. Mantra inovasi dan
kreativitas menjadi sebuah keperluan untuk siapapun. Termasuk di dalamnya
pendidikan. Tidak hanya semata-mata terpaku terhadap apa yang sudah ada
melainkan terus berusaha untuk melakukan pengembangan dengan tetap
menyadari keberadaan budaya dan nilai yang dianut. Pendidikan harus belajar
dari kemajuan Jepang, Korea Selatan, dan China. Dimana ketiganya menjadi
pemain utama dunia dengan memulainya dari proses pendidikan yang senantiasa
mengembangkan keterampilan peserta didik untuk terampil. Pada saat yang
sama, tidak mengenyampingkan apa yang menjadi pandangan dan nilai yang
sudah dipraktikkan oleh masyarakat sekitar.
Terakhir, hal terpenting dalam mengkoordinasikan semua aktivitas
pembelajaran diperlukan kepemimpinan, kepeloporan, dan kekompakan.
Kesemuanya ini ditangani oleh satu orang untuk menjalankan aspek manajerial
sebagai sarana pendukung dalam menjalankan program yang ada (Chamot,
2004). Diperlukan rapat ataupun pertemuan, tetapi itu dalam skala yang lebih
luas. Kalau hanya urusan teknis, maka cukup dengan pertemuan secara informal.
Sehingga pengambilan keputusan sudah dilakukan. Jikalau hanya rapat yang
diadakan, ini akan membatasi untuk melakukan dialog. Sementara kadang juga
apa yang disampaikan dalam rapat tidak sama dengan apa yang dilaksanakan di
lapangan. Oleh karenya, ketetapan-ketetapan yang strategis bisa saja diputuskan
di dalam rapat tetapi untuk hal yang teknis dan memerlukan waktu yang segera
tidak perlu menjadi pembahasan dalam rapat (Khaldieh, 2000). Seperti dalam
memutuskan siapa pengganti guru yang berhalangan dari jadwal yang sudah ada.
Untuk menunjuk ataupun mengganti kelas yang kosong itu cukup pada tingkatan
koordinator piket. Ataupun siapa yang bersedia di lapangan saat itu juga. Karena
jikalau diperlukan koordinasi kepada semua pemangku kepentingan, akan
memerlukan waktu sementara kelas yang ada memerlukan guru untuk mengajar
saat itu juga. Waktu akan habis untuk keperluan koordinasi sementara waktu
terus belajar. Ketiadaan guru itu akan menjadi sebuah kerugian bagi kelompok
siswa yang sudah berada di dalam kelas.
Kepemimpinan seperti ini menjadi sebuah keperluan dalam pelaksanaan
pendidikan bahasa. tidak lagi dibebani dengan birokrasi yang berlebihan.
Walaupun juga tetap diperlukan, hanya saja dalam tingkatan tertentu justru itu
akan menjadi penghambat bagi berlangsungnya proses belajar. Termasuk dalam
urusan yang kecil seperti papan tulis dan spidol. Jikalau ini tidak disediakan
dengan cermat, lagi-lagi akan menjadi hambatan tersendiri dan akan mengurangi

aktivitas belajar. Dalam banyak hal, perlu sebuah metode yang memadai. Tetapi
di luar itu kadang aspek yang bukan metode juga menentukan bagaimana belajar
bahasa dapat dilaksanakan. Ini dapat diatasi dengan selalu memperhatikan
kondisi dan situasi. Sehingga pola manajemen yang ditetapkan dapat berlangsung
dengan kendala apapun. Tidak secara paten menetapkan manajemen tertentu
yang justru bukan membantu tetapi memperumit apa yang ada. Sehingga
tumpuan utama tidak lagi kepada hasil tetapi beban yang berat hanya pada
administrasi. Dengan tidak mengurangi peran administrasi, tetap saja semuanya
harus berlangsung untuk mencapai hasil yang ditetapkan untuk dicapai.
Panduan yang diperlukan adalah standar operasional. Jikalau menghadapi
kendala, maka tindakan apa yang harus segera dilaksanakan. Ini akan membantu
pengelolaan kelas dalam konsep pembelajaran secara terpadu. Sehingga siapapun
individu yang terlibat di dalamnya akan segera mengambil tindakan untuk
mengatasi persoalan yang ada. Setiap orang akan mengambil tindakan yang
sama, prosedur yang sama, maka tentu hasil yang diharapkan dari tindakan itu
juga akan sama. semuanya mengarah kepada pencapaian tujuan yang lebih
besar. Pola seperti ini akan terbentuk dengan tidak bersandar kepada individu
yang memimpin tetapi akan terpola sesuai dengan standar yang ditentukan.
Tidak juga karena adanya kekuatan kepemimpinan tetapi lebih kepada kesatuan
tim kerja. Pada saat yang sama diperlukan dua hal yaitu kepemimpinan dan juga
kekuatan tim kerja.
PENUTUP
Sejatinya kemajuan sebuah program tidak hanya terletak pada hal-hal teknis.
Tetapi faktor nonteknis juga menjadi pendukung utama. Ini karena dalam hal-hal
nonteknis dapat mempengaruhi keputusan dan pandangan akhir. Sebagaimana
madrasah yang tidak dikelola dengan mengedepankan aspek menajerial, maka
walaupun memiliki ruangan yang cukup dan tenaga pengajar yang kompeten,
hanya saja karena tidak dikelola dengan kebersamaan, maka akan menjadi
sebuah potensi yang tidak diberdayakan. Kata kebersamaan tidaklah muncul
dalam aspek manajemen modern. Namun, karena sumber daya manusia yang
menjadi bagian utama dari pelaksanaan manajemen diperlukan sentuhansentuhan yang humanis. Sehinga mampu memberikan daya dukung bagi
pelaksanaan manajemen yang dapat menghasilkan sesuai dengan target yang
diinginkan. Ketika aspek manusia yang dikedepankan, ini akan menjadi sebuah
kekuatan yang mampu dipadukan untuk menjalankan program yang ditetapkan.
Menempatkan manusia sebagai faktor utama, ini menunjukkan pembelajaran
yang humanis akan mejadi sarana penguatan belajar. Termasuk mengakui

kemampuan siswa sebagai seseorang yang sudah berada dalam tahap perlunya
pengakuan. Sekaligus akan memberikan situasi belajar yang produktif.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Rabia, S. (2000). Effects of exposure to literary Arabic on reading
comprehension in a diglossic situation. Reading and writing, 13(1-2), 147157.
Al-Batal, M. (2006). Facing the crisis: teaching and learning Arabic in the United
States in the post-September 11 Era. ADFL BULLETIN, 37(2/3), 39.
Al-Senaidi, S., Lin, L., & Poirot, J. (2009). Barriers to adopting technology for
teaching and learning in Oman. Computers & Education, 53(3), 575-590.
Chamot, A. U. (2004). Issues in language learning strategy research and teaching.
Electronic journal of foreign language teaching, 1(1), 14-26.
DonitsaSchmidt, S., Inbar, O., & Shohamy, E. (2004). The effects of teaching
spoken Arabic on students' attitudes and motivation in Israel. The Modern
Language Journal, 88(2), 217-228.
Elkhafaifi, H. (2005). Listening comprehension and anxiety in the Arabic
language classroom. The modern language journal, 89(2), 206-220.
Khaldieh, S. A. (2000). Learning Strategies and Writing Processes of Proficient vs.
LessProficient1 Learners of Arabic. Foreign language annals, 33(5), 522533.
Lubis, M. A., & Wekke, I. S. (2009). Integrated Islamic education in Brunei
Darussalam: the hopes and challenges. EDUCARE, 1(2).
Ni, Y., & Zhou, Y. D. (2005). Teaching and learning fraction and rational
numbers: The origins and implications of whole number bias. Educational
Psychologist, 40(1), 27-52.
Richardson, P. M. (2004). Possible influences of Arabic-Islamic culture on the
reflective practices proposed for an education degree at the Higher Colleges
of Technology in the United Arab Emirates. International Journal of
Educational Development, 24(4), 429-436.
Roff, S., McAleer, S., & Skinner, A. (2005). Development and validation of an
instrument to measure the postgraduate clinical learning and teaching
educational environment for hospital-based junior doctors in the UK.
Medical Teacher, 27(4), 326-331.
Storch, N., & Aldosari, A. (2010). Learners use of first language (Arabic) in pair
work in an EFL class. Language Teaching Research, 14(4), 355-375.

Trowler, P., Fanghanel, J., & Wareham, T. (2005). Freeing the chi of change: the
Higher Education Academy and enhancing teaching and learning in higher
education. Studies in Higher Education, 30(4), 427-444.
Wekke, I. S. (2012). Amalan pengajaran dan pembelajaran Bahasa Arab di
Pesantren Immim Makassar, Indonesia.
Wekke, I. S. (2013). Religious Education and Empowerment: Study on Pesantren
in Muslim Minority West Papua. MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman,
37(2).
Wekke, I. S. (2014). Tradisi Pesantren dalam Konstruksi Kurikulum Bahasa Arab
di Lembaga Pendidikan Minoritas Muslim Papua Barat. KARSA: Jurnal
Sosial dan Budaya Keislaman, 22(1), 20-38.

Anda mungkin juga menyukai