Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SAW, Atas izin dan anugerahnya
Makalah ini dapat terselesaikan, Dasar penulisan yang terbuat dari tetesan
keringat dan perasan otak yang menjadikan Makalah ini sebuah pengorbanan
mengawali pintu kesuksesan dalam mata kuliah ini.
Dasar pemikiran membuat makalah ini adalah membuat suatu cara
pembahasan masalah dan menyelesaikannya dengan membaca dan mengkajinya
dalam makalah ini. Penulis dituntut untuk membahas segala masalah yang sedang
marak di problemkan dan apa yang tertulis di makalah ini hanyalah sedikit dan
banyaknya masalah yang terjadi dan pembahasan yang terjadi di keadaan sosial.
Ucapan terimah kasih tak lupa tersaji dalam Makalah ini kepada para temanteman yang telah membantu baik menyusun rangka Makalah ini maupun
membimbing jika terjadi kesalahan dalam pembuatan ini.
Semoga Makalah ini dapat membawa manfaat bagi diri pribadi maupun seluruh
pembaca sekalian, baik di jadikan refrensi membuat makalah lain ataupun menjadi
bahan ajar untuk yang membutuhkan. Dengan ini saya membahas makalah ini
dengan ucapan Bismillahirrahmanirrahim..
Makassar 2 Januari 2013
Eka Suhartono
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Budaya mendidikan bugis. Mungkin pembahasan ini masih kurang
bersahabat dengan telinga pembaca. Dalam makalah ini penulis menjelaskan
tentang bagaimana masyarakat bugis punya bibit unggul dalam setiap aspek
keturunannya. Budaya bugis senantiasa memberikan buah hasil penanaman khas
dan karakter aslinya kepada para keturunan-keturunannya. Dewasa ini dengan
perkembangan zaman, IPTEK dan keadaan lingkungan serta perubahan kondisi
alam mengakibatkan bergesernya pula nilai-nilai yang selama ini masih dipegang
teguh oleh masyarakat pada umumnya. Anak-anak sekarang ini mengalami
kemunduran dalam pemahaman moril,karakter dan tingkah laku serta daya
kreatifitas karena pengaruh zaman tadi. Dahulu bagaimana anak-anak dengan
keterbatasannya dan hanya memanfaatkan lingkungannya dapat dengan suka cita
bermain, dan hal ini membuat daya kreatifitas anak semakin bertambah juga
dengan sendiri. Apabila kita memberikan perbandingan dengan yang sekarang
bahwa anak-anak dengan tekhnologi yang semakin tingginya dan anak yang
hanya mengandalkan jiwa komsumtifnya maka dengan hal tersebut jiwa
kreatifitas anak akan berkurang. Mereka akan sangat tergantung dengan hal-hal
yang sudah ada, mobil-mobilan remote control, playstation dll. Dengan seperti ini
maka struktur pemikiran anak tadi akan mengalami krisis kreatifitas dan krisis
karakter , karena budaya instan tadi. Di samping itu juga, dewasa ini saya sebagai
penulis melihat disekeliling saya dan berdasar pada pengalaman saya tentang
mendidik anak sekarang dan menmbandingkan dengan yang dahulu dari hasil
tingkah laku dan morilnya.
berbeda. Krisis-krisis seperti dijelakan diatas sangat jelas terlihat. Maka dari itu,
dalam makalah ini saya menjelaskan tentang keadaan seperti diatas dan
bagaimana solusi saya sebagai penulis dalam masalah ini.
A. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka masalah yang akan dibahas adalah :
A. Bagaimana karakter keluarga bugis ?
B. Bagaiaman Budaya Otoriter dalam Penanaman etos kedisiplinan anak ?
C. Bagaimana pengaruh Budaya Mitos/pamali dalam mendidik dan
keseharian masyarakat bugis ?
B. BATASAN MASALAH
Dalam Makalah ini, mengenai budaya mendidik dari suku bugis.
C. TUJUAN PENELITIAN
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan :
A. Karakter keluarga bugis.
B. Budaya Otoriter dalam Penanaman etos kedisiplinan anak.
C. Pengaruh Budaya Mitos/pamali dalam mendidik dan keseharian
masyarakat bugis.
D. Pembatasan dalam pergaulan dan tingkah laku masyarakat bugis.
D. MANFAAT PENELITIAN
A. Dengan pembahasan diatas maka akan lebih mengembangkan pemahaman
dan pengetahuan baru sebagai perbandingan metode mendidik masyarakat
bugis dan lainnya secara umum.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Karakter Keluarga Bugis
1 anthropology.fisip.ui.ac.id/httpdocs/
adalah budaya siri atau bagaimana menjaga nama baik keluarga. Dalam hal ini
nilai-nilai yang dapat dihasilkan adalah bagaimana pola pemikiran anak dan
proses orangtua memberikan pengertian kepada anak membuat anak lebih
bertanggung jawab atas etika dan penanaman karakter yang lebih matang,
biasanya dengan begini pola kestruktural pemikiran anak akan lebih baik,
bagaimana bisa lebih paham dengan kepekaan sosial dan juga anak akan
mendapatkan kesadaran diri yang tinggi. Masih banyak dari kepola mendidik ini
seperti etika dalam makan yang mana mengutamakan kebersamaan agar nilainilai kebersamaan itu semakin erat. Nilai senang,susah di rasakan bersama-sama
dan masih banyak aspek-aspek lainnya.
Lain lagi dalam pola religius. Masyarakat bugis sangat memperhatikan
masalah ini dalam batasannya ajaran islam. Bagaimana masyarakat bugis
cenderung taat atau patuh dalam pelaksanaan ajaran agama ini. Hal ini jelas
terlihat bagaimana banyak dari acara-acara yang dilaksanakan oleh masyarakat
bugis yang memiliki nilai religius dalam landasannya seperti, maccera (akikah),
panre temme (tamat al quran) tama bola
merupakan bukti dasar bagaimana masyarakat bugis sangat mengilhami ajaranajaran islam itu sendiri. Biasanya dalam masyarakat bugis yang telah mempunyai
anak, mereka kebanyakan telah menanamkan pada anak apabila dia telah
bersekolah maka dia juga harus dapat mengaji atau mulai mempelajari dasar
dalam agamanya. Dan dengan di dukung oleh kebudayaan bugis yang masih
mengedepankan ke estetikaan nilai-nilai terdahulu seperti maka perkembangan
keagamaan ini terdapat semacam umpan balik yang sangat menguntungkan
keduanya. Bagaimana anak mulai mempelajari dan didukung oleh budaya, dan
budaya yang tetap terpelihara dengan semakin banyaknya masyarakat yang tetap
stay dan menjalankannya. Abayak contoh spesifik tentang pembuktian hal ini.
Seperti pada umumnya isra miraj, maulid nabi, sampai pada peringatan bulan
suci ramadhan yang di tunggu-tunggu oleh anak-anak untuk berperan aktif dalam
kegiatan islamic di masjid-masjid, mengaji dan ceramah contohnya yang
membuat edukasi lain dan pola mendidik lain dalam upaya membuat anak dapat
berkembang dengan kemauannya sendiri.
Gaya mendidik masyarakat bugis tidaklah sekeras dari apa yang difikirkan
akan tetapi, penanaman pemahaman dan relasi dengan budaya dan tradisi
masyarakat lampau atau sebelumnya membuat ikatan pola mendidik anak tetap
terjaga walau dewasa ini sudah sedikit berkurang akan tetapi akan tetap ada dan
stay karakter-karakter itu dengan semakin transparannya hasil buah gaya
mendidik seperti ini.
Ekspresi budaya "pamali/ pemmali" sebagai salah satu sikap tutur budaya
Bugis-Makassar, merupakan ungkapan yang bersifat spontan, sebagai bentuk
pelarangan dengan penekanan pada kejiwaan , untuk tidak melanggar yang di
pemalikan (diappemmaliang). Pemmali terkait erat dengan pappaseng , oleh
pengguna bahasa / penutur, setinggi apapun pappaseng sebab merupakan nasehat
hidup atau pelajaran hikmah yanglahir dari penjelajahan hidup yang disampaikan
lewat karya sastra , dan merupakan salah satu nilai ekspresi budaya suku BugisMakassar.
berbeda dengan volume pelarangan yang sangat menekan, sebab diikuti dengan
sanksi (meskipun bentuknya terkadang gaib) sebagai contoh, kami paparkan
seperti dibawah ini: "Pemmali pura manre nappa matinro, menre I'
salompongnge". "pemmali mangngesso ase riwettu makkumpe' na ellungnge"
"pemmali tawwe matinro moppang, magatti I' diwelai indo' "Enre manekko anaana, nasaba Mangngaribini, enrara I' setangnge" "Tempeddingi tewwe tudang
riolona tange e', monroko lolo bangko" Pada masyarakat lampau sifat pemmali ini
secara umum teraplikasi dengan baik sebab menjadi timbangan yang istimewa
dalam mempengaruhi emosional lawan bicara (reseptor /audens) sehingga
menjadi kemestian untuk tidak melakukan yang bersifat larangan(harus
diindakan) meski dengan tidak rela terpaksa mengikuti. 2
Suku Bugis terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adat yang keramat
dan sakral, yang disebut panngaderreng (atau panngadakkang dalam bahasa
2 http://www.sangbaco.com/2012/04/kekuatan-pesan-amanah-sukubugis.html
10
Makassar). Sistem budaya ini menjadi acuan bagi orang Bugis dalam kehidupan
sosialnya, mulai dari kehidupan keluarga sampai pada kehidupan yang lebih luas
sebagai kelompok etnik (Melalatoa, 1995). Sebagai suatu sistem, panngaderreng
mempunyai beberapa unsur, yaitu (1) ade, (2) bicara, (3) rappang, (4) Wari, dan
(5) Sara (Melalatoa, 1995; Matullada dalam Koentjaraningrat, 1997).
Unsur ade berisi norma-norma dalam sistem kekerabatan dan norma dalam
sistem pemerintahan negeri, baik yang di dalam maupun yang berhubungan
dengan negeri luar. Bicara adalah norma-norma yang terkait dengan peradilan,
yang kurang lebih sama dengan hukum acara. Rappang merupakan analogi, kias,
perumpamaan atau ungkapan adat. Wari adalah klasifikasi benda, peristiwa, dan
aktivitas
dalam
kehidupan
bermasyarakat
menurut
kategori-katergorinya.
Sedangkan Sara adalah pranata-paranata dan kaidahnya yang berasal dari Islam.
Hukum Islam atau syariah diintegrasikan ke dalam panngaderreng dan menjadi
sara sebagai suatu unsur pokok dari panngaderreng dan kemudian menjiwai
keseluruhan panngaderreng.
Yang menjadi inti dari sistem budaya ini adalah apa yang disebut siri.
Konsep siri mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari
panngaderreng. Basjah (dalam Koentjaraningrat, 1997) memberi tiga pengertian
terhadap kosep siri yaitu, malu, daya pendorong untuk membinasakan siapa saja
yang telah menyinggung rasa kehormatan seseorang, atau daya pendorong untuk
bekerja atau berusaha sebanyak mungkin. Said (dalam Koentjaraningrat, 1997)
mengungkapkan bahwa siri adalah perasaan malu yang memberi kewajiban moril
untuk membunuh pihak yang melanggar adat, terutama dalam soal-soal hubungan
11
12
yang baik semakin tumbuh pada diri anak dan masyarakat pada umumnya. Bisa
dikatakan mau tidak mau mitos mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat
bugis. Dalam segala aspek pamali selalu ada. Dalam segala tindakan pamali selalu
mengikat ini adalah dasar dan merupakan bukti bagaimana benar-benar
menyeluruh pamali ini. Apalagi seperti yang kita tahu bahwa pamali ini pada
dasarnya diwarisi turun temurun dari masyarakat terdahulu.
Ada banyak bentuk-bentuk pamali yang sadar tidar sadar menancapkan pesan
dan menjadi karakter bagi yang melakukan dan berada pada cangkupannya seperti
contoh kecil:
Kalimat deklaratif dari Pappaseng/Pappasang ini dengan kosa kata de e narapi
nawa-nawa adalah sinyalemen untuk mendeskripsikan reso (semangat tinggi),
berfungsi sebagai alat pendidikan bagi generasi muda manusia Bugis. yang
terjemahannya : berangan-anganlah hingga tak terjangkau angan-angan.
(disampaikanolehpanrita/agamawan).
Menurut Abdul Kadir Parewe : Para pi nawa-nama adalah sebuah keinginan
dari penutur agar masyarakat senantiasa menggunakan tenaga pikiran dalam
menciptakan atau menemukan hal-hal baru (inovasi), atau sebagai manusia perlu
memelihara pikiran-pikiran yang kita inginkan, memperjelas apa yang kita
inginkan di dalam benak, dari situ kita mulai membangun salah satu hukum
terbesar di Semesta, dan itulah hukum tarik-menarik. Anda tidak hanya menjadi
apa yang paling Anda pikirkan, tetapi Anda juga meraih apa yang paling Anda
pikirkan demi kemaslahatan orang banyak. Tendensi dalam pappseng ini sebagai
bentuk pelahiran tokoh (to macca), pada generasi berikutnya. Keinginan pada
13
kelahiran tokoh ini adalah simpul kuat yang terkait dengan salah satu butir dalam
pangngadakkang yaitu rapang (suri teladan).
Dan juga "pamali/ pemmali", "Pemmali pilai bolae narekko de'pa napura
bissai penne angnganrengnge" (dilarang meninggalkan rumah (untuk perjalanan
jauh) sebelum piring yang digunakan untuk makan, dicuci terlebih dahulu). kata
"bissai penne", dalam ungkapan pemmali ini apakah hanya berarti "cuci piring" ,
sebab dalam sinyalemen pengunaan kata bissai penne ini dapat juga berarti
memperlakukan wanita/istri dengan merawatnya, setelah berhubungan badan,
menuju sikap verbal pada penggalian nilai-nilai budaya tutur, untuk sebuah
kearifan lokal.
Seperti contoh diatas bagaimana kepercayaan seperti itulah yang mengambil
peran aktif dalam pembentukan apa yang dinamakan kebiasaan yang
menyebabkan lahirnya perilaku yang akhirnya kembali menjadi kebiasaan.4
D. Kajian teory/ Hasil penelitian
Gaya mendidik masyarakat bugis memanglah sangat unik. Dengan banyaknya
pengaruh-pengaruh yang menjulur kearah kearifan lokal maka karakter yang
dibentuk juga berjalan dengan apa yang di wanti-wanti sebelumnya. Karakter
turun temurun masyarakat bugis khususnya keluarga bugis dengan apa yang
mereka pertahankan baik itu pedoman kehidupan dahulu sampai aspek
religiusnya. Karakter keluarga bugis bukanlah seotoriteran apa yang dibayangkan
4 http://www.sangbaco.com/2012/04/kekuatan-pesan-amanah-sukubugis.html
14
E. Kerangka Pemikiran
Dalam upaya memberikan penjelasan dasar pemikiran dalam penelitian ini,
maka penulis mencoba menggunakan dalam suatu bentuk kerangka pemikiran
sehingga dapat memberikan gambaran tentang bagaimana konsep pemikiran antar
variabel independen dengan variabel dependen dalam menjelaskan tentang
metode yang digunakan dalam pembahasan.
15
Strategi dalam mendidik anak dengan penanaman nilai-nilai dari budaya asli
merupakan tindakan yang masih belum banyak dilakukan dan dikembangkan oleh
masyarakat, karena bisa dikatakan bagaimana metode ini besar dan dikenal di
masyarakat bugis saja, entah ada yang lain dengan nama dan sedikit perbedaan
dalam pengembangan tersendirinya. Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka
pemikiran yang digambarkan sebgai berikut :
Kerangka pemikiran
Starategi & gaya
mendidik
Masyarakat bugis
tentang penanaman
dan pembentukan
Pemeliharaan
kebudayaanasli
dan
pengembangann
ya dari waktu ke
waktu
Karakter
asli
BAB
III
keluarga
bugis
Otoriter
dalam
penanaman
etos
Kemandirian
Bertanggung
jawab
Berkarakter
Ulet
Berani
Terstruktur
dalam pola
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian
16
17
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sember berupa
dokumen-dokumen, literatur dan laporan.
D. Fokus penelitian
Fokus penelitian dalam hal ini terfokus pada bagaimana keluarga bugis
mendidik anaknya dengan segalan aspek yang ada didalam prosesnya tersebut.
Dan fokus penelitian yang digunakan dengan menggunakan penelitian
subjektif karena dengan mengumpulkan informasi dari narasumber-narusember
kecil yang lebih mendalam dan pengumpulan informasi lain yang tidak langsung
survei ke lapangan untuk lebih mengurangi aspek-aspek yang tidak mendukung
penelitian ini.
18
bersama-sama,
bagaimana
membuat
yang
samar
menjadi
nyata,
DAFTAR PUSTAKA
anthropology.fisip.ui.ac.id/httpdocs/
19
http://www.sangbaco.com/2012/04/kekuatan-pesan-amanah-sukubugis.html
20