Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SAW, Atas izin dan anugerahnya
Makalah ini dapat terselesaikan, Dasar penulisan yang terbuat dari tetesan
keringat dan perasan otak yang menjadikan Makalah ini sebuah pengorbanan
mengawali pintu kesuksesan dalam mata kuliah ini.
Dasar pemikiran membuat makalah ini adalah membuat suatu cara
pembahasan masalah dan menyelesaikannya dengan membaca dan mengkajinya
dalam makalah ini. Penulis dituntut untuk membahas segala masalah yang sedang
marak di problemkan dan apa yang tertulis di makalah ini hanyalah sedikit dan
banyaknya masalah yang terjadi dan pembahasan yang terjadi di keadaan sosial.
Ucapan terimah kasih tak lupa tersaji dalam Makalah ini kepada para temanteman yang telah membantu baik menyusun rangka Makalah ini maupun
membimbing jika terjadi kesalahan dalam pembuatan ini.
Semoga Makalah ini dapat membawa manfaat bagi diri pribadi maupun seluruh
pembaca sekalian, baik di jadikan refrensi membuat makalah lain ataupun menjadi
bahan ajar untuk yang membutuhkan. Dengan ini saya membahas makalah ini
dengan ucapan Bismillahirrahmanirrahim..
Makassar 2 Januari 2013

Eka Suhartono

Gaya Mendidik dan Pembentukan Karakter


Pada Masyarakat Bugis
Eka Suhartono ( 1168040032 )

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana cara dalam


membentuk pola karakter masyarakat bugis berdasarkan pola di didiknya mereka
dari keluarganya. Serta bagaimana dalam setiap pola tersebut terselip metode
dalam penanaman pemahaman anak baik itu didasari oleh kebudayaan sendiri
maupun tradisi terdahulu serta perubahan ke modernitas mereka juga ikut
berkembang tanpa kemunduran dari nilai-nilai budayanya sendiri yang lebih
besar.
Pembentukan karakter yang dilandasi oleh keteraturan, kedisiplinan serta
kepatuhan membuat penanaman atitude serta pandangan dalam menaungi
kehidupan itu secara kompleks terisi dengan bekal-bekal dari pola pendidikan
mereka. Jadi secara garis besar bagaimana dalam penanaman karakter
masyarakat bugis terselip latar belakang yang penuh dengan etos dan nilai-nilai
yang mendukung tentang apa yang mereka dapatkan, lakukan dan prinsip yang
mereka pegang.

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Budaya mendidikan bugis. Mungkin pembahasan ini masih kurang
bersahabat dengan telinga pembaca. Dalam makalah ini penulis menjelaskan
tentang bagaimana masyarakat bugis punya bibit unggul dalam setiap aspek
keturunannya. Budaya bugis senantiasa memberikan buah hasil penanaman khas
dan karakter aslinya kepada para keturunan-keturunannya. Dewasa ini dengan
perkembangan zaman, IPTEK dan keadaan lingkungan serta perubahan kondisi
alam mengakibatkan bergesernya pula nilai-nilai yang selama ini masih dipegang
teguh oleh masyarakat pada umumnya. Anak-anak sekarang ini mengalami
kemunduran dalam pemahaman moril,karakter dan tingkah laku serta daya
kreatifitas karena pengaruh zaman tadi. Dahulu bagaimana anak-anak dengan
keterbatasannya dan hanya memanfaatkan lingkungannya dapat dengan suka cita
bermain, dan hal ini membuat daya kreatifitas anak semakin bertambah juga
dengan sendiri. Apabila kita memberikan perbandingan dengan yang sekarang
bahwa anak-anak dengan tekhnologi yang semakin tingginya dan anak yang
hanya mengandalkan jiwa komsumtifnya maka dengan hal tersebut jiwa
kreatifitas anak akan berkurang. Mereka akan sangat tergantung dengan hal-hal
yang sudah ada, mobil-mobilan remote control, playstation dll. Dengan seperti ini
maka struktur pemikiran anak tadi akan mengalami krisis kreatifitas dan krisis
karakter , karena budaya instan tadi. Di samping itu juga, dewasa ini saya sebagai

penulis melihat disekeliling saya dan berdasar pada pengalaman saya tentang
mendidik anak sekarang dan menmbandingkan dengan yang dahulu dari hasil
tingkah laku dan morilnya.

Memang saya dapat mengatakan bahwa sangat

berbeda. Krisis-krisis seperti dijelakan diatas sangat jelas terlihat. Maka dari itu,
dalam makalah ini saya menjelaskan tentang keadaan seperti diatas dan
bagaimana solusi saya sebagai penulis dalam masalah ini.
A. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka masalah yang akan dibahas adalah :
A. Bagaimana karakter keluarga bugis ?
B. Bagaiaman Budaya Otoriter dalam Penanaman etos kedisiplinan anak ?
C. Bagaimana pengaruh Budaya Mitos/pamali dalam mendidik dan
keseharian masyarakat bugis ?
B. BATASAN MASALAH
Dalam Makalah ini, mengenai budaya mendidik dari suku bugis.
C. TUJUAN PENELITIAN
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan :
A. Karakter keluarga bugis.
B. Budaya Otoriter dalam Penanaman etos kedisiplinan anak.
C. Pengaruh Budaya Mitos/pamali dalam mendidik dan keseharian
masyarakat bugis.
D. Pembatasan dalam pergaulan dan tingkah laku masyarakat bugis.
D. MANFAAT PENELITIAN
A. Dengan pembahasan diatas maka akan lebih mengembangkan pemahaman
dan pengetahuan baru sebagai perbandingan metode mendidik masyarakat
bugis dan lainnya secara umum.
4

B. Sebagai bahan referensi kepada para pembaca dalam membahas materi


yang berhubungan dengan masalah yang di jelaskan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Karakter Keluarga Bugis

Suku Bugis yang terletak umumnya di daerah Sulawesi dan terkhusus di


daerah Sulawesi selatan, memiliki keberagamana budaya dan pemaknaannya.
Bugis yang dikenal dengan tata krama dan norma-norma yang menjadi ciri dan
khas masyarakat atau populasinya. Dan juga bugis yang dikenal dengan etos dan
karakter yang kuat serta bugis yang populasinya berada dimana-mana. Secara
garis besar masyarakat bugis yang masih sangat kental dengan kebudayaan
khasnya dan masih berpegang teguh dan menjalankan setiap tradisi-tradisinya.
Masyarakat bugis yang dikenal dengan gelar-gelar kebangsawananya masih
sangat mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan. Sistem kekerabatannya juga
sangat baik dan dijaga sampai sekarang ini, walaupun zaman sudah secanggih ini
pemaknaan mengenai rasa penghormatan kepada orang yang berstrata lebih
diatas masih terjaga. Inilah yang menyebabkan mengapa tradisi dalam nilai-nilai
bugis itu masih ada.
Suku Bugis terikat pada satu sistem budaya yang disebut panngaderreng,
yang menjadi acuan bagi individu dalam kehidupan sosialnya, mulai dari
kehidupan keluarga sampai pada kehidupan yang lebih luas sebagai kelompok
etnik (Melalatoa, 1995). Inti dari sistem budaya ini adalah apa yang disebut siri
dan pess. Adanya budaya pada suku Bugis yang mengikat kuat setiap
anggotanya, membuat penelitian ini penting dilakukan. Hal ini dikarenakan,
sistem budaya tersebut dapat berpengaruh pada kekuatan karakter yang
berhubungan dengan kebahagiaan yang mereka rasakan. 1

1 anthropology.fisip.ui.ac.id/httpdocs/

Karakter keluarga bugis menjurus ke arah bagaimana setiap keluarga


menginginkan adanya pola penjagaan terhadap nilai dan nama baik keluarga,
karakter keluarga bugis yang sangat memperhatikan unsur-unsur estetika dalam
artian nilai keindahan dalam prospek kekerabatan dan tingkah laku bukan hanya
dengan keluarga sendiri akan tetapi dengan seluruhaspek lingkungan pergaulan
dan keseharian. Dalam hal ini bagaimana pembeda atau apabila dikaji mendalam
bagaimana karakteristik keluarga bugis dibandingkan dengan yang lain, bisa
dikatakan keluarga bugis mempunyai banyak aturan yang nilai ke sakralannya
sangat tinggi, sehingga dalam bertindak dan bertingkah laku seakan berhati-hati
atau penuh dengan ikatan yang membuatnya sangat berhati-hati.
B. Budaya Otoriter dalam Penanaman etos kedisiplinan anak.
Karakter keluarga bugis menurut kebanyakan orang itu bersifat otoriter,
namun ke otoriteran dari karakter bugis itu sendiri bukan otoriter menurut
pemaknaan aslinya, akan tetapi kedisiplinan dan ketaatan untuk tidak melakukan
hal yang tidak biasanya atau diluar unsur kebiasaan dan tidak melakukan hal-hal
yang melanggar norma dan asas-asas beretika yang berlandaskan dari kebiasaan
suku bugis tersebut atau biasanya disebut dengan pamali, Begitupun dengan gaya
mendidik anaknya. Keotoriteran masyarakat bugis ini juga dalam pemaknaan
seperti diatas, kedisiplinan yang ketat mengajarkan anak untuk menjadi orangorang yang nantinya bisa cepat mandiri atau dapat mengatur hidupnya sendiri,
kedisiplinan juga menjadikan bekal moril kepada anak agar dapat lebih
bertanggung jawab dan berfikir positif dalam kesehariannya. Bekal-bekal lain
yang tersirat dalam etos kedisiplinan dalam gaya mendidik masyarakat bugis
7

adalah budaya siri atau bagaimana menjaga nama baik keluarga. Dalam hal ini
nilai-nilai yang dapat dihasilkan adalah bagaimana pola pemikiran anak dan
proses orangtua memberikan pengertian kepada anak membuat anak lebih
bertanggung jawab atas etika dan penanaman karakter yang lebih matang,
biasanya dengan begini pola kestruktural pemikiran anak akan lebih baik,
bagaimana bisa lebih paham dengan kepekaan sosial dan juga anak akan
mendapatkan kesadaran diri yang tinggi. Masih banyak dari kepola mendidik ini
seperti etika dalam makan yang mana mengutamakan kebersamaan agar nilainilai kebersamaan itu semakin erat. Nilai senang,susah di rasakan bersama-sama
dan masih banyak aspek-aspek lainnya.
Lain lagi dalam pola religius. Masyarakat bugis sangat memperhatikan
masalah ini dalam batasannya ajaran islam. Bagaimana masyarakat bugis
cenderung taat atau patuh dalam pelaksanaan ajaran agama ini. Hal ini jelas
terlihat bagaimana banyak dari acara-acara yang dilaksanakan oleh masyarakat
bugis yang memiliki nilai religius dalam landasannya seperti, maccera (akikah),
panre temme (tamat al quran) tama bola

( masuk rumah baru ) ini

merupakan bukti dasar bagaimana masyarakat bugis sangat mengilhami ajaranajaran islam itu sendiri. Biasanya dalam masyarakat bugis yang telah mempunyai
anak, mereka kebanyakan telah menanamkan pada anak apabila dia telah
bersekolah maka dia juga harus dapat mengaji atau mulai mempelajari dasar
dalam agamanya. Dan dengan di dukung oleh kebudayaan bugis yang masih
mengedepankan ke estetikaan nilai-nilai terdahulu seperti maka perkembangan
keagamaan ini terdapat semacam umpan balik yang sangat menguntungkan

keduanya. Bagaimana anak mulai mempelajari dan didukung oleh budaya, dan
budaya yang tetap terpelihara dengan semakin banyaknya masyarakat yang tetap
stay dan menjalankannya. Abayak contoh spesifik tentang pembuktian hal ini.
Seperti pada umumnya isra miraj, maulid nabi, sampai pada peringatan bulan
suci ramadhan yang di tunggu-tunggu oleh anak-anak untuk berperan aktif dalam
kegiatan islamic di masjid-masjid, mengaji dan ceramah contohnya yang
membuat edukasi lain dan pola mendidik lain dalam upaya membuat anak dapat
berkembang dengan kemauannya sendiri.
Gaya mendidik masyarakat bugis tidaklah sekeras dari apa yang difikirkan
akan tetapi, penanaman pemahaman dan relasi dengan budaya dan tradisi
masyarakat lampau atau sebelumnya membuat ikatan pola mendidik anak tetap
terjaga walau dewasa ini sudah sedikit berkurang akan tetapi akan tetap ada dan
stay karakter-karakter itu dengan semakin transparannya hasil buah gaya
mendidik seperti ini.

C. Pengaruh Budaya Mitos/pamali dalam mendidik dan keseharian


masyarakat bugis.

Ekspresi budaya "pamali/ pemmali" sebagai salah satu sikap tutur budaya
Bugis-Makassar, merupakan ungkapan yang bersifat spontan, sebagai bentuk
pelarangan dengan penekanan pada kejiwaan , untuk tidak melanggar yang di
pemalikan (diappemmaliang). Pemmali terkait erat dengan pappaseng , oleh
pengguna bahasa / penutur, setinggi apapun pappaseng sebab merupakan nasehat
hidup atau pelajaran hikmah yanglahir dari penjelajahan hidup yang disampaikan
lewat karya sastra , dan merupakan salah satu nilai ekspresi budaya suku BugisMakassar.

tetapi pemmali, juga sebagai sebuah pesan, memberi efek yang

berbeda dengan volume pelarangan yang sangat menekan, sebab diikuti dengan
sanksi (meskipun bentuknya terkadang gaib) sebagai contoh, kami paparkan
seperti dibawah ini: "Pemmali pura manre nappa matinro, menre I'
salompongnge". "pemmali mangngesso ase riwettu makkumpe' na ellungnge"
"pemmali tawwe matinro moppang, magatti I' diwelai indo' "Enre manekko anaana, nasaba Mangngaribini, enrara I' setangnge" "Tempeddingi tewwe tudang
riolona tange e', monroko lolo bangko" Pada masyarakat lampau sifat pemmali ini
secara umum teraplikasi dengan baik sebab menjadi timbangan yang istimewa
dalam mempengaruhi emosional lawan bicara (reseptor /audens) sehingga
menjadi kemestian untuk tidak melakukan yang bersifat larangan(harus
diindakan) meski dengan tidak rela terpaksa mengikuti. 2
Suku Bugis terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adat yang keramat
dan sakral, yang disebut panngaderreng (atau panngadakkang dalam bahasa

2 http://www.sangbaco.com/2012/04/kekuatan-pesan-amanah-sukubugis.html

10

Makassar). Sistem budaya ini menjadi acuan bagi orang Bugis dalam kehidupan
sosialnya, mulai dari kehidupan keluarga sampai pada kehidupan yang lebih luas
sebagai kelompok etnik (Melalatoa, 1995). Sebagai suatu sistem, panngaderreng
mempunyai beberapa unsur, yaitu (1) ade, (2) bicara, (3) rappang, (4) Wari, dan
(5) Sara (Melalatoa, 1995; Matullada dalam Koentjaraningrat, 1997).
Unsur ade berisi norma-norma dalam sistem kekerabatan dan norma dalam
sistem pemerintahan negeri, baik yang di dalam maupun yang berhubungan
dengan negeri luar. Bicara adalah norma-norma yang terkait dengan peradilan,
yang kurang lebih sama dengan hukum acara. Rappang merupakan analogi, kias,
perumpamaan atau ungkapan adat. Wari adalah klasifikasi benda, peristiwa, dan
aktivitas

dalam

kehidupan

bermasyarakat

menurut

kategori-katergorinya.

Sedangkan Sara adalah pranata-paranata dan kaidahnya yang berasal dari Islam.
Hukum Islam atau syariah diintegrasikan ke dalam panngaderreng dan menjadi
sara sebagai suatu unsur pokok dari panngaderreng dan kemudian menjiwai
keseluruhan panngaderreng.
Yang menjadi inti dari sistem budaya ini adalah apa yang disebut siri.
Konsep siri mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari
panngaderreng. Basjah (dalam Koentjaraningrat, 1997) memberi tiga pengertian
terhadap kosep siri yaitu, malu, daya pendorong untuk membinasakan siapa saja
yang telah menyinggung rasa kehormatan seseorang, atau daya pendorong untuk
bekerja atau berusaha sebanyak mungkin. Said (dalam Koentjaraningrat, 1997)
mengungkapkan bahwa siri adalah perasaan malu yang memberi kewajiban moril
untuk membunuh pihak yang melanggar adat, terutama dalam soal-soal hubungan
11

perkawinan. Sedangkan menurut Melalatoa (1995) kata siri secara harafiah


berarti malu atau kehormatan.
Siri merupakan sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk
solidaritas sosial. Siri dapat menjadi motif penggerak kehidupan sosial dan
pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis. Menurut
masyarakat Bugis, siri seharusnyadan biasanya, memangseiring sejalan
dengan pess. Pess, atau lengkapnya pess babua, berarti ikut merasakan
penderitaan orang lain dalam perut sendiri, mengindikasikan perasaan haru
(empati) yang mendalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama anggota
kelompok sosial (Pelras, 2006). Hal ini melambangkan solidaritas, tak hanya pada
seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok
sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami
musibah, atau menderita sakit keras. Pess berhubungan erat dengan identitas dan
merupakan pengikat antar anggota kelompok sosial atau etnis. Pess mendasari
rasa memiliki identitas ke-Bugis-an para orang Bugis yang merantau. Kedua
konsep inisiri dan pessdapat digunakan sebagai kunci utama untuk
memahami berbagai aspek perilaku sosial orang Bugis, khususnya dua perilaku
yang tampak saling berlawanan, yaitu persaingan dan kesetiakawanan.3
Mitos dalam pembahasan diatas dikenal sebagai pamali dalam bahasa bugis
memang sedikit banyak memberikan pedoman dan landasan dalam bertindak dan
bertingkah laku bagi keluarga dan khususnya dalam mendidik pada masyarakat
bugis. Dengan nilai seperti itu keteraturan dia keterikatan tentang norma-norma
3 anthropology.fisip.ui.ac.id/httpdocs/

12

yang baik semakin tumbuh pada diri anak dan masyarakat pada umumnya. Bisa
dikatakan mau tidak mau mitos mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat
bugis. Dalam segala aspek pamali selalu ada. Dalam segala tindakan pamali selalu
mengikat ini adalah dasar dan merupakan bukti bagaimana benar-benar
menyeluruh pamali ini. Apalagi seperti yang kita tahu bahwa pamali ini pada
dasarnya diwarisi turun temurun dari masyarakat terdahulu.
Ada banyak bentuk-bentuk pamali yang sadar tidar sadar menancapkan pesan
dan menjadi karakter bagi yang melakukan dan berada pada cangkupannya seperti
contoh kecil:
Kalimat deklaratif dari Pappaseng/Pappasang ini dengan kosa kata de e narapi
nawa-nawa adalah sinyalemen untuk mendeskripsikan reso (semangat tinggi),
berfungsi sebagai alat pendidikan bagi generasi muda manusia Bugis. yang
terjemahannya : berangan-anganlah hingga tak terjangkau angan-angan.
(disampaikanolehpanrita/agamawan).
Menurut Abdul Kadir Parewe : Para pi nawa-nama adalah sebuah keinginan
dari penutur agar masyarakat senantiasa menggunakan tenaga pikiran dalam
menciptakan atau menemukan hal-hal baru (inovasi), atau sebagai manusia perlu
memelihara pikiran-pikiran yang kita inginkan, memperjelas apa yang kita
inginkan di dalam benak, dari situ kita mulai membangun salah satu hukum
terbesar di Semesta, dan itulah hukum tarik-menarik. Anda tidak hanya menjadi
apa yang paling Anda pikirkan, tetapi Anda juga meraih apa yang paling Anda
pikirkan demi kemaslahatan orang banyak. Tendensi dalam pappseng ini sebagai
bentuk pelahiran tokoh (to macca), pada generasi berikutnya. Keinginan pada
13

kelahiran tokoh ini adalah simpul kuat yang terkait dengan salah satu butir dalam
pangngadakkang yaitu rapang (suri teladan).
Dan juga "pamali/ pemmali", "Pemmali pilai bolae narekko de'pa napura
bissai penne angnganrengnge" (dilarang meninggalkan rumah (untuk perjalanan
jauh) sebelum piring yang digunakan untuk makan, dicuci terlebih dahulu). kata
"bissai penne", dalam ungkapan pemmali ini apakah hanya berarti "cuci piring" ,
sebab dalam sinyalemen pengunaan kata bissai penne ini dapat juga berarti
memperlakukan wanita/istri dengan merawatnya, setelah berhubungan badan,
menuju sikap verbal pada penggalian nilai-nilai budaya tutur, untuk sebuah
kearifan lokal.
Seperti contoh diatas bagaimana kepercayaan seperti itulah yang mengambil
peran aktif dalam pembentukan apa yang dinamakan kebiasaan yang
menyebabkan lahirnya perilaku yang akhirnya kembali menjadi kebiasaan.4
D. Kajian teory/ Hasil penelitian
Gaya mendidik masyarakat bugis memanglah sangat unik. Dengan banyaknya
pengaruh-pengaruh yang menjulur kearah kearifan lokal maka karakter yang
dibentuk juga berjalan dengan apa yang di wanti-wanti sebelumnya. Karakter
turun temurun masyarakat bugis khususnya keluarga bugis dengan apa yang
mereka pertahankan baik itu pedoman kehidupan dahulu sampai aspek
religiusnya. Karakter keluarga bugis bukanlah seotoriteran apa yang dibayangkan
4 http://www.sangbaco.com/2012/04/kekuatan-pesan-amanah-sukubugis.html

14

akan tetapi bagaimana keotoriteran yang dia kaji tersendiri mengahasilkan


kedisiplinan, kepatuhan dan kemandirian yang berbeda dengan yang lain dan
menjadi identitas buah pendidikan dari keluarga dan lingkungannya.
Masyarakat suku bugis yang masih memelihara kekentalan kebudayaan dan
nilai-nilai estetika dalam kepercayaan terhadap tradisinya memang tidak bisa
dihilangkan begitu saja. Regenerasi dengan menggunakan nilai-nilai tersebut
dalam pola mendidik anak menjadikan nilai-nilai tersebut terpelihara rapi dalam
bingkai kehidupan yang mengarah ke bekal masa depan. Memang apabila kita
berbicara tentang mitos dan pamali seakan kita masih berfikir primitif (katanya)
akan tetapi malah dengan begitu masyarakat bugis dapat menstrukturkan reliefrelief kehidupan mereka dengan landasan ajaran pendahulu yang sarat akan
pemkanaan. Dan dengan semua itu dihasilkan anak yang bertanggung
jawab,kukuh, berkarakter dan terstruktur tentang pola pemikiranya. Jarang ada
masalah lain yang tersirat dari hasil mendidik dengan gaya seperti ini.

E. Kerangka Pemikiran
Dalam upaya memberikan penjelasan dasar pemikiran dalam penelitian ini,
maka penulis mencoba menggunakan dalam suatu bentuk kerangka pemikiran
sehingga dapat memberikan gambaran tentang bagaimana konsep pemikiran antar
variabel independen dengan variabel dependen dalam menjelaskan tentang
metode yang digunakan dalam pembahasan.

15

Strategi dalam mendidik anak dengan penanaman nilai-nilai dari budaya asli
merupakan tindakan yang masih belum banyak dilakukan dan dikembangkan oleh
masyarakat, karena bisa dikatakan bagaimana metode ini besar dan dikenal di
masyarakat bugis saja, entah ada yang lain dengan nama dan sedikit perbedaan
dalam pengembangan tersendirinya. Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka
pemikiran yang digambarkan sebgai berikut :
Kerangka pemikiran
Starategi & gaya
mendidik
Masyarakat bugis
tentang penanaman
dan pembentukan

Pemeliharaan
kebudayaanasli
dan
pengembangann
ya dari waktu ke
waktu

Karakter
asli
BAB
III
keluarga
bugis
Otoriter
dalam
penanaman
etos

Kemandirian
Bertanggung
jawab
Berkarakter
Ulet
Berani
Terstruktur
dalam pola

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

16

Penelitian ini bersikap deksriptif asosiatif yang bermaksud memberi gambaran


dan penjelasan mengenai pengembangan anak didasarkan oleh gaya didik mereka
di kalangan masyarakat bugis dalam pembentukan karakternya.
dasar penelitian ini adalah wawancara bagaimana untuk memperoleh data dan
keterangan informasi secara aktual yang berhubungan dengan penelitian ini.
B. Lokasi penelitian
Lokasi dalam penelitian ini adalah masyarakat bugis pada umumnya dan
khususnya daerah bugis Pattinjo Kabupaten Pinrang. Peneliti berharap dapat lebih
mengetahui aspek-aspek lebih jauh tentang budaya mendidik masyarakat bugis.
Penelitian dilaksanakan selama 2 minggu dimulai 28 desember 2012 sampai 13
Januari 2013.

C. Jenis dan sumber data


Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data primer adalah data yang diperoleh melalui hasil penelitian langsung
dari narasumber.

17

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sember berupa
dokumen-dokumen, literatur dan laporan.
D. Fokus penelitian
Fokus penelitian dalam hal ini terfokus pada bagaimana keluarga bugis
mendidik anaknya dengan segalan aspek yang ada didalam prosesnya tersebut.
Dan fokus penelitian yang digunakan dengan menggunakan penelitian
subjektif karena dengan mengumpulkan informasi dari narasumber-narusember
kecil yang lebih mendalam dan pengumpulan informasi lain yang tidak langsung
survei ke lapangan untuk lebih mengurangi aspek-aspek yang tidak mendukung
penelitian ini.

E. Tekhnik pengumpulan data


Tekhnik pengumpulan data yang digunkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :

18

a. Wawancara yaitu pengumpulan data dan informasi dengan cara melakukan


wawancara atau tanya jawab langsung kepada responden dan informan
yang berkaitan dengan pembahasan yang akan diteliti.
b. Dokumentasi yaitu pengumpulan data dan informasi dengan cara memilih
dokumen yang berkaitan dengan maslah yang akan diteliti.
F. Tekhnik analisis data
Analisa dari data kualitatif secara khas adalah satu proses yang interaktip dan
aktif. Peneliti-peneliti kualitatif sering membaca data naratif mereka berulangulang dalam mencari arti dan pemahaman-pemahaman lebih dalam. Morse dan
Field (1995) mencatat bahwa analisis kualitatif adalah proses tentang pencocokan
data

bersama-sama,

bagaimana

membuat

yang

samar

menjadi

nyata,

menghubungkan akibat dengan sebab. Yang merupakan suatu proses verifikasi


dan dugaan, koreksi dan modifikasi, usul dan pertahanan.

DAFTAR PUSTAKA
anthropology.fisip.ui.ac.id/httpdocs/

19

http://www.sangbaco.com/2012/04/kekuatan-pesan-amanah-sukubugis.html

20

Anda mungkin juga menyukai