SKRIPSI
Diajukan Oleh
PRIMA DAFRINA H
050901047
2
ABSTRAKSI
Hidup melajang adalah merupakan fenomena yang tidak disukai oleh anggota
keluarga, dan merupakan salah satu bentuk penyimpangan bagi masyarakat.
Problematika hidup melajang, dengan ungkapan yang lebih halus, keterlambatan usia
nikah adalah merupakan suatu fenomena yang menarik perhatian. Fenomena ini tidak
hanya terjadi di tempat atau negara tertentu, tetapi hampir terjadi di seluruh masyarakat
dunia. Walaupun dengan identitas yang berbeda-beda, fenomena ini telah menyebar
dalam berbagai komunitas, baik yang ada di Timur maupun yang ada di Barat. Ada
ribuan, bahkan jutaan perawan tua yang hidup dalam keadaan melajang, padahal
mereka dulunya mendambakan hidup menikah.
Banyak alasan mengapa para wanita lajang yang dikatakan sudah mapan jadi
merasa nyaman dengan kondisi belum menikah. Kesimpulan ini dapat dilihat karena
wanita sudah berada pada Comfort zone (memiliki kedudukan tertentu dan telah
memiliki pendapatan yang telah memadai) alias sudah kadung (terlanjur) asyik dengan
kehidupan melajang. Terjadinya perubahan yang cepat pada wanita dibandingkan pria
di Indonesia. Wanita Indonesia makin cerdas, berpendidikan dan makin mudah
beradaptasi dengan perubahan. Ini membuat para wanita susah untuk menentukan
pilihan hidupnya untuk berkeluarga. Dan kecenderungan saat ini wanita bisa berpikir
lebih rasional dan tidak lagi emosional, dan yang terpenting lagi adalah mampu untuk
mengontrol diri. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti tertarik untuk memaparkan
secara rinci bagaimana pandangan masyarakat etnis Batak Toba terhadap fenomena
perempuan yang tidak menikah ; apakah yang menjadi latar belakang pilihan hidup
tidak menikah tersebut ; bagaimana interaksi wanita yang tidak menikah di kalangan
masyarakat.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya,
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah
dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian dilakukan pada wanita
karir etnis Batak Toba di Kota Medan, yang dilakukan dengan menggunakan snowball
sampling.
Dari penelitian dihasilkan kesimpulan bahwa wanita karir etnis Batak Toba,
yang memilih untuk tidak menikah mendapat respon yang biasa saja dari masyarakat
Batak Toba, walaupun ada pertentangan pada masyarakat karena pada umumnya
masyarakat Batak Toba mempunyai nilai-nilai prinsip pada kehidupan Batak Toba
untuk menuju kesempurnaan yaitu hamoraon, hasangapon, dan hagabeon. Hal ini
disebabkan karena wanita karir sudah mengalami perubahan untuk dapat berada pada
sektor public, bukan hanya laki-laki saja yang bisa bekerja dan dihargai di lapisan
masyarakat, tetapi wanita juga dapat dihargai dilingkungannya.
3
KATA PENGANTAR
Terima kasih yang sangat besar pada Allah Bapa Tuhan Yesus Yang Maha
Pengasih. Banyak bimbingan dan kekuatan serta pengalaman yang penulis rasakan
dalam menjalani penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis yakin semuanya itu karena
Kasih Karunia dari Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus yang memberikan kesempatan
pada penulis untuk menjalani dan merasakannya. Ketika mengalami masa-masa sulit,
Tuhan Yesus tetap memberikan jalan dan semangat serta kekuatan sampai saya dapat
menyelesaikan skripsi ini. Hormat dan puji syukur saya panjatkan kehadiratNya, Amin.
Selama pembuatan skripsi ini banyak hal yang penulis rasakan dan dapatkan
seperti ketekunan, kesabaran, keberanian, motivasi, pengalaman, kerjasama dan
disiplin, serta menambah wawasan penulis. Penulis menyadari bahwa proses studi
sampai pada penulisan skripsi ini dukungan semua pihak baik secara moril maupun
materi, doa dan fasilitas yang mendukung sampai selesainya penulisan ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. M. Arief Nasution, MA, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, sebagai Ketua Departemen Sosiologi dan
Ibu Dra. Rosmiani, MA sebagai Sekretaris Jurusan.
3. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si sebagai dosen wali sekaligus sebagai dosen
pembimbing, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang tak terkatakan
dan juga rasa hormat penulis karena telah memberikan tenaga, pemikiran, ideide, waktu dan semangat dalam proses bimbingan dan penulisan skripsi ini.
4
4. Dosen-dosen staf pengajar FISIP USU terkhusus pada dosen Departemen
Sosiologi atas pengajaran dan arahan pada masa perkuliahan.
5. Yang terkasih dan tercinta kepada orangtua penulis, Ayahanda St. R. B.
Hutagalung, atas dukungan doa, motivasi, materi, kesabaran yang membentuk
penulis agar selalu berjuang hingga mendapatkan gelar sarjana. Terimakasih
untuk segalanya, dan Ibunda tersayang P. Hutabarat (Alm).
6.
7. Kepada kakak penulis Nancy Suryani Hutagalung, Amd, untuk segala doa dan
semangat untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih buat segala
bantuan baik secara moril dan materi yang telah diberikan.
8. Sahabat terbaik penulis Lenny Simatupang, S.sos, Ira, S.sos, dan Vero atas
motivasi dan dukungan yang tak pernah habisnya untuk menyelesaikan skripsi
ini, dan juga untuk Hana Tarigan.
9. Kepada bang Lex, yang selalu memberikan semangat di waktu susah dan
senang dan juga menemaniku selalu. Kapada adik-adik juniorku yang terkasih
Elin, Evi, Tiara dan Esther.
10. Kepada orang-orang yang mendukung saya selama kegiatan di lapangan,
informan yang ada di kota Medan.
5
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI . i
KATA PENGANTAR .. ii
DAFTAR ISI . iv
BAB I PENDAHULUAN . 1
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Perumusan Masalah . 10
1.3. Tujuan Penelitian . . 10
1.4. Manfaat Penelitian . 11
1.5. Defenisi Konsep .
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA . 15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .
29
3.1. Jenis Penelitian 29
3.2. Lokasi penelitian
30
3.3. Unie analisis dan informan ..... 30
3.4. Teknik Pengumpulan Data .
31
3.5. Interpretasi Data 33
3.6. Jadwal Kegiatan .
34
3.7. Keterbatasan Penelitian .. 34
BAB IV INTERPRETASI DATA 36
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian.. 36
4.2. Profil Informan. 44
4.3. Interpretasi Data 51
1. Pandangan Masyarakat Batak Toba Mengenai Perkawinan,
Adat dan Kekerabatan . 51
2. Perempuan Karir dan Perkawinan 55
3. Latar Belakang Pilihan Wanita Karir Tidak Menikah. 58
4. Pandangan Keluarga Terhadap Status Sosial
Wanita Karir 68
5. Peluang Pergeseran Pilihan Wanita Karir Tidak Menikah
Dalam Adat dan Keluarga.. 71
6. Pergeseran Pilihan Tidak menikah dan Perubahan
Fungsi Keluarga. 81
BAB V PENUTUP . 91
5.1. Kesimpulan . 91
5.2. Saran 92
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
2
ABSTRAKSI
Hidup melajang adalah merupakan fenomena yang tidak disukai oleh anggota
keluarga, dan merupakan salah satu bentuk penyimpangan bagi masyarakat.
Problematika hidup melajang, dengan ungkapan yang lebih halus, keterlambatan usia
nikah adalah merupakan suatu fenomena yang menarik perhatian. Fenomena ini tidak
hanya terjadi di tempat atau negara tertentu, tetapi hampir terjadi di seluruh masyarakat
dunia. Walaupun dengan identitas yang berbeda-beda, fenomena ini telah menyebar
dalam berbagai komunitas, baik yang ada di Timur maupun yang ada di Barat. Ada
ribuan, bahkan jutaan perawan tua yang hidup dalam keadaan melajang, padahal
mereka dulunya mendambakan hidup menikah.
Banyak alasan mengapa para wanita lajang yang dikatakan sudah mapan jadi
merasa nyaman dengan kondisi belum menikah. Kesimpulan ini dapat dilihat karena
wanita sudah berada pada Comfort zone (memiliki kedudukan tertentu dan telah
memiliki pendapatan yang telah memadai) alias sudah kadung (terlanjur) asyik dengan
kehidupan melajang. Terjadinya perubahan yang cepat pada wanita dibandingkan pria
di Indonesia. Wanita Indonesia makin cerdas, berpendidikan dan makin mudah
beradaptasi dengan perubahan. Ini membuat para wanita susah untuk menentukan
pilihan hidupnya untuk berkeluarga. Dan kecenderungan saat ini wanita bisa berpikir
lebih rasional dan tidak lagi emosional, dan yang terpenting lagi adalah mampu untuk
mengontrol diri. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti tertarik untuk memaparkan
secara rinci bagaimana pandangan masyarakat etnis Batak Toba terhadap fenomena
perempuan yang tidak menikah ; apakah yang menjadi latar belakang pilihan hidup
tidak menikah tersebut ; bagaimana interaksi wanita yang tidak menikah di kalangan
masyarakat.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya,
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah
dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian dilakukan pada wanita
karir etnis Batak Toba di Kota Medan, yang dilakukan dengan menggunakan snowball
sampling.
Dari penelitian dihasilkan kesimpulan bahwa wanita karir etnis Batak Toba,
yang memilih untuk tidak menikah mendapat respon yang biasa saja dari masyarakat
Batak Toba, walaupun ada pertentangan pada masyarakat karena pada umumnya
masyarakat Batak Toba mempunyai nilai-nilai prinsip pada kehidupan Batak Toba
untuk menuju kesempurnaan yaitu hamoraon, hasangapon, dan hagabeon. Hal ini
disebabkan karena wanita karir sudah mengalami perubahan untuk dapat berada pada
sektor public, bukan hanya laki-laki saja yang bisa bekerja dan dihargai di lapisan
masyarakat, tetapi wanita juga dapat dihargai dilingkungannya.
6
BAB I
PENDAHULUAN
7
Apalagi pernikahan yang dulu sempat menyisakan kenangan yang buruk yang tak
pernah lepas dari ingatannya (www. Stelladuce.net-website Alumni SMA Stelladuce 1).
Kota Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia merupakan kota
Metropolitan yang memiliki penduduk majemuk dengan berbagai suku dan agama,
yang mendiami kota Medan. Ada kenyataan yang mendukung bahwa masyarakat yang
tinggal di kota, di tantang oleh cara-cara berpikir dan perilaku yang tidak di bungkus
oleh kesopanan, sehingga mereka mengembangkan suatu toleransi dan selera terhadap
apa yang terbaru (novelty). Hidup melajang atau tidak menikah juga banyak dijumpai di
Kota Medan, sehingga pilihan hidup tidak menikah masuk kedalam berbagai usia dan
lapisan masyarakat (www.kompas.com/suara-Daldjoeni, 1997)..
Hidup melajang adalah merupakan fenomena yang tidak disukai oleh anggota
keluarga, dan merupakan salah satu bentuk penyimpangan bagi masyarakat.
Problematika hidup melajang, dengan ungkapan yang lebih halus, keterlambatan usia
nikah adalah merupakan suatu fenomena yang menarik perhatian. Fenomena ini tidak
hanya terjadi di tempat atau negara tertentu, tetapi hampir terjadi di seluruh masyarakat
dunia. Walaupun dengan identitas yang berbeda-beda, fenomena ini telah menyebar
dalam berbagai komunitas, baik yang ada di Timur maupun yang ada di Barat. Ada
ribuan, bahkan jutaan perawan tua yang hidup dalam keadaan melajang, padahal
mereka dulunya mendambakan hidup menikah (Muhyidin Abdul Hamid,2003:2-3).
Banyak alasan mengapa para wanita lajang yang dikatakan sudah mapan jadi
merasa nyaman dengan kondisi belum menikah. Kesimpulan ini dapat dilihat karena
wanita sudah berada pada Comfort zone (memiliki kedudukan tertentu dan telah
memiliki pendapatan yang telah memadai) alias sudah kadung (terlanjur) asyik dengan
8
kehidupan melajang. Terjadinya perubahan yang cepat pada wanita dibandingkan pria
di Indonesia. Wanita Indonesia makin cerdas, berpendidikan dan makin mudah
beradaptasi dengan perubahan. Ini membuat para wanita susah untuk menentukan
pilihan hidupnya untuk berkeluarga. Dan kecenderungan saat ini wanita bisa berpikir
lebih rasional dan tidak lagi emosional, dan yang terpenting lagi adalah mampu untuk
mengontrol diri.
Seringkali perempuan dihadapkan pada berbagai keputusan yang susah diukur
tingkat kesulitannya, mereka memiliki banyak keinginan untuk menerima dan menolak
berbagai hal diluar kesanggupan yang ada. Sebenarnya, apabila dibuat suatu
perbandingan, lelaki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama dalam menyikapi
suatu permasalahan, apakah nantinya resiko yang mereka tanggung berat atau tidak,
semuanya pastilah sesuai dengan tingkat permasalahan yang ada. Dalam hal ini tiap
perempuan memiliki kesempatan yang sama di dunia ini dalam berbagai hal termasuk
pernikahan.
Sampai saat ini, pernikahan tetap dianggap sebagai momen terpenting yang
masih senantiasa ditunggu sepanjang perjalanan hidup seseorang. Masyarakat kita
masih melekatkan pernikahan sebagai bagian identitas seseorang. Hidup baru dianggap
lengkap jika orang itu sudah menikah, namun mampu membuat orang yang ditanya
mengambil waktu panjang untuk berpikir masih ada sesuatu yang kurang dalam
hidupnya.
Perempuan memang menerima tuntutan lebih besar untuk menikah, terutama dari
keluarganya. Menurut teori Jeane-Paule Satre (George Ritzer, 2007 :413) simone de
Beauvoir, feminis eksistensialis, the second sex tentang perbedaan transcendent self
9
dan umanent self, keberadaan manusia secara rohani dan jasmani. Keberadaan secara
jasmani dapat dilihat, dirasa, diraba, tetapi keberadaan secara rohani tidak tampak. Sisi
keberadaan manusia secara jasmani itu menyebabkan manusia selalu berelasi dengan
yang lain. Hubungan ini disosialisasikan sebagi hubungan subjek dan objek. Hubungan
Aku dan Engkau selalu timbal balik. Bila aku ingin bebas dari engkau, engkau ingin
bebas dari aku. Kesadaran perempuan tentang eksistensi dirinya ini, tertutup oleh mitos
tentang perempuan yang sengaja diciptakan, misalnya mitos tulang rusuk, sperma
bersifat agresif dan telur bersifat positif. Teori ini mengatakan banyak orangtua
menganggap anak perempuannya tidak akan bahagia jika tidak bersuami. Apalagi
dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki seperti Indonesia, eksistensi
perempuan sudah dikonstruksi sedemikian rupa untuk dilekatkan dalam konteks
hubungannya dengan suami.
Pernikahan menjadi sesuatu yang wajib dilakukan agar tidak dianggap
menyimpang dari norma masyarakat dan terhindar dari stereotip negatif. Adanya
tuntutan itu, baik pada perempuan maupun laki-laki, tidak heran jika banyak kaum
muda tertekan ketika belum mendapatkan pasangan di usia yang sudah dianggap pantas
menikah. Pada akhirnya mereka menikah dengan pasangan yang belum dikenal dengan
baik hanya karena usia seolah sudah mengejar. Hal ini sesuai dengan posisi perempuan
secara umum dalam masyarakat tradisional yang berada di sektor domestik.
Perkembangan zaman yang semakin maju mengubah pola pikir dari masyarakat
khususnya perempuan. Dengan kebutuhan hidup yang semakin meningkat maka posisi
perempuan berubah dari sektor domestik menjadi terlibat dalam sektor publik. Dapat
dilihat dalam hal pekerjaan kaum perempuan dan laki-laki tidak dibedakan, yang mana
10
disesuaikan dengan bidang kemampuannya. Kaum perempuan yang sudah bekerja
mempunyai alasan yang berbeda-beda.
Khususnya bagi kaum perempuan di kota yang masih muda single dan sudah
bekerja pada saat sekarang ini, keinginan untuk bekerja selain ingin mendapatkan
pengalaman bekerja juga untuk memperoleh materi, dan kedudukan yang lebih bagus.
Dapat dilihat pada kaum perempuan ketika sudah bekerja dan mempunyai penghasilan
sendiri, maka apa yang diinginkan dapat terpenuhi, selain tidak ingin merepotkan
orang tua.
Pada kota Medan yang memiliki penduduk majemuk dengan berbagai sub etnis
yaitu etnis Jawa, etnis Batak Toba, etnis Mandailing, Karo, Pakpak, dan etnis-etnis
pendatang lainnya. Etnis Batak Toba merupakan salah satu mayoritas yang mendiami
kota Medan sesudah Suku Jawa. Di bawah ini menunjukkan pada tabel 1.1 jumlah
proporsisi penduduk kota Medan yang berdasarkan pada etnis.
Tabel 1.1. Persentase Penduduk Kota Medan
Menurut Suku Bangsa Tahun 2001
NO
Suku Bangsa
1
Jawa
2
Batak Toba, Batak Tapanuli
3
China
4
Mandailing dan Angkola
5
Minang
6
Melayu
7
Karo
8
Aceh
9
Simalungun
10 Nias
11 Pakpak
12 Lainnya
Sumber : Sensus Penduduk 2001
Penduduk
Laki-Laki
Perempuan
33,02 %
33,03 %
19,06 %
19,35 %
10,65 %
10,66 %
9,37 %
9,36 %
8,72 %
8,48 %
6,57 %
6,62 %
4,01 %
4,20 %
2,92 %
2,65 %
0,68 %
0,70 %
0,80 %
0,58 %
0,35 %
0,34 %
3,88 %
4,03 %
Jumlah
33,03 %
19,21 %
10,65 %
9,36 %
8,60 %
6,59 %
4,20 %
2,78 %
0,69 %
0,69 %
0,34 %
3,95 %
11
Dari tabel diatas, menunjukkan bahwa pada sensus penduduk pada tahun 2001,
penduduk Kota Medan berdasarkan komposisi etnik memperlihatkan, penduduk yang
paling besar penduduknya sekaligus berada pada tingkat pertama adalah yang didiami
pada suku Jawa yang mendiami Kota Medan sebesar 33,03%. Sedangkan suku Batak
Toba mempunyai jumlah penduduk sekitar 19,21%, dan suku yang paling terkesil
adalah suku Pakpak sebesar 0,34%.
Keluarga pada masyarakat etnis Batak Toba, memiliki sistem keluarga yang
patrilineal. Dilihat dari hubungan masyarakat Batak Toba ketika menikahkan anak
perempuan, akan menetap di pihak laki-laki. Masyarakat Batak Toba memiliki budaya
dan adat yang dapat menyatukan kehidupan masyarakat Batak. Adat yang terjadi pada
masyarakat tradisional, perempuan masih ikut berperan dalam adat yang dijalankan.
Dengan adanya perkembangan industri membuat para perempuan mulai tersisihkan.
Hal ini terjadi pada masyarakat kota Medan, khusunya pada perempuan etnis Batak.
Saat ini banyak dijumpai perempuan yang tidak menikah, hanya untuk memenuhi
kehidupan mereka dalam mengejar karir yang mereka harapkan (B.Siahaan,
http://parapat.tripod.com/sejarah.html).
Masyarakat Batak Toba yang secara tradisional bermukim di wilayah provinsi
Sumatera Utara merupakan masyarakat yang patrilineal, di mana garis keturunan
ditelusur lewat sistem klan yang disebut marga. Keseluruhan marga yang ada saling
berhubungan, dan meyakini bahwa mereka berasal dari satu keturunan. Dalam tradisi
perkawinan, masyarakat Batak Toba menganut konsep bahwa sebuah ikatan
perkawinan merupakan penyatuan dua gabungan dari unsur dalihan na tolu dari dua
keluarga luas individu yang akan menikah.
12
Pernikahan pada masyarakat Batak pada umumnya merupakan suatu lembaga.
Dengan kata lain, pernikahan bukan hanya sekedar ikatan antara seorang laki-laki
sengan seorang wanita. Tetapi pernikahan ini juga mempengaruhi pola kekerabatan dan
hubungan tertentu antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Masyarakat Batak
Toba pada umumnya mempunyai lembaga Dalihan Natolu. Dengan istilah tersebut
dapat melihat susunan dan struktur kemasyarakatan yang ada dalam masyarakat Batak
Toba.
Pada masyarakat Batak Toba ada beberapa istilah yang dikenal dengan
hamoraon, hagabeon, dan hasangapon yang istilah ini sering disebut dengan nilai Raja
pada masyarakat etnis Batak Toba. Nilai Raja itulah yang menjadi kebanggaan
masyarakat Batak khususnya pada masyarakat etnis Batak Toba. Hamoraon, yang
berarti kakayaan. Kekayaan ini nerupa materi seperti uang, tanah, rumah, dan lain-lain.
Hagabeon, artinya keturunan. Pada masyarakat batak toba, kesempurnaan diukur dari
jumlah suatu keturunan. Suatu kebanggaan bila anak yang dimiliki adalah anak lakilaki dan anak perempuan. Keturunan adalah dasar seseorang dapat lebih di hormati
sebagai seorang raja batak. Dan yang terakhir adalah hasangapon yang artinya adalah
kemuliaan. Penilaian ini diberikan kepada individu, karena memiliki sejumlah
keturunan baik laki-laki dan perempuan sampai kepada generasi ketiga dan keempat
yang memiliki kualitas, karena mereka telah bekerja dan berkeluarga yang mempunyai
keturunan baik itu laki-laki maupun perempuan. Semakin tinggi kualitas hamoraon,
hagabeon, dan hasangapon dari setiap keturunan maka akan semakin sangap di
pandang dalam masyarakat Batak Toba.
13
Pilihan hidup tidak menikah pada perempuan masyarakat etnis Batak Toba telah
memunculkan suatu streotipe pada masyarakat lainnya, karena pada masyarakat Batak
Toba diikat oleh budaya yang mengatur kehidupan masyarakat Batak Toba. Dimana
dalam masyarakat Batak Toba, hamoraon, hagabeon, dan hasangapon merupakan
suatu hal yang sangat penting bagi masyarakat Batak Toba untuk menjalani kehidupan
mereka. Jadi seseorang yang belum menikah atau berkeluarga belum dapat dikatakan
memiliki nilai Raja pada mereka yang belum berkeluarga. Dalam konteks penelitian ini
kebudayaan ditekankan pada aspek keluarga dan norma-norma kemasyarakatan dan
agama yang dikhususkan pada adat istiadat acara kematian/ meninggal. Dalam hal ini
adat-istiadat diperkecil lingkupnya hanya pada adat-istiadat kematian/ meninggal yang
dihubungkan dengan pernikahan, yaitu anak yang belum menikah pada usia yang sudah
matang.
Pada masyarakat Batak Toba ada suatu adat yang dikenal dengan istilah sari
matua dan saur matua. Hal ini berhubungan dengan adanya keturunan dari masyarakat
Batak Toba itu sendiri yang belum menikah dan memperoleh keturunan. Pada
masyarakat Batak Toba ada paham yang masih mengutamakan unsur-unsur budaya
tradisional yang dikenal dengan adat. Adat sebagai bahagian dari kebudayaan elemen
untuk mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan merupakan identitas budaya
dalam
khasanah
kebhinekaan
di
dalam
negara
tercinta
ini
14
secara horizontal sesama warga dan hubungan vertikal kepada Tuhan. Dengan
demikian adat adalah aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia sehingga bisa
menciptakan keteraturan, ketentraman dan keharmonisan (Bungaran Simanjuntak,
2001).
Sari Matua adalah seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri
yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada
di antara anak-anaknya yang belum kawin (hot ripe). Sari Matua dapat dilakukan
walaupun ada anak yang belum menikah. Sedangkan Saur Matua merupakan suatu
kehidupan yang diidam-idamkan oleh setiap orang pada masyarakat Batak Toba.
Seseorang yang saur matua dianggap sebagai orang yang diberkati oleh Yang Maha
Kuasa dengan kesempurnaan hidup seseorang dilihat dari apabila dia meninggal dalam
keadaan saur matua. Seseorang disebut Saur Matua, ketika meninggal dunia dalam
posisi Titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru
yang artinya mempunyai anak laki-laki dan mempunyai anak perempuan, yang
nantinya mempunyai keturunan dari anak laki-laki dan anak perempuan. Pada
masyarakat Batak, hagabeon seperti diuraikan diatas, belum tentu dimiliki seseorang.
Artinya seseorang juga berstatus saur matua seandainya anaknya hanya laki-laki atau
hanya perempuan, namun sudah semuanya hot ripe dan punya cucu.
Dalam masyarakat Batak Toba, apabila ada anak yang belum menikah atau
hidup melajang dalam suatu keluarga, maka mereka belum dapat dikatakatan sebagai
hagabeon dan hasangapon, sebelum mengakhiri masa lajang mereka atau menikah.
Perempuan yang hidup melajang sering menimbulkan streotipe negatif dari masyarakat
Batak Toba. Misalnya para wanita yang hidup melajang sering dikatakan karena tidak
15
laku, terlalu dalam memilih jodoh, sampai dengan istilah perawan tua. Streotipe
negatif akan ditujukan bagi mereka yang belum menikah di usia yang sudah dianggap
sepantasnya. Sebutan perjaka tua tersedia bagi laki-laki, sedangkan perempuan disebut
dengan istilah perawan tua. Dan sebutan itu sering dirasakan berdampak jauh lebih
besar bagi perempuan dibandingkan kepada laki-laki (http:/emmaku.multiply.com,
13/03/2009).
Maraknya wanita karir yang hidup melajang salah satunya diakibatkan karena
adanya perubahan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat pola pikir
perempuan semakin berkembang dan dapat menyaingi laki-laki. Berdasarkan uraian
diatas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana perilaku wanita karir yang tidak
menikah di kalangan masyarakat, khususnya pada masyarakat batak toba dalam judul
fenomena pilihan hidup tidak menikah pada perempuan etnis batak toba.
16
1. Untuk melihat apa yang menyebabkan terjadinya pilihan hidup tidak menikah di
kalangan masyarakat saat ini.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan mereka tidak menikah.
3. Untuk mengetahui sejauh mana masyarakat Batak Toba, melihat perempuan
yang tidak menikah, khususnya etnis Batak Toba.
17
18
4. Fenomena
Suatu peristiwa yang terjadi di realitas sosial dan memiliki gejala-gejala yang
spesifik. Pada penelitian ini fenomena yang dimaksud adalah timbulnya suatu
keadaan sekelompok maupun individu yang dicitrakan sebagai perempuan etnis
batak toba yang tidak menikah.
5. Kota
Suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan
penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang
heterogen dan coraknya yang konsumtif. Secara sosiologis, kota haruslah
mencakup struktur sosial dan pola-pola psikologis serta perilaku sosial.
6. Wanita Karir
Wanita yang berada pada sektor publik dalam berbagai bidang, dan biasanya
dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup tetapi, untuk aktualisasi diri.
7. Saurmatua
Tingkat usia serta kondisi seseorang apabila ia telah sampai kepada tingkat atau
keadaan sudah mempunyai putra dan putri yang semuanya telah berkeluarga,
dan juga telah mempunyai cucu.
8. Sarimatua
Tingkat usia serta kondisi seseorang apabila ia telah usia lanjut, telah
mempunyai putera dan puteri serta pula telah mempunyai cucu, tetapi diantara
putra ataupun puterinya masih ada yang belum menikah.
19
9. Adat Batak
Persatu-paduan kebudayaan kerohanian dan kemasyarakatan yang meliputi
kehidupan,
keagamaan,
kesusilaan,
hukum,
kemasyarakatan,
ataupun
20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Studi tentang keluarga perkotaan (urban family) mulai menarik perhatian para
sosiolog sejak pertengahan abad ke 19. Ada beberapa sebab yang mendorong
perkembangan tersebut. Dorongan utama terletak pada perkembangan kehidupan
social, baik di Eropa maupun di Amerika yang sangat dipengaruhi oleh perubahanperubahan besar dengan pertumbuhan industri modern. Namun pada pertengahan abad
ke-19 dan awal abad ke-20, studi tentang keluarga beralaih tekanan, yaitu tidak lagi
pada pengkajian tentang perkembangan pranata keluarga, tetapi menaruh perhatian
pada masalah-masalah sosial yang dikaitkan dengan perubahan-peerubahan keluarga,
terutama dalam hal fungsi keluarga (Paulus Tangdilintin, dalam Khairuddin, 1999:2).
Diantara sekian banyak fenomena sosial yang menjadi orientasi analisis
sosiologi, fenomena perubahan sosial barangkali termasuk yang paling sulit dipahami.
Jadi pada hakekatnya tidak ada satu masyarakat yang tidak berubah, walaupun
masyarakat sesederhana apapun. Atau dengan kata lain, tidak ada satupun masyarakat
yang bersifat statis. Semua masyarakat berubah menurut kadar perubahannya masingmasing (Mustain Mashud, 2005:370-372).
Dalam setiap masyarakat, keluarga merupakan suatu pranata sosial yang sangat
penting artinya bagi kehidupan masyarakat. Betapa tidak, para warga masyarakat
menghabiskan paling banyak waktunya dalam keluarga dibandingkan dengan di tempat
bekerja misalnya, dan keluarga adalah wadah dimana sejak dini para warga masyarakat
dikondisikan dan dipersiapkan untuk kelak dapat melakukan peranan-perananya dalam
21
dunia orang dewasa. Dan melalui pelaksanaan peranan-peranan itu pelestarian berbagai
lembaga dan nilai-nilai budaya pun akan dapat tercapai dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Dapat
diibaratkan
bahwa
keluarga
adalah
jembatan
yang
menjadi seseorang
yang dapat
mempertahankan
kehidupannya.
Keluarga bukan saja sebagai suatu wadah hubungan antara suami dan istri atau
anak-anak dan orang tua, tapi juga sebagai suatu rangkaian tali hubungan antara
jaringan sosial dan anggota-anggota keluarga, dan jaringan yang lebih besar yaitu
masyarakat. Oleh karena itu dalam memandang proses pemilihan jodoh dapat dilihat
bahwa masyarakat luas menaruh perhatian akan hasilnya. Kedua keluarga mempunyai
semacam kedudukan dalam sistem lapisan, yang keseimbangannya sebagian juga
tergantung kepada siapa akan menikah. Perkawinan antara keduanya adalah petunjuk
yang terbaik, bahwa garis keluarga yang satu memandang yang lainnya kira-kira sama
secara sosial dan ekonomis (Soekanto 1990:49).
22
Masyarakat mengenal berbagai aturan mengenai perkawinan. Ada aturan
mengenai apakah jodoh harus berasal dari anggota kelompok sendiri ataukah harus dari
kelompok lain, dan siapa diantara anggota kelompok sendiri yang boleh ataupun tidak
boleh dinikahi, dan mengenai jumlah orang yang boleh dinikahi pada waktu yang sama,
dan dimana akan dilakukan. Sebagaimana halnya dengan institusi lain, maka keluarga
pun menjalankan fungsi. Para ilmuwan sosial ahli sosiologi mengidentifikasikan
berbagai
fungsi.
Menurut
Horton
dan
Hunt
dalam
(Suadah,
2005:36)
23
perlindungan fisik maupun yang bersifat kejiwaan. Akhirnya keluarga pun menjalankan
berbagai fungsi ekonomi tertentu seperti produksi, reproduksi, distribusi dan konsumsi.
Setiap masyarakat selama masih hidup pasti akan mengalami suatu perubahan.
Perubahan yang terjadi bisa secara cepat, dan juga lambat. Perubahan yang terjadi pada
masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, susunan lembaga, dan interaksi sosial.
Menurut Kingsley Davis (Soerjono, 1990:341-342), perubahan sosial adalah perubahan
yang terjadi di dalam struktur dan fungsi masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Selo Soemardjan (dalam Soekanto, 1990:333-337), bahwa perubahan sosial adalah
segala perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat
yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk di dalam nilai-nilai sikap dan pola
perilaku antara individu dan kelompok di dalam masyarakat.
Adapun yang menjadi ciri-ciri perubahan sosial adalah :
a) Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya karena setiap
masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara
tepat.
b) Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti
dengan perubahan-perubahan pada lembag-lembaga sosial lainnya.
c) Perubahan sosial yang secara cepat biasanya akan mengakibatkan
diorganisasi yang bersifat sementara karena berada di dalam proses
penyesuaian.
d) Perubahan-perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau
bidang spiritual saja, yang disebabkan mempunyai kaitan timbale balik yang
sangat kuat.
24
Perubahan yang terjadi di seluruh aspek kehidupan mempengaruhi perubahan
setiap yang dilakukan masyarakat yang ada di kota Medan, termasuk para wanita dan
pria yang hidup melajang. Diantara sekian banyak fenomena sosial yang menjadi
orientasi analisis sosiologi, fenomena perubahan sosial barangkali termasuk yang
paling sulit dipahami. Yang pada hakekatnya, tidak ada satu masyarakat yang tidak
berubah, walaupun masyarakat sesederhana apapun. Atau dengan kata lain, tidak ada
satupun masyarakat yang bersifat statis. Semua masyarakat berubah menurut kadar
perubahannya masing-masing (Mustain Mashud, 2005:370-372).
Sesuai dengan perubahan yang terjadi, fungsi-fungsi prinsip dari keluarga juga
mengalami perubahan pada bentuknya. Perubahan-perubahan institusional sangat
mempengaruhi ikatan perkawinan dan hubungan-hubungan anggota satu dengan yang
lainnya. Dalam masalah perkawinan, masyarakat tidak lagi dikontrol oleh orang tuanya
dan bentuk-bentuk lainnya dari tekanan-tekanan sosial apabila mereka akan kawin.
Dengan adanya perubahan sosial, masyarakat telah banyak menentukan pilihan
hidupnya untuk tidak menikah. Bagi wanita, hal ini dapat disebut dengan istilah
perawan tua karena tidak menikah. Fungsi keluarga dalam memberikan keturunan
telah mengalami pergeseran, karena adanya pilihan hidup tidak menikah.
Pada masyarakat Batak Toba, banyak keturunan merupakan sesuatu hal yang
sangat penting dalam meraih kesuksesan. Bagi masyarakat orang Batak, banyak anak
akan banyak rejeki. Hal ini disebut dengan istilah Hagabeon, dimana banyak
keturunan dan panjang umur satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang
disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar
25
kelak
pengantin
baru
dikaruniakan
putra
17
dan
putrid
16
26
laku aktor. Akibat-akibat tingkah laku diperlakukan sebagai variabel independen. Ini
berarti bahwa teori berusaha menerangkan tingkah laku yang terjadi itu melalui akibatakibat yang mengikutinya kemudian. Jadi nyata secara metafisik ia mencoba
menerangkan tingkah laku yang terjadi di masa sekarang melalui kemungkinan
akibatnya yang terjadi di masa yang akan datang. Yang menarik perhatian dari teori
behavior sosial adalah hubungan histories antara akibat tingkah laku yang terjadi dalam
lingkungan aktor dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku
yang terjadi di masa lalu mempengaruhi tingkah laku yang terjadi sekarang. Dengan
mengetahui apa yang diperoleh dari suatu tingkahlaku yang nyata di masa lalu akan
dapat
diramalkan
apakah
seorang
aktor
akan
bertingkahlaku
yang
sama
27
versus lingkungan sosial dengan berpegang pada saling ketergantungan dinamis antara
kedua tingkatan itu, namun tujuan utamanya adalah untuk memperlihatkan bagaimana
manusia dibentuk dalam konteks keteraturannya social yang terus berjalan (Robert
Lawang, 1996:26).
Fenomena yang terjadi pada wanita sekarang ini dengan memilih untuk tidak
menikah dapat dikatakan, bagaimana seseorang melekukan proses interaksi dengan
lingkungan mereka dimana mereka berada. Perilaku wanita yang tidak menikah,
melihat di sekitar lingkungan mereka, bahwa dengan bekerja mereka dapat
menyesuaikan diri untuk dapat berinteraksi dengan baik, walaupun ada tuntutan kepada
mereka untuk menikah.
Saling ketergantungan organis antara individu dan masyarakat diungkapkan
dalam analisa Cooley mengenai perkembangan konsep diri (I seseorang). Meskipun
Cooley merasakan bahwa manusia lahir dengan perasaan diri (self-feeling) yang tidak
jelas dan terbentuk, ia menekankan bahwa pertumbuhan dan perkembangan perasaan
diri ini merupakan hasil dari proses komunikasi interpersonal dalam suatu lingkungan
sosial. Perkembangannya, seperti proses komunikasi itu sendiri, tergantung pada
pemahaman simpatetis antara individu yang satu terhadap yang lainnya. Dengan
imajinasinya mereka dapat masuk ke dalam dan ikut mengambil bagian dalam perasaan
dan ide orang lain. Yang penting khususnya adalah bagaimana orang menangkap apa
yang dipikirkan orang tentang dia. Hal ini berhubungan sangat erat dengan perasaan
diri seseorang. Apakah orang itu senang atau kecewa dengan penampilan dan
perilakunya, sebagian besar merupakan hasil dari apakh orang lain dilihat menyetujui
atau menolak penampilan dan perilakunya itu.
28
Imajinasi yang ada di dalam benak orang-orang terhadap yang lainnya, menurut
Cooley adalah fakta di dalam masyarakat. Masyarakat adalah sebuah fenomena
mental, hubungan antar gagasan orang. Masyarakat ada di dalam pikiran orang lain
seperti hubungan dan pengaruh timbale balik dalam gagasan tertentu yang diberi nama
I. Masyarakat dan individu bukanlah dua realitas yang satu dan sama . Keduanya
adalah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak mungkin terpisahkan.
Dalam pengertian yang mendasar dalam formulasi ini, Cooley memandang
masyarakat seperti pendekatan yang digunakan untuk memahami kedirian. Ini tidaklah
aneh, karena konsep Cooley tentang the self cocok dan sangat berdekatan dengan
perilaku yang ada pada masyarakat sekarang ini. Cooley menunjuk aspek konsep diri
ini dengan istilah looking glass self. Setiap hubungan social di mana sesorang itu
terlibat merupakan satu cerminan diri yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri.
Karena banyak orang terlibat dalam keseberagaman hubungan social, yang masingmasingnya memberikan suatu cerminan tertentu, orang dapat dibayangkan sebagai
hidup dalam suatu dunia cermin, yang masing-masing memberikan perspektif atau
seginya sendiri yang khusus. Tetapi individu tidak dapat luput dari defenisi-defenisi
tentang identitas mereka ini yang mereka lihat tercermin dalam diri orang lain (Robert
Lawang, 1996:28-29). Berikut ini gambaran Cooley tentang Looking glass self :
Each to each a looking-glass
Reflects the other that doth pass
Ketika kita melihat wajah, bentuk, dan pakaian kita di depan cermin, dan merasa tertarik
karena semuanya itu milik kita, begitu pula dengan imajinasi, kita menerima dalam pikiran
orang lain suatu pikiran tentang penempilan, cara, tujuan, perbuatan, karakter, dan seterusnya,
dan dengan berbagai cara dipengaruhi olehnya.
29
Ada sejumlah variasi dalam hubungan antara perasaan diri seseorang dan
hubungan-hubungannya dengan orang lain. Misalnya, orang berbeda dalam kepekaan
terhadap pandangan orang lain, mereka berbeda dalam tingkat stabilitas dalam
mempertahankan suatu jenis perasaan diri tertentu pun dalam menghadapi reaksi-reaksi
orang lain yang bertentangan atau yang bersifat konflik, mereka berbeda dalam
intensitas dan seringnya dukungan sosial yang dibutuhkan untuk mempertahankan
perasaan diri mereka, berbeda dalam campuran perasaan tertentu yang bersifat positif
dan negative yang dihubungkan dengan konsep diri mereka, yang juga berbeda dalam
hal dimana aspek kehidupan mereka sangat erat hubungannya dengan perasaan diri.
Seseorang akan menemukan perasaan diri yang tidak selaras dengan reaksi dan
perasaan yang ada pada orang lain sehingga mereka mundur secara fisik atau psikologis
untuk membentuk suatu kehidupan diri yang bersifat batiniah yang tidak akan begitu
saja mendapat ejekan dari orang lain yang memberikan reaksi yang tidak sesuai.
Biasanya perasaan diri seseorang ini sering di perpanjang ke berbagai kelompok di
mana mereka merupakan salah satu bagian kelompoknya. Hal ini sering tampak pada
keluarga, dimana keluarga merupakan kelompok yang paling umum.
Perasaan diri yang tampak pada keluarga bisa diakibatkan, adanya salah satu
anggota keluarga yang melakukan penyimpangan dari fungsi keluarga yang sudah ada.
Hal ini dilihat pada wanita yang memilih untuk tidak manikah. Perasaan kecewa pada
diri orang tua dalam melihat anak mereka tidak menikah akan menjadi bebani pikiran
mereka, karena pada masyarakat Batak Toba, menikah dan mempunyai keturunan
merupakan suatu kebanggaan bagi keluarga itu sendiri.
30
Pendidikan merupakan faktor penting dalam memperoleh dan meningkatkan
status sosial yang lebih tinggi, misalnya pangkat, kehormatan, kekayaan, kedudukan,
dan kekuasaan. Bagi masyarakat Batak Toba, pendidikan adalah jalur mencapai
kemajuan (hamajuon). Dengan kesadaran ini, masyarakat Batak Toba memacu anakanaknya untuk menjadi agen perubah kehidupan keluarga yang lebih baik. Dengan
adanya pendidikan yang tinggi, wanita etnis Batak Toba lebih bebas untuk dapat
mengaktualisasikan diri mereka di dunia sektor publik hingga menjadi wanita karir.
Dari pemahaman itu, dapat dikatakan bahwa bagaimanapun kondisinya,
penerapan sarana dalam mencapai tujuan merupakan hal penting dan mengalahkan
segalanya dalam setiap tindakan sosial. Demikian pula ketika memandang suatu
perilaku sosial di dalam suatu lingkungan sebagai tindakan sosial yang pastinya
dilakukan manusia, baik di perkotaan maupun pedesaan, dalam interaksi sosialnya di
kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini peneliti melihat bahwa fenomena pilihan
hidup tidak menikah yang terjadi di masyarakat, khususnya pada masyarakat Batak
Toba, sebagai tindakan yang ingin menyesuaikan pilihan mereka dengan kehidupan
masyarakat lain yang ada pada umumnya.
Masyarakat Batak Toba pada umumnya mempunyai peranan yang cukup besar
dalam memenuhi kebutuhan mereka untuk dapat berkeluarga. Nilai Raja Hagabeon,
Hasangapon, dan Hamoraon akan dimiliki masyarakat batak Toba, apabila seseorang
telah mempunyai anak, dan mempunyai keturunan dari anaknya tersebut. Begitu juga
sebaliknya, dengan anak-anaknya akan sama seperti orang tuanya apabila telah
mampunyai keturunan dan sudah menikah semua. Yang terjadi sekarang ini adalah,
31
banyak dijumpai fenomena wanita tidak menikah (perawan tua) pada masyarakat Batak
Toba. Wanita tersebut lebih mengutamakan karir yang mereka peroleh.
Dilihat dari teori Cooley mangenai looking glass self , bahwa perasaan yang ada
pada diri wanita yang memilih untuk tidak menikah dilatarbelakangi oleh keinginan
mereka untuk mencapai sauatu prestasi yang dapat membanggakan diri mereka sendiri
dan juga terhadap keluarga mereka. Kehidupan yang terjadi pada wanita etnis Batak
Toba dipengaruhi oleh lingkungan dimana tempat mereka bekerja. Perilaku wanita
yang memilih untuk tidak menikah diakibatkan lingkungan tempat dimana mereka
bekerja. Karena lingkungan pekerjaan juga menuntut mereka untuk tetap eksis agar
mencapai prestasi yang bagus.
2.2. Teori Feminis
Perilaku sosial dapat juga dilihat pada teori feminis. Dimana teori feminis
merupakan label generik untuk perspektif atau kelompok teori yang mengeskplorasi
makna konsep-konsep gender. Teori feminis mengamati bahwa apak kehidupan
terlepas dari kehidupan sex biologis yang dipahami dalam pengertian kualitas gender,
termasuk bahasa, kerja, peran keluarga, pendidikan, sosialisasi, dan sebagainya. Kritik
feminis bertujuan untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan,
dan kebanyakan teori ini menekankan sifat opresif dan relasi gender.
Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai
kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang
terpusat pada wanita. Para teoritis menggunakan proses analisis yang sama dalam
menempatkan perbedaan jenis kelamin dalam analisis teoritis umum mereka terhadap
fenomena sosial berskala luas.
32
Teori feminis beranjak dari asumsi bahwa gender adalah a pervasive category
for understanding human experience . Gender adalah konstruksi yang meskipun
bermanfaat, didominasi oleh bias pria dan cenderung apresif terhadap wanita. Teori
feminis berupaya menentang asumsi-asumsi gender yang hidup dalam masyarakat dan
mencapai cara yang lebih membebaskan wanita dan pria untuk dapat hidup damai.
Dengan cara ini teori feminis bagi definition adalah radikal, ia menukik ke akar
pengalaman manusia dan menuntut perubahan struktur sosial-budaya dan linguistic
yang menentukan relasi antara pria dan wanita.
Dari pemaparan diatas, yang menyinggung teori perilaku sosial Cooley yang
berhubungan dengan tindakan sosial, yang juga berhubungan dengan tindakan yang
dilakukan dengan sadar dan penuh pertimbangan, sehingga mendorong seseorang
tersebut untuk memilih jalan dan pertimbangan yang berguna dan bermanfaat bagi
perkembangan hidupnya. Keadaan diatas lebih tampak pada pengaruh dari perilaku
sosial yang merupakan tindakan yang dinilai rasional nerdasarkan petunjuk dan
kebiasaan masa lalu yang diberikan nenek moyang secara turun-temurun, perilaku
karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar tanpa perencanaan.
Pemikiran feminis yang juga memahami kualitas gender yang berusaha
memberikan keadilan terhadap laki-laki dan perempuan dalam hampir semua aspek
kehidupan seperti bahasa, kerja, peran keluarga, pendidikan dan sebagainya, feminis
baerusaha apresif terhadap relasi gender untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas
pembagian kekuasaan. Dengan pemaparan tersebut wanita diberikan hak dalam
memilih jalan yang baik bagi kehidupannya, termasuk pilihan hidup tidak menikah.
Dalam asumsi masyarakat yang sebagian besar menganggap pilihan tersebut sebagai
33
penyimpangan. Disini akan dikaji dan dilihat bagaimana sebenarnya permasalahan ini
ditelusuri dengan penelitian pada masyarakat etnis Batak Toba di Kota Medan.
34
BAB III
METODE PENELITIAN
35
36
3.3.2 Informan
Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian.
Adapun informan yang menjadi subjek penelitian ini dibedakan atas dua jenis yakni,
informan kunci dan informan biasa yang dapat mendukung penelitian. Dalam hal ini
informan terbagi dua, yaitu informan kunci dan informan biasa.
1. Informan Kunci
Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci dalam pengumpulan data
adalah
a) Wanita karir etnis Batak Toba yang tidak menikah usia di atas 35 tahun
keatas.
b) Keluarga atau orangtua yang masih memiliki anak perempuan yang
belum menikah.
2. Informan biasa
Informan biasa adalah informan yang dapat memberi informasi tambahan yang
sifatnya lebih umum dan netral dan menjawab pertanyaan dalam wawancara.
Yang menjadi informan tambahan adalah tokoh adat / tokoh marga
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.4.1 Data Primer
Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan
cara penelitian lapangan, yaitu :
37
A. Metode Wawancara
Metode wawancara biasa disebut juga metode interview. Metode wawancara
proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka, antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai,
dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Salah satu bentuk
wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indept
interview).
Wawancara mendalam (indept interview) adalah merupakan proses tanya jawab
secara langsung yang ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan
menggunakan panduan atau wawancara.
B. Metode Observasi
Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data yang digunakan
untuk menghimpun data penelitian. Data penelitian tersebut dapat diamati oleh peneliti.
Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada
penelitian. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan daya yang mendukung hasil
wawancara.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek
penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan
mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen majalah, jurnal, internet, yang
dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.
38
3.5. Interpretasi Data
Interpretasi data merupakan tahap penyederhanaan data, setelah data dan
informasi yang dibutuhkan dan diharapkan telah terkumpul. Data-data yang telah
diperoleh dalam penelitian ini akan diinterpretasikan berdasarkan dukungan teori dalam
tinjauan pustaka yang telah ditetapkan sampai akhirnya akan disusun sebagai laporan
akhir penelitian.
Bogdan dan Biklen dalam (Moleong, 2007:248) menjelaskan analisis data
adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
data, mamilah-milahnya menjadi satuan data yang dapat dikelola, mensistensiskan,
membuat ikhtisarnya, mencarikan dan menemukan pola dalam menemukan apa yang
penting untuk dipelajari.
Data-data yang diperoleh dari lapangan akan diatur, diurutkan, dikelompokkan
dalam kategori pola atau uraian tertentu. Disini peneliti akan mengelompokkan datadata yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan sebagainya yang selanjutnya
akan dipelajari dan dikelola dengan seksama agar diperoleh hasil atau kesimpulan yang
baik. Setelah data terkumpul maka langkah berikutnya menginterpretasikan data.
Teknik yang digunakan untuk menginterpretasikan data adalah secara kualitatif. Semua
data-data yang terkumpul dari hasil wawancara disatukan kemudian data tersebut akan
diedit. Tujuannya adalah untuk melihat apakah dari semua hasil observasi wawancara,
internet, kajian pustaka dan teori dipergunakan untuk menginterpretasikannya.
39
3.6. Jadwal Kegiatan
NO
Kegiatan
Bulan
8
10
11
12
Pra Observasi
ACC Judul
Penyusunan Proposal
Seminar proposal
Revisi Proposal
Operasional Penelitian
Bimbingan
10
Sidang
40
3) Kebanyakan para informan mudah tersinggung jika ditanya mengenai pilihan
untuk tidak menikah, sehingga peneliti mendapat teguran dari informan.
41
BAB IV
INTERPRETASI DATA
4.1.
Setting Lokasi
Menurut catatan sejarah kota Medan, merupakan sebuah kampung kecil
bernama Medan Putri, yang letaknya tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang.
Selama kurang lebih 80 tahun, Medan telah berkembang menjadi kota Medan seperti
saat ini. Menurut Tengku Lukman Sinar, SH, dalam bukunya yang berjudul Riwayat
Hamparan Perak tahun 1971, Medan didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590
an. Guru Patimpus adalah seorang putra Karo bermarga sembiring Pelawi dan
berirtrikan seorang Encik Pulo Brayan.
Kampung Medan juga sering dikenal sebagai Medan-Deli. Lokasi asli kampung
Medan adalah sebuah tempat di mana sungai Deli bertemu dengan sungai Babura.
Terdapat berbagai kerancuan dari berbagai sumber literatur mengenai asal usul kota
Medan itu sendiri. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa kota Medan berasal
dari nama Medina, dan sebagian lagi mengatakan bahwa disebutkan kata Medan
karena kota ini merupakan tempat atau area bertemunya berbagai suku sehingga disebut
sebagai medan pertemuan.
Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang suku Karo. Hanya setelah
penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, menirimkan panglimanya, Gocah Pahlawan
Bergelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil karajaan Aceh di Tanah Deli,
barulah kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan ini ikut memdorong
pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan Medan. Di masa pemerintahan
Sultan Deli kedua, Tuanku Panglima Parunggit (memerintah dari 1669-1698), terjadi
42
sebuah perang kavaleri di Medan. Sejak saat itu, Medan menjadi pembayar upeti
kepada Sultan Deli.
Di luar Pulau Jawa, Medan merupakan contoh perkembangan kota yang pesat.
Medan semula hanya bernama kampung Medan, yang terletak di pertemuan sungai Deli
dan sungai Babura. Guru Patimpus mulai merintis pemukiman Medan menjadi pusat
perdagangan pada tahun 1642. john Anderson, seorang pegawai kerajaan Inggris dari
Penang, dalam kunjungannya ke Medan pada tahun 1823 menentukan bahwa Medan
saat itu masih merupakan sebuah kampung kecil berpenduduk sekitar 200 orang.
Belanda menguasai Tanah Deli sejak tahun 1858, setelah Sultan Ismail, penguasa
Kerajaan Siak Sri Indrapura, memberikan beberapa berkas tanah kekuasaannya, Deli,
Langkat dan Serdang.
Medan mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasapenguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau.daun
tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli
di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik. Hal ini menarik investor asing dan
menyebabkan banyak orang-orang dari daerah lain yang pindak ke daerah Deli untuk
mencari nafkah.
Tahun 1918, Medan dijadikan kota Praja, tetapi tidak termasuk di dalamnya
daerah kota Maksum dan daerah sungai Kera yang tetap berada di bawah kesultanan
Deli. Ketika itu, penduduk Medan telah berjumlah 43.826 jiwa dan terdiri dari 409
orang bangsa eropa, 25.000 orang bangsa Indonesia, 8.269 orang bangsa Cina, dan 130
orang bangsa Asia lainnya.
43
Berdasarkan keputusan Gubernur Propinsi Sumatera Utara No. 66/III/PSU,
terhitung mulai tanggal 21 September 1951, daerah kota Medan diperluas tiga kali lipat.
Keputusan tersebut disusul oleh maklumat Walikota No. 21 tanggal 29 September 1951
yang merupakan luas kota medan menjadi 5.130 Ha dan meliputi 4 Kecamatan, yaitu :
1) Kecamatan Medan Kota
2) Kecamatan Medan Timur
3) Kecamatan Medan Barat
4) Kecamatan Medan baru dengan keseluruhan 59 kepenghuluan.
Melalui UU darurat No. 7 dan 8 tahun 1956 dibentuk di Propinsi Sumatera
Utara daerah Tingkat II, antara lain, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan
khususnya
memerlukan
perluasan
daerah
untuk
mampu
menampung
laju
perkembangan penduduk. Oleh karena itu dikeluarkan perintah No. 22 tahun 1973,
dengan masuknya beberapa Kabupaten deli Serdang ke dalam Kota Medan, sehingga
belakangan ini wilayah kota Medan menjadi 116 kelurahan. Kemudian dengan surat
persetujuan Mendagri No. 140/2271/PVOP tanggal 30 Mei 1986, jumlah kelurahan di
Kota Medan menjadi 144 kelurahan yang kemudian pada tahun 1997 menjadi 151
kelurahan.
Kemudian melalui peraturan pemerintah RI No. 35 tahun 1992 tentang
pembentukan beberapa kecamatan termasuk Kecamatan di Sumatera Utara termasuk
dua kecamatan pemekaran di kota Daerah Tingkat II medan, sehingga sebelumnya
tersiri dari 19 kecamatan di mekarkan menjadi 21 kecamatan (BPS Kota Medan, Kota
Medan Dalam Angka, 2006:26).
44
Kota Medan merupakan salah satu dari 17 daerah tingkat II di daerah Sumatera
Utara, yang terletak di bagian Timur Propinsi Sumatera Utara dan berada diantara 2
27'-2 47'LU dan 98 35'-98 44' BT. Permukaan tanahnya cenderung miring ke Utara
dan berada pada ketinggian 2,5-37,5 m di atas permukaan laut. Luas Kota medan saat
ini adalah 265.10 km. Sebelumnya hingga tahun 1972 Medan hanya mempunyai luas
sebesar 51.32 km, namun kemudian diedarkan Peraturan Pemerintah no. 22 tahun
1973 yang memperluas wilayah Kota Medan dengan mengintegrasikan sebagian
wilayah Kabupaten Deli Serdang.
Kota Medan merupakan pusat pemerintahan tingkat II Propinsi Sumatera Utara
dengan jumlah penduduk sekitar 2.083.156 jiwa. Secara geografis Kota Medan
berbatasan dengan sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang,
sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang dan
sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan percut Sei Tuan dan Tj. Morawa
Kabupaten deli Serdang (BPS Kota Medan, Karakteristik Kota Medan 2001:11).
Laju pertumbuhan penduduk adalah perubahan penduduk yang terjadi jika
dibandingkan dengan sebelumnya dan dinyatakan dengan persentase. Komponen
kependudukan umumnya menggambarkan berbagai dinamika sosial yang terjadi di
masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurut hasil sensus penduduk tahun
2001 diperoleh laju pertumbuhan penduduk Kota Medan tahun 1991-2001 (9 tahun 8
bulan) sebesar 1,17% pertahun.
45
Berdasarkan data yang ada pada kantor BPS kota Medan ada kecenderungan
peningkatan jumlah penduduk kota Medan dari 2.067.288 jiwa pada tahun 2006
menjadi 2.083.156 jiwa pada tahun 2007. Walaupun meningkat namun tidak terlalu
mencolok, bahkan laju pertumbuhan penduduk cenderung lebih rendah tahun 2007
dibandingkan tahun 2006. seiring bertambahnya jumlah penduduk maka pada tahun
2007 menjadi 7.858 jiwa/KM.
Komposisi
penduduk
Kota
Medan
berpengaruh
terhadap
kebijakan
46
Masyarakat kota Medan pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani,
pedagang dan bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta. Dengan potensi
utama daerah dibidang agribisnis dan sektor pariwisata. Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan
pembangunan ekonomi daerah. Karena penduduk mengalami peningkatan dan berarti
pula kebutuhan ekonomi juga akan bertambah. Hal ini hanya bisa diperoleh melalui
peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau sering disebut PDRB atas dasar
harga konstan setiap tahun. Jadi dalam pengertian ekonomi makro, pertumbuhan
ekonomi adalah penambahan PDRB atas dasar harga konstan.
Sejalan dengan
peningkatan PDRB ADH konstan tahun 2000 kota Medan selama periode 2005-2007,
pertumbuhan ekonomi kota Medan selama periode yang sama, meningkat rata-rata di
atas 7,77 persen (http://www.pemkomedan.go.id/perekonnomian -pertumbuhan.php).
Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia yang mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Dalam perkembangannya kota Medan tidak lepas dari
peran suku bangsa pendatang misalnya etnis Cina, Batak, Jawa, Minang yang membaur
dengan suku asli yaitu suku melayu. Kota Medan merupakan salah satu daerah yang
sering dijadikan tempat dimana masyarakat lain datang untuk memulai hidup barunya
untuk memulai bekerja (http://www.kaskus.us/archive/index.php/t-897381.html, selasa
13-10-2009).
Interaksi yang terbangun diantara berbagai suku tersebut mendorong
pertumbuhan ekonomi yang kebanyakan bergerak dalam sektor informal terutama
sektor perdagangan. Perpaduan berbagai suku bangsa yang terdapat di kota Medan
mampu menciptakan keadaan yang rukun, damai dan kondusif bagi iklim usaha dan
47
perdagangan yang memberi citra yang positif bagi kota Medan, sebagai salah satu kota
yang paling aman dan rukun. Dengan keadaan tersebut kota Medan sering dijadikan
salah satu wilayah tujuan urbanisasi dari berbagai wilayah di Indonesia. Ini dilihat dari
permukiman yang ada di kota Medan yang saling berdekatan dan mempunyai tingkat
solidaritas yang cukup baik. Dilihat juga dari berbagai suku / etnis dan agama yang
saling berdekatan dan dapat menjalin hubungan dengan baik. Masyarakat setempat
membentuk kelompok-kelompok seperti STM (serikat tolong-menolong) baik sesama
etnis
dan
lain
etnis,
kumpulan
marga
dan
sebagainya
48
Boru dalam masyarakat Batak Toba menunjukkan secara nyata bahwa
kelompok boru/ bere selalu bersikap hormat terhadap hula-hula. Dan sebaliknya,
kelompok hula-hula selalu bersikap baik terhadap borunya. Dengan pengertian lain,
saling hubungan diantara mereka selau berlangsung dalam sikap saling menghormati
dan saling menghargai. Dan sikap-sikap terhormat dalam tingkat sopan santun yang
tinggi itu nyata melalui sapaan-sapaan yang penuh penghormatan dalam tutur kata yang
baik. Semua itu pada dasarnya bersumber pada harkat posisi perempuan dalam struktur
Dalihan Natolu. Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa
hal merupakan masyarakat yang sangat patriarkat. Dalam masyarakat Batak Toba yang
menganut sistem tersebut melihat perempuan yang telah melahirkan anak laki-laki akan
sangat dihargai dan sebaliknya perempuan yang tidak melahirkan anak laki-laki
dianggap
rendah,
karena
sistem
marga
di
bangun
di
kalangan
laki-laki.
Dalam adat yang ada pada masyarakat Batak, perempuan tidak terlalu
mempunyai peran yang cukup besar dalam acara adat yang dilakukan, artinya dalam
pembagian kerja setara dengan yang lain. Perempuan hanya digunakan sebagai
ungkapan parhobas (pelayan) pada setiap acara pesta. Masyarakat Batak Toba masih
melekatkan budaya patriarkat, dimana segala sesuatunya dilakukan dan diatur oleh lakilaki. Hal ini yang dikatakan informan saya G.P (Lk, 52 thn) yaitu :
49
50
untuk bekerja dan bersama keluarga. Karena ketika berkeluarga, kehidupan seseorang
tidak bebas lagi. R.R juga mengatakan bahwa dengan memilih untuk tidak menikah
bukan berarti kita tidak bahagia. Belum tentu bagi orang yang sudah menikah memiliki
kehidupan yang bahagia. Informan R.R sudah cukup bahagia dengan keadaannya.
Sehubungan dengan wanita karir, informan R.R mengatakan lebih banyak
menghabiskan waktunya diluar (bekerja) dari pada bersama keluarga sendiri.
Kesibukan R.R membuat dirinya lupa akan fungsinya sebagai wanita untuk berkeluarga
dan mempunyai keturunan. Namun hal itu tidak membuat R.R untuk malu dan minder
dengan keadaan lingkungan di sekitarnya. R.R memilih tidak menikah karena merasa
ingin bebas tanpa ada aturan dan ikatan dari orang lain yang dapat membatasi dirinya
untuk berkarir.
2) I.S (Pr, 38 tahun)
I.S adalah seorang wanita yang bertempat tinggal di kota Medan, tepatnya di Jl.
Puri. I.S beragama Kristen Protestan yang merupakan suku Batak Toba yang lahir asli
di Kota Medan. Tingkat pendidikan terakhir I.S adalah Sarjana jurusan ekonomi dari
perguruan tinggi negeri. Saat ini I.S bekerja sebagai pembukuan di perusahaan swasta.
Di samping pekerjaannya, I.S juga membuka usaha dengan saudaranya yaitu usaha
dagang baju untuk anak-anak remaja sekarang ini. Perkembangan usaha dagang itu
menghasilkan keuntungan yang bisa dikatakan lumayan besar, apalagi banyak yang
datang untuk membeli. I.S saat ini tinggal dengan kedua orang tuanya, dan I.S anak
kelima dari 5 bersaudara.
Kegiatan atau kesibukan yang dilakukan, menurutnya sangat membantu untuk
dapat berkarier lebih baik lagi. Dengan memiliki berbagai kesibukan membuatnya lebih
51
berarti dan lebih dipandang di kalangan keluarganya. Yang berarti orang-orang tidak
dapat memandang sebelah mata atau sepele dengan dirinya yang hingga saat ini belum
menikah. Dengan seperti itu, orang-orang akan berpikir bahwa dengan belum menikah
diakibatkan karena kesibukan dalam meniti karirnya.
3) R.N (Pr, 41 tahun)
R.N adalah salah satu wanita yang saat ini belum menikah pada usia yang sudah
cukup tua. R.N wanita berusia 41 tahun, beragama Kristen Protestan, bersuku Batak
Toba. R.N warga asli kota Medan yang bertempat tinggal di Jl. Sempurna Ujung.
Pendidikan terakhirnya adalah Sarjana Ekonomi dari Universitas swasta di Kota
Medan. Saat Ini R.N bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Pemko Medan.
Disamping itu R.N juga mempunyai bisnis MLM (Multi Level Marketing) produk
kosmetik. Hal itu dilakukan sampingan dari pekerjaannya sebagi PNS. Tinggal dengan
orang tua merasa cukup nyaman dan juga menyenangkan, selain dapat membahagiakan
orang tua. Orang tua R.N juga maklum dengan keadaannya yang hingga saat ini belum
menikah.
R.N berpendapat wanita yang memilih untuk tidak menikah dapat dikatakan itu
adalah kemauan dari diri sendiri. Wanita yang belum menikah pada usia yang sudah
sewajarnya dapat diakibatkan karena trauma yang dialami keluarga. Dikatakan juga,
wanita yang menikah tidak lagi dapat berlaku bebas saat ia hidup melajang. R.N
mengatakan bahwa dengan menikah berarti membatasi pergaulannya dengan temanteman dan membatasi diri untuk berkarir.
4) J.S (Pr, 49 tahun)
52
J.S seorang wanita yang pada usia 49 tahun belum menikah, beragama Kristen
Prostestan dan suku Batak Toba. Pendidikan terakhir J.S adalah sarjana muda dan telah
bekerja di salah satu perusahaan swasta. Belum menikah tidak membuat J.S khawatir
akan usianya yang sudah semakin tua. Bagi J.S saat ini memilih untuk menghabiskan
waktunya dengan mengurus orang tuanya yang tinggal sendiri.
Profil Informan Tokoh Adat
1. St. Drs. G.P (Lk, 52 tahun)
G. P adalah seorang sintua di Gereja GKPI Teladan, dan juga merupakan tokoh
adat di punguan marga Panggabean yang ada di Kota Medan. Informan G.P bekerja di
sekolah SMUN 1 Tanjung Morawa. G.P mempunyai 1 orang istri boru (marga)
sitompul dan mempunyai 3 anak yang ketiganya masih kuliah. Anak informan G.P
terdiri dari 2 wanita dan 1 laki-laki. Informan G.P dikenal dengan sosok bapak yang
ramah terhadap siapa saja, karena tanggung jawab informan sebagai seorang sintua di
sebuah gereja GKPI Teladan. Sikap melayani informan G.P sangat mencerminkan
sosok seseorang yang penuh dengan wibawa. Saat ini usia informan memasuki 50
tahun, dan tinggal di Pintu Air, Sp. Limun Medan.
Pada saat informan G.P aktif dalam kegiatan marga/boru panggabean sebagai
tokoh adat. Dan informan juga sering dipanggi dalam upacara adat yang dilangsungkan,
apabila ada suatu acara besar.Informan G.P juga merupakan bagian pengurus BPH
dalam dalam kepengurusan gereja. Informan menjabat sebagai sekretaris yang
merangkup sebagai sintua di Gereja GKPI Teladan.
Pandangan Informan G.P terhadap fenomena wanita tidak menikah biasa saja.
Karena hal itu sudah tidak asing lagi. Namun menurut G.P, dalam masyarakat Batak
53
Toba, suatu pernikahan sangatlah berarti untuk memenuhi kehidupan mereka sebagai
masyarakat Batak Toba. Karena pada umumnya masyarakat Batak Toba memiliki
berbagai adat yang sangat penting, seperti pernikahan, kematian, dan sebagainya.G.P
mengatakan, bahwa akar dari suatu adat adalah ketika seseorang sudah menikah.
2. St. R.H (Lk, 59 tahun)
R..H adalah seorang informan yang sudah tidak bekerja lagi, karena sudah
pensiun. Informan R.H dikenal dimana saja dan termasuk dalam ikatan marga, STM,
dan Gereja. Informan R.H lahir di Tarutung, yang saat ini bertempat tinggal di Teladan
dengan anak-anaknya R.H mempunyai 1 orang istri boru Hutabarat dan telah
meninggal dunia pada tahun 1997, namun R.H tidak ingin menikah lagi, mengingat
tanggung jawabnya terhadap anak-anaknya untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga
berhasil semua. Anak bapak R.H terdiri dari 4 orang, yaitu 2 laki-laki dan 2 perempuan.
3 anaknya telah selesai kuliah dari perguruan tinggi negeri dan telah bekerja di instansi
pemerintah, 1 lagi masih kuliah. Saat ini bapak R.H tidak bekerja, karena dilarang
anak-anaknya. Bapak R.H dulunya bekerja sebagai pelayaran, namun sudah tidak lagi
karena sustu alasan.
Saat ini kegiatan informan R.H adalah aktif dalam kegiatan gereja, STM dan
sebagainya. Informan R.H mempunyai fungsi di marga Hutagalung sebagai Ketua
Sektor, di marga/boru Hutabarat sebagai pengurus rohani, dan R.H juga merupakan
sintua di gereja GKPI Teladan Timur Medan. Sering setiap ada pesta, informan R.H
selalu dipanggil / diundang untuk dapat menghadiri upacara yang disediakan. Peran
informan R.H sangat diperlukan untuk kepentingan yang diselenggarakan. Dengan
mengikuti berbagai kegiatan, informan R.H
54
berpartisipasi dalam acara adat yang diadakan. Menurut informan dengan adanya adat
yang diselenggarakan, berarti hal tersebut memperkuat talipersaudaraan terhadap
masyarakat Batak Toba.
Informan R.H mengatakan, bahwa arti pernikahan bagi masyarakat Batak Toba
merupakan ikatan antara dua keluarga saling menyatu, bukan hanya dua pasang
individu yang saling berhubungan. Menurut informan R.H, pernikahan sangatlah
penting bagi masyarakat Batak Toba untuk dapat mempunyai keturunan yang disebut
dengan hagabeon, yang mempunyai banyak keturunan dan panjang umur.
3. R.N (Lk, 68 thn)
Informan R.N adalah seorang bapak yang pendiam. Keseharian R.N adalah
dirumah bersama istri menghabiskan waktu bersama cucu-cucu mereka. R.N adalah
pensiunan Pegawai Negeri Sipil dari Pemko Medan. R.N sudah lama tinggal di Medan
dengan membesarkan 5 anak, 3 putra dan 2 putri yang seluruhnya telah menikah.
Kegiatan sehari-hari informan selain dirumah juga ikut berperan serta dalam adat yang
diadakan. Banyak undangan yang selalu datang kepada informan supaya dapat
menghadiri undangan tersebut.
Informan R.N mengatakan mengerti mengenai akan adat. Bagi orang Batak adat
merupakan sesuatu yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Dengan mengikuti
berbagai kegiatan, R.N merasakan sangat senang ikut berpartisipasi dalam acara adat
yang diadakan. Menurut R.N dengan adanya adat yang diselenggarakan, berarti hal
tersebut memperkuat tali persaudaraan terhadap masyarakat Batak Toba. R.N
mengatakan banhwa pernikahan adalah sesuatu hal yang sangat sakral. Hal ini berarti
kedua pasangan telah disatukan dan di berkati di gereja, yang dilakukan di depan
55
banyak orang dan juga di hadapan Tuhan, yang tidak dapat dipisahkan oleh siapapun
kecuali maut yang memisahkan pasangan. Bagi masyarakat Batak menikah itu berarti
menyatukan dua marga yang berlainan.
Tanggapan R.N mengenai maraknya wanita yang hidup melajang yaitu
diakibatkan oleh semakin majunya teknologi dan pengetahuan yang sekarang ini
terjadi. Wanita jadi tidak memperdulikan lagi harapan dari keluarga mereka yang
menginginkan anaknya untuk dapat berumah tangga. Pada dasarnya dalam masyarakat
Batak Toba melekat budaya dan adat yang sangat mengikat masyarakat itu sendiri.
Informan R.N juga mengatakan bahwa fungsi dari pernikahan itu bisa mempengaruhi
posisi kita dalam adat Batak Toba. Karena pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan
banyak adat.
4. K.P (Lk, 68 thn)
K.P merupakan salah satu tokoh adat dari beberapa informan saya yang
diwawancarai. K.P merupakan seseorang yang memiliki jiwa pemimpin yang sangat
dikagumi oleh banyak orang termasuk keluarga sendiri dan tentunya juga si
pewawancara. K.P sangat baik pada semua orang, dan ketika melakukakan wawancara,
beliau mengetahui semua mengenai adat. Bagi informan K.P tidak ada yang yang lebih
berarti dalam masyarakat Batak Toba jika belum mengenal adat dan budaya sendiri.
Informan K.P adalah pensiunan dari guru. Dan informan K.P juga memiliki anak 6
yang terdiri dari 3 putra dan 3 putri, dan yang menikah sudah 4orang. 2 orang anak
informan masih belum siap untuk menikah karena masih dikatakan terlalu muda,
namun sudah dilamar.
56
Kegiatan sehari dari K.P adalah membuka usaha ponsel dirumahnya bersama
istrinya. Informan K.P mendirikan usaha di depan rumahnya dengan kios kecil-kecilan.
Jadi orang dapat berhenti untuk mengisi pulsa tempat mereka. Pandangan informan
terhadap fenomena yang terjadi saat ini dimana banyak wanita yang belum menikah
adalah biasa saja, walaupun menurut informan hal itu sudah melanggar dari aturan adat
yang ada pada masyarakat Batak itu sendiri. Namun, K.P juga mengatakan bahwa ini
kembali lagi pada perilaku masnusia itu sendiri menjalani kehidupan mereka sendiri,
bagaimana baiknya menurut mereka. Pilihan hidup ada pada mereka sendiri.
4.3. Interpretasi Data
1. Pandangan Masyarakat Batak Toba Mengenai Perkawinan, Adat dan
Kekerabatan
Perkawinan bukanlah sekedar ritus untuk mengabsahkan hubungan seksual
antara dua jenis manusia, tetapi hubungan yang masing-masing mempunyai peranan
penting untuk menjaga keutuhan lembaga tersebut. Setiap perkawinan mempunyai
tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Kebahagian lahir dan bathin
menjadi dambaan setiap manusia.
Perkawinan pada hakikatnya merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara
pria dan wanita di dalam masyarakat di bawah satau peraturan khusus atau khas dan
hal ini sangat diperhatikan baik oleh agama, negara maupun adat, artinya bahwa dari
peraturan tersebut betujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain
sehingga pasangan ini diterima
kewajiban untuk dijalankan oleh keduanya, sehingga pria itu bertindak sebagai suami
57
sedangakan wanita bertindak sebagai istri. Hasil temuan penelitian informan
mempunyai pandangan yang berbeda mengenai pernikahan sebagimana yang
dikemukakan oleh R.R (Pr, 42 thn) sebagai berikut :
Hal ini sejalan juga dengan informan saya I.S (Pr, 38 thn), sebagai berikut :
58
adat, dan upacara-upacara adat lainnya seperti menyambut lahirnya seorang anak dan
sebagainya. Perkawinan orang Batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan
Dalihan Natolu. Dalam masyarakat Batak Toba perkawinan juga mempengaruhi pola
kekerabatan dan hubungan tertentu antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.
Ini terlihat pada masyarakat Batak Toba yang mempengaruhi pola kekerabatan dan
hubungan tertentu antara kedua keluarga. Hal serupa juga dikatakan informan saya R.H
(Lk, 58 thn), yaitu :
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.N (Lk, 68 thn)
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R. S (Pr, 67 thn), yaitu :
59
mengganjal periuk saat memasak nasi. Falsafah analogi alat memasak nasi dengan
hubungan keluara, dalihan natolu berarti di topang oleh tiga struktur bahwa dalam
mengadakan setiap acara dalam adat masing masing, memiliki peran agar acara tersebut
bisa berjalan yaitu :
1. Boru/ putri : pihak keluarga menantu berfungsi sebagai parhobas/pelayan yang
mengurus segala kepantingn acara "elek marboru" yang berarti harus perduli dan
menyayangi pihak menantu.
2. Dongan sabutuha/teman seperut means dari rahim yang sama : kakak beradik,
saudara setali-sedarah kakak beradik dalam garis patri, merupakan sumber utama
pendanaan dari suatu acara misalnya pernikahan. "Manat mardongan sabutuha"
harus hati2 menghadapi kakak beradik.
3. Hula-hula somba marhula-hula/ hormat terhadap besan dalam hal ini kita berada
dalam pihak wanita atau istri. Seperti yang dikatakan informan saya bapak G.P (lk,
52 thn), yaitu :
Keluarga bukan saja sebagai suatu wadah hubungan antara suami dan istri atau
anak-anak dan orang tua, tapi juga sebagai suatu rangkaian tali hubungan antara
jaringan sosial dan anggota-anggota keluarga, dan jaringan yang lebih besar yaitu
masyarakat. Perkawinan antara keduanya adalah petunjuk yang terbaik, bahwa garis
keluarga yang satu memandang yang lainnya kira-kira sama secara sosial dan
ekonomis. Sebagaimana halnya dengan institusi lain, maka keluarga pun menjalankan
fungsi. Para ilmuwan sosial ahli sosiologi mengidentifikasikan berbagai fungsi.
60
Menurut Horton dan Hunt dalam (Suadah, 2005:36) mengidentifikasikan beberapa
diantaranya, yaitu fungsi pengaturan seks, reproduksi, sosialisasi, afeksi, defenisi status,
perlindungan, dan ekonomi.
Perkawinan merupakan lembaga yang dapat diartikan dengan terciptanya suatu
ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam
bentuk rumah tangga atau keluarga konjunggal/ keluarga yang lebih luas. Dengan
menikah berarti mampu merealisasi salah satu tujuan hidup manusia yang paling utama,
yaitu mempunyai keturunan (hagabeon). Para individu yang baru berkembang, yang
dilahirkan ke dalam suatu keluarga, harus mengalami suatu proses belajar sehingga
akan mengambil alih nilai-nilai yang umum berlaku dalam kelompoknya. Dan dalam
masyarakat umum, ia diharapkan akan memiliki sifat-sifat yang menurut sekitarnya
dimiliki oleh seorang pria atau wanita dewasa, sehingga dapat secara mandiri
mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan peranan mereka (Kamanto,
2000:49).
Bagi masyarakat Batak Toba pernikahan sebagai bagian identitas seseorang.
Kehidupan dianggap lengkap jika seseorang sudah menikah. Fakta ini dapat dilihat dari
hasil wawancara dengan informan saya R.S (Pr, 67 thn), sebagai berikut :
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.H (Lk, 58 thn), yaitu :
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.N (Pr, 42 thn), yaitu :
61
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn), yaitu :
Sebagaimana dari hasil observasi si peneliti secara umum, bahwa peneliti juga
melihat adanya keengganan dari informan untuk menjawab pertanyaan yang diberikan
mengenai pernikahan dan hubungannya dengan para informan melihat wanita yang
belum menikah di usia yang sudah dewasa (Observasi, 15 Mei 2009, Pkl. 18.00).
A. Perempuan Batak Karir dan Perkawinan
Sebagian masyarakat masih menggunakan jenis kelamin sebagai kriteria utama
dalam pembagian kerja sosial individu-individu. Dan pada umumnya semua
62
masyarakat mempunyai suatu pembagian kerja menurut jenis kelamin yang terstruktur,
dan konsepsi-konsepsi ideologis mengenai laki-laki dan wanita. Dalam kebanyakan
masyarakat demikian, kegiatan kaum wanita sangat ketat diawas dan sering mendapat
perhatian khusus terhadap seksualitas kaum wanita. Status kaum wanita di dalam
masyarakat agraris, pada umumnya demikian rendahnya sehingga mereka diperlakukan
seperti orang yang belum dewasa dan yang selalu bergantung (Suadah, 2005: 189).
Teori feminis pada umumnya,
berpendapat
masyarakatlah yang merupakan penentu status wanita yang penting, tetapi perspektif ini
yakin bahwa ada faktor lain yang mungkin lebih penting. Faktor itu ialah patriarkhi,
yakni seperangkat sifat perilaku dan ideologis yang kompleks yang membuat laki-laki
menuntut dominasi atas wanita (Hamilton dalam George Ritzer 2007:403).
Secara sosiologis perkawinan atau pernikahan merupakan legalisasi penyatuan
antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri oleh institusi agama, pemerintah
atau kemasyarakatan. Pada masyarakat luas pernikahan tetap dianggap sebagai momen
terpenting yang masih senantiasa ditunggu sepanjang perjalanan hidup seseorang.
Masyarakat kita masih melekatkan pernikahan sebagai bagian identitas seseorang.
Kehidupan dianggap lengkap jika seseorang sudah menikah dan mempunyai keturunan,
namun mampu membuat orang yang ditanya mengambil waktu panjang untuk berpikir
masih ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya.
Saat ini banyak wanita yang terlibat pada sektor industri yang mengakibatkan
terjadinya pergeseren pada wanita yang memilih hidupnya tidak menikah atau hidup
melajang. Peneliti juga melihat bagaimana kehidupan wanita karir dilalui dengan
kesibukan dalam pekerjaan yang ada pada mereka, karena dengan bekerja wanita karir
63
dapat menghabiskan waktunya di luar dengan berbagai kegiatan yang mereka lakukan.
(Observasi, 15-04-2009). Melalui cara seperti ini wanita karir tidak terlalu memikirkan
kehidupan mereka yang selalu dibayang-bayangi untuk menikah. Hal ini juga yang
dikatakan informan saya J.S (Pr, 49 thn) yaitu :
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn) yaitu :
Dengan saya bekerja, membuat diri lupa akan desakan
untuk menikah, karena dengan bekerja, perempuan
akan lebih dihargai.
Masyarakat perkotaan seperti kota Medan menganggap bahwa fenomena
pilihan wanita karir untuk tidak menikah merupakan pilihan yang wajar bagi para
wanita, ini dapat dilihat dari tanggapan perlakuan masyarakat yang tidak terlalu
mempermasalahkan status mereka. Ini juga didorong oleh kehidupan mandiri,
kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan juga membantu
keluarganya. Hal ini juga yang menjadi alasan wanita mendapat kepuasan dan
kebahagiaan tanpa memaksa mereka untuk menikah. Seperti yang dikatakan informan
saya J.S (Pr, 49 thn), yaitu :
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn ) yaitu :
64
dengan berada di tengah-tengah keluarganya, memiliki kegiatan, pekerjaan yang layak
yang secara tidak langsung bertujuan untuk kemapanan dalam sektor ekonomi.
Walaupun terdapat informan yang mengatakan bahwa dengan menikah juga merupakan
salah satu arah mendapatkan kebahagiaan. Seperti yang dikatakan informan saya R.N
(Pr, 41 thn), yaitu :
Orang yang menikah tidak sama bahagianya dengan
yang belum menikah. Ada perbedaan tersendiri bagi
mereka yang telah menikah.
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn), yaitu :
Wanita yang menikah akan bahagia, karena telah
menemukan pasangannya.
Dalam hal ini pernikahan menurut informan merupakan hal yang didambakan
pada setiap pasangan untuk dapat memulai kehidupan yang baru dengan berkeluarga,
namun pernikahan bagi wanita karir yang belum menikah bukan menjadi suatu masalah
bagi mereka. Ini dapat dilihat dari keterangan informan saya I.S (Pr, 38 thn), yaitu :
Hal ini juga sama dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn), yaitu :
mereka dengan kesendirian. Bagi wanita karir, dengan tidak menikah bukan berarti
65
perjalanan hidup mereka berhenti dengan begitu saja. Wanita yang memilih tidak
menikah masih dapat melakukan kegiatan mereka seperti biasa.
B. Latar Belakang Pilihan Wanita Karir Tidak Menikah
Individu masyarakat akan mengalami proses sosialisasi agar ia dapat hidup dan
bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat di mana
individu itu berada. Individu dapat menjadi makhluk sosial yang dipengaruhi oleh
faktor keturunan atau alam (nature) dan faktor lingkungan (environment) atau asuhan
(nurture). Faktor keturunan adalah faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (ascribed) dan
merupakan transmisi unsur-unsur dari orang tuanya melalui proses genetika, misalnya
jenis kelamin, suku dan sebagainya. Sedangkan faktor lingkungan adalah faktor luar
yang mempengaruhi organisme, yang membuat kehidupan bertahan, misalnya
pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.
Kedua faktor ini sama pentingnya dan saling berinteraksi serta melengkapi
dalam membentuk perilaku tertentu dari individu. Jadi perilaku tertentu itu tergantung
pada faktor keturunan dan pada apa yang disediakan oleh lingkungannya. Perilaku
tertentu tidak mungkin terbentuk hanya karena faktor keturunan saja tanpa pengaruh
dari lingkungannya atau sebaliknya. Hanya saja setiap individu berbeda-beda dalam
perkembangannya mana yang lebih dominan, apakah faktor keturunannya ataukah
pengaruh lingkungannya (Suadah, 2005:34-35).
Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana wanita memilih hidupnya untuk tidak
menikah. Kebanyakan saat ini wanita sudah memiliki pendidikan yang tinggi. Wanita
tidak mau lagi menjadi bayang-bayang para laki-laki dan juga tidak mau ketinggalan
66
dari lawan jenisnya. Hal ini yang membuat para wanita tertarik dengan kehidupannya
dan pekerjaannya.
Wanita dari dahulu sudah bekerja, tetapi baru pada masyarakat industri
modernlah mereka itu berhak memasuki pasaran tenaga kerja sendiri untuk
memperoleh pekerjaan dan promosi tanpa bantuan atau perkenan para laki-laki. Wanita
dapat lebih bebas keluar atau masuk pasaran tenaga kerja, dan lebih diterima secara
ikhlas sebagai pekerja. Wanita telah diberikan kedudukan yang tinggi dalam segala
jenis pekerjaan. Banyak kemungkinan pada permulaan abad ini, sedikit sekali wanita
bekerja kecuali mereka yang terdorong oleh rasa ingin tahu mereka dan juga untuk
menaikkan jati diri mereka untuk dapat eksis di dunia publik atau menjadi wanita karir.
Hal ini serupa yang dikatakan informan saya J.S (Pr, 49 thn) yaitu:
Saya bekerja supaya tidak dianggap remeh oleh orang lain.
Hal yang sama juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn), yaitu :
dengan bekerja saya dapat membantu beban keluarga saya,
dan saya juga tidak mau dikatakan perempuan yang lemah
dengan tidak bekerja.
Banyaknya streotipe negatif akan ditujukan bagi mereka yang belum menikah di
usia yang dianggap sudah sepantasnya. Sebutan perawan tua tersedia bagi wanita yang
belum menikah. Label perawan tua yang diberikan kepada perempuan hanya
merupakan permulaan saja. Berbagai julukan juga akan didapati oleh perempuan,
seperti sombong, judes, pemilih, tidak laku dan sebagainya. Meningkatnya eksistensi
wanita dalam sektor industri membuat pola pikir perempuan semakin cerdas. Hal ini
menuntut bahwa perempuan harus berada pada posisi tinggi, sama seperti para laki-laki.
Jadi perbedaan antara pria dan wanita tidak ada lagi. Perbedaan hanya terdapat pada
67
faktor biologis, seperti dalam teori nature yang beranggapan bahwa perbedaan
psikologis antara wanita dan pria disebabkan oleh faktor-faktor biologis, sedangkan
dalam teori nurture beranggapan bahwa perbedaan tersebut terciptakan melalui proses
belajar dari lingkungan (George Ritzer, 2007: 404-405). Hal ini juga dikatakan
informan saya R.N (Pr, 42 thn) yaitu :
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn), yaitu :
Kekuasaan adalah seluruh jaringan hubungan yang telah mempunyai model atau
pola (struktur) yang mengandung sifat otoritas. Kekuasaan adalah hubungan, tetapi
bukan sembarang hubungan. Kekuasaan dalam arti hubungan yang mengandung
otoritas yang mempengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun
komunitas-komunitas yang lebih kecil. Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh
kekuasaan. Pertama bilamana orang melihat politik pada dasarnya sebagai arena
pertarungan atau medan pertempuran. Dalam hal ini kekuasaan memungkinkan mereka
yang berhasi merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan
kekuasaannya di dalam masyarakat. di samping itu, ada pihak lain yamng menentang
dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Disini kita lihat kekuasaan
memainkan peranan sebagai biang konflik dan alat untuk menindas. Sejalan dengan itu,
ini merupakan aspek dari antagonisme atau konflik dari kekuasaan atau politik
(Maurice Duverger, 1989:XIII).
68
Wanita bukan seperti dulu lagi yang selalu berada di bawah kekuasaan laki-laki.
Saat ini wanita sudah menduduki posisi yang sama dengan para laki-laki di dalam
berbagai bidang. Karena kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) membuat semua manusia yang ada di lapisan masyarakat berlomba untuk
bersaing dalam mencapai ambisi yang mereka ingini. Perkembangan IPTEK membuat
semua manusia yang ada di lapisan masyarakat berlomba untuk bersaing dalam
mencapai ambisi yang mereka ingini. Perkembangan IPTEK membuat kesibukan
sendiri pada diri masing-masing individu. Hal ini yang membuat fungsi mereka sebagai
manusia dalam pemenuhan kebutuhan terabaikan, salah satunya adalah perkawinan.
Dengan status sebagai wanita karir memberi mereka kebahagiaan tersendiri dengan
pekerjaan yang mereka jalani, karena pada dasarnya menjadi wanita karir jauh lebih
dihargai.
Hal ini serupa dengan tanggapan informan saya R.N (Pr, 41 thn) yaitu :
Manusia yang dari tadinya hanya sebagai makhluk yang bilologis melaui proses
sosialisasi, belajar tentang nilai, norma, bahasa, simbol, ketrampilan, dan sebagainya
untuk dapat diterima dalam masyarakat dimana ia berada. Untuk menjadi anggota
masyarakat normal atau diterima di dalam masyarakat, untuk ini diperlukan
kemampuan untuk menilai secara obyektif perilaku kita sendiri dari sudut pandang
orang lain. Kalau sudah memperoleh kemampuan tersebut berarti seseorang sudah
69
memiliki apa yang dinamakan self (diri). Self terbentuk dan berkembang melalui proses
sosialisasi, dengan cara berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Ciri orang yang
sudah memiliki self adalah orang yang sudah mampu merefleksikan atau
memberlakukan dirinya sebagai obyek dan subyek sekaligus (Soetomo 2008: 172-173).
Cooley menjelaskan teori tentang konsep looking glass self dimana senantiasa
dalam benak manusia terjadi suatu proses yang ditandai oleh tiga tahap terpisah yaitu ;
1) persepsi, dalam tahap ini kita membayangkan bagaimana orang melihat kita. Hal ini
terjadi pada wanita karier khususnya pada wanita suku Batak Toba yang memilih untuk
tidak menikah. Wanita karier yang tidak menikah dilihat dari lingkungan sekitar
dimana para wanita berada. Pandangan lingkungan sekitar dapat disimpulkan ada yang
bersifat positif dan negatif. Hal ini tergantung bagaimana wanita tersebut
mengekspresikan dirinya di lingkungannya ;2) interpretasi dan defenisi, disini kita
membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita; dan 3) respons,
berdasarkan persepsi dan interpretasi individu tersebut menyusun respons. Ketiga tahap
ini merupakan proses yang selalu terjadi pada diri kita (Robert M.Z Lawang, 1989: 2829).
Pengaruh lingkungan terhadap individu berperan sangat besar dalam mengubah
setiap pola tingkah laku manusia itu sendiri. Manusia mempengaruhi lingkungan dan
sebaliknya lingkungan juga berperan aktif dalam proses pendewasaan manusia.
Keberadaan lingkungan membuat pola pikir manusia untuk dapat berpikir lebih maju
lagi. Ini membuat para wanita untuk tetap eksis di dunia pekerjaan mereka, yang pada
akhirnya mereka hidup melajang. Berbagai alasan yang membuat mereka seperti itu,
ada yang mengatakan sangat berkompeten, supaya dikagumi dan sebagainya. Karena
70
ketika wanita sudah bekerja secara otomatis akan mengubah gaya hidup dan
kemandiriannya.
Hal ini juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn) yaitu :
Ketika sudah bekerja tentu segalanya akan berubah
Perempuan memang memang menerima tuntutan lebih besar untuk menikah,
terutama dari keluarganya. Dalam teori feminis mengatakan banyak orangtua
menganggap anak perempuannya tidak akan bahagia jika tidak bersuami, apalagi pada
masyarakat yang dikenal dengan budaya patriarkhi, yang mengharapkan anak
perempuannya untuk menikah khususnya pada masyarakat Batak Toba di kota Medan.
Berbagai alasan yang dapat menyebabkan wanita tidak menikah. Hal ini bisa
disebabkan pengaruh dari keluarga dan juga lingkungan mengenai kegagalan mereka
dalam membina berumah tangga. Wanita selalu berusaha untuk memberikan yang
terbaik pada keluarganya dengan melihak keadaan yang ada di lingkungan mereka
berada.
Hal ini juga serupa yang dikatakan oleh informan saya I.P (Pr, 38 thn), yaitu :
71
Sehingga dengan demikian wanita karir melihat pernikahan merupakan hal yang
penting bagi masyarakat Batak, namun untuk menikah para wanita karir tidak ingin
dipaksa atau didesak oleh keluarga. Dan juga bagi orangtua yang melihat anaknya tidak
menikah tidak ingin memaksa untuk menikah, karena bagi orangtua, dengan anaknya
sudah bekerja itu sudah membuat bahagia bagi keluarga.
Melihat kondisi masyarakat kita maupun beberapa masyarakat lain, kita akan
melihat banyaknya perawan tua hidup melajang atau tidak menikah. Hal ini dilihat
pada masyarakat Batak Toba di kota Medan dalam menentukan pilihan hidupnya.
Penyebab pertama memang telah ditakdirkan oleh Tuhan kepada setiap individu yang
ada di lapisan masyarakat, dan kedua juga karena faktor dari diri kita sendiri yang
dipengaruhi oleh lingkungan. Berikut beberapa alasan :
Alasan pertama yang sangat masuk akal dan juga banyak dijadikan alasan para
wanita untuk hidup melajang adalah masalah pekerjaan yang sering disebut dengan
karier. Wanita yang berada di perkotaan dan memiliki pendidikan yang cukup tinggi
dan juga sudah bekerja memiliki waktu yang terbatas untuk berhubungan dengan lawan
jenisnya secara istimewa. Karena para wanita sudah disibukkan dengan pekerjaan
mereka, hidup mereka hanya tersita pada pekerjaan dan orangtua. Dan hal ini juga yang
membuat para wanita untuk memilih lebih mengutamakan keriernya daripada
menghabiskan waktu dengan kekasih, yang menurut mereka juga belum pasti.
Hal ini juga dikatakan informan saya I.P (Pr, 38 thn), yaitu:
72
Alasan yang kedua yang juga sering dijadikan alasan para wanita adalah
masalah ekonomi atau kemampuan finansial. Para wanita merasa belum cukup
mapan atau siap untuk bisa membiayai kehidupannya dan juga kehidupan orang
yang menjadi pasangannya kelak, terutama jika sudah memperoleh anak. Mereka
berpikir bahwa untuk menenpuh sebuah keluarga diperlukan biaya yang sangat besar
untuk dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarga.
Alasan ketiga adalah karena menikah membuat wanita tidak lagi sebebas hidup
mereka melajang. Dengan menikah tentu saja semuanya akan berubah, dimana
tanggungjawab akan semakin besar selain tentunya membantu suami untuk mencari
nafkah. Kebebasan mereka juga jadi terbatas. Mereka harus membagi-bagi waktu antara
keluarga, pekerjaan di luar dan dirumah, teman-teman, serta juga tidak bisa seenaknya
pergi bersama teman-teman. Dan juga akan semakin sibuk, dengan adanya anak dalam
keluarga.
Alasan keempat adalah yang juga merupakan hal yang sangat penting adalah
kegagalan dalam membina rumah tangga. Ditinggal suami, perselingkuhan hingga
perceraian akan membuat diri tersiksa. Hal ini yang membuat wanita tajut hubungan
akan berakhir dengan tidak harmonis. Ini mungkin dapat dilihat pada anggota keluarga
mereka yang tidak berhasil membangun keluarga yang harmonis.
Berbagai alasan diatas yang sebagian besar membuat wanita khususnya pada
wanita Batak Toba memilih hidupnya untuk hidup melajang dengan kesendirian yang
menurut mereka bahagia. Ada banyak alasan yang dapat membuat wanita untuk
menentukan pilihan hidupnya menjadi melajang, namun yang paling utama adalah para
73
wanita tidak menikah karena disibukkan pekerjaan dan juga mereka tidak dapat sebebas
dulu lagi. Alasan itu yang menurut mereka paling utama.
Hal ini dikatakan informan saya I.S (Pr, 38 thn), yaitu :
Dengan demikian dapat dilihat pada wanita karir yang telah menentukan
hidupnya dengan memilih untuk tidak menikah. Pilihan yang telah diambil bukan
berarti membuat para wanita terabaikan. Tidak selamanya para wanita yang hidup
melajang merasa diasingkan atau dikucilkan. Ini dapat dilihat bagaimana orang lain
yang ada di lingkungan mereka menilai tingkah laku wanita yang ada di sekitar mereka.
Berbagai pandangan akan muncul dari mereka yang melihat para wanita yang hidup
melajang, dimulai dari yang negatif hingga positif. Dan itu tidak membuat para wanita
merasa tersisihkan. Menuru para wanita yang hidup melajang kebahagiaan tidak
74
selamanya diukur dari pernikahan. Dengan tidak menikah mereka juga dapat merasakan
kebahagiaan dari keluarga yang selalu mendukung mereka.
2. Pandangan Keluarga Terhadap Status Sosial Wanita Karir
Wanita dari dahulu sudah bekerja, tetapi baru pada masyarakat industri
modernlah mereka itu berhak memasuki pasaran tenaga kerja sendiri untuk
memperoleh pekerjaan dan promosi tanpa bantuan atau perkenan para laki-laki. Wanita
dapat lebih bebas keluar atau masuk pasaran tenaga kerja, dan lebih diterima secara
ikhlas sebagai pekerja. Wanita telah diberikan kedudukan yang tinggi dalam segala
jenis pekerjaan. Banyak kemungkinan pada permulaan abad ini, sedikit sekali wanita
bekerja kecuali mereka yang terdorong oleh rasa ingin tahu mereka dan juga untuk
menaikkan jati diri mereka untuk dapat eksis di dunia publik atau menjadi wanita
karier. Hal ini serupa yang dikatakan informan saya J.S (Pr, 49 thn) yaitu:
Hal yang sama juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn), yaitu :
Teori feminis mengamati bahwa setiap kehidupan terlepas dari kehidupan sex
biologis yang dipahami dalam pengertian kualitas gender, termasuk bahasa, kerja, peran
keluarga, pendidikan, sosialisasi, dan sebagainya. Terjadinya perubahan membuat
wanita Indonesia semakin cerdas, berpendidikan dan makin mudah beradaptasi dengan
perubahan. Dalam hal ini, keluarga telah membuat anak-anaknya menjadi agen
perubahan untuk kehidupan keluarga yang lebih baik.Dengan memilih untuk menjadi
wanita karir, membuat mereka lebih menikmati masa-masa kehidupan yang mereka
75
jalani. Dengan menjadi wanita karir membuat mereka dapat beradaptasi dan berperilaku
sesuai dengan apa yang mereka ingini. Hal ini diperkuat dengan tanggapan informan
saya R.H (Lk, 58 thn), yaitu ;
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.N (Pr, 41 thn), yaitu :
Pilihan hidup tidak menikah atau melajang adalah merupakan fenomena yang
tidak disukai oleh anggota keluarga, dan merupakan salah satu bentuk penyimpangan
bagi masyarakat. Problematika hidup melajang, dengan ungkapan yang lebih halus,
keterlambatan usia nikah adalah merupakan suatu fenomena yang menarik perhatian.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di tempat atau negara tertentu, tetapi hampir terjadi di
seluruh masyarakat dunia. Walaupun dengan identitas yang berbeda-beda, fenomena ini
telah menyebar dalam berbagai komunitas, baik yang ada di Timur maupun yang ada di
Barat. Ada ribuan, bahkan jutaan perawan tua yang hidup dalam keadaan melajang,
padahal
mereka
dulunya
mendambakan
hidup
menikah
(Muhyidin
Abdul
Hamid,2003:2-3).
Pernikahan menjadi sesuatu yang wajib dilakukan agar tidak dianggap
menyimpang dari norma masyarakat dan terhindar dari stereotip negatif. Adanya
tuntutan itu, baik pada perempuan maupun laki-laki, tidak heran jika banyak kaum
muda tertekan ketika belum mendapatkan pasangan di usia yang sudah dianggap pantas
menikah. Pada akhirnya mereka menikah dengan pasangan yang belum dikenal dengan
76
baik hanya karena usia seolah sudah mengejar. Bagi keluarga yang masih memiliki
anak yang belum menikah di usia yang sudah dewasa merupakan suatu masalah yang
sangat besar yang dapat mempengaruhi hubungan kekerabatan orangtua di masyarakat
luas dan juga dalam adat. Namun, bagi keluarga khususnya yang ada di perkotaan,
sudah tidak menganggap hal tersebut menjadi suatu masalah yang sangat besar, karena
pada umumnya sudah banyak dijumpai saat ini wanita yang hidup melajang yang
disebabkan karena pekerjaan (Observasi, 25-03-2009). Hal ini juga dikatakan oleh
informan saya R.N (Lk,67 thn), yaitu :
Hal yang sama juga dikatakan informan saya G.P (Lk, 52 thn), yaitu :
Artinya pada masa sekarang ini, perempuan cenderung sudah berada pada
sektor publik. Hal ini dipacu oleh pola pikir perempuan yang semakin maju dan
berkembang untuk menuntut hak para wanita untuk tidak dibedakan dengan laki-laki.
Dengan demikian banyak dijumpai wanita karir di kota Medan, yang ingin lebih
dipandang dan dihargai. Wanita yang bekerja/berkarir juga memberikan pandangan
yang baru bagi masyarakat Batak Toba, bahwa tidak selamanya laki-laki itu selalu
berada pada posisi diatas, tetapi perempuan juga dapat berada pada jabatan yang lebih
tinggi. Walaupun ada juga anggapan dari masyarakat Batak Toba, bahwa perempuan
77
yang mempunyai pendidikan tinggi, tetap saja akan berada di dapur dan melayani
suami dan anak-anak.
3. Peluang Pergeseran Pilihan Wanita Karir Tidak Menikah Dalam Adat dan
Keluarga
A. Keluarga
Keluarga merupakan kelompok orang-orang yang dipersatukan oleh ikatanikatan perkawinan, darah, maupun adopsi, yang membentuk satu rumah tangga,
berinteraksi dan berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya dan melalui perannya
sendiri sebagai anggota keluarga dan mempertahankan kebudayaan masyarakat yang
bersifat
umum
ataupun
mengembangkannya
sendiri
78
insting-insting atau karakteristik biologis yang ditransmisikan lewat keturunan, tetapi
perkembangan individu sebagai seorang manusia dengan suatu kepribadian tersendiri
berbentuk perilaku tertentu merupakan hasil dari pengaruh warisan sosial yang
ditransmisikan melalui komunikasi manusia. namun tujuan utamanya adalah untuk
memperlihatkan bagaimana manusia dibentuk dalam konteks keteraturannya sosial
yang terus berjalan.
Ketika orangtua berada dalam tradisi adat Batak, posisi mereka dapat sebagai
hula-hula (yang tertinggi), dongan tubu, boru, dilihat dari siapa yang melaksanakan
acara (pesta). Namun pada masyarakat Batak Toba tidak selamanya posisi mereka
selalu sama. Peneliti juga melihat acara pesta yang diadakan, dimana orangtua langsung
mengambil posisi mereka, mulai dari pihak hula-hula, dongan tubu, boru/bere, dan juga
parhalado, (Observasi 13-05-2009). Hal ini disesuaikan pada peran mereka pada acara
tersebut. Hal ini diperkuat oleh informan saya R.S (Pr, 67 thn ), yaitu :
Posisi orangtua dalam adat dapat berubah, dari hulahula, ke posisi parboru, ini dilihat dari pihak siapa
yang mengadakan acara/pesta.
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.H (Lk, 58 thn), yaitu :
Posisi orang tua dalam masyarakat luas dilihat ketika seseorang telah
melakukan tanggung jawabnya dengan menikahkan semua anak-anaknya. Orangtua
akan semakin dihargai bila anak-anaknya semua telah berumah tangga. Dalam
masyarakat luas khususnya pada Batak Toba kedudukan orangtua itu untuk menuju
kesempurnaan sangat diutamakan. Ini dapat dilihat dari kelengkapan orangtua akan
79
dihargai dari hasangapon, gagebeon, dan hamoraon. Orang tua mempunyai tugas untuk
menikahkan semua anak-anaknya, dan hal itu merupakan tanggung jawab orangtua
sampai mereka meninggal. Mengantar anak-anak sampai ke jenjang pernikahan, bagi
masyarakat Batak secara umum adalah lebih merupakan kepentingan dan tanggung
jawab orang tua yang bersangkutan. Sehingga jika dalam suatu keluarga terdapat anakanak, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mencapai tingkat umur menikah
tetapi tak kunjung menemukan teman hidupnya, hal itu selalu dianggap merupakan
kekurangan dalam adat karena masih memiliki anak yang belum menikah. Hal ini juga
dikatakan informan saya R.S (Pr, 67 thn), yaitu :
Kebahagian orangtua akan terlihat ketika semua anakanaknya telah menikah, karena pada masyarakat Batak
Toba dengan menikahkan semua anak-anaknya,
orangtua telah sempurna dan ini dilihat ketika adat
saur matua, acara kematian.
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya K.P (Lk, 68 thn), yaitu :
Posisi orang tua dalam masyarakat luas dilihat ketika seseorang telah
melakukan tanggung jawabnya dengan menikahkan semua anak-anaknya. Orangtua
akan semakin dihargai bila anak-anaknya semua telah berumah tangga. Dalam
masyarakat luas khususnya pada Batak Toba kedudukan orangtua itu untuk menuju
kesempurnaan sangat diutamakan. Ini dapat dilihat dari kelengkapan orangtua akan
dihargai dari hasangapon, gagebeon, dan hamoraon.
Artinya secara adat yang ada masyarakat Batak Toba, setiap orangtua akan lebih
dihormati bila tugasnya dalam menikahkan semua anak-anaknya telah selesai, karena
80
tanggung jawab orangtua telah selesai terhadap anak-anaknya. Perbedaan orangtua
yang sudah selesai menikahkan semua anak-anaknya dengan yang belum menikahkan
semua anak-anaknya akan tampak dalam aktualisasi diri mereka masing-masing. Ada
suatu kebanggaan tersendiri pada diri mereka. Hal ini juga yang dikatakan informan
saya R.N (Lk. 68 thn), yaitu :
Hal yang sama juga dikatakan informan saya R.H (Lk, 58 thn), yaitu :
Dalam masyarakat Batak Toba memiliki nilai prinsip budaya hidup. Nilai
prinsip budaya hidup masyarakat Batak Toba dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu :
1) Hamoraon, adalah kaya raya. Salah satu nilai budaya yang mendasari dari
mendorong etnis Batak Toba untuk mencari harta benda yang banyak. Dengan
memiliki harta yang banyak, pada umumnya masyarakat Batak Toba lebih
dihormati.
2) Hasangapon, adalah kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang
memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan dengan meraih jabatan atau
pangkat.
3) Hagabeon, adalah banyak keturunan dan memperoleh panjang umur. Kekuatan
yang tangguh hanya dapat dibangun dengan jumlah manusia yang banyak.
Ketiga nilai tersebut berperan sangat besar pada masyarakat Batak Toba. Bagi
orangtua terutama akan menantikan untuk dikatakan hasangapon, hagabeon, dan
81
hamoraon. Ini semua akan diperoleh ketika sudah bekerja, berkeluarga dan mempunyai
keturunan. Ini juga dikatakan informan saya R.S (Pr, 68 thn) yaitu :
Hal serupa juga dikatakan informan saya G.P (Lk, 50 thn), yaitu :
Sehingga dapat dilihat bahwa kedudukan orangtua dalam adat diwarnai dari
ketiga nilai tersebut, yaitu hamoraon, hagabeon dan hasangapon. Ini semua
berhubungan dengan tugas orangtua dalam membesarkan anak-anaknya hingga
memasuki ke jenjang pernikahan, yang pada akhirnya orangtua akan menuju
kesempurnaan, dilihat ketika seseorang telah meninggal dunia.
B. Adat dan Perkawinan
Pada masyarakat Batak Toba dikenal memiliki kebudayaan atau adat yang
cukup banyak yang hal ini dapat mempersatukan masyarakat Batak khususnya pada
Batak Toba. Kebudayaan mencakup seluruh yang didapat atau dipelajari oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Dalam lingkup cakupan ilmu sosiologi, menekankan
bahwa kebudayaan sebagai alat yang digunakan manusia untuk berkeprilakuan dalam
masyarakat, sebab pada dasarnya kebudayaan adalah untuk tujuan yang baik, mengatur
tata kehidupan dan penghidupan dan dapat memanupulasi alam. Meliputi jiwa manusia,
mewujudkan segala kaedah-kaedah dan nilai-nilai kemasyarakatan yang terkandung
didalamnya. Seperti yang dikutip oleh Soekanto dari pendapat E.B Taylor yaitu bahwa
kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan kepercayaan, kesenian,
82
moral, hukum, adat-istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Soekanto, 1986:111).
Dalam konteks penelitian ini kebudayaan ditekankan pada aspek keluarga dan
norma-norma kemasyarakatan dan agama yang dikhususkan pada adat istiadat acara
kematian/ meninggal. Dalam hal ini adat-istiadat diperkecil lingkupnya hanya pada
adat-istiadat kematian/ meninggal yang dihubungkan dengan pernikahan, yaitu anak
yang belum menikah pada usia yang sudah matang. Dalam hal ini dikenal dengan
istilah adat saur matua dan sari matua, yang dipakai ketika orang tua meninggal dunia
yang dihubungkan dengan kehidupan anak-anaknya.
Batak Toba melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan. Adat sebagai
bahagian dari kebudayaan elemen untuk mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan
merupakan identitas budaya dalam khasanah kebhinekaan di dalam negara tercinta ini.
Pada dasarnya adat di dalam implementasinya berfungsi menciptakan dan memelihara
keteraturan, ketentuan-ketentuan adat dalam jaringan hubungan sosial diadakan untuk
menciptakan keteraturan. Dengan demikian adat adalah aturan hukum yang mengatur
kehidupan manusia sehingga bisa menciptakan keteraturan, ketentraman dan
keharmonisan (B Simanjuntak, 2001 dalam harian-sib.com, kamis, 22-09-2009
pkl.13.00).
Status sosial adalah kedudukan seseorang atau kelompok di dalam masyarakat
yang berhubungan dengan status utama (master status), status yang diraih (achieved
status) dan status yang diperoleh (ascribed status), sehingga mempengaruhi hak dan
kewajiban mereka dalam masyarakat tersebut. Didalam hal ini mereka yang
memperoleh sebutan sari matua dan saur matua mendapatkan kedudukan yang lebih
83
baik didalam status sosial masyarakat, khususnya masyarakat batak, disbanding mereka
yang belum mendapatkan sebutan sari matua dan saur matua.
Status yang diperoleh menjadi lebih tinggi dengan sebutan sari matua dan saur
matua, tingkat status ini juga berkaitan dengan pernikahan, seseorang yang sudah
menikah dianggap lebih memiliki tanggung jawab dan kewajiban-kewajibannya selaku
orang tua terhadap anak-anaknya demikian selanjutnya sampai anak-anaknya juga
menikah dan memiliki anak yang disebut cucu sehingga tanggung jawabnya sebagai
nenek dan kakek serta kewajibannya juga bertambah, keberhasilannya sebagai orang
tua, bagi anak-anaknya dan kakek bagi cucu-cucunya akan membawa dirinya ke tahap
saur matua dan sari matua disaat dia meninggal nanti (Kamanto, 2000; 54-55).
Upacara adat Batak untuk orangtua yang meninggal pada usia yang cukup lanjut
dan sudah mencapai tingkat hagabeon atau telah berketurunan sampai tingkat cucu,
disebut Ulaon Sarimatua atau Ulaon Saurmatua. Perbedaan diantara kedua tingkatan
upacara itu ditentukan oleh status hagabeon yang telah dicapai pada saat meninggalnya
orangtua itu. Hagabeon tentu saja tidak akan tercapai tanpa pernikahan anak-anak,
sehingga dapat dibayangkan seberapa besar kesedihan yang akan menimpa keluarga
jika orangtua itu meninggal dalam keadaan belum sempat mendapat cucu meskipun
semua anak-anaknya telah mencapai umur-pantas-menikah sejak lama.
Seseorang disebut Saur Matua, ketika meninggal dunia dalam posisi Titir
maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru (mempunyai
anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki, dan juga cucu perempuan). Tetapi
sebagai umat beragama, hagabeon seperti diuraikan diatas, belum tentu dimiliki
seseorang. Artinya seseorang juga berstatus saur matua seandainya anaknya hanya laki-
84
laki atau hanya perempuan, namun sudah semuanya hot ripe dan punya cucu.
Sedangkan Sari Matua adalah seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri
yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada
di antara anak-anaknya yang belum kawin (hot ripe). Pengertian Sari Matua, orang itu
meninggal, sebelum tugasnya sebagai orang tua belum tuntas yakni mengawinkan
anak-anaknya. Tidak diukur dari segi umur, pangkat, jabatan dan kekayaan.
Upacara adat saurmatua, secara nyata dapat dilihat sebuah suasana penuh
sukacita, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas segala berkat dan karunia
yang dilimpahkan kepada orangtua itu selama hidupnya. Mendapat tingkat keturunan
yang lengkap atau hagabeon na gok dalam arti karunia anak laki-laki dan perempuan,
bahkan sampai karunia cicit atau buyut. Sehingga ulaon saurmatua juga disebut ulaon
adat na gok.
Atas perbedaan hagabeon seperti tersebut di atas, yang merupakan harkat dan
nilai kehidupan tertinggi dalam cita-cita filosofis hidup orang Batak, maka upacara adat
sebagai upacara penghormatan terakhir bagi orangtua yang bersangkutan pun berbeda.
Perbedaan itu juga dapat dirasakan secara emosional dalam tata laksana upacaranya.
Ulaon sarimatua pada hakikatnya masih mengandung kesedihan oleh karena orangtua
yang bersangkutan masih meninggalkan anak-anak yang belum berumahtangga. Berarti
tanggung jawab orangtua untuk mengantarkan anak-anaknya ke jenjang mandiri dalam
rumah
tangga
(manjae)
belum
terselesaikan
dengan
baik
85
orangtua dalam menjalankan tugasnya untuk membesarkan anak-anaknya hingga
menikahkan anak-anaknya. Orangtua yang meninggal dengan menyelesaikan tugasnya
dengan mnikahkan semua anak-anaknya dan juga telah mempunyai keturunan disebut
Saur Matua. Saur Matua adalah penghargaan tertinggi kepada orangtua yang telah
meninggal, dilihat dari anak-anaknya sudah menikah semua. Dalam hal ini pernikahan
merupakan kunci utama agar kelak, jika orangtua telah meninggal akan mendapat
penghargaan yang lebih, karena dengan menikah berarti mempunyai keturunan yang
disebut dengan hagabeon.
Dengan demikian, pada masyarakat Batak Toba pernikahan merupakan dasar
dari segala adat untuk dapat melangsungkan berbagai adat atau upacara lainnya.
Pernikahan selalu dihubungkan dengan memperoleh keturunan (hagabeon). Dengan
menikah, sebuah keluarga akan memperoleh anak atau keturunan, agar dapat disebut
dengan istilah hagabeon. Jika seseorang mendapatkan keturunan/anak, dia akan
dihormati dan dikagumi di dalam masyarakat dan juga di dalam keluarga sendiri.
Seseorang yang telah menikah akan dapat menaikkan status seseorang yang pada
akhirnya akan lebih dihormati dan dihargai, baik semasa hidup hingga pada saat
kematian. Seperti yang dikatakan informan saya G.P (Lk, 52 thn), yaitu :
Seseorang
ketika
meninggal
dunia
sudah
menyelesaikan kewajibannya yaitu dengan menikahkan
seluruh anak-anaknya yang hingga akhirnya akan
memperoleh keturunan.
86
membiayayai orangtua mereka semasa hidup mereka. Ini dilihat dari pembicaraan
tokoh adat dalam melakukan tradisi adat yang dijalankan. Pengertian Sari Matua, orang
itu meninggal, sebelum tugasnya sebagai orang tua belum tuntas yakni mengawinkan
anak-anaknya. Tidak diukur dari segi umur, pangkat, jabatan dan kekayaan. Hal ini
juga dikatakan informan saya G.P (Lk, 52 thn) yaitu :
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya K.P (Lk, 68 thn), yaitu :
Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.S (Lk, 67 thn), yaitu :
Dengan demikian pada masyarakat kota Medan upacara adat kematian sudah
mengalami pergeseran, ini banyak dijumpai ketika seseorang telah meninggal belum
menyelesaikan tanggung jawabnya dengan menikahkan semua anaknya seharusnya
disebut sari matua, tetapi melihat situasi anak yang telah bekerja dan juga percakapan
dengan pihak hula-hula, dongan tubu dan yang lainnya dari sari matua dapat dijadikan
saur matua.
4. Pergeseren Pilihan Tidak Menikah dan Perubahan Fungsi Keluarga
Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu
hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan
87
orangtua dan pemeliharaan anak. Defenisi eluarga tersebut telah menjadi kesepakatan
hampir semua lapisan masyarakat. Hal ini dilihat karena pada kenyataannya di tengah
masyarakat bahwa unsur keluarga tidak lagi hubungan antara laki-laki dan perempuan,
tetapi bisa terjadi antara pasangan sejenis. Dan saat ini banyak orang yang menjadi
single parenthood dan mengadopsi anak tanpa menikah. Ini sudah banyak dijumpai di
negara-negara maju hingga di negara berkembang. Seperti yang dikatakan informan
saya J.S (Pr, 49 thn), yaitu :
Hal yang serupa juga dikatan oleh K.P (Lk, 68 thn), yaitu :
Pada seluruh masyarakat, hampir semua orang hidup dan terikat dalam jaringan
kewajiban dan hak keluarga yang disebut hubungan peran. Perilaku seseorang
didasarkan akan adanya hubungan peran tersebut karena proses sosialisasi yang sudah
berlangsung sejak masa kanak-kanak, yaitu suatu proses belajar mengetahui apa yang
dikehendaki. Tetapi ada orang yang merasakan kewajiban itu sebagai suatu beban, atau
tidak peduli akan hak-hak tersebut. Keanekaragaman tingkah laku inilah yang menjadi
salah satu tema pembicaraan umum yang terdapat di semua masyarakat terutama di
kalangan wanita karier yang hidup melajang, yaitu mengenai apa yang menjadi
kewajiban anak dan orangtua, suami dan istri, keponakan, dan paman (Cooley dalam
Suadah 2005:47-48). Hal ini diperkuat oleh informan saya R.R (Pr, 42 thn), yaitu:
88
dalam
masyarakat
Batak
yang
terbentuk
semacam
organisasi
perkumpulan semacam trah di Jawa- yang terdiri dari orang-orang satu marga yang
misalnya, ikatan keluarga besar Hutagalung, ikatan keluarga besar Napitupulu, dan
seterusnya.
89
E.M Burner dalam (H.Khairuddin,1998:78) mengatakan bahwa pada suku batak
yang berdiam di kota-kota memanglah keluarga besar yang mengalami modifikasimodifikasi, bilamana dibandingkan dengan di desa-desa, tetapi sama sekali tidak
lenyap, melainkan dipertahankan. Jadi dapat dikatakan bahwa industrialisasi tidaklah
melahirkan keluarga inti, karena tipe keluarga ini sudah ada. Tetapi industrialisasi
mengubah pola keluarga inti, karena pembagian pekerjaan baru memisahkan pekerjaan
Bapa, Ibu, dan anak-ananya.
Wanita yang hidup melajang secara perlahan-lahan mengakibatkan perubahan
fungsi keluarga yang selama ini telah ditetapkan. Perubahan masyarakat dapat
berbentuk suatu kemajuan (progress) dan dapat pula berupa kemunduran (regress).
Perubahan dalam arti regress adalah perubahan yang lajim diketahui oleh orang yang
disebabkan oleh kemajuan teknik atau tehnical change. Tetapi karena setiap
penemuan teknik mempunyai akibat perubahan atas mental manusia, maka perubahan
teknik tersebut dapat mengakibatkan perubahan masyarakat di segala sektor kehidupan
masyarakat. Misalnya, adanya peralatan canggih yang bisa memudahkan segala
pekerjaan. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial,
norma-norma sosial, pola-pola perilakuan, organisasi, interaksi sosial, dan sebagainya.
Sedangkan perubahan dalam arti progress adalah perubahan yang menjadi suatu
kemajuan bagi masyarakat. Dimana perubahan yang terjadi justru membawa
keuntungan secara relatif terhadap kehidupan masyarakat. Kemudahan-kemudahan
akan diperoleh masyarakat lewat perubahan-perubahan yang terjadi. Pada hakekatnya
manusia hidup adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam usahanya untuk
90
memenuhi kebutuhan hidup tersebut, jelas masyarakat akan mendapat hambatan atau
tantangan.
Masalah utama dalam masyarakat modern khusunya pada masyarakat Batak
Toba adalah memudarnya masyarakat tradisional karena unsur-unsurnya mengalami
perubahan dengan kecepatan yang berbeda. Nilai-nilai kebenaran abadi yang
sebagaimana terkandung dalam ajaran agama sering tersisihkan karena dianggap kuno,
sehingga orang hanya berpegang kepada kebutuhan materi dan tujuan jangka pendek
belaka. Perubahan-perubahan sosial yang cepat itu telah menyebabkan masyarakat
Batak Toba kehilangan identitas diri, yang dampaknya dapat mempengaruhi
kesejahteraan kehidupan keluarga. Hal ini juga dikatakan informan saya K.P (Lk, 68
thn), yaitu :
Wanita yang hidup melajang akan menimbulkan
keresahan pada keluarga.
Hal serupa juga dikatan oleh St. Drs. G.P (Lk, 52 thn), yaitu :
Fenomena yang terjadi saat ini, dimana wanita tidak menikah atau hidup lejang
membuat fungsi keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lama-kelamaan fungsifungsi keluarga mengalami suatu perubahan. Yang semula fungsi keluarga sebagai
reproduksi, penyalur kasih sayang, afeksi dan sebagainya, kini telah berubah yang
meliputi :
1. Mempunyai Keturunan
Wanita yang hidup melajang secara perlahan-lahan mengakibatkan perubahan
fungsi keluarga yang selama ini telah ditetapkan. Perubahan masyarakat dapat
91
berbentuk suatu kemajuan (progress) dan dapat pula berupa kemunduran (regress).
Perubahan dalam arti regress adalah perubahan yang lajim diketahui oleh orang yang
disebabkan oleh kemajuan teknik atau tehnical change. Tetapi karena setiap
penemuan teknik mempunyai akibat perubahan atas mental manusia, maka perubahan
teknik tersebut dapat mengakibatkan perubahan masyarakat di segala sektor kehidupan
masyarakat. Misalnya, adanya peralatan canggih yang bisa memudahkan segala
pekerjaan. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial,
norma-norma sosial, pola-pola perilakuan, organisasi, interaksi sosial, dan sebagainya.
Sedangkan perubahan dalam arti progress adalah perubahan yang menjadi suatu
kemajuan bagi masyarakat. Dimana perubahan yang terjadi justru membawa
keuntungan secara relatif terhadap kehidupan masyarakat. Kemudahan-kemudahan
akan diperoleh masyarakat lewat perubahan-perubahan yang terjadi. Pada hakekatnya
manusia hidup adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam usahanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup tersebut, jelas masyarakat akan mendapat hambatan atau
tantangan.
Masalah utama dalam masyarakat modern khusunya pada masyarakat Batak
Toba adalah memudarnya masyarakat tradisional karena unsur-unsurnya mengalami
perubahan dengan kecepatan yang berbeda. Nilai-nilai kebenaran abadi yang
sebagaimana terkandung dalam ajaran agama sering tersisihkan karena dianggap kuno,
sehingga orang hanya berpegang kepada kebutuhan materi dan tujuan jangka pendek
belaka. Perubahan-perubahan sosial yang cepat itu telah menyebabkan masyarakat
Batak Toba kehilangan identitas diri, yang dampaknya dapat mempengaruhi
92
kesejahteraan kehidupan keluarga. Hal ini juga dikatakan informan saya K.P (Lk, 68
thn), yaitu :
Wanita yang hidup melajang akan menimbulkan
keresahan pada keluarga.
Hal serupa juga dikatan oleh St. Drs. G.P (Lk, 52 thn), yaitu :
Fenomena yang terjadi saat ini, dimana wanita tidak menikah atau hidup lejang
membuat fungsi keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lama-kelamaan fungsifungsi keluarga mengalami suatu perubahan. Yang semula fungsi keluarga sebagai
reproduksi, penyalur kasih sayang, afeksi dan sebagainya, kini telah berubah yang
meliputi :
Dalam fungsi biologis yang terdiri dari penyaluran dorongan seks dan
reproduksi menentukan peranan keluarga dalam melaksanakan hubungan sosial yang
serasi di mana anak-anak dikandung dan dilahirkan. Fungsi biologis atau reproduksi
merupakan alat pengerahan masyarakat dengan tambahan anggota-anggota baru.
Reproduksi berupa pengembangan keturunan pun selalu dibatasi dengan aturan yang
menempatkan kegiatan ini dalam sebuah keluarga. Hal ini merupakan fungsi yang
terpenting dari segala fungsi-fungsi, tanpa dengan ini keluarga dan masyarakat biasanya
akan bertambah buruk dan musnah. Namun, fungsi ini mengalami perubahan dalam
dekade-dekade dewasa ini, dengan angka kelahiran kasar. Fungsi reproduksi menjadi
kurang penting karena banyak anak dipandang sebagai hambatan untuk mencapai
93
sukses material keluarga. Mempunyai keturunan/anak membuat para wanita karier
berpikir dapat menghambat aktivitas yang mereka lakukan. Hal ini juga dikuatkan oleh
informan saya I.S (Pr,38 thn) yaitu :
Saya pikir dalam fungsi reproduksi ini dilakukan bagi
mereka yang telah menikah. Dan menurut saya, dengan
menikah dan mempunyai anak, dapat mengganggu
aktivitas saya, tetapi bukan berarti saya tidak sayang
dengan anak-anak.
Mempunyai anak pada masyarakat Batak Toba merupakan sesuatu yang
menggembirakan bagi keluarga Batak Toba. Kelahiran anak adalah suatu even yang
sangat ditunggu-tunggu suatu keluarga. Apalagi bagi komunitas Batak yang
menganggap keturunan (hagabeon) cenderung sebagai nilai tertinggi dalam hidup,
tentu saja kelahiran anak adalah peristiwa yang luar biasa membanggakan dan
membahagiakan. Namun, ini sangat bertentangan dengan wanita karir yang memilih
untuk tidak menikah.
2. Menyalurkan Fungsi Kasih Sayang
Fungsi kasih sayang juga memerlukan kasih sayang perkawinan, perasaan cinta
dan penghargaan diantara pasangan suami istri yang diperoleh dari hubungan simpatik
dari beberapa tahun lamanya. Dimana terdapat kasih sayang suami dan istri yang
menghargai kepribadian masing-masin, selaku teman baik yang pernah diadakan.
Meskipun demikian, fungsi kasih sayang keluarga sekarang ini membawa resiko
implisit bagi kestabilan organisasinya. Orang-orang yang gagal untuk mencapai
kebahagiaan dalam perkawinan yang mereka harapkan dapat berjalan, mereka sering
menganggap bahwa mereka telah membuat satu pilihan yang keliru. Seperti penuturan
dari informan saya I.S (Pr, 38 thn) yaitu :
94
keluarga, bagi keluarga tradisional penentuan nilai-nilai sudah tertanam dengan kokoh.
Keluarga tradisional yang sudah mereka anggap baik, perubahan-perubahan dipandang
sebagai suatu masalah sosial. Dari ketiga fungsi di atas yang paling berhubungan
dengan penelitian ini adalah fungsi reproduksi. Wanita yang memilih hidup melajang
perawan tua sangat bertentangan dengan kultur yang ada pada masyarakat Batak
Toba. Pada masyarakat Batak Toba mempunyai keturunan / anak yang banyak dapat
memperpanjang usia, dan juga membawa rejeki. Ada suatu istilah bagi orang Batak
Anakkoki do hamoraonki yang artinya anak merupakan kebahagiaan orangtua. Hal
ini diperkuat dengan tanggapang dari informan saya R.H (Lk, 58 thn), yaitu :
Namun seiring dengan adanya perubahan hal ini sudah mulai bergeser. Wanita
Batak Toba yang hidup melajang lebih menikmati hidupnya untuk sendiri. Wanita
semakin lama semakin cerdas, yang membuat mereka berpikir bahwa tidak selamanya
wanita harus berdiam diri di rumah dan mengurus anak, wanita juga dapat lebih maju
dari para laki-laki. Bagi wanita yang hidup melajang, bukan hanya melalui menikah
mereka dapat memperoleh keturunan. Saat ini banyak cara untuk mendapatkan
95
kebahagiaan dengan memperoleh anak. Seiring berkembangnya jaman, saat ini banyak
wanita hidup sebagai single parenthood melalui mengadopsi anak. Jadi dengan
demikian fungsi keluarga tetap dijalankan. Hal ini juga dikatakan informan saya I.S (Pr,
38 thn) yaitu :
Tergantung dilihat dari sudut pandang yang
bagaimana. Tetapi kalau saya pribadi, pernikahan
dapat memberikan kebahagiaan, karena sudah tidak
sendiri lagi, dan sudah ada teman untuk selamanya
dapat bertukar pikiran.
Hal yang serupa juga dikatakan oleh I.P (Pr, 37 thn), yaitu :
96
BAB V
PENUTUP
97
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap wanita karier masyarakat Batak
Toba di kota Medan, maka dapat dirumuskan kesimpulan yaitu :
1. Wanita yang tinggal di perkotaan ditantang oleh cara-cara berpikir dan
berperilaku yang tidak ditutupi oleh norma-norma kesopanan, sehingga mereka
mengembangkan suatu toleransi dan selera terhadap apa yang dianggap baru.
2. Wanita yang berpendidikan tinggi selalu diidentikkan dengan hidup berkarir,
karena wanita sudah berada pada Comfort zone (memiliki kedudukan tertentu
dan telah memiliki pendapatan yang telah memadai).
3. Dengan berkarir para wanita dapat lebih mengaktualisasikan diri mereka, untuk
tetap lebih eksis dalam sektor publik.
4. Status kaum wanita di dalam masyarakat holtikutur dikaitkan dengan kondisikondisi material yang menentukan kontrol mereka atas sumber-sumber daya.
5. Wanita karir yang menentukan pilihan hidupnya untuk hidup melajang
dipengaruhi lingkungan yang ada di sekitar mereka yang menuntut para wanita
untuk lebih mengutamakan kariernya atau pekerjaan mereka. Ini seiring dengan
adanya perubahan yang menuntut para wanita karir untuk dapat bersaing dengan
para laki-laki.
6. Pada masyarakat Batak Toba masih memegang nilai-nilai dan norma-norma
yang dapat mengikat hubungan kekerabatan yang ada pada masyarakat Batak.
Ini dilihat dari adat yang dilakukan ketika melangsungkan suatu acara.
98
7. Bagi masyarakat Batak Toba, pernikahan merupakan hal terpenting untuk
menuju kesempurnaan bagi orangtua dalam adapt agar dapat menuju
kesempurnaan, yaitu pada saurmatua.
8. Posisi orang tua dalam masyarakat luas dilihat ketika seseorang telah
melakukan tanggung jawabnya dengan menikahkan semua anak-anaknya.
Orangtua akan semakin dihargai bila anak-anaknya semua telah berumah
tangga.
9. Orangtua yang meninggal dengan menyelesaikan tugasnya dengan menikahkan
semua anak-anaknya dan juga telah mempunyai keturunan disebut Saur Matua.
Saur Matua adalah penghargaan tertinggi kepada orangtua yang telah
meninggal, dilihat dari anak-anaknya sudah menikah semua.
10. Berbagai alasan yang membuat wanita karier hidup melajang, diantaranya
adalah masih mengutamakan karir daripada berumah tangga, dan lainnya juga
disebabkan masa lalu yang masih belum bisa dihilangkan patah hati, dan yang
terakhir adalah kegagalan rumah tangga keluarga juga mempengaruhi para
wanita untuk tidak menikah.
5.2. Saran
Dari hasil penelitian dianalisis dengan pengamatan yang objektif dan rasional
peneliti mengemukakan beberapa saran yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh
pihak-pihak yang dianggap sebagai pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, saran
tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Sebaiknya keluarga lebih memperhatikan anggota keluarganya, agar fungsi
keluarga sebagai sosialisasi dapat berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat
99
dari banyaknya saat ini para wanita ataupun laki-laki yang hidup melajang di
daerah perkotaan.
2. Sebaiknya manusia yang ada di lapisan masyarakat berupaya untuk dapat
menghargai setiap keputusan yang diberikan para wanita karier dalam
mengambil keputusan dengan hidup melajang.
3. Mengupayakan pendidikan yang selayaknya berupa pendidikan formal dan
informal bagi perempuan Indonesia dalam mewujudkan perempuan yang
berintelektual dan
mengupayakan
emansipasi wanita.
4. Memberikan kesempatan kepada wanita agar dapat mengimplementasikan diri
dalam pembangunan dan mendapatkan akses yang sama dengan para laki-laki.
100
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Wardi, M.S, 2006 ; Sosiologi Klasik, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Bungin, Burhan H. M, 2007 ; Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial, Jakarta : Kencana Prenama Media Group.
Danandjaja, 2006; Metode Penelitian Sosial, Medan : USU Press.
Daulay, Harmona, 2007 ; Perempuan Dalam Kemelut Gender, Medan : USU Press.
Faisal, Sanifah, 1999 ; Format-format Penelitian Sosial, Jakarta : Raja Grafindo.
Goenawan, M, 2007 ; Jurnal Pilihan Rasionalitas, Revolusi dan Praksis Anarkis,
Yayasan Jurnal Teori Rasionalitas.
http://www.scribd.com/doc/2910978/Goenawan-Mohammad?autodown=doc.
Hasan, Iqbal M, 2002 ; Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,
Jakarta : Ghalia Indonesia.
Khairuddin, H.S.S, 1997 ; Sosiologi Keluarga, Edisi Pertama, Yogyakarta : Liberty
Yogyakarta.
Lexy, J. Moleong, 2007 ; Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Mashud, Mustain, 2005 ; Masalah Sosial dan Keluarga, Jakarta : Grafindo
Marbun, M.A, 1987 ; Kamus Budaya Batak Toba, Jakarta : Balai Pustaka.
Paul, Doyle.J, 1996 ; diterjemahkan Robert M.Z Lawang ; Teori Sosiologi Klasik Dan
Modern, Jakarta : Gramedia.
Poloma, Margareth. M, 2003 ; Sosiologi Komtemporer, Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Ritzer, George, 2007 ; Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Kencana.
101
Rosita, Dewi, 2006 ; Jurnal Perempuan, Pilihan Tidak Menikah, Yayasan Jurnal
Perempuan.
http://dewirosita.blogspot.com/2006/12/21, diakses Jumat, 26/11/2008, pkl
13.00
Ihromi, T. O, 1996 ; Bunga Rampai, Sosiologi Keluarga, Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
Samuel, M. H, 2004 ; Perempuan Dalam Bayangan, Yogyakarta : Percetakan Media
AR-RUZZ.
Persada.
Soerjono, Soekanto, 1990 ; Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada
_______________, 2000 ; Kamus Besar Sosiologi, Jakarta : Rajawali.
Kamanto, Sunarto, 2000 ; Pengantar Sosiologi, Jakarta : Universitas Indonesia.
Soetomo, 2008 ; Masalah Sosial Wanita, dan Upaya Pemecahannya, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Suadah, 2005 ; Sosiologi Keluarga, Edisi Pertama, Malang : UMM Press.
Tangdilintin, Paulus, 1992 ; Perubahan Sosial dan Masyarakat, Edisi Kedua,
Yogyakarta : Grafindo Persada.
Sumber Lain :
Jurnal
Perempuan,
Pilihan
Tidak
Menikah,
Yayasan
Jurnal
Perempuan
102
http://emmaku.multiply.com/2007/10/20, diakses 23/09/2008, pkl 11.00
http://www.kaskus.us/archive/index.php/t-897381.html, diakses 03/09/2008
http:willmwn46.wordpress.com/2007/10/18, diakses 26/11/2008
http://www.groups.yahoo.com/group/sosiologi_profetik, diakses 23/01/2009, pkl. 20.15