Anda di halaman 1dari 9

ERAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

Tugas Penerapan Komputer


Dosen
Asisten

: Shelvie Nidya Neyman

: Dean A.R
Syamsul Bahri
Disusun Oleh :
Anies Wahyu Nurmayanti
(I34070020)

Departemen Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat


Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
2009
ABSTRAK
Perkembangan peran dan posisi kaum perempuan sejak masa lampau hingga saat ini telah
menempatkan perempuan sebagai mitra yang sejajar dengan kaum pria. Perempuan
memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai bidang. Perempuan mempunyai tanggung
jawab yang sama terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi
majunya pembangunan negara ini termasuk didalamnya peran dalam bidang pembangunan
pertanian.
Salah satu peran perempuan dalam membangun pembangunan pertanian yaitu dengan ikut
berperan dalam menciptakan program-program yang mengarah pada pemberdayaan
perempuan dengan meluncurkan program diversifikasi pangan dan gizi yaitu program yang
berupaya mengintensifikasi pekarangan sebagai salah satu gerakan ketahanan pangan
keluarga dan masyarakat melalui pemanfaatan lahan pekarangan.
Peran perempuan sekarang ini sudah terlihat nyata dalam berbagai bidang, mereka telah
banyak yang berpendidikan tinggi, mereka tak canggung dalam berjuang di masyarakat
menurut bakat dan kemampuannya masing-masing. Insinyur pertanian sebagaian besar
adalah perempuan, jadi sangatlah besar peran perempuan dibidang pembangunan pertanian
diberbagai daerah, dengan memposisikan dirinya sebagai pembuat lapangan kerja dibidang
pertanian, sebagai motivator, dinamisator dan regulator di bidang pertanian baik yang
bergerak di swasta maupun di pemerintahan.

Perempuan telah menyumbangkan jumlah waktu yang sedikit lebih rendah daripada pria
dalam mencari nafkah dan kegiatan di luar rumah lainnya, namun wanita jauh lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk mengurus rumahtangga. Tugas untuk mengurus,
membimbing, dan mendidik anak-anak merupakan tanggung jawab utama seorang ibu.
Keyword: perempuan, pembangunan, pertanian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Pudjiwati Sajogyo, 1984 dalam penelitiannya tentang peranan perempuan dalam
perkembangan masyarakat desa mengungkapkan betapa besar sumbangan perempuan dalam
ekonomi masyarakat dan rumahtangga maupun dalam kehidupan keluarga. Nampaknya
perkembangan masyarakat desa dewasa ini memerlukan partisipasi perempuan. Dalam
transisi ke arah industrialisasi seperti terutama terjadi di daerah perkotaan ternyata bahwa
tenaga kerja perempuan juga mengambil peranan.
Pernyataan tentang adanya kesempatan, hak dan kewajiban yang sama bagi pria dan wanita
untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan pembangunan seperti yang tercantum dalam
GBHN 1983, telah mendorong peningkatan jumlah tenaga kerja wanita dalam angkatan kerja.
Meningkatnya kesempatan memperoleh pendidikan bagi rakyat, termasuk kaum wanita,
maka semakin banyak wanita yang memasuki lapangan pekerjaan (Ihromi, 1990).
Scholz menunjukkan bahwa kontribusi tenaga kerja mereka belum terungkap secara
transparan. Baik bila dilihat curahan waktu dan tenaga untuk kegiatan produksi sampai
pengolahan hasil dan pemasaran serta kaitannya dengan kegiatan rumahtangga. Dalam
perkembangan pertanian, kembali perempuan tidak mampu untuk eksis dikarenakan masih
adanya penilaian masyarakat terhadap partisipasi perempuan pada sektor pertanian yang
masih mendiskriminasi perempuan serta asumsi yang menyatakan bahwa kegiatan pertanian
merupakan urusan laki-laki yang dinyatakan sebagai pengelola usaha tani adalah suami atau
kepala keluarga (Paris, 1987 dalam Pratiwi, 2007).
Fenomena di atas dikuatkan dengan norma dan tradisi yang hidup dalam masyarakat. Hal ini
juga mengakibatkan mereka kurang menjangkau sumber-sumber ekonomis (tanah, modal dan
tenaga) dan berbagai kemudahan dari pemerintah seperti pendidikan keterampilan,
penyuluhan dan pelayanan lain seperti halnya kaum laki-laki, perempuan juga memiliki hak
hak asasi selaku perempuan (Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, 1988).
Perkembangan peran dan posisi kaum perempuan sejak masa lampau hingga saat ini telah
menempatkan perempuan sebagai mitra yang sejajar dengan kaum pria. Perempuan memiliki
kesempatan yang sama dalam berbagai bidang. Perempuan mempunyai tanggungjawab yang
sama terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi majunya
pembangunan negara ini termasuk didalamnya peran dalam bidang pembangunan pertanian.
Perempuan sebagai sumber daya insani yang cukup besar jumlahnya saat ini, merupakan
subyek pembangunan yang cukup handal. Mereka adalah kekuatan potensial bangsa yang
hadir dalam jumlah yang tidak hanya besar, tetapi juga berimbang jumlahnya dengan kaum

pria. Keberadaan perempuan tidak dapat diabaikan, karena kenyataan menunjukkan bahwa
daya tahan fisik perempuan melebihi kaum pria yakni sekitar 64 tahun bagi perempuan dan
63 tahun bagi pria.
Peningkatan pemahaman akan peran serta dan kontribusi perempuan dalam pembangunan
pertanian akan menimbulkan pemahaman bahwa penyuluhan dan pendidikan keterampilan di
bidang pertanian tidak saja ditujukan kepada kaum laki-laki tetapi juga kepada perempuan.
Walaupun dalam bidang pertanian perempuan telah memiliki pengakuan secara legal di
Indonesia dengan ratifikasi Convention on the Elimination of All Discrimination Against
Women (CEDAW) atau Konvensi tentang Hak-hak politik perempuan dengan UU No.
68/1958 dan konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
(Hartono, 2000).[1]
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diuraikan antara lain:
1. Bagaimana konsep gender menjadi dasar dalam program pembangunan pertanian?
2. Bagaimana peran perempuan dalam rumahtangga?
3. Bagaimana peran perempuan dalam pembangunan pertanian?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan yang dapat disampaikan antara lain untuk:
1. Mengetahui konsep gender menjadi dasar dalam program pembangunan pertanian.
2 . Mengetahui peran perempuan dalam rumah tangga.
3. Mengetahui peran perempuan dalam pembangunan pertanian.
1.4 Manfaat
Manfaat mampu merangkum informasi tentang peran wanita dalam program pembangunan
pertanian. Hasil dari tulisan ini dapat dijadikan referensi kepada pihak-pihak yang terkait
dalam hal perencanaan program pembangunan pertanian.
BAB II
KONSEP GENDER MENJADI DASAR DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN
PERTANIAN
Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk
oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran
sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, dapat dikatakan gender sebagai
konsep sosial yang membedakan (dalam arti memilih atau memisahkan) peran antara lakilaki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan
karena diantara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau

dipilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang
kehidupan dan pembangunan (Handayani dan Sugiarti, 2002).
Peran gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi lelaki dan perempuan. Peran
gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan, agama,
politik, ekonomi, dan sebagainya. Sebagai hasil bentukan sosial, tentunya peran gender bisa
berubah-ubah dalam waktu, kondisi, dan tempat yang berbeda sehingga sangat mungkin
dipertukarkan diantara laki-laki dan perempuan (Dede, 2006).
Sumbangan perempuan tani dalam pembangunan pertanian cukup besar. Mereka bekerja
dalam beberapa aspek produksi, pasca panen, distribusi pangan dan konsumsi. Mereka tidak
saja berperan pada kegiatan pertanian yang bertujuan dalam menambah penghasilan keluarga,
namun mereka juga ikut dalam proses pengambilan keputusan.
Sebagai negara agraris, jumlah perempuan usia di atas 10 tahun dalam sektor pertanian luas
yang berada di wilayah pedesaan mencapai 40 persen. Berbagai penelitian dalam sektor
pertanian menunjukkkan bahwa peran perempuan pada kegiatan pertanian sangat substansial.
Kesemuanya menyebut adanya pembagian kerja seksual dimana perempuan melakukan kerja
selama proses produksi yang meliputi penanaman, penyiangan, pemeliharaan, panen, pasca
panen, pemasaran, baik yang bersifat manajerial tenaga buruh, pada komoditi tanaman
pangan ataupun tanaman industri yang diekspor. Beberapa pekerjaan malah dianggap sebagai
pekerjaan perempuan seperti halnya menanam bibit, menabur benih dan menyiang.
Dalam proses budi daya, nyaris tak ada benih jatuh ke bumi tanpa sentuhan tangan
perempuan. Bahkan dalam pengairan, yang selama ini dianggap kerja laki-laki, perempuan
ternyata ikut menentukan kapan pengairan dilakukan, banyaknya kuantitas air, kedalaman air,
frekuensi pengairan, termasuk bagian kerja laki-laki. Tanpa keterlibatan perempuan, proses
produksi tak akan berlangsung, termasuk komoditi ekspor yang diperdagangkan secara
internasional. Perempuan juga mempunyai peran dalam pengambilan keputusan
rumahtangga.
BAB III
PERAN PEREMPUAN DALAM RUMAHTANGGA
Istilah ibu rumahtangga (housewife) adalah penemuan yang boleh dibilang baru. Paling lama,
istilah itu baru berusia sekitar satu setengah abad ketika istilah itu memulai debutnya dalam
ruang-ruang gambar dan dapur di Utara. Sejak itu, istilah ibu rumahtangga menyebar luas dan
kini bisa ditemukan di segenap penjuru dunia.
Baik di dunia Timur maupun Barat, perempuan digariskan untuk menjadi istri dan ibu.
Sejalan dengan ini, stereotipe yang dikenakan pada perempuan adalah makhluk yang
emosional, pasif, lemah, dependen, dekoratif, tidak asertif, dan tidak kompeten kecuali untuk
tugas rumahtangga. Sedangkan suami harus menanggung keluarga sehingga status mereka
lebih tinggi. Mereka juga mempunyai hak untuk mengendalikan perempuan. Pandangan ini
juga terdapat di lingkungan masyarakat Jawa. Perempuan disebut sebagai konco wingking
bahkan ada pameo swargo nunut neroko katut.[2]
Dengan demikian biasanya perempuan disosialisasikan untuk berperan sebagai istri dan ibu.
Mereka disiapkan untuk menjadi makhluk yang patuh dan tidak asertif. Hal ini bertolak

belakang dengan sifat yang dinilai tinggi dalam berkarier seperti agresif, ambisius, produktif,
dan sebagainya.[3]
Wanita telah menyumbangkan jumlah waktu yang sedikit lebih rendah daripada pria dalam
mencari nafkah dan kegiatan di luar rumah lainnya, namun wanita jauh lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk mengurus rumahtangga. Tugas untuk mengurus,
membimbing, dan mendidik anak-anak merupakan tanggung jawab utama seorang ibu.
Khususnya peran mengurus pekerjaan rumahtangga, seperti: memasak, mencuci,
membereskan rumah dan sebagainya, pada beberapa keluarga seringkali dilakukan dengan
bantuan pembantu rumahtangga, terutama pada keluarga-keluarga yang keadaan ekonominya
relatif baik. Adanya pembantu rumah tangga ini sangat meringankan beban ibu uuntuk
menyelesaikan pekerjaan rumahtangga yang seolah-olah tidak ada habisnya.[4]
Permasalahan baru muncul, setelah perlakuan terhadap perempuan dirasakan menimbulkan
tekanan demi tekanan, kekerasan, dan ketidakadilan dalam berbagai bentuk kehidupan seperti
marginalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, dan diskriminasi. Satu contoh klasik
betapa beratnya beban dan ketidakadilan yang dialami perempuan dikemukakan oleh the
United Nations Commission on the Status of Women (1980).[5]
Tabel 1 Peran Utama Seorang Ibu Rumah Tangga
Peran Ibu Rumah Tangga
Golongan

1. Mengurus dan
membimbing anak

Bekerja

Tidak Bekerja

66 (47,1%)

70 (53%)

42 (30%)

30 (22,7%)

27 (19,3%)

31 (23,5%)

5 (3,6%)

1 (0,8%)

140 (100%)

132 (100%)

2. Mengurus suami

3. Mengurus pekerjaan
rumah tangga
4. Ikut mencari penghasilan

Jumlah

Sumber: Laporan Hasil Penelitian Kelompok Studi Wanita FISIP Universitas Indonesia
(1990).
Terlihat dari tabel, bahwa sebagian besar responden yang bekerja maupun yang tidak bekerja,
menjawab bahwa, mengurus dan membimbing anak-anak adalah peran utama ibu

rumahtangga (47,1% untuk ibu bekerja dan 53% untuk ibu tidak bekerja). Dalam kepustakaan
peran semacam ini menimbulkan sebutan pelaku sosialisasi primer bagi seorang ibu
rumahtangga.[6]
Pada zaman baby boom di tahun 1950an dan 1960an, muncul model ibu rumahtangga
modern: seorang ibu dan istri dengan kecenderungan femininnya melayani, yang
membawanya memikul tanggung jawab mengasuh anak dan mengurus rumah keluarganya,
dengan ketersediaan uang tunai yang diberikan oleh pencari nafkah laki-laki. Banyak lakilaki dan perempuan masih berpikiran bahwa urusan domestik rumahtangga, termasuk
pengurusan anak, pada pokoknya merupakan tangggung jawab perempuan, sekalipun kedua
orang tuanya sama-sama bekerja.
BAB IV
PERAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN
Pembangunan juga tidak lain dari perluasan proyek menciptakan kekayaan menurut teori
ekonomi modern patriarki Barat yang memeras dan menyingkirkan perempuan (Barat dan
non-Barat), memeras dan merusak alam, dan memeras dan merusak kebudayaan-kebudayaan.
Oleh sebab itu, pembangunan tidak boleh tidak berarti menghancurkan perempuan,
kebudayaan dan alam (Shiva, 1997 dalam Mulyawan, 2002).
Konsep pembangunan yang diterapkan di seluruh dunia kini adalah konsep barat, yang pada
intinya akan mengubah alam kehidupan tradisional menjadi modern yang diwujudkan dalam
struktur ekonomi industri untuk menggantikan struktur ekonomi pertanian. Di dalam
masyarakat seringkali perempuan menjadi warga kelas dua, dan menjadi obyek dari berbagai
upaya perubahan yang disusun dalam kerangka berfikir yang mengacu pada asumsi yang
sangat bias laki-laki. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang menjelaskan mengapa
perempuan tertinggal atau ditinggalkan dalam proses pembangunan.[7]
Pada umumnya di dalam program-program pembangunan di tingkat provinsi, kabupaten,
maupun desa baik laki-laki maupun perempuan tidak dilibatkan dalam perencanaan maupun
pengambilan keputusan. Hampir semua program kebijaksanaan bersifat top down, sehingga
masyarakat hanya tinggal sebagai pelaksana program tersebut. Norma-norma tradisional
seringkali masih tetap dijadikan acuan di dalam menyusun program kebijaksanaan, dan
terjadi penyeragaman kebijakan untuk pembangunan di pedesaan. Di tingkat desa akses lakilaki terhadap program pembangunan lebih besar daripada perempuan.
Dari pembahasan konsep perempuan terletak pada konsep kodrat perempuan yang
tersosialisasi dalam masyarakat sekarang ini sesungguhnya mengandung suatu pengertian
penguatan mitos-mitos tentang perempuan. Secara jujur harus diakui bahwa konsep kodrat
membatasi pencarian solusi atas permasalahan perempuan. Oleh sebab itu, ada gagasan untuk
meninggalkan konsep kodrat dan digantikan dengan konsep martabat perempuan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi oleh perempuan saat ini. Dari uraian di atas tampak jelas
bahwa perempuan terlibat dalam
pembangunan. Berkenaan dengan hal ini persoalan yang tersisa adalah bagaimanakah
dampak pembangunan di negeri ini terhadap perempuan (Noerhadi, 1989).

Di Afrika, dimana perempuan menanam sebagian besar tanaman pangan, praktik yang
konsisten mengenai pentargetan laki-laki dan akses terhadap tanah dan input pertanian, dan
tidak mengikutsertakan perempuan, berpengaruh besar atas jumlah bahan pangan yang
ditanam. Keyakinan tentang peran perempuan juga mempengaruhi proses land reform di
berbagai belahan dunia. Asumsi bahwa laki-laki adalah petani menimbulkan akibat dalam
pengakuan hak-hak tanah formal kepada laki-laki, sekali pun secara tradisional perempuan
menggunakan tanah tersebut untuk menanam bahan pangan baginya keluarganya (Moose,
1996).
Peran perempuan sekarang ini sudah terlihat nyata dalam berbagai bidang, mereka telah
banyak yang berpendidikan tinggi, mereka tak canggung dalam berjuang di masyarakat
menurut bakat dan kemampuannya masing-masing. Insinyur pertanian sebagaian besar
adalah perempuan, jadi sangatlah besar peran perempuan di bidang pembangunan pertanian
di berbagai daerah, dengan memosisikan dirinya sebagai pembuat lapangan kerja di bidang
pertanian, sebagai motivator, dinamisator dan regulator dibidang pertanian baik yang
bergerak di swasta maupun di pemerintahan.
Sebagai salah satu peran perempuan dalam membangun pembangunan pertanian yaitu dengan
ikut berperan dalam menciptakan program-program yang mengarah pada pemberdayaan
perempuan dengan meluncurkan program diversifikasi pangan dan gizi yaitu program yang
berupaya mengintensifikasi pekarangan sebagai salah satu gerakan ketahanan pangan
keluarga dan masyarakat melalui pemanfaatan lahan pekarangan. Perempuan tani harus
pandai mengatur, mengelola penghasilan yang relatif rendah agar mencukupi kebutuhan
keluarga. Banyak perempuan tani yang bergerak dalam sektor perdagangan hasil pertanian,
baik tanaman pangan, hortikultura (tanam hias dan anggrek), juga dalam perternakan dan
perikanan.[8]
Sementara itu, perempuan tani di pedesaan juga mengurus anak-anak dan mungkin orang tua
yang tinggal bersamanya. Bagi yang tidak memiliki lahan garapan, ia mencari nafkah sebagai
buruh tani. Pada kenyataannya, perempuan buruh tani menerima upah lebih rendah dibanding
laki-laki. Situasi tersebut terasa berat bagi perempuan petani yang sekaligus merangkap
kepala keluarga yang harus menanggung anak-anak dan orang tua. Guna mengeliminir
semakin banyaknya tenaga kerja muda yang hijrah ke sektor lain (non pertanian), perempuan
tani yang berkiblat pada pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian memerlukan dukungan
berbagai pihak. Hal ini penting untuk memberi keyakinan pada generasi muda, kader-kader
pelaku bisnis pertanian bahwa sektor ini mampu memberikan jaminan hidup layak.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal penting berikut.
1. Peran perempuan sekarang ini sudah terlihat nyata dalam berbagai bidang, mereka
telah banyak yang berpendidikan tinggi, mereka tak canggung dalam berjuang di
masyarakat menurut bakat dan kemampuannya masing-masing. Insinyur pertanian
sebagaian besar adalah perempuan, jadi sangatlah besar peran perempuan dibidang
pembangunan pertanian diberbagai daerah, dengan memposisikan dirinya sebagai

pembuat lapangan kerja dibidang pertanian, sebagai motivator, dinamisator dan


regulator di bidang pertanian baik yang bergerak di swasta maupun di pemerintahan.
2. Pembangunan memiliki arti yang dipahami oleh masyarakat luas sebagai perubahan
ke arah yang lebih baik dan strategi pembangunan menentukan berbagai aspek yang
akan diambil sebagai salah satu tahap dalam pelaksanaan pembangunan.
3. Ketergantungan yang besar bagi perempuan terhadap laki-laki, dan beban kerja ganda
tetap akan menjadi tanggungan dari perempuan dilihat tidak adanya nilai tenaga kerja
perempuan di sektor publik yang disebabkan oleh stereotipe bahwa perempuan identik
pada pekerjaan domestik.
5.2. Saran
Perempuan mempunyai akses yang sama dalam hal pembangunan pertanian. Perempuan ikut
berperan dalam pengambilan keputusan. Dukungan dan partisipasi semua pihak yang terkait
sangat diharapkan untuk mewujudkan kesejahteraan. Selain mengurus rumahtangga,
perempuan dapat membantu suami dalam mencari nafkah dan mengurus lahan pertanian atau
pekarangan untuk menghidupi keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Penelitian Gender. Universitas
Muhammadiyah Malang: Jawa Timur.
Hartono, Sunaryati. 2000. Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan Undang-Undang Hak Asasi
Manusia. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.
Ihromi, T.O. 1990. Para Ibu yang Berperan Tunggal dan Berperan Ganda. Laporan
Penelitian Kelompok Studi Wanita, FISIP, Universitas Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. 1988. Analisis Studi Wanita Indonesia.
Jakarta.
Mosse, Juia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Editor: Hartian Silawati, Yogyakarta:
Rifka Annisa Womens Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: Half the
World, Half a Chance An Introduction to Gender and Development.
Muliawan, Andri. 2002. Analisis Gender Dalam Program-program Pembangunan Bidang
Pertanian. Diajukan sebagai skripsi pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Pertanian, IPB.
Pratiwi, Novia. 2007. Analisis Gender pada Rumahtangga Petani Monokultur Sayur Kasus
Desa Segorogunung, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Diajukan sebagai skripsi pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Pertanian, IPB.

Sajogyo, Pudjiwati. 1984. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi. Yayasan Obor
Indonesia: Jakarta.
T.H. Noerhadi. 1989. Bagaimana Mengatasi Kodrat, Vol. VI, No. 2, Pesantren.
Widiputranti, Christian Sri, dkk. 2005. Pemberdayaan Kaum Marginal. Editor: Sutoro Eko,
APMD Press: Yogyakarta.
Wiliam, Dede. 2006. Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitas Kelompok
Perempuan di Jambi. Bogor Barat: Center for International Forestry Research.
[1] Trisakti, Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Penelitian Gender (Jawa Timur:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hal. 32.
Dalam konvensi CEDAW tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan
perundang- undangan nasional yang mengandung asas persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan sebagai perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah dianggap baik atau lebih
baik bagi dan sesuai, serasi serta selaras dengan aspirasi bangsa Indonesia.
[2] Konco wingking adalah teman di belakang dan swargo nunut neroko katut adalah ke surga
atau neraka, istri hanya mengikuti suami.
[3] Mayling, Oey Gardiner, dkk, Perempuan Indonesia Dulu dan Kini (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1996), hal. 218.
[4] Christine, Sri Widiputranti, dkk, Pemberdayaan Kaum Marginal (Yogyakarta: APMD
Press, 2005), hal. 58.

Anda mungkin juga menyukai