Anda di halaman 1dari 17

Inflammatory Diseases of Female Pelvic Organs

(N70N77)
A.
B.
C.
D.

N70 Salpingitis and Oophoritis


N71 Inflammatory Disease Of Uterus, except cervix
N72 Inflammatory Disease of Cervix Uteri
N73 Other Female Pelvic Inflammatory Diseases
1. N73.0 Acute Parametritis and pelvic Cellulitis
a. Definisi
Parametritis adalah inflamasi parametrium atau inflamasi pada jaringan selular
disekitar ligamentum kardinale.
Acute Parametritis
Apabila kuman-kuman dengan jalan limfe atau darah melewati batas
uterus dan sampai ke jaringan ikat di parametrium, maka terjadilah parametritis
akut. Infeksi paling sering disebabkan oleh steptokus dan stafilokokus. Jarang
oleh ekoli dan kuman-kuman lain. Kejadian ini muncul karena infeksi puerpural
atau post abortum, akan tetapi ditemukan pula sebagai akibat tindakan intra
uterine dan sebagainya.
Radang berlokasi

paling

banyak

diparametrium

bagian

lateral

(parametritis lateralis) akan tetapi bisa kedepan (parametritis anterior) dan


kebelakang (parametritis posterior) dan radang, juga bisa menjadi abses. Apabila
terjadi abses, dan proses berkembang terus, maka abses akan mencari jalan
keluar diatas ligamentum pauparti, ke daerah ginjal. Melalui foramen
abturatorium ke paha bagian dalam dan sebagainya. Parametritis dapat pula
menahun dan di tempat radang terjadi fibrosis.
b. Etiologi
1. Parametrium terinfeksi oleh organisme yang menyerang parametritis.
2. Adanya kuman yang menginfeksi parametrium.
3. Terjadi endometritis dan miometritis yang menjalar ke parametrium.
4. Ligamentum latum yang terinfeksi meluas.
5. Adanya luka dari serviks menyebar dari endometrium ke perimetrium
.
c. Patologi
Setelah kala URI, daerah bekas insersio placenta adalah lukan yang rentan
terkena infeksi. Daerah ini tempat yang baik untuk tumbuhnya kuman-kuman dalam
organ dan mengakibatkan radang. Proses radang dapat terbatas atau terhenti pada luka itu
saja atau juga dapat menyebar di luar luka asalnya.
d. Terapi dan Penunjang
Pengobatan
1. Pemberian antibiotika (penicilin) dengan dosis tinggi.
2. Kombinasi tetracylin dan penicilin G dengan dosis tinggi melalui IV.
3. Pemeriksaan dalam untuk mengetahui adanya benjolan atau tumor di sebelah uterus.

4. Perhatikan diet.
5. Bila pada hari ke 7 demam tidak turun, maka segera rujuk ke fasilitas yang lebih
memadai. (UTOMO, SUSILO, & INDRAWATI, 2015)
Pelvic Cellulitis
a. Definisi
Pelvic Selulitis adalah suatu infeksi yang menyerang kulit dan jaringan
subkutan yang terjadi di daerah pelvis. Tempat yang paling sering adalah
ekstremitas, tetapi selulitis juga dapat terjadi di kulit kepala, kepala dan leher.
Organisme penyebab selulitis adalah stapilococus aureus, streptococcus grup A
dan streptococcus pneumoneae.
a. Etiologi
Penyebab selulitis paling

sering

pada

orang

dewasa

adalah

Staphylococcus aureus dan Streptokokus beta hemolitikusgrup A sedangkan


penyebab selulitis pada anak adalah Haemophilus influenzatipe b (Hib),
Streptokokus beta hemolitikusgrup A, dan Staphylococcus aureus. Pada ulkus
diabetikum dan ulkus dekubitus biasanya disebabkan oleh organisme campuran
antara kokus gram positif dan gram negatif aerob maupun anaerob. Bakteri
mencapai

dermis

imunokompeten

melalui

perlu

ada

jalur

eksternal

kerusakan

maupun

barrier

kulit,

hematogen.

Pada

sedangkan

pada

imunokopromais lebih sering melalui aliran darah.


Penyakit Selulitis disebabkan oleh Infeksi bakteri dan jamur :
a. Streptococcus grup A dan Staphylococcus aureus
b.
Pada bayi yang terkena penyakit ini dibabkan oleh Streptococcus grup B.
c.
Infeksi dari jamur, tapi Infeksi yang diakibatkan jamur termasuk jarang
d.Aeromonas Hydrophila
e. S. Pneumoniae (Pneumococcus).

b. Patologi

IB
ek
sr
J
nm
ar
SL
bk
ud
n

tk

i i

r
g
,

i
u

n
u u
a k
tl

,
l a

c. Terapi dan Penunjang


1. Pemeriksaaan darah: sel darah putih meningkat, peningkatan eusinofil, peningkatan
laju sedimentasi eritrosit.
2. Pewarnaaan gram: ditemukan adanya organism campuran.
3. Kultur darah: didapatkan hasil positif.
4. Pemeriksaan radiologi sinus paranasal: ct scan orbita dan sinus paranasal untuk
mengesampingkan terkenanya orbita.
5. Pedoman menganjurkan pengguanaan dari biopsy kulit dan aspirasi hanya pada
pasien pilihan, yang diagnose selulitisnya dalam keraguan. Sehubungan dengan swab

luka, sensitivitas dari swab menunjukkan resisten terhadap antibiotic empiris yang
awalnya digunakan.
6. Imaging
Berguna ketika terdapat kecurigaan yang mendasari abses terkait dengan selulitis, fascitis,
neurotic atau ketika diagnose selulitis masih ragu. (Adhiar Bagus Christianto, 2014).
2. N73.1 Chronic parametritis and pelvic cellulitis
Chronic parametritis
a. Definisi
Merupakan parametritis yang di derita oleh pasien sudah lama. Disebabkan
karena, tanda dan gejala, tidak dirasakan oleh pasien. Sehingga infeksi meradang di
tempat yang terinfeksi dan terjadi fibrosis pada parametrium.
Gambaran klinik menunjukkan bahwa penderita demam, menderita sakit perut
dibagian bawah dan di sebelah kanan atau kiri, dan di sebelah uterus terdapat odeman
dan hiperemi, dan dibawah kulit dan jaringan subkutan dapat diraba bagian dari tumor
yang akan ke luar serta kondisi untuk bedah kebidanan untuk protop harus dipatuhi.
(UTOMO et al., 2015)
Pada Chronic parametritis etiologi, patologi, terapi dan penunjang sama yang
membedakan hanya lama proses berlangsungnya penyakit.
3. N73. 2
Unspecified parametritis and pelvic cellulitis
a. Definisi
Merupakan penyakit parametritis dan pelvic cellulitis yang diklasifikasikan.
4. N73.3 Female acute pelvic peritonitis
a. Definisi
Peritonitis diartikan sebagai proses inflamasi atau proses peradangan peritoneum
termasuk sebagian atau seluruh organ di dalam rongga peritoneum. Pada wanita sangat
dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau
rupturnya kista ovary yang terjadi secara akut. Kasus peritonitis akut yang tidak
tertangani dapat berakibat fatal. (Yanita Dikaningrum, 2014)
b. Etiologi
Penyebab yang paling serius dari peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan
(viskus) ke dalam rongga peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus,
lambung, duodenum, intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran
kemih), yang dapat disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda
asing, obstruksi dari usus yang mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic
Inflammatory Disease) dan bencana vaskular (trombosis dari mesenterium/emboli).
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis),

ruptur saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering
menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks,
seperti Escherichia coli atau Bacteroides sedangkan stafilokokus dan stretokokus sering
masuk dari luar. (Tri Mustikawati, 2012)
c. Patologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah(abses) diantara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai
pita-pita fibrinosa, yang kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Bila bahan
yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar
akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan timbulnya peritonitis
generalisata, aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik ; usus
kemudian menjadi meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
menyebabkan terjadiya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguuria, dan mungkin syok.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya motilitas usus dan menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Jika
bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar akan menimbulkan peritonitis generalisata sehingga aktivitas peristaltic
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi,
gangguan sirkulasi, oliguria dan syok. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkunglengkung usus yang meregang dan dapat menimbulkan terjadinya obstruksi usus.
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam rongga
abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma, atau perforasi
tumor. Terjadi proliferasi bacterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat
terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh dengan
peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah. Respon segera
dari saluran usus adalah hipomotilitas, diikuti oleh ileus paralitik, disertai akumulasi
udara dan cairan dalam usus (Tri Mustikawati, 2012)
d. Terapi dan penunjang

1. Test laboratorium

Leukositosis, hematokrit meningkat, dan asidosis metabolik.Pada peritonitis


tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3gram/100 ml)
dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum
per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang
khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto polos abdomen sangat membantu menegakkan diagnosis.
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
a. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior ( AP).
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksiAP.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup
seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film
ukuran 35 x 43 cm.
Dapat terlihat: gambaran udara kabur dan tidak tersebar merata.
Penebalan dinding usus-usus. Perselubungan menyeluruh atau pun di bagianbagian tertentu. Gambaran garis permukaan cairan dalam usus (air-fluid levels)
atau dalam rongga peritoneal (intraperitoneal fluid level). Kalau terdapat
perforasi akan terlihat udara bebas di bawah diafragma. Gambaran foto seperti
tersebut di atas menggambarkan proses pengumpulan cairan intra abdomen
seperti tersebut di dalam uraian patofisiologi. (Yanita Dikaningrum, 2014)
5. N73. 4 Female chronic pelvic peritonitis
a.

Definsi
Peritonitis diartikan sebagai proses inflamasi atau proses peradangan peritoneum
termasuk sebagian atau seluruh organ di dalam rongga peritoneum. Pada wanita sangat
dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau
rupturnya kista ovary yang terjadi secara kronis. (Yanita Dikaningrum, 2014).
Pada Female chronic pelvic peritonitis etiologi, patologi, terapi dan penunjang
sama yang membedakan hanya lama proses berlangsungnya penyakit.

6. N73.5 Female pelvic peritonitis, unspecified


a. Definisi

Merupakan penyakit female pelvic peritonitis yang tidak terklasifikasikan.


7. N73. 6 Female pelvic peritoneal adhesions
a. Definisi
Adhesi peritoneal adalah perlengketan abnormal antara jaringan dan organ, biasanya
antara omentum, lengkung usus, dan dinding abdomen. Perlengketan ini bisa berupa
lapisan tipis dari jaringan ikat, atau suatu jaringan fibrosa yang tebal berisi pembuluh
darah dan jaringan saraf, maupun kontak langsung antara dua permukaan organ
b. Etiologi
Sebagian besar adhesi peritoneal disebabkan oleh prosedur pembedahan
didalam rongga peritoneal Prevalensi kejadian adhesi peritoneal pasca tindakan
operasi intra abdominal antara 63% -97% Secara keseluruhan, sekitar sepertiga dari
pasien yang menjalani operasi bedah terbuka pada perut atau panggul datang kembali
ke pusat rawatan rata-rata dua kali dalam 10 tahun diakibatkan oleh kondisi yang
berhubungan dengan komplikasi adhesi peritoneal. Lebih dari 20 % penderita datang
kembali ke pusat kesehatan pada tahun pertama setelah operasi awal, dan 4,5% dari
pasien tersebut akibat obstruksi adhesi usus halus.
Pembedahan kolorektal merupakan jenis operasi yang paling banyak
menyebabkan adhesi peritoneal. Obstruksi usus halus adalah komplikasi yang paling
umum dari adhesi peritoneal Pada Westminster Hospital (London, Inggris) obstruksi
usus menyumbang 0,9% dari seluruh rawatan. Sebuah survei di Inggris 1992
melaporkan jumlah kasus obstruksi adhesi usus halus tahunan mencapai 12.00014.400. Pada tahun 1988 di Amerika Serikat, kasus rawatan untuk adhesiolisis
menyumbang hampir 950.000 rawatan Semua studi ini menunjukkan bahwa obstruksi
adhesi usus halus adalah masalah kesehatan yang signifikan baik di negara maju dan
berkembang.
8. N73. 8 Other specified female pelvic inflammatory diseases
a. Definisi
Merupakan Penyakit Female pelvic inflammantory yang diklasifikasikan ke lainnya.
Pelvic Inflammatory Disease
PID adalah infeksi pada tractus genitalis wanita bagian atas yaitu pada endometrium,
miometrium, tuba falopii, ovarium, parametria, dan peritoneum pelvis, terutama terjadi
pada wanita yang secara seksual aktif, resiko tinggi ditemukan pada wanita yang memakai
IUD. Biasanya peradangan menyerang kedua tuba, infeksi bisa menyebar kerongga perut

dan menyebabkan Peritonitis. PID merupakan sebuah spektrum infeksi pada traktus
genitalia wanita yang termasuk di dalamnya endometritis, salpingitis, tuba-ovarian abses,
dan peritonitis. (Zahrotul Hasanah Harum, 2015)
9. N73. 9 Female pelvic inflammatory disease, unspecified
a. Definisi
Merupakan penyakit female pelvic inflammantory yang tidak terklasifikasikan
E. N74* Female Pelvic Inflammatory Disorder In Disease Classified Elsewhere
F. N75 Disease of Bartholins Gland
1. N75.0 Cyst of Bartholin's gland
a. Definisi
Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk di bawah
kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar bartolin terjadi ketika kelenjar
ini tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi, peradangan atau iritasi jangka
panjang.(Anon n.d.)
b. Etiologi
Kista Bartolini berkembang ketika saluran keluar dari kelenjar Bartolini tersumbat.
Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar
membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi
terinfeksi. Abses Bartolini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk
organisme yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia dan Gonore
serta bakteri yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan, seperti Escherichia coli.
Umumnya abses ini melibatkan lebih dari satu jenis organisme. Obstruksi distal saluran
Bartolini bisa mengakibatkan retensi cairan, dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus
dan pembentukan kista.
Kista dapat terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam kelenjar. Kista Bartolini tidak
selalu harus terjadi sebelum abses kelenjar. Kelenjar Bartolini adalah abses
polimikrobial. Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah mikroorganisme aerobik yang
dominan mengisolasi, bakteri anaerob adalah patogen yang paling umum. Chlamydia
trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif. Namun, kista saluran Bartolini
dan abses kelenjar tidak lagi dianggap sebagai bagian eksklusif dari infeksi menular
seksual. Selain itu operasi vulvovaginal adalah penyebab umum kista dan abses
tersebut.(Anon n.d.)
c. Patologi
Kista yang ada kalanya ganda, dapat timbul di daerah sub klitoris atau periuretra atau di
daerah kelenjar bartholini vulva pada wanita segala umur. Lebih sering kista timbul
sebagai kelainan tunggal yang umumnya berkaitan dengan kelenjar bartholini. Kista

yang timbul dalam kelenjar bartholini atau saluran ekskresi, diameternya dapat sampai 5
cm dan sering sebagai akibat obstruksi salah satu saluran ekskresi utama, sehingga
mengakibatkan penimbunan sekret musin yang progresif.
Kista yang demikian dilapisi oleh epitel transisional atau epitel kubus dari saluran,
tetapi dapat berubah sangat pipih atau hampir hilang karena tekanan intrakista. Selain
menyebabkan rasa sakit setempat dan perasaan tidak nyaman, kista ini mudah
mengalami infeksi sekunder dan mudah menjadi suatu abses bartholini. Kista-kista di
tempat lain diduga timbul dari sisa embrional, pada umumnya kecil (berdiameter 1 s/d 2
cm) dan dilapisi oleh epitel silindris atau kubus musinosa atau epitel bersilia yang ada
kalanya mengalami perubahan metaplasi menjadi epitel skuamosa. Karena tidak
berhubungan dengan vestibulum vulva, kista-kista ini jarang terinfeksi.(Putri Rina
Wulandari Kinanti 2013)
d. Terapi dan penunjang
1. Konservati
Sejumlah tindakan konservatif dapat dilakukan untuk membantu meringankan secara
sementara rasa nyeri yang berat sehubungan dengan infeksi kelenjar atau saluran
bartholini. Misalnya, anjurkan pasien untuk mencuci vulva engan air hangat beberapa
kali sehari. Berikan obat analgesik jika diperlukan. Setelah mengambil kultur,
pertimbangkan untuk memberikan antibiotik spekttrum luas yang efektif melawan
organisme yang tersering ditemukan pada infeksi ini seperti bakteri koliform, klamidia
dan gonokokus.
2. Marsupialisasi
Kadang merupakan terapi terpilih untuk pasien dibawah umur 40 tahun jika tidak di
indikasi eksisi kista. Selain itu marsupialisasi ditujukan untuk mencegah kekambuhan
dimasa mendatang.
a) Marsupialisasi kista Bartholini.(I)
Kelenjar Bartholini kanan sangat membesar dan kritik. Sulkus interlabianya hilang.
Suatu insisi dibuat pada sisi dalam labium minus di perbatasan sepertiga tengah dan
sepertiga posterior.
b) Marsupialisasi kista Bartholini (II)
Setelah kista dikosongkan, pelapisnya dijahit ke kulit labium minus dengan jahitan
terputus halus sepanjang pinggir luka. Sepotong kasa dimasukkan ke dalam ostium yang
baru dibentuk.
3. Mengeksisi Kista Bartholini
Pada saat ini jarang ada keperluan mengeksisi kista Bartholini kecuali jika diduga
karsinoma kelenjar Bartholini, eksisi bisa menjelaskan diagnosis histologi. Kulit labium
minus diinsisi dan tepi luka ditegangkan. Kemudian dinding kistanya dikeluarkan secara
tajam dengan skalpel.

4. Kateter Word
Kateter word biasanya digunakan untuk penanganan kista saluran bartolini dan abses.
Batang karet kateter ini memiliki panjang 1 inchi dan diameter no.10 french foley
catheter. Balon kecil yang ditiup di ujung kateter dapat menahan sekitar 3 ml larutan
salin atau garam. Setelah persiapan steril dan anestesi local, dinding kista atau abses
dijepit dengan forsep kecil, dan mata pisau no 11 digunakan untuk membuat sayatan 5
mm (menusuk) kedalam kista atau abses. Sayatan harus berada dalam introitus
hymenalis eksternal terhadap daerah dilubang saluran. Jika sayatan terlalu besar, kateter
word akan jatuh keluar. Setelah dibuat sayatan, kateter word dimasukkan, dan ujung
balon di kembangkan dengan 2-3 ml larutan garam yang disuntikkan melalui pusat
kateter yang memungkinkan balon kateter untuk tetap berada di dalam rongga kista atau
abses. Ujung bebas kateter dapat di tempatkan dalam vagina. Untuk memungkinkan
ephitelialisasi dari pembedahan saluran di ciptakan, kateter word dibiarkan pada
tempatnya selama empat sampai enam minggu, meskipun epithelialisasi dapat terjadi
segera setelah tiga sampai empat minggu. (Putri Rina Wulandari Kinanti 2013).

2. N75.1 Abscess of Bartholin's gland


a. Definisi
Abses Bartolini adalah sebagai penghasilan pus yang membentuk bengkak pada satu dari
kelenjar Bartolini yang terletak di samping labia pada alat kelamin wanita. 1-4Abses
Bartolini biasa terjadi sendiri karena infeksi pada kelenjar Bartolini ataupun dari infeksi
sekunder yang berlaku pada kista Bartolini.(Nur Adilah binti Shaharuddin n.d.)
b. Etiologi
Infeksi kelenjar bartholini terjadi oleh infeksi gonokokus, pada bartholinitis kelenjar ini
akan membesar, merah, dam nyeri kemudian isinya akan menjadi nanah dam keluar pada
duktusnya, karena adanya cairan tersebut maka dapat terjadi sumbatanpada salah satu
duktus yang dihasilkan oleh kelenjar dan terakumulasi, menyebabkan kelenjar
membengkak dan menbentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.
Abses bartholini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk orgasme yang
menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia dan Gonoreserta. Umumnya
abses ini melibatkan lebih dari lebih dari satu jenis organisme. Obstruksi distal saluran
bartolini bisa mengakibatkan retensi cairan, dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan
pembentukan kista. Kista dapat terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam kelenjar.
Kista bartolini tidak selalu harus terjadi sebelum abses kalenjar.(Anon n.d.)
c. Patologi

Tersumbatnya bagian distal dari duktus Bartholin dapat menyebabkan retensi dari sekresi,
dengan akibat berupa pelebaran duktus dan pembentukan kista. Kista tersebut dapat
menjadi terinfeksi, dan abses bisa berkembang dalam kelenjar. Kelenjar BartholiIn sangat
sering terinfeksi dan dapat membentuk kista atau abses pada wanita usia reproduksi.
Kista dan abses bartholin seringkali dibedakan secara klinis.
Kista Bartholin terbentuk ketika ostium dari duktus tersumbat, sehingga menyebabkan
distensi dari kelenjar dan tuba yang berisi cairan. Sumbatan ini biasanya merupakan
akibat sekunder dari peradangan nonspesifik atau trauma. Kista bartholin dengan
diameter 1-3 cm seringkali asimptomatik. Sedangkan kista yang berukuran lebih besar,
kadang menyebabkan nyeri dan dispareunia. Abses Bartholin merupakan akibat dari
infeksi primer dari kelenjar, atau kista yang terinfeksi. Pasien dengan abses Bartholin
umumnya mengeluhkan nyeri vulva yang akut dan bertambah secara cepat dan progresif.
Abses kelenjar Bartholin disebakan oleh polymicrobial.(Anon n.d.)
d. Terapi dan penunjang
1. Terapi
Terapi antibiotik spektrum luas diberikan apabila kista atau abses kelenjar bartholini
disertai dengan adanya selulitis. Biopsi eksisional dilakukan untuk pengangkatan
adenokarsinoma pada wanita menopause atau perimenopause yang irregular dan
massa kelenjar Bartholini yang nodular. Penatalaksanaan dari kista duktus bartholin
tergantung dari gejala pada pasien.Kecuali kalau terjadi rupture spontan, abses jarang
sembuh dengan sendirinya.(Nur Adilah binti Shaharuddin n.d.)
Penggunaan antibiotik:
a) Antibiotik sesuai dengan bakteri penyebab yang diketahui secara pasti dari
hasil pewarnaan gram maupun kultur pus dari abses kelenjar bartholin
b) Infeksi Neisseria gonorrhoe:
Ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal atau Ofloxacin 400 mg dosis tunggal atau
Cefixime 400 mg oral ( aman untuk anak dan bumil) atau Cefritriaxon 200
mg i.m ( aman untuk anak dan bumil)
c) Infeksi Chlamidia trachomatis:
Tetrasiklin 4 X500 mg/ hari selama 7 hari, po atau Doxycyclin 2 X100 mg/
hari selama 7 hari, po
d) Infeksi Escherichia coli:
Ciprofoxacin 500 mg oral dosis tunggal, atau Ofloxacin 400 mg oral dosis
tunggal atau Cefixime 400 mg dosis tunggal.
e) Infeksi Staphylococcus dan Streptococcus :
Penisilin G Prokain injeksi 1,6-1,2 juta IU im, 1-2 x hari, Ampisilin 250-500
mg/ dosis 4x/hari, atau Amoksisillin 250-500 mg/dosis 3x/hari po. (Nur
Adilah binti Shaharuddin n.d.)
2. Penunjang

a) Insisi dan drainase abses : Tindakan ini dilakukan bila terjadi simptomatik
Bartholin's gland abscesses dan jika sering terjadi rekurensi
b) Drainase definitif menggunakan word kateter: Word catheter biasanya digunakan
ada penyembuhan kista duktus bartholin dan abses bartholin.
c) Marsupialisasi: Digunakan juga untuk abses kelenjar bartholin karena memberi
hasil yang sama efektifnya. Marsupialisasi adalah suatu tehnik membuat muara
saluran kelenjar bartholin yang baru sebagai alternatif lain dari pemasangan word
kateter. Komplikasi berupa dispareuni, hematoma, infeksi.(Nur Adilah binti
Shaharuddin n.d.)
3.

N75.8 Other diseases of Bartholin's gland


Bartholinitis
a. Definisi
Bartholinitis adalah infeksi pada

kelenjar

bartholin ,juga

dapat

menimbulkan

pembengkakan pada alat kelamin luar wanita, biasanya pembengkakan disertai rasa nyeri
hebat bahkan penderitanya sampai tidak bisa berjalan dan disertai demam dan berwarna
kemerahan. Suatu kista duktus bartolin terinfeksi yang disebabkan oleh infeksi gonokolus,
basil koliformis / organisme lainya.(Cindy Anggiri, Dewi Purwati 2012)
b. Etiologi
Etiologi dari bartholinitis adalah infeksi kuman pada kelenjar bartholin yang terletak pada
bagian dalam vagina agak keluar mulai dari chlamidia,gonore dsb. Infeksi ini kemudian
menyumbat mulut kelenjar tempat diproduksinya cairan pelumas vagina.
Etiologi akibat infeksi di bagi 2 yaitu:
1.
a)
b)
c)
d)

Infeksi alat kelamin bagian bawah


Virus: condiloma acuminata,herpes simplek
Jamur: candida
Protozoa: amubiasis,trichomoniasis
Bacteri: neisseria gonore

2. Infeksi alat kelamin wanita bagian atas


a) Clamidia trachomosisdan parotitis epidemika
b) Jamur: asinomises
c) Bakteri: neiseria gonore,staphilococus dan e colli(Cindy Anggiri, Dewi Purwati
2012)

c. Patologi

Cairan memenuhi kantong kelenjar sehingga di sebut sebagai kista kuman dalam vagina
akhirnya menginfeksi kelenjar bartolin sehingga kelenjar bartolin menjadi tersumbat
terjadilah pembengkakan,jika tidak ada infeksi maka tidak akan ada keluhan.(Cindy
Anggiri, Dewi Purwati 2012)
d. Terapi dan penunjang
1. Terapi
a) Diberikan antibiotik yang sesuai (umumnya terhadap klamidia, gonokok,
bakteroides dan escherichia coli) bila belum terjadi abses. Jika sudah bernanah,
harus dikeluarkan dengan sayatan.
b) Jika terbentuk kista tidak besar dan tidak mengganggu, tidak perlu dilakukan apaapa. Pembedahan berupa ekstirpasi dapat dilakukan bila diperlukan. Yang
dianjurkan adalah marsupialisasi yaitu sayatan dan pengeluaran isi kista diikuti
penjahitan dinding kista yang terbuka pada kulit vula yang terbuka pada sayatan.
Tindakan ini terbukti tak berrisiko dan hasilnya memuaskan. Jika terdapat
hubungan keluar yang permanen, infeksi rekoren dapat dicegah
c) Kista yang kecil pada wanita hamil dibiarkan saja dan baru diangkat kira-kira 3
bulan setelah persalinan. Apabila kista sangat besar sehingga dikhawatirkan akan
pecah waktu persalinan, maka sebaiknya kista itu diangkat dalam keadaan tenang.
Sebelum lahirada kalanya kista yang sangat besar baru diketahui sewaktu wanita
sudah dalam persalinan dalam hal demikian dilakukan punksi dan cairan
dikeluarkan walaupun ini bukan terapi tahap.
d) Ada dua hal yang ibu perlu lakukan, pertama obati keputihan ibu dengan tuntas,
sebaiknya jangan ibu mengulang obat tanpa diperiksa kembali oleh dokter ibu,
dan jangan takut untuk menggunakan cairan antiseptik pembersih vagina, sebab
tidak akan mengakibatkan "kekeringan kandungan". Kedua, meski ibu amat
kangen pada suami, maupun sebaliknya, tetaplah lakukan dengan lembut agar
tidak sampai terjadi iritasi.
e) Bergaya hidup sehat
Untuk menghadang radang, berbagai cara bisa dilakukan. Salah satunya adalah
gaya hidup bersih dan sehat.(Cindy Anggiri, Dewi Purwati 2012)
G. N76 Other Inflammatory of Vagina and Vulva
H. N77* Vulvovaginal Ulceration and Inflammation in Diseases Calssified Elsewhere
1. B37.3+ N77.1* Vaginitis, Vulvitis and vulvovaginitis in candidiasis
a. Definisi
Kandidiasis vulvovaginitis ialah penyakit jamur candida yang mengenai mukosa
vagina dan vulva.Penyebabnya yang tersering biasanya adalah candida albicans.Gejala
klinis Kandidiasis Vulvovaginitis ialah gatal didaerah vulva, dan pada yang berat terdapat

rasa panas, dispaneuria.lesi eritema, hiperemis dilabia mayora, dan vagina 1/3 bawah
(sanjaya, dewa. darmada, IGK. Rusyati, n.d.)
b. Etiologi
Kandidiasis vulvovaginitis dapat terjadi apabila ada faktor predisposisi baik
eksogen maupun endogen.Faktor eksogen untuk timbulnya kandidiasis vulvovaginitis
adalah kegemukan, DM, kehamilan, dan Infeksi kronik dalam servik atau vagina.
Sedangkan faktor eksogennya iklim, panas dan kelembaban yang meningkat serta higyeni
yang buruk. (sanjaya, dewa. darmada, IGK. Rusyati, n.d.)
a. Patologi
Patogenesis kandidiasis vulvovaginitis dimulai dari adanya faktor predisposisi
memudahkan pseudohifa candida menempel pada sel epitel mukosa dan membentuk
kolonisasi. Kemudian candida akan mengeluarkan zat keratolitik (fosfolipase) yang
menghidrolisis fosfolopid membran sel epitel, sehingga mempermudah invasi jamur
kejaringan. Dalam jaringan candida akan mengeluarkan faktor kemotaktik neutrofil yang
akan menimbulkan raksi radang akut yang akan bermanifestasi sebagai daerah hiperemi
atau eritema pada mukosa vulva dan vagina. Zat keratolitik yang dikeluarkan candida
akan terus merusak epitel mukosa sehingga timbul ulkus-ulkus dangkal. Yang bertambah
berat dengan garukan sehingga timbul erosi. Sisa jaringan nekrotik, sel-sel epitel dan
jamur akan membentuk gumpalan bewarna putih diatas daerah yang eritema yang disebut
flour albus. (sanjaya, dewa. darmada, IGK. Rusyati, n.d.)
b. Pemeriksaan Penunjang
a) Pengecatan gram
b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui apakah ada spora pada bagian
labia minora pasien yang dimana Candida albicans memperbanyak diri dengan
membentuk blastospora (budding cell). (sanjaya, dewa. darmada, IGK. Rusyati, n.d.)
c. Terapi
Terapinya adalah dengan memberikan obat topical dan sistemik. Obat topical yang
digunakan Ketokenazol 2% dioleskan pada bagian lesi di labia minora. Ketokenazol
cream ini digunakan untuk infeksi jamur di kulit tak berambut seperti dermatofita,
dengan dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi biasanya diberikan selama
2-4 minggu dan dioleskan 1-2 kali sehari.
Obat sistemik yang digunakan adalah flukonazol 1x150 mg (single dose)
,Flukonazol ini digunakan karena secara invitro flukonazol memperlihatkan aktivitas
fungistatik terhadap candida albican. (sanjaya, dewa. darmada, IGK. Rusyati, n.d.)
2. M35.2+ N77.8* Ulceration of Vulva in Behcets Disease
a. Definis.
Penyakit atau sindrom Behcet (Behcet,1937) adalah suatu penyakit sistemik dari

penyebab yang tidak bisa dipastikan yang ditandai oleh adanya iridosiklitis berulang
dengan hypopion, ulkus aphtosa dalam mulut dan genetalia, dan kulit, serta manifestasi
sistem syaraf pusat dan sendi tulang, kesemuanya ini dihubungkan dengan nekrosis
vaskulitis (Bietti, Bruna, 1966). (Decky, 2002)
d. Etiopatogenesis
Sindrom Behcet merupakan penyakit kronis, relaps, vaskulitis sistemik yang
tidak diketahui etiologinya,11 mekanisme imun (autoimun) dan faktor genetik (HLA-B5
dan HLA-DR5 alloantigen) dianggap memiliki peran. Beberapa studi menerangkan agen
infeksius, seperti HSV-1, dan Streptococcus sanguis sebagai faktor pencetus. (Tan,
Gunawan, & Reginata, 2016).
Studi-studi histocompability antigen menunjukkan bahwa HLA-B5 dikaitkan
dengan penyakit mata, HLA-B27 dengan arthritis, dan HLA-B12 dengan keterlibatan
mucokutaneus. Pada studi berikutnya, Ohno, Ohguchi, Hirose dkk. (1982) menemukan
kaitan erat dari HLA-Bw51 dengan penyakit Behcet.4,9,12. Dan para peneliti menduga
bahwa virus (HIV, herpes simplex, herpes zoster, sitomegalovirus) juga bertanggung
jawab penyebab tejadinya Penyakit Behcet.
Patologi berupa uveitis kronik nongranulomatosa dengan retina perivaskulitis
yang menyolok dan vasculitis, sering disertai hemorragik retina. Hypopion yang
mengandung

sel-sel polimorfnuklear. Juga merupakan ciri dari vaskulitis pada lesi

membran mukosa. Pada beberapa kasus, infark hemorragik pads retina syaraf optik
menyebabkan kebutaan. (Decky, 2002)
e. Ulcer pada Vulva sebagai manifestasi dari Penyakit Behcet
Pada wanita, lesi ditemukan di labia mayor, labia minor, vulva, perineum, dan
kulit perianal.behcet1 Gambarannya mirip dengan ulkus mukosa oral, hanya ulkusnya
lebih dalam

sehingga pada penyembuhan dapat meninggalkan jaringan parut. Pada

wanita ulkus lebih nyeri. Predileksi pada jaringan skrotum, sedang pada wanita didaerah
vulva. Dapat disertai pembesaran kelenjar getah bening regional dan demam. Ulkus
genital dapat mengenai mukosa atau kulit dan cenderung menjadi lebih kecil dan kurang
f.

umum daripada lesi oral.(Decky, 2002)


Pemeriksaan Penunjang
Belum ada pemeriksaan laboratorium spesifik untuk diagnosis sindrom Behcet,
diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yang mengacu pada International
Classification Criteria of Behcets Disease tahun 1990, yaitu kriteria mayor berupa ulkus

oral rekuren dengan 2 kriteria minor, antara lain ulkus genital rekuren, lesi pada mata, lesi
kulit, atau hasil tes patergi (uji hiperaktivitas kulit) positif
Pemeriksaan histopatologi pada lesi mukokutaneus sindrom Behcet menunjukkan
reaksi vaskuler neutrofilik dengan pembengkakan endotelial, ekstravasasi eritrosit dan
leukositoklasia, atau vaskulitis leukositoklasia dengan nekrosis fibrinoid dinding
vaskuler. Reaksi vaskuler neutrofilik dianggap temuan histopatologi utama. (Tan et al.,
2016)
g. Terapi
(Decky, 2002) Kortikosteroid telah digunakan secara luas digunakan secara
sistemik dan topikal dalam penanganan penyakit ini dengan bermacam cara tetapi hasil
yang didapat masih belum memuaskan.Banyak pasien berlanjut dengan keadaan yang
menurun pada pengobatan ini dengan tidak kembalinya fungsi pengelihatan pada kedua
matanya. Maka mungkin Penyakit Behcet adalah satu-satunya penyakit uvitis yang mana
untuk obat immunosupressan yang spesifik dalam hal ini adalah merupakan atau paling
tidak

sebagai

pengobatan

pilihan

(berdasarkan

beberapa

laporan).

Obat-obat

immunosupressan dapat berupa sitostatika dan siklosporin A.


Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter terhadap
steroid. Di RSCM telah digunakan preparat klorambusil 0,1-0,2 mg/kg BB/hari, dosis ini
dipertahankan selama 2-3 bulan lalu diturunkan sampai 5-8 mg selama 3 bulan dan dosis
maintenance kurang dari 5 mg/hari, sampai 6-12 bulan. Selain itu juga dipakai preparat
Kolkhisin dosis 0,5-1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letal adalah 7 mg/hari. Selama terapi
sitostatika kita harus bekerja sama dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan
kita harus mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan trombosit
lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan. Preparat sitostatika ini menekan
respon imun lebih spesifik dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika
mempunyai resiko terjadinya dikrasia darah, alopesia, gangguan gastrointestinal, sistitis
hemoragik, azoospermia, infeksi oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom.
Siklosporon A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif baru yang tidak
menimbulkan efek samping yang terlalu berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel
limfosit T tanpa menekan seluruh imunitas tubuh, dimana pemakaian kortikosteroid dan
sitostatika akan terjadi penekanan dari sebagian besar sistem imunitas, seperti
mengambat fungsi sel makrofag, sel monosit dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak
menyebabkan depresi sumsum tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenic seperti
obat sitostatika.
Pada beberapa kasus yang diagnosanya belum pasti, tetap direkomendasikan
dengan kortikosteroid dosis tinggi yang diberikan secara topical dan injeksi sub-tenons

periokuler pada awal penyakit, dan sesekali dengan sistemik. Dianjurkan juga pemberian
prednisone 120 mg tiap pagi

Anda mungkin juga menyukai