Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

OTITIS MEDIA AKUT

Oleh:
Rifrita Fransisca Halim
03011254

Pembimbing:
dr. M. Agus, Sp.THT

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu THT
Rumah Sakit TNI Angkatan Laut dr. Mintohardjo
Jakarta, Periode 25 Mei - 26 Juni 2015

LEMBAR PENGESAHAN

Referat berjudul
OTITIS MEDIA AKUT

Disusun oleh:
Rifrita Fransisca Halim
03011254

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:


dr. M. Agus, Sp.THT

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu THT
Di Rumah Sakit TNI AL dr. Mintohardjo
Periode 25 Mei 26 Juni 2015

Jakarta, 23 Juni 2015

dr. M. Agus, Sp.THT

DAFTAR ISI

Lembar pengesahan ............................................................................................................ i


Daftar isi ............................................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan .............................................................................................................. 1
Bab II Tinjauan pustaka
II.1. Anatomi telinga ........................................................................................................... 2
II.2. Fisiologi telinga tengah ............................................................................................... 4
II.3. Otitis media akut
II.3.1. Terminologi .................................................................................................. 5
II.3.2. Epidemiologi ................................................................................................ 5
II.3.3. Etiologi ......................................................................................................... 6
II.3.4. Patofisiologi ................................................................................................. 6
II.3.5. Klasifikasi .................................................................................................... 7
II.3.6. Diagnosis ...................................................................................................... 7
II.3.7. Penatalaksanaan ........................................................................................... 8
II.3.8. Komplikasi ...................................................................................................
II.3.9. Prognosis ......................................................................................................
Bab III Kesimpulan ............................................................................................................
Daftar Pustaka .....................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

Otitis media akut (OMA) atau peradangan pada telinga tengah merupakan suatu
keadaan dimana terjadinya infeksi pada telinga tengah yang bisa terjadi pada dewasa maupun
anak-anak. Infeksi pada telinga tengah umumnya diawali dengan adanya infeksi pada saluran
pernafasan bagian atas. Infeksi dapat disebabkan oleh virus ataupun bakteri, yang dapat
terjadi secara akut maupun kronis.
Data dari survey WHO menunjukkan bahwa sebelum usia 2 tahun 90% orang pernah
mengalami setidaknya satu episode otitis media dengan puncak insidens kedua adalah usia
pertama sekolah dasar. Prevalensi OMA bervariasi disetiap negara, dan berkisar antara 2,320%. Studi epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan prevalensi terjadinya OMA sekitar
17-20% yang hampir sama dengan prevalensi di negara-negara maju lainnya.
Faktor predisposisi terjadinya OMA adalah infeksi pada saluran pernapasan atas.
Penelitian Zackzouk di Arab Saudi pada subjek penelitian yang mengalami infeksi saluran
pernapasan atas, didapatkan sebanyak 30% mengalami otitis media akut dan 8% mengalami
sinusitis. Penelitian Sakina yang dilakukan di Indonesia mendapatkan prevalensi OMA pada
anak-anak sebesar 5,3% dan prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 2-5 tahun.1
Resiko terjadinya otitis media akut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, usia
kurang dari 6 tahun, mengalami otitis pertama kali pada usia kurang dari 6 bulan dan 3 kali
dalam 6 bulan terakhir atau disebut dengan otitis prone, infeksi pernapasan atas, terpapar asap
rokok, laki-laki, kelainan anatomi kraniofasial alergi, menyusui kurang dari 6 bulan,
imunodefisiensi.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1

Anatomi telinga
Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga luar terdiri

dari daun telinga atau pinna dan liang telinga sampai membran timpani. Telinga tengah
merupakan suatu rongga yang disebut juga kavum timpani yang berisi udara dan terdapat
tulang-tulang pendengaran. Membran yang memisahkan telinga luar dan telinga tengah
adalah membran timpani. Telinga dalam terdiri dari koklea atau rumah siput, yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis.2

Membran timpani dibagi menjadi dua bagian yaitu pars flaccida atau membran
Sharpnell yang terletak pada bagian atas dan pars tensa atau membran propria yang terletak
pada bagian bawah. Pars tensa merupakan bagian yang paling besar dan terdiri atas tiga
lapisan. Lapisan luar disebut lapisan kutaneus (cutaneous layer) terdiri dari lapisan epitel
berlapis semu yang halus yang normalnya merefleksikan cahaya. Lapisan dalam disebut
lapisan mukosa (mucosal layer) merupakan lapisan yang berbatasan dengan kavum timpani
serta lapisan yang terletak di antara keduanya. Lapisan ini terdiri dari dua lapis jaringan ikat
fibrosa yang bersatu dengan cincin fibrokartilago yang mengelilingi membrane timpani. Pars

flaccida tidak memiliki lapisan fibrosa sehingga bagian ini pertama kali akan mengalami
retraksi bila terjadi tekanan negatif dalam telinga.3,4
Telinga tengah berbentuk seperti kubus dan memiliki batas sebelah lateral adalah
membrane timpani, batas medial adalah promontorium, batas superior adalah tegmen
timpani, batas inferior adalah bulbus jugularis dan nervus fasialis. Kavum timpani
dihubungkan ke nasofaring oleh tuba eustachius. 3. 5 Tuba eustachius adalah organ berlumen
yang terdiri atas mukosa, kartilago, jaringan lunak, otot-otot perituba, dan sulkus tulang
sphenoid di bagian superior. Tuba eustachius terdiri atas tulang rawan pada duapertiga
anterior kearah nasofaring, kavum nasi, dan palatum, dan sepertiga posteriornya terdiri atas
tulang ke arah kavum timpani dan mastoid. Bentuk tuba menyerupai dua buah kerucut yang
saling bertemu di bagian puncak, tempat pertemuan ini disebut ismus. Ismus biasanya terletak
pada pertemuan antara bagian tulang dan tulang rawan. Fungsi ismus adalah membantu
melindungi telinga tengah dari sekret nasofaring.6

Panjang tuba eustachius dewasa bervariasi antara 31 sampai 38 mm. Pada bayi dan
anak-anak ukurannya lebih pendek dan lebih horizontal sehingga secret dari nasofaring lebih
mudah masuk ke telinga tengah.5 Tuba eustachius akan terus berkembang bertambah panjang

dan akan lebih membentuk sudut yang lebih besar dari bidang horizontal pada usia 5-7
tahun.7
Telinga tengah juga berisi tulang-tulang pendengaran. Rangkaian tulang pendengaran
di telinga tengah berukuran kecil dan dihubungkan oleh tendon-tendon otot yang tipis yaitu
tendon dari musculus tensor timpani dan musculus stapedius. Manubrium maleus menempel
pada membrane timpani dimana bagian atasnya membentuk umbo yang merupakan landmark
yang penting dalam mengevaluasi membrane timpani. Tulang selanjutnya adalah inkus yang
berartikulasi dengan maleus. Kepala maleus dan badan inkus terletak di epitimpani. Prosesus
longus inkus berartikulasi dengan stapes. Dasar stapes dihubungkan dengan tingkap lonjong
oleh sebuah ligamentum yang elastis. Di dalam kavum timpani juga terdapat korda timpani
yang terletak transversal yang berasal dari nervus fasialis dan mengandung serat-serat
pengecapan untuk 2/3 anterior lidah.3,4
II.2.

Fisiologi telinga tengah


Tuba eustachius memiliki tiga fungsi fisiologis terhadap telinga tengah, yaitu fungsi

ventilasi untuk mengatur agar tekanan telinga tengah sama dengan telinga luar, fungsi
proteksi adalah untuk melindungi telinga tengah terhadap tekanan suara dan sekret
nasofaring, fungsi drainase yaitu mengalirkan sekret yang diproduksi mukosa telinga tengah
ke arah nasofaring. Fungsi tuba eustachius yang paling penting adalah mengatur tekanan
telinga tengah, karena fungsi pendengaran akan optimum biia tekanan udara di telinga tengah
lebih kurang sama dengan tekanan diluar telinga. Dalam keadaan normal teriadi pembukaan
tuba secara intermiten aktif akibat kontraksi dari M. Tensor veli platini selama proses
menelan, yang akan mempertahankan tekanan di telinga tengah relatif sama dengan telinga
luar.5

II.3.

Otitis media akut


II.3.1. Terminologi
Otitis media merupakan peradangan yang terjadi pada telinga tengah. Otitis
media terjadi di daerah yang berada di antara membran timpani dan telinga dalam.
Otitis media sering terjadi pada anak dan balita yang selalu disertai dengan infeksi
virus pada saluran pernapasan bagian atas, yang sebagian besar disebabkan oleh virus
influenza. Otitis media dibagi menjadi otitis media akut dan otitis media kronis.8
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis
media supuratif dan otitis media non supuratif. Otitis media non supuratif disebut juga
otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis media musinosa, dan otitis media
efusi atau OME. Otitis media akut termasuk kedalam jenis otitis media supuratif,
dimana terdapat otitis media supuratif akut dan otitis media supuratif kronis atau
OMSK. Otitis media serosa juga terbagi menjadi otitis media serosa akut atau
barotrauma dan otitis media serosa kronis. Jenis otitis media yang lain adalah otitis
media spesifik yaitu otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika,dan otitis media
adhesiva.10
II.3.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 70% anak-anak mengalami sedikitnya satu atau lebih
otitis media akut sebelum berusia 2 tahun. Penelitian prospektif dari Pittsburgh
dengan subjek penelitian anak-anak yang berusia 2 tahun yang tinggal di perkotaan
maupun di pedesaan mendapatkan bahwa episode otitis media efusi sekitar 48% pada
anak usia 6 bulan, 79% pada usia 1 tahun, dan 91% pada usia 2 tahun. Puncak
kejadian otitis media akut pada anak adalah usia 3-18 bulan. Pada beberapa bayi bisa
mengalami serangan pertama otitis media akut segera setelah lahir, sehingga dianggap
memiliki resiko mengalami otitis media berulang. Dalam penelitian Pittsburgh,
insiden otitis media akut tertinggi terjadi pada anak-anak yang miskin dan tinggal di
perkotaan. Insidens otitis media akut berbeda antara beberapa negara karena
dipengaruhi oleh faktor ras, sosial ekonomi, dan iklim.9

II.3.3. Etiologi
Telinga tengah biasanya steril, suatu hal yang mengagumkan menimbang
banyaknya organism dalam nasofaring dan faring. Gabungan aksi fisiologis dari silia,
enzim penghasil mukus dan antibody berfungsi sebagai mekanisme pertahanan bila
telinga terpapar mikroba kontaminan saat menelan. Otitis media akut terjadi bila
mekanisme fisiologis ini terganggu. Sebagai pelengkap mekanisme pertahanan di
permukaan, suatu anyaman kapiler subepitel yang penting menyediakan pula faktorfaktor humoral, leukosit polimorfonuklear dan sel fagosit lainnya.11
Infeksi saluran pernapasan umumnya disebabkan oleh virus, namun sebagian
besar infeksi otitis media akut disebabkan oleh bakteru piogenik. Bakteri yang
seringkali ditemukan antara lain Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza,
dan Streptococcus haemolitcus. Streptococcus pneumonia merupakan organisme
penyebaba tersering pada semua kelompok umur, dan Haemophilus influenza adalah
patogen yang sering ditemukan pada anak di bawah usia lima tahun.11
II.3.4. Patofisiologi
Obstruksi tuba eustachius merupakan suatu faktor penyebab dasar pada otitis
media akut. Obstruksi tuba menyebabkan hilangnya sawar utama terhadap invasi
bakteri, dan spesies bakteri yang biasanya tidak patogenik dapat berkolonisasi ke
telinga tengah, menyerang jaringan dan menimbulkan infeksi.11 Otitis media akut juga
terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh. Sumbatan pada tuba Eustachius
merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit ini. Dengan terganggunya
fungsi tuba Eustachius, terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam telinga
tengah sehingga kuman masuk dan terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba
Eustachius ini menyebabkan terjadinya tekanan negatif di telingah tengah, yang
menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah
infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).12
Makin sering anak-anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya
OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA dipermudah karena: 1) morfologi tuba
eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal; 2) sistem kekebalan
tubuh masih dalam perkembangan; 3) adenoid pada anak relatif lebih besar dibanding
orang dewasa dan sering terinfeksi sehingga infeksi dapat menyebar ke telinga tengah.

Beberapa faktor lain mungkin juga berhubungan dengan terjadinya penyakit telinga
tengah, seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit hidung dan/atau sinus, dan kelainan
sistem imun. 12
II.3.5 Klasifikasi
Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga tengah,
yaitu10:
1. Stadium oklusi; stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran timpani
akibat tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak normal
atau berwarna suram.
2. Stadium hiperemis; pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di
sebagian atau seluruh membran timpani, membran timpani tampak hiperemis
disertai edem.
3. Stadium supurasi; stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai
hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum
timpani sehingga membran timpani tampak menonjol (bulging) ke arah liang
telinga luar.
4. Stadium perforasi; pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga
nanah keluar dari telinga tengah ke liang telinga.
5. Stadium resolusi; pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi
membran timpani kembali menutup dan sekret purulen tidak ada lagi. Bila daya
tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi
walaupun tanpa pengobatan.
Ada juga yang membagi OMA menjadi 5 stadium yang sedikit berbeda
yaitu, stadium kataralis, stadium eksudasi, stadium supurasi, stadium penyembuhan,
dan stadium komplikasi.
II.3.6. Diagnosis

Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut13: (1) Penyakitnya muncul
mendadak (akut). (2) Ditemukannya tanda etusi (efusi: pengumpulan cairan disuatu
rongga tubuh) ditelinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu diantara
tanda berikut: menggembungnya gendang telinga, terbatas/tidak adanya gerakan
gendang telinga, adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga, dan cairan
yang keluar dari telinga. (3) Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah,yang
dibuktikan dengan adanya salah satu diantara tanda berikut: kemerahan pada gendang
telinga, nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang cermat. Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan usia pasien.
Pada anak anak umumnya keluhan berupa rasa nyeri di telinga dan demam.
Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya. Pada remaja atau
orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan pendengaran dan telinga terasa
penuh. Pada bayi gejala khas adalah panas yang tinggi, anak gelisah dan sukar tidur,
diare, kejang-kejang dan sering memegang telinga yang sakit. Beberapa teknik
pemeriksaan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis OMA, seperti otoskop,
otoskop pneumatik, timpanometri, dan timpanosintesis. Dengan otoskop dapat dilihat
adanya gendang telinga yang menggembung, perubahan warna gendang telinga
menjadi kemerahan atau agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.14
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatik.
Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama sekali dapat dilihat
dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitas diagnosis OMA.
Namun umumnya diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan otoskop biasa. Untuk
mengkonfirmasi

penemuan

otoskopi

pneumatik

dilakukan

timpanometri.

Timpanometri dapat memeriksa secara objektif mobilitas membran timpani dan rantai
tulang pendengaran.14
II.3.7. Penatalaksanaan
American Academy of Pediatrics dan the American Academy of Family
Physicians pada tahun 2004 mengeluarkan rekomendasi penatalaksanaan OMA.
Petunjuk rekomendasi ini ditujukan pada anak usia 6 bulan sampai 12 tahun. Pada
petunjuk ini di rekomendasikan bayi berumur kurang dari 6 bulan mendapat

antibiotika, dan pada anak usia 6-23 bulan observasi merupakan pilihan pertama pada
penyakit yang tidak berat atau diagnosis tidak pasti, antibiotika diberikan bila
diagnosis pasti atau penyakit berat. Pada anak diatas 2 tahun mendapat antibiotika jika
penyakit berat. Jika diagnosis tidak pasti, atau penyakit tidak berat dengan diagnosis
pasti observasi dipertimbangkan sebagai pilihan terapi.13
Spiro et al, membuktikan bahwa penanganan OMA dengan menunggu dan
melihat atau observasi secara bermakna menurunkan penggunaan antibiotik pada
populasi urban yang datang ke instalasi gawat darurat. Metoda menunggu dan melihat
menurunkan penggunaan antibiotik pada 56% anak usia 6 bulan sampai 12 tahun
dengan OMA. Penggunaan metoda observasi secara rutin untuk terapi OMA dapat
menurunkan biaya dan efek samping yang ditimbulkan oleh antibiotik dan
menurunkan resistensi kuman terhadap antibiotik yang umum digunakan.15
Penatalaksanaan OMA harus memasukkan penilaian adanya nyeri. Jika
terdapat nyeri, harus memberikan terapi untuk mengurangi nyeri tersebut. Penanganan
nyeri harus dilakukan terutama dalam 24 jam pertama onset OMA tanpa
memperhatikan penggunaan antibiotik. Penanganan nyeri telinga pada OMA dapat
menggunakan analgetik seperti: asetaminofen, ibuprofen, preparat topikal seperti
benzokain, naturopathic agent, homeopathic agent, analgetik narkotik dengan kodein
atau analog, dan timpanostomi / miringotomi. Antihistamin dapat membantu
mengurangi gejala pada pasien dengan alergi hidung. Dekongestan oral berguna untuk
mengurangi sumbatan hidung. Tetapi baik antihistamin maupun dekongestan tidak
memperbaiki penyembuhan atau meminimalisir komplikasi dari OMA, sehingga tidak
rutin direkomendasikan.13,16
Antibiotik direkomendasikan untuk semua anak di bawah 6 bulan, 6 bulan 2
tahun jika diagnosis pasti, dan untuk semua anak besar dari dua tahun dengan infeksi
berat (otalgia sedang atau berat atau suhu tubuh lebih dari 39oC ). Jika diputuskan
perlunya pemberian antibiotik, lini pertama adalah amoksisilin dengan dosis 8090mg/kg/hari. Pada pasien dengan penyakit berat dan bila mendapat infeksi laktamase positif Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis terapi dimulai
dengan amoksisilin-klavulanat dosis tinggi (90 mg/kg/hari untuk amoksisilin, 6,4
mg/kg/hari klavulanat dibagi 2 dosis). Jika pasien alergi amoksisilin dan reaksi alergi
bukan reaksi hipersensitifitas (urtikaria atau anafilaksis), dapat diberi cefdinir (14

mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis), cefpodoksim (10 mg/kg/hari 1 kali/hari) atau


cefuroksim (20 mg/kg/hari dibagi 2 dosis). Pada kasus reaksi tipe I (hipersensitifitas),
azitromisin (10 mg/kg/hari pada hari 1 diikuti 5 mg/kg/hari untuk 4 hari sebagai dosis
tunggal harian) atau klaritromisin (15 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi). Obat lain
yang

bisa

digunakan eritromisin-sulfisoksazol (50

mg/kg/hari

eritromisin)

atau sulfametoksazol-trimetoprim (6-10mg/kg/hari trimetoprim. Alternatif terapi pada


pasien alergi penisilin yang diterapi untuk infeksi yang diketahui atau diduga
disebabkan

penisilin

resistan S.pneumoniae dapat

diberikan

klindamisin 30-

40 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi. Pada pasien yang muntah atau tidak tahan obat
oral dapat diberikan dosis tunggal parenteral ceftriakson 50 mg/kg. 13,16
Walaupun

observasi

yang hati-hati dan

pemberian

obat

merupakan

pendekatan pertama dalam terapi OMA, terapi pembedahan perlu dipertimbangkan


pada anak dengan OMA rekuren, otitis media efusi (OME), atau komplikasi supuratif
seperti mastoiditis dengan osteitis. Beberapa terapi bedah yang digunakan untuk
penatalaksanaan OMA termasuk timpanosintesis, miringotomi, dan adenoidektomi.
Timpanosintesis adalah pengambilan cairan dari telinga tengah dengan menggunakan
jarum untuk pemeriksaan mikrobiologi. Risiko dari prosedur ini adalah perforasi
kronik membran timpani, dislokasitulang-tulang pendengaran, dan tuli sensorineural
traumatik, laserasi nervus fasialis atau korda timpani.26,38Oleh karena itu,
timpanosintesis harus dibatasi pada: anak yang menderita toksik atau demam tinggi,
neonatus risiko tinggi dengan kemungkinan OMA, anak di unit perawatan intensif,
membran timpani yang menggembung (bulging) dengan antisipasi ruptur spontan
(indikasi relatif), kemungkinan OMA dengan komplikasi supuratif akut, OMA
refrakter yang tidak respon terhadap paket kedua antibiotik. Miringotomi adalah
tindakan insisi pada membran timpani untuk drainase cairan dari telinga
tengah.8,39 Pada miringotomi dilakukan pembedahan kecil di kuadran posteriorinferior membran timpani. Untuk tindakan ini diperlukan lampu kepala yang terang,
corong telinga yang sesuai, dan pisau khusus (miringotom) dengan ukuran kecil dan
steril.13
II.3.8. Komplikasi
Komplikasi dari otitis media akut dapat terjadi melalui penyebaran hematogen,
melalui jalan yang sudah ada, seperti: fenestra rotundum, meatus akustikus internus,

duktus perilimfatik, dan duktus endolimfatik, dan yang terakhir melalui erosi tulang.
Komplikasi otitis media akut dibagi menjadi komplikasi intratemporal dan komplikasi
intracranial. Komplikasi intratemporal terdiri dari; mastoiditis akut, petrositis,
labirinitis serosa dan supuratif, paralisis nervus fasialis, dan perforasi membran
timpani. Mastoiditis akut merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada
usia kurang dari tiga tahun dan paling sering pada laki-laki. Paralisis jarang ditemukan
pada anak dengan otitis media akut. Perforasi membran timpani ditemukan sekitar 2429,5% pada anak dengan otitis media akut yang ditandai dengan ottorhea yang dapat
mengiritasi liang telinga dan dapat menyebabkan infeksi telinga luar. Komplikasi
intrakranial terdiri dari; meningitis, encephalitis, hidrosefalus otikus, abses otak,
ekstradural abses, subdural empiema, dan thrombosis sinus lateralis.10
II.3.9. Prognosis
Otitis media akut yang menyebabkan kematian sudah sangat jarang terjadi
terlebih di era pengobatan yang sudah lebih maju. Pemberian terapi antibiotik yang
efektif membuat gejala sistemik menghilang bersama dengan nyeri lokal dalam waktu
48 jam. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh otitis media akut juga perlahanlahan akan kembali setelah otitis media akut teratasi.
Efusi pada telinga tengah dan gangguan pendengaran yang menetap sampai
dengan 14 hari setelah terapi didapatkan sebesar 70%, menetap sampai dengan 1
bulan setelah terapi sebesar 50%, menetap sampai 2 bulan setelah terapi sebesar 20%
dan menetap sampai 3 bulan setelah terapi sekitar 10%. Efusi telinga tengah yang
persisten dalam kebanyakan kasus bisa diobservasi tanpa diterapi dengan antibiotik.
Namun, pemberian antibiotik yang sama seperti pada terapi sebelumnya maupun
yang berbeda dapat diberikan pada efusi telinga tengah untuk mencegah terjadinya
kekambuhan.

BAB III
KESIMPULAN

Otitis media akut merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak, dimana
penyebab terjadinya otitis media akut pada anak terutama disebabkan oleh sumbatan tuba
eustachius dan adanya infeksi saluran pernapasan atas. Keluhan otitis media pada anak
meliputi nyeri telinga, keluarnya cairan dari telinga, gangguan pendengaran, demam, mual,
muntah, gelisah, dan sulit makan. Diagnosis dini dan pengobatan yang efektif sangat
menentukan prognosis dan mencegah terjadinya komplikasi.
Tujuan enatalaksanaan otitis media akut adalah untuk mengurangi gejala dan
rekurensi. Pada fase awal penatalaksanaan ditujukan pada penyembuhan gejala yang
berhubungan dengan nyeri dan demam dan mencegah komplikasi supuratif seperti mastoiditis
atau meningitis. Penatalaksanaan otitis media akut meliputi observasi, terapi, simtomatis,
antibiotik, timpanosintesis, miringotomi, dan pencegahan dengan vaksin pneumokokus
konjugat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Casselbrant ML, Mandel EM. Epidemiology. In : Rosenferd RM, Bluestone CD, editors.
Evidence-based otitis Media. Hamilton, Ontario: BC Decker Inc 1999:117-136.
2. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran (tuli). In: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. 6th ed. Jakarta: Badan penerbit FKUI;2007.p.10-13.
3. Probst R. The middle ear. In: Probst R, Grevers G, Iro H, editors. Basic otorhinolaryngology.
2nd ed. New York: Thieme;2006.p.227-49.
4. Lee KJ. Anatomy of the ear. In: Essential otolaryngology head and neck surgery. 8 th ed. USA:
McGraw-Hill;2003.p.1-23.
5. Bluestone CD. Eustachian tube function and dysfunction. In: Rosenfeld RM, Bluestone CD,
editors. Evidence-based otitis media. Hamilton, ON, Canada: BC Decker;2003.p.163-79.
6. Massoud E. Eustachian tube function. Last updated 2009, May 19. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/874348-overview.
7. Bailey BJ, Johnson JT. Pediatric otolaryngology. In: Head and neck surgery otolaryngology.
4th ed. USA: L. William;2006.p.1052-53.
8. Almamory IAAS, Kamal SAA. Bacteria and fungi associated with acute otitis media. J Biol
Agric Healthc 2014;4:41-5.
9. Donaldson JD. Acute otitis media. Last updated 2015, Feb 23. Available from http://
http://emedicine.medscape.com/article/859316-overview.
10. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan telinga tengah. In: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
dan leher. 6th ed. Jakarta: Badan penerbit FKUI;2007.p.65-85.
11. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid. In: Effendi H,
editor. Boies buku ajar penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC;1997.p.95-6.
12. Darrow DH, Dash N, Derkay CS. Otitis media: concepts and controversies. Curr Opin
Otolaryngol Head Neck Surg 2003;11:416-423.
13. Neff MJ. AAP, AAFP release guideline on diagnosis and management of acute otitis media.
Am Fam Physician 2004;69:2713-5.
14. Healy GB, Rosbe KW. Otitis media and middle ear effusions. In: Snow JB, Ballenger JJ,
editors. Ballengers otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th edition. New York: BC
Decker 2003.p.249-59.
15. Spiro DM, Tay, KY, Arnold DH, Dziura JD, Baker MD, Shapiro ED. Wait and see
prescription for the treatment of acute otitis media. A randomized controlled trial.
JAMA 2006;296:1235-41.
16. Ramakrishnan K, Sparks RA, Berryhill WE. Diagnosis and treatment of otitis media. Am
Fam Physician.2007;76(11):1650-58.

Anda mungkin juga menyukai