Anda di halaman 1dari 11

176

GAGASAN REFORMASI BIROKRASI DALAM RANCANGAN UNDANG


UNDANG (RUU) TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Dwiyanto Indiahono
Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP UNSOED
E-mail: dwiyanto.indiahono@unsoed.ac.id
Abstract
Draft of Public Administration Law in the reality is arranging how public administration done by
government and citizen. This draft is legal fundament to put down public functionary rights and
obligations, governmental institution (as public organization) and public as citizen more equal.
Bureaucracy reform have to be viewed as complex domain, and also require the complex effort to
support it. RUU AP has to esteem as part of bureaucracy reform effort in Indonesia. And to hope
happened high acceleration in bureaucracy reform, hence RUU AP has to be supported with effort of
developing commitment of public functionaries, developing system public service, improving the
quality of human resource, improving exploiting of technology in bureaucracy (e-gov) and create
best culture of bureaucracy.
Key words: bureaucracy reform, public administration law, and culture of bureaucracy.
Abstrak
Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) sejatinya adalah rancangan undangundang yang mengatur bagaimana administrasi pemerintahan dilakukan oleh pemerintah dan warga
negaranya. RUU ini merupakan dasar hukum untuk meletakkan hak dan kewajiban pejabat publik,
badan/ institusi pemerintah (sebagai organisasi publik) dan publik sebagai warga negara secara lebih
berkeadilan. Reformasi birokrasi harus dipandang sebagai ranah yang kompleks, dan perlu upaya yang
kompleks juga untuk mendukungnya. RUU AP amat patut dihargai sebagai bagian dari upaya
reformasi birokrasi di Indonesia. Dan untuk berharap terjadi akselerasi yang tinggi dalam reformasi
birokrasi, maka RUU AP harus didukung dengan upaya peningkatan komitmen para pejabat publik,
mengembangkan sistem pelayanan publik,
meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
meningkatkan pemanfaatan teknologi dalam birokrasi (e-gov) dan menciptakan budaya unggul
birokrasi.
Kata kunci: reformasi birokrasi, hukum administrasi negara, dan budaya birokrasi

Pendahuluan
Jika menunjuk pada birokrasi yang
dikemukakan Weber, maka organisasi yang baik
adalah organisasi yang di dalamnya terdapat
aktor rasional, terdapat pembagian kerja yang
jelas (spesialisasi), kepemimpinan pada satu
pucuk pimpinan (hirarki), dan rentang kendali
yang memadai. Konsep birokrasi Weber ini harus diejawantahkan secara berhat-hati, sebab
bisa jadi konsep ini justeru memicu lahirnya
masalah pada birokrasi (biropathologi). Konsep
birokrasi ala Weberian dianggap kaku, dan tidak responsif terhadap kondisi yang dihadapi
organisasi. Pembagian kerja yang amat spesifik

menjadikan birokrat sebagai anggota organisasi


yang mekanis, tidak kreatif, dan lambat dalam
memberikan jawaban atas permasalahan yang
dihadapi secara mendesak. Satu pucuk pimpinan dalam organisasi diduga menjadikan birokrat
amat patuh kepada atasan tanpa bisa mengembangkan rasionalitasnya sebagai pelayan publik.
Birokrat tidak lagi menjadi pelayanan publik,
melainkan menghamba kepada atasan sebagai
raja tunggal yang absolut. Birokrasi Weber yang
kaku, tidak responsif dan dinamis nampaknya
tercermin dalam birokrasi yang ada di Indonesia. Birokrasi yang berbelit, tidak transparan,
tidak partisipatif dan hegemonik menjadi per-

Gagasan Reformasi Birokrasi dalam RUU tentang Administrasi Pemerintahan 177

masalahan-permasalahan yang menjadi pekerjaan rumah reformasi birokrasi.


Reformasi birokrasi dengan demikian
harus diarahkan pada tumbuhnya kesadaran
birokrat dan publik atas terselenggaranya tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance). Reformasi birokrasi harus mencakup
perubahan yang menyeluruh (holistic) dan berkelanjutan (sustainable). Salah satu hal yang
telah dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi adalah dengan merancang undang-undang administrasi pemerintahan. Rancangan undang-undang administrasi
pemerintahan yang diusulkan menjadi undangundang administrasi pemerintahan merupakan
dasar hukum yang menjamin kepastian hukum
institusi pemerintah dan juga mengusahakan
tindakan-tindakan yang profesional dari institusi, pejabat dan aparat pemerintah. Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
(RUU AP) menjadi penting untuk menambah kekuatan mesin reformasi birokrasi yang telah
berjalan. Sehingga gagasan baru terkait dengan
reformasi birokrasi dalam RUU AP, dan hal lain
apakah yang dapat dilakukan pemerintah untuk
menambah laji gerbong reformasi birokrasi
menjadi hal-hal yang menarik untuk diungkap.
Mencermati hal di atas, maka tulisan ini
berusaha untuk menganalisis persoalan yang
terkait dengan gagasan-gagasan baru yang
ditawarkan RUU AP dalam reformasi birokrasi
serta hal-hal yang sepatutnya dilakukan
pemerintah untuk melengkapi proses reformasi
birokrasi di Indonesia.
Pembahasan
Gagasan-Gagasan dalam RUU AP untuk Reformasi Birokrasi
Pemerintah dengan segala komitmennya
telah memulai reformasi birokrasi dengan mengeluarkan berbagai macam aturan pendukung.
Salah satu produk hukum yang sedang dalam
proses adalah Rancangan Undang-Undang
tentang Administrasi Pemerintahan (RUU AP).
Dua pertimbangan dari RUU AP adalah

Pertama, bahwa sesuai dengan asas negara hukum yang demokratis semua tindakan
hukum dan tindakan materiil Administrasi Pemerintahan yang dilakukan pejabat publik
harus berdasarkan kepada ketentuan hukum
dan peraturan perundang-undangan dan asasasas umum pemerintahan yang baik.
Kedua, bahwa penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang transparan, mudah,
cepat, tepat, pasti, efisien, efektif dan partisipatif memerlukan undang-undang yang memberikan perlindungan hukum kepada warga
masyarakat secara adil dan tidak berpihak.
Pertimbangan lahirnya RUU AP di atas,
setidaknya menunjukkan upaya pemerintah
untuk memberikan kepastian hukum atas setiap
tindakan yang dilakukan pemerintah dan upaya
untuk menciptakan perlindungan hukum kepada
warga masyarakat secara adil dan tidak berpihak guna mewujudkan penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan yang transparan, mudah, cepat, tepat, pasti, efisien, efektif dan
partisipatif. Hal inilah yang menjadi sebab
mengapa good governance berhadap-hadapan
secara kasat mata dengan tindak pidana korupsi
yang berlaku di birokrasi1.
Hal di atas selaras pula dengan saran pemecahan masalah-masalah administrasi negara
pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia R.I. Seminar ini merekomendasikan diperlukan pendekatan dan dukungan
sistem administrasi negara yang mengindahkan
nilai-nilai dan prinsip good governance serta
asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang
baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) dan sumber daya aparatur negara (pejabat politik dan karier) yang memiliki integritas, kemampuan profesional, dan konsistensi
dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut,

Dwiyanto Indiahono, Korupsi Versus Good Governance:


Analitis Kritis Pemberdayaan Pers Melawan Korupsi,
Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa, Vol. 17 No. 1, Maret
2009, Makassar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin,
hlm. 33-42.

178 Jurnal Dinamika Hukum


Vol. 11 No. 1 Januari 2011

baik dalam jajaran eksekutif, legislatif dan


yudikatif2.
Saat ini hukum memang tengah berada
dalam situasi transisi yaitu hukum yang tadinya
berparadigma pada kekuasaan mulai ditinggalkan dan mengalami reorientasi pada hukum
yang berwajah kerakyatan dan berkeadilan3.
Hukum harus menampilkan wajah yang ramah
bukan hanya kepada penguasa, elit atau golongan the have, tetapi juga harus bersikap
ramah kepada setiap warga negara. Ramah di
sini harus diartikan bahwa hukum diyakini,
dipatuhi sebagai instrumen untuk melindungi
hak setiap warga negara, tanpa ada rasa takut
adanya pencideraan terhadap hak asasi warga
negara yang lain. Hukum mampu menjadi benteng keadilan bagi para warga negara. Nilainilai keadilan, kebenaran dan kesamaan dimuka
hukum harus tercakup didalamnya. Martin Luther King Jr. mengungkapkan bahwa undangundang yang adil adalah Pertama, aturan kreasi
manusia yang diseleraskan dengan undang-undang moral atau undang-undang Tuhan; Kedua,
Undang-undang manapun yang menjunjung
tinggi martabat manusia; Ketiga, aturan di
mana mayoritas mendorong minoritas untuk
patuh terhadap apa yang hendak ia patuhi.
Sebaliknya, undang-undang yang tidak
adil adalah Pertama, aturan yang bertentangan
dengan undang-undang moral; Kedua, Undangundang yang merendahkan martabat manusia;
Ketiga, aturan yang menyengsarakan minoritas,
dimana mereka tidak diberi ruang untuk bertindak atau berkreasi, sebab mereka tidak
memiliki kemerdekaan hak untuk memilih4.
Hal di atas menjadi penting karena setiap
warga negara adalah makhluk yang memiliki

Laporan Hasil Seminar Pembangunan Hukum Nasional


VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia
R.I. Kuta, Bali, 14 - 18 Juli 2003, hlm. 10.
Erdiansyah, Fenomena Perbuatan Main Hakim Sendiri
dalam Perspektif Sosiologi Hukum, Jurnal Hukum
Respublica, Vol. 8 No. 1, November 2008, Pekanbaru:
Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, hlm. 1920.
Josh McNary dalam Antonio L. Casado da Rocha, 2002,
Pembangkangan Sipil. Pasuruan: Penerbit Tadarus, hlm.
Xix.

cipta, rasa dan karsa. Warga negara merupakan


insan cerdas yang mampu berpikir rasional
demi kepentingan dirinya. Jika warga negara
merasa ada perlakuan yang tidak adil oleh pemerintah kepada warga negara, maka dikhawatirkan warga negara akan melakukan pembangkangan kepada pemerintah5. Bentuk pembangkangan ini bisa berbentuk demonstrasi, tidak
menaati hukum yang diskriminatif, atau bentuk
lain sebagai ekspresi kekesalan dan kekecewaannya kepada pemerintah.
Pejabat publik secara ideal mampu menjalankan prinsip-prinsip good governance secara
baik. RUU AP pun berupaya mewajibkan kepada
pejabat publik menjalankan hak, wewenang,
kewajiban dan tanggung jawabnya dengan
melaksanakan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.
Asas-asas pemerintahan umum yang baik itu
antara lain, pertama, asas kepastian. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, asas keseimbangan. Asas keseimbangan adalah asas yang mewajibkan pejabat
administrasi pemerintahan atau badan untuk
menjaga, menjamin, paling tidak mengupayakan keseimbangan, yaitu: (1) keseimbangan kepentingan antara individu dengan individu; (2)
keseimbangan kepentingan antara individu
dengan masyarakat; (3) keseimbangan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara; (4) keseimbangan kepentingan antara generasi yang sekarang dan generasi mendatang;
(5) keseimbangan kepentingan antara manusia
dan ekosistemnya. Ketiga, asas kesamaan. Asas
kesamaan adalah asas yang mengutamakan perlakuan yang sama dari kebijaksanaan pemerintah. asas motivasi. Keempat, asas motivasi adalah asas pemberian suatu keputusan yang harus
dapat didukung oleh alasan-alasan dengan
5

Dwiyanto Indiahono, Civil Society dan Pembangkangan


Publik (Analisis Reaksi Kekecewaan Publik Terhadap
Pemerintah, Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika
Masyarakat, Vol. 6 No. 1, Oktober 2008, Semarang: FH.
Universitas 17 Agustus Semarang, hlm. 70-84.

Gagasan Reformasi Birokrasi dalam RUU tentang Administrasi Pemerintahan 179

dasar fakta yang dijadikan dasar suatu keputusan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kelima, asas kecermatan. Asas kecermatan
adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu
keputusan harus dipersiapkan terlebih dahulu
dan kemudian keputusan tersebut diambil
dengan cermat.
Keenam, asas tidak melampaui dan atau
mencampuradukan kewenangan. Asas tidak melampaui atau mencampuradukkan kewenangan
adalah asas yang mewajibkan setiap Pejabat
Administrasi Pemerintahan atau Badan tidak
menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadinya. Ketujuh, asas bertindak yang wajar. Asas bertindak yang wajar
adalah asas yang mewajibkan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan untuk tidak
bertindak dan membuat keputusan yang diskriminatif.
Kedelapan, asas keadilan. Asas keadilan
adalah setiap penyelenggaraan administrasi
pemerintahan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara.
Kesembilan, asas kewajaran dan kepatutan.
Asas kewajaran dan kepatutan adalah asas yang
mewajibkan Pejabat Administrasi Pemerintahan
atau Badan untuk tidak bertindak sewenangwenang. Kesepuluh, asas menanggapi pengharapan yang wajar. Asas menanggapi pengharapan yang wajar adalah asas yang mewajibkan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau
Badan menepati janjinya yang menimbulkan
pengharapan yang wajar kepada para pemohon
atas layanan dan tindakan yang dibutuhkan dari
pemerintah.
Kesebelas, asas meniadakan akibat-akibat
suatu keputusan yang batal. Asas meniadakan
akibat-akibat suatu keputusan yang batal adalah asas yang mewajibkan Pejabat Administrasi
Pemerintahan atau Badan untuk mengambil
tindakan segera atau mengganti kerugian yang
timbul sebagai akibat keputusan yang batal.
Keduabelas, asas perlindungan atas pandangan
hidup pribadi. Asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi adalah asas yang mewajibkan
Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan

menghormati pandangan hidup pribadi seseorang atau kelompok dan melakukan tindakan
serta memberikan layanan tanpa melakukan
diskriminasi kepada setiap warga masyarakat.
Ketigabelas, asas tertib penyelenggaraan
administrasi pemerintahan. Asas Tertib Penyelenggaraan administrasi pemerintahan adalah asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan. Keempatbelas, asas keterbukaan. Asas
keterbukaan adalah asas yang membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan administrasi
pemerintahan dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan,
dan rahasia negara.
Kelimabelas, asas proporsionalitas. Asas
proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
warga atau penduduk yang berkepentingan dalam keputusan atau perilaku pejabat administrasi pemerintahan di satu fihak, dan antara
kepentingan warga dan penyelenggaraan pemerintahan di lain fihak. Keenambelas, asas
profesionalitas. Asas profesionalitas adalah asas
yang mengutamakan keahlian yang sesuai
dengan tugas dan kode etik yang berlaku bagi
Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan
yang mengeluarkan keputusan administrasi
pemerintahan yang bersangkutan.
Ketujuhbelas, asas akuntabilitas. Asas
akuntabilitas adalah asas yang menentukan
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedelapanbelas, asas kepentingan umum. Asas
kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak
diskriminatif.

180 Jurnal Dinamika Hukum


Vol. 11 No. 1 Januari 2011

Kesembilanbelas, asas efisiensi. Asas Efisiensi adalah asas penyelenggaraan administrasi


pemerintahan yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai
hasil kerja yang terbaik. Keduapuluh, asas
efektifitas. Asas Efektivitas adalah asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang
berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan
berdayaguna.
Asas-asas yang terdapat dalam RUU AP
sejatinya sudah sangat lengkap dan ideal sebagai landasan bagi birokrat maupun publik
dalam rangka turut serta dalam proses penyelenggaraan good governance secara lebih
baik. Penegakan asas-asas ini dalam kehidupan
sehari-hari bagi para pejabat publik akan
memperbesar kesempatan untuk melakukan
reformasi birokrasi secara menyeluruh dan
berkelanjutan. Terlebih dalam RUU AP juga telah dijelaskan dengan jelas tujuan dari UU AP
ini, yaitu menciptakan tertib penyelenggaraan
Administrasi Pemerintahan; menciptakan kepastian hukum; mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang; menjamin akuntabelitas
Pejabat Adminsitrasi Pemerintah atau Badan;
memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan aparatur pemerintah; menerapkan
asas-asas umum pemerintahan yang baik; dan
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya
kepada masyarakat.
Birokrasi selama ini dikenal sebagai
institusi pemerintah yang bertindak secara
otonom dan tidak akuntabel. Padahal birokrasi
sebagai sebuah institusi yang bertanggung
jawab untuk melaksanakan urusan dan kepentingan publik diwajibkan untuk memberikan
pertanggungjawaban yang baik dengan menunjukkan kinerja yang baik pula. Birokrasi yang
baik adalah birokrasi yang memiliki kinerja
yang baik. Pemahaman bahwa birokrasi adalah
pihak otonom, mandiri dan layak untuk bersikap diam atas kinerja yang buruk layak
disingkirkan. Pemahaman birokrasi yang otonom, mandiri dan tidak layak dikontrol oleh
publik adalah pemahaman birokrasi kerajaan
dan kolonial yang sudah tidak relevan lagi.

Birokrasi sekarang dituntut untuk menunjukkan kinerja yang baik, yaitu dengan melakukan kegiatan pemenuhan urusan dan kepentingan publik dengan lebih produktif, berkualitas,
responsif, responsibel dan akuntabel. Agus
Dwiyanto mengemukakan ada 5 (lima) indikator
untuk mengukur kinerja birokrasi. Pertama,
produktivitas. Konsep produktivitas tidak hanya
mengukur tungkat efisiensi, tetapi juga efektifitas pelayanan. Kedua, kualitas pelayanan.
Isu mengenai kualitas layanan cenderung
menjadi semakin penting dalam menjelaskan
kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak
pandangan negatif terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan
masyarakat terhadap kualitas layanan yang
diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan
dapat dijadikan indikator kinerja organisasi
publik.
Ketiga, responsivitas. Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan
prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Keempat,
responsibilitas. Responsibilitas menjelaskan
apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik
itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun
implisit. Kelima, Akuntabelitas. Akuntabelitas
publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada
para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat.
Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik
tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan
sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat.6 Menunjuk pada hal di atas,
maka reformasi birokrasi harus mampu menciptakan birokrasi yang produktif, dengan kualitas pelayanan publik yang memadai, responsif,
responsibel dan akuntabel.
6

Agus Dwiyanto dkk, 2006, Reformasi Birokrasi Publik di


Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
hlm. 50-51.

Gagasan Reformasi Birokrasi dalam RUU tentang Administrasi Pemerintahan 181

Reformasi birokrasi ke depan setidaknya


membutuhkan tiga prasyarat utama, yaitu
komitmen elit, responsivitas dan akuntabilitas.
Pertama, Komitmen Elit. Komitmen menjadi
kajian yang menarik ketika berbicara mengenai
hak-hak orang lain, terlebih bagi kepentingan
publik. Tak ada yang menampik bahwa kajiankajian tentang komitmen terus menduduki ranking teratas dalam pelatihan-pelatihan kepemimpinan dewasa ini. Kajian tentang komitmen sekarang telah menggantikan kajian-kaijan
mengenai manajemen dan keahlian lainnya.
Kajian tentang komitmen, menjadi trend ketika
keahlian manajerial ternyata tidak serta merta
membawa organisasi (khususnya organisasi publik) untuk lebih responsif dan peduli dengan
kepentingan publik. Keahlian manajerial yang
selama ini dibanggakan ternyata malah dimanfaatkan sebagian yang lain untuk membodohi
publik. Komitmen (khususnya elit) dibutuhkan
untuk memulai perubahan sistem birokrasi.
Komitmen adalah kemauan yang kuat untuk
tetap peduli dengan urusan-urusan publik dan
mengaktualisasikannya dalam kehidupan berbirokrasi. Ia ada karena komitmennya untuk
memajukan kesejahteraan rakyat, dan ia pun
ada karena sadar bahwa ia adalah makhluk
sosial yang membutuhkan dan dibutuhkan orang
lain. Kedua, responsivitas. Aparat pemerintah
harus mau duduk sejajar di depan publik,
berdiskusi dan mengetahui keluh kesah dan
harapannya terhadap pelayanan yang dibutuhkan. Aparat pemerintah kedepan adalah manusia yang bukan hanya memiliki lima indera
untuk mencitra kepentingan publik dan kepuasannya. Aparat pemerintah ke depan mungkin harus memiliki panca indera keenam atau
bahkan lebih untuk kesempurnaannya dalam
menampung aspirasi publik. Publik didudukkan
sebagai mitra dan manusia yang bermartabat:
memiliki asa, rasa dan karsa. Wujud penghargaan dan rasa percaya kepada warga negara
adalah dengan mendengar keluh kesah, saran,
masukan dan kritik. Aparat pemerintah ke
depan adalah seseorang yang tersenyum kala
diberi masukan demi kepuasan publik dalam

pelayanan. Ketiga, akuntabilitas. Aparat pemerintah dengan segala kewenangannya harus


mampu dan mau secara transparan mempertanggungjawabkan apa yang akan dan telah
dilakukannya. Setiap aktifitas pemerintah harus
dapat diukur kaberhasilannya, pemerintah
harus mempublish indikator dari aktifitasnya
sehingga publik dapat mengetahui bahwa
pemerintah benar-benar bersih dan ikhlas
melakukan aktifitas untuk menyejahterakan
publik7.
Secara umum dalam RUU AP akan ditemukan beberapa gagasan yang dapat mendukung kepastian hukum atas perilaku pejabat
publik, organisasi pemerintah dan publik, serta
reformasi birokrasi. Gagasan penting RUU AP
yang dapat ditunjuk antara lain. Pertama,
hubungan antar instansi pemerintah. Hal ini
mengatur bagaimana hubungan yang sinergis
antar institusi pemerintah dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Hal ini merupakan terobosan baru untuk menunjukkan
perilaku profesional dari instansi pemerintah.
Antar instansi pemerintah harus memulai kerja
tim yang lebih solid sehingga tujuan
pembangunan dapat tercapai dengan lebih
capat dan efisien.
Kedua, pemanfaatan teknologi dalam
RUU AP. Aktifitas birokrasi ke depan harus di
kembangkan dengan memanfaatkan teknologi.
Hal ini nampaknya telah diakomodir dalam RUU
AP, yaitu dengan mencantumkan pasal: Komunikasi Elektronik. Pasal ini melegitimasikan
bahwa pengiriman keputusan administrasi
pemerintahan dapat dilakukan dengan media
elektronik, jika publik atau badan mempunyai
akses untuk membuka secara elektronik tersebut; menyamakan bentuk elektronik dari
keputusan administrasi pemerintahan dengan
bentuk yang tertulis, meskipun demikian 30
hari sejak diputuskan, keputusan yang asli
harus dikirimkan.

Dwiyanto Indiahono, 2006, Reformasi Birokrasi Amplop: Mungkinkah?. Yogyakarta: Gavamedia, hlm. 171175.

182 Jurnal Dinamika Hukum


Vol. 11 No. 1 Januari 2011

Ketiga, prosedur administrasi pemerintahan. Hal ini menunjuk pada upaya memberikan kepastian hukum dalam prosedur administrasi pemerintahan, diantaranya menjelaskan
para pihak yang berhak untuk ikut serta dalam
administrasi pemerintahan; menjelaskan kepastian bahwa seorang pejabat tidak berwenang untuk pembuatan keputusan administrasi pemerintahan jika memiliki hubungan
dengan para pihak yang terlibat; menjelaskan
kebolehan memberikan kuasa dalam hal tindakan dan prosedur administrasi pemerintahan;
menjelaskan proses pengujian administrasi pemerintahan; menjelaskan tentang proses dan
syarat yang dibutuhkan dalam legalisasi dokumen administrasi pemerintahan; adanya kewajiban bagi pejabat atau badan pemerintah
untuk melakukan dengar pendapat jika keputusan administrasi pemerintahan yang akibatnya memberatkan, membebani atau mengurangi hak orangperorangan.
Keempat, keputusan administrasi pemerintahan. Hal ini menunjuk pada upaya memberikan kepastian hukum pada beberapa hal,
diantaranya: menjelaskan syarat-sahnya keputusan administrasi pemerintahan; keberlakuan surat keputusan; batas-batas diskresi; dan
penyampaian keputusan; pencabutan, penarikan, pembatalan dan revisi keputusan administrasi pemerintahan. Hal ini menjadi sangat
penting agar warga negara terhindar dari sikap
arogan para pejabat publik atau institusi pemerintahan. Kepastian hukum ini akan menuntut sikap profesionalisme aparat pemerintah
serta tanggung jawab pemerintah dalam berhubungan dengan setiap warga negara.
Kelima, upaya administratif terhadap keputusan administrasi pemerintahan. Hal ini menunjuk adanya kepastian hukum tentang diperbolehkannya usaha untuk menyampaikan keberatan atas keputusan administrasi pemerintahan, tata cara, dan batas akhir menyampaikan keberatan. Kepastian hukum merupakan
perlindungan para pencari keadilan terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seorang akan dapat memperoleh sesuatu

yang diharapkan dalam keadaan tertentu8. Hal


ini menjadi penting sebagai landasan hukum
untuk memberikan kritik dan saran atas kebijakan pemerintah. Upaya ini juga memberikan kepastian hukum, bahwa jika terdapat
upaya administrasi dari para pihak, maka
keputusan administrasi pemerintah tersebut
dapat ditunda untuk diberlakukan. Tidak hanya
itu, jika dalam kenyataannya pencabutan atau
pembatalan keputusan administrasi pemerintahan menimbulkan ganti rugi, maka pemerintah memberikan garansi akan memberikan
ganti rugi secara wajar.
Beberapa Hal Lain yang Harus Dilakukan dalam Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi merupakan upaya untuk menciptakan kinerja birokrasi secara lebih
baik. RUU AP merupakan salah satu media untuk memberikan kepastian hukum atas setiap
kegiatan yang dilakukan oleh publik dan pemerintah dalam administrasi pemerintahan. RUU
AP ini setidaknya menjadi panduan awal bagaimana organisasi publik, pejabat publik, dan
anggota masyarakat dalam berurusan dengan
administrasi pemerintahan. Ada beberapa hal
yang dikemudian hari menjadi pekerjaan rumah
paska ditetapkannya RUU AP jika menginginkan
birokrasi memiliki kinerja lebih baik.
Pertama, meningkatkan komitmen para
pejabat publik. Hal ini menunjuk bahwa pejabat publik harus mulai bersikap egaliter di
depan publik. Pejabat publik bukanlah seorang
raja dan pejabat kerajaan yang ingin selalu di
layani oleh publik. Pejabat publik harus mengetahui posisinya sebagai public servant yang
harus mau mendengar kritik, masukan dan keinginan dari publik. Pejabat publik juga harus
mulai menggagas ide perubahan yang bermakna
untuk menciptakan kebijakan publik yang rasional dan demokratis, serta pelayanan publik
yang lebih memuaskan. Khusus akan pentingnya
8

Ratnawati, Putusan Hakim antara Harapan dan Realitas (Refleksi Hasil Riset Putusan Hakim), Jurnal Ilmu
Hukum Amanna Gappa, Vol. 17 No. 1, Maret 2009,
Makassar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, hlm.
66.

Gagasan Reformasi Birokrasi dalam RUU tentang Administrasi Pemerintahan 183

mindset dan komitmen perubahan pada seorang


pemimpin, Sri Sultan Hamengku Buwono X pernah menyatakan: Jadi, jangan berharap reformasi kepemerintahan bisa terjadi, bila pimpinan puncak tidak memiliki visi dan keinginan
kuat untuk suatu perubahan. Hal ini menjadi
semakin harus lebih diperhatikan karena berdasarkan penelitian Slamet Rosyadi di salah
satu kabupaten di Jawa Tengah, kadar keterbukaan pikiran aparatur pemerintah daerah
sebagian besar masih rendah.9
Kedua, mengembangkan sistem pelayanan publik. Hal ini menunjuk bahwa mengembangkan sistem pelayanan publik yang memuaskan merupakan tantangan yang tidak ringan
dalam reformasi birokrasi ke depan. Sistem
pelayanan publik harus menjamin (a) Pelayanan
yang pro kepada publik dan mampu mengikis
budaya paternalisme (pelayanan yang pro kepada kepada pimpinan atau birokrat pimpinan
birokrasi), yaitu menunjuk bahwa sistem yang
terbangun harus menjadi pioner dalam mendudukkan warga negara sebagai publik yang harus mendapatkan hak dilayani secara lebih baik
oleh aparat pemerintah. Pelayanan publik
membutuhkan kepercayaan publik sebagai legitimasinya, sedangkan kepercayaan publik sendiri amat dipengaruhi oleh standar kepuasan.
Standar kepuasan publik sendiri dalam kondisi
ideal akan terus naik10. (b) Kepastian atas pelayanan yang diberikan, yaitu menunjuk bahwa
sistem yang dibentuk harus mampu menjamin
publik mendapatkan pelayanan secara pasti,
jelas, dan konsisten. Publik harus mendapatkan
informasi terhadap mekanisme dan prosedur
pelayanan, besaran beaya dan waktu yang diperlukan dalam suatu jenis pelayanan. Hal di
atas sering disebut sebagai maklumat pelayanan, yaitu pernyataan dari institusi pemerintah
terkait dengan suatu jenis pelayanan yang
berisi rincian kejelasan dari mulai input, proses
hingga penyelesaian suatu jenis pelayanan.

Dalam maklumat pelayanan terdapat informasi


jenis pelayanan, prosedur, waktu dan biaya
dari suatu jenis pelayanan publik. Lebih penting lagi adalah institusi pemerintah menjamin
bahwa maklumat pelayanan tersebut bukan
hanya pernyataan pepesan kosong belaka, tetapi harus dapat direalisasikan secara lebih
baik, konsisten dan sungguh-sungguh. (c) Tidak
ada diskriminasi dalam pelayanan publik, yaitu
menunjuk bahwa sistem yang dibangun menjamin setiap warga negara akan didudukkan
secara sederajat, diperlakukan secara wajar
dan dijamin untuk mendapatkan pelayanan secara layak. (d) Sistem insentif, yaitu menunjuk
bahwa sistem yang dibangun mampu memberikan insentif reward kepada aparatur pemerintah yang berprestasi dan menunjukkan kinerja
positif dalam pelayanan publik, dan sebaliknya
menimpakan punishment kepada aparatur yang
lalai dan mencoba menghancurkan sistem baik
yang sedang dibangun. Organizational leaders
must constantly maintain a flow of resources
into their organization to cover the incentives
tha must be paid out to induce people to
contribute to the organization11. Sistem semacam ini menjadi penting untuk dapat memotivasi para aparatur pemerintah secara
konsisten membangun sistem pelayanan publik
yang lebih memuaskan, menjaga keberlangsungan sistem dan menghilangkan resistensi
dari aparatur pemerintah yang phobi terhadap
perubahan. Organisasi yang kreatif menghargai
dan memberi reward terhadap kreatifitas12. (e)
Semangat kerja sama dan pemberdayaan tim,
yaitu menunjuk bahwa sistem yang sedang
dibangun akan menjamin hidupnya budaya
kerja sama saling asah, asih dan asuh tanpa
harus dibatasi secara rigid oleh kotak-kotak
spesialisasi. Hal ini menjadi penting karena organisasi publik sudah terlampau lama dibius
oleh birokrasi weberian yang mengajarkan ma11

10

Slamet Rosyadi, 2010, Paradigma Baru Manajemen


Pembangunan, Yogyakarta: Gavamedia, hlm. 16-23.
Carol W. Lewis dan Stuart C. Gilman, 2005, The Ethics
in Public Service: a Problem-Solving Guide, San
Fransisco: Jossey-Bass, hlm. 22-27.

12

Barnard, Simon, March and Simon dalam Hal G. Rainey,


1997, Understanding and Managing Public Organization,
San Fransisco: The Jossey Bass Publisher, hlm. 210.
Gary Steiner dalam A. Usmara (ed), 2003, Handbook of
Organization: Kajian dan Teori Organisasi, Yogyakarta:
Penerbit Amara Books, hlm. 302.

184 Jurnal Dinamika Hukum


Vol. 11 No. 1 Januari 2011

nusia untuk bertindak sebagai spesialis tanpa


mau memandang keberadaan kolega sebagai
saudara/teman dalam mencapai tujuan. Akibatnya, ketika ada satu elemen birokrasi yang
mandeg maka tugasnya tidak dapat terduplikasi
oleh yang lain. Sistem pelayanan publik yang
baru dibangun harus membuat para aparat
pemerintah mampu hidup secara berdampingan
saling mengembangkan diri dalam kerjasama
yang dinamis dan saling menduplikasi dan membantu jika diperlukan oleh bagian yang lain.
Organisasi publik ke depan adalah organisasi
dengan gerak serempak dari seluruh aparatur
pemerintah untuk mencapai visi dan misi pemerintah secara bersama-sama. (f) Pengembangan
kualitas pelayanan, yaitu menunjuk bahwa sistem yang dibangun harus menjamin adanya
mekanisme pengembangan kualitas pelayanan
secara terus menerus. Hal ini dimaksudkan
bahwa organisasi publik harus menjadi makhluk
pembelajar yang tidak letih untuk mengembangkan kualitas pelayanan publik, guna terus
mengimbangi tuntutan kepuasan publik yang
kian tinggi pula.
Ketiga, meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Changing public service, changing public servant? demikian sub bagian terakhir tulisan Andrew Gray sebagai konklosi dari
tulisan berjudul Government and Administration: Public Service and Public Servants. Ia
mengungkapkan bahwa pelayanan publik amat
dipengaruhi oleh skill dan komitmen pelayan
publik kepada pelayanan itu sendiri. Tak heran
membuka tulisan itu ia menyitir pendapat:
public services can be a calling and not a
career.13 Sumber daya manusia atau aparatur
pemerintah juga menjadi faktor penting dalam
upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Hal ini dikarenakan tanpa kualitas manusia
yang memadai maka gerak reformasi pelayanan
publik akan mengalami kendala yang berat.
Aparatur pemerintah yang belum memiliki min-

13

Andrew Gray, Government and Administration: Public


Service and Public Servants, Parliamentary Affairs,
Academic Research Library, Vol. 58 No. 2, April 2005,
hlm. 230.

dset bahwa publik adalah makhluk yang paling


berhak mendapatkan pelayanan terbaik, akan
cenderung apatis terhadap publik dan perubahan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Sebaliknya, sumber daya manusia atau aparatur
pemerintah yang telah memiliki mindset yang
baik terhadap pelayanan publik yang pro kepada publik akan senantiasa memikirkan prosesi
perubahan pelayanan publik yang mungkin
dilakukan, dan merekalah yang akan menekan
kepada elit untuk berkomitmen kepada
perubahan pelayanan publik, berkomitmen
kepada penciptaan sistem pelayanan publik
yang lebih baik serta berkomitmen kepada
penggunaan teknologi yang lebih baik untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Agus Dwiyanto juga menyatakan bahwa
salah satu faktor rendahnya pemberian pelayanan yang berkualitas adalah rendahnya
sumber daya manusia. Menurutnya rendahnya
kualitas sumber daya manusia ditunjukkan
dengan ketidakmampuan petugas memberikan
solusi kepada customer atau yang lebih dikenal
dengan melakukan tindakan diskresi.
Keempat, meningkatkan pemanfaatan
teknologi dalam birokrasi (e-gov). Teknologi
menjadi faktor penting dalam peningkatan
kualitas pelayanan publik karena dengan penggunaan teknologi akan memaksa komitmen elit,
sistem dan aparatur pemerintah untuk berubah.
Kehadiran teknologi yang meningkatkan kualitas pelayanan publik akan membuka wawasan
para aparatur pemerintah dan elit yang akan
memaksa mereka untuk berubah. Sebaliknya,
penggunaan teknologi amat tergantung dari
aparatur dan elit di daerah, sebab tanpa dukungan, komitmen dan kualitas mereka, teknologi yang semaju apapun tidak akan berarti
apa-apa. Pemanfaatan teknologi dalam peningkatan kualitas pelayanan publik sudah selayaknya menjadi perhatian para pemerintah daerah. Sebab, dengan memanfaatkan teknologi,
pelayanan publik akan dapat dilakukan dengan
akselerasi yang lebih cepat.
Kelima, menciptakan budaya unggul birokrasi. Hal ini menunjuk pada upaya mencipta-

Gagasan Reformasi Birokrasi dalam RUU tentang Administrasi Pemerintahan 185

kan karakter budaya birokrasi yang dapat


membangun iklim yang mendukung terciptanya
birokrasi yang berkinerja baik. Budaya unggul
birokrasi yang dikembangkan berorientasi pada
pemberian pelayanan publik secara lebih baik
dan kebijakan publik yang rasional serta demokratis. Berbicara mengenai budaya birokrasi,
Neo dan Chen dalam buku Dynamic Governance: Embedding Culture Capabilities and
Chande in Singapura (2007) mengemukakan
bahwa institusi yang dinamis dicirikan dengan
adanya ide baru, persepsi yang segar, upgrading yang berkelanjutan, aksi-aksi yang
cepat, adaptasi yang fleksibel dan inovasi yang
kreatif. Institusi yang semacam ini akan melahirkan institusi yang selalu belajar, kebijakan
yang cepat dan efektif dan perubahan yang
tiada berakhir. Neo dan Chen juga mengkonseptualisasikan dan mendiskusikan tiga kemampuan governance Singapura:
1) thinking ahead the ability to perceive early signals of future developments that may affect a nation in order
to remain relevant to the world, 2)
thinking again the ability and willingnes to rethink and remake currently
functioning policies so that they perform better, 3) thinking across the
ability and opennes to cross boundaries
to learn from the experience of others
so that new ideas and concepts may be
introduces into an institution14.

gagasan yang dapat menjadi awal bagi


reformasi birokrasi yaitu: hubungan yang
sinergis antar institusi pemerintah dalam
penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
pemanfaatan teknologi, kepastian hukum
dalam prosedur administrasi pemerintahan;
kepastian hukum atas keputusan adminstrasi
pemerintahan;
dan
upaya
administratif
terhadap keputusan administrasi pemerintahan.
Pejabat publik dengan demikian dituntut untuk
lebih bertanggungjawab atas pelaksanaan
tugasnya. RUU AP ini dapat menjadi salah satu
pendukung tegaknya pilar good governance:
transparansi, akuntabelitas, dan kepastian
hukum.
Meski RUU AP telah memuat gagasan
tentang kepastian hubungan antara pemerintah
dan warga negaranya, agar terjadi akselerasi
yang memadai dalam reformasi birokrasi, maka
disarankan beberapa upaya lain yang harus
dilakukan, yaitu: meningkatkan komitmen para
pejabat
publik,
mengembangkan
sistem
pelayanan publik, meningkatkan kualitas
sumber
daya
manusia,
meningkatkan
pemanfaatan teknologi dalam birokrasi (e-gov),
dan menciptakan budaya unggul birokrasi.

Budaya unggul birokrasi dapat menciptakan kader-kader birokrasi yang juga unggul, siap mengawal prosesi reformasi birokrasi
secara lebih baik, lebih inovatif dan berani
mengambil perubahan baru untuk kehidupan
yang semakin dinamis.

Dwiyanto, Agus. dkk. 2006. Reformasi Birokrasi


Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press;

Penutup
RUU AP sejatinya adalah undangundang yang mengatur bagaimana administrasi
pemerintahan dilakukan oleh pemerintah dan
warga negaranya. RUU ini memuat beberapa

Gray, Andrew. Government and Administration: Public Service and Public Servants.
Parliamentary Affairs. Academic Research Library. Vol. 58 No. 2. April 2005;

14

Boon Siong Neo and Geraldine Chen, 2007, Dynamic


Governance: Embedding Culture Capabilities and
Chande in Singapura. Singapura: World Scientific
Publishing Co. Pte. Ltd, hlm. 3.

Daftar Pustaka
Da Rocha, Antonio L Casado. 2002. Pembangkangan Sipil. Pasuruan: Penerbit Tadarus;

Erdiansyah. Fenomena Perbuatan Main Hakim


Sendiri dalam Perspektif Sosiologi Hukum. Jurnal Hukum Respublica. Vol. 8
No. 1. November 2008. Pekanbaru: Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning;

Indiahono, Dwiyanto. 2006. Reformasi Birokrasi Amplop: Mungkinkah?. Yogyakarta:


Gavamedia;
-------. Civil Society dan Pembangkangan Publik (Analisis Reaksi Kekecewaan Publik

186 Jurnal Dinamika Hukum


Vol. 11 No. 1 Januari 2011

Terhadap Pemerintah. Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat. Vol. 6


No. 1. Oktober 2008. Semarang: FH.
Universitas 17 Agustus;
-------. Korupsi Versus Good Governance:
Analitis Kritis Pemberdayaan Pers Melawan Korupsi. Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa. Vol. 17 No. 1. Maret 2009.
Makassar: Fakultas Hukum Universitas
Hasanudin;

Co. Pte. Ltd.;


Ratnawati. Putusan Hakim antara Harapan dan
Realitas (Refleksi Hasil Riset Putusan
Hakim). Jurnal Ilmu Hukum Amanna
Gappa. Vol. 17 No. 1. Maret 2009. Makassar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin;
Rainey, Hal G. 1997. Understanding and Managing Public Organization. San Fransisco:
The Jossey Bass Publisher;

Lewis, Carol W and Stuart C Gilman. 2005. The


Ethics in Public Service: a Problem-Solving Guide. San Fransisco: Jossey-Bass;

Rosyadi, Slamet. 2010. Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Yogyakarta: Gavamedia;

Neo, Boon Siong and Geraldine Chen. 2007.


Dynamic Governance: Embedding Culture
Capabilities and Chande in Singapura.
Singapura: World Scientific Publishing

Usmara, A (ed). 2003. Handbook of Organization: Kajian dan Teori Organisasi.


Yogyakarta: Penerbit Amara Books.

Anda mungkin juga menyukai