Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Etos Kerja
Menurut Gregory (2003) sejarah membuktikan, negara yang dewasa ini
menjadi negara maju, dan terus berpacu dengan teknologi/informasi tinggi,
pada dasarnya dimulai dengan suatu etos kerja yang sangat kuat untuk
berhasil. Maka tidak dapat diabaikan etos kerja merupakan bagian yang patut
menjadi perhatian dalam keberhasilan suatu perusahaan, perusahaan besar
dan terkenal telah membuktikan bahwa etos kerja yang militan menjadi salah
satu dampak keberhasilan perusahaannya. Etos kerja seseorang erat kaitannya
dengan kepribadian, perilaku, dan karakternya. Setiap orang memiliki
internal being yang merumuskan siapa dia. Selanjutnya, internal being
menetapkan respon, atau reaksi terhadap tuntutan external. Respon internal
being terhadap tuntutan external dunia kerja menetapkan etos kerja seseorang
(Siregar, 2000 : 25)
Etos berasal dari bahasa yunani ethos yakni karakter, cara hidup, kebiasaan
seseorang, motivasi atau tujuan moral seseorang serta pandangan dunia
mereka, yakni gambaran, cara bertindak ataupun gagasan yang paling
komprehensif mengenai tatanan. Dengan kata lain etos adalah aspek evaluatif
sebagai sikap mendasar terhadap diri dan dunia mereka yang direfleksikan
dalam kehidupannya (Khasanah, 2004:8).
Menurut Geertz (1982:3) Etos adalah sikap yang mendasar terhadap diri
dan dunia yang dipancarkan hidup. Sikap disini digambarkan sebagai prinsip
masing-masing individu yang sudah menjadi keyakinannya dalam mengambil
keputusan .
Menurut kamus Webster, etos didefinisikan sebagai keyakinan yang
berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok, atau
sebuah institusi (guiding beliefs of a person, group or institution).
Menurut Usman Pelly (1992:12), etos kerja adalah sikap yang muncul atas
kehendak dan kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem orientasi
nilai budaya terhadap kerja. Dapat dilihat dari pernyataan di muka bahwa etos
kerja mempunyai dasar dari nilai budaya, yang mana dari nilai budaya itulah
yang membentuk etos kerja masing-masing pribadi.
3

Etos kerja dapat diartikan sebagai konsep tentang kerja atau paradigma
kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai baik dan
benar yang diwujudnyatakan melalui perilaku kerja mereka secara khas
(Sinamo, 2003,2).
Menurut Toto Tasmara, (2002) Etos kerja adalah totalitas kepribadian
dirinya

serta caranya

mengekspresikan, memandang, meyakini dan

memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak


dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia
dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin
dengan baik. Etos kerja berhubungan dengan beberapa hal penting seperti :
a. Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik,
baik waktu, kondisi untuk ke depan agar lebih baik dari kemarin.
b. Menghargai waktu dengan adanya disiplin waktu merupakan hal yang
sangat penting guna efisien dan efektivitas bekerja.
c. Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang
dilakukan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan
dan kesungguhan.
d. Hemat dan sederhana, yaitu sesuatu yang berbeda dengan hidup boros,
sehingga bagaimana pengeluaran itu bermanfaat untuk kedepan.
e. Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar pekerjaan yang
dilakukan tidak mudah patah semangat dan menambah kreativitas diri.
2.2 Fungsi Etos Kerja
Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap, perbuatan
dan kegiatan individu sebagai seorang pengusaha atau manajer. Menurut A.
Tabrani Rusyan, (1989) fungsi etos kerja adalah :
a. pendorong timbulnya perbuatan.
b. penggairah dalam aktivitas.
c. penggerak, seperti : mesin bagi mobil, maka besar kecilnya motivasi
yang akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan.
2.3 Ciri-ciri dari Etos Kerja
Seseorang yang memiliki etos kerja, akan terlihat pada sikap dan tingkah
lakunya dalam bekerja. Berikut ini adalah beberapa ciri-ciri etos kerja :
1. Kecanduan terhadap waktu. Salah satu esensi dan hakikat dari etos
kerja adalah cara seseorang menghayati, memahami, dan merasakan

betapa berharganya waktu. Dia sadar waktu adalah netral dan terus
merayap dari detik ke detik dan dia pun sadar bahwa sedetik yang lalu
tak akan pernah kembali kepadanya.
2. Memiliki moralitas yang bersih (ikhlas). Salah satu kompetensi moral
yang dimiliki seorang yang berbudaya kerja adalah nilai keihklasan.
Karena ikhlas merupakan bentuk dari cinta, bentuk kasih sayang dan
pelayanan tanpa ikatan. Sikap ikhlas bukan hanya output dari cara dirinya
melayani, melainkan juga input atau masukan yang membentuk
kepribadiannya didasarkan pada sikap yang bersih.
3. Memiliki kejujuran. Kejujuran pun tidak datang dari luar, tetapi bisikan
kalbu yang terus menerus mengetuk dan membisikkan nilai moral yang
luhur. Kejujuran bukanlah sebuah keterpaksaan, melainkan sebuah
panggilan dari dalam sebuah keterikatan.
4. Memiliki komitmen. Komitmen adalah keyakinan yang mengikat
sedemikian kukuhnya sehingga terbelenggu seluruh hati nuraninya dan
kemudian

menggerakkan

perilaku

menuju

arah

tertentu

yang

diyakininya. Dalam komitmen tergantung sebuah tekad, keyakinan, yang


melahirkan bentuk vitalitas yang penuh gairah.
5. Kuat pendirian (konsisten). Konsisten adalah suatu kemampuan untuk
bersikap taat asas, pantang menyerah, dan mampu mempertahankan
prinsip walau harus berhadapan dengan resiko yang membahayakan
dirinya. Mereka mampu mengendalikan diri dan mengelola emosinya
secara efektif.
2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja
Etos kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu (Anoraga,
2001:52) :
1. Agama. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai yang akan
mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara
berpikir, bersikap dan bertindak seseorang tentu diwarnai oleh ajaran
agama yang dianut jika seseorang sungguh-sungguh dalam kehidupan
beragama.
2. Budaya. Sikap mental, tekad, disiplin, dan semangat kerja masyarakat
juga disebut sebagai etos budaya dan secara operasional etos budaya ini

juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ini ditentukan oleh
sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan.
3. Sosial Politik. Tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi
oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk
bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras dengan penuh.
4. Kondisi Lingkungan/Geografis. Lingkungan alam yang mendukung
mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk
dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang
pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.
5. Pendidikan. Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber
daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat
seseorang mempunyai etos kerja keras.
6. Struktur Ekonomi. Tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat
dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu
memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan
menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.
7. Motivasi Intrinsik Individu. Individu yang akan memiliki etos kerja yang
tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu
pandangan dan sikap yang didasari oleh nilai-nilai yang diyakini
seseorang.
2.5 Etos Kerja di Indonesia
Insititute for Management of Development, Swiss, World Competitiveness
Book (2007), memberitakan bahwa pada tahun 2005, peringkat produktivitas
kerja Indonesia berada pada posisi 59 dari 60 negara yang disurvei. Atau
semakin turun ketimbang tahun 2001 yang mencapai urutan 46. Sementara itu
negara-negara Asia lainnya berada di atas Indonesia seperti Singapura
(peringkat 1), Thailand (27), Malaysia (28), Korea (29), Cina (31), India (39),
dan Filipina (49). Urutan peringkat ini berkaitan juga dengan kinerja pada
dimensi lainnya yakni pada Economic Performance pada tahun 2005 berada
pada urutan buncit yakni ke 60, Business Efficiency (59), dan Government
Efficiency (55). Diduga kuat bahwa semuanya itu karena mutu sumberdaya
manusia Indonesia yang tidak mampu bersaing, juga mungkin karena faktor
budaya kerja yang juga masih lemah dan tidak merata.

Produktivitas kerja jangan dipandang dari ukuran fisik saja. Dalam


pemahaman tentang produktifitas dan produktif disitu terkandung aspek
sistem nilai. Manusia produktif menilai produktivitas dan produktif adalah
sikap mental. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin; hari esok harus lebih
baik dari hari ini. Jadi kalau seseorang bekerja, dia akan selalu berorientasi
pada produktivitas kerja di atas atau minimal sama dengan standar kerja dari
waktu ke waktu. Bekerja produktif sudah sebagai panggilan jiwa dan kental
dengan amanah. Dengan kata lain sikap tersebut sudah terinternalisasi. Tanpa
diinstruksikan dia akan bertindak produktif. Itulah yang disebut budaya kerja
positif (produktif). Sementara itu budaya bekerja produktif mengandung
komponen-komponen:
(1) pemahaman substansi dasar tentang bekerja.
(2) sikap terhadap karyawanan.
(3) perilaku ketika bekerja.
(4) etos kerja.
(5) sikap terhadap waktu.
Budaya kerja produktif di Indonesia, belum merata. Bekerja masih
dianggap sebagai sesuatu yang rutin. Bahkan di sebagian karyawan, bisa jadi
bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang yang malas.
Pemahaman karyawan tentang budaya kerja positif masih lemah. Budaya
organisasi atau budaya perusahaan masih belum banyak dijumpai. Hal ini
pulalah juga agaknya yang kurang mendukung terciptanya budaya produktif.
Perusahaan belum mengganggap sikap produktif sebagai suatu sistem nilai.
Seolah-olah karyawan tidak memiliki sistem nilai apa yang harus dipegang
dan dilaksanakan. Karena itu tidak jarang prusahaan yang mengabaikan
kesejahteraan karyawan termasuk upah minimunya. Ditambah dengan ratarata pendidikan karyawan yang relatif masih rendah maka produktivitas pun
rendah. Karena itu tidak heran produktivitas kerja di Indonesia termasuk
terendah dibanding dengan negara-negara lain di Asia.
Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana.
Produktivitas kerja merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya.
Bentuk output dapat berupa barang dan jasa. Sementara input berupa jumlah
waktu kerja, kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat upah dan gaji,
teknologi yang dipakai dsb. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi
oleh faktor input yang digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja di

Indonesia relatif rendah karena memang rendahnya faktor-faktor kualitas


fisik, tingkat pendidikan, etos kerja, dan tingkat upah dari karyawan. Hal ini
ditunjukkan pula oleh angka indeks pembangunan manusia di Indonesia (gizi,
pendidikan, kesehatan) yang relatif lebih rendah dibanding di negara-negara
tetangga.
Seharusnya faktor-faktor tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar para
karyawan mampu mencapai produktivitas yang standar. Pendidikan dan
pelatihan perlu terus dikembangkan disamping penyediaan akses teknologi.
Kompetensi (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) karyawan menjadi tuntutan
pasar kerja yang semakin mendesak. Dengan kata lain suasana proses
pembelajaran

plus

dukungan

kesejahteraan

karyawan

perlu

terus

dikembangkan.Etos kerja orang Indonesia adalah :


Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di

hati.
Enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam.
Berjiwa feodal. Gemar upacara, suka dihormati daripada

menghormati dan lebih mementingkan status daripada prestasi.


Percaya takhyul. Gemar hal keramat, mistis dan gaib.
Berwatak lemah. Kurang kuat mempertahankan keyakinan,
plinplan, dan gampang terintimidasi. Dari kesemuanya, hanya

ada satu yang positif, yaitu


Artistik; dekat dengan alam. Dengan melihat keadaan saat ini,
ini merupakan kenyataan pahit, yang memang tidak bisa kita

pungkiri, dan memang begitu adanya.


Namun lanjutnya, dari 220 juta jiwa rakyat Indonesia, tidak semua
memiliki etos kerja buruk seperti disebutkan diatas. Masih ada organisasi
yang peduli dan mau mengubah etos kerja yang disematkan ke bangsa
Indonesia saat ini.
Lebih lanjut lagi beliau mengatakan, bangsa Indonesia adalah negara yang
kaya dan merupakan bangsa yang besar. Indonesia dikarunia sumber daya
alam yang melimpah ruah dan jumlah penduduk yang besar. Dan itu
merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan
sejahtera. Namun pada Kenyataannya rakyat miskin bertambah banyak,
pengangguran semakin meningkat, dan banyak anak yang tidak mempunyai

kesempatan untuk bersekolah. Data Penduduk miskin sampai pada tahun


2009.
Salah satu faktor rendahnya etos kerja yang dimiliki oleh Indonesia yaitu
negatifnya keteladanan yang ditunjukkan oleh para pemimpin. Mereka
merupakan model bagi masyarakat yang bukan hanya memiliki kekuasaan
formal, namun juga kekuasaan nonformal yang justru sering disalahgunakan.
2.6 Hubungan Antara Etos Kerja di Dalam Perusahaan
Perusahaan seperti juga halnya lingkungan tempat tinggal pasti memiliki
budaya yang dirumuskan oleh para pendiri dan top management perusahaan
dan dianut oleh setiap komponen perusahaan.
Keahlian, kreativitas, kecerdasan maupun motivasi yang tinggi dari
karyawan memang merupakan unsur kredibilitas yang harus dimiliki oleh
karyawan agar perusahaan dapat mencapai sukses. Namun unsur-unsur tadi
menjadi belum maksimal manfaatnya bila setiap karyawan belum memiliki
satu budaya yang sama. Satu budaya yang sama maksudnya adalah sebuah
pola pikir yang membuat mereka memiliki persepsi yang sama tentang nilai,
dan kepercayaan yang dapat membantu mereka untuk memahami tentang
bagaimana seharusnya berperilaku kerja pada perusahaan dimana mereka
bekerja sekarang.
Budaya perusahaan dapat membantu perusahaan mencapai sukses. Untuk
dapat memanfaatkan budaya perusahaan dengan maksimal, maka perusahaan
perlu menanamkan nilai-nilai yang sama pada setiap karyawannya.
Kebersamaan

dalam menganut

budaya

atau

nilai-nilai

yang

sama

menciptakan rasa kesatuan dan percaya dari masing-masing karyawan. Bila


hal ini telah terjadi, maka akan tercipta lingkungan kerja yang baik dan sehat.
Lingkungan seperti ini dapat membangun kreativitas dan komitmen yang
tinggi dari para karyawan sehingga pada akhirnya mereka mampu
mengakomodasi perubahan dalam perusahaan ke arah yang positif.
Pada umumnya perusahaan-perusahaan dunia yang sukses adalah
perusahaan yang memiliki budaya kerja yang kuat. Terlepas dari nilai-nilai
positif dan luhur yang terkandung dalam budaya yang berlaku, maksud
budaya kerja yang kuat adalah seluruh komponen perusahaan mengamalkan
nilai atau norma yang telah ditetapkan bersama sebagai sebuah budaya
dengan komitmen yang tinggi, tanpa terkecuali.

10

Namun ketiadaan kata atau kalimat yang menegaskan mengenai budaya


yang dianut perusahaan, menyulitkan para karyawan memahami budaya
perusahaan. Untuk itu perlu adanya sebuah pernyataan yang merupakan
manifestasi dari budaya perusahaan yang mengungkapkan secara garis besar
dalam pengertian spesifik mengenai tujuan perusahaan, dan cara-cara yang
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Pengungkapan budaya perusahaan ke dalam sebuah pernyataan dapat
dilakukan melalui perumusan pernyataan visi dan misi. Hanya dengan
kalimat singkat, pernyataan visi dan misi dapat menyiratkan nilai, etika,
prinsip, tujuan, dan strategi perusahaan. Menuliskan pernyataan visi dan misi
perusahaan adalah cara yang paling efektif untuk memastikan bahwa semua
karyawan

dapat

mengimplementasikannya

memahami
ke

dalam

budaya
usaha-usaha

perusahaan

dan

pencapaian

tujuan

perusahaan.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh pakar Harvard Business
School, yaitu Prof. DR. John Kottler dan Prof. DR. Janes Heskett, ternyata
terdapat korelasi positif di antara penerapan budaya perusahaan dengan
prestasi bisnis yang dicapai oleh perusahaan dalam jangka waktu yang cukup
panjang.
Hal ini menunjukkan bahwa budaya perusahaan memiliki peranan penting
dalam membangun prestasi dan produktivitas kerja para karyawan sehingga
mengarahkan perusahaan kepada keberhasilan.

Anda mungkin juga menyukai