Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sampai saat ini penyakit DHF masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
Indonesia. Angka kesakitan dan kematian DBD di berbagai Negara sangat bervariasi
tergantung pada berbagai faktor, seperti: status kekebalan dari populasi, kepadatan
Vektor dan frekuensi penularan (seringnya terjadi penular Venus Dengue), Prevalensi
Serotype Virus Dengue dan keadaan cuaca.
Penderita penyakit DHF jika tidak mendapat perawatan yang memadai dapat
mengalami pendarahan yang hebat, syok dan dapat mengakibatkan kematian. Oleh
karena itu semua kasus DHF sesuai dengan criteria WHO harus mendapat perawatan
di tempat pelayanan kesehatan ataupun Rumah Sakit. Sebenarnya penyakit DHF
dapat dicegah dengan menghindari gigitan nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes
Algopicna. Selain itu pencegahan dapat dilakukan dengan mengupayakan perbaikan
lingkungan yaitu melenyapkan tempat bertelur dan beristirahatnya nyamuk, baik
secara alami ataupun menggunakan insektisida.
Banyak factor yang mempengaruhi kejadian penyakit DHF antara lain: factor
hospes (host), lingkungan (environment) dan factor virus itu sendiri. Faktor hospes
yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Factor lingkungan (environment)
yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin,
kelembaban, musim), kondisi demografis (kepadatan mobilitas, perilaku, adat
istiadat, sosekonomi, penduduk), jenis dan kepadatan nyamuk sebagai penular
penyakit.
B. TUJUAN
1. Mengetahui definisi, epidemologi, patogenesis, klasifikasi, tanda dan
gejala, manifestasi klinis, komplikasi, pencegahan dan pengobatan DHF .
2. Dapat menerapkan asuhan keperawatan DHF pada pasien

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai
dengan adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan
yang dapat menyebabkan kematian (Arief Mansjoer & Suprohaita; 2000; 419).
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti dan Aedes Albopictus. (Ngastiyah, 1995 ; 341).
Demam berdarah dengue adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh
empat serotipe virus dengue dan ditandai dengan empat gejala klinis utama yaitu
demam yang tinggi, manifestasi perdarahan, hepatomegali, dan tanda-tanda
kegagalan sirkulasi sampai timbulnya renjatan (sindroma renjatan dengue) sebagai
akibat dari kebocoran plasma yang dapagt menyebabkan kematian. (Rohim dkk, 2002
; 45)
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang terutama terdapat
pada anak dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, dan biasanya memburuk
pada dua hari pertama (Soeparman; 1987; 16).
B. ETIOLOGI
1. Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam
Arbovirus (Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu
virus dengue tipe 1,2,3 dan 4 keempat tipe virus dengue tersebut terdapat
di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara serologis
virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus ini berdiameter 40
nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai macam
kultur jaringan baik yang berasal dari sel sel mamalia misalnya sel BHK
(Babby Homster Kidney) maupun sel sel Arthropoda misalnya sel aedes
Albopictus. (Soedarto, 1990; 36).
2. Vektor
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor
yaitu nyamuk

aedes

aegypti, nyamuk

aedes

albopictus, aedes

polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang


berperan berperan.infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan
antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya (Arief Mansjoer
&Suprohaita; 2000; 420).
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan vektor
penularan virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui
gigitannya nyamuk Aedes Aegyeti merupakan vektor penting di daerah
perkotaan (Viban) sedangkan di daerah pedesaan (rural) kedua nyamuk
tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes berkembang biak pada
genangan Air bersih yang terdapat bejana bejana yang terdapat di dalam

rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar rumah di lubang


lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air
bersih alami lainnya ( Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai
menghisap darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari
dan senja hari. (Soedarto, 1990 ; 37).
3. Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka
ia akan mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna,
sehingga ia masih mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama
tipenya maupun virus dengue tipe lainnya. Dengue Haemoragic Fever
(DHF) akan terjadi jika seseorang yang pernah mendapatkan infeksi virus
dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua kalinya
atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus
dengue huntuk pertama kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadap
dengue dari ibunya melalui plasenta. (Soedarto, 1990 ; 38)
C. PATOFISIOLOGI
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, penderita akan mengalami
keluhan dan gejala karena anemia seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot,
pembesaran kelenjar getah bening, hati dan limpa.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan
membedakan DF dengan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler
karena pelepasan zat anafilatoksin, histamine, dan serotonin serta aktifasi system
kalikrein yang berakibat akstravasi cairan intravaskulan ke ekstravaskular.
Hal ini berakibat berkurangnya volum plasma, terjadinya hipotensi,
hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjakan.plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai puncaknya pada
saat renjatan.pada penderita dengan renjatan berat, volum plasma dapat menurun
sampai > 30%.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler dibuktikan dengan
ditemukanya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga perikonium pleura n perikard
yang pada autopsy ternyata melebihi jumlah cairan yang telah diberikan sebelumnya
melalui infuse. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma,
bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolic dan
kematian.
Renjatan yang terjadi akut dan perbaikan klinis yang drastic stelah pemberian
plasma yang efektif, sedangkan pada autopsy tidak ditemukan kerusakan dinding
pembuluh darah yang destruktif, menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional
dinding pembuluh darah mungkin disebabkan mediator farmakologis yang bekerja
singkat. Sebab lain pada DHF adalah perdaraan hebat yang biasanya timbul setelah
renjatan berlangsung lama.

D. PATHWAY
Aedes Aegypti
Permeabilitas Vaskuler

Toksin

Gangguan Termoregulasi

Anofilaktosis C35 & C50

Set point

Cairan tertimbun dalam rongga serosa

Histamin

Dx Hipertermi

Renjatan hipovolemik

Sinapsis

Kebocoran Plasma (

Vol Plasma)

Asidosis Metabolik

Iritasi sel Pankreas Gaster

Mual Muntah

Nyeri

Kekurangan volume cairan

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Demam
Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2 7 hari
kemudian turun menuju suhu normal atau lebih rendah. Bersamaan
dengan berlangsung demam, gejala gejala klinik yang tidak spesifik
misalnya anoreksia. Nyeri punggung , nyeri tulang dan persediaan, nyeri
kepala dan rasa lemah dapat menyetainya.
2. Perdarahan
Perdarahan biasanya terjadi pada hari ke 2 dan 3 dari demam dan
umumnya terjadi pada kulit dan dapat berupa uji torniguet yang positif
mudah terjadi perdarahan pada tempat fungsi vena, petekia dan purpura.
Perdarahan ringan hingga sedang dapat terlihat pada saluran cerna bagian
atas hingga menyebabkan haematemesis. (Nelson, 1993 ; 296). Perdarahan
gastrointestinal biasanya di dahului dengan nyeri perut yang hebat.
(Ngastiyah, 1995 ; 349).
3. Hepatomegali
Pada permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba, meskipun
pada anak yang kurang gizi hati juga sudah. Bila terjadi peningkatan dari
hepatomegali dan hati teraba kenyal harus di perhatikan kemungkinan
akan tejadi renjatan pada penderita .
4. Renjatan (Syok)
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya
penderita, dimulai dengan tanda tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit
lembab, dingin pada ujung hidung, jari tangan, jari kaki serta sianosis
disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa demam maka biasanya
menunjukan prognosis yang buruk.

F. KLASIFIKASI DHF
WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4
golongan, yaitu :
1. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Uji
tourniquet positif.
2. Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan
spontan seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.
3. Derajat III
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan
cepat (>120x/mnt ) tekanan nadi sempit ( 20 mmHg ), tekanan darah
menurun, (120/80 120/100 120/110 90/70 80/70 80/0
0/0 )
4. Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teatur (denyut jantung
140x/mnt) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Leukopenia hari ke2 atau 3
Trombositopenia dan hemokonsentrasi
BT memanjang, CT dalam batas normal
Penurunan faktor II, V, VII, IX dan X
2. Kimia darah
Hipoproteinemia
Hiponatremia
GOT/GPT, Ureum, pH darah mungkin naik
3. Urine
Albuminuria ringan
4. Sumsum tulang
Hiposeluler menjadi hiperseluler (hari ke 5), dalam batas normal.
5. Serologi
Hemagglutination-inhibition (HI)
Complement fixation (CF)
Nutralization test (NT)
MAC-ELISA
Indirect IgG ELISA
6. Isolasi virus
H. KOMPLIKASI
Peningkatan jumlah kasus ini mempunyai hubungan dengan manifestasi tidak
umum, manifestasi ini termasuk fenomena SSP seperti kejang, spastisitas, perubahan
kesadaran dan proses transit. Bentuk kejang halus kadang terjadi selama fase demam
pada bayi. Kejang ini mungkin hanya kejang demam sederhana, karena cairan
serebrospinal ditemukan normal dalam kasus ini. Intoksikasi air akibat dari

pemberian cairan isotonik berlebihan untuk mengatasi pasien dengan hipoatremia


dapat menimbulkan ensefalopati.
Ada beberapa laporan tentang isolasi virus / anti dengue IgM dari cairan
serebrospinal. Namun sampai sekarang tidak ada bukti keterlibatan langsung virus
dengue dalam kerusakan neural.
Perawatan harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah komplikasi
iatrogenik dalam pengobatan DHF. Komplikasi ini termasuk sepsis, pneumonia,
infeksi luka, dan dehidrasi berlebihan. Penggunaan jalur intravena terkontaminasi
dapat menyebabakan sepsis gram negatif yang disertai dengan demam, syok, dan
pendarahan berat, pneumonia dan infeksi lain dapat menyebabkan dan menyulitkan
pemulihan. Hidrasi berlebihan dapat menyebabkan GG atau pernafasan.

I. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA


Infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau simptomatik berbentuk
undiffereintiated fever, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindroma
renjatan dengue. Gambaran klasik demam berdarah dengue ditandai oleh 4 gejala
utama yaitu: demam tinggi, manifestasi perdarahan, hepatomegali tanpa atau disertai
renjatan, dan dua kelainan laboratorium utama yaitu trombositopenia dan
hemokonsentrasi.
Dasar diagnosis Dengue Haemoragic Fever (DHF)WHO tahun 1986:
Kriteria klinis :
Panas dengan onset yang akut, tinggi dan menetap selama 2-7 hari
Menifestasi perdarahan petikie, melena, hematemesis (test rumple
leed).
Pembesaran hepar.
Syock yang ditandai dengan nadi lemah, cepat, tekanan darah
menurun, akral dingin dan sianosis, dan gelisah.
Kriteria laboratorium:
Trombositopenia (kurang atau sama dengan 100.000/ mm3)
Hemokonsentrasi : terdapat kenaikan hematokrit lebih atau sama
dengan

20%

pada

masa

akut

dibandingkan

dengan

masa

penyembuhan.
Menurut pedoman tersebut diagnosis klinis demam berdarah dengue sudah
dapat ditegakkan bila ditemukan dua gejala klinis disertai trombositopenia dan
hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit. Bila ditemukan anemia atau
perdarahan hebat, efusi pleura dan atau adanya hipoalbuminemi, menandakan adanya
kebocoran plasma.
Syok dengan hematokrit yang tinggi (kecuali pada penderita dengan

perdarahan berat) dan trombositopenia yang nyata menunjang diagnosis demam


berdarah dengue/ sindrom renjatan dengue.
J. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan pasien Dengue Haemoragic Fever (DHF) bersifat
simtomatis dan suportif (Ngastiyah, 12995 ; 344)
Dengue Haemoragic Fever (DHF) ringan tidak perlu dirawat, Dengue
Haemoragic Fever (DHF) sedang kadang kadang tidak memerlukan perawatan,
apabila orang tua dapat diikutsertakan dalam pengawasan penderita di rumah dengan
kewaspadaan terjadinya syok yaitu perburukan gejala klinik pada hari 3-7 sakit
( Purnawan dkk, 1995 ; 571)
Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue (UPF IKA, 1994 ;
203) yaitu: Panas 1-2 hari disertai dehidrasi (karena panas, muntah, masukan kurang)
atau kejangkejang.
Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati uji torniquet
positif/negatif, kesakitan, Hb dan Ht/PCV meningkat, Panas disertai perdarahan,
Panas disertai renjatan.
Sedangkan penatalaksanaan Dengue Haemoragic Fever (DHF) menurut UPF
IKA, 1994 ; 203 206 adalah.
1. Belum atau tanpa renjatan:
Grade I dan II
Hiperpireksia (suhu 400C atau lebih) diatasi dengan antipiretika
dan surface cooling. Antipiretik yang dapat diberikan ialah
golongan asetaminofen,asetosal tidak boleh diberikan
Umur 6 12 bulan : 60 mg / kaji, 4 kali sehari
Umur 1 5 tahun : 50 100 mg, 4 sehari
Umur 5 10 tahun : 100 200 mg, 4 kali sehari
Umur 10 tahun keatas : 250 mg, 4 kali sehari
Terapi cairan
a. Infus cairan ringer laktat dengan dosis 75 ml / kg BB /
hari untuk anak dengan BB < 10 kg atau 50 ml / kg BB
/ hari untuk anak dengan BB < 10 10 kg bersama
sama di berikan minuman oralit, air bauh susu
secukupnya
b. Untuk kasus yang menunjukan gejala dehidrasi
disarankan minum sebanyak banyaknya dan sesering
mungkin.
c. Apabila anak tidak suka minum sama sekali sebaiknya
jumlah cairan infus yang harus diberikan sesuai dengan
kebutuhan cairan penderita dalam kurun waktu 24 jam
yang diestimasikan sebagai berikut :
100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB <
25 Kg
75 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 2630 kg

60 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 3140 kg


50 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 4150 kg
Obat-obatan lain : antibiotika apabila ada
infeksi lain, antipiretik untuk anti panas, darah
15 cc/kgBB/hari perdarahan hebat.
2. Dengan Renjatan ;
Grade III
a. Berikan infus Ringer Laktat 20 mL/KgBB/1 jam
Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih
dari 80 mmHg dan nadi teraba dengan frekuensi kurang
dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan dengan Ringer
Laktat 10 mL/KgBB/1jam. Jika nadi dan tensi stabil
lanjutkan infus tersebut dengan jumlah cairan dihitung
berdasarkan kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam
dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi dengan sisa
waktu ( 24 jam dikurangi waktu yang dipakai untuk
mengatasi renjatan ). Perhitungan kebutuhan cairan dalam
24 jm diperhitungkan sebagai berikut :
100 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB <
25 Kg
75 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dng berat
badan 26-30 Kg.
60 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB
31-40 Kg.
50 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB
41-50 Kg.
b. Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 mL/Kg
BB/1 jam keadaan tensi masih terukur kurang dari 80
mmHg dan andi cepat lemah, akral dingin maka penderita
tersebut memperoleh plasma atau plasma ekspander
(dextran L atau yang lainnya) sebanyak 10 mL/ Kg BB/ 1
jam dan dapat diulang maksimal 30 mL/Kg BB dalam
kurun waktu 24 jam. Jika keadaan umum membai
dilanjutkan cairan RL sebanyk kebutuhan cairan selama 24
jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu
setelah dapat mengatasi renjatan.
c. Apabila satu jam setelah pemberian cairan Ringer Laktat
10 mL/Kg BB/ 1 jam keadaan tensi menurun lagi, tetapi
masih terukur kurang 80 mmHg dan nadi cepat lemah,

akral dingin maka penderita tersebut harus memperoleh


plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya)
sebanyak 10 Ml/Kg BB/ 1 jam. Dan dapat diulang
maksimal 30 mg/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam.
K. PENCEGAHAN
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat menangkal virus dengue
dengan berbagai serotipe. Satu-satumya usaha pencegahan atau pengendalian dengue
adalah dengan memerangi nyamuk yang berperan pada penularan virus dengue.
Aedes aegypti berkembang biak terutama di tempat tempat buatan manusia seperti
wadah plastik, ban mobil bekas dan tempat lain yang menampung air hujan. Nyamuk
ini menggigit pada siang hari, beristirahat di dalam rumah dan meletakkan telurnya
pada tempat-tempat air bersih tergenang. Pencegahan dapat dilakukan dengan
langkah 3M plus
1. menguras bak mandi
2. menutup tempat- tempat yang mungkin menjadi tempat
berkembangbiak nyamuk
3. mengubur barang barang bekas yang bisa menampung air.
Selain itu di tempat penampungan air seperti bak mandi
diberikan insektisida yang membunuh larva nyamuk seperti
abate. Hal ini bisa mencegah perkembangbiakan nyamuk
selama beberapa minggu, tapi pemberiannya harus diulang
setiap beberapa waktu tertentu. Penyemprotan atau foging
dapat dilakukan untuk memberantas DBD, tapi penyemprotan
dilakukan pada pagi hari. Kemudian dalam sebuah jurnal
disebutkan ikan suamang yang ditaruh dalam bak air dapat
memakan jentik dengan kecepatan tinggi.
4. Memutus rantai penularan total coverage
5. Pemberantasan vektor:
Insektisida
Tanpa insektisida : PSN, 3M (menguras, menutup,
mengubur)
6. Isolasi pasien lebih awal: sulit dilaksanakan
7. Mencegah gigitan dengan repellant atau kelambu
8. Imunisasi baru diteliti
Kota besar akan selalu dibanjiri oleh orang-orang yang mencari pekerjaan,
yang kebanyakan kurang atau tidak mampu sehingga mereka akan menambah daerah
pemukiman kumuh.

Mengingat daerah kumuh menciptakan tempat yang sangat

subur bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes maka tidak mengherankan kalau


populasi nyamuk Ae. aegypti/Ae. albopictus akan meningkat di samping datangnya
orang-orang baru tersebut akan meningkatkan jumlah orang yang rentan terhadap
DBD. Kepadatan dan mobilitas penduduk yang meningkat, jumlah nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus yang juga meningkat, sedang obat/vaksin untuk

pencegahan dan juga cara pencegahan atau pemberantasan yang belum mantap
menyebabkan saat ini penyakit DBD masih akan merupakan masalah besar kesehatan
:
1. Kasus akan makin banyak, bahkan wabah masih akan terjadi.
2. Peningkatan kasus menyolok di kota-kota besar.
3. Kota/tempat yang lebih kecil akan sering menerima limpahan
kenaikan kasus dari kota-kota besar, terutama dengan makin
meningkatnya hubungan/transportasi.
4. Partisipasi masyarakat masih sulit, lebih-lebih di kota-kota besar.
Partisipasi dalam pencegahan/pemberantasan secara swadana
(membayar)

akan

meningkat

di

kelompok/tempat-tempat

berpenghasilan menengah dan tinggi tetapi karena terlalu sibuk


dengan pekerjaan/kegiatan di kota besar mereka tidak mempunyai
waktu untuk melakukan partisipasi secara aktif.

Pencegahan

penyakit DBD di kota-kota kecil akan lebih baik dan bersamasama dengan program pemerintah akan dapat menghambat
penyebaran/peningkatan penyakit ini.
5. Program pencegahan/pemberantasan dari pemerintah akan lebih
berhasil guna mengingat keterlibatan instansi lintas program dan
lintas sektoral yang lebih terkoordinir.
6. Para dokter akan makin trampil menangani kasus-kasus DBD;
selain karena pengalaman juga training yang dilakukan maupun
penyebaran informasi terbaru lewat seminar dan lain- lain,
sehingga dapat makin menurunkan angka kematian. Makin
lengkapnya peralatan dan unsur penunjang lain seperti kemampuan
laboratorium, juga akan membantu menurunkan angka kematian
tersebut.
7. Dari data tahun-tahun sebelumnya tampak adanya kecenderungan
kasus-kasus dewasa meningkat; hal ini diperkirakan akan tetap
meningkat pada saat ini, meskipun sebab

yang jelas belum

diketahui.
Strategi Baru Pencegahan/Pemberantasan DBD
Strategi baru tentang pemberantasan penyakit DBD mulai
diintensiflcan sejak tahun 1991. Strategi barn tersebut pada prinsipnya
berupa pemberantasan vektor yang intensif, terdiri dari rangkaian
kegiatan sebagai berikut :
1. Fogging masal dua siklus sebelum musim penularan di
daerah endemis DBD, yang diikuti dengan
2. Abatisasi selektif di rumah-rumah penduduk yang ada
jentiknya, yang dilakukan setiap 3 bulan.

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas
Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
Soeparman. (1987). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi kedua. Penerbit FKUI.
Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.
(terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.
(terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.
Volume 2, (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai