Hadirnya teknologi di bidang percetakan memungkinkan orang untuk mereproduksi, mencetak ulang hasil
karya tulisan orang-orang terdahulu dengan hasil cetakan yang semakin menarik dan tahan lama (long lasting). Tak
sebatas media berbentuk kertas, tetapi berbagai macam media sampai kepada teknologi terkini yaitu disimpan dalam
format digital(digital library), yang bisa diakses kapan saja secara lintas wilayah dan negara berkat tersedianya
jaringan global atau internet. Di era ICT dan globalisasi sekarang ini, format digital terbukti sangat efektif
digunakan sebagai sarana dalam melestariakan warisan budaya, termasuk naskah- naskah kuno(menus cript) yang
dikhwatirkan akan rusak, lapuk, punah, dan hancur karena dimakan usia.
Kita yang hidup pada masa kini sepatutnya bersyukur dan berterimakasih dengan anugerah besar ini
(tulisan dan tradisi baca tulis), juga kepada mereka yang merubah dunia, memajukan budaya dan peradaban melalui
tulisan. Oleh sebab itu nama mereka patut menjadi kenangan, abadi sepanjang zaman. Dunia Baratpun sangat tinggi
sekali apresiasinya terhadap tradisi baca-tulis ini - termasuk bagi penulis, pengarang, dan buku. Sehingga salah satu
kategori dalam pemenang hadiah Nobel yang terkenal itu adalah hadiah di bidang sastra bagi pengarang atau
penulis. Dan hampir tidak ada satupun profesi bergengsi di dunia ini yang tidak berkaitan dengan tulisan, baik karya
fiksi, non-fiksi, karya ilmiah, sastra, jurnalistik, dan sebagainya. Semakin eksisnya dunia karang-mengarang,
penerbitan dan percetakan dewasa ini cukup menjadi bukti bahwa kegiatan baca-tulis merupakan salah satu kegiatan
yang mempengaruhi kehidupan manusia.
Tradisi Baca-tulis dan Perpustakaan
Memang benar bahwa bangsa Arab di awal-awal masuknya Islam memandang kemahiran baca-tulis
adalah aib, kelemahan, karena dianggap yang bersangkutan hapalannya lemah. Sebab pada masa itu kekuatan
hapalan sangat diandalkan guna melantunkan syair-syair. Apalagi belum ditemukannya alat baca-tulis seperti
sekarang ini. Pada abad pertama perkembangan Islam, tradisi-tradisi lisan merupakan sarana utama menyebarkan
informasi dengan mengandalkan sepenuhnya kekuatan daya ingat. Namun kegiatan catat-mencatat sudah mulai
digunakan oleh para penuntut ilmu pengetahuan. Misalnya Saad bin Jubair (wafat 714 M) ketika mengikuti kuliah
Ibnu Abbas mencatat dalam lembaran baik di media kulit, daun, tulang, dan sebagainya. Catatan-catatan tersebut
kemudian dengan bebas dipertukarkan antara pelajar, guru, dan para cendekiawan. Dari kebiasaan mencatat tersebut
kemudian berkembang menjadi catatan yang terkumpul sebagai buku/kitab. Adalah Urwah bin Zubair (wafat 714
M) sebagai orang pertama yang menghimpun buku-buku berhalaman lepas ketika itu. Dan muridnya al-Zuhri (wafat
742 M) menghimpun sedemikian banyak buku, sehingga hampir tidak tersisa ruangan lain dalam rumahnya.
Dalam periode tersebut tradisi baca-tulis sangat memainkan peranannya, sehingga para cendekiawan diminta untuk
menulis buku terutama oleh murid-murid yang menginginkan agar kuliah-kuliah mereka dicatat, lalu dialihkan ke
dalam bentuk buku terpadu. Diantara ulama hadits ketika itu yang selalu diminta untuk menulis buku adalah AlAmash Abu Muhammad Sulaiman ibn Mihran (680-765 M). Ketika beliau wafat, buku telah menjadi sarana pokok
untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan informasi.
Pertumbuhan yang sangat cepat dari pencatatan-pencatatan tersebut melahirkan kumpulan-kumpulan
koleksi yang kemudian dapat dikatakan sebagai perpustakaan. Didukung pula dengan telah ditemukan dan
dimanfaatkannya teknologi pembuatan kertas yang diproduksi orang-orang Cina. Islam sudah sampai ke Cina mulai
abad ke-7. Barangkali inilah salah satu hikmah dari perkataan Nabi saw yang berbunyi: Tuntutlah ilmu walau
sampai ke negeri Cina.
Pada zaman itu kota muslim yang pertama sekali mendirikan pabrik kertas adalah Samarkand, yang jatuh
ke tangan Islam pada tahun 704 M. Pabrik kertas ini didirikan oleh orang-orang Cina yang menjadi tawanan perang.
Dari sinilah bermula penyebaran industri kertas ke provinsi-provinsi dan kota-kota besar lainnya. Setelah era pasca
khulafaur-rasyidin dan khalifah-khalifah berikutnya, semangat untuk menuliskan ilmu pengetahuan semakin
berkobar yang ditandai dengan ditulisnya kitab-kitab masyhur ulama-ulama besar dalam berbagai macam disiplin
ilmu. Pada masa kekuasaan Abbasiyah, tradisi baca tulis semakin berkembang dan meninggi intensitasnya terutama
sekali setelah industri kertas masuk ke dunia Islam pada abd ke-2 H.
Tentunya umat Islam sudah tak asing lagi dengan nama Imam Al-Ghazali karena
kemashuran kitabnya yang berjudul Ihya al-Ulumuddin, Imam Bukhari denganShahih
Bukhari, Imam Muslim dengan Shahih Muslim, Imam Malik dengan Muwatta, Imam Syafei
Dengan al-U mm dan banyak lagi ulama lainnya. Begitu juga dengan ulama yang terkenal karena kitab-kitab tafsir
mereka, seperti Tafsir Jalalain, Al-Maraghi, Ibnu Katsir. Ulama dalam ilmu FIqih dikenal karena kitab-kitab Fiqh
mereka seperti Subul al-Salam, Bulugh al-Maram, Fath al- Muin, Fath al-Qarib, Fiqh as-Sunnah.
Ditambah lagi kitab-kitab karangan ulama dalam bidang Tauhid/Aqidah, Ilmu Kalam, Tata Bahasa Arab
(Nahwu/Sharf), termasuk ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, ilmu alam, astronomi, politik-kenegaraan, ekonomi,
sosiologi, psikologi, dan sebagainya.
Apresiasi yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan tradisi baca tulis ini mampu menorehkan tinta emas
dalam mewariskan kejayaan Islam. Seperti ditunjukkan di masa pemerintahan para khalifah khususnya Dinasti
Abasiyah (750 1258 M). Pada masa itu kegiatan baca-tulis ditandai dengan menterjemahkan dan menulis sains,
filsafat dari dunia barat seperti Yunani, Romawi, Ankara, Ammuriyah, dan Siprus ke dalam Bahasa Arab. Aktifitas
ini mencapai puncaknya pada masa kekhalifahan Harun ar-Rasyid dan Al-Makmun. Pada masa itulah di didirikan
beberapa perpustakaan Islam legendaris yang masih diingat sampai kini dengan segudang koleksi buku-bukunya
dari bermacam-macam disiplin ilmu seperti Perpustakaan Baitulhikmah didirikan pada zaman Khalifah Harun Al
Rasyid (170-193 H) dan berkembang pesat pada masa khalifah Al Mamun (198-218 H), Perpustakaan Al
Haidariyah, dan Perpustakaan Sabur di Bagdad, Perpustakaan Darulhikmah dan Nizhamiyah di Kairo, dan
sebagainya.
Perpustakaan Islam berkembang bersama berkembangnya peradaban dunia Islam yang mencapai puncak
kejayaannya sekitar abad 4-6 Hijriyah atau abad 9-11 Masehi. Perpustakaan ketika itu merupakan tempat belajar
semacam perguruan tinggi atau sekolah, hanya tanpa pengajar. Beberapa perpustakaan menyediakan asrama bagi
pemakai perpustakaan yang berasal dari luar daerah yang jauh.
Dalam peradaban Islam dikenal juga adanya perpustakaan khusus yang didirikan oleh para ulama dan
sastrawan untuk keperluam penelitian dan diskusi. Perpustakaan jenis ini banyak berdiri di negara-negara Islam di
Asia dan Afrika. Perpustakaan ini dipergunakan untuk membahas dan meneliti berbagai ilmu pengetahuan.
Perpustakaan khusus Al- Muwaffak Ibnul Mathran dan Perpustakaan Ifraim Ibnul Zaffan yang didirikan pada abad
ke-6 Hijriyah mempunyai koleksi 10.000 jilid. Beberapa perpustakaan besar lainnya seperti Perpustakaan al- Fathu
Ibnu Chaqam yang didirikan pada abad ke-3 Hijriyah, dan beberapa perpustakaan sejenis lainnya.Perpustakaan
dalam sejarah Islam memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai tempat mencari referensi dari para penuntut ilmu,
bahan kajian bagi para intelektual, pusat penyimpanan buku dan manuskrip berharga hasil karya ilmuwan, dan
sebagai tempat pertemuan diskusi, debat ilmiah. Hal itu tumbuh dan berkembang atas dorongan tradisi intelektual
yang menonjol dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam yakni penterjemahan,
penulisan kitab, polemik intelektual, dialog, perdebatan, ulasan, pensyarahan, dan sebagainya.
Meminjamkan buku sudah menjadi mode di seluruh dunia muslim saat itu. Dengan perkembangan
perbukuan yang sangat pesat, maka perpustakaan-perpustakaan mulai dibangun di hampir semua kota besar. Yang
mula sekali dibangun adalah perpustakaan-perpustakaan kerajaan milik para khalifah. Hampir semua dinasti seperti
Umayyah, Abassiyah, Fatimiyah di Mesir, Hamdaniyah di Aleppo, Buwaihiyah di Persia, Samaniyah di Bukhara,
Ghaznawiyah di Mongol, mendirikan perpustakaan di masing-masing pusat pemerintahan mereka.
Pada abad-abad permulaan Islam terdapat tiga jenis perpustakaan, yaitu: umum, semi umum, dan pribadi.
Perpustakaan umum biasanya terdapat di madrasah atau masjid, perpustakaan semi umum diperuntukkan bagi
kalangan terbatas atau golongan tertentu, sedangkan perpustakaan pribadi pada umumnya dimiliki oleh para
cendikiawan untuk kepentingan pribadi. Yang digolongkan kepada perpustakaan jenis pertama misalnya
perpustakaan Baitul Hikmah, perpustakaan Haidar di Najf, perpustakaan Ibnu Sawwar di Basrah, perpustakaan
Darul Ulum di Bagdad, perpustakaan Masjid al-Zaud, perpustakaan Darul Hikmah, perpustakaan Kairo,
dan sebagainya.
Perpustakaan semi pribadi misalnya perpustakaan Nasir Addinillah, perpustakaan AlMutasimbillah, dan perpustakaan khalifah Bani Fatimiyah di Mesir. Sedangkan perpustakaan pribadi
seperti yang dimiliki Ali Ibn Yahya al-Munajjim, Ismail ibn Abbad, Sabur ibn Ardashir, al-Fath ibn
Haqan, Hunayn ibn Ishaq, Ibn al-Kashab, al-Muwaffaq ibn Matram, Jamaluddin al- Quifri, Ufraim ibn
Zaffan, Quaddin al-Isfahani, dan lain-lain.
Salah seorang pustakawan ketika itu, Ibnu Nadim telah menyusun al-Fihris (semacam katalog)
yang memuat daftar buku-buku dari semua bangsa, Arab dan non Arab, dari semua cabang ilmu. Bukubuku itu dikelompokkan ke dalam 10 bidang (kajian), yaitu: 1. Bahasa Arab dan non Arab; kitab-kitab
terdahulu seperti Taurat, Injil, tafsir Al-Quran dan ilmu Tafsir. 2. Tata Bahasa Arab. 3. Sastra, sejarah, dan
geografi. 4. Puisi dan sastrawan. 5. Ilmu Kalam, teologi, tasawuf, dan sufi. 6. Fiqh, fuqaha, dan
muhaddisin. 7. Filsafat, teknik, dan kedokteran. 8. Sihir, sulap, perang dan perkudaan. 9. Aliran-aliran
kepercayaan. 10. Kimia dan industri.
Menghidupkan Tradisi Baca-tulis
Mungkin tak seorangpun diantara kita yang tak sepakat bahwa kepakaran dan keilmuwan
seorang ulama, cendekiawan, atau ilmuwan, sepatutnya didukung (dibuktikan) dengan menghasilkan
karya yang betul-betul bisa dinikmati oleh masyarakat, diantaranya dengan melihat berapa banyak
karya tulis atau buku yang telah dikarang. Bagi ulama Islam, mereka sudah membuktikannya dengan
mengarang ribuan judul kitab yang masih kita saksikan sampai saat ini. Di Indonesia misalnya,
pembacaan, pengajaran dan pengkajian kitab-kitab kuning (kutubutturats) menjadi sebuah tradisi yang sangat
mengakar kuat di pesantren dan beberapa perguruan tinggi Islam.
Nabi saw sendiri sangat besar perhatiannya terhadap baca-tulis yang ditunjukkan ketika beliau
membebaskan tawanan Badar dengan syarat mereka bersedia mengajar umat Islam baca- tulis. Beliau diutus ke
dunia adalah untuk mengajarkan al-kitab dan al-hikmah. Mengajar al- kitab dapat dipahami sebagai mengajar baca
tulis, sedangkan mengajar al-hikmah bermakna mengajarkan keyakinan yang mantap tertanam di dalam hati
sanubari berdasarkan ilmu yang diperoleh melalui proses baca-tulis tadi sehingga menimbulkan kearifan dan
kebijaksanaan dalam berpikir dan bertindak.
Ayat Al-Quran yang pertama sekali diturunkan adalah perintah kepada kita untuk membaca. Hal ini
menunjukkan suatu makna yang penting, dalam dan luas. Membaca bisa berarti suatu perintah/kewajiban agar
manusia senantiasa belajar sepanjang hayatnya. Membaca juga bermaksud tidak sekedar bermanfaat bagi diri
sendiri, tetapi menyebarkan, mengembangkan hasil bacaan menjadi informasi, ilmu pengetahuan yang bermanfaat
bagi orang lain. Karena itu membaca akan semakin berfaedah apabila mengolah, menyajikan kembali seluruh hasil
bacaan menjadi bentuk tulisan (buku), sehingga informasi dan ilmu pengetahuan tetap awet, terjaga dalam masa
yang lama dan bisa memberikan manfaat kepada generasi berikutnya. Membaca juga berarti selain membaca yang
tertulis juga membaca yang tidak tertulis, yang tersirat, membaca alam, kebesaran dan keagungan Tuhan. Membaca
juga berarti (bernilai sangat tinggi) apabila atas nama Tuhan yang telah menciptakan bacaan, tulisan, dan alam
semesta. Barang siapa pandai membaca (alam tanda kekuasaan Tuhan), maka ia akan mudah mengenal siapa
Pencipta alam tersebut, dan mengenal hakikat keberadaan dirinya sendiri.
Dalam salah satu surat Al-Quran ada surat bernama pena (Q. S. Al-Qolam (68), yang berisikan
keterangan tentang tulisan dan alat yang digunakan untuk menulis yaitu pena(qolam ). Ayat ke empat dari Q. S.
Al-Alaq menyebutkan secara tegas bahwasanya Allah mengajar manusia melalui perantaran sarana, media, alat tulis
yaituqolam. Al-Quran sendiri sebagai pedoman hidup terbesar bagi manusia sepanjang masa merupakan bukti
bahwa Allah mengajarkan manusia melalui perantaraan pena, alat yang menghasilkan tulisan. Karena itu Al- Quran
juga disebut sebagaial-K itab (yang ditulis).
Setidaknya ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan baca- tulis, seperti:
mengembangkan kepribadian, menambah wawasan, membuka cakrawala berpikir, terhindar dari mengerjakan
perbuatan yang kurang bermanfaat, menyalurkan dan mengasah hobi/ketrampilan, bisa menambah/menjadi sumber
penghasilan, senatiasa up to date dengan perkembangan berita terakhir, dan masih banyak lagi manfaat yang dapat
dipetik dengan melakukan kegiatan baca-tulis. Apalagi kalau dilakukan dengan rutin, serius, mengalokasikan waktu
khusus untuk kegiatan tersebut.
Oleh sebab itu tidak pernah ada kata terlambat bagi umat Islam untuk bercermin ke masa jayanya di masa
lampau di bidang ilmu pengetahuan dan sains guna mengambil manfaat di masa depan. Mari kita menghidupkan
kembali tradisi baca-tulis sebagai warisan kejayaan Islam untuk menggantikan (setidaknya melengkapi) budaya
dengar-tonton-cakap yang masih terlalu kuat mendominasi gaya hidup kita dewasa ini.
senantiasa dipenuhi dengan perkataan yang sarat akan ilmu, sehingga penjabaran yang lebih
lengkap atas penjelasan yang diberikan oleh para ulama perlu didokumentasikan dan kemudian
para ulama dengan inisiatifnya sendiri menyusun kitab-kitab tebal untuk berbagi ilmunya dengan
khalayak umat.
Oleh karena itu, sebagai penggerak dakwah di masjid perkantoran, para pengurus masjid harus
membekali dirinya dengan kemampuan menulis. Ust. Ahmad Sarwat menyampaikan ada 3 syarat
bagi seorang muslim untuk dapat menulis dan mencontoh perilaku para ulama dalam
menyampaikan ilmu melalui tulisan. Syarat itu meliputi: Ilmu, kesungguhan, dan keihlasan.
Seorang muslim harus mempunyai ilmu dahulu untuk dapat menulis. Dengan adanya ilmu yang
sebelumnya sudah dimiliki, maka tulisan yang terbentuk akan menjadi lebih berbobot, valid, dan
terpercaya. Ilmu bisa diperoleh dengan belajar, belajar pada guru maupun buku.
Zaman sekarang ini memudahkan kita untuk mendapatkan bahan-bahan rujukan atau referensi
yang kita butuhkan untuk tulisan kita. Adanya internet yang menyediakan berbagai macam
buku/kitab para ulama sangat membantu proses penulisan artikel ke-Islaman. Ust. Ahmad Sarwat
pun berbagi pengalamannya yang sering mengunduh buku/kitab yang didapat dari internet.
Beliau sering mendapatkan file kitab ulama-ulama internasional dan generasi yang telah lalu
tanpa perlu harus susah payah mencarinya langsung ke maktabah (toko buku) di luar negeri sana.
Bahkan, tidak perlu ada ongkos sama sekali dalam mengunduh file kitab tersebut, file tersebut
dapat diunduh secara gratis tanpa ada semacam transaksi jual-beli online atau semacamnya.
Kemudahan inilah yang seharusnya dapat memacu umat untuk lebih berkarya lagi dengan tulisan
ke-Islaman, bukan malah sebaliknya.
Selanjutnya adalah kesungguhan niat. Untuk mempunyai kesungguhan ini, Ust. Ahmad Sarwat
berbagi pengalamannya yang termotivasi untuk menulis sehubungan dengan terbiasanya beliau
menjawab pertanyaan-pertanyaan pada situs website Islami yang dulu pernah beliau asuh. Buya
Hamka dan Sayyid Quthb menjadi contoh luar biasa juga untuk menunjukkan kesungguhan
mereka dalam menulis, sampai-sampai jeruji penjara bukanlah halangan untuk dirinya terus
berkarya. Bagi mereka, penjara adalah tempat yang tepat dan sangat mendukung untuk dapat
konsentrasi dalam penulisan karya-karya beliau.
Menulis memang mempunyai beberapa perbedaan mendasar apabila dibandingkan dengan cara
lisan untuk berdakwah. Tulisan merupakan media yang merekam materi penyampaian secara
lebih baik karena lazimnya dituang secara lengkap dan detail. Sedangkan media lisan
mempunyai keunggulannya sendiri, yakni pembicara merasakan mengalirnya bahan pembicaraan
apabila mendapatkan respon yang baik dari pendengarnya, berbeda dengan proses menulis yang
seringnya terkendala karena kebuntuan pemikiran penulisnya dan tanpa adanya interaksi dalam
bentuk nyata.
Berdakwah lewat tulisan pun tidak perlu kaku dengan tulisan yang sarat akan nuansa ilmiah.
Walaupun memang tulisan dakwah yang bagus adalah tulisan yang berlandaskan pada rujukan
yang shahih (valid), tetapi kreativitas dalam menulis juga dapat dilakukan. Sebagai contohnya
adalah ulama Sayyid Quthb yang menuliskan tafsir Al Quran dengan nuansa yang sarat dengan
sastra dan keindahan bahasa di dalamnya. Atau penulis terkenal Habiburrahman el Shirazy yang
dapat memberikan citra akan indahnya Islam melalui novel-novel sastranya.
Syarat terakhir adalah keikhlasan. Seorang penulis dakwah tidak boleh menjadikan uang royalti
atas karyanya atau kemasyhuran namanya atas karyanya sebagai tujuan dalam membuat tulisan
dakwah. Dirinya harus ikhlas menjadikan karyanya itu disusun untuk mencapai ridho Allah
semata. Dengan demikian, maka tulisan yang disusunnya akan memberikan manfaat berlipat
ganda dan dihitung sebagai amal jariyah yang terus menerus mengalir dengan semakin
banyaknya pembaca yang mengambil manfaat dari tulisannya.
Ulama-ulama di zaman dahulu, seperti Sayyid Quthb, Buya Hamka, dan lainnya, merupakan
ulama yang justru terkenal setelah mereka meninggal dunia dan karyanya bermanfaat bagi
seluruh umat. Hal ini mengindikasikan dengan jelas bahwa para ulama tersebut tidak berorientasi
untuk mendapatkan harta atau ketenaran semasa mereka masih hidup sebelumnya. Bahkan,
beberapa di antara mereka, justru mendapatkan perlakuan semena-mena oleh pemerintahan yang
lalim semasa hidup.
Para ulama ini juga begitu hati-hati dalam membahas ilmu yang hendak mereka bagi. Mereka
hanya menyampaikan hal-hal yang memang berada dalam ranah kompetensi mereka. Masingmasing dari mereka sudah memilih spesialisasi di bidang tertentu untuk dibahas. Mereka pun
tekun mempelajarinya agar ilmu yang dituangkan dalam tulisan mereka valid dan mempunyai
dasar yang kuat. Pantang bagi para ulama untuk menuliskan atau membahas sesuatu di luar
kemampuan mereka bilamana belum sampai ilmu akan bahasan itu pada mereka.
Kemajuan Islam dengan Tulisan
Dengan kilas balik kembali pada sejarah umat Islam di zaman dahulu, kita akan mengetahui satu
fakta penting yang menjadikan umat Islam dulu memiliki kemajuan yang pesat dalam berbagai
sektor kehidupan. Fakta penting itu adalah begitu kuatnya budaya tulis melekat pada umat Islam.
Tulisan sendiri merupakan salah satu hal esensial yang diajarkan Rasul kepada umat melalui
wahyu Al Quran. Beberapa ayat dalam Al Quran begitu menekankan akan pentingnya tulis
menulis atau pun ayat lain yang berhubungan erat dengan tumbuhnya budaya tulis ini. Wahyu
pertama, Q. S. Al Alaq misalnya, memerintahkan manusia untuk belajar dengan membaca dan
menulis.
Pada zaman kenabian, budaya menulis merupakan hal yang masih belum begitu lazim dikenal
oleh masyarakat Arab. Kejahiliyahan menjadikan banyak dari mereka yang buta huruf, bahkan
Rasul pun juga termasuk seorang yang buta huruf. Walaupun begitu, bangsa Arab memiliki
keistimewaan dari bangsa lainnya, sehingga menjadi bangsa yang terpilih untuk menerima
wahyu dari Rasulullah SAW.
Keistimewaan tersebut adalah bangsa Arab memiliki daya hafal yang begitu kuat untuk
mengingat lafadz-lafadz Al Quran. Bangsa Arab juga memiliki kompleksitas istilah yang sangat
detail dan rinci akan sesuatu, sehingga mempunyai perbendaharaan kata yang begitu banyak.
Kompleksitas istilah itu menjadikan mereka termasuk bangsa yang mempunyai budaya bahasa
7
berlevel tinggi. Budaya sastra pun termasuk hal yang sangat diperhatikan oleh bangsa Arab.
Bahkan, guna memastikan anak keturunan mereka mempunyai pemahaman sastra yang
mumpuni, mereka tak sungkan untuk mengirim anaknya sejak kecil untuk disusui dan dididik
pada kabilah yang jauh dari mereka, tetapi terkenal dengan keahlian sastranya. Hal inilah juga
yang terjadi pada Rasulullah pada waktu beliau masih kecil dikirim ke kabilah Bani Saad.
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah pun, budaya bahasa dalam bentuk tulisan, sastra, ataupun
lainnya termasuk hal yang begitu pesat berkembang dan diperhatikan. Dalam suatu kisah
diceritakan, salah satu khalifah Abbasiyah yang bernama Jafar al Matsury mengadakan
sayembara bagi para pujangga untuk mempersembahkan syair yang belum pernah ia
perdengarkan. Banyak pujangga yang sudah mencoba untuk memenangkan sayembara itu, tetapi
semuanya gagal. Sebenarnya kegagalan mereka itu bukan karena sang khalifah sudah tahu
sebelumnya akan syair yang mereka telah buat. Akan tetapi, sang khalifah menghafal syair itu
dalam waktu yang sangat singkat dan mampu menyampaikan kembali syair itu persis, sehingga
seakan-akan terlihat bahwa sang khalifah sudah pernah tahu akan syair itu sebelumnya. Hingga
akhirnya kemudian, ada seorang pujangga yang mengetahui rahasia khalifah dan menyusun syair
yang aneh berisi bunyi-bunyian yang tidak jelas, sehingga sang khalifah tak mampu
menghafalkannya dalam sekejap. Dari cerita ini, tersirat suatu pemahaman bahwa bangsa Arab
memang mempunyai kemampuan menghafal yang luar biasa.
Perkembangan budaya tulis pada umat Islam juga tampak pada saat diputuskannya
penggabungan penulisan Al Quran dalam satu mushaf baku di zaman khalifah Abu Bakar. Hal
ini dilatarbelakangi dengan pertimbangan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang tidak hanya
di wilayah Arab saja. Para sahabat pada waktu itu mempertimbangkan bahwa tak semua bangsa
di luar Arab yang mempunyai kemampuan menghafal yang tinggi seperti bangsa Arab, sehingga
perlu ada bentuk lain yang menjamin umat Islam di luar Arab dapat mempelajari Al Quran,
yakni dengan tulisan.
Latar belakang lain kenapa dilakukan penggabungan penulisan Al Quran adalah banyaknya
peperangan yang mensyahidkan para hafizh Al Quran. Sehingga untuk memastikan
terpeliharanya Al Quran, firman Illahi tersebut harus ditulis dan dijadikan dalam bentuk satu
kitab.
Salah satu fragmen kisah yang ada pada Perang Badar juga menunjukkan realita berkembangnya
budaya menulis pada umat Islam. Pada waktu itu, para tawanan perang di pihak umat Islam
dijanjikan dapat dibebaskan apabila mereka mengajarkan baca-tulis kepada umat Islam (yang
saat itu masih banyak yang belum bisa membaca dan menulis). Ini merupakan strategi jitu Rasul
dalam mengembangkan budaya tulis menulis di kalangan umat Islam.
Seperti itulah dahulu kala umat Islam dapat berjaya dengan kentalnya budaya menulis yang ada
pada umat. Memang menjadi suatu ironi apabila kita memperbandingkan dengan apa yang kita
lihat di zaman sekarang. Kebanyakan Muslim sekarang ini mengalami kemerosotan dalam
berbagai bidang dan kalah dari umat lainnya hingga dihina dan didiskreditkan dengan hal yang
tidak pantas, seperti terorisme, ekstrimis, dan lain sebagainya.
Oleh karena itulah, dapat disimpulkan bahwa kejayaan Islam dapat kembali apabila budaya
menulis kembali tumbuh di kalangan umat Islam. Dakwah kantor, sebagai salah satu bentuk
dakwah yang terspesialisasikan pada kalangan pegawai kantoran, mempunyai peran yang
strategis dalam menumbuhkan budaya tulis ini karena tidak sedikit di antara umat Islam sekarang
ini yang berprofesi sebagai pegawai kantoran dan ini jelas menjadi momen yang tepat bagi
dakwah kantor untuk mengemuka dengan tulisan-tulisan keIslaman yang berkualitas.
Reportase Oleh Anas Isnaeni, Pegawai Magang di Kantor Pusat DJPB