Anda di halaman 1dari 5

Penulis buku : H. Fuad Nashori, S.Psi, M.Si.

, Psikolog; judul buku: Agenda


Psikologi Islam; Penerbit: Pustaka Pelajar Yogyakarta; Cetakan kedua:
Februari 2010; Editor: R. Rachmy Diana Mucharram, Psikolog; Desain
Cover: A. Choiran Marzuki, Cetakan Pertama September 2002; Jumlah
halaman: 228; Ukuran buku: 21 x 14 cm.
Secara singkat buku ini menjelaskan tentang bagaimana wacana psikologi
Islami menjadi kokoh seperti mahzhab atau aliran ilmu yang lain. Penulis
berupaya memancing munculnya berbagai pemikiran, riset, dan praktik untuk
memperbaiki dan menyempurnakan keberadaan psikologi Islami. Harapan penulis
psikologi Islami dapat berkembang pesat sehingga mampu mewujudkan mimpi
psikologi Islami sebagai mahdzab kelima. Penulis juga memotret perkembangan
psikologi Islami dan memberikan kemungkinan-kemungkinan pengembangannya
ke depan. Upaya pengembangan psikologi yaitu menuju corak psikologi Islami.
Sistematika penulisan dalam buku ini terbagi atas 10 Bab. Tiga Bab
pertama berisi Pendahuluan, Latar belakang psikologi Islami, Visi psikologi
Islami. Bab IV tentang fase perkembangan Psikologi Islami yang meliputi fase
terpesona,kritik, perumusan, penelitian hingga fase penerapan.
Pada fase terpesona psikologi Islami belum menemukan bentuknya. Teoriteori atau konsep psikologi Barat modern digunakan untuk menjelaskan kondisi
umat Islam atau ajaran Islam. Karena sangat terpesona dengan teori Barat modern
sehingga ada kecenderungan penggunaan teori secara tidak proposional. Pada fase
kritik, psikologi Islami dapat digambarkan sebagai telaah kritis dalam perspektif
Islam atas konsep atau teori-teori Barat modern. Fase ketiga, Perumusan berupaya
merumuskan bagaimana pandangan Islam tentang manusia yaitu dengan menata
ulang berbagai sudut pandang Barat modern sesuai dengan keyakinan yang kita
miliki. Teori yang dihasilkan masih bersifat umum dan cenderung falsafati dan
belum komprehensif. Dilanjutkan pada fase Keempat: Penelitian. Pada tahap ini
berupaya menguji kehandalan teori yang dibangun ilmuwan Muslim dalam
kancah kehidupan nyata. Fase kelima ditandai mulai diterapkannya konsepkonsep psikologi Islami untuk memecahkan problem yang berkembang di
masyarakat. Pada fase terakhir ini dapat menggunakan tiga pendekatan; 1.
penerapan konsep psikologi Islami ke dalam suatu praktik tertentu, 2. Penggunaan
tradisi Islam, 3. Penggunaan teknik teknik dari khazanah psikologi Barat yang
diberi nuansa Islam.
Penulis mengungkapkan bahwa tantangan terbesar dalam psikologi Islami
adalah fase Penerapan. Pada fase ini akan diketahui seberapa besar psikologi
Islami mendapat sambutan yang luas di masyarakat. Penulis menyarankan agar
psikologi Islami menyediakan pendekatan-pendekatan praktis yang berguna bagi
penyembuhan manusia maupun peningkatankualitas manusia. Walaupun
demikian, agar penerapan psikologi berhasil dengan baik ia tetap perlu dinaungi
oleh konsep-konsep yang matang dan penelitian-penelitian yang luas.
Keragaman mengartikan psikologi Islami antar ilmuwan Muslim menimbulkan
keberagaman konsep psikologi Islami. Penulis secara empiris mencermati
1

perbedaan tersebut di Bab VI dan mengelompokkan menjadi empat pola:


1.Psikologi menjelaskan Islam, 2.Perbandingan psikologi dan Islam, 3.Penilaian
Islam terhadap psikologi, 4.Membangun konsep psikologi berdasarkan Islam.
Keempat pola ini disebut sebagai pola pengkajian psikologi semi Islami.
Pola pertama, psikologi dalam menjelaskan Islam menggunakan metode
ilmiah yang empirik, objektif, rasional sehingga pada taraf tertentu memiliki
keunggulan dalam hal menjelaskan dan memprediksi tingkahlaku manusia.
Namun demikian, upaya ini bisa menimbulkan bias yaitu ketika menggunakan
konsep psikologi Barat modern dalam menelah keadaan Islam atau umat Islam.
Pola kedua dilakukan untuk membangun psikologi Islami yaitu dengan
melakukan perbandingan tentang konsep-konsep manusia, kepribadian dan
perilaku manusia antara psikologi dengan Islam. Perbandingan untuk melihat
kesamaan dan perbedaan, kelemahan dan kekuatan konsep psikologi dan Islam.
Pola ketiga yang dilakukan ilmuwan muslim dengan membangun
perspektif Islam terhadap konsep-konsep psikologi modern. Banyak cerita dan
konsep tentang manusia di dalam Al Quran. Islam dapat dipandang sebagai pisau
analisis untuk membedah teori-teori psikologi modern. Salah satu tokoh
terkemuka yang melakukan upaya ini adalah Malik B. Badri dalam buku Dilema
psikolog Muslim yang memberikan penilaian kritis Islam terhadap konsep-konsep
psikoanalisis dan psikologi perilaku.
Pola keempat merupakan pola yang sesungguhnya membangun konsep
psikologi yang didasarkan pada Islam. Menurut penulis, upaya ini merupakan pola
yang paling orosinil dan paling menantang karena ada usaha menghadirkan
perspektif baru dalam memahami manusia secara psikologis. Pola keempat ini
pula yang memungkinkan dilahirkannya psikologi Islami dalam arti yang
sesungguhnya.
Penulis juga berupaya merumuskan psikologi berdasarkan pandangan
dunia Islam. Dalam hal ini penulis membagi dalam empat sub pola: 1. Perumusan
psikologi dengan bertitik tolak dari Al Quran dan Al Hadits, 2. Perumusan
psikologi bertitik tolak dari khasanah keislaman, 3. Perumusan psikologi Islami
dengan mengambil inspirasi dari khasanah psikologi modern dan membahsnya
dengan pandangan dunia Islam, 4. Merumuskan konsep manusia berdasarkan
pribadi yang hidup dalam/dengan Islam.
Di bab VII penulis berupaya mengungkap bagaimana pandangan dunia
Islam (Islamic world view) tentang realitas dan metode-metode psikologi Islami
dalam memahami dan memperlakukan realitas. Penulis mencoba menguraikan
lebih lanjut tentang metode yang dipergunakan dalam perumusan (teori) dan
metode yang dipergunakan dalam penelitian. Metode-metode yang dipergunakan
dalam penerapan psikologi Islami tidak dibahas oleh penulis.

Menurut Penulis untuk merumuskan psikologi Islami dengan


menggunakan 4 metode: 1. Metode Keyakinan, 2. Metode Rasiosinasi,
3. Integrasi Metode Keyakinan dan Resiosinasi, 4. Metode Otoritas.
Dalam metode keyakinan, seseorang meyakini kebenaran sesuatu tanpa
keraguan apapun di dalamnya. Dalam metode ini, yang absah diyakini sebagai
sumber yang diyakini kebenarannya adalah wahyu Illahi, khususnya Al Quran dan
Al Hadits.
Dalam penggunaan metode rasiosinasi, psikologi Islami berpandangan
bahwa manusia harus mempergunakan rasionalitas sambil menyadari
keterbatasannya.
Ilmu
pengetahuan
Islam
menekankan
pentingnya
mempergunakan rasio, tetapi tidak memperkenankan kita menganut rasionalisme.
Penulis mengutip pandangan Fritjof Schuon
yang menyatakan bahwa
rasionalisme itu keliru bukan karena ia berupaya mengekspresikan realitas secara
rasional, sejauh hal itu memungkinkan, tetapi karena ia berupaya merangkul
seluruh realitas ke dalam alam rasio. Padahal akal-pikiran atau rasio manusia
memiliki keterbatasan.
Metode integrasi keyakinan dan rasiosinasi menurut penulis tepat bila
menggunakan konsep psikologi berdasarkan pandangan Islam, dalam hal ini Al
Quran dan Al Hadits. Salah satu tugas terpenting adalah mencoba memahami Al
Quran dan Al hadits dengan pendekatan ilmu tafsir. Penulis berpendapat metode
yang dipergunakan ilmu tafsir dapat diambil alih oleh psikologi. Dengan metode
semacam ini dimungkinkan para pemikir psikologi Islami untuk
menuangkanpemikirannya dalam naungan wahyu Ilahi. Kalau terdapat
pertentangan antara pemikirannya dengan teks teks wahyu Ilahi maka hal yang
harus dilakukannya adalah menyadari keterbatasan pikiran manusia dan
menyadari superioritas wahyu Ilahi. Salah satu contohnya Tafsir al-Azhar karya
Hamka.
Dalam metode otoritas, seseorang menyandarkan kepercayaan kepada
orang-orang yang memiliki banyak pengalaman atau pengetahuan dalam suatu
bidang tertentu. Karena pengalamannya itulah akhirnya kewenangan (authority)
diraihnya. Dalam ilmu tafsir dikenal apa yang disebut sebagai tafsir bil al matsur.
Dalam upaya merumuskan psikologi islami, sumber otoritas yang dapat dijadikan
rujukan adalan Nabi dan orang-orang alim (ulama).
Ada dua pendapat menurut penulis berkaitan dengan metode penelitian
psikologi Islami. Pendapat pertama mengungkapkan semua disiplin ilmu
pengetahuan yang mencoba memahami manusia termasuk psikologi Islami harus
menggunakan metode yang dipergunakan oleh ilmu pengetahuan modern, yaitu
metode ilmiah. Pengetahuan yang diperoleh manusia tidak dapat disebut sebagai
sains (ilmu pengetahuan) jika tidak menggunakan metode ilmiah (scientific
method).
Namun dalam penerapannya menurut penulis, banyak pakar yang
cenderung kaku memegang teguh metode, padahal metodologi dan metode ilmiah
3

hanyalah sekedar salah satu sarana sains


memahami sesuatu.

mengukuhkan objektivitas dalam

Pendapat kedua mengungkapkan, mengingat adanya ciri-ciri subjek yang


kompleks dan memiliki keunikan, maka metode yang digunakan semestinya
beragam pula. Tidak hanya metode ilmiah (observasi, riset korelasional,
eksperimental dan fenomenologi). Metode-metode non ilmiah seperti intuisi,
otoritas serta yang lain dapat juga digunakan untuk memahami manusia.
Secara konseptual, pengkaji dan peminat psikologi Islami sepakat memilih
pendapat kedua, yaitu dalam memahami manusia perlu beragam metode tidak
hanya ilmiah saja. Pengunaan metode yang beraneka ragam merupakan
konsekuensi logis dari realitas yang dirangkul ilmu pengetahuan Islam. Berbeda
dengan sains modern yang hanya membatasi ruang lingkup pada benda-benda
yang bersifat indrawi (observable facts). Ilmu pengetahuan Islam, termasuk
psikologi Islami juga bekerja pada wilayah yang terpikirkan (conceivable area)
dan wilayah yang tak terpikirkan. Gagasan tersebut secara konseptual diterima,
akan tetapi dalam realitsnya masih ada keraguan akan objektivitas metode-metode
non ilmiah.
Menurut penulis, peluang melakukan penelitian-penelitian psikologi cukup
besar. Pertama berkaitan dengan perkembangan psikologi Islami baik dalam hal
teori maupun metode yang memutuhkan jawaban apakah teori yang dirumuskan
konsisten dengan kenyataan/data yang ada. Kedua karena adanya perkembangan
gaya hidup manusia yaitu mengedepannya problema spiritualitas. Misalnya:
kecenderungan frustrasi, stress, depresi bahkan bunuh diri yang banyak
menjangkiti orang-orang yang berhasil dalam kehidupan. Salah satu jalan utama
yang ditempuh adalah kembali ke berbagai jalan spiritual, seperti agama dan
aliran-aliran kepercayaan.
Dua persoalan yang menjadi perdebatan psikologi Islami yaitu problem
teori dan problem metode. Penulis berpendapat bahwa suatu penelitian dapat
disebut penelitian psikologi Islami bila teorinya berangkat dari pandangan dunia
Islam atau sekurang-kurangnya teori tersebut telah mengalami proses Islamisasi.
Islamisasi psikologi sendiri dapat diartikan sebagai upaya menghubungkan
kembali psikologi barat dengan ajaran Islam, dimana pada hakikatnya keduanya
merupakan ayat-ayat Tuhan.
Dalam menjawab problem metode, penulis berpendapat bahwa ilmu
pengetahuan Islam senantiasa berupaya menerapkan metode-metode yang
berlainan disesuaikan dengan wataknya.
Untuk mencapai penelitian psikologi Islami, ada empat tahap yang harus
dilalui yaitu Model Pertama: Penelitian dengan Teori Psikologi Barat dan Metode
Ilmiah. Teori Barat yang digunakan sudah mengalami proses Islamisasi seperti:
similarisasi, paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktifikasi, dan verifikasi.
Penulis berpendapat selain similarisasi, pola-pola tersebut dapat dipakai sebagai
jalan untuk melakukan Islamisasi psikologi. Model Kedua: Penelitian dengan
4

metode ilmiah dan teori Islam dan Barat. Model Ketiga: Penelitian dengan
Metode Ilmiah dan Teori psikologi Islami. Model Keempat: Penelitian dengan
berbagai metode dan teori Psikologi Islami (hal 117).
Penulis mengungkapkan bahwa saat ini, Psikologi Islami masih dalam
tahap perumusan. Itupun pada fase perumusan tingkat mula-mula. Ada tiga
agenda tema yang strategis untuk ditindaklanjuti, yaitu: perumusan pandangan
dunia Islam, perumusan teori-teori psikologi, dan perumusan metodologi dan
riset.
Agenda aksi pengembangan psikologi Islami yang perlu dilakukan
menurut penulis: mengadakan pertemuan ilmiah nasional dan internasional,
pembentukan kelompok-kelompok diskusi, memasukkan psikologi islami ke
dalam kurikulum, pembentukan dan pendayagunan jaringan kerja, penerbitan
jurnal dan buku, pengembangan tehnik psikologi Islami dan pendirian sekaligus
pendayagunaan Lembaga Psikologi Islami (hal.155).
Di akhir buku ini, penulis melampirkan rumusan hasil kegiatan-kegiatan
ilmiah yang telah dilakukan (seminar nasional psikologi Islami, Simposium
Nasional Psikologi Islami tahap I - IV, dialog nasional pakar psikologi Islami)
sebagai upaya memotivasi pembaca untuk ikut serta mewujudkan psikologi Islami
sebagai mahdzab yang kelima.
Anotator: Dwi Martiningsih, S.Psi

Anda mungkin juga menyukai