Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PENDAHULUAN

LEUKOREA
A. DEFINISI
Leukorea (white discharge, fluor albus, keputihan) yang terjadi pada
wanita merupakan nama gejala yang diberikan pada keadaan dimana adanya
cairan yang dikeluarkan dari alat-alat genital perempuan yang tidak berupa
darah. Leukorea paling sering dijumpai pada penderita genekologi, adanya
gejala ini diketahui penderita kurang menjaga kebersihan vaginanya.
(Karyati, 2014).
Keputihan adalah cairan yang keluar dari alat genital yang tidak berupa
darah. Keputihan atau Fluor Albus merupakan sekresi vaginal abnormal
pada wanita (Sulistianingsih, 2011).
Leukorea (keputihan) yaitu cairan putih yang keluar dari liang senggama
secara berlebihan (Setyana, 2013). Jadi dapat disimpulkan leukorea adalah
cairan putih yang keluar dari vagina.
B. ETIOLOGI
Etiologi leukorea sampai sekarang masih sangat bervariasi sehingga
disebut multifaktorial. Mikroorganisme patologis dapat memasuki traktus
genitalia wanita dengan berbagai cara, seperti senggama, trauma atau
perlukaan pada vagina dan serviks, benda asing, alat-alat pemeriksaan yang
tidak steril pada saat persalinan dan abortus. (Setyana, 2013).
Ada empat penyebab utama yang dapat menyebabkan perubahan flora
normal dan memicu keputihan :
a. Faktor fisiologis
Keputihan yang normal hanya ditemukan pada daerah porsio vagina.
Sekret patologik biasanya terdapat pada dinding lateral dan anterior
vagina. Keputihan fisiologis terdiri atas cairan yang kadang-kadang
berupa mukus yang mengandung banyak epitel dengan leukosit yang
jarang. Sedangkan pada keputihan patologik terdapat banyak leukosit.
Keputihan yang fisiologis dapat ditemukan pada:

1. Waktu sekitar menarche karena mulai terdapat pengaruh estrogen,


keputihan ini dapat menghilang sendiri akan tetapi dapat
menimbulkan kecemasan pada orang tua.
2. Wanita dewasa apabila ia dirangsang sebelum dan pada waktu
koitus, disebabkan oleh pengeluaran transudat dari dinding vagina.
3. Waktu sekitar ovulasi, dengan sekret dari kelenjar-kelenjar serviks
uteri menjadi lebih encer.
4. Pengeluaran sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri juga
bertambah pada wanita dengan penyakit menahun, dengan
neurosis, dan pada wanita dengan ektropion porsionis uteri
(Setyana, 2013).
b. Faktor konstitusi
Faktor konstitusi misalnya karena kelelahan, stress emosional, masalah
keluarga atau pekerjaan, bisa juga karena penyakit seperti gizi rendah
ataupun diabetes. Bisa juga disebabkan oleh status imunologis yang
menurun maupun obat-obatan. Diet yang tidak seimbang juga dapat
menyebabkan keputihan terutama diet dengan jumlah gula yang berlebihan,
karena merupakan faktor yang sangat memperburuk terjadinya keputihan.
(Setyana, 2013).
c. Faktor iritasi
Faktor iritasi sebagai penyebab keputihan meliputi, penggunaan sabun
untuk mencuci organ intim, iritasi terhadap pelican, pembilas atau
pengharum vagina, ataupun bisa teriritasi oleh celana. (Setyana, 2013).
d. Faktor patologis
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya keputihan antara lain benda
asing dalam vagina, infeksi vaginal yang disebabkan oleh kuman, jamur,
virus, dan parasit serta tumor, kanker dan keganasan alat kelamin juga dapat
menyebabkan terjadinya keputihan. Di dalam vagina terdapat berbagai
bakteri, 95% adalah bakteri lactobacillus dan selebihnya bakteri patogen.
Dalam keadaan ekosistem vagina yang seimbang, dibutuhkan tingkat
keasaman pada kisaran 3,8-4,2, dengan tingkat keasaman tersebut
lactobacillus akan subur dan bakteri bakteri patogen tidak akan
mengganggu. Peran penting dari bakteri dalam flora vaginal adalah untuk
menjaga derajat keasaman (pH) agar tetap pada level normal. Pada kondisi

tertentu kadar pH bisa berubah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah dari
normal. Jika pH vagina naik menjadi lebih tinggi dari 4,2, maka jamur akan
tumbuh dan berkembang. (Setyana, 2013)
C. PATOFISIOLOGI
Keputihan yang fisiologis dapat berubah menjadi keputihan patologis
karena terinfeksi kuman penyakit, seperti jamur, parasit, bakteri, dan virus,
maka keseimbangan ekosistem vagina akan terganggu dan mengakibatkan
pH vagina menjadi basa sehingga kuman penyakit berkembang dan hidup
subur dalam vagina. (Badaryati, 2012)
D. MANIFESTASI KLINIS
Indikasi keputihan dapat dilihat dari jumlah cairan, warna, bau dan
konsistensi. Pada keputihan normal, jumlah cairannya sedikit, warnanya
putih jernih, bau yang ditimbulkan tidak menyengat dan khas dan dengan
konsistensi agak lengket. Sedangkan keputihan yang abnormal jumlahnya
lebih banyak, warnanya dapat kuning, coklat, kehijauan, bahkan bahkan
kemerahan, baunya dapat berbau asam, amis, bahkan busuk. Konsistensinya
bisa cair atau putih kental seperti kepala susu. (Setyana,2013).
Gejala klinis yang dialami penderita keputihan patologis berupa rasa
gatal, lendir vagina berbentuk seperti kepala susu, dan berbau. Keluhan lain
yang sering muncul adalah nyeri vagina, rasa terbakar di bagian luar vagina
(vulva), serta nyeri saat senggama dan berkemih (Triyani, 2013).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan biokimia dan urinalisis.
b. Kultur urin untuk menyingkirkan infeksi bakteri pada traktus urinarius
c. Sitologi vagina
d. Kultur sekret vagina
e. Radiologi untuk memeriksa uterus dan pelvis
f. Ultrasonografi (USG) abdomen
g. Vaginoskopi
h. Sitologi dan biopsy jaringan abnormal
i. Tes serologis untuk Brucellosis dan herpes
j. Pemeriksaan PH vagina.

k. Penilaian swab untuk pemeriksaan dengan larutan garam fisiologis dan


l.
m.
n.
o.

KOH 10 % .
Pulasan dengan pewarnaan gram .
Pap smear.
Biopsi.
Test biru metilen.

F. PENATALAKSANAAN
a. Pencegahan ( Koronek, 2003)
Berbagai pencegahan yang dilakukan akan berguna untuk
mengurangi insidensi kepurihan, dimana keputihan merupakan penyakit
yang hampir pernah dialami oleh setiap wanita. Pencegahan/edukasi
yang dapat diberikan yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Menyeka daerah kelamin dari depan ke belakang


Mencuci daerah kelamin dengan air hangat
Menghindari sabun atau produk kesehatan feminim
Menghindari krim steroid (kecuali diresepkan)
Memakai celana dalam katun
Menghindari pemakaian celana ketat
Hindari pemakaian bedak pada organ kewanitaan dengan tujuan
agar vagina harum dan kering sepanjang hari. Bedak memiliki
partikel halus
yang mudah terselip disana-sini dan akhirnya mengandung jamur
dan bakteri untuk bersarang ditempat itu.

8. Jaga kesterilan alat vital. Penggunaan tisu basah atau produk


pantyliner harus betul-betul steril.
9. Selalu keringkan bagian vagina sebelum berpakaian.
b. Farmakologi
Keputihan merupakan salah satu kondisi paling umum untuk
wanita mencari perawatan medis. Wanita dengan keluhan keputihan
akan berusaha melakukan terapi dengan menggunakan obat yang salah
(Rees M, 2008).
Terapi pada keputihan harus disesuaikan dengan etiologinya
(Ramayanti, 2004) :
1. Parasit
Pada infeksi Trichomonas vaginalis diberikan metronidazol
3x250 mg peroral selama 10 hari, dapat juga dengan Klotrimazol
1x100 mg intravaginal selama 7 hari.

2. Jamur
Pada infeksi Candida albicans dapat diberikan mikostatin 10.000
unit intravaginal selama 14 hari, obat lainnya Itrakonazol 2x200 mg
peroral dosis sehari.
3. Bakteri
Untuk Gonokokus dapat diberikan Tetrasiklin 4x250 mg
peroral/hari selama 10 hari, untuk Gradnerella vaginalis diberikan
Clindamycin 2x300mg peroral/hari selama 7 hari, Klamidia
trachomatis diberikan Tetrasiklin 4x500 mg peroral/hari selama 710 hari, dan Treponema Palladium diberikan Benzatin Penisilin G
24 juta unit IM dosis tunggal atau Doksisiklin 2x200 mg peroral
selama 2 minggu.
4. Virus
Pada virus Herpes tipe 2,diberikan obat topical larutan neutral 1%
atau larutan proflavine 0,1%, pada Human Papiloma virus
pemberian vaksinasi mungkin cara pengobatan yang rasional untuk
infeksi virus ini (namun vaksinasi ini masih dalam penelitian),
kemudian pemberian suntikan interferon dan obat topical podofilin
25% atau podofilotoksin 0,5% baik untuk Kondiloma akuminata

DAFTAR PUSTAKA
Badaryati, E. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pencegahan dan
Penanganan Keputihan Patologis pada Siswi SLTA atau Sederajat di Kota Banjar
Baru. Skripsi.
Karyati, A. 2014. Korelasi antara Vulva Hygiene dengan Kejadian Keputihan
Mahasiswi Program Studi Keperawatan
Tanjungpura Pontianak.

Skripsi.

pada

Fakultas Kedokteran Universitas

Koronek B, S., P., Britt, R., & Hawkins, C. 2003. Diggerentitation Of The
Vaginoses_bacterial Vaginosis, Lactobacillosis and Cyctolytic Vaginosis. The
Internet Journal of Advanced Nursing Practice.
Ramayanti. 2004. Pola Mikroorganisme Fluor Albus Patologis yang Disebabkan oleh
Infeksi pada Penderita Rawat Jalandi Klinik Ginekologi Rumah Sakit Umum dr.
Kariadi Semarang, 2-25.
Rees, M., Hope, S., Koehler, M., Moore, J., & Crawford, P. 2008.
Problem Solving in Women's Health. UK: Marston Book Services, 140-143.
Setyana, W. A. 2013. Analisis Faktor Eksogen Non-infeksi yang Mempengaruhi
Kejadian Keputihan pada Mahasiswi di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Purwokerto. Karya Tulis Ilmiah
Sulistianingsih, R., Djarot, H. S. dan Wahyuni, D. 2011. Hubungan Pengetahuan dengan
Sikap Wanita Usia Subur (WUS) tentang Keputihan Fisiologis dan Patologis di
Lapas Wanita Kelas IIA Kota Semarang. Jurnal Kebidanan Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Triyani, R. dan Ardiyani S. 2013. Hubungan Pemakaian Pembersih Vagina dengan
Kejadian Keputihan pada Remaja Putri. Akademi Kebidanan Estu Utomo
Boyolali.

Anda mungkin juga menyukai