Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1)
pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6)
lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1.1 Anatomi Hidung Bagian Luar


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis),
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal.

2) prosesus

Gambar 1.2 Anatomi Kerangka Hidung

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor), 3) beberapa pasang kartilago alar
minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os
maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela.
2

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter.

Gambar 1.3Anatomi Hidung Bagian Dalam

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
3

lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan

lamina papirasea

merupakan Komplek Ostiomeatal (KOM) yang dibentuk oleh prosesus unsinatus,


infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM
merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus
yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.
Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.
1.1.1 Perdarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis
interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna,
di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid

anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
1.1.2 Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatina.
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabutserabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina terletak di belakang
dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
1.2.3 Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa
pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel

torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadangkadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel
terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan
jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan
subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang
besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya
sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke
pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa
hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan
mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.

1.2 Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal


Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara,
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal; 2) fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;

4) fungsi statik dan mekanik untuk

meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.
1.2.1 Fungsi Respirasi
Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares anterior, lalu
naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim panas,
udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut
lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh: a) Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b)Silia, c) Palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan reflex bersin.
1.2.2 Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.

Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi,
jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal dari cuka dan asam
jawa.
1.2.3 Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia).
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan konsonan nasal (m,n,ng),
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.
1.2.4 Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas
berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pankreas.

1.3 Polip hidung


1.3.1 Definisi Polip Hidung
Polip hidung merupakan suatu penyakit inflamasi kronik pada membran mukosa
hidung dan sinus paranasal. Bentukan polip bisa bulat atau lonjong dengan permukaan licin
dan warna translusen seperti agar-agar. Ahli lain menyebutkan bahwa polip adalah
penonjolan mukosa rongga hidung yang panjang bertangkai dan merupakan pseudotumor.
1.3.2 Epidemiologi Polip Hidung
Insiden keseluruhan polip hidung pada anak-anak di Amerika Serikat adalah 0,1%.
Di antara orang dewasa, kejadian ini 1-4% keseluruhan, dengan kisaran 0,2-28%. Kejadian di
seluruh dunia adalah sama dengan kejadian di Amerika Serikat.
Tidak ada kematian yang signifikan terkait dengan polip hidung. Morbiditas
biasanya dikaitkan dengan kualitas hidup. Polip hidung terjadi pada semua ras dan kelas
sosial. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 2-4: 1 pada orang dewasa, rasio pada anak-anak
belum dilaporkan. Angka kejadian polip hidung meningkat pada penderita asma.

1.3.3 Etiologi Polip Hidung


Polip hidung merupakan penyakit multifaktorial, mulai dari infeksi, inflamasi non
infeksi, kelainan anatomis, serta abnormalitas genetik. Banyak teori yang mengarahkan polip
ini sebagai manifestasi dari inflamasi kronis, oleh karena itu, tiap kondisi yang menyebabkan
adanya inflamasi kronis pada rongga hidung dapat menjadi faktor predisposisi polip. Kondisi
-kondisi ini seperti rinitis alergi ataupun non alergi, sinusitis, intoleransi aspirin, asma, Churg
-strauss syndrome, cystic fibrosis, katagener syndrome, dan Young syndrome.

1.3.4 Patogenesis dan Patofisiologi Polip Hidung


Pembentukan polip sering diasosiasikandengan inflamasi kronik, disfungsi saraf
otonom

serta presisposisi genetik. Menurut teori Bernstrein, terjadi perubahan mukosa

hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi terutama di daerah kompleks
osteomeatal. Terjadi prolap submukosa yang diikuti reepitelisasi dan pembentukan kelenjar
baru. Juga terjadi penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air
sehingga terbentuk polip.
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan
permeabelitas kapiler dan gangguan

regulasi vaskular yang mengakibatkan dilepasnya

sitokin dari sel mast yang akan mengakibatkan edema dan lama kelamaan menjadi polip.
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang akan menyebabkan edema lama kelamaan menjadi
polip. Bila terus menerus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan
kemudian akan turun ke rongga hidung dan membentuk tangkai.
Tempat tumbuh asal polip terutama dari kompleks osteo meatal di meatus media dan
sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoksop, mungkin tempat asal polip
dapat dilihat. Ada polip yang timbul ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut
polip koana. Polip koana biasanya berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip
antro-koana. Ada juga sebagian kecil koana yang berasal dari sinus etmoid.
Polip hidung mempunyai tiga tipe. Tipe pertama yaitu polip yang berasal dari sinus
maksila yang membesar hingga ke hidung dan koana yang disebut dengan polip antro-koana,
sering muncul unilateral. Tipe kedua yaitu polip hidung bilateral multipel terdiri dari 10-20
polip hidung ukuran kecil pada kedua belah hidung. Tipe ketiga yaitu nasal poliposis yang
terkait dengan sinusitis kronik. Polip ini sering disertai edema berat dan pengonatannya lebih
sulit dibanding kedua jenis polip.

10

1.3.5 Manifestasi Klinis Polip Hidung


Gejala dari polip hidung tergantung pada ukuran polip. Polip ukuran kecil mungkin
tidak menghasilkan gejala-gejala dan dapat diidentifikasi selama pemeriksaan rutin THT.
Polip bisa terletak di posterior hidung yang biasanya tidak biasanya terlihat pada nasoskopi
anterior misalnya pada polip antro-koana. Polip dapat menyumbat muara sinus (misalnya,
meatus media) menyebabkan gejala sinusitis akut kronis atau berulang sehingga pada pasien
polip sering menimbulkan gejala sinusitis.
Polip dapat menimbulkan gejala sumbatan hidung, sering tertelan lendir (PND),
sakit kepala, suara mendengkur, hiposmia, dan rhinorrhea. Polip dengan ukuran besar
(misalnya, polip antro koana dapat menyumbat rongga hidung, nasofaring, atau keduanya)
dapat menyebabkan deformitas hidung (hidung mekar) dan gejala sleep apnea
sertapernapasan mulut kronis.

1.3.6 Diagnosis Polip Hidung


a. Anamnesis
Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung rasa tersumbat dari yang ringan
sampai yang berat, rinore mulai dari yang mukus sampai purulen, hiposmia, dan anosmia.
Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala daerah frontal.
Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan mukus purulen. Gejala
sekunder yang dapat timbul adalah bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan
tidur, dan penurunan kualitas hidup.
Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan
mengi, terutama pad a penderita polip hidung dan asma. Selain itu harus ditanyakan riwayat
rinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dab akergi obat lainnya serta alergi makanan.

11

b. Pemeriksaan Fisik
Polip hidung yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung
tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pemeriksaan fisik polip hidung menggunakan
rinoskopi anterior dan pada anak-anak juga dapat digunakan otoskop. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus
medius dan mudah digerakkan.
Menurut Mackey dan Lund (1997) polip dibagi menjadi tiga stadium, yaitu:
1

= tidak terdapat polip

= polip di meatus media

= polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi kavum nasi

= polip sudah memenuhi kavum nasi

c. Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus paranasal

(posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat

memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus, tetapi
kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan CT Scan sangat bermanfaat untuk melihat
dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan
anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteo meatal. CT scan terutama diindikasikan
pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.

12

Gambar 1.4 Potongan aksial sinus maksilaris: Polip Antro Koana

Gambar 1.5 Potongan Koronal CT scan melalui sinus anterior: Polip antro Koana

13

Gambar 1.6 Polip Nasi Pasca Reseksi


1.3.7 Diagnosis Diferensial Polip Hidung
Diagnosis diferensial polip hidung adalah sebagai berikut:
1. Cystic Fibrosis
2. Aspirin Associated Respiratory disease
3. Papiloma inverted
4. Sinusitis Jamur
5. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma

1.3.8 Tatalaksana polip hidung


Tujuan tatalaksana polip hidung adalah menghilangkan

keluhan keluhan,

mengilangkan rekurensi dan mencegah komplikasi. Pemberian kortikosteroid untuk


menghilangkan polip hidung disebut juga polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan
topikal atau sistemik. Polip tipe eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap
pengobatan kortikosteroid dibandingkan polip tipe neutrofilik.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat
masif dipertimbangan untuk terdapi bedah. Dapat dilakukan polipektomi (ekstraksi polip)
14

menggunakan senar polip aytau cunam dengan analgesi lokal, etmoidektomi intrabnasal atau
ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terdbaik
ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka daapt dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional).
1.3.9 Prognosis dan Komplikasi
a. Prognosis
Prognosis polip hidung tergantung pada ukuran dan ringan berat gejalanya. Meskipun telah
dilakukan terapi medikamentosa atau operasi, polip hidung dapat muncul kembali.
b. Komplikasi
1.
2.
3.
4.

Sinusitis kronis
Papiloma inverted
Epistaksis
Penurunan kualitas hidup

1.4

Deviasi Septum

1.4.1

Definisi Deviasi Septum

15

Deviasi septum adalah pembengkokan asimetris septum hidung yang dapat menekan konka
media ke arah lateral, menyebabkan penyempitan rongga meatus medius. Bentuk septum normal ialah
lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum tidak lurus sempurna.
Apabila posisi deviasi septum mengarah ke atas, dapat menyebabkan obstruksi mekanik kompleks
ostiomeatal anterior. Deviasi yang ringan tidak akan menggangu, akan tetapi bila deviasi cukup berat,
menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung
dan menyebabkan komplikasi.1,2

Gambar 1.7 Deviasi Septum


1.4.2

Epidemiologi Deviasi Septum


Angka kejadian deviasi septum nasi yang dilaporkan sangat bervariasi. Pernah dilaporkan di

Brazil pada tahun 2005, dimana insiden deviasi septum nasi mencapai 60,3% dengan keluhan
sumbatan hidung sebanyak 59,9%. Pada tahun 1995, Min dkk menemukan prevalensi deviasi septum
nasi di Korea mencapai 22,38% dari populasi, dengan penderita yang terbanyak adalah laki-laki. Pada
tahun 2002, di Turki, Ugyur dkk melaporkan 15,6% bayi baru lahir dengan persalinan normal
mengalami deviasi septum nasi.4
1.4.3

Etiologi dan Patogenesis Deviasi Septum


Penyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah lahir, pada waktu

partus, atau bahkan pada masa janin intrauterin. Trauma minor pada kehidupan awal mudah diabaikan
dan sering mengakibatkan mikrofraktur pada kartilago septum. Penyembuhan mikrofraktur ini
mengakibatkan penekukan kartilago menjauhi sisi yang mengalami cedera. Hal ini menyebabkan
pertumbuhan asimetris struktur nasal. Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan.
Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap. Dengan
demikian terjadi deviasi pada septum nasi.1,2

16

1.4.4

Klasifikasi Deviasi Septum


Deviasi septum dibagi Mladina berdasarkan letak deviasi, yaitu: 4

Tipe I

: Benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara

Tipe II

: Benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun


masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna

Tipe III

: Deviasi pada konka media/area osteomeatal

Tipe IV

: tipe S, septum posterior dan anterior berada pada sisi yang berbeda

Tipe V

: Tonjolan besar unilateral pada dasar septum, di sisi lain masih normal

Tipe VI

: Tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga


menunjukkan rongga yang asimetri

Tipe VII

: Kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-VI

Gambar 1.8 Klasifikasi Deviasi Septum menurut Mladina


Jin, HR, dkk mengusulkan klasifikasi deviasi septum sebagai berikut: 5
Tipe I

: Deviasi lokal termasuk spina, kristas, dan dislokasi kaudal

Tipe II

: Deviasi lengkung/sudut tanpa deviasi lokal

Tipe III : Deviasi lengkung/sudut dengan deviasi lokal


Tipe IV : Deviasi lengkung/sudut yang berhubungan dengan deviasi hidung luar
Jin, HR, dkk juga membagi deviasi septum berdasarkan tingkat keparahan gejalanya sebagai
berikut5
Ringan : Deviasi kurang dari setengah jarak septum ke dinding lateral hidung
Sedang : Deviasi lebih dari setengah jarak septum ke dinding lateral hidung,
menyentuh
Berat

: Deviasi septum menyentuh dinding lateral hidung

17

namun belum saling

Gambar 1.9 Klasifikasi Deviasi Septum menurut Jin HR


(A) Deviasi Lokal, (B) Deviasi Lengkung, (C) dan (D) Deviasi sudut
1.4.5

Manifestasi Klinis Deviasi Septum


Keluhan yang paling sering pada deviasi septum ialah sumbatan hidung. Sumbatan bisa

unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofil, sedangkan pada sisi
sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi. Gejala lain yang
mungkin muncul dapat seperti hiposmia, anosmia, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum,
kemudian epistaksis, nyeri kepala dan di sekitar mata. 2,4
Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan obstruksi hidung yang mengganggu fungsi
hidung dan menimbulkan gangguan estetik wajah (hidung menjadi bengkok). Deviasi septum dapat
menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. 2,4
Deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala berikut: 6
-Sumbatan pada salah satu atau kedua lubang hidung
-Kongesti nasal/hidung berair, kadang-kadang hanya pada satu sisi
-Sering perdarahan hidung
-Sering mengalami infeksi sinus
-Kadang-kadang nyeri wajah, nyeri kepala, terdapat post-nasal drip
-Mengorok saat tidur (pada bayi dan anak)
Pada kasus tertentu, pasien dengan deviasi septum ringan hanya merasakan gejala ketika
mengalami common cold (infeksi saluran napas). Pada kasus ini, infeksi saluran napas mencetuskan
inflamasi nasal yang memperparah gangguan jalan napas ringan yang berkaitan dengan septum
deviasi.6
Deviasi septum nasi melibatkan tulang septum, kartilago atau keduanya. Pada pasien dengan
kelainan septum, sisi yang sempit akan mengalami siklus sumbatan hidung yang berbeda, yang
menyebabkan perbedaan tahanan hidung total, sehingga pasien merasakan sumbatan hidung yang
berkala. Septum deviasi juga dapat menyebabkan kolaps dari katup hidung. Peningkatan tekanan
akibat deviasi septum akan menyebabkan kolapsnya segmen ini pada saat inspirasi 4
1.4.6

Diagnosis Deviasi Septum

Anamnesis:

18

Didapatkan gejala yang sesuai dengan manifestasi klinis di atas dan adanya riwayat trauma
nasal atau trauma midfasial, trauma lahir termasuk penggunaan forsep atau persalinan pervaginam
dengan kanal pelvis yang sempit. Pasien dengan deviasi septum unilateral dapat mengalami fenomena
paradoxical nasal obstruction, yang mungkin merupakan hasil dari turbinasi konka.1,6
Pemeriksaan Fisik:
Deviasi septum nasi dapat mudah terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Penting untuk
pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum, karena ujung spekulum dapat menutupi
deviasi bagian kaudal. Pemeriksaan seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung untuk
menentukan besarnya konka. Piramid hidung, palatum dan gigi juga diperiksa karena struktur ini
sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum. 4
Bentuk deformitas septum yang dapat dinilai ialah (1) deviasi, biasanya berbentuk huruf C
atau S; (2) dislokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum ke luar kristas maksila dan masuk ke dalam
rongga hidung; (3) penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke
belakang disebut krista, dan bila sangat runcing atau pipih disebut spina; (4) bila deviasi atau krista
septum bertemu dan melekat dengan konka dihadapannya disebut sinekia. 2
Pemeriksaan patensi jalan napas hidung yang mudah dilakukan antara lain tes oklusi jari, tes
Cottle, dan tes kondensasi uap napas (tes spatula lidah). Tes oklusi dilakukan dengan menutup salah
satu lubang hidung dengan ibu jari, kemudian meminta menghembuskan napas melalui hidung. Tes
kondensasi uap napas dilakukan dengan bernapas dengan meletakkan spatula lidah atau kaca kalibrasi
Glatzel dan meminta pasien untuk bernapas biasa dan menutup mulut, maka dapat dilihat salah satu
lubang hidung tersumbat dibandingkan yang lainnya. Perasat Cottle dikerjakan dengan menarik pipi
dengan jari pemeriksa ke arah lateral, meningkatkan sudut katup nasi internal. Penyebab obstruksi
hidung, termasuk deviasi septum pada area katup nasi, akan memberikan hasil positif. 4,7

Gambar 1.10 Tes kondensasi uap (tes spatula lidah)

19

Gambar 1.11 Perasat Cottle


Pemeriksaan Penunjang
Nasal Inspiratory Peak Flowmetry (NIPF) merupakan alat untuk mengukur aliran udara
hidung saat inspirasi. NIPF terdiri dari face mask, konektor dan tabung silinder berisi diafragma yang
bergerak apabila ada aliran udara. Alat ini mempunyai skala 30-370 L/menit. Alat ini digunakan
dengan meletakan face mask menutupi hidung dan mulut, inspirasi melalui hidung dengan mulut
tertutup. Pemeriksaan dilakukan 3 kali dengan hasil tertinggi yang didapat akan dipakai. 4
Rinomanometri digunakan untuk mengukur hambatan aliran udara nasal dengan pengukuran
kuantitatif pada aliran dan tekanan udara nasal. Tes ini berdasarkan prinsip bahwa aliran udara melalui
suatu tabung hanya bila terdapat perbedaan tekanan yang melewatinya. Perbedaan ini dibentuk dari
usaha respirasi yang mengubah tekanan ruang posterior nasal relatif terhadap atmosfir eksternal dan
menghasilkan aliran udara masuk dan keluar hidung.4
Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk menilai deviasi septum
bagian posterior atau untuk melihat robekan mukosa. Kondisi dengan obstruksi hidung anterior berat
seperti deviasi septum dramatis atau polip yang besar bisa tidak memerlukan nasoendoskopi, namun
nasoendoskopi dapat menegaskan relevansi klinisnya. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus
paranasal, dilakukan pemeriksaan radiologi sinus paranasal. 4,7

Gambar 1.12 CT Scan Deviasi Septum


1.4.7

Diagnosis Banding Deviasi Septum


Kelainan yang menyebabkan obstruksi nasal lain:2,7

- Hematoma septum
- Gangguan katup hidung
- Rinitis alergi
- Polip hidung dan massa hidung lainnya seperti tumor hidung

20

1.4.8

Tatalaksana Deviasi Septum


Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan koreksi

septum. Pada septum deviasi yang memberikan gejala obstruksi dilakukan pembedahan. Ada 2 jenis
tindakan operatif yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan yang nyata yaitu reseksi
submukosa.2,4
Pada SMR mukoperikondrium dan mukoperiosteum kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan
dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga
mukoperikondrium dan mukoperiostieum sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
SMR dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya hidung pelana/saddle nose akibat turunnya
puncak hidung oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat. 2
Pada septoplasti tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja
yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada SMR,
seperti terjadinya perforasi septum dan hidung pelana. Saat ini dikenal berbagai teknik septoplasti
antara lain septoplasti konvensional, septoplasti endoskopi dan open book septoplasty.2,4
1.4.9

Prognosis dan Komplikasi Deviasi Septum


Komplikasi yang dapat terjadi pada deviasi septum nasi adalah: 8

1. Sinusitis berulang
2. Infeksi telinga tengah
3. Pernapasan mulut menyebabkan infeksi tenggorok berulang
4. Asma
Prognosis pada pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik dan perlu
menghindari terjadinya trauma.

BAB 2
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien:
Nama

: Tn. A

21

Umur

: 48 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


No MR : 939872
Alamat

Anamnesis
Seorang pasien laki-laki usia 48 tahun dirawat di Bangsal THT RSUP Dr. M. Djamil Padang pada hari
Rabu tanggal 20 April 2016 dengan:
Keluhan Utama:
Hidung sebelah kanan tersumbat berulang sejak 3 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang:
-

Hidung sebelah kanan tersumbat berulang sejak 3 hari yang lalu. Keluhan hidung tersumbat terus
menerus dan bertambah parah apabila pasien pilek atau demam sehingga kesulitan untuk tidur dan

mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan sudah pasien rasakan sejak 5 tahun yang lalu.
Gangguan penciuman (+), hidung berair (+) ingus kental dan berbau, rasa tertelan ingus di
tenggorok (+), riwayat bersin berulang (+), riwayat hidung berdarah (-), nyeri kepala (+), nyeri

dahi, pipi, atau pangkal hidung disangkal.


Batuk (+), batuk berdahak, dahak berwarna kehijauan
Nyeri tenggorok (+), nyeri menelan (-), rasa mengganjal di tenggorok (-), sakit gigi (-), rasa

benjolan di leher (-), suara sengau (+), suara serak (-)


Gangguan pendengaran (-), nyeri telinga (-), telinga berdenging (-), riwayat telinga berair (-),

riwayat telinga terasa penuh disangkal, pusing berputar (-)


Riwayat atopi (+), pasien sudah pernah dites alergi dan dinyatakan alergi terhadap debu, telur, dan

kacang-kacangan
Tidur mengorok kadang-kadang, riwayat terbangun malam lalu sesak napas (-)
Demam (-), sesak (-) namun pasien mengaku sulit bernapas melalui hidung
Pasien merasakan penurunan berat badan
Pandangan ganda (-), wajah mencong (-), kebas pada wajah (-), riwayat penurunan kesadaran (-),

riwayat kejang (-)


Riwayat trauma pada wajah atau hidung (-)
Pasien sudah berobat di poliklinik THT RSUP M Djamil dan dilakukan nasoendoskopi dan CT
Scan sinus paranasal aksial & koronal, didapatkan massa memenuhi rongga hidung kanan dan
deviasi septum nasi ke sisi kanan

Riwayat penyakit dahulu:


-Pasien memiliki riwayat rinitis alergi
Riwayat penyakit keluarga:
-Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien

22

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan:


-Pasien bekerja sebagai buruh, sosial ekonomi menengah, riwayat menggunakan alat hisap hidung (-),
merokok (+)
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran

: Composmentis kooperatif

Tekanan darah

: tidak diperiksa

Frekuensi nadi : 78 x/menit


Frekuensi nafas : 23 x/menit
Suhu

: afebris

23

Pemeriksaan Sistemik
Kepala
: normosefal
Wajah

: allergic salute (+), allergic crease (+), allergic shinner (+)

Mata

: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Thorax
Paru

: dalam batas normal

Jantung : dalam batas normal


Abdomen

: dalam batas normal

Extremitas

: akral hangat, CRT < 2

Status Lokalis THT


Telinga
Pemeriksaan
Daun telinga

Dinding liang telinga

Kelainan
Kel. Kongenital
Trauma
Radang
Kel. Metabolik
Nyeri tarik
Nyeri tekan tragus
Cukup lapang
Sempit
Hiperemi
Edema
Massa
Bau
Warna
Jumlah
Jenis

Dekstra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kecoklatan
Sedikit
Mukoid

Keabuan
Menurun
Tidak ada
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Keabuan
Menurun
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Membran timpani

Utuh

Perforasi
Mastoid

Warna
Reflek cahaya
Bulging
Retraksi
Atrofi
Jumlah perforasi
Jenis
Kuadran
Pinggir
Tanda radang
Fistel
Sikatrik
Nyeri tekan
Nyeri ketok

24

Tes garpu tala

Rinne
Schwabach
Weber
Kesimpulan

(+)
Normal

(+)
Normal
Tidak ada lateralisasi
Telinga normal
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Audiometri
Timpanometri
Hidung
Pemeriksaan

Hidung luar

Kelainan
Deformitas

Dektra
Ada, bengkak di

Sinistra
Tidak ada

Kelainan kongenital
Trauma
Radang
Massa

pangkal hidung
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Sinus paranasal
Pemeriksaan
Nyeri tekan
Nyeri ketok

Dekstra
Tidak ada
Tidak ada

Sinistra
Tidak ada
Tidak ada

Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan
Vestibulum

Cavum nasi
Sekret
Konka inferior

Konka media

Septum

Kelainan
Vibrise
Radang
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Lokasi
Jenis
Jumlah
Bau
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Cukup lurus/deviasi
Permukaan
Warna
Spina
Krista
Abses
Perforasi
Lokasi

Dekstra
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Meatus inferior
Mukopurulen
Sedikit
Ada
Hipertrofi
Ungu pucat
Tidak rata
Tidak ada
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Ada
Licin
Merah muda
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-

25

Sinistra
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Meatus inferior
Mukopurulen
Sedikit
Ada
Hipertrofi
Ungu pucat
Tidak rata
Tidak ada
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Ada
Licin
Merah muda
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-

Bentuk
Ukuran
Permukaan
Warna
Konsistensi
Mudah digoyang
Pengaruh vasokonstriktor

Massa

Rinoskopi Posterior (tidak dilakukan, pasien tidak kooperatif)


Pemeriksaan
Koana
Mukosa
Konka superior

Adenoid
Muara tuba eustachius
Massa

Post nasal drip

Kelainan
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Warna
Edema
Jaringan granulasi
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Ada/ tidak
Tertutup secret
Lokasi
Ukuran
Bentuk
Permukaan
Ada/ tidak
Jenis

Dekstra
-

Sinistra
-

Kelainan
Edema
Bifida
Simetris /tidak
Warna
Edema
Bercak /eksudat
Warna
Permukaan
Ukuran
Warna
Permukaan
Muara kripti
Detritus
Eksudat
Perlengketan
Warna
Edema
Abses
Lokasi
Bentuk

Dekstra
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak bifida, uvula deviasi ke kiri
Ada
Ada
Merah muda
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Merah muda
Merah muda
Merah muda
T2
T2
Pucat
Pucat
Tidak rata
Tidak rata
Melebar
Melebar
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-

Orofaring dan mulut


Pemeriksaan
Uvula
Palatum mole + Arkus
Faring
Dinding faring

Tonsil
Peritonsil

26

Tumor
Gigi

Lidah

Ukuran
Permukaan
Konsistensi
Karies/Radiks
Kesan
Warna
Bentuk
Deviasi
Massa

Ada
Hygene kurang
Merah muda
Normal
Tidak ada
Tidak ada

Ada
Hygene kurang
Merah muda

Laringiskopi Indirek (tidak dilakukan, pasien tidak kooperatif)


Pemeriksaan
Epiglotis

Aritenoid

Ventrikular band
Plika vokalis

Subglotis/ trakea
Sinus piriformis
Valekulae

Kelainan
Bentuk
Warna
Edema
Pinggir rata/ tidak
Massa
Warna
Edema
Massa
Gerakan
Warna
Edema
Massa
Warna
Gerakan
Pinggir medial
Massa
Massa
Sekretada / tidak
Massa
Sekret
Massa
Sekret (jenisnya)

Dekstra
-

Sinistra
-

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher


Pemeriksaan
Inspeksi

Dekstra
tidak terlihat pembesaran KGB

Sinistra
tidak terlihat pembesaran KGB leher,

Palpasi

leher, tanda radang (-).


tidak teraba pembesaran

tanda radang (-).


tidak teraba pembesaran KGB leher,

leher, nyeri tekan (-)

KGB

nyeri tekan (-)

Pemeriksaan penunjang:
-Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 13,6 g/dL

Leukosit

: 8.400/mm3

Ht : 38%

Trombosit

: 375.000/mm3

PT : 10,7 detik

APTT

: 40,7 detik

27

Ht : 38%

Trombosit

: 375.000/mm3

SGOT: 14 u/L

SGPT

: 12 u/L

Ureum: 16 mg/dL

Kreatinin

: 1,2 mg/dL

GDS: 94 mg/dL
Kesan: APTT memanjang, kreatinin sedikit meningkat

-CT Scan

28

Gambar 2.1 Potongan Koronal CT Scan pasien


Kesan: tampak gambaran massa pada region cavum nasi kanan dan deviasi septum nasi ke kanan
-Nasoendoskopi
Pemeriksaan Anjuran:
-Biopsi dan pemeriksaan histopatologi massa
Diagnosis: Polip Nasi KND dengan Deviasi Septum Nasi
Diagnosis Banding: Inverted papilloma KND
Diagnosis Tambahan: Rinitis Alergi + Rinosinusitis Kronis + Tonsilitis Kronis
Tatalaksana:
-Cefoperazone 2 x 1 gram IV
-Dexamethasone 3 x 1 amp IV
-Polipektomi + FESS + septoplasti
Laporan Operasi (tanggal 21 April 2016 jam 09.30-11.30):
1.
2.
3.
4.

Pasien tidur dalam posisi supine di atas meja operasi dalam general anesthesia
Dilakukan tindakan aseptic dan antiseptik pada lapangan operasi
Dipasang tampon anterior dengan adrenalin:lidokain 1:4
Dilakukan septoplasti dengan insisi di kaudal septum KNS, dilakukan diseksi secara tumpul
hingga septum terpapar hingga bagian posterior, sebelumnya dilakukan infiltrasi menggunakan
adrenalin 1:20.000. Dilakukan pemotongan tulang septum menggunakan gunting septum, dibuat

terowongan dari anterior ke posterior hingga terbentuk swing septum


5. Dilakukan polipektomi hingga tampak konka media
6. Dicari prosesus unsinatus dan ostium maksila kanan dengan ostium seeker
7. Dilakukan pelebaran ostium sinus dengan back bitting, tampak pus keluar, dilakukan
8.
9.
10.
11.
12.
13.

pembersihan ostium sinus maksila dan diirigasi


Bula etmoid diangkat, dibersihkan semua sel etmoid
Sel ager nasi diangkat, resesus frontalis terbuka, sinus frontal bersih
Dibersihkan KN dari sisa jaringan polip
Perdarahan diatasi
Dipasang tampon anterior 1:1
Operasi selesai

Foto polip:

29

Gambar 2.2 Polip hidung


Prognosis:
Quo ad vitam

: Dubia ad Bonam

Quo ad functionam

: Dubia ad Bonam

Quo ad sanationam

: Dubia ad bonam

Follow up
Tanggal 21 April 2016 (07.00)
S/

- hidung tersumbat (+)


- gangguan penciuman (+)
- hidung berair (+), ingus kental, hidung berdarah (-)
- rasa tertelan ingus di tenggorok (+)
- nyeri kepala (-), nyeri wajah (-)
- batuk (+), batuk berdahak, sudah agak berkurang
- keluhan telinga (-)

O/ sakit sedang, BP : 1 00/ 70

H R: 75 x/ i

R R : 2 2x/ i

Wajah

: nyeri tekan/ketok sinus (-), allergic crease (+)

Mata

: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Toraks

: jantung dan paru dalam batas normal

T: a f e br i s

Abdomen : dalam batas normal


Ekstrimitas: akral hangat, CRT < 2 detik
Status Lokalis THT
Telinga

: AD:

LT: cukup lapang; serumen (-); MT: utuh, warna keabuan, refleks cahaya
menurun, retraksi (+)

AS:

LT: cukup lapang; serumen (-); MT: utuh, warna keabuan, refleks cahaya
menurun, retraksi (+)

Hidung

: KND: sempit, sekret (+) mukopurulen; septum: spina (+); KI: hipertrofi (+), ungu
pucat; KM & KS: sulit dinilai
KNS: sempit, sekret (+) mukopurulen; septum: spina (+); KI: hipertrofi (+), ungu
pucat; KM & KS: sulit dinilai

Tenggorok:

T2-T2, muara kripti melebar, detritus (+), uvula deviasi ke kiri, PND (+)

A/ - Polip Nasi KND dd/ inverted papilloma KND


- Septum Deviasi
- Rinosinusitis Kronis + Tonsillitis Kronis

30

P/

- Rencana operasi polipektomi + septorinoplasti hari ini

Tanggal 22 April 2016 (07.00)


S/

- hidung tersumbat (+) karena terpasang tampon. Pasien kesulitan makan


- gangguan penciuman (-)
- hidung berair (+), ingus kental, hidung berdarah (-)
- rasa tertelan ingus di tenggorok (-), rasa tertelan darah (-)
- nyeri hidung (+), nyeri kepala (-), nyeri wajah (-)
- batuk (+), batuk berdahak, sudah agak berkurang

O/ sakit sedang, BP : 110/ 70

H R: 82 x/ i

R R: 2 3x/ i

Wajah

: nyeri tekan/ketok sinus (-), allergic crease (+)

Mata

: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Toraks

: jantung dan paru dalam batas normal

T: a f e br i s

Abdomen : dalam batas normal


Ekstrimitas: akral hangat, CRT < 2 detik
Status Lokalis THT
Telinga

: AD:

LT: cukup lapang; serumen (-); MT: utuh, warna keabuan, refleks cahaya
menurun, retraksi (+)

AS:

LT: cukup lapang; serumen (-); MT: utuh, warna keabuan, refleks cahaya
menurun, retraksi (+)

Hidung

: KND & KNS: terpasang tampon anterior

Tenggorok:

T2-T2, muara kripti melebar, detritus (+), PND (+)

A/ - Post Polipektomi + Septorinoplasti a.i. Polip Nasi KND + Septum Deviasi


- Rinosinusitis Kronis + Tonsillitis Kronis
P/

- Cefoperazone 2 x 1 gram IV

- Dexamethasone 3 x 1 amp IV

- IVFD RL + Tramadol drip 1 amp IV

- Rencana pulang hari ini

31

BAB 3
DISKUSI
Dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 48 tahun dirawat di bangsal THT RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tanggal 20 April 2016 dengan diagnosis polip nasi KND dengan septum deviasi
dan diagnosis tambahan rinitis alergi, rinosinusitis kronis, dan tonsilitis kronis. Polip nasi adalah
massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan,
yang terjadi akibat inflamasi mukosa kronis.
Dari anamnesis didapatkan hidung sebelah kanan tersumbat berulang sejak 3 hari yang lalu.
Keluhan hidung tersumbat terus menerus dan bertambah parah apabila pasien pilek atau demam
sehingga kesulitan untuk tidur dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan dirasakan sejak 5 tahun
yang lalu. Hal ini menunjukkan adanya sumbatan hidung yang menetap selama 5 tahun yang bisa
disebabkan karena adanya massa dalam hidung atau kelainan anatomi hidung. Suara sengau (rinolalia)
menunjukkan adanya sumbatan hidung. Gangguan penciuman, riwayat bersin berulang dan riwayat
atopi, mengarahkan diagnosis ke rinitis alergi yang merupakan predisposisi polip nasi. Pemeriksaan
fisik menunjukkan adanya hipertrofi konka berwarna ungu pucat memperkuat diagnosis rinitis alergi.
Sumbatan hidung, gangguan penciuman hidung berair dengan sekret kental berbau, rasa tertelan ingus
di tenggorok, dan nyeri kepala merupakan gejala rinosinusitis kronis. Namun seharusnya ditemukan
nyeri pada sinus, yang pada pasien ini tidak ada, bisa karena pasien mengabaikan rasa nyeri tersebut.
Rinosinusitis kronis bisa disebabkan akibat adanya kelainan anatomi hidung maupun massa pada
hidung, dalam kasus pasien ini polip nasi KND.
Tidak adanya riwayat hidung berdarah atau rasa tertelan darah, penurunan berat badan
ekstrim, pembengkakan leher, pandangan ganda, defisit neurologis seperti wajah pencong, penurunan
kesadaran, riwayat kejang, atau dapat menyingkirkan keganasan pada hidung. Keganasan yang
bersifat progresif tidak terlihat pada pasien ini karena pasien sudah menderita keluhan hidung
tersumbat selama 5 tahun. Massa yang mungkin menimbulkan sumbatan hidung tanpa ada tanda
keganasan selain polip yaitu tumor jinak hidung.
Tidak terdapat riwayat trauma pada wajah atau hidung dapat menyingkirkan fraktur
nasal/septum nasi, sehingga septum deviasi berupa spina pada kedua kavum nasi pasien yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik merupakan kelainan anatomi bawaan. Dengan adanya rinitis alergi,
rinosinusitis kronis, deviasi septum, dan polip nasi yang luas dapat mengganggu fungsi ventilasi
hidung-telinga. Dari anamnesis pasien menyangkal ada keluhan telinga selain hanya telinga terasa
penuh, namun dari pemeriksaan fisik didapatkan membran timpani telinga kanan pasien mengalami
atrofi, dan refleks cahaya kedua membran timpani pasien menurun dan terdapat retraksi.
Batuk berdahak kehijauan dan nyeri tenggorok yang ditemukan pada pasien mengarahkan
diagnosis ke tonsillitis, dan dikonfirmasi melalui pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran tonsil T2T2, muara kripti melebar, dan detritus yang merupakan gambaran klinis tonsillitis kronis. Tidur

32

mengorok dapat disebabkan oleh pembesaran tonsil ini, diperparah dengan sumbatan pada hidung
pasien yang menetap.
Pemeriksaan penunjang berupa nasoendoskopi serta CT scan sinus mengkonfirmasi diagnosis
bahwa ada massa memenuhi rongga hidung hingga ke bagian posterior dan adanya deviasi septum ke
kanan. Diagnosis ditegakkan polip nasi KND disertai septum deviasi, dengan differential diagnosis
tumor jinak inverted papilloma KND. Rinosinusitis kronis merupakan komplikasi dari obstruksi
hidung karena polip nasi KND. Rinitis alergi pada pasien merupakan faktor predisposisi terbentuknya
polip nasi. Diagnosis tambahan pada pasien ini yaitu tonsillitis kronis.
Tatalaksana pada pasien ini adalah tindakan operatif berupa polipektomi, FESS, dan
septoplasti. Tujuan polipektomi adalah untuk mengangkat dan biopsi polip untuk melihat
histopatologi massa. FESS atau Functional Endoscopic Sinus Surgery adalah bedah invasif minimal
untuk mengobati rinosinusitis dengan atau tanpa polip. Tujuan septorinoplasti adalah untuk
memperbaiki anatomi hidung. Untuk tonsillitis kronis karena tidak mengganggu secara klinis maka
pada pasien tidak dilakukan operasi dan diedukasi untuk masalah hygene mulut karena selain
tonsillitis kronis, gigi pasien juga terdapat banyak pasien. Pasien dapat diberikan obat kumur.

33

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Otolaryngology Head & Neck Surgery. ENT Connect. 2016.
http://www.entnet.org/content/deviated-septum [sitasi 22 April 2016]
2. Bhargava KB, et. al. 2012. Diseases of The Nasal Septum. In: Bhargava KB, et. Al. A
Short Textbook of ENT Disease. 10th ed. Mumbai: Usha Publications
3. Budiman BJ, Asyari A. 2012. Pengukuran Sumbatan Hidung pada Deviasi Septum Nasi.
J Kes Andalas. 1(1):16-21
4. Chaaban MR, Walsh MW, Woodworth BA. 2013. Epidemiology and Differential
Diagnosis of Nasal Polyps. Am J Rhinol Allergy. 27 (7): 473-478
5. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. 2005. Rinosinusitis and
Nasal Polyps. EPOS. p 18-21
6. Jin HR, Lee JY, Jung WJ. 2007. New Description Method and Classification System for
Septal Deviation. J Rhinol. 14(1):27-31
7.

McClay

JE,

Issacson

GC.

2014.

Nasal

Polyps.

Tersedia

di:http://emedicine.medscape.com/article/232670-overwiew. Diunduh pada 22 April 2016.


8. Nizar NW, Mangunkusumo E. 2012. Kelainan Septum. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher. Edisi Ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. hlm.104-5.
9. Pozvze JP, Sheikhi M, Pozve SJ. 2014. Aplasia and Hypoplasia of The Maxillary Sinus: A
Case Series. Dent Res J Isfahan. 11(5): 10-14
10. Spattford P. 2002. Nosing Around: Dealing With Nasal Polyps. The Canadian Journal of
CME. 149-152.
11. Walden MJ, Zinreich SJ, Aygun N. Radiology of The Nasal Cavity and Parasanal Sinuses.
In: Flint P, Haughey B, Lund V, Niparko JRK, Thomas J, Lesperance M. Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2015. p.
658-77.
12. Wax, MK. 2011. Primary Care Otolaryngology. 3rd ed. Alexandria: American Academy of
OtolaryngologyHead and Neck Surgery Foundation. pp. 60-66.
13. White PS. The Blocked Nose. In: Hussain SM. Logan Turners Disease of The Nose,
Throat, and Ear, Head and Neck Surgery. 11th ed. Boca Raton: CRC Press. 2016. P. 61-8

34

Anda mungkin juga menyukai