TINJAUAN PUSTAKA
2) prosesus
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor), 3) beberapa pasang kartilago alar
minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os
maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela.
2
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
3
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan
lamina papirasea
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
1.1.2 Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatina.
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabutserabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina terletak di belakang
dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
1.2.3 Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa
pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel
torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadangkadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel
terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan
jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan
subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang
besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya
sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke
pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa
hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan
mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.
1.2.1 Fungsi Respirasi
Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares anterior, lalu
naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim panas,
udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut
lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh: a) Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b)Silia, c) Palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan reflex bersin.
1.2.2 Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi,
jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal dari cuka dan asam
jawa.
1.2.3 Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia).
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan konsonan nasal (m,n,ng),
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.
1.2.4 Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas
berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pankreas.
hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi terutama di daerah kompleks
osteomeatal. Terjadi prolap submukosa yang diikuti reepitelisasi dan pembentukan kelenjar
baru. Juga terjadi penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air
sehingga terbentuk polip.
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan
permeabelitas kapiler dan gangguan
sitokin dari sel mast yang akan mengakibatkan edema dan lama kelamaan menjadi polip.
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang akan menyebabkan edema lama kelamaan menjadi
polip. Bila terus menerus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan
kemudian akan turun ke rongga hidung dan membentuk tangkai.
Tempat tumbuh asal polip terutama dari kompleks osteo meatal di meatus media dan
sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoksop, mungkin tempat asal polip
dapat dilihat. Ada polip yang timbul ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut
polip koana. Polip koana biasanya berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip
antro-koana. Ada juga sebagian kecil koana yang berasal dari sinus etmoid.
Polip hidung mempunyai tiga tipe. Tipe pertama yaitu polip yang berasal dari sinus
maksila yang membesar hingga ke hidung dan koana yang disebut dengan polip antro-koana,
sering muncul unilateral. Tipe kedua yaitu polip hidung bilateral multipel terdiri dari 10-20
polip hidung ukuran kecil pada kedua belah hidung. Tipe ketiga yaitu nasal poliposis yang
terkait dengan sinusitis kronik. Polip ini sering disertai edema berat dan pengonatannya lebih
sulit dibanding kedua jenis polip.
10
11
b. Pemeriksaan Fisik
Polip hidung yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung
tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pemeriksaan fisik polip hidung menggunakan
rinoskopi anterior dan pada anak-anak juga dapat digunakan otoskop. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus
medius dan mudah digerakkan.
Menurut Mackey dan Lund (1997) polip dibagi menjadi tiga stadium, yaitu:
1
= polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi kavum nasi
c. Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus paranasal
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus, tetapi
kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan CT Scan sangat bermanfaat untuk melihat
dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan
anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteo meatal. CT scan terutama diindikasikan
pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.
12
Gambar 1.5 Potongan Koronal CT scan melalui sinus anterior: Polip antro Koana
13
keluhan keluhan,
menggunakan senar polip aytau cunam dengan analgesi lokal, etmoidektomi intrabnasal atau
ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terdbaik
ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka daapt dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional).
1.3.9 Prognosis dan Komplikasi
a. Prognosis
Prognosis polip hidung tergantung pada ukuran dan ringan berat gejalanya. Meskipun telah
dilakukan terapi medikamentosa atau operasi, polip hidung dapat muncul kembali.
b. Komplikasi
1.
2.
3.
4.
Sinusitis kronis
Papiloma inverted
Epistaksis
Penurunan kualitas hidup
1.4
Deviasi Septum
1.4.1
15
Deviasi septum adalah pembengkokan asimetris septum hidung yang dapat menekan konka
media ke arah lateral, menyebabkan penyempitan rongga meatus medius. Bentuk septum normal ialah
lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum tidak lurus sempurna.
Apabila posisi deviasi septum mengarah ke atas, dapat menyebabkan obstruksi mekanik kompleks
ostiomeatal anterior. Deviasi yang ringan tidak akan menggangu, akan tetapi bila deviasi cukup berat,
menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung
dan menyebabkan komplikasi.1,2
Brazil pada tahun 2005, dimana insiden deviasi septum nasi mencapai 60,3% dengan keluhan
sumbatan hidung sebanyak 59,9%. Pada tahun 1995, Min dkk menemukan prevalensi deviasi septum
nasi di Korea mencapai 22,38% dari populasi, dengan penderita yang terbanyak adalah laki-laki. Pada
tahun 2002, di Turki, Ugyur dkk melaporkan 15,6% bayi baru lahir dengan persalinan normal
mengalami deviasi septum nasi.4
1.4.3
partus, atau bahkan pada masa janin intrauterin. Trauma minor pada kehidupan awal mudah diabaikan
dan sering mengakibatkan mikrofraktur pada kartilago septum. Penyembuhan mikrofraktur ini
mengakibatkan penekukan kartilago menjauhi sisi yang mengalami cedera. Hal ini menyebabkan
pertumbuhan asimetris struktur nasal. Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan.
Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap. Dengan
demikian terjadi deviasi pada septum nasi.1,2
16
1.4.4
Tipe I
Tipe II
Tipe III
Tipe IV
: tipe S, septum posterior dan anterior berada pada sisi yang berbeda
Tipe V
: Tonjolan besar unilateral pada dasar septum, di sisi lain masih normal
Tipe VI
Tipe VII
Tipe II
17
unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofil, sedangkan pada sisi
sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi. Gejala lain yang
mungkin muncul dapat seperti hiposmia, anosmia, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum,
kemudian epistaksis, nyeri kepala dan di sekitar mata. 2,4
Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan obstruksi hidung yang mengganggu fungsi
hidung dan menimbulkan gangguan estetik wajah (hidung menjadi bengkok). Deviasi septum dapat
menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. 2,4
Deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala berikut: 6
-Sumbatan pada salah satu atau kedua lubang hidung
-Kongesti nasal/hidung berair, kadang-kadang hanya pada satu sisi
-Sering perdarahan hidung
-Sering mengalami infeksi sinus
-Kadang-kadang nyeri wajah, nyeri kepala, terdapat post-nasal drip
-Mengorok saat tidur (pada bayi dan anak)
Pada kasus tertentu, pasien dengan deviasi septum ringan hanya merasakan gejala ketika
mengalami common cold (infeksi saluran napas). Pada kasus ini, infeksi saluran napas mencetuskan
inflamasi nasal yang memperparah gangguan jalan napas ringan yang berkaitan dengan septum
deviasi.6
Deviasi septum nasi melibatkan tulang septum, kartilago atau keduanya. Pada pasien dengan
kelainan septum, sisi yang sempit akan mengalami siklus sumbatan hidung yang berbeda, yang
menyebabkan perbedaan tahanan hidung total, sehingga pasien merasakan sumbatan hidung yang
berkala. Septum deviasi juga dapat menyebabkan kolaps dari katup hidung. Peningkatan tekanan
akibat deviasi septum akan menyebabkan kolapsnya segmen ini pada saat inspirasi 4
1.4.6
Anamnesis:
18
Didapatkan gejala yang sesuai dengan manifestasi klinis di atas dan adanya riwayat trauma
nasal atau trauma midfasial, trauma lahir termasuk penggunaan forsep atau persalinan pervaginam
dengan kanal pelvis yang sempit. Pasien dengan deviasi septum unilateral dapat mengalami fenomena
paradoxical nasal obstruction, yang mungkin merupakan hasil dari turbinasi konka.1,6
Pemeriksaan Fisik:
Deviasi septum nasi dapat mudah terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Penting untuk
pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum, karena ujung spekulum dapat menutupi
deviasi bagian kaudal. Pemeriksaan seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung untuk
menentukan besarnya konka. Piramid hidung, palatum dan gigi juga diperiksa karena struktur ini
sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum. 4
Bentuk deformitas septum yang dapat dinilai ialah (1) deviasi, biasanya berbentuk huruf C
atau S; (2) dislokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum ke luar kristas maksila dan masuk ke dalam
rongga hidung; (3) penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke
belakang disebut krista, dan bila sangat runcing atau pipih disebut spina; (4) bila deviasi atau krista
septum bertemu dan melekat dengan konka dihadapannya disebut sinekia. 2
Pemeriksaan patensi jalan napas hidung yang mudah dilakukan antara lain tes oklusi jari, tes
Cottle, dan tes kondensasi uap napas (tes spatula lidah). Tes oklusi dilakukan dengan menutup salah
satu lubang hidung dengan ibu jari, kemudian meminta menghembuskan napas melalui hidung. Tes
kondensasi uap napas dilakukan dengan bernapas dengan meletakkan spatula lidah atau kaca kalibrasi
Glatzel dan meminta pasien untuk bernapas biasa dan menutup mulut, maka dapat dilihat salah satu
lubang hidung tersumbat dibandingkan yang lainnya. Perasat Cottle dikerjakan dengan menarik pipi
dengan jari pemeriksa ke arah lateral, meningkatkan sudut katup nasi internal. Penyebab obstruksi
hidung, termasuk deviasi septum pada area katup nasi, akan memberikan hasil positif. 4,7
19
- Hematoma septum
- Gangguan katup hidung
- Rinitis alergi
- Polip hidung dan massa hidung lainnya seperti tumor hidung
20
1.4.8
septum. Pada septum deviasi yang memberikan gejala obstruksi dilakukan pembedahan. Ada 2 jenis
tindakan operatif yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan yang nyata yaitu reseksi
submukosa.2,4
Pada SMR mukoperikondrium dan mukoperiosteum kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan
dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga
mukoperikondrium dan mukoperiostieum sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
SMR dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya hidung pelana/saddle nose akibat turunnya
puncak hidung oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat. 2
Pada septoplasti tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja
yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada SMR,
seperti terjadinya perforasi septum dan hidung pelana. Saat ini dikenal berbagai teknik septoplasti
antara lain septoplasti konvensional, septoplasti endoskopi dan open book septoplasty.2,4
1.4.9
1. Sinusitis berulang
2. Infeksi telinga tengah
3. Pernapasan mulut menyebabkan infeksi tenggorok berulang
4. Asma
Prognosis pada pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik dan perlu
menghindari terjadinya trauma.
BAB 2
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien:
Nama
: Tn. A
21
Umur
: 48 tahun
Anamnesis
Seorang pasien laki-laki usia 48 tahun dirawat di Bangsal THT RSUP Dr. M. Djamil Padang pada hari
Rabu tanggal 20 April 2016 dengan:
Keluhan Utama:
Hidung sebelah kanan tersumbat berulang sejak 3 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang:
-
Hidung sebelah kanan tersumbat berulang sejak 3 hari yang lalu. Keluhan hidung tersumbat terus
menerus dan bertambah parah apabila pasien pilek atau demam sehingga kesulitan untuk tidur dan
mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan sudah pasien rasakan sejak 5 tahun yang lalu.
Gangguan penciuman (+), hidung berair (+) ingus kental dan berbau, rasa tertelan ingus di
tenggorok (+), riwayat bersin berulang (+), riwayat hidung berdarah (-), nyeri kepala (+), nyeri
kacang-kacangan
Tidur mengorok kadang-kadang, riwayat terbangun malam lalu sesak napas (-)
Demam (-), sesak (-) namun pasien mengaku sulit bernapas melalui hidung
Pasien merasakan penurunan berat badan
Pandangan ganda (-), wajah mencong (-), kebas pada wajah (-), riwayat penurunan kesadaran (-),
22
: Composmentis kooperatif
Tekanan darah
: tidak diperiksa
: afebris
23
Pemeriksaan Sistemik
Kepala
: normosefal
Wajah
Mata
Thorax
Paru
Extremitas
Kelainan
Kel. Kongenital
Trauma
Radang
Kel. Metabolik
Nyeri tarik
Nyeri tekan tragus
Cukup lapang
Sempit
Hiperemi
Edema
Massa
Bau
Warna
Jumlah
Jenis
Dekstra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kecoklatan
Sedikit
Mukoid
Keabuan
Menurun
Tidak ada
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Keabuan
Menurun
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Membran timpani
Utuh
Perforasi
Mastoid
Warna
Reflek cahaya
Bulging
Retraksi
Atrofi
Jumlah perforasi
Jenis
Kuadran
Pinggir
Tanda radang
Fistel
Sikatrik
Nyeri tekan
Nyeri ketok
24
Rinne
Schwabach
Weber
Kesimpulan
(+)
Normal
(+)
Normal
Tidak ada lateralisasi
Telinga normal
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Audiometri
Timpanometri
Hidung
Pemeriksaan
Hidung luar
Kelainan
Deformitas
Dektra
Ada, bengkak di
Sinistra
Tidak ada
Kelainan kongenital
Trauma
Radang
Massa
pangkal hidung
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sinus paranasal
Pemeriksaan
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Dekstra
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan
Vestibulum
Cavum nasi
Sekret
Konka inferior
Konka media
Septum
Kelainan
Vibrise
Radang
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Lokasi
Jenis
Jumlah
Bau
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Cukup lurus/deviasi
Permukaan
Warna
Spina
Krista
Abses
Perforasi
Lokasi
Dekstra
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Meatus inferior
Mukopurulen
Sedikit
Ada
Hipertrofi
Ungu pucat
Tidak rata
Tidak ada
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Ada
Licin
Merah muda
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-
25
Sinistra
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Meatus inferior
Mukopurulen
Sedikit
Ada
Hipertrofi
Ungu pucat
Tidak rata
Tidak ada
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Ada
Licin
Merah muda
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-
Bentuk
Ukuran
Permukaan
Warna
Konsistensi
Mudah digoyang
Pengaruh vasokonstriktor
Massa
Adenoid
Muara tuba eustachius
Massa
Kelainan
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Warna
Edema
Jaringan granulasi
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Ada/ tidak
Tertutup secret
Lokasi
Ukuran
Bentuk
Permukaan
Ada/ tidak
Jenis
Dekstra
-
Sinistra
-
Kelainan
Edema
Bifida
Simetris /tidak
Warna
Edema
Bercak /eksudat
Warna
Permukaan
Ukuran
Warna
Permukaan
Muara kripti
Detritus
Eksudat
Perlengketan
Warna
Edema
Abses
Lokasi
Bentuk
Dekstra
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak bifida, uvula deviasi ke kiri
Ada
Ada
Merah muda
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Merah muda
Merah muda
Merah muda
T2
T2
Pucat
Pucat
Tidak rata
Tidak rata
Melebar
Melebar
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-
Tonsil
Peritonsil
26
Tumor
Gigi
Lidah
Ukuran
Permukaan
Konsistensi
Karies/Radiks
Kesan
Warna
Bentuk
Deviasi
Massa
Ada
Hygene kurang
Merah muda
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Hygene kurang
Merah muda
Aritenoid
Ventrikular band
Plika vokalis
Subglotis/ trakea
Sinus piriformis
Valekulae
Kelainan
Bentuk
Warna
Edema
Pinggir rata/ tidak
Massa
Warna
Edema
Massa
Gerakan
Warna
Edema
Massa
Warna
Gerakan
Pinggir medial
Massa
Massa
Sekretada / tidak
Massa
Sekret
Massa
Sekret (jenisnya)
Dekstra
-
Sinistra
-
Dekstra
tidak terlihat pembesaran KGB
Sinistra
tidak terlihat pembesaran KGB leher,
Palpasi
KGB
Pemeriksaan penunjang:
-Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 13,6 g/dL
Leukosit
: 8.400/mm3
Ht : 38%
Trombosit
: 375.000/mm3
PT : 10,7 detik
APTT
: 40,7 detik
27
Ht : 38%
Trombosit
: 375.000/mm3
SGOT: 14 u/L
SGPT
: 12 u/L
Ureum: 16 mg/dL
Kreatinin
: 1,2 mg/dL
GDS: 94 mg/dL
Kesan: APTT memanjang, kreatinin sedikit meningkat
-CT Scan
28
Pasien tidur dalam posisi supine di atas meja operasi dalam general anesthesia
Dilakukan tindakan aseptic dan antiseptik pada lapangan operasi
Dipasang tampon anterior dengan adrenalin:lidokain 1:4
Dilakukan septoplasti dengan insisi di kaudal septum KNS, dilakukan diseksi secara tumpul
hingga septum terpapar hingga bagian posterior, sebelumnya dilakukan infiltrasi menggunakan
adrenalin 1:20.000. Dilakukan pemotongan tulang septum menggunakan gunting septum, dibuat
Foto polip:
29
: Dubia ad Bonam
Quo ad functionam
: Dubia ad Bonam
Quo ad sanationam
: Dubia ad bonam
Follow up
Tanggal 21 April 2016 (07.00)
S/
H R: 75 x/ i
R R : 2 2x/ i
Wajah
Mata
Toraks
T: a f e br i s
: AD:
LT: cukup lapang; serumen (-); MT: utuh, warna keabuan, refleks cahaya
menurun, retraksi (+)
AS:
LT: cukup lapang; serumen (-); MT: utuh, warna keabuan, refleks cahaya
menurun, retraksi (+)
Hidung
: KND: sempit, sekret (+) mukopurulen; septum: spina (+); KI: hipertrofi (+), ungu
pucat; KM & KS: sulit dinilai
KNS: sempit, sekret (+) mukopurulen; septum: spina (+); KI: hipertrofi (+), ungu
pucat; KM & KS: sulit dinilai
Tenggorok:
T2-T2, muara kripti melebar, detritus (+), uvula deviasi ke kiri, PND (+)
30
P/
H R: 82 x/ i
R R: 2 3x/ i
Wajah
Mata
Toraks
T: a f e br i s
: AD:
LT: cukup lapang; serumen (-); MT: utuh, warna keabuan, refleks cahaya
menurun, retraksi (+)
AS:
LT: cukup lapang; serumen (-); MT: utuh, warna keabuan, refleks cahaya
menurun, retraksi (+)
Hidung
Tenggorok:
- Cefoperazone 2 x 1 gram IV
- Dexamethasone 3 x 1 amp IV
31
BAB 3
DISKUSI
Dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 48 tahun dirawat di bangsal THT RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tanggal 20 April 2016 dengan diagnosis polip nasi KND dengan septum deviasi
dan diagnosis tambahan rinitis alergi, rinosinusitis kronis, dan tonsilitis kronis. Polip nasi adalah
massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan,
yang terjadi akibat inflamasi mukosa kronis.
Dari anamnesis didapatkan hidung sebelah kanan tersumbat berulang sejak 3 hari yang lalu.
Keluhan hidung tersumbat terus menerus dan bertambah parah apabila pasien pilek atau demam
sehingga kesulitan untuk tidur dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan dirasakan sejak 5 tahun
yang lalu. Hal ini menunjukkan adanya sumbatan hidung yang menetap selama 5 tahun yang bisa
disebabkan karena adanya massa dalam hidung atau kelainan anatomi hidung. Suara sengau (rinolalia)
menunjukkan adanya sumbatan hidung. Gangguan penciuman, riwayat bersin berulang dan riwayat
atopi, mengarahkan diagnosis ke rinitis alergi yang merupakan predisposisi polip nasi. Pemeriksaan
fisik menunjukkan adanya hipertrofi konka berwarna ungu pucat memperkuat diagnosis rinitis alergi.
Sumbatan hidung, gangguan penciuman hidung berair dengan sekret kental berbau, rasa tertelan ingus
di tenggorok, dan nyeri kepala merupakan gejala rinosinusitis kronis. Namun seharusnya ditemukan
nyeri pada sinus, yang pada pasien ini tidak ada, bisa karena pasien mengabaikan rasa nyeri tersebut.
Rinosinusitis kronis bisa disebabkan akibat adanya kelainan anatomi hidung maupun massa pada
hidung, dalam kasus pasien ini polip nasi KND.
Tidak adanya riwayat hidung berdarah atau rasa tertelan darah, penurunan berat badan
ekstrim, pembengkakan leher, pandangan ganda, defisit neurologis seperti wajah pencong, penurunan
kesadaran, riwayat kejang, atau dapat menyingkirkan keganasan pada hidung. Keganasan yang
bersifat progresif tidak terlihat pada pasien ini karena pasien sudah menderita keluhan hidung
tersumbat selama 5 tahun. Massa yang mungkin menimbulkan sumbatan hidung tanpa ada tanda
keganasan selain polip yaitu tumor jinak hidung.
Tidak terdapat riwayat trauma pada wajah atau hidung dapat menyingkirkan fraktur
nasal/septum nasi, sehingga septum deviasi berupa spina pada kedua kavum nasi pasien yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik merupakan kelainan anatomi bawaan. Dengan adanya rinitis alergi,
rinosinusitis kronis, deviasi septum, dan polip nasi yang luas dapat mengganggu fungsi ventilasi
hidung-telinga. Dari anamnesis pasien menyangkal ada keluhan telinga selain hanya telinga terasa
penuh, namun dari pemeriksaan fisik didapatkan membran timpani telinga kanan pasien mengalami
atrofi, dan refleks cahaya kedua membran timpani pasien menurun dan terdapat retraksi.
Batuk berdahak kehijauan dan nyeri tenggorok yang ditemukan pada pasien mengarahkan
diagnosis ke tonsillitis, dan dikonfirmasi melalui pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran tonsil T2T2, muara kripti melebar, dan detritus yang merupakan gambaran klinis tonsillitis kronis. Tidur
32
mengorok dapat disebabkan oleh pembesaran tonsil ini, diperparah dengan sumbatan pada hidung
pasien yang menetap.
Pemeriksaan penunjang berupa nasoendoskopi serta CT scan sinus mengkonfirmasi diagnosis
bahwa ada massa memenuhi rongga hidung hingga ke bagian posterior dan adanya deviasi septum ke
kanan. Diagnosis ditegakkan polip nasi KND disertai septum deviasi, dengan differential diagnosis
tumor jinak inverted papilloma KND. Rinosinusitis kronis merupakan komplikasi dari obstruksi
hidung karena polip nasi KND. Rinitis alergi pada pasien merupakan faktor predisposisi terbentuknya
polip nasi. Diagnosis tambahan pada pasien ini yaitu tonsillitis kronis.
Tatalaksana pada pasien ini adalah tindakan operatif berupa polipektomi, FESS, dan
septoplasti. Tujuan polipektomi adalah untuk mengangkat dan biopsi polip untuk melihat
histopatologi massa. FESS atau Functional Endoscopic Sinus Surgery adalah bedah invasif minimal
untuk mengobati rinosinusitis dengan atau tanpa polip. Tujuan septorinoplasti adalah untuk
memperbaiki anatomi hidung. Untuk tonsillitis kronis karena tidak mengganggu secara klinis maka
pada pasien tidak dilakukan operasi dan diedukasi untuk masalah hygene mulut karena selain
tonsillitis kronis, gigi pasien juga terdapat banyak pasien. Pasien dapat diberikan obat kumur.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Otolaryngology Head & Neck Surgery. ENT Connect. 2016.
http://www.entnet.org/content/deviated-septum [sitasi 22 April 2016]
2. Bhargava KB, et. al. 2012. Diseases of The Nasal Septum. In: Bhargava KB, et. Al. A
Short Textbook of ENT Disease. 10th ed. Mumbai: Usha Publications
3. Budiman BJ, Asyari A. 2012. Pengukuran Sumbatan Hidung pada Deviasi Septum Nasi.
J Kes Andalas. 1(1):16-21
4. Chaaban MR, Walsh MW, Woodworth BA. 2013. Epidemiology and Differential
Diagnosis of Nasal Polyps. Am J Rhinol Allergy. 27 (7): 473-478
5. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. 2005. Rinosinusitis and
Nasal Polyps. EPOS. p 18-21
6. Jin HR, Lee JY, Jung WJ. 2007. New Description Method and Classification System for
Septal Deviation. J Rhinol. 14(1):27-31
7.
McClay
JE,
Issacson
GC.
2014.
Nasal
Polyps.
Tersedia
34