Belum lama, Maruli Tua (Ketua Tim Kajian Pendanaan Partai Politik-KPK)
menulis di media, bahwa KPK telah lama mengkaji sistem politik di Indonesia
dan kemudian mengidentifikasi tiga masalah utama parpol, yaitu perekrutan,
kaderisasi dan pendanaan. Yang menarik dalam kajian lanjutan KPK tahun
2014,
direkomendasikan
agar
alokasi
anggaran
terhadap
parpol
ditingkatkan. Kajian Tim KPK ini memang diawali oleh rasa, sikap skeptis
dan kehati-hatian yang tinggi, ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang
disampaikan seperti, bagaimana mungkin uang rakyat digunakan untuk
mendanai institusi yang bertahun-tahun dipersepsikan korup? Apalagi di
tengah kepercayaan publik yang nyaris di titik nadir terendah. Apa jaminan
bahwa subsidi akan mencegah masifnya korupsi DPR/D dan serentetan
pertanyaan negatif lainnya.
Hasil kajian Tim ini juga menyimpulkan, bahwa akar masalah mengapa
masifnya korupsi di DPR/D tak lain karena minimnya pendanaan politik.
Dengan kata lain, selama ini parpol kesulitan mengadakan pendanaan
sendiri yang menyebabkan mereka harus mencari-cari jalan bagaimana
untuk mendapatkan dana itu. Lalu umumnya mereka menempuh jalan pintas
yaitu korupsi selagi kesempatan itu ada. Dari sinilah, muncul wacana dari
Tim KPK untuk mengkonstruksi agar parpol sebaiknya didanai oleh negara.
Pemberdayaan Parpol
1
jarang para anggota partai ikut serta memaksakan diri mengumpulkan dana
partai untuk memenuhi kebutuhannya yang lalu terjebak pada korupsi.
Modus yang dilakukan, diantaranya, maju sebagai kandidat kepala daerah
dengan shadow candidat model (kandidat bayangan) yang berporos pada
politik dinasti dan calon bersponsor. Politik bernuansa dinasti ini, terasa saat
banyak anak, menantu, dan kerabat lainnya dari orang berkuasa di daerah
yang tampil jadi kandidat. Pada saat terpilih,
model kandidat bayangan
terjebak
pada
yang
diistilahkan
Stanislav
Andreski
(1968)
sebagai
pendanaan
untuk
partai
tentu
bukanlah
tanpa
sebab
calon
dari
luar
dapat
saja
menyodok
tiba-tiba
oligarki partai menjadi tak terhindar. Model partai semacam ini yang
umumnya ditolak oleh para anggota parpol karena dianggap tidak adil dan
berkompetisi tidak sehat. Dari sini pula usulan pemerintah terhadap konsep
proporsional terbuka terbatas menjadi tidak relevan.
Kajian Tim KPK tampaknya menyadari benar, apa yang menjadi titik
lemah parpol. Oleh karena itu, muara utama yang mereka rekomendasikan
untuk membenahi parpol sungguh solusi yang sangat berguna bagi masa
depan parpol, masyarakat dan negara.
Bonum Commune
Akhirnya, parpol adalah instrumen negara yang mestinya dipahami
bersama guna menunjang pemilu dan demokrasi dalam jangka panjang. Kita
sangat berkepentingan bagaimana agar demokrasi semakin matang karena
harus terus dikonsolidasikan. Seperti dikatakan Larry Diamond dalam
Developing Democracy: toward Consolidation (1999), konsolidasi demokrasi
itu soal bagaimana kita merawat stabilitas dan persistensi demokrasi.
Agar terwujudnya demokrasi seperti yang kita idamkan dibutuhkan
kemauan untuk tetap konsisten menapak ke depan. Gagasan Tim KPK terkait
subsidi dana untuk parpol harus kita ujicobakan dalam kerangka besar
demokrasi tadi. Kalau kita tidak berani mencoba berarti kita tetap
membiarkan nasib parpol involutif (jalan di tempat).
Kita ingin parpol semakin matang dan berfungsi optimal dalam mengisi
demokrasi terutama yang akan melahirkan kader bangsa dan fungsi
pendidikan politik bagi rakyat. Siapa pun tidak ingin parpol setback hanya
sebagai pelengkap penderita atau berfungsi semu seperti masa orde baru.
Demokrasi adalah proses, sekaligus tujuan, yakni mewujudnya bonum
commune atau kepentingan publik yang dapat dirasakan dan dinikmati oleh
warga pemilik mandat kekuasaan, parpol adalah bagian dari proses itu.