Referat Infeksi Susunan Saraf (Recovered)
Referat Infeksi Susunan Saraf (Recovered)
Kata Pengantar
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala pimpinan-Nya
sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini penyusun laksanakan dalam
rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana. Yang berjudul Infeksi pada Susunan Saraf.
Besar harapan penyusun bahwa makalah ini dapat berguna bagi kita semua, dan dalam
kesempatan ini penyusun hendak mengucapkan terima kasih kepada :
1
Semua pihak yang telah ikut memberikan dukungan dan bantuan sehingga referat ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penyusun menyadari referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun
mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sehingga akan
tercipta makalah yang lebih baik lagi.
Jakarta,
Juli 2011
Penyus
un
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I.Pendahuluan
BAB II.Isi
2.1 Definisi 5
2.2 Klasifikasi
17
23
25
26
2.3.2.4 Rabies 26
2.3.2.5 Poliomielitis Anterior Akuta
2.3.2.6 Infeksi Slow Virus
2.4 Infeksi Bakterial pada Susunan Saraf
2.4.1 Meningitis Bakterial Akut 32
2.4.2 Meningitis Tuberkulosa
2.4.3 Abses Serebri
34
36
38
39
39
40
41
42
2.4.10 Tetanus 42
2.4.11 Lepra
44
2.4.12 Botulisme
2.5 Infeksi Spiroketal
49
2.5.1 Leptospirosis
2
46
49
31
32
27
49
53
54
2.7.1 Tripanosomiasis
2.7.2 Malaria
54
55
2.7.3 Toksoplasmosis
58
59
59
60
2.8.3.1 Sistiserkosis
60
2.8.3.2 Hidatidosis
61
62
2.9.2 Penyebab 62
2.9.3 Perjalanan Penyakit
62
63
67
2.9.4.3 Aspergilosis
69
2.9.4.4 Histoplasmosis 71
2.9.4.5 Kriptokokosis
72
2.9.4.6 Toksoplasmsis 73
2.9.4.7 Cytomegalovirus
75
77
diagnosis
pastinya
dilakukan
pemeriksaan
cairan
otak
agar
bisa
diketahui penyebab pastinya apakah akibat infeksi virus, bakteri, jamur, parasit atau cacing pita.
4
Infeksi viral
Infeksi bakteri
Infeksi spiroketa
Infeksi fungus
Infeksi protozoa dan
Infeksi metazoa
segala bentuk
dilindungi
oleh
Kranium,
Meningea/selaput otak dan LCS (Liquor CerebroSpinal). Meningea terdiri atas 3 lapisan, yaitu(4):
1) Duramater
Luar
: melapisi tengkorak
Dalam : membentuk falk serebri, falk serebelli, tentorium serebellin. Membentuk sinus
sagitalis/longitudinalis superior dan inferior.
LCS (Liquor Cerebro Spinal) berada pada rongga-rongga otak (ventrikel) di dalam
ruang subarakhnoid, diproduksi oleh plexus khoroid. Pada sumsum tulang berada di kanalis
sentralis & ruang subarakhnoid. Sifat bening, alkali, tekanan 60 140 mm air. Berfungsi sebagai
buffer, bantalan fisik, nutrisi jaringan syaraf. Pemeriksaan LCS dilakukan dengan punksi Lumbal
(VL 1-2) dan punksi fontanel(4).
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala
perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah
leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat
dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang
jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi bermingguminggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang
tindih karena etiologinya sangat bervariasi(5).
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular
nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya
menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit.
Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini
kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus dan Herpes Simplex Virus (HSV).
Meningitis viral merupakan inflamasi dari leptomeningen sebagai manifestasi dari
infeksi SSP. Istilah viral digunakan karena merupakan agen penyebab, dan penggunaan
bervariasi. Enterovirus diduga untuk mempengaruhi pria 1.3-1.5 kali lebih sering dibandingkan
wanita. Kebanyakan arbovirus mempunyai karakteristik penyerangan yang beragam,
mempengaruhi kedua gender tetapi pada usia berbagi.
Usia
o Insidensi meningitis viral menurun sesuai dengan usia
o Neonatus berada pada resiko terbesar dan mempunyai resiko signifikan akan morbiditas
dan mortalitas.
o Beberapa serangan arbovirus sangat ekstrem pada beberapa usia, dengan orang yang
lebih tua berada pada resiko terbesar untuk infeksi, sementara puncak campak dan cacar
timbul pada usia remaja akhir.
Etiologi
Enteroviruses menyebabkan lebih dari 85% semua kasus meningitis virus. Mereka
merupakan keluarga dari Picornaviridae (pico untuk kecil, rna untuk asam
ribonukleat), dan termasuk echovirus, coxsackie virus A dan B, poliovirus, dan
sejumlah enterovirus. Nonpolio enterovirus merupakan virus yang sering, sama dekat
WHO.
Klinisi harus mempertimbangkan secara sebagian meningitis bakterial sebagai
kemungkinan etiologi untuk aseptic dari penyakit pasien; sebagai contoh, pasien
dengan otitits bakteri dan sinusitis yang telah mengambil antibiotic dapat timbul
dengan meningitis dan penemuan CSF yang identik terhadap meningitis viral.
10
tanda neurologis.
Beberapa virus menyebabkan onset cepat dari gejala diatas, sementara lainnya
bermanifest sebagai prodromal viral nonspesifik, seperti mialgia, gejala seperti flu, dan
demam derajat rendah yang timbul selama gejala neurologis sekitar 48 jam. Dengan
Pemeriksaan menunjukkan tidak ada deficit neurologis fokal pada kebanyakan kasus.
Demam lebih sering (80-100% cases) dan biasanya bervariasi antara 38C and 40C.
Rigiditas nuchal atau tanda lain dari iritasi meningea (tanda Brudzinski atau Kernig)
dapat terlihat lebih pada setengah pasien tetapi secara umum kurang berat dibandingkan
dengan meningitis bakterial.
(10)
(10)
Gambar 4 Tanda
Brudzinski
Gambar
5 Tanda
Iritabilitas,
disorientasi,
dan perubahan status
mental
dapatKernig
terlihat.
Nyeri kepala lebih sering dan berat.
Photophobia secara ralatif adalah sering namun dapat ringan, Fonofobia juga dapat
timbul.
Kejang timbul pada keadaaan biasanya dari demam, meskipun keterlibatan dari
parenkim otak (encephalitis) juga dipertimbangkan, Encephalopathy global dan deficit
neurologis fokal adalah jarang tetapi dapat timbul. Refleks tendon dalam biasanya
Pemeriksaan Penunjang(6)
Studi Laboratorium
12
13
dan lobus temporal dengan gambaran sering lesi bilateral yang difus.
Tes Lain
o Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis dalam 24-48 jam harus
dilakukan rencana kerja untuk mengetahuo penyebab meningitis.
o Dalam kasus ensefalitis yang dicurigai, MRI dengan penambahan kontras dan
visualisasi yang adekuat dari frontal basal dan area temporal adalah diperlukan.
o EEG dapat dilakukan jika ensefalitis atau kejang subklinis dicurigai pada pasien
yang terganggu, Periodic lateralized epileptiform discharges (PLEDs) seringkali
Diagnosis Banding(6)
Acute Disseminated Encephalomyelitis
Aseptic Meningitis
Brucellosis
Cytomegalovirus Encephalitis
Herpes Simplex Encephalitis
Penatalaksanaan(6)
Perawatan Medis
14
Agen Antiemetik: Agen ini digunakan dengan luas untuk mencegah mual dan muntah.
- Ondansetron (Zofran) Antagonis selektif 5-HT3-receptor yang menghentikan
serotonin di perifer dan sentral, Mempunyai efikasi pada pasien yang tidak
berespon baikterhadap anti emetik lain. Dewasa: 4-8 mg IV q8h/q12h. Pediatrik:
-
Prognosis(6)
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuele
atau risiko kematian. Adanya kejang dalam suatu episode meningitis merupakan faktor resiko
adanya sekuele neurologis atau mortalitas.
2.3.2 Ensefalitis Viral
16
jaringan
otak.
Dalam
18
Gangguan kesadaran
Hemiparesis
Tonus otot meninggi
Reflek patologis positif
Reflek fiisiologis meningkat
Klonus
Gangguan nervus kranialis
Ataksia
c. Pemeriksaan laboratorium
19
Pungsi lumbal, untuk menyingkirkan gangguan-gangguan lain yang akan memberikan respons
terhadap pengobatan spesifik. Pada ensefalitis virus umumnya cairan serebro spinal jernih,
jumlah lekosit berkisar antara nol hingga beberapa ribu tiap mili meter kubik, seringkali sel-sel
polimorfonuklear mula-mula cukup bermakna (Nelson, 1992). Kadar protein meningkat sedang
atau normal, kadar protein mencapai 360 mg% pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes
simplek dan 55 mg% yang disebabkan oleh toxocara canis . Kultur 70-80 % positif dan virus
80% positif.
Penderita
baru
dengan
kemungkinan
ensefalitis
harus
dirawat
inap
sampai
21
Gambar 7. Axial T2WI (A-C) dan coronal FLAIR (D) pada pasien herpes ensefalitis menunjukkan typical
cortical/subcortical high signal di kedua lobus temporal, insula kanan.12
Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus varisela, dan
sitomegalovirus. Secara serologik memang dapat dibedakan dengan tegas. Neonatus masih
mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah umur 6 bulan imunitas itu lenyap dan bayi
dapat mengidap gingivo-stomatitis virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan
berlokalisasi pada perbatasan mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi-infeksi
tersebut jinak sekali. Tetapi apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal terhadap
virus herpes simpleks atau apabila pada partus neonatus ketularan virus herpes simpleks dari
ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia.
Ensefalitis merupakan sebagian dari manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan
dan nekrosis di hepar dan glandula adrenalis.
Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan
manifestasi reaktivitasi dari infeksi yang latent. Dalam hal tersebut virus herpes simpleks
berdiam didalam jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin digangglion Gasseri dan
hanya ensefalitis saja yang bangkit.
Reaktivitas virus herpes simpleks dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang pernah
disebut diatas, yaitu penyinaran ultraviolet dan gangguan hormonal. Penyinaran ultraviolet
22
23
Pemeriksaan cairan likuor memperlihatkan jumlah sel meningklat (90%) yang berkisar
antara 10-1000 sel/mm3. awalnya sel polimorfonuklear dominan, tetapi kemudian
berubah menjadi limfositosis. Protein dapat meningkat sampai 50-2000 mg/l dan
glukosa dapat normal atau menurun
Sering juga EEG memperlihatkan gambaran perlambatan umum yang tidak spesifik,
mirip gambaran disfungsi umum otak
CT kepala tetap normal dalam tiga hari pertama setelah timbulnya gejala neurologis,
kemudian lesi hipodens muncul di regio frontotemporal
T2-weight MRI dapat memperlihatkan lesi hiperdens di regio temporal paling cepat dua
hari setelah munculnya gejala
PCR likuor dapat mendeteksi titer antibodi virus herpes simpleks (VHS) dengan cepat.
PCR menjadi positif segera setelah timbulnya gejala dan pada sebagian besar kasus tetap
positif selama dua minggu atau lebih.
26
kesulitan bernapas,
kesulitan menelan,
retensi urin,
sembelit,
27
sakit kepala,
kelumpuhan.
Kira-kira 5%-10% dari pasien-pasien yang mengembangkan polio yang melumpuhkan
seringkali meninggal dari kegagalan pernapasan, karena mereka tidak mampu untuk bernapas
sendiri. Itulah sebabya mengapa sangat mendesak bahwa pasien-pasien menerima evaluasi dan
perawatan medis yang tepat. Sebelum era vaksinasi dan penggunaan dari ventilator-ventilator
modern, pasien-pasien akan ditempatkan dalam "iron lung" (ventilator bertekanan negatif, yang
digunakan untuk mendukung pernapasan pada pasien-pasien yang menderita polio yang
melumpuhkan).
Diagnosis dari polio adalah secara klinik. Sejarah dari paparan dengan tidak ada sejarah
vaksinasi sebelumnya adalah petunjuk awal. Sering, penyadapan tulang belakang untuk cairan
CSF dilakukan untuk membantu membedakan polio dari penyakit-penyakit lain yang awalnya
mempunyai gejala-gejala yang serupa (contohnya, meningitis). Setelah itu, pembiakanpembiakan virus (diambil dari tenggorokan, feces, atau cairan CSF) dan pengukuran dari
antibodi-antibodi polio mendukung diagnosis.
Tidak ada penyembuhan untuk polio, jadi pencegahan adalah sangat penting. Pasienpasien dengan polio non-paralytic perlu dimonitor untuk kemajuan pada polio paralytic. Pasienpasien dengan polio paralytic perlu dimonitor untuk tanda-tanda dan gejala-gejala dari kegagalan
pernapasan, yang mungkin memerlukan terapi-terapi penyelamatan nyawa seperti dukungan
pernapasan. Sebagai tambahan, sejumlah perawatan-perawatan tersedia untuk mengurangi
beberapa dari gejala-gejala yang kurang parah. Ada obat-obat untuk merawat infeksi-infeksi urin
dan retensi urin dan rencana-rencana manajemen nyeri untuk kejang-kejang otot. Sayangnya,
28
29
fulminan, khas dengan demam, nyeri kepala, mual, muntah, dan kaku nukhal. Koma terjadi
pada 5-10 % kasus dan berakibat prognosis yang buruk. Kejang terjadi pada sekitar 20 % kasus,
dan palsi saraf kranial pada 5 %. Meningitis bakterial yang tidak ditindak hampir selalu fatal.
CSS secara
penurunan glukosa; pewarnaan Gram dari CSS memperlihatkan organisme penyebab pada 75
% kasus. Kultur CSS memberi diagnosis pada 90 % kasus dan perlu untuk melakukan tes
sensitifitas antibiotika
dengan edema papil atau defisit neurologis fokal, mengharuskan dilakukannya CT scan
sebelum melakukan pungsi lumbar untuk menyingkirkan lesi massa atau hidrosefalus.
Hipertensi intrakranial difusa, tanpa adanya lesi massa pada CT scan bukan kontraindikasi
pungsi
yang
baik tentang
herniasi serta
malalui
dimukosa naso-faring.
Patogen
meningeal tersering adalah bakteria yang berkapsul. Setelah membentuk koloni dinasofaring,
bakteri berkapsul melintas epitel dan membuat jalan kealiran darah. Kapsul menghambat
fagositosis oleh neutrofil,
jadi
patogen
terhadap
penyebab, dan sensitifitas antibiotik. Tindakan harus diarahkan pada infeksi CSS maupun
sumber primer. Meningitis yang terjadi sekunder terhadap bakteremia dan perluasan langsung
otorinal
otak traumatika serta fraktura tengkorak, dengan atau tanpa otorinorea CSS, paling sering
diakibatkan
oleh
terpilih pada neonatus dan anak-anak. Walau sefuroksim, sefalo-sporin generasi kedua, pernah
umum digunakan untuk
H.influenzae,
tidak
lambatnya sterilisasi CSS serta dilaporkan terjadinya meningitis H. influenzae pada saat terapi
sistemik. L. monocytogenes tidak sensitive sefalosporin dan terapi yang dianjurkan adalah
ampisilin atau penisilin G. Pilihan lain adalah trimetoprim sulfa-metoksazol. Pasien dengan
meningitis S. aureus harus ditindak
dicadangkan untuk strain resisten metisilin dan S. epidermidis. Lamanya terapi meningitis,
umumnya berdasar empiris dan tradisi; biasanya 7-14 hari untuk patogen meningeal utama, dan
21 hari untuk infeksi basil gram negatif. Tindakan terhadap meningitis basiler gram negative
mengalami revolusi dengan adanya sefalosporin generasi ketiga. Sefotaksim, seftazidim, dan
seftriakson dapat menembus CSS dan mecapai konsentrasi terapeutik hingga memungkinkan
terapi terhadap meningitis yang sebelumnya memerlukan terapi secara intratekal; 78-94 %
tingkat kesembuhan telah dilaporkan. Seftriakson, sefotaksim, dan
seftazidim
terbukti
bermanfaat. Sefalosporin generasi ketiga lainnya, seftizoksim dan sefoperazon, belum dinilai
dengan
baik.
32
pemberian
bakterial
memperlihatkan
bahwa sekuele
neurologis jangka panjang, terutama retardasi mental dan kehilangan pendengaran, menurun
pada pemberian deksametason 0.15 mg/kg IV setiap 6 jam pada 4 hari pertama terapi, dan
tidak memperberat efek eradikasi infeksi. Saat ini penggunaan deksametason dianjurkan pada
pasien pediatrik berusia lebih dari 2 bulan.
2.4.2 Meningitis Tuberkulosa (8)
Penyakit ini merupakan meningitis yang sifatnya subakut atau kronis dengan angka kematian
dan kecacadan yang cukup tinggi. Menurut pengamatan, meningitis tuberkulosis merupakan
38,5% dari seluruh penderita dengan infeksi susunan saraf pusat yang dirawat di bagian Saraf RS
Dr Soetomo.
Manifestasi klinis :
Penulis menemukan adanya panas (94%), nyeri kepala (92%), muntah muntah, kejang dan
pemeriksaan neurologik menunjukkan adanya kaku tengkuk, kelumpuhan saraf kranial (terutama
33
34
Gambar 10. Sagital (A) dan Coronal (B) menunjukkan solitary ring-enhancing mass.
(C,D) menunjukkan restricted diffusion.12
Abses otak adalah koleksi infeksi purulen berbatas tegas didalam parenkhima otak.
Perjalanan
pada anjing
dikemukan oleh Britt. Sel inflamatori akut tampak pada pusat meterial yang nekrotik,
dikelilingi zona serebritis. Dengan maturasi, timbul neovaskularisasi
laun terbentuk
interaksi pasien-organisme dan pengaruh terapi. Pada manusia dengan sitema imun baik,
proses sejak infiltrasi bakterial hingga abses berkapsul memerlukan sekitar 2 minggu. Daerah
terlemah dari kapsul cenderung merupakan daerah yang kurang vaskuler yang menghadap
ventrikel; karenanya migrasi sentrifugal proses inflamatori dengan ruptur ventrikuler dan
kematian merupakan sekuele yang umum pada masa prabedah dahulu kala.
Tanda dan gejala abses otak umumnya berhubungan dengan efek massa. Nyeri kepala,
defisit neurologis fokal, dan gangguan mentasi sering tampak. Demam terjadi pada 50 %
dari waktu, namun mungkin tidak ada atau sedikit bukti infeksi sistemik. Kejang terjadi pada
25-60 % pasien. Edema otak, efek massa, dan pergeseran garis tengah umum terjadi;
karenanya pungsi lumbar kontraindikasi dan mempunyai nilai klinis yang 10 % kasus.
Abses
bakteriologi
35
otak
umumnya
terjadi
sekunder
terhadap infeksi
ditempat
lain,
dan
dan divertikulitis
harus
dicari.
Penyebaran
bakterial,
namun
dengan meningitis Sitrobakter atau Proteus neonatal. Sebaliknya abses otak sering dijumpai
pada pasien dengan immunitas yang terganggu sekunder atas penggunaan steroid, kelainan
limfoproliferatif, dan transplantasi organ, dan absesnya cenderung multipel.
Organisme yang paling sering dijumpai pada abses otak adalah Streptokokus, Stafilokokus,
dan Bakteroides, dengan organisme multipel pada 10-20 % kasus. Terapi antibiotik empiris
berdasar lokasi lesi dan sumber infeksi yang sudah dikenal, namun beratnya penyakit serta
sering terjadinya infeksi yang tidak terduga menyebabkan dianjurkannya antibiotik jangkauan
luas atas gram positif, gram negatif, dan anaerob sebagai terapi empiris pada semua kasus.
CT scan mempunyai akurasi tinggi dalam melacak abses otak. Karena memberikan
deteksi yang dini dan memberikan lokalisasi yang akurat, CT scan paling bertanggungjawab
atas penurunan angka kematian dari 30-50 % kasus menjadi kurang dari 15 % dalam dua
decade terakhir.
Tujuan
terapi
adalah memastikan
segera
mikroba yang
bertanggung-jawab serta
sensitifitas antibiotik, pensterilan SSP dan infeksi primer, menyingkirkan efek massa segera,
dan mengurangi edema otak. Pemberian kortikosteroid kontroversial. Selama serebritis dan
tahap awal kapsulisasi, atau pada pasien dengan risiko bedah tinggi dengan abses kecil dan
organisme penyebab diketahui, terapi medikal dengan antibiotika parenteral mungkin cukup.
Diluar itu harus dilakukan drainasi bedah terhadap material purulen baik dengan aspirasi
maupun eksisi disertai antibiotika paling tidak 4 minggu. Operasi akan mengurangi efek
36
dapat dilakukan dengan teliti baik untuk organisme aerob maupun anaerob. Dianjurkan
tidak memberikan antibiotik prabedah bila operasi
steril bisa terjadi. Walau eksisi bedah memperlihatkan penurunan angka rekurensi, sekarang
banyak yang menganjurkan aspirasi abses otak stereotaktik yang dituntun ultrasonografi atau
CT scan, dan mencadangkan eksisi untuk lesi soliter dan superfisial, lesi yang mengandung
benda asing, atau gagal dengan aspirasi.
2.4.4 Abses Epidural Kranial (8)
Infeksi intrakranial terbatas diruang epidural
adalah komplikasi
kontaminasi jaringan epi dural baik traumatika atau operatif. Lebih sering diakibatkan oleh
perluasan osteomielitis berdekatan. Bila dura intak, infeksi jarang meluas secara transdural.
Tindakannya adalah drainasi, debridemen dan antibiotik sistemik.
Abses epidural tulang belakang lebih sering dan biasanya memerlukan bedah gawat
darurat. Khas dengan demam, nyeri tulang belakang lokal, dan progresi yang cepat dari defisit
neurologis. Nyeri radikuler serta mielopati sering terjadi dalam beberapa hari sejak gejala
awal. Kebanyakan abses epidural
belakang dan jarang melalui penyebaran hematogen dari infeksi jauh. CSS memperlihatkan
peninggian kadar protein yang jelas dan pleositosis ringan. Mielogram atau MRI menampilkan
perluasan massa epidural. Organisme penyebab
Streptococcus sp.
intravena.
umum dan dapat timbul sejak 1-8 minggu sebelumnya. Kejang dan defisit fokal juga biasa
terjadi. CT scan dan MRI memperlihatkan koleksi subdural; namun massa mungkin isodens
pada CT scan, hingga memerlukan penguatan zat kontras agar jelas terlihat. Pencitraan juga
berguna dalam mendiagnosis infeksi sinus atau mastoid penyebab. Risiko pungsi lumbar pada
penderita
yang
diduga
memiliki
massa
intracranial mengharuskan
dibatalkankannya
tindakan ini hingga CT scan memastikan tidak adanya efek massa intrakranial. Analisis CSS
jarang sebagai diagnostik, namun bisa menampakkan perubahan inflamatori nonspesifik.
Sumber otorinologis empiema subdural biasanya disebabkan streptokoki, stafilokoki dan
koki anaerob. Kelainan sinus paranasal adalah faktor etiologi yang paling sering pada literatur
barat. Sekali ruang
kefisura interhemisferik dan fisura Sylvian. Penyebaran infratentorial terjadi pada 3-10 %
infeksi, selalu
Akumulasi
pus sering
cukup
untuk
menimbulkan massa intrakranial. Reaksi inflamasi hebat memacu pembengkakan dan edema
otak. Tampilan klinisnya adalah perburukan neurologis cepat, sering dengan defisit fokal, koma
dan mati.
Empiema subdural sekunder terhadap meningitis umumnya bilateral dan kurang fulminan
dibanding yang sekunder terhadap infeksi otorinologis. H.influenza adalah organisme utama;
namun empiema S.pneumonia juga sering dilaporkan. Hidrosefalus komunikating bisa terjadi
karena resorpsi diatas konveksitas otak terganggu oleh infeksi.
Sebelum ditemukan penisilin, empiema subdural selalu fatal. Dengan antibiotika sistemik
dan drainasi bedah, tingkat mortalitas 25 %, dengan outcome buruk sangat tergantung pada
tingkat kesadaran sebelum tindakan dan ketidakmampuan mengetahui organism patogenik.
Bannister menganjurkan kraniotomi primer dengan bukaan luas, eksplorasi subdural agresif,
dan debridemen yang baik dari material purulen material dari permukaan otak. Laporan
mutakhir memperlihatkan pengurangan outcome yang buruk dan mortalitas secara bermakna
pada tindakan kraniotomi dibanding dengan drainasi bur hole.
Sumber infeksi harus ditindak agresif, drainasi sinus dan mastoid sering diperlukan.
Antikonvulsan profilaktik dianjurkan karena insidens yang tinggi dari kejang.
38
Keberhasilan
nonbedah
dengan status neurologis utuh; pemeriksaan neurologis normal; dan lesi tunggal dan terbatas
pada CT scan.
Empiema subdural tulang belakang jarang. Biasanya timbul dari ekstensi transdural lokal
dari osteomielitis tulang belakang, atau melalui arakhnoid pada meningitis. Kompresi kord
tulang belakang dan mielitis transversa mungkin terjadi. Tindakan berupa drainasi emergensi
melalui laminektomi serta pemberian antibiotik jangka lama.
2.4.6 Efusi Subdural (3)
Transudat yang tertimbun dibawah dura dinamakan efusi subdural. Transudat ini merupakan
komplikasi dari meningitis, terutama meningitis H.Influenza. keadaan tersebut harus dicurigai
apabila demam dan kaku kuduk sudah mereda tetapi penderita tetap memperlihatkan kesadaran
dan keadaan umum yang belum membaik. Karena lokalisasinya, korteks serebri dapat terangsang
oleh efusi itu dan menimbulkan epilepsy fokal. Disamping itu tentunya gejala-gejala tekanan
intracranial yang mininggi dapat ditemukan juga.
2.4.7 Tromboflebitis Kranial (3)
Tromboflebitis dapat merupakan komplikasi dari osteomielitis tulang tengkorak, mastoiditis,
sinusitis, abses subdural ataupun infeksi pada daerah wajah yang menggunakan system venous
intracranial untuk darah baliknya. Salah satu jenis tromboflebitis yang memperlihatkan
gambaran penyakit yang kompleks ialah tromboflebitis sinus kavernosus, yang lebih sering
dinamakan thrombosis sinus kavernosus. Infeksi primernya ialah sinusitis frontalis atau
sfenoiditis ataupun etmoiditis. Infeksi sinus tranversus atau vena jugularis dapat juga menjalar ke
sinus kavernosus melalui sinus petrosus. Kemungkinan lain, ialah emboli septic dari bisul didahi,
karena aliran venous darid ahi bermuara di sinus kavernosus. Infeksi sinus kavernosus cepat
membentuk thrombus, sehingga menyumbat aliran darah balik. Gejala0gejala akibat
penyumbatan timbul pada salah satu sisi, tetapi kemudian secara bilateral. Pada tahap
penyebaran kuman didapati gejala-gejala : demam, sakit kepala, muntah dan mual. Obstruksi
vena oftalmika yang menghantarkan darah ke sinus kavernosus mengakibatkan timbulnya edema
diruang orbita serta kelopak mata. Karena itu ptosis, kemosis dan eksoftalmus dapat terlihat.
Gerakan bola mata keseluruh jurusa terbatas karena edema orbital juga. Tetapi kemudian saraf
39
41
Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
42
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot
masetter.
Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut
Selama eksotosin masih diproduksi terapi untuk memberantas manifestasi tetanus tidak
bermanfaat. Maka eksisi tempat klostridium tetani masuk kedalam tubuh harus dilakukan,
supaya kumanya ikut terbuang dan produksi eksotoksin tidak ada lagi.
2.4.11 Lepra (8)
Lepra (penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya
kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah
zakar (testis) dan mata. Penyebab bakteri Mycobacterium leprae.
Cara penularan lepra belum diketahui secara pasti. Jika seorang penderita lepra berat dan
tidak diobati bersin, maka bakteri akan menyebar ke udara. Sekitar 50% penderita kemungkinan
tertular karena berhubungan dekat dengan seseorang yang terinfeksi. Infeksi juga mungkin
ditularkan melalui tanah, armadillo, kutu busuk dan nyamuk.
Sekitar 95% orang yang terpapar oleh bakteri lepra tidak menderita lepra karena sistem
kekebalannya berhasil melawan infeksi. Penyakit yang terjadi bisa ringan (lepra tuberkuloid)
atau berat (lepra lepromatosa). Penderita lepra ringan tidak dapat menularkan penyakitnya
kepada orang lain.
Lebih dari 5 juta penduduk dunia yang terinfeksi oleh kuman ini. Lepra paling banyak
terdapat di Asia, Afrika, Amerika Latin dan kepulauan Samudra Pasifik. Infeksi dapat terjadi
pada semua umur, paling sering mulai dari usia 20an dan 30an. Bentuk lepromatosa 2 kali lebih
sering ditemukan pada pria.
43
Racun botulism, biasanya dikonsumsi dalam makanan, bisa melemahkan atau melumpuhkan
otot.
Botulism bisa mulai dengan mulut kering, penglihatan ganda, dan ketidakmampuan untuk
kemungkinan dilakukan.
Penyiapan dan penyimpanan makanan dengan hati-hati membantu mencegah botulism.
Antitoksin digunakan untuk mencegah atau memperlambat efek racun.
Botulism biasanya merupakan jenis makanan beracun.
Racun yang menyebabkan botulism, yang sangat berpotensi racun, bisa sangat merusak
fungsi syaraf. Karena racun ini merusak syaraf, mereka disebut neurotoxin. Racun botulism
melumpuhkan otot dengan menghambat pelepasan pada neurotransmitter acetycholine dari
syaraf. Pada dosis yang sangat kecil, racun bisa digunakan untuk menghilangkan kejang otot dan
untuk mengurangi kerutan.
Bakteri clostridium botulinum membentuk sel reproduksi yang disebut spora. Seperti biji,
spora bisa hidup di bagian yang tidak aktif untuk beberapa tahun, dan mereka sangat bersifat
melawan terhadap kerusakan. Ketika kelembaban dan bahan bergizi ada dan oksigen tidak ada
(seperti pada usus atau botol atau kaleng bersegel), spora tersebut mulai bertumbuh dan
menghasilkan racun. Beberapa racun dihasilkan oleh clostridium botulinum tidak dihancurkan
oleh enzim pelindung usus.
Clostridium botulinum adalah banyak di lingkungan sekitar, dan spora bisa ditransportasikan
oleh udara. Kebanyakan kasus pada botulism dihasilkan dari pencernaan atau penghisapan pada
kotoran dan debu dalam jumlah kecil. Spora bisa juga memasuki tubuh melalui mata atau luka di
kulit.
45
Fase Primer.
Terbentuk luka atau ulkus yang tidak nyeri (cangker) pada tempat yang terinfeksi; yang
tersering adalah pada penis, vulva atau vagina. Cangker juga bisa ditemukan di anus, rektum,
bibir, lidah, tenggorokan, leher rahim, jari-jari tangan atau bagian tubuh lainnya. Biasanya
penderita hanya memiliki1 ulkus, tetapi kadang-kadang terbentuk beberapa ulkus. Cangker
berawal sebagai suatu daerah penonjolan kecil yang dengan segera akan berubah menjadi suatu
ulkus (luka terbuka), tanpa disertai nyeri. Luka tersebut tidak mengeluarkan darah, tetapi jika
digaruk akan mengeluarkan cairan jernih yang sangat menular. Kelenjar getah bening terdekat
biasanya akan membesar, juga tanpa disertai nyeri.
48
Fase Sekunder.
Fase sekunder biasanya dimulai dengan suatu ruam kulit, yang muncul dalam waktu 6-12
minggu setelah terinfeksi. Ruam ini bisa berlangsung hanya sebentar atau selama beberapa
bulan. Meskipun tidak diobati, ruam ini akan menghilang. Tetapi beberapa minggu atau bulan
kemudian akan muncul ruam yang baru.
Pada fase sekunder sering ditemukan luka di mulut. Sekitar 50% penderita memiliki pembesaran
kelenjar getah bening di seluruh tubuhnya dan sekitar 10% menderita peradangan mata.
Peradangan mata biasanya tidak menimbulkan gejala, tetapi kadang terjadi pembengkakan saraf
mata sehingga penglihatan menjadi kabur. Sekitar 10% penderita mengalami peradangan pada
tulang dan sendi yang disertai nyeri. Peradangan ginjal bisa menyebabkan bocornya protein ke
dalam air kemih. Peradangan hati bisa menyebabkan sakit kuning (jaundice). Sejumlah kecil
penderita mengalami peradangan pada selaput otak (meningitis sifilitik akut), yang menyebabkan
sakit kepala, kaku kuduk dan ketulian.
Di daerah perbatasan kulit dan selaput lendir serta di daerah kulit yang lembab, bisa terbentuk
daerah yang menonjol (kondiloma lata). Daerah ini sangat infeksius (menular) dan bisa kembali
mendatar serta berubah menjadi pink kusam atau abu-abu. Rambut mengalami kerontokan
dengan pola tertentu, sehingga pada kulit kepala tampak gambaran seperti digigit ngengat. Gejala
lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam
dan anemia.
3.
Fase Laten.
Setelah penderita sembuh dari fase sekunder, penyakit akan memasuki fase laten dimana
tidak nampak gejala sama sekali. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh
tahun atau bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius
kembali muncul . dan apabila penyebab manifestasi sifilis tahap kedua itu tidak dikenal maka
infeksi treponema palidum akan terus berjalan tanpa halangan, sehingga susunan saraf pusat juga
akan mengalami invasi kuman tersebut. Dalam hal ini kuman akan tersebar secara difus
49
Fase Tersier.
Pada fase tersier penderita tidak lagi menularkan penyakitnya. Gejala bervariasi mulai
ringan sampai sangat parah. Gejala ini terbagi menjadi 3 kelompok utama :
Sifilis tersier jinak. Pada saat ini jarang ditemukan. Benjolan yang disebut gumma muncul di
berbagai organ; tumbuhnya perlahan, menyembuh secara bertahap dan meninggalkan jaringan
parut. Benjolan ini bias ditemukan di hampir semua bagian tubuh, tetapi yang paling sering
adalah pada kaki dibawah lutut, batang tubuh bagian atas, wajah dan kulit kepala. Tulang juga
bisa terkena, menyebabkan nyeri menusuk yang sangat dalam yang biasanya semakin memburuk
di malam hari.
Sifilis kardiovaskuler. Biasanya muncul 10-25 tahun setelah infeksi awal. Bisa terjadi
aneurisma aorta atau kebocoran katup aorta. Hal ini bias menyebabkan nyeri dada, gagal
Jika hanya otak yang terkena akan timbul sakit kepala, pusing, konsentrasi yang buruk, kelelahan
dan kurang tenaga, sulit tidur, kaku kuduk, pandangan kabur, kelainan mental, kejang,
pembengkakan saraf mata (papiledema), kelainan pupil, gangguan berbicara (afasia) dan
bertambahnya pasien
yang mendapat
antibiotika jangka lama, dan bertambahnya perjalanan ke, dan immigrasi dari, daerah infeksi
51
immun adalah faktor yang penting dalam preseleksi patogen fungal spesifik: Cryptococcus,
Coccidioides, Histoplasma, dan Blastomyces dapat menginfeksi orang sehat, sedang infeksi
fungal
dan
CSS,
serta
selalu
membantu pada
Histoplasma.
2.7 Infeksi Protozoa pada Susunan Saraf
2.7.1 Tripanosomiasis (8)
Penyakit tidur atau tripanosomiasis afrika disebabkan oleh parasit protozoa berflagela yang
tergolong ke dalam kompleks Trypanosoma brucei yang ditularkan kepada manusia melalui lalat
tsetse. Pada pasien yaang tidak diobati, tripanosoma tersebut pertama-tama menyebabkan
penyakit demam yangsetelah beberapa bulan atau
fowleri
menyebabkan
acute
meningoencephalitis,
primary
amebic
57
58
Gambar
multiple
( C,D).
11.
Sistiserkosis
12
dengan
Pada sistiserkosis terdapat dua sindrom yang berbeda oleh sebab siklus kehidupan cacing pita
memungkinkan dua macam perkembangan yang berbeda.
a. Bilamana sistiserkus tiba di traktus digestivus manusia misalnya karena makin babi kurang
matang yang mengandung sistiserkus. Di dalam usus ia dapat tumbuh menjadi dewasa dan
menetap di situ.
b. bilamana manusia makan telur tania sollium lalu mudigahnya dapat menembus mukosa
traktus digestivus dan tiba di saluran darah melalui penyebaran hematogen sehingga berbagai
organ dapat menerima nya.
Setibanya di otak, tempayak lalu hidup di situ sebagai sistiserkus. Lesi lesi otak berupa
kista-kista di ventrikel, ganglia basal, atau batang otak. Manifestasi yang timbul ialah akibat
kompresi, desak ruang, edema, dan reaksi peradangan karena adanya kista-kista tersebut.
2.8.3.2 Penyakit Hidatidosis (3)
Kambing dan anjing merupakan sumber cacing ekinokokus. Telur cacing yang keluar
dengan tinja anjing dapat mengotori air minum atau makanan. Jika manusia menelan telur itu,
59
60
61
Definisi
TBC adalah infeksi mycobacterium tuberculosis pada system saraf yang mengenai arachnoid,
piameter dan cairan cerebrospinal di dalam sistem ventrikel, akibatnya akan terjadi infiltrasi sel
radang disertai reaksi radang dari jaringan dan pembuluh darah didalamnya. Selain itu, juga
terjadi eksudasi dari fibrinogen yang sesudah beberapa waktu akan menjadi fibrin. Hal diatas
yang disebabkan oleh toksin yang dibuat bakteri akan memberikan gejala sindroma meningitis.
Gejala Penyakit
Demam , nyeri kepala hebat, Gangguan kesadaran, kejang kejang, dan adanya tanda
rangsangan meningeal, berupa : Kaku kuduk, Tes brudzinsky positif , Tes kernig yang positif.
Gambaran klasik meningitis tuberkulosa terdiri dari :
1. Stadium Prodromal Stadium ini berlangsung selama 1 3 minggu dan terdiri dari keluhan
umum seperti : Kenaikan suhu tubuh yang berkisar antara 38,2 38,90 C, Nyeri kepala, Mual
dan muntah ,Tidak ada nafsu makan, Penurunan berat badan , Apati dan malaise, Kaku kuduk
dengan brudzinsky dan kernig tes positif, Defisit neurologi fokal : hemiparesis dan kelumpuhan
saraf otak, Gejala TIK seperti edema papil, kejang kejang, penurunan kesadaran sampai koma,
posisi dekortikasi atau deserebrasi.
2. Stadium perangsangan meningen
3. Stadium kerusakan otak setempat
4. Stadium akhir atau stadium kerusakan otak difus
Pembagian stadium meningitis tuberkulosis menurut Medical Research Council of Great Britain
( 1948 ) :
Stadium I Penderita dengan sedikit atau tanpa gejala klinik meningitis. Tidak didapatkan
kelumpuhan dan sadar penuh. Penderita tampak tak sehat, suhu subfebris, nyeri kepala.
Stadium II Selain gejala diatas bisa didapat gejala defisit neurologi fokal
Stadium III Gejala diatas disertai penurunan kesadaran.
Patogenesis
Meningitis tuberkulosis terjadi akibat reaktivasi lambat suatu infeksi pada daerah otak sendiri
dan paru-paru. Akibat reaktivasi terjadi penjalaran kuman tuberkulosis ke susunan saraf pusat
62
65
68
gambaran
predominan
dan
mungkin
berhubungan
dengan
limfadenopati
mediastinum. Pada paparan ragi histoplasmosis dalam jumlah yang banyak dapat terjadi
manifestasi yang berat berupa sesak napas yang hebat. Granuloma mediastinum sekuele yang
dapat terjadi pasca histoplasmosis akut. 2. Histoplasmosis diseminata dianggap berat jika
69
71
74
76
77