Anda di halaman 1dari 77

Referat Infeksi pada Susunan saraf

Kata Pengantar

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala pimpinan-Nya
sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini penyusun laksanakan dalam
rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana. Yang berjudul Infeksi pada Susunan Saraf.
Besar harapan penyusun bahwa makalah ini dapat berguna bagi kita semua, dan dalam
kesempatan ini penyusun hendak mengucapkan terima kasih kepada :
1

Dr. Dini A, SpS

Semua pihak yang telah ikut memberikan dukungan dan bantuan sehingga referat ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penyusun menyadari referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun

mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sehingga akan
tercipta makalah yang lebih baik lagi.

Jakarta,
Juli 2011

Penyus
un

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Daftar Isi

Kata Pengantar
Daftar Isi

BAB I.Pendahuluan
BAB II.Isi

2.1 Definisi 5
2.2 Klasifikasi

2.3 Infeksi Virus pada Susunan Saraf 5


2.3.1 Meningitis viral

2.3.2 Ensefalitis Viral

17

2.3.2.1 Ensefalitis Herpes Simpleks


2.3.2.2 Ensefalitis Arbo-virus

23

25

2.3.2.3 Ensefalitis parainfeksiosa

26

2.3.2.4 Rabies 26
2.3.2.5 Poliomielitis Anterior Akuta
2.3.2.6 Infeksi Slow Virus
2.4 Infeksi Bakterial pada Susunan Saraf
2.4.1 Meningitis Bakterial Akut 32
2.4.2 Meningitis Tuberkulosa
2.4.3 Abses Serebri

34

36

2.4.4 Abses Epidural Kranial

38

2.4.5 Abses Subdural Kranial

39

2.4.6 Efusi Subdural

39

2.4.7 Tromboflebitis Kranial

40

2.4.8 Abses Epidural Kranial

41

2.4.9 Abses Subdural Spinal

42

2.4.10 Tetanus 42
2.4.11 Lepra

44

2.4.12 Botulisme
2.5 Infeksi Spiroketal

49

2.5.1 Leptospirosis
2

46

49

31
32

27

Referat Infeksi pada Susunan saraf


2.5.2 Sifilis

49

2.6 Infeksi Fungal

53

2.7 Infeksi Protozoal

54

2.7.1 Tripanosomiasis
2.7.2 Malaria

54

55

2.7.3 Toksoplasmosis

58

2.7.4 Abses Serebri Amebiasis 59


2.8 Infeksi Metazoal

59

2.8.1 Infeksi Nematodal 59


2.8.2 Infeksi Trematodal
2.8.3 Infeksi Sestodal

59

60

2.8.3.1 Sistiserkosis

60

2.8.3.2 Hidatidosis

61

2.9 Infeksi Sistem Saraf pada Pasien Imunokompromais 62


2.9.1 Definisi

62

2.9.2 Penyebab 62
2.9.3 Perjalanan Penyakit

62

2.9.4 Penyakit Infeksi Oportunistik

63

2.9.4.1 Meningitis TBC 63


2.9.4.2 Kandidiasis

67

2.9.4.3 Aspergilosis

69

2.9.4.4 Histoplasmosis 71
2.9.4.5 Kriptokokosis

72

2.9.4.6 Toksoplasmsis 73

2.9.4.7 Cytomegalovirus

75

2.9.4.8 Virus Herpes Simplex

77

Referat Infeksi pada Susunan saraf


BAB I
PENDAHULUAN
Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih
merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih cukup
tinggi. Diantara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP)
termasuk ke dalamnya meningitis dan ensefalitis. Meningitis sinonim dengan leptomeningitis
yang berarti adanya suatu infeksi selaput otak yang melibatkan arakhnoid dan piamater.
Sedangkan ensefalitis adalah adanya infeksi pada jaringan parenkim otak(1).
Penyakit infeksi susunan saraf pusat memiliki angka kematian di atas 50 persen, jika
seseorang selamat dari infeksi otak umumnya mengalami kecacatan mulai dari lumpuh hingga
koma yang tidak bisa bangun lagi.(2)
Susunan saraf pusat merupakan bagian tubuh yang paling terlindungi atau yang paling
terakhir kena, jadi kalau otak sudah terkena infeksi akan sangat mungkin mempengaruhi organ
lainnya di tubuh dan fungsinya menjadi terganggu.(2)
Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami demam dan
sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada gejala lanjutan seperti kejang dan
sakit kepala yang semakin parah segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk diagnostik dini
memang tidak mudah, karenanya proses pencarian penyebabnya harus progresif agar bisa
ditangani dengan baik.(2)
Untuk

diagnosis

pastinya

dilakukan

pemeriksaan

cairan

otak

agar

bisa

diketahui penyebab pastinya apakah akibat infeksi virus, bakteri, jamur, parasit atau cacing pita.
4

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Jika prosedur ini dilakukan dengan cepat dan progresif maka bisa mengurangi kecacatan yang
timbul. (2)
BAB II
ISI
2.1 Definisi
Infeksi ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam jaringan tubuh.
Jadi infeksi susunan saraf ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam
susunan saraf.(3)
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi infeksi susunan saraf menurut organ yang terkena peradangan, tidak
memberikan pegangan klinis yang berarti. Radang pada saraf tepi dinamakan neuritis, pada
meninges disebit meningitis, pada jaringan medulla spinalis dinamakan mielitis dan pada otak
dikenal sebagai ensefalitis. Sebaliknya pembagian menurut jenis kuman mencakup sekaligus
diagnosis kausal. Maka dari itu, pembahasan mekanisme infeksi susunan saraf akan dilakukan
menurut klasifikasi (3)
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Infeksi viral
Infeksi bakteri
Infeksi spiroketa
Infeksi fungus
Infeksi protozoa dan
Infeksi metazoa

2.3 Infeksi Virus pada Susunan Saraf


2.3.1 Meningitis Viral
Anatomi meningea
Otak mengatur dan mengkordinir sebagian besar gerakan, perilaku dan fungsi tubuh
homeostasis seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh.
Otak juga bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi. ingatan, pembelajaran

Referat Infeksi pada Susunan saraf


motorik dan

segala bentuk

pembelajaran lainnya. Otak

dilindungi

oleh

Kranium,

Meningea/selaput otak dan LCS (Liquor CerebroSpinal). Meningea terdiri atas 3 lapisan, yaitu(4):
1) Duramater
Luar

: melapisi tengkorak

Gambar 1 Anatomi lapisan meningea kranium(10)

Dalam : membentuk falk serebri, falk serebelli, tentorium serebellin. Membentuk sinus
sagitalis/longitudinalis superior dan inferior.

Gambar 2 Anatomi lapisan meningea kranium(10)

2) Arakhnoid : Terdapat granulasi arackhnoid, dilalui LCS


3) Piamater : Melekat pada otak / sumsum tulang.
6

Referat Infeksi pada Susunan saraf

Gambar 3 Anatomi lapisan meningea kranium(10)

LCS (Liquor Cerebro Spinal) berada pada rongga-rongga otak (ventrikel) di dalam
ruang subarakhnoid, diproduksi oleh plexus khoroid. Pada sumsum tulang berada di kanalis
sentralis & ruang subarakhnoid. Sifat bening, alkali, tekanan 60 140 mm air. Berfungsi sebagai
buffer, bantalan fisik, nutrisi jaringan syaraf. Pemeriksaan LCS dilakukan dengan punksi Lumbal
(VL 1-2) dan punksi fontanel(4).
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala
perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah
leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat
dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang
jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi bermingguminggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang
tindih karena etiologinya sangat bervariasi(5).
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular
nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya
menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit.
Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini
kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus dan Herpes Simplex Virus (HSV).
Meningitis viral merupakan inflamasi dari leptomeningen sebagai manifestasi dari
infeksi SSP. Istilah viral digunakan karena merupakan agen penyebab, dan penggunaan

Referat Infeksi pada Susunan saraf


meningitis saja mengimplikasikan tidak terlibatnya parenkim otak dan medula spinalis. Namun,
patogen virus dapat menyebabkan kombinasi dari infeksi yaitu meningoencephalitis atau
meningomielitis.
Pada meningitis viral, perjalanan klinis biasanya terbatas, dengan pemulihan komplit
pada 7-10 hari. Lebih dari 85% kasus disebabkan oleh enterovirus non polio; maka, karakteristik
penyakit, manifestasi klinis, dan epidemiologi menunjukkan infeksi enteroviral. Campak, polio,
dan limfositik choriomeningitis virus (LCMV) saat ini merupakan ancaman untuk negara
berkembang. Polio tetap merupakan penyebab utama dari mielitis pada beberapa daerah di
dunia(4).
Epidemiologi(6)
Di Amerika Serikat, lebih dari 10,000 kasus dilaporkan setiap tahunnya, tetapi insiden
sesungguhnya dapat mencapai hingga 75,000. Kurangnya pelaporan dikarenakan tidak ada hasil
klinis kebanyakan kasus dan ketidakmampuan dari beberapa agen viral untuk tumbuh dalam
kultur. Menurut laporan CDC, perawatan pasien dalam rumah sakit dari meningitis virus
bervariasi dari 25,000-50,0000 setiap tahun. Dalam beberapa laporan insiden diperkirakan 11 per
100,000 populasi pertahun.
Persebaran insiden dari klinis meningitis viral di dunia bervariasi. Penyebab meningitis
viral di dunia termasuk enterovirus, virus campak, VZV, dan HIV. Gejala meningitis dapat timbul
sedikit pada 1 dari 3000 kasus infeksi oleh agen ini. Studi dari Finlandia memperkirakan insiden
19 per 100,000 populasi pada anak usia 1-4 tahun. Hal ini merupakan contrast signifikan hingga
219 kasus per 100,000 yang diperkirakan untuk anak lebih muda dari 1 tahun. Virus encephalitis
B Japaneese, patogen tersering pada meningitis virus di dunia, menyebabkan lebih dari 35,000
infeksi setiap tahunnya melalui Asia tetapi diperkirakan menyebabkan 200-300 kali
penjumlahannya dari infeksi subklinis. Distribusi dan karakteristik penyerangan oleh vector
arthropod, menunjukkan variabilitas geografis yang kuat. Kurangnya aturan vaksinasi yang
efektif pada Negara dunia ketiga memainkan peranan pada ketimpangan geografis dari agen
infeksi lain.
Faktor risiko dan Etiologi(6)
Faktor Risiko
Diluar periode neonatal, angka mortalitas dikaitkan dengan meningitis viral kurang dari
1%; angka morbiditas juga rendah. Dokter harus menyadari virus yang dapat menyebabkan
meningitis juga dapat menyebabkan infeksi yang lebih serius pada CNS sama halnya dengan
8

Referat Infeksi pada Susunan saraf


organ lain. Laporan statistik World Health Organization (WHO) dari tahun 1997 melaporkan
meningitis enteroviral dengan sepsis merupakan penyebab ke-5 tersering dari mortalitas pada
neonatus. Komplikasi seperti edema otak, hidrosefalus, dan kejang dapat timbul pada periode
akut.
Ras

Tidak ada predileksi rasial spesifik telah diidentifikasi


Sex
Tergantung dari patogen viral, rasio yang mempengaruhi wanita dan pria dapat

bervariasi. Enterovirus diduga untuk mempengaruhi pria 1.3-1.5 kali lebih sering dibandingkan
wanita. Kebanyakan arbovirus mempunyai karakteristik penyerangan yang beragam,
mempengaruhi kedua gender tetapi pada usia berbagi.
Usia
o Insidensi meningitis viral menurun sesuai dengan usia
o Neonatus berada pada resiko terbesar dan mempunyai resiko signifikan akan morbiditas
dan mortalitas.
o Beberapa serangan arbovirus sangat ekstrem pada beberapa usia, dengan orang yang
lebih tua berada pada resiko terbesar untuk infeksi, sementara puncak campak dan cacar
timbul pada usia remaja akhir.
Etiologi
Enteroviruses menyebabkan lebih dari 85% semua kasus meningitis virus. Mereka
merupakan keluarga dari Picornaviridae (pico untuk kecil, rna untuk asam
ribonukleat), dan termasuk echovirus, coxsackie virus A dan B, poliovirus, dan
sejumlah enterovirus. Nonpolio enterovirus merupakan virus yang sering, sama dekat

ya dengan prevalensi rhinoviruses (flu


Arboviruses menyebabkan hanya 5% kasus di Amerika Utara
Cacar: sejumlah keluarga dari Paramyxovirus, virus cacar merupakan agen pertama

dari meningitis dan meningoensefalitis.


Virus keluarga herpes: HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, dan herpes virus manusia 6
secara kolektif menyebabkan sekitar 4% kasus meningitis viral, dengan HSV-2

menjadi penyerang terbanyak.


Lymphocytic choriomeningitis virus: LCMV masuk k edalam keluarga arenaviruses.
Saat ini adalah jarang penyebab meningitis, virus ditransmisikan ke manusia melalui
kontak dengan tikus atau ekskeresi mereka. Mereka berada pada resiko tinggi pada
pekerja laboratorium, pemilik binatang peliharaan, atau orang yang hidup dia area non
higienis.

Referat Infeksi pada Susunan saraf

Adenovirus: Adenovirus merupakan penyebab jarang dari meningitis pada individu


immunocompeten tetapi merupakan penyebab utama pada pasien AIDS, Infeksi dapat

timbul secara simultan dengan infeksi saluran nafas atas.


Campak: Morbili virus ini merupakan penyebab yang paling jarang saat ini.
Karakteristik ruam makulopapular membantu dalam diagnosis. Kebanyakan kasus
timbul pada orang usia muda di sekolah dan perkuliahan. Campak tetap merupakan
ancaman kesehatan dunia dengan angka penyerangan tertinggi dari infeksi yang ada;
eradikasi dari campak merupakan tujuan kesehatan masyarakat yang penting dari

WHO.
Klinisi harus mempertimbangkan secara sebagian meningitis bakterial sebagai
kemungkinan etiologi untuk aseptic dari penyakit pasien; sebagai contoh, pasien
dengan otitits bakteri dan sinusitis yang telah mengambil antibiotic dapat timbul
dengan meningitis dan penemuan CSF yang identik terhadap meningitis viral.

Patofisiologi Meningitis Viral(6)


Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen atau neural.
Hematogen merupakan jalur tersering dari viral patogen yang diketahui. Penetrasi neural
menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan biasanya terbatas pada herpes viruses (HSV-1,
HSV-2, dan varicella zoster virus [VZV] B virus), dan kemungkinan beberapa enterovirus.
Pertahanan tubuh multiple mencegah inokulum virus dari penyebab infeksi signifikan
secara klinis. Hal ini termasuk respon imun sistemik dan local, barier mukosa dan kulit, dan
blood-brain barrier (BBB). Virus bereplikasi pada system organ awal (ie, respiratory atau
gastrointestinal mucosa) dan mencapai akses ke pembuluh darah. Viremia primer
memperkenalkan virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen dan nodus lymph) jika
replikasinya timbul disamping pertahanan imunologis, viremia sekunder dapat timbul, dimana
dipikirkan untuk bertanggung jawab dalam CNS. Replikasi viral cepat tampaknya memainkan
peranan dalam melawan pertahanan host.
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam CNS tidak sepenuhnya dimengerti.
Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler atau melalui defek natural
(area posttrauma dan tempat lainyang kurang BBB). Respon inflamasi terlihat dalam bentuk
pleocytosis; polymorphonuclear leukocytes (PMNs) menyebabkan perbedaan jumlah sel pada
24-48 jam pertama, diikuti kemudian dengan penambahan jumlah monosit dan limfosit. Limfosit

10

Referat Infeksi pada Susunan saraf


CSF telag dikenali sebagai sel T, meskipun imunitas sel B juga merupakan pertahanan dalam
melawan beberapa virus.
Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke CNS dengan
transport retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis HSV-1 adalah melalui
akar saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa oleh serat olfaktori ke basal frontal dan
lobus temporal anterior.
Manifestasi Klinis(6)
Riwayat Penyakit
Kebanyakan pasien melaporkan demam, sakit kepala, iritabilitasm nausea, muntah,

kaku leher, atau kelelahan dalam 18-36 jam sebelumnya.


Nyeri kepala hampir selalu ada dan seringkali dilaporkan dengan intensitas yang berat.
Bagaimanapun, deskripsi klasik dari sakit kepala terburuk dari hidup saya, ditujukan

kepada perdarahan sub arachnoid aneurisma, adalah tidak biasa


Gejala konstitusional lain adalah muntah, diare, batuk dan mialgia yang timbul pada

lebih 50% pasien.


Riwayat kenaikan temperature timbul pada 76-100% pasien yang dating untuk
mendapatkan perjatian medis. Pola yang sering adalah demam dengan derajat rendah
pada tahap prodromal dan kenaikan temperature yang lebih tinggi pada saat terdapat

tanda neurologis.
Beberapa virus menyebabkan onset cepat dari gejala diatas, sementara lainnya
bermanifest sebagai prodromal viral nonspesifik, seperti mialgia, gejala seperti flu, dan
demam derajat rendah yang timbul selama gejala neurologis sekitar 48 jam. Dengan

onset kaku kuduk dan nyeri kepala, demam biasanya kembali.


Pengambilan riwayat yang hati-hati dan harus termasuk evaluasi paparan kontak
kesakitan, gigitan nyamuk, debu, aktivitas outdoor pada daerah endemis penyakit lyme,
riwayat bepergian dengan kemungkinan terpapar terhadap tuberculosis, sama halnya
dengan penggunaan medikasi, penggunaan obat intravena, dan resiko penyebaran

penyakit menular seksual.


Bagian yang penting dari riwayat adalah penggunaan antibiotic sebelumnya, dimana

dapat mempengaruhi gambaran klinis meningitis bakterial.


Fisik
Penemuan fisik umum pada meningitis viral adalah sering untuk semua agen penyebab,
tetapi beberapa virus mempinyai manifestasi klinis unik yang dapat membantu
11

Referat Infeksi pada Susunan saraf


pendekatan diagnostic yang terfokus. Pembelajaran klasik mengajarkan bahwa trias
meningitis meliputi demam, rigiditas nuchal, dan perubahan status mental, meskipun
tidak semua pasien mempunyai gejala ini, dan nyeri kepala hamper selalu timbul.

Pemeriksaan menunjukkan tidak ada deficit neurologis fokal pada kebanyakan kasus.
Demam lebih sering (80-100% cases) dan biasanya bervariasi antara 38C and 40C.
Rigiditas nuchal atau tanda lain dari iritasi meningea (tanda Brudzinski atau Kernig)
dapat terlihat lebih pada setengah pasien tetapi secara umum kurang berat dibandingkan
dengan meningitis bakterial.

(10)

(10)

Gambar 4 Tanda
Brudzinski
Gambar
5 Tanda
Iritabilitas,
disorientasi,
dan perubahan status
mental
dapatKernig
terlihat.
Nyeri kepala lebih sering dan berat.
Photophobia secara ralatif adalah sering namun dapat ringan, Fonofobia juga dapat

timbul.
Kejang timbul pada keadaaan biasanya dari demam, meskipun keterlibatan dari
parenkim otak (encephalitis) juga dipertimbangkan, Encephalopathy global dan deficit
neurologis fokal adalah jarang tetapi dapat timbul. Refleks tendon dalam biasanya

normal tetapi dapat berat.


Tanda lain dari infeksi viral spesifik dapat membantu dalam diagnosis. Hal ini meliputi
faringitis dan pleurodynia pada infeksi enteroviral, manifestasi kulit seperti erupsi zoster
pada VZV, ruam maculopapular dari campak dan enterovirus, erupsi vesicular oleh
herpes simpleks, dan herpangina pada infeksi coxsackie virus. Infeksi Epstein Bar virus
didukung oleh faringitis, limfadenopati, cytomegalovirus, atau HLV sebagai agent
penyebab. Parotitis dan orchitis dapat timbul dengan campak, sementara kebanyakan
infeksi enteroviral dikaitkan dengan gastroenteritis dan ruam.

Pemeriksaan Penunjang(6)
Studi Laboratorium
12

Referat Infeksi pada Susunan saraf

Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan


Pemeriksaan CSF merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan penyebab
meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan dengan tanda
neurologis abnormal untuk menyingkirkan lesi intrakranial atau hidrosefalus obstruktif
sebelum pungsi lumbal (LP). Kultur CSF tetap kriteria standar pada pemeriksaan bakteri
atau piogen dari meningitis aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari
meningitis bakteri dapat timbul dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul
aseptic. Hal berikut ini merupakan karakteristik CSF yang digunakan untuk mendukung
diagnosis meningitis viral:
o Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000 x 109/L darah
telah dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear predominan merupakan
aturannya, tetapi PMN dapat merupakan sel utama pada 12-24 jam pertama; hitung
sel biasanya kemudian didominasi oleh limfosit pada pole CSF klasik meningitis
viral. Hal ini menolong untuk membedakan meningitis bakterial dari viral, dimana
mempunyai lebih tinggi hitung sel dan predominan PMN pada sel pada perbedaan
sel; hal ini merupakan bukan merupakan atran yang absolute bagaimanapun.
o Protein: Kadar protein CSF biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat bervariasi dari
normal hingga setinggi 200 mg/dL.

Tabel 1. Gambaran LCS pasien dengan meningitis(7)


Studi Pencitraan
o Pencitraan untuk kecurigaan meningitis viral dan ensefalitis dapat termasuk CT
Scan kepala dengan dan tanpa kontras, atau MRI otak dengan gadolinium.
o CT scan dengan contrast menolong dalam menyingkirkan patologi intrakranial.
Scan contrast harus didapatkan untuk mengevaluasi untuk penambahan sepanjang
mening dan untuk menyingkirkan cerebritis, abses intrakranial, empyema subdural,

13

Referat Infeksi pada Susunan saraf


ataulesi lain. Secara alternative, dan jika tersedia, MRI otak dengan gadolinium
dapat dilakukan.
o MRI dengan contrast merupakan standar kriteria pada memvisualisasikan patologi
intrakranial pada encephalitis viral. HSV-1 lebih sering mempengaruhi basal frontal

dan lobus temporal dengan gambaran sering lesi bilateral yang difus.
Tes Lain
o Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis dalam 24-48 jam harus
dilakukan rencana kerja untuk mengetahuo penyebab meningitis.
o Dalam kasus ensefalitis yang dicurigai, MRI dengan penambahan kontras dan
visualisasi yang adekuat dari frontal basal dan area temporal adalah diperlukan.
o EEG dapat dilakukan jika ensefalitis atau kejang subklinis dicurigai pada pasien
yang terganggu, Periodic lateralized epileptiform discharges (PLEDs) seringkali

terlihat pada ensefalitis herpetic.


Prosedur
o Pungsi Lumbal merupakan prosedur penting yang digunakan dalam mendiagnosis
meningitis viral. Prosedur potensial lain, tergantung pada indikasi individu dan
keparahan penyakit, termasuk monitoring tekanan intrakranial, biopsi otak, dan

drainase ventricular atau shunting.


Penemuan Histologis
o Dikarenakan dari angka mortalitas rendah dengan meningitis viral akut, gambaran
patologis lain dibandingkan dengan respon limfositik dalam CSF secara umum
bukan merupakan bukti. Leptomeningea yang terdapat inflamasi dengan PMN dan
sel mononuklear pada fase akut penyakit. neuronophagia, dan peningkatan jumlah
sel mikroglia telah dicatat pada specimen dari sejumplah pasien yang meninggal
karena enchepalitis virus.

Diagnosis Banding(6)
Acute Disseminated Encephalomyelitis
Aseptic Meningitis
Brucellosis
Cytomegalovirus Encephalitis
Herpes Simplex Encephalitis
Penatalaksanaan(6)
Perawatan Medis

14

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Terapi untuk meningitis viral kebanyakan suportif. Istirahat, hidrasi, antipiretik, dan
medikasi nyeri atau anti inflamasi dapat diberikan jika diperlukan, Keputusan yang paling
penting adalah baik memberikan terapi antimikroba awal untuk meningitis bakteri
sementara menunggu penyebabnya untuk bias diidentifikasi. Antibiotik intravena harus
diberikan lebih awal jika meningitis bakterial dicurigai. Pasien dengan tanda dan gejala dari
meningoensefalitis harus menerima asiklovir lebih awal untuk mencegah encephalitis HSV.
Terapi dapat dimodifikasi sebagai hasil dari pewarnaan gram, kultur dan uji PCR ketika
telah tersedia. Pasien dalam kondisi yang tidak stabil membutuhkan perawatan di critical
care unit untuk menjaga saluran nafas, pemeriksaan neurologis, dan pencegahan dari
komplikasi sekunder.
Enterovirus dan HSV keduanya mampu menyebabkan septic shock viral pada bayi baru
lahir dan bayi. Pada pasien muda ini, broad spectrum antibiotic dan asikloviar harus
diberikan secepatnya ketika diagnosis dicurigai. Perhatian khusus harus diberikan terhadap
cairan dan keseimbangan elektrolit (terutama natrum(, semenjak SIADH telah dilaporkan.
Restriksi cairan, diuretic, dan secara jarang infuse salin dapat digunakan untuk mengatasi
hiponatremia. Pencegahan terhadap infeksi sekunder dari traktus urinarius dan system
pulmoner juga penting untuk dilaksanakan
Perawatan Pembedahan
Tidak ada terapi pembedahan yang biasanya diindikasikan. Pada pasien yang jarang dimana
viral meningitis berkomplikasi pada hidrosefalus, prosedur pemisahan CSF, seperti
ventriculoperitoneal (VP) atau LP shunting, dapat dilakukan. Ventriculostomy dengan
system pengumpulan eksternal diindikasikan pada kasus jarang dari hidrosefalus akut.
Kadangkala biopsy mening atau parenkim untuk diagnosis definitif dari infeksi viral
dibutuhkan. Monitoring tekanan intrakranial, dibutuhkan untuk beberapa kasus ensefalitis,
biasanya dilakukan di tempat tidur.
Medikasi
Kontrol simptomatik dengan antipiretik, analgetik dan anti emetic biasanya itu semua yang
dibutuhkan dalam management dari meningitis viral yang tidak komplikasi.
Keputusan untuk memulai terapi antibakterial untuk kemungkinan meningitis bakteri adalah
penting; terapi antebakterial empiris untuk kemungkinan patogen harus dipertimbangkan
dalam konteks keadaan klinis. Asiklovir harus digunakan pada kasus dengan kecurigaan
HSV (pasien dengan lesi herpetic), dan biasanya digunakan secara empiris pada kasus yang
lebih berat yang komplikasinya encephalitis atau sepsis.
15

Referat Infeksi pada Susunan saraf

Agen Antiemetik: Agen ini digunakan dengan luas untuk mencegah mual dan muntah.
- Ondansetron (Zofran) Antagonis selektif 5-HT3-receptor yang menghentikan
serotonin di perifer dan sentral, Mempunyai efikasi pada pasien yang tidak
berespon baikterhadap anti emetik lain. Dewasa: 4-8 mg IV q8h/q12h. Pediatrik:
-

0.1 mg/kg IV lambat maximum 4 mg/dosis; dapat diulang q12h


Droperidol (Inapsine): Agen neuroleptik yang mengurangi muntah dengan
menghentikan stimulasi dopamine dari zona pemicu kemoreseptor. Juga
mempunyai kandungan antipsikotik dan sedative. Dewasa: 2.5-5 mg IV/IM q4-6

prn. Pediatrik: 6 bulan: 0.05-0.06 mg/kg/dose IV/IM q4-6 prn


Agen Antiviral: Terapi anti enteroviral masih dibawah investigasi untuk meningitis viral
dan dapat segera tersedia. Regimen anti HIV dan anti tuberculosis tidak dibicarakan
disini, tetapi sebaiknya digunakan jika infeksi ini dengan kuat mendukung secara klinis
atau telah dikonfirmasi dengan pengujian. Terapi empiris dapat dihentikan ketika
penyebab meningitis viral telah tegak dan meningitis bakterial telah disingkirkan
- Acyclovir (Zovirax): Untuk diberikan secepatnya ketika diagnosis herpetic
meningoencephalitis dicurigai. Menghambat aktivitas untuk kedua HSV-1 and
HSV-2. Dewasa: 30 mg/kg/d IV dibagi q8h for 10-14 hari. Pediatrik: 30 mg/kg/d IV
dibagi q8h untuk 10 hari.

Prognosis(6)
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuele
atau risiko kematian. Adanya kejang dalam suatu episode meningitis merupakan faktor resiko
adanya sekuele neurologis atau mortalitas.
2.3.2 Ensefalitis Viral

16

Referat Infeksi pada Susunan saraf

Gambar 6. Axial FLAIR (A), coronal T2WI (C) dan


contrast-enhanced axial (B), coronal (D) pada pasien
dengan viral ensefalitis, nonenhancing pada lobus
temporal12

Ensefalitis adalah infeksi jaringan


otak oleh berbagai macam mikro-organisme.
Ensefalitis ditegakkan melalui pemeriksaan
mikroskopis

jaringan

otak.

Dalam

prakteknya di klinik, diagnosis sering dibuat berdasarkan manifestasi-manifestasi neurologis dan


temuan-temuan epidemiologis, tanpa bahan histologis.(3)
Adapun etiologi dari ensefalitis ini bermacam-macam, seperti disebutkan sebagai berikut (3,8)
I. Infeksi-infeksi Virus
A. Penyebaran hanya dari manusia ke manusia
1. Gondongan Sering, kadang-kadang bersifat ringan.
2. Campak Dapat memberikan sekuele berat.
3. Kelompok virus entero
Sering pada semua umur, keadaannya lebih berat pada neonatus.
4. Rubela Jarang; sekuele jarang, kecuali pada rubela congenital
5. Kelompok Virus Herpes
a. Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2) : relatif sering; sekuele sering ditemukan pada
neonatus menimbulkan kematian.
b. Virus varicela-zoster; jarang; sekuele berat sering ditemukan.
c. Virus sitomegalo-kongenital atau akuista : dapat memberikan sekuele lambat
pada CMV congenital
d. Virus EB (mononukleosis infeksiosa) : jarang
e. Kelompok virus poks
Vaksinia dan variola ; jarang, tetapi dapat terjadi kerusakan SSP berat.
B. Agen-agen yang ditularkan oleh antropoda
- Virus arbo : menyebar ke manusia melalui nyamuk
- Caplak : epidemi musiman tergantung pada ekologi vektor serangga.
C. Penyebaran oleh mamalia berdarah panas.
- Rabies : saliva mamalia jinak dan liar
- Virus herpes Simiae (virus B) : saliva kera
- Keriomeningitis limfositik : tinja binatang pengerat
II. Parainfeksiosa-pascainfeksiosa, alergi
17

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Penderita-penderita dimana agen-agen infeksi atau salah satu komponennya berperan
sebagai etiologi penyakit, tetapi agen-agen infeksinya tidak dapat diisolasi secara utuh in vitro
dari susunan syaraf. Diduga pada kelompok ini, kompleks antigen-antibodi yang diperantarai
oleh sel dan komplemen, terutama berperan penting dalam menimbulkan kerusakan jaringan.
III. Penyakit-penyakit virus manusia yang lambat.
Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa berbagai virus yang didapatkan pada
awal masa kehidupan, yang tidak harus disertai dengan penyakit akut, sedikit banyak ikut
-

berperan sebagian pada penyakit neurologis kronis di kemudian hari :


Panensefalitis sklerosis sub akut (PESS); campak; rubella
Penyakit Jakob-Crevtzfeldt (ensefalitis spongiformis)
Leukoensefalopati multifokal progresif
IV. Kelompok kompleks yang tidak diketahui
Contoh : Sindrom Reye, Ensefalitis Von Economo, dan lain-lain.
V. Infeksi-infeksi Non virus
Penyebab ensefalitis yang terpenting adalah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung
menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu.
Sesuai dengan jenis virus, ensefalitis diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: (3)
1. Ensefalitis virus sporadic
Virus yangbersifat sporadik adalah virus rabies, Herpes Simpleks Virus (HSV), Herpes Zoster,
mumps, limfogranuloma dan limphocytic choriomeningitis yang ditularkan melalui gigitan tupai
dan tikus.
2. Ensefalitis virus epidemic
Golongan virus ini adalah virus entero seperti poliomyelitis, virus Coxsacki, virus ECHO, serta
golongan virus ARBO.
3. Ensefalitis pasca infeksi
Pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca vaksinasi, dan jenis-jenis virus yang
mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.
Karena terdapat banyak penyebab ensefalitis, maka tidak terdapat pola epidemiologi yang sama.
Tetapi sebagian besar kasus yang terjadi pada musim panas dan musim gugur, mencerminkan
adanya virus arbo dan virus entero sebagai etiologi. Ensefalitis yang disebabkan karena virus

18

Referat Infeksi pada Susunan saraf


arbo terjadi dalam bentuk epidemik, dengan batas wilayah yang ditentukan oleh batas vektor
nyamuk serta prevalensi binatang reservoar alamiah. Kasus-kasus enesefalitis yang sporadis
dapat terjadi setiap musim, pertimbangan epidemiologis yang harus ditinjau ulang dalam usaha
mencari agen penyebab meliputi wilayah geografis, iklim, pemaparan oleh binatang, air,
manusia, dan bahan makanan, tanah, manusia, dan faktor-faktor hospes.
Angka kematian untuk ensefalitis berkisar antara 35-50%. Dari penderita yang hidup, 20-40%
mempunyai komplikasi atau gejala sisa.
Diagnosis pasti untuk ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi jaringan otak.
Scara praktis diagnostik dibuat berdasarkan manifestasi neurologik dan informasi epidemiologik.
Hal-hal penting dalam menegakkan diagnosis ensefalitis adalah: (8)
1. Panas tinggi, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, stupor, koma, kejang dan gejala-gejala
kerusakan SSP.
2. Pada pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS) terdapat pleocytosis dan sedikit peningkatan
protein (normal pada ESL).
3. Isolasi virus dari darah, CSS atau spesimen post mortem (otak dan darah)
4. Identifikasi serum antibodi dilakukan dengan 2 spesimen yang diperoleh dalam 3-4 minggu
secara terpisah.
Sebaiknya diagnosis ensefalitis ditegakkan dengan : (8)
a. Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau kronis, keluhan,
kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala, fokal serebral/serebelar,
adanya riwayat pemaparan selama 2-3 minggu terakhir terhadap penyakit melalui kontak,
pemaparan dengan nyamuk, riwayat bepergian ke daerah endemik dan lain-lain (Nelson, 1992)
b. Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis dan sebaliknya
anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan.
-

Gangguan kesadaran
Hemiparesis
Tonus otot meninggi
Reflek patologis positif
Reflek fiisiologis meningkat
Klonus
Gangguan nervus kranialis
Ataksia
c. Pemeriksaan laboratorium
19

Referat Infeksi pada Susunan saraf


-

Pungsi lumbal, untuk menyingkirkan gangguan-gangguan lain yang akan memberikan respons
terhadap pengobatan spesifik. Pada ensefalitis virus umumnya cairan serebro spinal jernih,
jumlah lekosit berkisar antara nol hingga beberapa ribu tiap mili meter kubik, seringkali sel-sel
polimorfonuklear mula-mula cukup bermakna (Nelson, 1992). Kadar protein meningkat sedang
atau normal, kadar protein mencapai 360 mg% pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes
simplek dan 55 mg% yang disebabkan oleh toxocara canis . Kultur 70-80 % positif dan virus
80% positif.
Penderita

baru

dengan

kemungkinan

ensefalitis

harus

dirawat

inap

sampai

menghilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah mempertahankan fungsi


organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan enteral atau
parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah.
Tata laksana yang dikerjakan sebagai berikut: (8)
1. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis biasanya berat.
Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu diberikan
Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung umur)
dan pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebri
dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
4. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan intravena dengan
dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12 jam. Dapat juga
dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari
jeruk. Bahan ini tidak toksik dan dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama.
5. Pengobatan kausatif.
Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak (ensefalitis bakterial), maka
harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi
virus herpes simplek diberikan Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari
selama 10 hari. Jika terjadi toleransi maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu juga
ketika terjadi kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir. Dengan pengecualian
penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh herpes simplek, maka
pengobatan yang dilakukan bersifat non spesifik dan empiris yang bertujuan untuk
mempertahankan kehidupan serta menopang setiap sistem organ yang terserang. Efektivitas
berbagai cara pengobatan yang dianjurkan belum pernah dinilai secara objektif.
20

Referat Infeksi pada Susunan saraf


6. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh
7. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.
8. Lain-lain, perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi untuk mengantisipasi
kebutuhan pernapasan buatan
Gejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf pusat
dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran, sistem
kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap.
Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus
maupun gangguan mental sering terjadi Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus,
epilepsi, retardasi mental karena kerusakan SSP berat.(8)
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping itu perlu
dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul selama perawatan.
Edema otak dapat sangat mengancam kehidupan penderita.(8)

2.3.2.1 Ensefalitis Herpes simpleks (3,9)

21

Referat Infeksi pada Susunan saraf

Gambar 7. Axial T2WI (A-C) dan coronal FLAIR (D) pada pasien herpes ensefalitis menunjukkan typical
cortical/subcortical high signal di kedua lobus temporal, insula kanan.12

Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus varisela, dan
sitomegalovirus. Secara serologik memang dapat dibedakan dengan tegas. Neonatus masih
mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah umur 6 bulan imunitas itu lenyap dan bayi
dapat mengidap gingivo-stomatitis virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan
berlokalisasi pada perbatasan mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi-infeksi
tersebut jinak sekali. Tetapi apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal terhadap
virus herpes simpleks atau apabila pada partus neonatus ketularan virus herpes simpleks dari
ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia.
Ensefalitis merupakan sebagian dari manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan
dan nekrosis di hepar dan glandula adrenalis.
Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan
manifestasi reaktivitasi dari infeksi yang latent. Dalam hal tersebut virus herpes simpleks
berdiam didalam jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin digangglion Gasseri dan
hanya ensefalitis saja yang bangkit.
Reaktivitas virus herpes simpleks dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang pernah
disebut diatas, yaitu penyinaran ultraviolet dan gangguan hormonal. Penyinaran ultraviolet

22

Referat Infeksi pada Susunan saraf


dapat terjadi secara iatrogenik atau sewaktu berpergian ke tempat-tempat yang tinggi
letaknya.
Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan grisea serta
infark iskemik dengan infiltrasi limpositer sekitar pembuluh darah intraserebral. Didalam
nukleus sel saraf terdapat inclusion body yang khas bagi virus herpes simpleks.
Gambaran penyakit ensefalitis virus herpes simpleks tidak banyak berbeda dengan
ensefalitis primer lainnya. Tetapi yang menjadi ciri khas bagi ensefalitis virus herpes
simpleks ialah progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam dan
muntah-muntah. Kemudian timbul acute organic brain syndrome yang cepat memburuk
sampai koma. Sebelum koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. Dan kejang epileptik
dapat timbul sejak permulaan penyakit. Pada fungsi lumbal ditemukan pleiositosis limpositer
dengan eritrosit.
Ada 2 type dari herpes simplex virus (HSV) infections HSV type 1 (HSV-1)
menyebabkan cold sores ( menyerupai jagung atau gandum semacam tetes) atau fever blisters
di sekitar mulut. HSV type 2 (HSV-2) menyebabkan genital herpes. HSV 1 adalah sangat
penting menyebabkan ensefalitis sporadic yang fatal di united states tetapi ini juga sangat
jarang kira-kira 2 kasus terjadi tiap juta orang setiap tahunnya.
Ensefalitis herpes simpleks (EHS) disebabkan oleh virus herpes simpleks dan
merupakan ensefalitis yang paling sering menimbulkan kematian. Angka kematian 70% bila
tidak diobati. Keberhasilan pengobatan ensefalitis herpes simpleks tergantung pada diagnosis
dini dan waktu memulai pengobatan. Virus herpes simpleks tipe I umumnya ditemukan pada
anak, sedangkan tipe II banyak ditemukan pada neonatus.
Asiklovir harus diberikan sesegera mungkin walaupun hanya secara empirik, bila ada
dugaan ensefalitis herpes simpleks berdasarkan penampilan klinis dan gambaran
laboratorium. Asiklovir memiliki toksisitas minimal.
Manifestasi Klinis
Ensefalitis herpes simpleks dapat bersifat akut atau subakut. Fase prodromal menyerupai
influenza, kemudian diikuti dengan gambaran khas ensefalitis. Empat puluh persen kasus

23

Referat Infeksi pada Susunan saraf


datang dalam keadaan komat atau semi-koma. Manifestasi klinis juga dapat menyerupai
meningitis aseptik
Manifestasi klinis tidak spesifik, karena itu diperlukan ketrampilan klinis yang tinggi.
Umumnya dipertimbangkan EHS bila dijumpai demam, kejang fokal, dan tanda neurologis
seperti hemiparesis dengan penurunan kesadaran yang progresif.
Pemeriksaan laboratorium

Gambaran daerah tepi tidak spesifik

Pemeriksaan cairan likuor memperlihatkan jumlah sel meningklat (90%) yang berkisar
antara 10-1000 sel/mm3. awalnya sel polimorfonuklear dominan, tetapi kemudian
berubah menjadi limfositosis. Protein dapat meningkat sampai 50-2000 mg/l dan
glukosa dapat normal atau menurun

EEG memperlihatkan gambaran yang khas, yaitu periodic lateralizing epileptiform


discharge atau perlambatan fokal di area temporal atau frontotemporal

Sering juga EEG memperlihatkan gambaran perlambatan umum yang tidak spesifik,
mirip gambaran disfungsi umum otak

CT kepala tetap normal dalam tiga hari pertama setelah timbulnya gejala neurologis,
kemudian lesi hipodens muncul di regio frontotemporal

T2-weight MRI dapat memperlihatkan lesi hiperdens di regio temporal paling cepat dua
hari setelah munculnya gejala

PCR likuor dapat mendeteksi titer antibodi virus herpes simpleks (VHS) dengan cepat.
PCR menjadi positif segera setelah timbulnya gejala dan pada sebagian besar kasus tetap
positif selama dua minggu atau lebih.

2.3.2.2 Ensefalitis Arbo-virus (3)


Arbovirus atau lengkapnya arthropod-borne virus merupakan penyebab penyakit
demam dan adakalanya ensefalitis primer. Virus tersebut tersebar diseluruh dunia. Kutu dan
nyamuk dimana virus itu berbiak menjadi penyebarannya.
Ciri khas ensefalitis primer arbo-virus ialah perjalanan penyakit yang bifasik. Pada
gelombang pertama gambaran penyakitnya menyerupai influensa yang dapat berlangsung 4-5
24

Referat Infeksi pada Susunan saraf


hari. Sesudahnya penderita mereka sudah sembuh. Pada minggu ketiga demam dapat timbul
kembali. Dan demam ini merupakan gejala pendahulu bangkitnya manifestasi neurologik, seperti
sakit kepala, nistagmus, diplopia, konvulsi dan acute organic brain syndrome.

2.3.2.3 Ensefalitis Parainfeksiosa (3)


Ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus parotitis epidemika,
mononukleosis infeksiosa, varisela dan herpes zooster dinamakan ensefalitis para-infeksiosa.
Tetapi ensefalitis ini sebenarnya tidak murni. Gejala-gejala meningitis, mielitis, neuritis kranialis,
radikulitis dan neuritis perifer dapat bergandeng dengan gambaran penyakit ensefalitis. Bahkan
tidak jarang komplikasi utamanya berupa radikulitis jenis Guillain Barre atau meilitis transversa
sedangkan manifestasi ensefalitisnya sangat ringan dan tidak berarti. Maka untuk beberapa jenis
ensefalitis para-infeksiosa, diagnosis mielo- ensefalitis lebih tepat daripada ensefalitis. Salah satu
jenis- ensefalitis viral yang fatal perlu disinggung dibawah ini, yaitu rabies.
2.3.2.4 Rabies (3)
Rabies disebabkan oleh virus neurotrop yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan
anjing atau binatang apapun yang mengandung virus rabies. Setelah virus rabies melakukan
penetrasi kedalam sel tuan rumah, ia dapat menjalar melalui seranut saraf perifer ke susunan
saraf pusat. Sel-sel saraf (neuron) sangta peka terhadap virus tersebut. Dan sekali neuron terkena
infeksi virus rabies, proses infeksi itu tidak dapat dicegah lagi. Dan tahp viremia tidak perlu
dilewati untuk memperluas infeksi dan memperburuk keadaan. Neuron-neuron di seluruh
susunan saraf pusat dari mendula spinalis sampai di korteks tidak akan luput dari daya destruksi
virus rabies. Masa inkubasi rabies ialah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Jika dalam
masa itu dapat diselenggarakan pencegahan supaya virus rabies tidak tiba di neuron-neuron maka
kematian dapat dihindarkan. Jika gejala-gejala prodromal sudah bangkit tidak ada cara
pengobatan yang dapat mengelakan progresivitas perjalanan penyakit yang fatal ini.
Gejala-gejala prodromalnya terdiri dari lesu, dan letih badan, anoreksia, demam, cepat marahmarah dan nyeri pada tempat yang telah digigit anjing. Suara berisik dan sinar terang sangta
menggagu penderita. Dalam 48 jam dapat bangkit gejala-gejala hipereksitasi. Penderita menjadi
gelisah, mengacau, berhalusinasi, meronta-ronta, kejang opistotonus, dan hidrofobia. Tiap kali
melihat air otot pernafasan dan larings berkejang, sehingga menjadi sianotik dan apnoe. Air liur
25

Referat Infeksi pada Susunan saraf


tertimbun didalam mulut oleh karena penderita tidak dapat menelan. Angin juga mempunyai efek
yang sama dengan air. Pada umumnya penderita meninggal karena status epileptikus. Masa
penyakit dari mula timbulnya prodom sampai mati adalah 3-4 hari saja.
2.3.2.5 Poliomyelitis anterior akuta (8)
Poliomyelitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh
virus. Polio telah disebut dengan banyak nama-nama yang berbeda, termasuk kelumpuhan anakanak, kelemahan dari anggota-anggota tubuh bagian bawah (kaki-kaki dan tangan-tangan), dan
spinal paralytic paralysis. Kita sekarang merujuk pada virus dan penyakit sebagai polio, yang
adalah kependekan untuk poliomyelitis dan mempunyai asal usul Yunani: polios (abu-abu),
myelos (sumsum), dan itis (peradangan).
Polio disebbkan oleh enterovirus, poliovirus (PV) yang sangat infeksius, yang terutama
mempengaruhi anak-anak muda dan disebarkan melalui kontak langsung orang ke orang, dengan
lendir, dahak, feces, yang terinfeksi atau oleh kontak dengan makanan dan air ang terkontaminasi
oleh feces dari individu lain yang terinfeksi. Virus berlipatganda dalam sistim pencernaan
dimana ia dapat juga menyerang sistim syaraf, menyebabkan kerusakan syaraf yang permanen
pada beberapa individu-individu.
Kebanyakan individu-individu yang terinfeksi dengan polio tetap asymptomatic atau
mengembangkan hanya gejala-gejala mirip flu yang ringan, termasuk kelelahan, malaise,
demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, dan muntah. Faktanya, gejala-gejala, jika hadir,
mungkin hanya berlangsung 48-72 jam; bagaimanapun, individu-individu itu akan terus menerus
melepaskan virus dalam feces mereka untuk periode yang berkepanjangan, melayani sebagai
reservoir (gudang) untuk infeksi-infeksi berikut. Kira-kira 2%-5% dari individu-individu yang
terinfeksi terus mengembangkan gejala-geala yang lebih serius yang mungkin termasuk
persoalan-persoalan pernapasan dan kelumpuhan. Sekarang ini, tidak ada penyembuhan untuk
polio; hanya vaksinasi dapat mencegah penyebaran dari penyakit, dan meskipun di dunia yang
telah berkembang (negara maju) hampir tidak terdengar, secara global, polio tetap penyakit yang
cukup umum. Mulanya, organisasi-organisasi internasional percaya mampu untuk membasmi
polio pada tahun 2000, namun ini telah menjadi lebih sulit daripada waktu awal diharapkan.
Gejala-gejala dari polio disebabkan oleh poliovirus, yang adalah virus RNA kecil yang
menyebar melalui kontak dengan lendir oral (mulut, hidung, dll). Paling umum, virus melekat

26

Referat Infeksi pada Susunan saraf


pada dan menginfeksi sel-sel usus, berlipatganda, dan dikeluarkan dalam feces dari individu
yang terinfeksi. Jarang, pada 2% dari kasus-kasus, virus menyebar dari sistim percernaan ke
sistim syaraf dan menyebabkan penyakit kelumpuhan.
Polio disebar dalam cara "oral-fecal". Infeksi dari orang ke orang terjadi dengan kontak
lendir, dahak, feces, yang terinfeksi atau dengan makanan dan air yang terkontaminasi oleh feces
dari individu lain yang terinfeksi.
Tanda-tanda dan gejala-gejala dari polio berbeda tergantung pada luas infeksi. Tandatanda dan gejala-gejala dapat dibagi kedalam polio yang melumpuhkan (paralytic) dan polio
yang tidak melumpuhkan (non-paralytic).
Pada polio non-paralytic yang bertanggung jawab untuk kebanyakan individu-individu
yang terinfeksi dengan polio, pasien-pasien tetap asymptomatic atau mengembangkan hanya
gejala-gejala seperti flu yang ringan, termasuk kelelahan, malaise, demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, dan muntah. Gejala-gejala, jika hadir, mungkin hanya bertahan 48-72 jam,
meskipun biasanya mereka bertahan untuk satu sampai dua minggu.
Paralytic polio terjadi pada kira-kira 2% dari orang-orang yang terinfeksi dengan virus
polio dan adalah penyakit yang jauh lebih serius. Gejala-gejala terjadi sebagai akibat dari sistim
syaraf dan infeksi dan peradangan sumsum tulang belakang (spinal cord). Gejala-gejala dapat
termasuk:

sensasi yang abnormal,

kesulitan bernapas,

kesulitan menelan,

retensi urin,

sembelit,

27

Referat Infeksi pada Susunan saraf

mengeluarkan air liur (ileran),

sakit kepala,

turun naik suasana hati,

nyeri dan kejang-kejang otot, dan

kelumpuhan.
Kira-kira 5%-10% dari pasien-pasien yang mengembangkan polio yang melumpuhkan
seringkali meninggal dari kegagalan pernapasan, karena mereka tidak mampu untuk bernapas
sendiri. Itulah sebabya mengapa sangat mendesak bahwa pasien-pasien menerima evaluasi dan
perawatan medis yang tepat. Sebelum era vaksinasi dan penggunaan dari ventilator-ventilator
modern, pasien-pasien akan ditempatkan dalam "iron lung" (ventilator bertekanan negatif, yang
digunakan untuk mendukung pernapasan pada pasien-pasien yang menderita polio yang
melumpuhkan).
Diagnosis dari polio adalah secara klinik. Sejarah dari paparan dengan tidak ada sejarah
vaksinasi sebelumnya adalah petunjuk awal. Sering, penyadapan tulang belakang untuk cairan
CSF dilakukan untuk membantu membedakan polio dari penyakit-penyakit lain yang awalnya
mempunyai gejala-gejala yang serupa (contohnya, meningitis). Setelah itu, pembiakanpembiakan virus (diambil dari tenggorokan, feces, atau cairan CSF) dan pengukuran dari
antibodi-antibodi polio mendukung diagnosis.
Tidak ada penyembuhan untuk polio, jadi pencegahan adalah sangat penting. Pasienpasien dengan polio non-paralytic perlu dimonitor untuk kemajuan pada polio paralytic. Pasienpasien dengan polio paralytic perlu dimonitor untuk tanda-tanda dan gejala-gejala dari kegagalan
pernapasan, yang mungkin memerlukan terapi-terapi penyelamatan nyawa seperti dukungan
pernapasan. Sebagai tambahan, sejumlah perawatan-perawatan tersedia untuk mengurangi
beberapa dari gejala-gejala yang kurang parah. Ada obat-obat untuk merawat infeksi-infeksi urin
dan retensi urin dan rencana-rencana manajemen nyeri untuk kejang-kejang otot. Sayangnya,
28

Referat Infeksi pada Susunan saraf


hanya ada tindakan-tindakan pendukung yang tersedia untuk merawat gejala-gejala dari polio
paralytic. Pasien-pasien yang pulih dari polio mungkin memerlukan terapi fisik, penunjangpenunjang tungkai, atau bahkan operasi orthopedic untuk memperbaiki fungsi fisik.
Sejarah dari vaksin polio adalah benar-benar sejarah sukses kedokteran. Ia masih belum
selesai karena polio masih menyebabkan penyakit yang signifikan pada area-area yang kurang
berkembang dari dunia seperti di India and Afrika.
Selama paruh terakhir dari abad ke 19 dan kedalam paruh pertama dari abad ke 20, polio
adalah epidemik global. Bahkan presiden masa depan Amerika, Franklin D. Roosevelt, mendapat
polio paralytic pada tahun 1921. Presiden Franklin D. Roosevelt adalah cukup berpengaruh
dalam meningkatkan keduanya kesadaran publik dan penelitian ilmiah yang berdedikasi pada
pembasmian penyakit. Pada tahun 1938, setelah mendirikan National Foundation for Infantile
Paralysis (March of Dimes), ada usaha yang signifikan untuk mengembangkan vaksin untuk
mencegah polio. Ini membuahkan hasil pada tahun 1955 ketika Dr. Jonas Salk mengembangkan
vaksin polio yang tidak diaktifkan yang dapat disuntikan atau injectable inactivated polio vaccine
(IVP) yang segera didistribusikan dan disuntikan pada anak-anak diseluruh Amerika dan Kanada.
Vaksin polio yang tidak diaktifkan sekarang ini telah ditingkatkan melalui waktu, namun sejak
tahun 1999, ia telah menjadi bentuk dari vaksin polio yang direkomendasikan di negara-negara
maju.
Pada tahun 1961, vaksin oral virus yang hidup terhadap polio (OVP) dikembangkan oleh
Albert Sabin yang menjadi tersedia dan digunakan secara luas dari tahun 1963 ke tahun 1999 di
negara-negara maju dan pada saat ini di negara-negara berkembang. Vaksin oral virus ini masih
direkomendasikan untuk mengontrol pandemik polio diseluruh dunia disebabkan oleh
pemasukannya yang mudah (tidak ada jarum-jarum yang diperlukan).
Kedua vaksin-vaksin telah dikembangkan untuk anak-anak karena mereka adalah
kelompok yang umumnya nampak berada pada risiko yang paling tinggi. Bagaimanapun, vaksin
oral (OVP) harus tidak diberikan pada anak-anak yang adalah immunodepressed karena mereka
dapat mengembangkan vaccine-associated paralytic poliomyelitis (VAPP).

29

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Vaksin yang disuntikan yang paling baru adalah vaksin polio yang tidak diaktifkan yang
ditingkatkan yang adalah lebih immunogenic (menghasilkan respon sistim imun yang kuat)
daripada IVP sebelumnya dan digunakan di Amerika; ia tidak menyebabkan VAPP. Original
OVP (juga diistilahkan tOVP) adalah vaksin oral trivalent (virus-virus polio tipe-tipe 1-3) namun
menyebabkan respon imun yang dapat diukur pada hanya kira-kira 40%-50% dari rang-orang
yang memperolehnya. Sayangnya, vaksin oral trivalent ini seringkali adalah tidak cukup cepat
immunogenic untuk menahan pelemahan atau pengeluaran dari sitim pencernaan oleh diare
kronis yang ada pada banyak pasien-pasien. OVP dimodifikasi pada tahun 2005 ke monovalent
(hanya virus polio tipe 1) yang diistilahkan mOVP1. Perubahan ini menyebabkan vaksin menjadi
tiga kali lebih immunogenic daripada original trivalent OVP dan menghasilkan respon imun pada
lebih dari 80% dari orang-orang yang memperoleh vaksin oral ini. Vaksin oral yang lebih baru
ini digunakan pada banyak negara-negara berkembang dimana tidak ada jarum-jarum atau
personal yang terlatih tersedia dan dimana diare kronis lebih jauh mengurangi keefektifan dari
original trivalent OVP. Monovalent OVP lain (contohnya, mOVP3, yang digunakan untuk
perjangkitan-perjangkitan yang jarang dari polio tipe 3) adakalanya digunakan.
Sekarang ini, empat dosis-dosis dari vaksin polio yang tidak diaktifkan atau inactivated
polio vaccine (IPV) direkomendasikan untuk anak-anak ketika mereka berumur 2 bulan, 4 bulan,
6-18 bulan, dan akhirnya pada umur 4-6 tahun.
Karena program-program vaksinasi, telah ada sangat sedikit kasus-kasus dari polio di
negara-negara barat sejak tahun 1970an, dan meskipun program-program pembasmian sekarang
ini diseluruh dunia terus menerus sukses, masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk
membasmi polio di negara-negara yang sedang berkembang.
2.3.2.6 Infeksi Slow Virus (3)
Beberapa penyakit yang hingga kini dianggap sebagai penyakit degenerative akibat faktor
yang belum diketahui, telah diselidiki sehubungan dengan infeksi slow virus. Penyakit
demensia Jakob-Creutzfeldt yang dahulu dianggap sebagai penyakit degenerative yang
mempunyai sifat familial, telah terbukti disebabkan oleh infeksi slow virus ialah kuru.
Penyakit ini dijumpai pada beberapa penduduk di Nugini. Jauh sebelum itu pada binatang sudah
30

Referat Infeksi pada Susunan saraf


ditemukan infeksi slow virus, yaitu penyakit yang dikenal sebagai scarpie dan visna pada
domba-domba.

2.4 Infeksi Bakteri pada Susunan Saraf


2.4.1 Meningitis Bakterial Akut (3,8)
Meningitis bakterial adalah infeksi purulen

ruang subarakhnoid. Biasanya akut,

fulminan, khas dengan demam, nyeri kepala, mual, muntah, dan kaku nukhal. Koma terjadi
pada 5-10 % kasus dan berakibat prognosis yang buruk. Kejang terjadi pada sekitar 20 % kasus,
dan palsi saraf kranial pada 5 %. Meningitis bakterial yang tidak ditindak hampir selalu fatal.
CSS secara

klasik memperlihatkan leukositosis polimorfonuklir, peninggian protein, dan

penurunan glukosa; pewarnaan Gram dari CSS memperlihatkan organisme penyebab pada 75
% kasus. Kultur CSS memberi diagnosis pada 90 % kasus dan perlu untuk melakukan tes
sensitifitas antibiotika

terhadap mikroba. Penurunan kesadaran, terutama bila berhubungan

dengan edema papil atau defisit neurologis fokal, mengharuskan dilakukannya CT scan
sebelum melakukan pungsi lumbar untuk menyingkirkan lesi massa atau hidrosefalus.
Hipertensi intrakranial difusa, tanpa adanya lesi massa pada CT scan bukan kontraindikasi
pungsi

lumbar, tentunya dengan pengetahuan

yang

baik tentang

herniasi serta

penanggulangannya. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan teliti daerah inflamasi


berdekatan seperti otitis dan sinusitis dan mencari etiologi bakteremia seperti endokarditis.
Kultur darah mungkin positif.
Penelitian binatang memperlihatkan etiologi primer meningitis
leptomeningeal bakteri

malalui

darah yang berkoloni

bakterial adalah invasi

dimukosa naso-faring.

Patogen

meningeal tersering adalah bakteria yang berkapsul. Setelah membentuk koloni dinasofaring,
bakteri berkapsul melintas epitel dan membuat jalan kealiran darah. Kapsul menghambat
fagositosis oleh neutrofil,

jadi

patogen

meningeal memperlihatkan kemampuan

mempertahankan bakteremia transien. Mekanisme selanjutnya dimana bakteri dalam darah


mencapai lepto-mening dan ruang subarakhnoid belum begitu diketahui.
Sumber lain meningitis bakterial adalah perluasan langsung dari infeksi otorinologis, walau
kejadiannya jelas dikurangi oleh terapi dini antibiotic yang efektif

terhadap otitis atau

sinusitis. Jarang, meningitis disebabkan inokulasi langsung pada cedera penetrating.


31

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Tindakan

terhadap

meningitis akut, tergantung sumber primer, usia pasien, organism

penyebab, dan sensitifitas antibiotik. Tindakan harus diarahkan pada infeksi CSS maupun
sumber primer. Meningitis yang terjadi sekunder terhadap bakteremia dan perluasan langsung
otorinal

cenderung disebabkan organisme yang biasa berkembang dinasofaring. Terdapat

pengaruh usia yang jelas pada meningitis oleh organism tersebut.

Meningitis setelah cedera

otak traumatika serta fraktura tengkorak, dengan atau tanpa otorinorea CSS, paling sering
diakibatkan

oleh

S.pneumoniae. Meningitis yang terjadi setelah luka penetrasi biasanya

disebabkan stafolikokal, streptokokal, atau organism gram negatif.


Terapi empiris harus diperbaiki bila organism penyebab sudah dikenal. Penisilin G dan
ampisilin diketahui mempunyai manfaat yang sama pada kebanyakan infeksi S.pneumoniae dan
N.meningitidis. Dengan meningkatnya H.influenzae yang membentuk beta-laktamase, saat ini
sekitar 25 %, menyebabkan pemakaian ampisilin dan kloramfenikol sebagai terapi empiris.
Seftriakson atau sefotaksim memperlihatkan manfaat

dan sekarang dipakai sebagai terapi

terpilih pada neonatus dan anak-anak. Walau sefuroksim, sefalo-sporin generasi kedua, pernah
umum digunakan untuk

H.influenzae,

tidak

lagi dianjurkan untuk

infeksi SSP karena

lambatnya sterilisasi CSS serta dilaporkan terjadinya meningitis H. influenzae pada saat terapi
sistemik. L. monocytogenes tidak sensitive sefalosporin dan terapi yang dianjurkan adalah
ampisilin atau penisilin G. Pilihan lain adalah trimetoprim sulfa-metoksazol. Pasien dengan
meningitis S. aureus harus ditindak

dengan nafsilin atau

oksasilin, dengan vankomisin

dicadangkan untuk strain resisten metisilin dan S. epidermidis. Lamanya terapi meningitis,
umumnya berdasar empiris dan tradisi; biasanya 7-14 hari untuk patogen meningeal utama, dan
21 hari untuk infeksi basil gram negatif. Tindakan terhadap meningitis basiler gram negative
mengalami revolusi dengan adanya sefalosporin generasi ketiga. Sefotaksim, seftazidim, dan
seftriakson dapat menembus CSS dan mecapai konsentrasi terapeutik hingga memungkinkan
terapi terhadap meningitis yang sebelumnya memerlukan terapi secara intratekal; 78-94 %
tingkat kesembuhan telah dilaporkan. Seftriakson, sefotaksim, dan

seftazidim

terbukti

bermanfaat. Sefalosporin generasi ketiga lainnya, seftizoksim dan sefoperazon, belum dinilai
dengan

baik.

Dianjurkan seftazidim dicadangkan untuk

pengobatan P.aeruginosa dalam

kombinasi dengan aminoglikosida. Kegagalan regimen ini mengharuskan


aminoglikosida intratekal atau intraventrikuler untuk memperkuat terapi.

32

pemberian

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Modifikasi inflamasi ruang subarachnoid dengan agen

anti inflamatori mungkin

memperkecil akibat meningitis bakterial. Penelitian mutakhir terapi tambahan deksametason


pada bayi dan

anak-anak dengan meningitis

bakterial

memperlihatkan

bahwa sekuele

neurologis jangka panjang, terutama retardasi mental dan kehilangan pendengaran, menurun
pada pemberian deksametason 0.15 mg/kg IV setiap 6 jam pada 4 hari pertama terapi, dan
tidak memperberat efek eradikasi infeksi. Saat ini penggunaan deksametason dianjurkan pada
pasien pediatrik berusia lebih dari 2 bulan.
2.4.2 Meningitis Tuberkulosa (8)

Gambar 8. Two cases of TB mimicking brain tumors.

Gambar 9. MR scans shows TB granuloma with

(A,B) Ring enhancing mass resembles GBM. (C,D) Dural

profoundly hypointense center with T2WI (A,B,panah

based mass resembles meningioma12

hitam), peripheral enhancement (C,D, panah putih)12

Penyakit ini merupakan meningitis yang sifatnya subakut atau kronis dengan angka kematian
dan kecacadan yang cukup tinggi. Menurut pengamatan, meningitis tuberkulosis merupakan
38,5% dari seluruh penderita dengan infeksi susunan saraf pusat yang dirawat di bagian Saraf RS
Dr Soetomo.
Manifestasi klinis :
Penulis menemukan adanya panas (94%), nyeri kepala (92%), muntah muntah, kejang dan
pemeriksaan neurologik menunjukkan adanya kaku tengkuk, kelumpuhan saraf kranial (terutama
33

Referat Infeksi pada Susunan saraf


N III, IV, VI, VII) (30%), edema papil dan kelumpuhan ekstremitas (20%) serta gangguan
kesadaran.
Diagnosis :
Diagnosis Meningitis tuberkulosis ditegakkan atas dasar :
1. Adanya gejala rangsangan selaput otak seperti kaku tengkuk, tanda Kernig dan Brudzinski.
2. Pemeriksaan CSS menunjukkan :
-- peningkatan sel darah putih terutama limfosit
-- peningkatan kadar protein
-- penurunan kadar glukosa
3. Ditambah 2 atau 3 dari kriteria dibawah ini :
-- ditemukannya kuman tuberkulosis pada pengecatan dan pembiakan CSS
-- kelainan foto toraks yang sesuai dengan tuberculosis
-- pada anamnesis kontak dengan penderita tuberkulosis aktif
Stadium : Pembagian klinis ke dalam 3 stadium :
-- Stadium I : kesadaran penderita baik disertai rangsangan selaput otak tanpa tanda neurologik
fokal atau tanda hidrosefalus.
-- Stadium II : didapatkan kebingungan dengan atau tanpa disertai tanda neurologis fokal
misalnya kelumpuhan otot mata bagian luar atau adanya hemiparesis.
-- Stadium III : penderita dengan stupor atau delirium dengan hemiparesis/ paraparesis.
Pengobatan :
Beberapa kombinasi obat pernah diberikan untuk menanggulangi penyakit ini namun pada
dasarnya obat tersebut harus dapat menembus barrier darah otak, berada dalam CSS dengan
kadar yang cukup efektif dan aktivitas anti tuberkulosis tinggi, resistensi dan kerja samping obat
yang minimal.
Di RS Dr Soetomo dipakai kombinasi :
-- Streptomisin 20 - 30 mg/kg/hari selama 2 minggu kemudian dijarangkan 3 kali/minggu hingga
klinis dan laboratorium baik (perlu waktu kira-kira 6 minggu).
-- INH 20 - 25 mg/kg/hari pada anak anak atau 400 mg/hari pada dewasa selama 18 bulan.
-- Etambutol 25 mg/kg/hari sampai sel cairan serebrospinal normal, kemudian diturunkan 15
mg/kg/hari selama 18 bulan.
-- Rifampisin 15 mg/kg/hari selama 6 - 8 minggu. Kortikosteroid hanya dianjurkan bila
ditemukan tanda edema otak.

34

Referat Infeksi pada Susunan saraf


2.4.3 Abses Serebri (8)

Gambar 10. Sagital (A) dan Coronal (B) menunjukkan solitary ring-enhancing mass.
(C,D) menunjukkan restricted diffusion.12

Abses otak adalah koleksi infeksi purulen berbatas tegas didalam parenkhima otak.
Perjalanan

waktu dan perubahan yang terjadi selama pembentukan abses

pada anjing

dikemukan oleh Britt. Sel inflamatori akut tampak pada pusat meterial yang nekrotik,
dikelilingi zona serebritis. Dengan maturasi, timbul neovaskularisasi
laun terbentuk

periferal dan lambat

cincin fibroblas yang menimbun kolagen dan makrofag, berakhir sebagai

kapsul berbentuk tegas. Apakah

serebritis menjadi abses yang berkapsul tergantung pada

interaksi pasien-organisme dan pengaruh terapi. Pada manusia dengan sitema imun baik,
proses sejak infiltrasi bakterial hingga abses berkapsul memerlukan sekitar 2 minggu. Daerah
terlemah dari kapsul cenderung merupakan daerah yang kurang vaskuler yang menghadap
ventrikel; karenanya migrasi sentrifugal proses inflamatori dengan ruptur ventrikuler dan
kematian merupakan sekuele yang umum pada masa prabedah dahulu kala.
Tanda dan gejala abses otak umumnya berhubungan dengan efek massa. Nyeri kepala,
defisit neurologis fokal, dan gangguan mentasi sering tampak. Demam terjadi pada 50 %
dari waktu, namun mungkin tidak ada atau sedikit bukti infeksi sistemik. Kejang terjadi pada
25-60 % pasien. Edema otak, efek massa, dan pergeseran garis tengah umum terjadi;
karenanya pungsi lumbar kontraindikasi dan mempunyai nilai klinis yang 10 % kasus.
Abses
bakteriologi
35

otak

umumnya

terjadi

sekunder

terhadap infeksi

ditempat

lain,

dan

sering menunjukkan sumber primer. Seperti empiema subdural, perluasan

Referat Infeksi pada Susunan saraf


intrakranial langsung dari sinus paranasal atau infeksi telinga adalah etiologi tersering. Lesi
ini adalah khas soliter dan ditemukan dilobus frontal pada sinusitis frontoetmoid, dilobus
temporal pada sinusitis maksiler, dan serebelum atau lobus temporal pada infeksi otologis.
Abses otak multipel menunjukkan penyebaran hematogen dari sumber jauh dan infeksi
sistemik yang umum seperti endokarditis bakterial, kelainan jantung kongenital sianotik,
pneumonia,

dan divertikulitis

harus

dicari.

Penyebaran

hematogen, terutama dari

endokarditis, mungkin berhubungan dengan aneurisma intrakranial piogenik.


Kontaminasi otak langsung melalui cedera otak penetrating adalah penyebab lain dari
abses. Fragmen tulang yang belum dibuang serta debris lainnya umum dijumpai pada pasien
dengan infeksi otak traumatika.
Pembentukan abses jarang terjadi selama perjalanan meningitis
merupakan faktor

bakterial,

namun

predisposisi pada 25 % abses otak pediatrik yang biasanya berkaitan

dengan meningitis Sitrobakter atau Proteus neonatal. Sebaliknya abses otak sering dijumpai
pada pasien dengan immunitas yang terganggu sekunder atas penggunaan steroid, kelainan
limfoproliferatif, dan transplantasi organ, dan absesnya cenderung multipel.
Organisme yang paling sering dijumpai pada abses otak adalah Streptokokus, Stafilokokus,
dan Bakteroides, dengan organisme multipel pada 10-20 % kasus. Terapi antibiotik empiris
berdasar lokasi lesi dan sumber infeksi yang sudah dikenal, namun beratnya penyakit serta
sering terjadinya infeksi yang tidak terduga menyebabkan dianjurkannya antibiotik jangkauan
luas atas gram positif, gram negatif, dan anaerob sebagai terapi empiris pada semua kasus.
CT scan mempunyai akurasi tinggi dalam melacak abses otak. Karena memberikan
deteksi yang dini dan memberikan lokalisasi yang akurat, CT scan paling bertanggungjawab
atas penurunan angka kematian dari 30-50 % kasus menjadi kurang dari 15 % dalam dua
decade terakhir.
Tujuan

terapi

adalah memastikan

segera

mikroba yang

bertanggung-jawab serta

sensitifitas antibiotik, pensterilan SSP dan infeksi primer, menyingkirkan efek massa segera,
dan mengurangi edema otak. Pemberian kortikosteroid kontroversial. Selama serebritis dan
tahap awal kapsulisasi, atau pada pasien dengan risiko bedah tinggi dengan abses kecil dan
organisme penyebab diketahui, terapi medikal dengan antibiotika parenteral mungkin cukup.
Diluar itu harus dilakukan drainasi bedah terhadap material purulen baik dengan aspirasi
maupun eksisi disertai antibiotika paling tidak 4 minggu. Operasi akan mengurangi efek
36

Referat Infeksi pada Susunan saraf


massa dan karenanya mengurangi aspek paling kritis dan berbahaya jenis infeksi ini. Operasi
juga akan

menunjukan organisme penyebab pada 60-80 % kasus, memungkinkan biakan

dapat dilakukan dengan teliti baik untuk organisme aerob maupun anaerob. Dianjurkan
tidak memberikan antibiotik prabedah bila operasi

dapat dilakukan segera karena kultur

steril bisa terjadi. Walau eksisi bedah memperlihatkan penurunan angka rekurensi, sekarang
banyak yang menganjurkan aspirasi abses otak stereotaktik yang dituntun ultrasonografi atau
CT scan, dan mencadangkan eksisi untuk lesi soliter dan superfisial, lesi yang mengandung
benda asing, atau gagal dengan aspirasi.
2.4.4 Abses Epidural Kranial (8)
Infeksi intrakranial terbatas diruang epidural

adalah komplikasi

yang jarang dari

kontaminasi jaringan epi dural baik traumatika atau operatif. Lebih sering diakibatkan oleh
perluasan osteomielitis berdekatan. Bila dura intak, infeksi jarang meluas secara transdural.
Tindakannya adalah drainasi, debridemen dan antibiotik sistemik.
Abses epidural tulang belakang lebih sering dan biasanya memerlukan bedah gawat
darurat. Khas dengan demam, nyeri tulang belakang lokal, dan progresi yang cepat dari defisit
neurologis. Nyeri radikuler serta mielopati sering terjadi dalam beberapa hari sejak gejala
awal. Kebanyakan abses epidural

disebabkan perluasan lokal dari osteomielitis tulang

belakang dan jarang melalui penyebaran hematogen dari infeksi jauh. CSS memperlihatkan
peninggian kadar protein yang jelas dan pleositosis ringan. Mielogram atau MRI menampilkan
perluasan massa epidural. Organisme penyebab
Streptococcus sp.

tersering adalah S. aureus dan terkadang

Basil gram negatif sering diisolasi dari pecandu obat

intravena.

Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab berupa laminektomi segera serta drainasi


abses diikuti terapi antibiotika spesifik jangka panjang. Pemulihan fungsi neurologi langsung
berhubungan dengan lama dan beratnya gangguan sebelum operasi.

2.4.5 Abses Subdural Kranial (8)


Empiema subdural, infeksi purulen ruang subdural, terjadi karena perluasan langsung
melalui mening saat meningitis pada neonatus dan bayi, atau sebagai komplikasi sinusitis
37

Referat Infeksi pada Susunan saraf


paranasal atau otitis pada anak dan dewasa muda. Jarang secara hematogen dari infeksi jauh,
dan kontaminasi langsung dari trauma pernah dilaporkan. Diagnosis didasarkan pada temuan
klinis dan radiografis. Nyeri kepala, demam, dan

meningismus merupakan keluhan yang

umum dan dapat timbul sejak 1-8 minggu sebelumnya. Kejang dan defisit fokal juga biasa
terjadi. CT scan dan MRI memperlihatkan koleksi subdural; namun massa mungkin isodens
pada CT scan, hingga memerlukan penguatan zat kontras agar jelas terlihat. Pencitraan juga
berguna dalam mendiagnosis infeksi sinus atau mastoid penyebab. Risiko pungsi lumbar pada
penderita

yang

diduga

memiliki

massa

intracranial mengharuskan

dibatalkankannya

tindakan ini hingga CT scan memastikan tidak adanya efek massa intrakranial. Analisis CSS
jarang sebagai diagnostik, namun bisa menampakkan perubahan inflamatori nonspesifik.
Sumber otorinologis empiema subdural biasanya disebabkan streptokoki, stafilokoki dan
koki anaerob. Kelainan sinus paranasal adalah faktor etiologi yang paling sering pada literatur
barat. Sekali ruang

subdural terkena, infeksi akan menyebar diatas konveksitas otak serta

kefisura interhemisferik dan fisura Sylvian. Penyebaran infratentorial terjadi pada 3-10 %
infeksi, selalu

sekunder dari perluasan otitis.

Akumulasi

pus sering

cukup

untuk

menimbulkan massa intrakranial. Reaksi inflamasi hebat memacu pembengkakan dan edema
otak. Tampilan klinisnya adalah perburukan neurologis cepat, sering dengan defisit fokal, koma
dan mati.
Empiema subdural sekunder terhadap meningitis umumnya bilateral dan kurang fulminan
dibanding yang sekunder terhadap infeksi otorinologis. H.influenza adalah organisme utama;
namun empiema S.pneumonia juga sering dilaporkan. Hidrosefalus komunikating bisa terjadi
karena resorpsi diatas konveksitas otak terganggu oleh infeksi.
Sebelum ditemukan penisilin, empiema subdural selalu fatal. Dengan antibiotika sistemik
dan drainasi bedah, tingkat mortalitas 25 %, dengan outcome buruk sangat tergantung pada
tingkat kesadaran sebelum tindakan dan ketidakmampuan mengetahui organism patogenik.
Bannister menganjurkan kraniotomi primer dengan bukaan luas, eksplorasi subdural agresif,
dan debridemen yang baik dari material purulen material dari permukaan otak. Laporan
mutakhir memperlihatkan pengurangan outcome yang buruk dan mortalitas secara bermakna
pada tindakan kraniotomi dibanding dengan drainasi bur hole.
Sumber infeksi harus ditindak agresif, drainasi sinus dan mastoid sering diperlukan.
Antikonvulsan profilaktik dianjurkan karena insidens yang tinggi dari kejang.
38

Keberhasilan

Referat Infeksi pada Susunan saraf


tindakan

nonbedah

pernah dilaporkan dengan mencoba terapi antibiotik saja pada pasien

dengan status neurologis utuh; pemeriksaan neurologis normal; dan lesi tunggal dan terbatas
pada CT scan.
Empiema subdural tulang belakang jarang. Biasanya timbul dari ekstensi transdural lokal
dari osteomielitis tulang belakang, atau melalui arakhnoid pada meningitis. Kompresi kord
tulang belakang dan mielitis transversa mungkin terjadi. Tindakan berupa drainasi emergensi
melalui laminektomi serta pemberian antibiotik jangka lama.
2.4.6 Efusi Subdural (3)
Transudat yang tertimbun dibawah dura dinamakan efusi subdural. Transudat ini merupakan
komplikasi dari meningitis, terutama meningitis H.Influenza. keadaan tersebut harus dicurigai
apabila demam dan kaku kuduk sudah mereda tetapi penderita tetap memperlihatkan kesadaran
dan keadaan umum yang belum membaik. Karena lokalisasinya, korteks serebri dapat terangsang
oleh efusi itu dan menimbulkan epilepsy fokal. Disamping itu tentunya gejala-gejala tekanan
intracranial yang mininggi dapat ditemukan juga.
2.4.7 Tromboflebitis Kranial (3)
Tromboflebitis dapat merupakan komplikasi dari osteomielitis tulang tengkorak, mastoiditis,
sinusitis, abses subdural ataupun infeksi pada daerah wajah yang menggunakan system venous
intracranial untuk darah baliknya. Salah satu jenis tromboflebitis yang memperlihatkan
gambaran penyakit yang kompleks ialah tromboflebitis sinus kavernosus, yang lebih sering
dinamakan thrombosis sinus kavernosus. Infeksi primernya ialah sinusitis frontalis atau
sfenoiditis ataupun etmoiditis. Infeksi sinus tranversus atau vena jugularis dapat juga menjalar ke
sinus kavernosus melalui sinus petrosus. Kemungkinan lain, ialah emboli septic dari bisul didahi,
karena aliran venous darid ahi bermuara di sinus kavernosus. Infeksi sinus kavernosus cepat
membentuk thrombus, sehingga menyumbat aliran darah balik. Gejala0gejala akibat
penyumbatan timbul pada salah satu sisi, tetapi kemudian secara bilateral. Pada tahap
penyebaran kuman didapati gejala-gejala : demam, sakit kepala, muntah dan mual. Obstruksi
vena oftalmika yang menghantarkan darah ke sinus kavernosus mengakibatkan timbulnya edema
diruang orbita serta kelopak mata. Karena itu ptosis, kemosis dan eksoftalmus dapat terlihat.
Gerakan bola mata keseluruh jurusa terbatas karena edema orbital juga. Tetapi kemudian saraf

39

Referat Infeksi pada Susunan saraf


otak ke 3, 4, dan 6 mengalami gangguan akibat distensi dinding sinus kavernosus. Pada tahap ini
retina memperlihatkan hemoragi dan papiledema dengan gangguan daya penglihatan.
Sebelum gejala-gejala sinus kavernosus timbul secara lengkap pada salah satu orbita, pada
sisi lain sudah berkembang juga manifestasi thrombosis sinus kavernosus yang tunggal. Dengan
pengobatan antibiotika penyakit terlukis diatas dapat disembuhkan, tetapi sebelum zaman
antibiotika selalu diakhiri dengan kematian.
2.4.8 Abses Epidural Spinal (3)
Duramater tulang belakang terpisah dari arkus vertebra oleh jaringan pengikat yang longggar.
Jaringan tersebut seolah-olah menyediakan ruang untuk kuman yang dapat membentuk abses.
Karena itu, manifestasi abses epidural spinalis yang mencerminkan efek proses desak ruang dari
sisi posterior.
Factor etiologi dan presipitasi yang penting bagi abses epidural yang akut ialah diabetes
mellitus dan infeksi Staphylococcus aureus yang berupa bisul di kulit atau osteomyelitis pada
korpus, lamina atau pedikel tulang belakang. Yang paling sering terkena adalah bagian torakal.
Bagi jenis yang kronik, spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit primernya.
Tergantung pada lokasi abses epidural, maka paraplegi dengan deficit sensorik akan
berkembang secara berangsur-angsur. Kompresi medula spinalis mulai dengan nyeri tulang
belakang, kemudian nyeri radikuler, dan paraplegia akan tibul sedikit demi sedikit dengan
gangguan perasaan getar, gerak, dan posisi sebagai gejala dininya. Pemeriksaan penunjang untuk
menentukan diagnosis yang penting meliputi kultur darah dan MRI medulla spinalis. Bila MRI
tidak memungkinkan maka bisa dilakukan CT myelography. Lumbal punksi dikontraindikasikan
pada pasien dengan kecurigaan abses epidiral spinal ini karena dikhawatirkan dapat
menyebarkan materi purulen kedalam ruang subarachnoid.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi pengobatan medis dan pengobatan bedah. Terapi
medis meliputi pemberian antibiotic yang adekuat dan harus diberikan sedini mungkin. Durasi
dari pengobatan ini biasanya mencapai 3-4 minggu. Karena agen yang biasa menginfeksi ialah
S.aureus, maka terapi yang diberikan ialah dari golongan penicillin, cephalosporin, atau
vancomycin. Contoh-contoh preparat yang digunakan ialah Ceftriaxone (Rocephin), Nafcillin
(Unipen), Cefazolin (Ancef, Kefzol, Zolicef), Vancomycin (Vancocin).
Terapi bedah yang biasa digunakan ialah dekompresi pada tulang belakang dan drainase
abses, indikasi terapi pembedahan ini ialah adanya peningkatan deficit neurologik, rasa sakit
40

Referat Infeksi pada Susunan saraf


menjadi-jadi dan demam yang menetap, serta leukositosis. Keberhasilan terapi dilaporkan
dengan menggunakan kombinasi antara aspirasi abses dan terapi antibiotic yang adekuat.
Komplikasi yang biasa terjadi pada cedera spinal meliputi disfungsi kandung kemih,
decubiti, supine hypertension, sepsis berulang, dan lain sebagainya. Prognosis pada pasien
dengan penyakit ini bervariasi, bergantung pada onset dan derajat penyakit pada saat pertama
kali ditemukan.
2.4.9 Abses Subdural Spinal (3)
Abses ini jarang dijumpai. Bila ada, gejala-gejalanya juga sukar dibedakan dari abses
epidural spinal. Orang-orang yang mendapatkannya biasanya juga penderita diabetes mellitus
yang mempunyai bisul atau infeksi fokal lainnya.
2.4.10 Tetanus (8)
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.
Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan
toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah
anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut
menghasilkan pencegahan dari tetanus.
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena
terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum).
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa level dari
susunan syaraf pusat, dengan cara :
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin mengganggu
fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.

41

Referat Infeksi pada Susunan saraf


c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan
gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung,
peninggian cathecholamine dalam urine.
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari
arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya
aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot
masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap
afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi
agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu
anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk
kedalam susunan syaraf pusat.
Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi secara
sentripetal atau secara retrogard mcncapai CNS. Penjalaran terjadi didalam axis silinder dari
sarung parineural. Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar secara luas melalui
darah (hematogen) dan jaringan/sistem lymphatic.
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa
minggu ).
Karekteristik dari tetanus

Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.

42

Referat Infeksi pada Susunan saraf

Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot
masetter.

Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )

Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut

mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat.


Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan

eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.


Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin,
bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).

Selama eksotosin masih diproduksi terapi untuk memberantas manifestasi tetanus tidak
bermanfaat. Maka eksisi tempat klostridium tetani masuk kedalam tubuh harus dilakukan,
supaya kumanya ikut terbuang dan produksi eksotoksin tidak ada lagi.
2.4.11 Lepra (8)
Lepra (penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya
kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah
zakar (testis) dan mata. Penyebab bakteri Mycobacterium leprae.
Cara penularan lepra belum diketahui secara pasti. Jika seorang penderita lepra berat dan
tidak diobati bersin, maka bakteri akan menyebar ke udara. Sekitar 50% penderita kemungkinan
tertular karena berhubungan dekat dengan seseorang yang terinfeksi. Infeksi juga mungkin
ditularkan melalui tanah, armadillo, kutu busuk dan nyamuk.
Sekitar 95% orang yang terpapar oleh bakteri lepra tidak menderita lepra karena sistem
kekebalannya berhasil melawan infeksi. Penyakit yang terjadi bisa ringan (lepra tuberkuloid)
atau berat (lepra lepromatosa). Penderita lepra ringan tidak dapat menularkan penyakitnya
kepada orang lain.
Lebih dari 5 juta penduduk dunia yang terinfeksi oleh kuman ini. Lepra paling banyak
terdapat di Asia, Afrika, Amerika Latin dan kepulauan Samudra Pasifik. Infeksi dapat terjadi
pada semua umur, paling sering mulai dari usia 20an dan 30an. Bentuk lepromatosa 2 kali lebih
sering ditemukan pada pria.

43

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru muncul
minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7). Gejala dan tanda yang
muncul tergantung kepada respon kekebalan penderita.
Jenis lepra menentukan prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan
kebutuhan akan antibiotik.
Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih yang
datar.
Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah merusak saraf-sarafnya.
Pada lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar dengan
berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, termasuk alis dan bulu mata.
Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki gambaran kedua
bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra tuberkuloid; jika
kaeadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa.
Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi reaksi
kekebalan tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit, saraf tepi dan
kelenjar getah bening, sendi, buah zakar, ginjal, hati dan mata. Pengobatan yang diberikan
tergantung kepada jenis dan beratnya reaksi, bisa diberikan kortikosteroid atau talidomid.
Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan hampir
semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf tepi.
Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis. Kemampuan untuk merasakan sentuhan,
nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang mengalami kerusakan saraf tepi tidak
menyadari adanya luka bakar, luka sayat atau mereka melukai dirinya sendiri. Kerusakan saraf
tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan jari-jari tangan seperti sedang
mencakar dan kaki terkulai. Karena itu penderita lepra menjadi tampak mengerikan.
Penderita juga memiliki luka di telapak kakinya. Kerusakan pada saluran udara di hidung
bisa menyebabkan hidung tersumbat. Kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan. Penderita
lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan
kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
Selain serabut saraf sensorik, juga serabut saraf autonom ikut terkena, maka gejala
manifestasi lepra saraf tepi berupa neuritis, terutama neuritis trofosensorik, dimana deficit
sensorik dan gangguan trofik menonjol sekali.
44

Referat Infeksi pada Susunan saraf

2.4.12 Botulisme (8)


Botulism adalah jarang terjadi, racun yang mengancam nyawa disebabkan oleh racun-racun
yang dihasilkan oleh bakteri clostridium botulinum.

Racun botulism, biasanya dikonsumsi dalam makanan, bisa melemahkan atau melumpuhkan

otot.
Botulism bisa mulai dengan mulut kering, penglihatan ganda, dan ketidakmampuan untuk

fokus pada mata atau dengan gangguan lambung.


Dokter meneliti contoh darah, kotoran, atau jaringan luka, dan electromyography

kemungkinan dilakukan.
Penyiapan dan penyimpanan makanan dengan hati-hati membantu mencegah botulism.
Antitoksin digunakan untuk mencegah atau memperlambat efek racun.
Botulism biasanya merupakan jenis makanan beracun.
Racun yang menyebabkan botulism, yang sangat berpotensi racun, bisa sangat merusak

fungsi syaraf. Karena racun ini merusak syaraf, mereka disebut neurotoxin. Racun botulism
melumpuhkan otot dengan menghambat pelepasan pada neurotransmitter acetycholine dari
syaraf. Pada dosis yang sangat kecil, racun bisa digunakan untuk menghilangkan kejang otot dan
untuk mengurangi kerutan.
Bakteri clostridium botulinum membentuk sel reproduksi yang disebut spora. Seperti biji,
spora bisa hidup di bagian yang tidak aktif untuk beberapa tahun, dan mereka sangat bersifat
melawan terhadap kerusakan. Ketika kelembaban dan bahan bergizi ada dan oksigen tidak ada
(seperti pada usus atau botol atau kaleng bersegel), spora tersebut mulai bertumbuh dan
menghasilkan racun. Beberapa racun dihasilkan oleh clostridium botulinum tidak dihancurkan
oleh enzim pelindung usus.
Clostridium botulinum adalah banyak di lingkungan sekitar, dan spora bisa ditransportasikan
oleh udara. Kebanyakan kasus pada botulism dihasilkan dari pencernaan atau penghisapan pada
kotoran dan debu dalam jumlah kecil. Spora bisa juga memasuki tubuh melalui mata atau luka di
kulit.
45

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Terdapat beberapa bentuk berbeda pada botulism.
Foodborne botulism terjadi ketika makanan terkontaminasi dengan racun dimakan. Sumber
yang paling umum pada foodborne botulism adalah makanan kaleng rumahan, terutama makanan
berisi asam rendah, seperti asparagus, kacang hijau, bit, dan jagung. Sumber lainnya termasuk
irisan bawang putih dalam minyak, lada cabe rawit, tomat, kentang bakar dibungkus kertas perak
yang tengah dibiarkan pada suhu ruangan terlalu lama, ikan kaleng rumahan dan fermentasi.
Meskipun begitu, sekitar 10% penguraian terjadi dari makan makanan cepat saji, sangat sering
terjadi, sayuran, ikan, buah-buahan, dan rempah-rempah (seperti salsa). Jarang terjadi, daging,
produk susu, daging babi, unggas, dan makanan lain yang menyebabkan botulism.
Luka botulism terjadi ketika clostridium botulinum mengkontaminasi luka atau masuk ke
dalam jaringan lain. Di dalam luka, bakteri menghasilkan racun yang diserap ke dalam aliran
darah. Obat-obatan suntik dengan jarum yang tidak disterilisasi bisa menyebabkan botulism jenis
ini, sebagaimana bisa disuntikkan mengandung heroin ke dalam otot atau di bawah kulit (kulit
melepuh).
Botulism bayi terjadi pada bayi yang makan makanan mengandung spora pada bakteri
dibanding racun. Spora tersebut kemudian berkembang di dalam usus bayi, dimana mereka
menghasilkan racun, penyebab pada kebanyakan kasus tidak diketahui, tetapi beberapa kasus
telah dihubungkan dengan pencernaan pada madu. Botulism bayi terjadi paling umum diantara
bayi yang lebih muda dari usia 6 bulan.
Gejala-gejala pada foodborne botulism terjadi tiba-tiba, biasanya 18 sampai 36 jam setelah
racun memasuki tubuh, meskipun gejala-gejala bisa mulai lebih cepat selama 4 jam atau
selambat-lambatnya 8 hari setelah mencerna racun. Racun yang lebih banyak diserap, lebih cepat
orang menjadi sakit. Biasanya, orang menjadi sakit dalam waktu 24 jam makan makanan
terkontaminasi adalah yang sangat parah terkena.
Gejala-gejala pertama pada foodborne atau luka botulism biasanya termasuk mulut kering,
penglihatan ganda, kelopak mata layu, dan ketidakmampuan untuk fokus pada benda di
sekitarnya. Pupil pada mata tidak mengkerut dengan normal ketika terkena sinar selama
pemeriksaan mata. Bagaimanapun, pada foodborne botulism, gejala-gejala pertama seringkali
46

Referat Infeksi pada Susunan saraf


mual, muntah, kram perut, dan diare. Orang yang memiliki luka botulism tidak mengalami
gejala-gejala pencernaan apapun.
Kerusakan syaraf oleh racun mempengaruhi kekuatan otot tetapi bukan indra perasa. Nada
otot pada wajah kemungkinan hilang. Berbicara dan menelan menjadi sulit. Karena kesulitan
menelan maka, makanan atau ludah seringkali terhisap (asoirated) ke dalam paru-paru,
menyebabkan cekikan atau sumbatan dan meningkatkan resiko pneumonia. Beberapa orang
menjadi sembelit. Otot pada lengan dan kaki dan otot yang berhubungan dalam pernafasan
menjadi lemah secara progresif sebagaimana gejala-gejala secara bertahap menurunkan tubuh.
Masalah pernafasan kemungkinan mengancam nyawa. Pikiran biasanya tetap jernih.
Pada sekitar 90% bayi dengan infant botulism, sembelit adalah gejala awal. Kemudian otot
menjadi lumpuh, dimulai dari wajah dan kepala dan segera menuju lengan, kaki dan otot yang
berhubungan dengan pernafasan. Kelopak mata layu, menangis lemah, bayi tidak bisa
menghisap, dan wajah mereka kehilangan ekspresi. Kisaran masalah dari menjadi lemah dan
lambat makan sampai kehilangan nada otot dalam jumlah besar dan mengalami kesulitan
bernafas. Ketika bayi kehilangan nada otot, mereka bisa merasa timpang yang abnormal.

2.5 Infeksi Spiroketa pada Susunan Saraf


2.5.1 Leptospirosis (8)
Leptospirosis adalah penyakit manusia dan hewan dari kuman dan disebabkan kuman
Leptospira yang ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan yang terkena.
Penularan leptospirosis melalui air minum yang terkontaminasi dengan kencing host
leptospira seperti tikus, kelinci, marmot. Penularan antar manusia tidak pernah terjadi karena
leptospira tidak dapat hidup dalam urine manusia yang keasamannya rendah.
Kuman masuk kedalam traktus digestivus menyebar melalui pembuluh darah ke organ-organ
tubuh terutama ke hati dan ginjal kemudian menimbulkan reaksi peradangan, oedema akhirnya
terjadi hepatic failure dengan ikterus obstruktif, renal failure.
Gejala dini Leptospirosis umumnya adalah demam, sakit kepala parah, nyeri otot, merah,
muntah dan mata merah. Aneka gejala ini bisa meniru gejala penyakit lain seperti selesma, jadi
menyulitkan diagnosa. Malah ada penderita yang tidak mendapat semua gejala itu.
47

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Gejala lain yang menyertainya : myalgia, konjunctivitis perikorneal, uveitis, hemorhagi,
meningitis leptospirosis (paling sering 50%), hemorhagi serebri. Meningitis leptospirosis
menyerupai meningitis serosa / meningitis aseptic.
Ada penderita Leptospirosis yang lebih lanjut mendapat penyakit parah, termasuk penyakit
Weil yakni kegagalan ginjal, sakit kuning (menguningnya kulit yang menandakan penyakit hati)
dan perdarahan masuk ke kulit dan selaput lendir. Pembengkakan selaput otak atau Meningitis
dan perdarahan di paru-paru pun dapat terjadi. Kebanyakan penderita yang sakit parah
memerlukan rawat inap dan Leptospirosis yang parah malah ada kalanya merenggut nyawa.

2.5.2 Sifilis (3,8)


Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum.
Bakteri ini masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya di vagina atau mulut)
atau melalui kulit. Dalam beberapa jam, bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening terdekat,
kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Sifilis juga bisa menginfeksi janin
selama dalam kandungan dan menyebabkan cacat bawaan.
Seseorang yang pernah terinfeksi oleh sifilis tidak akan menjadi kebal dan bisa terinfeksi
kembali. Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 1-13 minggu setelah terinfeksi; rata-rara 3-4
minggu. Infeksi bisa menetap selama bertahun-tahun dan jarang menyebabkan kerusakan
jantung, kerusakan otak maupun kematian.
Infeksi oleh Treponema pallidum berkembang melalui 4 tahapan:
1.

Fase Primer.
Terbentuk luka atau ulkus yang tidak nyeri (cangker) pada tempat yang terinfeksi; yang
tersering adalah pada penis, vulva atau vagina. Cangker juga bisa ditemukan di anus, rektum,
bibir, lidah, tenggorokan, leher rahim, jari-jari tangan atau bagian tubuh lainnya. Biasanya
penderita hanya memiliki1 ulkus, tetapi kadang-kadang terbentuk beberapa ulkus. Cangker
berawal sebagai suatu daerah penonjolan kecil yang dengan segera akan berubah menjadi suatu
ulkus (luka terbuka), tanpa disertai nyeri. Luka tersebut tidak mengeluarkan darah, tetapi jika
digaruk akan mengeluarkan cairan jernih yang sangat menular. Kelenjar getah bening terdekat
biasanya akan membesar, juga tanpa disertai nyeri.
48

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Luka tersebut hanya menyebabkan sedikit gejala sehingga seringkali tidak dihiraukan.
Luka biasanya membaik dalam waktu 3-12 minggu dan sesudahnya penderita tampak sehat
secara keseluruhan.
2.

Fase Sekunder.
Fase sekunder biasanya dimulai dengan suatu ruam kulit, yang muncul dalam waktu 6-12
minggu setelah terinfeksi. Ruam ini bisa berlangsung hanya sebentar atau selama beberapa
bulan. Meskipun tidak diobati, ruam ini akan menghilang. Tetapi beberapa minggu atau bulan
kemudian akan muncul ruam yang baru.
Pada fase sekunder sering ditemukan luka di mulut. Sekitar 50% penderita memiliki pembesaran
kelenjar getah bening di seluruh tubuhnya dan sekitar 10% menderita peradangan mata.
Peradangan mata biasanya tidak menimbulkan gejala, tetapi kadang terjadi pembengkakan saraf
mata sehingga penglihatan menjadi kabur. Sekitar 10% penderita mengalami peradangan pada
tulang dan sendi yang disertai nyeri. Peradangan ginjal bisa menyebabkan bocornya protein ke
dalam air kemih. Peradangan hati bisa menyebabkan sakit kuning (jaundice). Sejumlah kecil
penderita mengalami peradangan pada selaput otak (meningitis sifilitik akut), yang menyebabkan
sakit kepala, kaku kuduk dan ketulian.
Di daerah perbatasan kulit dan selaput lendir serta di daerah kulit yang lembab, bisa terbentuk
daerah yang menonjol (kondiloma lata). Daerah ini sangat infeksius (menular) dan bisa kembali
mendatar serta berubah menjadi pink kusam atau abu-abu. Rambut mengalami kerontokan
dengan pola tertentu, sehingga pada kulit kepala tampak gambaran seperti digigit ngengat. Gejala
lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam
dan anemia.

3.

Fase Laten.
Setelah penderita sembuh dari fase sekunder, penyakit akan memasuki fase laten dimana
tidak nampak gejala sama sekali. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh
tahun atau bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius
kembali muncul . dan apabila penyebab manifestasi sifilis tahap kedua itu tidak dikenal maka
infeksi treponema palidum akan terus berjalan tanpa halangan, sehingga susunan saraf pusat juga
akan mengalami invasi kuman tersebut. Dalam hal ini kuman akan tersebar secara difus
49

Referat Infeksi pada Susunan saraf


dikorteks serebri dan bagian-bagian susunan safar pusat lainnya. Gambaran penyakit berupa
organic brain syndrome. Prodromnya bersifat umum seperti sakit kepala, insomnia, cepat lupa,
daya konsentrasi mengurang dan letih badan. Tetapi selanjutnya akan timbul demensia dengan
perubahan watak bahkan psikosis.
4.

Fase Tersier.
Pada fase tersier penderita tidak lagi menularkan penyakitnya. Gejala bervariasi mulai
ringan sampai sangat parah. Gejala ini terbagi menjadi 3 kelompok utama :

Sifilis tersier jinak. Pada saat ini jarang ditemukan. Benjolan yang disebut gumma muncul di
berbagai organ; tumbuhnya perlahan, menyembuh secara bertahap dan meninggalkan jaringan
parut. Benjolan ini bias ditemukan di hampir semua bagian tubuh, tetapi yang paling sering
adalah pada kaki dibawah lutut, batang tubuh bagian atas, wajah dan kulit kepala. Tulang juga
bisa terkena, menyebabkan nyeri menusuk yang sangat dalam yang biasanya semakin memburuk

di malam hari.
Sifilis kardiovaskuler. Biasanya muncul 10-25 tahun setelah infeksi awal. Bisa terjadi
aneurisma aorta atau kebocoran katup aorta. Hal ini bias menyebabkan nyeri dada, gagal

jantung atau kematian.


Neurosifilis. Sifilis pada sistem saraf terjadi pada sekitar 5% penderita yang tidak diobati. 3 jenis
utama dari neurosifilis adalah neurosifilis meningovaskuler, neurosifilis paretik dan neurosifilis
tabetik.
Neurosifilis meningovaskuler. Merupakan suatu bentuk meningitis kronis. Gejala yang
terjadi tergantung kepada bagian yang terkena, apakah otak saja atau otak dengan medulla
spinalis:

Jika hanya otak yang terkena akan timbul sakit kepala, pusing, konsentrasi yang buruk, kelelahan
dan kurang tenaga, sulit tidur, kaku kuduk, pandangan kabur, kelainan mental, kejang,
pembengkakan saraf mata (papiledema), kelainan pupil, gangguan berbicara (afasia) dan

kelumpuhan anggota gerak pada separuh badan.


Jika menyerang otak dan medulla spinalis gejala berupa kesulitan dalam mengunyah, menelan
dan berbicara; kelemahan dan penciutan otot bahu dan lengan; kelumpuhan disertai kejang otot
(paralisa spastis); ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dan peradangan
sebagian dari medulla spinalis yang menyebabkan hilangnya pengendalian terhadap kandung
kemih serta kelumpuhan mendadak yang terjadi ketika otot dalam keadaan kendur (paralisa
flasid).
50

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Neurosifilis paretik. Juga disebut kelumpuhan menyeluruh pada orang gila. Berawal
secara bertahap sebagai perubahan perilaku pada usia 40-50 tahun. Secara perlahan mereka
mulai mengalami demensia. Gejalanya berupa kejang, kesulitan dalam berbicara, kelumpuhan
separuh badan yang bersifat sementara, mudah tersinggung, kesulitan dalam berkonsentrasi,
kehilangan ingatan, sakit kepala, sulit tidur, lelah, letargi, kemunduran dalam kebersihan diri dan
kebiasaan berpakaian, perubahan suasana hati, lemah dan kurang tenaga, depresi, khayalan akan
kebesaran dan penurunan persepsi.
Neurosifilis tabetik. Disebut juga tabes dorsalis. Merupakan suatu penyakit medulla
spinalis yang progresif, yang timbul secara bertahap. Gejala awalnya berupa nyeri menusuk yang
sangat hebat pada tungkai yang hilang-timbul secara tidak teratur. Penderita berjalan dengan
goyah, terutama dalam keadaan gelap dan berjalan dengan kedua tungkai yang terpisah jauh,
kadang sambil mengentakkan kakinya. Penderita tidak dapat merasa ketika kandung kemihnya
penuh sehingga pengendalian terhadap kandung kemih hilang dan sering mengalami infeksi
saluran kemih. Bisa terjadi impotensi. Bibir, lidah, tangan dan seluruh tubuh penderita
gemetaran. Tulisan tangannya miring dan tidak terbaca. Sebagian besar penderita berperawakan
kurus dengan wajah yang memelas. Mereka mengalami kejang disertai nyeri di berbagai bagian
tubuh, terutama lambung. Kejang lambung bisa menyebabkan muntah. Kejang yang sama juga
terjadi pada rektum, kandung kemih dan pita suara. Rasa di kaki penderita berkurang, sehingga
bisa terbentuk luka di telapak kakinya. Luka ini bisa menembus sangat dalam dan pada akhirnya
sampai ke tulang di bawahnya. Karena rasa nyeri sudah hilang, maka sendi penderita bisa
mengalami cedera.
Kini sifilis sudah dapat diberantas dengan sempurna oleh antibiotika, sehingga kasus
neurosifilis atau sifilis tahap ketiga jarang dijumpai.
2.6 Infeksi Fungus pada Susunan Saraf (8)
Fungi adalah organisme yang terdapat dimana-mana dengan virulensi rendah yang menjadi
patogenik pada lingkungan tertentu seperti depresi immunitas bermedia sel, neutropenia, dan
terapi antibiotika sistemik jangka lama. Tidak jarang menginvasi otak.
Infeksi fungal kini didiagnosis lebih sering karena bertambahnya kewaspadaan atas setiap
infeksi, biopsy dan tehnik diagnostik lebih baik,

bertambahnya pasien

yang mendapat

antibiotika jangka lama, dan bertambahnya perjalanan ke, dan immigrasi dari, daerah infeksi
51

Referat Infeksi pada Susunan saraf


endemic. Misdiagnosis dan terlambatnya diagnosis umum dilakukan. Masalah ini secara umum
berperan atas kegagalan mengejar diagnosis laboratori

dan jaringan. Kompetensi sistema

immun adalah faktor yang penting dalam preseleksi patogen fungal spesifik: Cryptococcus,
Coccidioides, Histoplasma, dan Blastomyces dapat menginfeksi orang sehat, sedang infeksi
fungal

lain terjadi hampir selalu pada pasien

dengan immunitas seluler yang terganggu.

Terkenanya SSP mungkin disseminate, menyebabkan meningitis atau meningoensefalitis atau


fokal, menyebabkan abses granulomatosa.
Berbeda dengan infeksi bakterial, meningitis fungal cenderung dimulai ringan dengan
perburukan bertahap. Nyeri kepala, kaku kuduk, demam, letargi, status mental depresi, dan
palsi saraf kranial mungkin tampak. Cryptococcus, Coccidioides, Candida, dan Aspergillus
umum tampil sebagai meningitis atau meningoensefalitis. Tanda dan gejala klinis tak bias
dibedakan dari semua bentuk meningitis kronik lain. Pleositosis CSS adalah limfositik, protein
CSS sedikit meninggi, dan glukosa CSS biasanya berkurang. Umumnya fungi sulit dibiak
dari darah

dan

CSS,

serta

tes serologis kurang sensitif, sebagian karena terganggunya

immunitas seluler umum terjadi pada pasien ini. CT scan tidak

selalu

membantu pada

meningitis fungal, tapi mungkin memperlihatkan hidrosefalus, komplikasi dari meningitis


kronik. MRI dapat efektif memperlihatkan penguatan basiler dan inflamasi.
Abses otak tunggal atau multipel mungkin tampil dengan kejang, nyeri kepala, status
mental depresi, atau defisit neurologis fokal, sering bersamaan dengan pneumonia. Patogen
yang umum adalah

Cryptococcus, Aspergillus, Nocardia, Blastomyces, Actinomyces, dan

Histoplasma.
2.7 Infeksi Protozoa pada Susunan Saraf
2.7.1 Tripanosomiasis (8)
Penyakit tidur atau tripanosomiasis afrika disebabkan oleh parasit protozoa berflagela yang
tergolong ke dalam kompleks Trypanosoma brucei yang ditularkan kepada manusia melalui lalat
tsetse. Pada pasien yaang tidak diobati, tripanosoma tersebut pertama-tama menyebabkan
penyakit demam yangsetelah beberapa bulan atau

tahun kemudian diikuti oleh gangguan

neurologi yang progresif dan kematian.


Bentuk penyakit tidur di afrika timur (rhodesiense) dan afrika barat (gambiense) masingmasing Disebabkan oleh dua subspesies tripanosoma, yaitu T. Brucei rhodesiense dan T. Brucei
gambiense. Kedua subspesies ini Secara morfotologis tidak dapat dibedakan tetapi menyebabkan
52

Referat Infeksi pada Susunan saraf


dua macam penyakit yang secara epidemiologis dan klinis berlainan. Parasit ditularkan oleh lalat
tse-tse penghisap darah dan genus Glossina. Serangga tersebut mendapatkan infeksi ketika
menghisap darah dari pejamu mamalia yang terinfeksi.setelah melalui sejumlah Siklus
multiplikasi di dalam usus tengah (midgut) vektor, parasit bermigrasi ke glandula salivarius dan
penularan terjadi ketika parasit tersebut diinokulasukan pada saat menghisap darah
berikutnya.tripanosoma yang terinjeksi akan Memperbanyak diri di dalam darah pejamu serta
rongga ekstrasel lainnya dan menghancurkan sistem kekebalan tubuh mamalia untuk waktu yang
lama dengan menjalani variasi antigenik, yaitu suatu proses saat stuktur antigenik selubung
permukaan parasit yang berupa glikoprotein mengalami perubahan berkala.
Lesi inflamasi (panosomal) dapat terlihat 1 minggu atau lebih setelah gigitan lalat tse-tse
yang terinfeksi. Keadaan demam yang sistematik kemudian terjadi pada saat parasit menyebar
lewat sistem limfatik dan aliran darah. Tripanosomiasis sistemik afrika tanpa kelainan pada
sistem saraf pusat umumnya disebut sebagai penyakit stadium I. dalam stadium ini terjadi
limfadenopati yang menyebar luas dan splenomegali, yang mencerminkan adanya proliferasi
limfositik serta histiositik yang mencolok dan invasi sel-sel morula yang merupakan plasmasit
yang mungkin terlibat dalam produksi igM. Endarteritis dengan infiltrasi perivaskuler baik oleh
parasit maupun oleh limfosit dapat terjadi didalam kelenjar limfe dan lien. Miokarditis sering
dijumpai pada pasien yang menderita penyakit stadium I, khususnya pada infeksi T. Brucei
rhodesiense.
Manifestasi hematologi yang menyertai tripanomiasis stadium I mencakup leukositosis
sedang, trombositopenia, dan anemia. Kadar imunoglobulin yang tinggi dan terutama terdiri atas
igM poliklonal merupakan gambaran konstan, dan anti bodi heterofil, antibodi anti-DNA, serta
faktor rematoid sering ditemukan. Kadar komplek antigen-antibodi yang tinggi dapat memainkan
peranan dalam perusakan jaringan dan peningkatan permeabilitas vaskuler yang mempercepat
penyebarluasan parasit.
Tripanosomiasis stadium II meliputi invasi ke sistem saraf pusat. Keberadaan tripanosoma
dalam daerah perivaskuler disertai dengan infiltrasi intensif sel mononuklear. Abnormalitas pada
cairan serebrospinal mencakup peningkatan tekanan, kenaikan konsentrasi total protein, dan
pleositositosis. Tripanosoma sering ditemukan pula dalam cairan serebrospinal.
2.7.2 Malaria (8)
53

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Malaria dalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang
eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. Infeksi malaria
memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali. Dapat berlangsung
akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami
komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.
Malaria serebral adalah suatu akut ensefalopati yang menurut WHO definisi malaria serebral
memenuhi 3 kriteria yaitu koma yang tidak dapat dibangunkan atau koma yang menetap >30
menit setelah kejang disertai adanya P. Falsiparum yang dapat ditunjukkan dan penyebab lain
dari akut ensefalopati telah disingkirkan.
Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang tersebar di seluruh dunia. Kira-kira lebih
dua milyar atau lebih 40 % penduduk dunia hidup di daerah bayang-bayang malaria. Jumlah
kasus malaria di Indonesia kira-kira 30 juta/tahun, angka kematian 100.000/ tahun.
Di Pakistan, selama 5 tahun dari tahun 1991-1995 terdapat 1620 pasien koma, 505 pasien
dengan malaria serebral. Dimana didapatkan, kasus malaria serebral pada anak 64 % dan orang
dewasa 36 %. Mortalitas pada anak 41 % dan orang dewasa 25 %.6 Di Nigeria, didapati 78 anak
yang menderita malaria serebral, 16 penderita (20,5 %) meninggal dan 62 penderita (79,5 %)
sembuh.
Plasmodium falsiparum adalah infeksi yang paling serius dan yang sering memberi
komplikasi malaria berat antara lain malaria serebral dengan angka kematian tinggi. Penyebab
paling sering dari kematian khususnya pada anak-anak dan orang dewasa yang non-imun adalah
malaria serebral
Malaria serebral disebabkan oleh infeksi plasmodium falsiparum. Penularannya dilakukan
oleh nyamuk anopheles. Plasmodium falsiparum berbeda dengan jenis lain protozoa malaria
dalam hal hal berikut :
a. Multiplikasi plasmodium falsiparum tidak dapat dihambat karena kebanyakan berada di
dalam eritrosit.
b. Eritrosit inang mempunyai kecenderungan untuk melekat pada intima pembuluh kapiler
sehingga menimbulkan penyumbatan aliran darah kapiler.
54

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Simptom neurologik dari infeksi ini adalah efek sumbatan atau oklusi dari kapiler dan
venula karena adanya kumpulan eritrosit yang mengandung p. Falciparum. Hal ini menimbulkan
gejala anoxia. Tidak hanya sumbatan, simptom juga muncul akibat adanya pendarahan di
jaringan. Hal ini menimbulkan reaksi inflamasi dari limfosit, mononuclear perivascular cell, dan
mikroglia. Kalo otak inflamasi akibatnya permeabilitas BBB meningkat sehingga menimbulkan
cerebral edema. Akan tetapi dua hal tersebut (oklusi dan cerebral edema) jarang ditemui. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa perubahan patologik pada sistem saraf akibat infeksi ini bersifat
reversible.
Patogenesis dari malaria serebral masih belum memuaskan dan belum dimengerti dengan
baik Patogenesis dari malaria serebral berdasar pada kelainan histologis. Eritrosit yang
mengandung parasit (EP) muda (bentuk cincin) bersirkulasi dalam darah perifer tetapi EP
matang menghilang dalam sirkulasi dan terlokalisasi pada pembuluh darah organ disebut
sekuester. Eritrosit matang lengket pada sel endotel vaskular melalui knob yang terdapat pada
permukaan eritrosit sehingga EP matang melekat pada endotel venula/ kapiler yang disebut
sitoadherens. Kira-kira sepuluh atau lebih eritrosit yang tidak terinfeksi menyelubungi 1 EP
matang membentuk roset. Adanya

sitoadherens, roset, sekuester dalam organ otak dan

menurunnya deformabilitas EP menyebabkan obstruksi mikrosirkulasi akibatnya hipolsia


jaringan.
Penderita malaria falsiparum yang non imun bila diagnosa terlambat, penundaan terapi,
absorbsi gagal karena muntah-muntah, resisten OAM, dalam 3-7 hari setelah panas, dapat
menuntun cepat masuk dalam koma. Keadaan akan memburuk cepat dengan nyeri kepala yang
bertambah dan penurunan derajat kesadaran dari letargi, sopor sampai koma. Kesadaran
menurun dinilai dengan GCS yang dimodifikasi 8 senilai dengan sopor dan anak-anak dinilai
skor dari Balantere <>somnolen atau delir disertai disfungsi serebral.
Pada dewasa kesadaran menurun setelah beberapa hari klinis malaria dan anak-anak lebih
pendek dibawah 2 hari. Lama koma pada dewasa umumnya 2-3 hari sedangkan anak-anak pulih
kesadaran lebih cepat setelah mendapat pengobatan.
Pada kesadaran memburuk atau koma lebih dalam disertai dekortikasi, deserebrasi,
opistotonus, tekanan intrakranial meningkat, perdarahan retina, angka kematian tinggi. Pada
55

Referat Infeksi pada Susunan saraf


penurunan kesadaran penderita malaria serebral harus disingkirkan kemungkinan hipoglikemik
syok, asidosis metabolik berat, gagal ginjal, sepsis gram negatif atau radang otak yang dapat
terjadi bersamaan. Pada anak sering dijumpai tekanan intrakranial meningkat tetapi pada orang
dewasa jarang.
Gejala motorik seperti tremor, myoclonus, chorea, athetosis dapat dijumpai, tapi hemiparesa,
cortical blindness dan ataxia cerebelar jarang. Gejala rangsangan meningeal jarang. Kejang
biasanya kejang umum juga kejang fokal terutama pada anak. Hipoglikemi sering terjadi pada
anak, wanita hamil, hiperparasitemia, malaria sangat berat dan sementara dalam pengobatan
kina. Hipoglikemi dapat terjadi pada penderita mulai pulih walaupun sementara infus dxtrose 5
%. Hipoglikemi disebabkan konsumsi glukosa oleh parasit dalam jumlah besar untuk kebutuhan
metabolismenya dan sementara pengobatan kina. Kina menstimulasi sekresi insulin.
Malaria serebral sering sisertai dengan bentuk lain malaria berat. Pada anak sering terjadi
hipoglikemi, kejang, dan anemi berat. Pada orang dewasa sering terjadi gagal ginjal akut, ikterus,
dan udema paru. Biasanya suatu pertanda buruk, perdarahan kulit dan intestinal jarang. Sepsis
dapat terjadi akibat infeksi karena kateter, infeksi nosokomial atau kemungkinan bakteremia.
Bila terjadi hipotensi berat, kemungkinan disebabkan : sepsis gram negatif, udema paru,
metabolik asidosis, perdarahn gastrointestinal, hipovolemi dan ruptur limpa.

2.7.3 Toksoplasmosis (3)


Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul karena memperoleh
sendiri atau keran penularan ibu-fetus. Yang pertama dinamakan infeksi akuisital dan yang kedua
kongenital. Mekanisme infeksi akuisital belum diketahui. Pada binatang telah ditemukan cara
transmisinya, yaitu melalui makan daging binatang yang mengandung toksoplasma. Mungkin
juga manusia mendapat toksoplasma karena makan daging yang tidak matang. Toksoplasmosis
akuisital pada umumnya asimptomatik, tetapi toksoplasma congenital selalusimptomatik.
Didalam tubuh manusia parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista, terutama otot dan jaringan
susunan saraf. Sebagaimana halnya dengan infeksi tuberculosis yang dapat berlalu asimptomatik,
demikian pula infeksi toksoplasmosis pada orang dewasa sering tidak menimbulkan manifestasi
yang mengganggu. Jika terlalu simptomatik, maka gejala-gejala lokalisatorik dapat timbul,
56

Referat Infeksi pada Susunan saraf


seperti pneumonia, eksantema, polimiositis, hepatitis, limfadenopati, korioretinitis, miokarditis,
bahkan meningitis, ensefalitis, dan mielitis.
Pada fetus yang mendapat toksoplasma dalam tubuhnya melalui penularan ibu-fetus, dapat
timbul bernagai manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan berbagai
organ lainnya. Hal itu dapat dimengerti mengingat saat penularannya dapat terjadi pada tahp dini
dari pertumbuhan mudigah sampai fetus. Maka dari itu manifestasi toksoplamosis congenital
dapat berupa :
1. Fetus meninggal dalam kandungan
2. Neonates menunjukan kelainan congenital yang nyata
3. Neonates tampaknya sehat, tetapi kemudian menunjukan disfungsi atau perkembangan yang
tidak normal
Pada umumnya manifestasi neurologic dari toksoplasmosis pada neonates yang tampak sehat
ialah ensefalomielitis subakut atau kronik. Kelainan congenital yang sudah jelas pada weaktu
partus berupa mikrosefalus, mikroftalmia, dan endoftalmia. Pada masa perkembangan
selanjutnya dapat timbul hidrosefalus, konvulsi, tremor, opistotonus, hemiplegia, paraplegia, dan
nistagmus. Disamping itu terdapat gangguan-gangguan non-neurologik yang dapat berupa
miokarditis, pneumonia interstitialis, poliomiositis, ikterus, hepatosplenomegali, trombositopenia
arenal failure dan eksantema.
2.7.4 Abses Serebri Amebiasis (8)
Sebenarnya dahulu diketahui bahwa hanya entamoeba histolytica yang dapat menginvasi
otak dan mengakibatkan abses serebri. Tetapi, ternyata penelitian baru-baru ini menemukan
bahwa free living amebae adalah spesies utama yang menyebabkan meningoensefalitis.
Naegleria

fowleri

menyebabkan

acute

meningoencephalitis,

primary

amebic

meningoencephalitis, sedangkan Acanthamoeba species bisa menyebabkan baik acute maupun


granulomatous amebic meningoencephalitis. Spesies lainnya, Leptomyxid amoeba, hanya
ditemukan pada beberapa kasus meningoensefalitis.
2.8 Infeksi Metazoa (3)
Metazoa yang patogen bagi manusia dapat dibagi : nematoda, trematoda, dan cestoda.
Walaupun ukuran cacing-cacing itu besar sehingga tidak mungkin aliran darah dapat
menyebarluaskan mereka ke organ-organ, tetapi karena mereka mempunyai siklus kehidupan

57

Referat Infeksi pada Susunan saraf


yang dimana terdapat tahap mereka berukuran kecil. Hal ini mengakibatkan mereka dapat masuk
ke organ termasuk susunan saraf.
2.8.1 Infeksi Nematodal (trichinella spiralis) (8)
Patogenesis invasi ke dalam susunan saraf adalah sebagai berikut. Kista trichinella spiralis
masuk ke traktus gastrointestinal. Di situ ia berkembang menjadi dewasa dan dapat menyebar
secara hematogen. Terutama otot skeletal menjadi sasaran penyebaran tersebut. Kadang
miokardium dan otak juga mendapat kista tersebut. Otak memperlihatkan mikrogranulatom yang
mengandung kista. Otak dan meninges bengkak dan pendarahan kecil tersebar di seluruh otak.
Lesi lesi vaskular di otak disebabkan oleh vaskulitis kapiler. Gejala gejala neurologik perifer
disebabkan juga oleh adanya granulom kecil yang menimubulkan infiltrasi terhadap bekas saraf
perifer.
2.8.2 Infeksi Trematodal (8)
Golongan cacing yang dapat menyebabkan komplikasi neurologik ialah skistosoma dan
paragonimus. Pada sikstomiasis perjalanannya sebagai berikut. Serkaria dikandung oleh jenis
siput tertentu. Melalui minum dari kali yang banyak mengandung siput tersebut, atau mandi di
kali itu maka serkaria dapat menembus permukaan tubuh luar dan dalam, lalu tiba di venula.
Melalui vena , serkaria menuju ke paru-paru. Yang disebar mmelalui peredaran darah ke organorgan lain berikut susunan saraf ialah telur cacing yang berkembang biak di paru-paru. Lesi yang
ditemukan di susunan saraf pusat berupa granuloma yang mengandung telur cacing, abses,
fibrosis, dan gliosis.
2.8.3 Infeksi Sestodal (3)
Dari cacing golongan sestoda, ada 3 yang dapat tersebar ke dalam susunan saraf pusat.
Ketiga jenis itu ialah tenia solium, ekinokokus granularis, multiseps-multiseps. Tenia solium
menimbulkan penyakit yang dinamakan sistiserkosis. Ekinokokus adalah penyebab penyakit
hidatidosis.
2.8.3.1 Sistiserkosis (3)

58

Referat Infeksi pada Susunan saraf

Gambar

multiple

Gambar 12. CECT SCAN dengan multpel parasit

intraventrikuler kista ( A,B, panah), parenkimal kista

amoeba ditunjukkan sebagai focus pungtat dan ring

( C,D).

11.

Sistiserkosis

12

dengan

enhancing kista dengan nodul12

Pada sistiserkosis terdapat dua sindrom yang berbeda oleh sebab siklus kehidupan cacing pita
memungkinkan dua macam perkembangan yang berbeda.
a. Bilamana sistiserkus tiba di traktus digestivus manusia misalnya karena makin babi kurang
matang yang mengandung sistiserkus. Di dalam usus ia dapat tumbuh menjadi dewasa dan
menetap di situ.
b. bilamana manusia makan telur tania sollium lalu mudigahnya dapat menembus mukosa
traktus digestivus dan tiba di saluran darah melalui penyebaran hematogen sehingga berbagai
organ dapat menerima nya.
Setibanya di otak, tempayak lalu hidup di situ sebagai sistiserkus. Lesi lesi otak berupa
kista-kista di ventrikel, ganglia basal, atau batang otak. Manifestasi yang timbul ialah akibat
kompresi, desak ruang, edema, dan reaksi peradangan karena adanya kista-kista tersebut.
2.8.3.2 Penyakit Hidatidosis (3)
Kambing dan anjing merupakan sumber cacing ekinokokus. Telur cacing yang keluar
dengan tinja anjing dapat mengotori air minum atau makanan. Jika manusia menelan telur itu,
59

Referat Infeksi pada Susunan saraf


didalam duodenum telur itu menetas dan mudigah menembus mukosa untuk tiba didalam vena.
Setalah itu terjadilah penyebaran hematogen. Hepar dan paru-paru merupakan tempat tujuan
utama. Banyak diantara mudigahyang tiba dihepar dan paru-paru mati, tetapi sedikit yang dapat
melanjutkan penghidupannya dengan membentuk kista. 5% dari orang-orang yang menjadi tuan
rumah ekinokokus, dapat memperoleh kista didalm otak. Biasanya terdapat hanya satu kista,
tetapi dapat juga berkembang beberapa kista. Hamper semua kista terletak subkortikal dan
biasanya didaerah oksipital dan parietal. Ukuran kista itu berkisar antara bola pingpong sampai
bola tenis. Maka dari itu manifestasinya terdiri dari gejala-gejala proses desak ruang intracranial
yang berlangsung lambat. Kebanyakan penderita adalah anak-anak dan orang dewasa muda.
2.9 Infeksi Sistem Saraf pada Pasien Imunokompromais11
2.9.1 Definisi
Imunokompromais ialah fungsi sistem imun yang menurun. Sistem imun terdiri atas
komponen nonspesifik dan spesifik. Fungsi masing-masing komponen atau keduanya dapat
terganggu baik oleh sebab kongenital maupun sebab yang didapat. Pada hal yang akhir, sistem
imun tersebut sebelumnya berfungsi baik. Hal inilah yang dalam praktek sehari-hari
dimaksudkan dengan imunokompromais.
2.9.2 Penyebab
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai
akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Keadaan
imunokompromais yang sering ditemukan di dalam klinik dapat terjadi oleh infeksi (AIDS, virus
mononukleosis, rubela dan campak), tindakan pengobatan (steroid, penyinaran, kemoterapi,
imunosupresi, serum anti-limfosit), neoplasma dan penyakit hematologik (limfoma/Hodgkin,
leukemi, mieloma, (enteropati neutropenia, anemi aplastik, anemi sel sabit), penyakit metabolic
dengan kehilangan protein, sindrom nefrotik, diabetes melitus, malnutrisi), trauma dan tindakan
bedah (luka bakar, splenektomi, anestesi) dan lainnya (lupus eritematosus sistemik, hepatitis
kronis).
2.9.3 Perjalanan Penyakit

60

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Berbagai mikroorganisme (kuman, virus, parasit, jamur) yang ada di lingkungan maupun
yang sudah ada dalam badan penderita, yang dalam keadaan normal tidak patogenik atau
memiliki patogenesitas rendah, dalam keadaan imunokompromais dapat menjadi invasif dan
menimbulkan berbagai penyakit. Oleh karena itu penderita yang imunokompromais mempunyai
risiko yang lebih tinggi terhadap infeksi yang berasal dari badan sendiri maupun yang
nosokomial dibanding dengan yang tidak imunokompromais. Infeksi yang timbul akibat
penurunan kekebalan tubuh disebut infeksi oportunistik. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba
(bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh
manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. Daftar penyakit yang
digolongkan dalam infeksi oportunistik ditetapkan oleh CDC (Center for Disease Control).
Infeksi oportunistik dapat terjadi pada CD4 < 200 sel/uL maupun CD4 > 200 sel/uL. Infeksi
oportunistik perlu dikenal dan diobati karena infeksi oportunistik yang berat dapat menimbulkan
kematian. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati. Namun jika kekebalan tubuh tetap
rendah, infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang
lain. Penegakan diagnosis infeksi oportunistik dapat dilakukan secara diagnosis presumptif dan
diagnosis definitif. Pada diagnosis definitif penyebab infeksi oportunistik dapat ditemukan,
sedangkan pada diagnosis presumptif penyebab infeksi tak ditemukan akan tetapi kriteria klinis
dan penunjang menjurus ke suatu diagnosis.
2.9.4 Penyakit Infeksi Oportunistik
2.9.4.1 Meningitis TBC Tuberkulosis (TBC)
Merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada ODHA di Indonesia. Infeksi
HIV akan mempermudahkan terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis. ODHA mempunyai
resiko lebih besar menderita TBC dibandingkan non-HIV.Resiko ODHA untuk penderita TBC
adalah 10% per tahun, sedangkan pada non ODHA resiko menderita TBC hanya 10% seumur
hidup. Sementara laporan Raviglione, dkk menyebutkan bahwa TBC merupakan penyebab
kematian tersering pada ODHA. TBC paru merupakan jenis TBC yang paling sering di jumpai
pada ODHA dan TBC dapat muncul pada infeksi HIV awal dengan CD4 median > 300 sel/uL.
Sedangkan TBC ekstra paru atau diseminata lebih sering dijumpai pada ODHA dengan CD4
lebih rendah.

61

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Jenis-jenis TBC
-

TBC paru terkonfirmasi secara bakteriologis dan histologist


TBC paru tidak terkonfirmasi secara bakteriologis dan histologist
TBC pada sistem saraf
TBC pada organ-organ lainnya
TBC millier Meningitis

Definisi
TBC adalah infeksi mycobacterium tuberculosis pada system saraf yang mengenai arachnoid,
piameter dan cairan cerebrospinal di dalam sistem ventrikel, akibatnya akan terjadi infiltrasi sel
radang disertai reaksi radang dari jaringan dan pembuluh darah didalamnya. Selain itu, juga
terjadi eksudasi dari fibrinogen yang sesudah beberapa waktu akan menjadi fibrin. Hal diatas
yang disebabkan oleh toksin yang dibuat bakteri akan memberikan gejala sindroma meningitis.
Gejala Penyakit
Demam , nyeri kepala hebat, Gangguan kesadaran, kejang kejang, dan adanya tanda
rangsangan meningeal, berupa : Kaku kuduk, Tes brudzinsky positif , Tes kernig yang positif.
Gambaran klasik meningitis tuberkulosa terdiri dari :
1. Stadium Prodromal Stadium ini berlangsung selama 1 3 minggu dan terdiri dari keluhan
umum seperti : Kenaikan suhu tubuh yang berkisar antara 38,2 38,90 C, Nyeri kepala, Mual
dan muntah ,Tidak ada nafsu makan, Penurunan berat badan , Apati dan malaise, Kaku kuduk
dengan brudzinsky dan kernig tes positif, Defisit neurologi fokal : hemiparesis dan kelumpuhan
saraf otak, Gejala TIK seperti edema papil, kejang kejang, penurunan kesadaran sampai koma,
posisi dekortikasi atau deserebrasi.
2. Stadium perangsangan meningen
3. Stadium kerusakan otak setempat
4. Stadium akhir atau stadium kerusakan otak difus
Pembagian stadium meningitis tuberkulosis menurut Medical Research Council of Great Britain
( 1948 ) :
Stadium I Penderita dengan sedikit atau tanpa gejala klinik meningitis. Tidak didapatkan
kelumpuhan dan sadar penuh. Penderita tampak tak sehat, suhu subfebris, nyeri kepala.
Stadium II Selain gejala diatas bisa didapat gejala defisit neurologi fokal
Stadium III Gejala diatas disertai penurunan kesadaran.
Patogenesis
Meningitis tuberkulosis terjadi akibat reaktivasi lambat suatu infeksi pada daerah otak sendiri
dan paru-paru. Akibat reaktivasi terjadi penjalaran kuman tuberkulosis ke susunan saraf pusat
62

Referat Infeksi pada Susunan saraf


melalui bakteremia. Kuman tuberkulosis yang dorman di dalam paru-paru akan aktif kembali
jika terdapat infeksi dan imunitas yang menurun. Terbentuk FOKUS RICH oleh kuman
tuberkulosis pada ruang subarachnoid di hemisfer serebri. Kuman tuberkulosis menyebar secara
hematogen ke Fokus Rich yang berada di ruang subarachnoid. Meningitis tuberkulosis baru
terjadi setelah kuman tuberkulosis menyebar langsung dalam ruang subarachnoid akibat ruptur
dari fokus rich. Keadaan dan luas lesi pada meningitis tuberkulosis tergantung dari jumlah dan
virulensi kuman serta keadaan kekebalan atau alergi penderita. Bilamana jumlah kuman sedikit
dan daya tahan tubuh penderita cukup baik, maka reaksi peradangan terbatas pada daerah sekitar
tuberkel perkijuan. Pada penderita imunokompromais dapat terjadi meningitis tuberkulosis yang
luas disertai peradangan hebat dan nekrosis akibat daya tahan tubuhnya yang menurun/lemah.
Gejala Klinis Meningitis TBC Gejala klinis meningitis tuberculosa disebabkan 4 macam efek
terhadap sistem saraf pusat yaitu : 1. Iritasi mekanik akibat eksudat meningen, menyebabkan
gejala perangsangan meningens, gangguan saraf otak dan hidrosefalus. 2. Perluasan infeksi ke
dalam parenkim otak, menyebabkan gejala penurunan kesadaran, kejang epileptik serta gejala
defisit neurologi fokal. 3. Arteritis dan oklusi pembuluh darah menimbulkan gejala defisit
neurologi fokal. 4. Respons alergi atau hipersensitifitas menyebabkan edema otak hebat dan
tekanan tinggi intrakranial tanpa disertai hidrosefalus.
Pemeriksaan Penunjang Meningitis TBC
1. Pemeriksaan cairan serebrospinal ( CSS ) Pemeriksaan CSS merupakan kunci diagnostik
untuk meningitis TBC. Pemeriksaan CSS akan memberikan gambaran jernih/ opalesen,
kekuningan sampai dengan xantokrom, tekanan meninggi. Tes Nonne dan Pandy positif kuat
menunjukkan peningkatan kadar protein. Hitung sel meningkat 100 500, terutama limfositik
mononuklear. Kadar glukosa menurun < 40mg% tetapi tidak sampai 0 mg%. Pada pengecatan
dengan Ziehl Neelsen dan biakan akan ditemukan kuman mycobacterium tuberkulosis. Bila
beberapa cc CSS dibiarkan dalam tabung reaksi selama 24 jam akan terbentuk endapan fibrin
berupa sarang laba laba.
2. Pemeriksaan darah Terdapat kenaikan laju endap darah ( LED ) Jumlah leukosit dapat
meningkat sampai 20.000
3. Tes tuberkulin Tes tuberkulin seringkali positif tetapi dapat negatif bila keadaan umum
penderita buruk.
63

Referat Infeksi pada Susunan saraf


4. Foto roentgen thoraks Umumnya menunjukkan tanda infeksi tuberkulosis aktif (infiltrat
terutama di apex paru)
Kriteria diagnosis
Menurut Medical Research Council of Great Britain (1984 ) :
1. Penderita dengan pemeriksaan klinik yang sesuai pembagian klinik Medical Research Council
( 1984 ) disertai dengan : Kelainan CSS seperti pleositosis dengan dominan limposit, peninggian
kadar protein dan penurunan kadar gula serta natrium klorida. Pada isolasi dapat ditemukan
kuman tuberkulosis. Kontak dengan penderita tuberkulosis positif Tes mountox positif Pada
pemeriksaan fundus ditemukan tuberkel koroid.
2. Penderita dengan diagnosis tuberkulosis dan disertai demam, iritabilitas, penurunan kesadaran
sampai muntah, maka perlu dipikirkan kearah kemungkinan suatu meningitis TBC.
Penatalaksanaan Meningitis TBC
Pada penderita HIV, efek samping antituberkulosis (OAT) lebih sering terjadi dibandingkan
kelompok non HIV. Oleh karena itu pada kasus ini, OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama
dengan ARV untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, ketidakpatuhan minum obat, dan
reaksi paradox. Namun, jika ODHA sudah dalam terapi ARV, ARV tetap diteruskan.
Penatalaksanaan menurut WHO :
Rekomendasi WHO untuk memulai terapi ARV Kadar CD4 (sel/uL) <200
Rekomendasi Mulai ARV segera setelah obat TBC ditoleransi (2 minggu-2 bulan).
Rekomendasi regimen : AZT + 3TC + 200-350 EFV Mulai ARV setelah 2 bulan fase >350
intensif terapi TBC.
Rekomendasi regimen : AZT + 3TC+ EFV Obati TBC sampai selesai. Monitor CD4. Tunda
pemberian ARV
Keterangan : AZT = zidovudin; 3TC=lamivudine; EFV = efavirenz
Regimen pengobatan TBC sendiri tidak berbeda dengan regimen pengobatan TBC pada kasus
non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan. Kecuali pada artritis TBC dan osteomyelitis TBC
yang pada pengobatannya mencapai 6-9 bulan dan meningitis TBC yang mencapai 9-12 bulan.
64

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Hingga kini, belum diketahui berapa lama sebenarnya terapi yang optimal pada ODHA dengan
TBC. Kortikosteroid tetap direkomendasikan pada meningitis TBC dengan deksametason 12
mg/hari selama 3 minggu pertama, kemudian diturunkan bertahap selama 3 minggu kemudian.
Demikian juga dengan pericarditis TBC, menggunakan prednisone 60 mg/hari (atau prednisolone
setara) selama 4 minggu, dilanjutkan 30mg/hari selama 4 minggu, dan 5 mg/hari hingga genap
11 minggu. Regimen ARV yang di anjurkan pada rekomendasi untuk TBC pada HIV adalah
menggunakan kombinasi efavirenz. Rifampisin dan nevirapin (NVP) sama-sama menginduksi
enzim sitokrom P 450, sehingga akan menurunkan konsentrasi nevirapin dalam darah.
2.9.4.2 Kandidiasis
Jarang menginfeksi individu sehat karena merupakan flora normal di daerah mulut dan
merupakan jamur pathogen oportunistik. Manifestasi infeksi jamur pada susunan saraf pusat
cenderung berupa meningitis kronis atau abses otak. Pengelolaan disesuaikan dengan keadaan
misalnya pemberian anti jamur, drainase atau shunting untuk komplikasi hidrosefalus. Pada
ODHA kandidiasis mukokutan dapat muncul dalam tiga bentuk, yaitu kandidiasis orofaring,
esophagus, dan vulvovagina. Kandidiasis mukokutan muncul berbulan-bulan sebelum
munculnya infeksi oportunistik yang lebih berat dan merupakan salah satu indicator progresivitas
HIV. Infeksi ini belum digolongkan infeksi oportunistik kecuali sudah mengenai esophagus
(kandidiasis esophagus). Strain kandida yang menginfeksi ODHA tidak berbeda dengan pasien
imunokompromais lainnya, yang tersering adalah kandida albicans. Strain lain yang pernah
dilaporkan adalah C. Glabrata, C. Parapsilosis, C. Tropicalis, C. Kruseii, dan C. Dubliniesis
rekurens yang dapat disebabkan oleh strain yang sama atau strain yang berbeda. Strain jamur ini
juga dapat menyerang sistem saraf dan menghasilkan gejala-gejala yang tidak menyenangkan
seperti kelelahan, depresi, gelisah dan tidak normal mood swings. Pasien juga melaporkan
pusing dan kehilangan memori. kasus berat bahkan mungkin episode kekerasan dan halusinasi.
Bila tidak diobati, dapat meningkat dengan autisme dan hiperaktivitas pada anak-anak.
Patogenesis Kandidiasis
Infeksi kandidiasis adalah melalui saluran cerna, saluran kemih, saluran pernapasan daan masuk
ke aliran darah langsung melalui pemasangan kateter. Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi

65

Referat Infeksi pada Susunan saraf


pada 50% dari infeksi candidiasis sistemik dan mencapai 80% pada kasus candida endokarditis
dengan distribusi yang sama pada semua kelompok umur.
Manifestasi Klinis Kandidiasis
Manifestasi klinis tergantung usia, meningitis biasanya ditemukan pada neonatus dan anak
sedangkan pada orang dewasa berbentuk mikro atau makro abses.
Kandidiasis orofaring terdiri dari 3 bentuk yaitu pseudomembran, eritematous, dan cheilitis
angularis. Gejalanya berupa rasa terbakar, gangguan mengecapa dan sulit menelan makanan cair
atau padat. Pada beberapa kasus dapat juga asimptomatik. Kandidiasis pseudomembran
membentuk plak putih 1-2 cm atau lebih luas dimukosa mulut. Jika dilepaskan, pseudomembran
tersebut akan meninggalkan bercak kemerahan atau perdarahan. Kandidiasis eritematous berupa
flak kemerahan halus di palatum , mukosa bukal, atau dorsal lidah. Cheilitis angularis tampak
berupa kemerahan, fisura, atau keretakan di sudut bibir. Kandidiasis esofagus biasanya muncul
disertai kandidiasis orofaring (80%), dengan gejala klinis berupa disfagia, odinofagia, atau nyeri
retrosternum. Namun pada 40% kasus tidak menunjukkan gejala. Untuk membedakannya dengan
esofagitis CMV atau HSV, pasien kandidiasis esofagus biasanya mengeluh nyeri seperti ada
makanan terhambat di kerongkongan, sedangkan esofagitis CMV atau HSV lebih sering
mengeluhkan nyeri yang hebat ketika menelan. Kandidiasis vulvovagina biasanya menyebabkan
keluhan gatal, keputihan , kemerahan di vagina, disparenia, disuria, dan pembengkakan di vulva
dan labia dengan lesi pustulopapuler diskrit. Gejala biasanya memburuk seminggu sebelum
menstruasi.
Diagnosis Kandidiasis
Diagnosis definitif kandidiasis adalah ditemukannya candida dengan pemeriksaan langsung
specimen jaringan (termasuk kerokan) dengan larutan KOH, bukan dengan kultur. Identifikasi
spesies dapat dilakukan dengan uji morfologi dan kultur jamur. Kultur merupakan alat bantu
yang baik untuk spesifikasi dan uji sensititas namun tidak digunakan untuk diagnosis karena
tingginya kolonisasi Diagnosis kandidiasis orofaring biasanya gambaran klinis. Sedangkan
diagnosis presumtif kandidiasis esophagus adalah didapatnya keluhan nyeri restrosternum dan
ditemukannya kandidiasis oral berdasarkan gambaran membrane atau plak putih dengan dasar
eritema pada mulut atau ditemukannya filament jamur pada kerokan jaringan. Pemeriksaan
66

Referat Infeksi pada Susunan saraf


endoskopi hanya diindikasikan jika tidak terdapat perbaikan dengan pemberian fluconazole oral.
Diagnosis kandidiasis vulvovagina berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan secret vagina
dengan larutan KOH. Oleh karena angka kejadian infeksi susunan saraf pusat cukup tinggi, maka
pada kasus kandidiasis sistemik harus dilakukan pemeriksaan CT Scan dan lumbal pungsi segera.
Pada CT scan nampak daerah dengan densitas rendah tanpa penyangatan dan ini ditemukan pada
individu yang immunokompromais. Gambaran liquor sama dengan meningitis bakteri lain, tetapi
pada abses otak ec. Candida gambaran liquornya normal. Pemeriksaan lain dengan tes serologi
dan kultur.
Penatalaksanaan Kandidiasis
Tidak seperti infeksi jamur lain, pada candidiasis dapat terjadi keadaan sembuh sendiri secara
spontan. Obat pilihan pertama tetap ampoterisisn B, kemudian obat gabungan antara ampoterisin
B (0,3 mg/ koagulan) dengan flusitosin oral 100-150 mg/ koagulan/ hari, terbagi dalam 4 kali
pemberian.
2.9.4.3 Aspergillosis
Aspergilosis disebabkan oleh Aspergillus fumigatus, A. niger, A. flavus, A. clavatus, A.
nodulans. Aspergillus sp, hidup di dalam tanah dan sporanya yang berukuran kecil mudah
berhamburan di udara, sehingga mudah terhirup. Aspergillus sp dapat berkoloni di bronkus,
kista, dan kavitas pasca tuberculosis. Kejadian aspergilosis pada ODHA tidak sebanyak infeksi
jamur lain, namun dengan angka kematian yang tinggi (median survival 3 bulan). Aspergilosis
invasif biasanya terjadi pada ODHA dengan CD4 < 50 sel/uL. Pada ODHA, Aspergilosis sp
umumnya menginfeksi paru dengan berbagai manifestasi, juga dapat menjadi diseminata.
Kadangkala juga menginfeksi darah, sinus, telinga, tulang, otak, dan jantung. Aspergillus
fumigates dan kelompok Mucor paling sering mencapai susunan saraf pusat melalui paru (50%).
Gejala Aspergilosis
Infeksi aspergilosis yang umumnya terjadi pada ODHA adalah aspergilosis invasif dengan gejala
infeksi paru akut dengan gejala demam tinggi., dyspnea, batuk, nyeri dada, dan hemoptysis.
Sedangkan allergic bronchopulmonary aspergilosis dan aspergiloma hampir tidak pernah
ditemukan pada ODHA. Aspergillosis sp yang menginvasi mukosa dan tulang rawan bronkus
dapat membentuk pseudomembran dan mengakibatkan sindroma obstruksi trakeobronkiolitis
67

Referat Infeksi pada Susunan saraf


pseudomembranosa. Bentuk aspergilosis invasif yang lebih banyak terlihat pada ODHA ini dapat
menyebabkan perdarahan bronkus massif karena menginvasi pembuluh darah dan dinding
bronkus. Gambaran klinis aspergillosis otak biasanya berupa proses desak ruang, jarang
berbentuk meningitis. Manifestasi aspergillosis biasanya berbentuk abses tunggal dengan kapsul
yang tegas (single-well-capsulated abcess). Pada pasien yang imunokompromais abses bias
tunggal bias multiple dan Nampak di daerah sirkulasi anterior dan posterior, pada keadaan lain
pada pasien yang imunokompromais bias ditemukan thrombosis vaskuler dan infark, selain itu
juga pernah dilaporkan adanya aneurisma mikolitik yang lokasinya berbeda dengan bacterial
aneurisma yaitu bahwa mikolitik aneurisma terletak lebih kearah proksimal dari cabang
pembuluh darah besar.
Diagnosis Aspergilosis
Gambaran radiologis aspergilosis paru invasif 30% berupa kavitas berdinding tebal, terutama di
lobus bawah, 20% berupa infiltrate difus atau nodular di salah satu atau kedua sisi paru.
Sedangkan pada sindroma obstruksi trakeobronkiolitis pseudomembranosa gambaran radiologis
berupa infiltrate yang samar-samar segmental atau atelectasis lobaris. Diagnosis definitif infeksi
aspergilosis adalah dengan ditemukannya Aspergillus sp pada jaringan dan kultur. Tumbuhnya
Aspergillus sp pada kultur saja belum dapat menegakkan diagnosis, walaupun hanya 10-30%
pasien aspergilosis invasif harus dicurigai jika terdapat gejala respiratorik pada ODHA stadium
lanjut dan tumbuh Aspergillus sp pada kultur sputum, terutama Aspergillus fumigatus.
Aspergilosis invasif perlu dipikirkan pada ODHA dengan gambaran klinis pneumonia, namun
tudak berespon terhadap antibiotika. Aspergilosis juga dapat menginfeksi otak, sinus, telinga,
mata, endocarditis, esophagitis, limfadenitis, menyebabkan abses kulit, abses ginjal dan
pancreas. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibody tidak banyak membantu diagnosis
karena sebagian besar pasien pernah mengalami paparan asimptomatik dengan Aspergillus sp.
Pada CT Scan nampak sebagai masa soliter, hipodens dengan penyangatan berupa cincin. Pada
CT Scan Nampak masa hipodens dengan sedikit penyangatan sehingga menyulitkan pengukuran
secara tepat. Pada beberapa keadaan ditemukan perdarahan. Gambaran liquor serebrospinal tidak
khas, protein sedikit meninggi, kadar gula seringkali normal, leukositosis ringan. Hasil kultur
umumnya negatif.

68

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Penatalaksanaan Aspergilosis
Terapi yang di anjurkan untuk aspergilosis invasif adalah vorikonazole intravena dengan dosis 6
mg/kg BB tiap 12 jam selama > 1 minggu, selanjutnya 2 x 200 mg/kg BB. Namun obat ini belum
tersedia di Indonesia. Terapi alternative yang dapat digunakan adalah amfoterisin B iv 1,0 mg/kg
BB/hari hingga terjadi perbaikan klinis. Alternative lain adalah itrakonazole 600 mg/ hari selama
4 hari, diteruskan 400 mg /hari. Infeksi aspergillus pada susunan saraf pusat sulit diobati, kadang
diperlukan dosis ampoterisin B yang lebih tinggi dari biasanya.
2.9.4.4 Histoplasmosis
Jamur ini bersifat dimorfik, di tanah, tumbuh sebagai konidia, sedangkan jika sporanya
terhisap masuk kedalam paru berubah menjadi bentuk ragi. Ragi tersebut kemudian masuk ke
dalam makrofage alveolar, bermultiplikasi, kemudian menyebar ke kelenjar getah bening hilus
dan mediastinum, lalu masuk sirkulasi. Imunitas seluler berperan penting dalam perjalanan
infeksi selanjutnya selain inokulum. Pada pasien imunokompeten, jamur ini dapat hidup
intraseluler seumur hidup, pada pasien imunocompromais seperti ODHA, kemungkinan
reaktivasi menjadi lebih besar, demikian juga dengan kemungkinan menjadi diseminata. Selain
itu, ternyata ditemukan defek makrofage alveolar pada ODHA sehingga mengurangi
kemampuannya mengikat H. capsulatum dan mempermudah multiplikasi.
Gejala Histoplasmosis
Histoplasmosis dapat memberikam 4 gambaran klinis, yaitu histoplasmosis asimtomatik,
histoplasmosis akut, histoplasmosis kronik, dan histoplasmosis diseminata. Namun pada ODHA
gambaran yang sering terjadi adalah histoplasmosis akut dan histoplasmosis diseminata. 1.
Gambaran klinis dari histoplasmosis akut sangat bervariasi, mulai dari malaise ringan hingga
gejala yang lebih berat. Gejala yang tersering adalah demam, sakit kepala, batuk non-produktif,
menggigil, nyeri dada pleuritik, penurunan berat badan, malaise, dan mialgia. Nyeri retrosternal
merupakan

gambaran

predominan

dan

mungkin

berhubungan

dengan

limfadenopati

mediastinum. Pada paparan ragi histoplasmosis dalam jumlah yang banyak dapat terjadi
manifestasi yang berat berupa sesak napas yang hebat. Granuloma mediastinum sekuele yang
dapat terjadi pasca histoplasmosis akut. 2. Histoplasmosis diseminata dianggap berat jika
69

Referat Infeksi pada Susunan saraf


memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut; temperature > 39 derajat celcius, tekanan
sistolik <90 mmHg, PO2 < 70 torr, kehilangan berat badan >5%, skor karnofsky < 70,
hemoglobin <10 g/dl, neutrofil < 1000/ml, peningkatan kreatinin >2 kali normal, peningkatan
SGOT > 2,5 kali normal, albumin < 3,5 g/ml, atau disfungsi organ lain.
Diagnosis Histoplasmosis
Kultur merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis histoplasmosis. Namun karena jamur
ini tumbuh dengan lambat, dibutuhkan waktu 2 sampai 6 minggu untuk mendapatkan hasil
kultur. Kultur dapat diambil dari biopsi sumsum tulang, darah perifer, biopsy kelenjar getah
bening, lavase broncoalveolar, ataupun biopsy. Tes kulit dengan histoplasmin dan pemeriksaan
histopatologis jaringan kurang sensitif dan spesifik untuk menegakkan diagnose histoplasmosis,
kecuali dari pemeriksaan sumsum tulang. Ditemukan antigen H. capsulatum di urin dan serum
dapat membantu diagnosis histoplasmosis. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibody juga
dapat membantu diagnosis. Peningkatan titer lebih dari 4 kali atau > 1:32 mengindikasikan
histoplasmosis akut. Namun, hasil negatif palsu dapat terjadi pada pasien imunocompromais dan
selama 6 minggu pertama sebelum antibody terbentuk. Perkecualian pada meningitis
histoplasmosis, ditemukannya antibody pada cairan cerebrospinal yang didukung gejala klinis
cukup untuk menunjang diagnosis.
Penatalaksanaan Histoplasmosis
Amfoterisin B iv 0,7 mg/kg BB/hari
2.9.4.5 Kriptokokokis
Kriptokokosis adalah infeksi jamur sistemik yang disebabkan Cryptococcus neoformans.
Spora jamur ini dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama di lingkungan yang sesuai,
ditemukan di tanah dan dilaporkan banyak terdapat di tinja burung merpati. Ada 4 serotipe dari
neoformans C, yang ditunjuk A, B, C, dan D berdasarkan determinan antigenik pada kapsul
polisakarida. Serotipe A dan D (C neoformans var. neoformans) adalah penyebab paling umum
infeksi, dan 90 % dari infeksi tersebut terjadi pada immunocompromised host.
Gejala Kriptokokosis
70

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Sebenarnya istilah yang lebih tepat adalah meningoensefalitis karena pada sebagian besar kasus
dijumpai patologi dan manifestasi ensefalitis. Pada AIDS gejala klinis MK seringkali tidak jelas
atau samar-samar. Biasanya dijumpai gejala prodromal selama 2-4 minggu. Gejala awal berupa
demam, sakit kepala, dan malaise terjadi pada 65-80% kasus. Bahkan demam dapat merupakan
satu-satunya manifestasi klinis yang ada. Mual dan muntah terjadi pada 50%. Tanda klasik
meningitis berupa kaku kuduk dijumpai hanya 30%. Sekitar 10-30% pasien datang dengan
keluhan gangguan kesadaran dan perilaku. Gejala neurologis fokal hanya dilaporkan 10%.
Peningkatan tekanan intracranial didapatkan pada 75% kasus MK pada ODHA, walaupun
demikian edema papil hanya didapatkan pada 26% kasus. Pada kriptokokosis paru dapat
dijumpai batuk dan demam dengan sputum yang tidak terlalu produktif.
Terapi kriptokokosis pada ODHA
Meningitis kriptokokosis Pilihan pertama Induksi: amfoterisin B IV 0,7 1 mg/kgBB/ hari dan 5
flourositosin oral 100 mg/kg BB/hari selama 2 minggu. Konsolidasi: flukonazol oral 400
mg/hari. Pilihan kedua 8 minggu atau hingga cairan serebrospinal steril Induksi: amfoterisisn B
IV 0,7-1mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Konsolidasi: flukonazol oral 400 mg/hari Pilihan ketiga
selama 10 minggu atau hingga cairan serebrospinal steril Flukonazol oral 400-800 mg/hari dan
fluorositosin oral 100 mg/kgBB/hari selama 6-10 minggu.
2.9.4.6 Toksoplasmosis

71

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Gambar 13. (A,B) Axial CECT Scans in A HIV+ patient show ring enhancing masses in the cerebellum, basal
ganglia. Lessions regressed after anti toxo treatment. (C,D) new lesions appeared 1 year later 12

Toxoplasma gondii merupakan parasit intraseluler yang menyebabkan infeksi


asimptomatik pada 80% manusia sehat, tetapi menjadi berbahaya pada ODHA. Toxoplasmosis
pada ODHA terbanyak disebabkan oleh reaktivasi laten. Siklus hidup T. gondii sangat kompleks.
Inang definitifnya adalah kucing. Sedangkan inang perantaranya adalah tikus, kambing, sapi,
babi, unggas, dan hewan ternak lainnya. Pada manusia infeksi T. gondii melalui makanan dapat
terjadi melalui dua mekanisme, yaitu makanan yang tercemar ookista yang berasal dari tinja
kucing dan mealalui daging yang mengandung kista jaringan akibat kurang matang dimasak.
Serangga seperti kecoa dan lalat juga dapat mencemari makanan dengan ookista. Siklus hidup
Toksoplasma ada 5 tingkat : Fase proliferatif, stadium kista, fase schizogoni dan gametogoni dan
fase ookista. Siklus aseksual terdiri dari fase proliferasi dan stadium kista.
Gejala Toksoplasmosis
Perjalanan penyakit ET biasanya berlangsung subakut. Keluhan dan gejala klinis berkembang
secara progresif dalam kurun waktu 1-4 minggu. Pada sepertiga kasus ditemukan awitan akut.
Seringkali secara klinis dapat diduga diagnosis ET pada ODHA, walaupun tidak ada tanda yang
patognomonik. Demam, sakit kepala, deficit neurologis fokal, dan penurunan kesadaran
merupakan manifestasi klinis utama dari ET. Sakit kepala, penurunan kesadaran, dan gangguan
perilaku dijumpai pada 50-75% kasus. Demam dijumpai pada 4050% kasus. Deficit neurologis
fokal dijumpai sebanyak 80%. Hemeiparese merupakan deficit local yang paling serinh
dijumpai, ditemukan sebanyak 4050%. Kejang sebagai gejala utama dijumpai pada 15-30%
kasus. Gejala lain adalah ataksia, parese saraf cranial, afasia, parkinsonism, korea-atetosis, dan
gangguan lapang pandang. 2.6.2. Diagnosis Toksoplasmosis Diagnosis presumtif berdasarkan
gejala klinis neurologi yang progresif pada ODHA dengan nilai CD 4 < 200 sel per mikroliter
dan disertai gambaran neuroimajing (CT/MRI) yang sesuai. Diagnosis definitif ET hanya dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis jaringan otak. Pemeriksaan MRI lebuh sensitive
daripada CT scan dalam menemukan lesi ET. Pada ET biasanya dijumpai IgG yang positif
,sedangkan IgM negative. Beberapa pedoman yang dapat digunakan dalam menilai hasil serologi
: 1. Infeksi primer akut dapat dicurigai bila a. Terdapat serokonversi IgG atau peningkatan IgG 24 kali lipat dengan interval 2-3 minggu. b. Terdapatnya IgA dan IgM positif menunjukkan infeksi
72

Referat Infeksi pada Susunan saraf


1-3 minggu yang lalu c. IgG avidity yang rendah d. Hasil Sabin-Feldman / IFA > 300 IU/ml atau
1 : 1000 e. IgM-IFA 1 : 80 atau IgM-ELISA 2.600 IU/ml 2. IgG yang rendah dan stabil tanpa
disertai IgM diperkirakan merupakan infeksi lampau.
Profilaksis Toksoplasmosis
Profilaksis primer TMP-SMZ DS (960mg) 1x1 tab diberikan pada ODHA dengan CD 4 < 100
sel per mikroliter dengan alternative: 1. Dapson oral 1x50 mg + pirimetamin 50 mg/minggu +
leukovorin 25 mg/minggu. 2. Dapson oral 200 mg/minggu + pirimetamin 75 mg/minggu +
leukoverin 25 mg/minggu. 3. Atovaquone oral 1 x 1500 mg + pirimetamin 25 mg/hari +
leukovorin 10 mg/hari. Profilaksis primer dihentikan bila CD 4 >200 sel per liter stabil selama <
3 bulan. Terapi profilaksis primer dimulai kembali bila CD 4 < 100 sel per mikro liter. Terapi
rumatan dapat dihentikan bila telah terjadi perbaikan system imun, yaitu bila nila CD4 > 200 sel
per mikroliter selama lebih dari 6 bulan. Terapi profilaksis diberika kembali jika CD4 turun < 200
sel per mikroliter sesuai dengan profilaksis toksoplasmosis.
2.9.4.7 Cytomegalovirus
Cytomegalovirus (CMV) merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan utama
pada ODHA, terutama sebelum era ARV. Infeksi ini biasanya muncul pada ODHA dengan CD4
<50-100 sel/ L. Sebenarnya virus ini dapat menginfeksi hampir semua organ tubuh. Namun,
yang sering terkena pada ODHA adalah mata (korioretinitis), saluran cerna (esofagitis, enteritis,
colitis), Paru (penumonitis), serta sistem saraf (ventrikuloensefalitis, poliradikulopati).
Gejala Cytomegalovirus
Gambaran yang tipikal pada korioretinitis CMV adalah keluhan gangguan penglihatan unilateral,
berupa penurunan visus, penglihatan floater, fotopsia, skotoma, atau gangguan lapangan pandang
unilateral. CMV dapat menyebabkan gangguan sepanjang saluran cerna dan sistem bilier dengan
gejala sesuai tempat lesi. Infeksi pada saluran cerna bagian atas paling sering menyebabkan
ulkus di sfingter esophagus selain menyebabkan esofagitis difus, gastritis, ulkus gaster/
duodenum, dan enteritis. Sedangkan pada saluran cerna bagian bawah lebih sering mengenai
kolon, atau dapat menyebabkan perforasi ileum dan ulkus rectum. Pneumonitis CMV tidak
menyebabkan gejala spesifik, hanya gejala sesak napas yang memburuk perlahan, sesak pada
73

Referat Infeksi pada Susunan saraf


saat aktivitas, dan batuk nonproduktif. Pemeriksaan auskultasi seringkali tidak menemukan
kelainan atau ronki minimal. Sedangkan pada pemeriksaan radiologis toraks tampak infiltrate
difus interstisialis yang menyerupai PCP. Ventrikuloensefalopati CMV biasanya muncul
bersamaan manifestasi CMV di tempat lain. Gejalanya berupa letargi, gangguan mental, delirium
dan demam. Pasien serigkali mengeluhkan kesulitan bekonsentrasi, sakit kepala, dan somnolen.
Dapat juga disertai dengan gangguan saraf cranial. CMV dapat menginfeksi dan menghancurkan
akar saraf di sekitar saraf tulang belakang yang mengakibatkan poliradikulopati CMV.
Diagnosis Cytomegalovirus
Kriteria diagnosis definitif pneumonitis CMV minimal harus memenuhi semua dari: Infiltrat paru
Deteksi CMV dengan kultur, antigen, atau asam nukleat dari sputum CMV inclusion body
intraseluler pada jaringan paru atau makrofag dari bilasan bronkoalveoler Tidak ditemukan
pathogen lain.
Penatalaksanaan
Pendekatan utama adalah memperbaiki imunitas dengan pemberian antiretrovirus. Sedangkan
terapi antivirus yang dianjurkan adalah: Manifestasi Mata Regimen pilihan Gansikloir iv 2 x 5
mg/ kgBB diberikan dalam infuse 1 jam selama 2-3 minggu. Dilanjutkan dengan dosis rumatan
gansiklovir iv 5 mg/ kgBB/ hari sekali sehari Valgansikloir oral 2 x 900 mg selama 21 hari,
dilanjutkan dosis rumatan 1 x 900 mg Foscarnet iv 3 x 60 mg/ kg atau 2 x 90 mg/ kg selama 2-3
minggu, dilanjutkan dengan dosis rumatan foscarnet iv 2 x 90-120 mg/ kg. Saluran cerna
Gansikloir iv 2 x 5 mg/kg selama 2-3 minggu Valgansikloir oral 2 x 900 mg selama 2-3 minggu
Foscarnet iv 3 x 60 mg/ kg atau 2 x 90 mg/ kg selama 2-3 minggu. Terapi rumatan tidak
diperlukan kecuali terjadi relaps selama atau setelah terapi. Paru : Gansikloir iv 2 x 5 mg/kg
selama >21 hari Valgansikloir oral 2 x 900 mg selama 21 hari Foscarnet iv 3 x 60 mg/ kg atau 2
x 90 mg/ kg selama >21 hari. Sistem saraf: Gansikloir iv 2 x 5 mg/kg selama 3-6 minggu
dikombinasi dengan foscarnet iv 3 x 60 mg/ kg atau 2 x 90 mg/ kg selama 3-6 minggu,
dilanjutkan dengan terapi rumatan dengan gansiklovir/ valgansiklovir dan foscarnet dengan dosis
seperti retinitis CMV Gansiklovir iv 2 x 5 mg/kg selama 3-6 minggu, dilanjutkan terapi rumatan
dengan gansiklovir iv dan valgansiklovir dengan dosis seperti retinitis CMV.

74

Referat Infeksi pada Susunan saraf

2.9.4.8 Virus Herpes Simplex


Virus Herpes Simplex (HSV) tipe 1 dan 2 dapat menyebabkan penyakit pada orang yang
kekebalannya normal maupun menurun. Pada AIDS, infeksi HSV sering dijumpai. Pemeriksaan
serologi sekitar 70% positif untuk HSV-1 dan 22% untuk HSV-2. Karena itu, sebagian besar
infeksi Herpes Simplex yang terjadi merupakan infeksi rekurens. Infeksi HSV sendiri diketahui
memudahkan terjadinya infeksi HIV dan reaktivasi HSV akan meningkatkan replikasi HIV.
Gejala HSV
Manifestasi klinis infeksi HSV pada ODHA bervariasi dan dapat berbeda dibandingkan
manifestasi pada pasien imunokompeten. Masa inkubasi umumnya berkisar 3-7 hari atau lebih
lama. Gejala yang timbul dapat menjadi berat, namun sebagian asimtomatik. Beberapa jam
sebelum timbulnya lesi biasanya didahului rasa terbakar dan gatas di daerah tersebut. Timbulnya
lesi seringkali disertai dengan gejala konstitusi seperti demam, malaise, dan nyeri otot. Sebagian
besar lesi berupa erupsi vesikuler berkelompok dengan dasar eritema yang khas di bibir, lidah,
faring, atau genitalia. Infeksi di daerah orofaring biasanya sangat parah dengan ulserasi hebat di
seluruh mukosa mulut, orofaring, dan esofagus. Sering dijumpai demam, faringitis seta
pembengkakan kelenjar limfe leher. Gejala klinis HSV biasanya akan hilang setelah 7-10 hari.
Ensefalitis HSV pada ODHA menunjukkan gejala yang tidak khas, dapat timbul tiba-tiba atau
perlahan, dengan keluhan mulai dari sakit kepala, meningismus, perubahan kepribadian, kejang,
sampai penurunan kesadaran.
Diagnosis HSV
Diagnosis ensefalitis HSV berdasarkan gambaran klinis, CT-scan/ MRI, dan PCR HSV di cairan
serebrospinal. Tidak ada diagnosis presumtif infeksi HSV pada ODHA.
Penatalaksanaan
Manifestasi klinis Infeksi mukokutan, ringan Terapi antivirus Asklovir 3 x 400 mg oral selama 710 hari, atau Valasiklovir 2 x 1000 mg oral selama 710 hari, atau Valasiklovir 2 x 2000 mg oral
perhari Infeksi mukokutan berat Asiklovir iv 5-10 mg/kg BB tiap 8 jam sampai lesi membaik,
dilanjutkan asiklovir oral 2x1000 mg sampai lesi menghilang Infeksi visceral (Esofagitis
75

Referat Infeksi pada Susunan saraf


proktitis) Asiklovir iv 5-10 mg/ kg BB tiap 8 jam selama 2-7 hari atau perbaikan, dilanjutkan
asiklovir oral 4-5 x 400 mg atau valasiklovir oral 2 x 1000 hingga penyembuhan Infeksi
mukokutans rekurens Asiklovir oral 3 x 400 mg atau asklovir oral 2 x 1000 mg selama 5-10 hari
Ensefalitis HSV Asklovir iv 10 mg/ kg BB tiap 8 jam selama 14-21 hari.

76

Referat Infeksi pada Susunan saraf


Daftar Pustaka
1. Ritarwan K. Diagnosis dan penatalaksanaan meningitis otogenik. Majalah Kedokteran
Nusantara 2006 Sep; 39 (3): 253.
2. Wahyu. Bagaimana Mencegah Infeksi Otak. Kesehatan. [serial online] 2011 [cited 2011
Jan 25]. Available from: URL: http://indonews.org/bagaimana-mencegah-infeksi-otak/
3. Mardjiono, Prof.dr. Mahar dan Sidharta, Prof.dr. Priguna, 2008, mekanisme infeksi
susunan saraf, hal 303-331, Dian Rakyat, Jakarta.
4. Sugiri B. Sistem saraf. Kumpulan Materi Kuliah [serial online] 2011 [cited 2011 Jan 27];
Available from: URL: http://hmkuliah.wordpress.com/2010/12/03/sistem-saraf/
5. Anonym. Meningitis Bakterial. [serial online] 2011 [cited 2011 Jan 27]; Available from:
URL: http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/meningitis-bakterial.html
6. Satria. Meningitis viral. [serial online] 2011 [cited 2011 Jan 27]; Available from: URL:
http://satriaperwira.wordpress.com/2010/07/06/meningitis-viral/
7. Anonym. Meningitis Bakterial. Medan. Universitas Sumatera Utara. 2010.
8. www.fk.uwks.ac.id/.../IlmuPenyakitSaraf/iNFEKSICEREBRA.pdf
9. http://www.kidshealth.org/parent/infections/bacterial_viral/encephalitis.html
10. http://t1.gstatic.com/images?
q=tbn:ANd9GcSSKX55FlJ3HRfS9ybFK5mXxU_iPUZ05f4pszSV5f100NJilW_R
11. Ario Eddy K. Infeksi Sistem Saraf pada Pasien Imunoompromais. [serial online] 2010
[cited 2010 Feb 23]; Available from: URL: http://wwww.google.com.
12. Osborn.Anne, Blaser, Salzman. 2002. Pocket Radiologist, hal 34-52. WB Saunders
Company. Salt Lake City, Utah.

77

Anda mungkin juga menyukai