Anda di halaman 1dari 100

LAPORAN SEVEN JUMP

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT II PADA Tn. R


DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN AKIBAT GAGAL
GINJAL KRONIS

Dosen Pengampu: Ns. Ahmad Syarifudin, S.Kep


Kelompok B:
Siti Nuraina Inayah
Ady Hidayatullah
Muamar
Nuryadi
Ely Ferdiana
Khaedar Ali
Rina Maryatiana
Chintya Intansari
Agnes Acida
Nelly Sulvassamawati
Rivna Andrari Lanisyah
Afif Ubaidillah
Nurtusliawati
Wiwid Ariska Larasati
Neng Ledy Lestary
Fitria Dewi
Nosa Defitha Azka

213.C.0022
213.C.0023
213.C.0027
213.C.0028
213.C.0029
213.C.0030
213.C.0031
213.C.0032
213.C.0034
213.C.0036
213.C.0035
213.C.0040
213.C.0041
213.C.0042
213.C.0043
213.C.0046
214.C.1037

PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARDIKA CIREBON
2016/2017

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
laporan dengan judul Asuhan Keperawatan Gawat Darurat II Pada Tn.R dengan
Gangguan Sistem Perkemihan Akibat Gagal Ginjal Kronis. Laporan ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kegawat Darurtan II pada Program
Studi S1 Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Mahardika
Cirebon. Selama proses penyusunan laporan ini penyusun tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak yang berupa bimbingan, saran dan petunjuk baik berupa moril,
spiritual maupun materi yang berharga dalam mengatasi hambatan yang
ditemukan. Oleh karena itu, sebagai rasa syukur dengan kerendahan hati, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Ns. Ahmad Syarifudin, S.Kep yang telah memberikan bimbingan dan
dorongan dalam penyusunan laporan ini sekaligus sebagai dosen pengampu
Mata Kuliah Kegawat Daruratan II.
2. Ibunda dan ayahanda kami yang tercinta serta saudara dan keluarga besar
kami yang telah memberikan motivasi/dorongan dan semangat, baik berupa
moril maupun materi lainnya.
3. Sahabat dan rekan STIKes Mahardika, khususnya Program Studi S1 Ilmu
Keperawatan yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah SWT. membalas baik budi dari semua pihak yang telah
berpartisipasi membantu penyusun dalam menyusun laporan ini. Penyusun
menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kata sempurna, untuk itu penyusun mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun untuk perbaikan penyusunan selanjutnya.

Penyusun berharap, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin
Wassalamualaikum wr.wb.
Cirebon, September 2016

Kelompok B

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...............................................................................................i


Daftar Isi ........................................................................................................iii
Daftar Gambar ............................................................................................... iv
Daftar Tabel ..................................................................................................v
Laporan Seven Jump ..................................................................................... 1
Step 1 Kata Kunci...................................................................................... 4
Step 2 Identifikasi Masalah ...................................................................... 12
Step 3 Analisis Masalah ........................................................................... 13
Step 4 Mind Mapping ............................................................................... 20
Step 5 Learning Objective ........................................................................ 22
Step 6 Informasi Tambahan ..................................................................... 23
Step 7 Pendahuluan .................................................................................. 36
Lampiran 1 Teori dan Analisa Kasus ............................................................ 37
Lampiran 2 Jurnal
Lampiran 3 Pathway
Daftar Pustaka

iii

DAFTAR GAMBAR

Nomor
1

Nama Tabel
Derajat pitting edema

Halaman
10

iv

DAFTAR TABEL

Nomor
1

Nama Tabel
Pedoman untuk aerobik dan ketahanan resep latihan

Halaman
32

di ESKD usaha pasien (non-nocturnal) hemodialisis


2

Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan derajat

40

Laju Filtration Glomerulus


3

Rencana tatalaksana penyakit gagal ginjal kronik

50

Nursing Care Plan Berdasarkan Teori

58

Analisa Data Berdasarkan Kasus

68

Nursing Care Plan berdasarkan Kasus

73

SEVEN JUMP

Mata Kuliah

: Keperawatan Gawat Darurat II

Tingkat/Semester

: 4/VII

SEKENARIO KASUS 1

Tn. RH (47 th) laki-laki. Diagnosa medis : CKD stage V dengan overload.
Keluhan utama : sesak napas sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
dan badan makin lama makin bengkak, edema sejak 1 bulan SMRS. Pasien
mengetahui menderita penyakit ginjal sejak 3 bulan yang lalu. Pasien sulit tidur
karena sesak dan tidur dengan posisi duduk. Batuk (-), pilek (-).Nafsu makan
menurun karena mual, tidak ada muntah, pasien belum membatasi minum dan
dalam sehari kira-kira minum 1000-1500 ml air. Pasien dalam 5 hari ini sulit
untuk BAK karena kemaluan bengkah, jumlah urin mulai menurun. Pasien
memiliki riwayat penyakit DM dan Hipertensi sejak 3 tahun yang lalu.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : 180/90 mmHg, nadi : 90
x/menit, frekuensi napas : 28 x/menit, suhu : 36,50C. Kesadaran composmentis
konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (+), whezzing (-), CRT > 3 detik dan tampak pucat, JVP 5+2
cmH2O, edema anasarka, derajat pitting edema : derajat 3, kemaluan edema
(skrotum dan penis edema), ascites dengan lingkar perut 132 cm. Pemeriksaan
laboratorium : hemoglobin : 4,9 mg/dl, , ureum 310 mg/dl, creatinin 13,3 mg/dl,
GDS : 143 mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) : pH : 7,049; PCO2 :
31,2; PO2 46,1; BP 750; HCO3 : 8,4; O2 saturasi 64; BE -21; total CO2 9,4.
Elektrolit : natrium : 128 mmol/l, kalium : 6,07 mmol/l; clorida 112 mmol/l.

A.

Tugas Mahasiswa
1. Setelah membaca dengan teliti skenario di atas mahasiswa membahas
kasus tersebut dengan kelompok, dipimpin oleh ketua dan sekretaris.
2. Melakukan

aktifitas

pembelajaran

individual

di

kelas

dengan

menggunakan buku ajar, jurnal dan internet untuk mencari informasi


tambahan.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa dihadiri fasilitator) untuk
melakukan curah pendapat bebas antar anggota kelompok untuk
menganalisa informasi dalam menyelesaikan masalah.
4. Berkonsultasi pada narasumber yang telah ditetapkan oleh fasilitator.
5. Mengikuti kuliah khusus dalam kelas untuk masalah yang belum jelas
atau tidak ditemukan jawabannya untuk konsultasi masalah yang belum
jelas.
6. Melakukan praktikum berkaitan dengan kasus tersebut.

B.

Proses Pemecahan Masalah


Dalam diskusi kelompok mahasiswa diharapkan dapat memecahkan
problem yang terdapat dalam scenario dengan mengikuti 7 langkah
penyelesaian masalah di bawah ini:
1. Klarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario di atas, dan tentukan
kata / kalimat kunci skenario di atas.
2. Identifikasi problem dasar skenario, dengan membuat beberapa
pertanyaan penting.
3. Analisa problem-problem tersebut dengan menjawab pertanyaanpertanyaan di atas.
4. Klarifikasikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
5. Tentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh mahasiswa atas
kasus di atas. Langkah 1 sampai 5 dilakukan dalam diskusi tutorial
pertama dengan fasilitator.
6. Cari informasi tabahan informasi tentang kasus di atas di luar kelompok
tatap muka; dilakukan dengan belajar mandiri.

7. Laporkan hasil diskusi dan sintetis informasi-informasi yang baru


ditemukan; dilakukan dalam kelompok diskusi dengan fasilitator.
8. Seminar; untuk kegiatan diskusi panel dan semua pakar duduk bersama
untuk memberikan penjelasan atas hal-hal yang belum jelas.
Penjelasan: Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih
ada informasi yang diperlukan untuk sampai pada kesimpilan akhir, maka
proses 6 bisa diulangi dan selanjutnya dilakukan lagi langkah 7. Kedua langkah
di atas bisa diulang-ulang di luar tutorial dan setelah informasi dirasa cukup
dilakukan langkah nomor 8.

STEP I
KATA KUNCI

A.

Kata Kunci dan Istilah yang Tidak Dimengerti


1. CKD stage V dengan overload
2. JVP 5 + 2 cm
3. Analisa Gas Darah (AGD)
4. Edema Anasarka
5. Pitting Edema
6. Ascites

B.

Penjelasan dari Kata Kunci dan Istilah yang Tidak Dimengerti


1. CKD stage V dengan overload
Jawab:
CKD adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat
pulih, dan dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah
dipakai sebagai nama keadaan ini selama lebih dari satu abad. Walaupun
sekarang kita sadari bahwa gejala CKD tidak selalu disebabkan oleh
retensi urea dalam darah (Sibuea, Panggabean, dan Gultom, 2006).
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis
didefinisikan sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan
atau tanpa penurunan glomerulus filtration rate (GFR) (Nahas & Levin,
2010). Tahap 4 CKD sangat berkurang fungsi ginjal, 15-30% (eGFR 1529ml/ min/ 1.73m2). Tahap 5 CKD sangat sangat berkurang fungsi ginjal
(endstage atau ESRF / ESRD), kurang dari 15% (eGFR kurang dari 15
ml / menit). Kreatinin dan eGFR pada individu biasanya cukup stabil.
Memburuknya fungsi ginjal penilaian kebutuhan cepat. Perhatikan bahwa
CKD pementasan dan manajemen yang diuraikan di bawah hanya
berlaku untuk fungsi ginjal stabil.

Penilaian dan pengelolaan Tahapan stabil 4 dan 5 CKD.


penilaian awal identik ke Tahap 3 CKD, namun berbeda dengan Tahap 3,
rujukan atau diskusi dengan layanan spesialis akan biasa. Pengecualian
untuk 'selalu mengacu atau mendiskusikan' mungkin termasuk pasien
yang:
a. Gangguan ginjal berat merupakan bagian dari penyakit terminal lain
b. Orang di antaranya semua penyelidikan yang tepat telah dilakukan
dan ada sebuah disepakati dan dipahami jalur perawatan
c. Orang di antaranya penyelidikan dan pengelolaan selanjutnya jelas
tidak pantas.
d. Distensibilitas vena-vena di leher dapat memperlihatkan adanya
perubahanvolume dan tekanan di dalam atrium kanan. Terdapat 2
buah vena jugularispada leher yaitu vena jugularis interna dan vena
jugularis eksterna.
e. Pemeriksaan JVP menunjukkan keadaan input jantung. Vena
jugularis yangbiasa digunakan yakni vena jugluaris interna karena
berhubungan langsungdengan vena cava superior dan atrium kanan
(Waskito, 2008).

2. JVP 5 + 2 cm
Jawab:
Jugular vena pressure (jvp) atau tekanan system vena yang dapat
diamatisecara tidak langsung. pengukuran system sirkulasi vena sendiri
dapatdilakukan dengan metode invasive memasukkan kateter yang
dihubungkandengan sphygmomanometer melalui vena subclavia dextra
yang diteruskan hingga kevena centralis (vena cava superior) (Potter &
Perry, 2009).
Distensibilitas vena-vena di leher dapat memperlihatkan adanya
perubahanvolume dan tekanan di dalam atrium kanan. Terdapat 2 buah
vena jugularispada leher yaitu vena jugularis interna dan vena jugularis
eksterna. Pemeriksaan JVP menunjukkan keadaan input jantung. Vena

jugularis yang biasa digunakan yakni vena jugluaris interna karena


berhubungan langsungdengan vena cava superior dan atrium kanan
(Potter & Perry, 2009).

3. Analisa Gas Darah (AGD)


Jawab:
Analisa Gas Darah (AGD) adalah cara yang paling efektif untuk
mengevaluasi keseimbangan asam basa dan oksigenasi, penyimpangan
dari nilai normal menandakan bahwa pasien mengalami gangguan
keseimbangan asam

basa. penghitungan AGD meliputi analisa

komponen pH, PaCO2, PaO2, HCO3-, Base excess (BE), dan SaO2
(Potter & Perry, 2009). Lokasi pengambilan darah arteri antara lain:
a. Arteri radialis dan arteri ulnaris (sebelumnya dilakukan allens test)
Allens test merupakan uji penilaian terhadap sirkulasi darah di
tangan, hal ini dilakukan dengan caara yaitu pasien diminta untuk
mengepalkan tangannya, kemudian berikan tekanan pada arteri
radialis dan arteri ulnaris selama bebrapa menit, setelah itu minta
pasien untuk membuka tangannya, lepaskan tekanan pada arteri,
observasi warna jari-jari, inbu jari dan tangan. jari-jari dan tangan
harus memerah dalam 15 detik, warna merah menunjukan est allens
positif. apabila tekanan dilepas, tangan tetep pucat, menunjukan test
allens negatif. jika pemeriksaan negatif, hindarkan tangan tersebut
dan periksa tangan yang lain (Wasis, 2015).
b. Arteri dorsalis pedis
Merupakan arteri pilihan ketiga jika arteri radialis dan ulnaris
tidak bisa digunakan (Wasis, 2015).
c. Arteri brakialis
Merupakan arteri pilihan keempat karena lebih banyak
resikonya bila terjadi obstruksi pembuluh darah. selain itu arteri
fermoralis terletak sangat dalam dan merupakan salah satu pembuluh
utama yang memperdarahi ekstermitas bawah (Wasis, 2015).

d. Arteri fermoralis
Merupakan pilihan terkhir apabila pada semua arteri diatas tidak
dapat diambil. arteri femoralis atau brakialis ebaiknya jangn
digunakan jika masihm ada alternative lain karena tidak memiliki
sirkulasi kolateral yang cukup untuk mengatasi bila terjadi spasme
atau thrombosis. sedangkan arteri temporalis atau axillaris sebaiknya
tidak digunakan karena adanya resik emboli ke otak (Wasis, 2015).

Interpretasi Hasil AGD:


a. Ph, nilai Ph dapat mengukur konsentrasi in hidrogen (H+) dalam
cairan tubuh. peningkatan ion H+ menyebabkan larutan bersifat lebih
asam, sedangkan penurunan konsentrasi H+ dapat menyebabkan
larutan bersifat lebih basa. nilai pH arteri normal adalah 7,35-7,45
(Potter & perry, 2009).
b. PaO2, adalah tekanan parsial oksigen dalam darah arteri dengan kadar
normal, yaitu 80-100 mmHg. tekanan oksigen yang kurang dari 60
mmHg dapat menyebabkan metabolisme anaerob, yang selanjutnya
akan menyebabkan produksi asam laktat dan asidosis metabolik
(Potter & Perry, 2009).
c. PC02, adalah tekanan parsial karbondioksida dalam darah dan
merupakan gambaran kedalam vntilasi paru. rentang normalnya
adalah 35-45 mmHg. hiperventilasi terjadi saat PaCO2 berada
dibawah 35 mmHg dan Hipoventilasi terjadi saat kadar PaCO2 berada
dibawah 35 mmHg (Potter & Perry, 2009).
d. HCO3- ata bkarbonat adalah komponen utama keseimbangan asambasa normalnya 22-26 mEq/L, kadar yang kurang dari 22mEq/L
biasanya mengindikasikan asidosis metabolic dan jika lebh besar dari
26 mEq/L mengindikasikan alkalosis mHetabolik (Potter& Perry,
2009).
e. Bae excess (BE), adalah jumlah penyangga darah (hemoglobin dan
bikarbonat) yang didapatkan dalam tubuh. kadar normalnya adalah -2

-2 mEq/L. nilai kadar yang tinggi dapat mengidikasikan alkkalosis dan


kadar yang kurang dari normal dapat emnidiasikan asidosis (Potter &
Perry, 2009).
f. Saturasi O2, adalah persentase molekull hemoglobin yang tersaturasi
dengan oksigen (SaO2), saturasi oksigen normal adalah antara 95-99%
(chang, 2010). ketika PaO2 berada dibawah 60 mmHg, maka saturasi
juga menurun dengan drastis (Potter & Perry, 2009).

Dari komponen- komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi


empat keadaan yang menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah
yaitu:
a. Asidosis repiratorik adalah keadaan klinis yang terjaadi akibat
peningkatan

abnormal

PaCO2

(hiperkapnia),

sehingga

terjadi

asidemia, ditandai dengan pH gas darah <, 7,35 dan peningkatan


PaCO2 primer hal ini disebabkan karena ventilsi alveolar yang tidak
efektif (Potter & Perry, 2009).
b. Alkalosis respiratorik adalah keadaan klinis yang rerjadi akibat
penurunan abnormal PaCO2 (hipokapnia) sehingga, terjadi alkalemia.
penurunan PaCO2 primr akan meningkatan pH gas darah> 7, 45
disebabkan meningkatan ventilasi alveolar melebihi produksi CO2
penurunan PaCO2 (hipokapnia) menyebabkan dua efek yang
bertentangan dalam persamaa asam basa (Potter & Perry, 2009).
c. Asidosis metabolik merupakan hasil dari kehilangan asam dari tubuh
atau peningkatan kadr bikarbonat. sebagian besar alkali pada sysetem
penyangga karbonat menyebabkan deficit bikarbonat (Potter & Perry,
2009).
d. Alkolosi metabolik merupakan hasil dari kehilangan asam dari tubuh
atau meningkatkannya kadar bikarbonat. penyebab yang paling umum
adalah muntah dan penghisapan gastrik. kompensasi terjadi dengan
menurunkan kecepatan pernafasan dan kehilangan bikarbonat oleh

ginjal jika tidak disebabkan oleh penyakit ginjal (Potter & Perry,
2009).

4. Edema Anasarka
Jawab:
Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan
interstisial lebih dari jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga
tubuh mengakibatkan gangguan sirkulasi pertukaran cairan elektrolit
antara plasma dan jaringan interstisial. Jika edema mengumpul di dalam
rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan pericardium.
Penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal dinamakan asites. Pada
jantung terjadinya edema yang disebabkan terjadinya dekompensasi
jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal
ini disebabkan oleh kegagalan venterikel jantung untuk memopakan
darah dengan baik sehingga darah terkumpul di daerah vena atau kapiler,
dan jaringan akan melepaskan cairan ke intestisial (Syarifuddin, 2001).

5. Pitting Edema
Jawab:
Pitiing edema adalah edema yang akan tetap cekung bahkan
setelah penekan ringan pada ujung jari baru jelas terlihat setelah
terjadinya retensi cairan paling tidak sebanyak 4,5 kg dari berat badan
normal selama mengalami edema (Brunner dan Suddarth, 2002).
Edema merupakan terkumpulnya cairan didalam jaringan
intertesial lebih dari jumlah yang biasa atau didalam berbagai rongga
tubuh mengakibatkan gangguan sirkulasi pertukaran cairan elektrolit
antara plasma dan jaringan intersesial . jika edema mengumpul didalam
rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan perikardium
penimbunan cairan didalam rongga peritonial dinamakan asites
(Syarifuddin, 2001).

Penyebab edema:
a. Primer :
1) Peningkatan permeabilitas kafiler
2) Berkurangnya protein plasma
3) Peningkatan tekan hidrostatik
4) Obstruksi limpa
b. Sekunder :
1) Peningkatan tekanan koloid osmotik dalam jaringan
2) Retensi natrium dan air
Lokasi pemeriksaan atau daerah terjadinya edema :
a. Daerah satkrum
b. Diatas tibia
c. Pergelangan kaki
Penilaian derajat pitting edema
a. Derajat 1 : kedalamannya 1-3 mm dengan waktu kembali 3 detik
b. Derajat 2 : kedalamannya 3-5 mm dengan waktu kembalinya 5 detik
c. Derajat 3 : kedalamannya 5-7 mm denagn waktu kembail 7 detik
d. Derajat 4 : kedalamannya 7 mm atau lebih dengan waktu kembali 7
detik

Gambar 1. Derajat Pitting Edema


(Sumber: www.google.com)

10

6. Ascites
Jawab:
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal dirongga
peritoneum. Asites dapat disebabkan oleh bnayak penyakit. Antara lain
sirosis hepatis, juga merupakan gejala yang sering terjadi pada penderita
kancer ovarium. Gejala ini juga sering digunkan sebagai tanda diagnostik
adanya kemungkinan keganasan pada kancer ovarium (Prahbana
Askandar, 2008).

11

STEP 2
IDENTIFIKASI MASALAH

A.

Bagaimana pasien CKD bisa mengalami sesak nafas?

B.

Apakah riwayat DM dan Hipertensi menjadi faktor pencetus CKD stage V


dengan overload?

C.

Mengapa pada pasien CKD mengalami mual sehingga mengalami


penurunan nafsu makan?

D.

Bagaimana tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien CKD dalam


kasus?

E.

Bagaimana edukasi pada pasien dan keluarga untuk asupan yang sesuai?

12

STEP 3
ANALISIS MASALAH

A.

Bagaimana pasien CKD bisa mengalami sesak nafas?


Jawab:
Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan
atau diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan
elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan risiko terjadinya gagal
jantung kongestif. Penderita akan

menjadi sesak nafas, akibat

ketidakseimbangan asupan zat oksigen dengan kebutuhan tubuh. Dengan


tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini
menimbulkan risiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu
diperhatikan keseimbangan cairannya. Semakin menurunnya fungsi ginjal,
terjadi asidosis metabolic akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+)
yang berlebihan. Juga terjadi penurunan produksi hormon eritropoetin yang
mengakibatkan anemia. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus
ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum
kalsium.

Penurunan

kadar

kalsium

serum

menyebabkan

sekresi

parathormon dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan


perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang
mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi (Pierce,
2007).
Sering kesulitan bernafas adalah gejala penyakit ginjal kronis (CKD)
yang umum dialami pederita gagal ginjal. Sesak nafas juga berkaitan dengan
penyakit gagal ginjal. Dimana ada dua masalah sehingga menimbulkan
ganguan pada pernafasan. Sesak nafas untuk kasus yang pertama adalah
adanya cairan yang berlebih karena tidak berfungsinya ginjal sehingga
cairan tersebut akan menutup saluran paru-paru. Dan kedua, anemia
(kekurangan oksigen pembawa sel-sel darah merah) yang mengakibatkan
tubuh anda kekurangan oksigen dan kehabisan nafas. Pada kasus ciri-ciri

13

penyakit ginjal sesak nafas ini, biasanya pasien gagal ginjal akan sulit tidur
karena kesulitan bernafas dan perut kembung terus-menerus. Aktivitas yang
memerlukan sedikit gerak fisik pun akan terasa sangat berat (Sudoyo, 2007).

B.

Apakah riwayat DM dan Hipertensi menjadi faktor pencetus CKD


stage V dengan overload?
Jawab:
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun,
dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan
penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009). DM
yang tidak terkontrol merupakan salah satu faktor terjadinya nefropati
diabetikum. Telah diperkirakan bahwa 35-40% pasien DM tipe 1 akan
berkembang menjadi gagal ginjal kronik. Diabetes

Melitus

(DM)

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karateristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

berhubungan

dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa


organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.
Masalah yang akan dihadapi oleh penderita DM cukup komplek
sehubungan dengan terjadinya komplikasi kronis baik mikro maupun
makroangiopati. Salah satu komplikasi mikroangiopati adalah nefropati
diabetik

yang

bersifat

kronik

progresif. Perhimpunan

Nefrologi

Indonesia pada tahun 2000 menyebutkan diabetes mellitus sebagai


penyebab nomor 2 terbanyak penyakit ginjal kronik dengan insidensi
18,65% (National Kidney Foundation, 2009).
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal
disamping faktor lain seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi
dan faktor lain. Penyakit ginjal, hipertensi menjadi salah satu penyebab
penyakit ginjal kronik. Insideni hipertensi esensial berat yang berakhir
dengan gagal ginjal kronik <10%. Selain Glomerulonephritis, diabetes

14

mellitus dan hipertensi, terdapat penyebab lain penyakit ginjal kronik


seperti

kista

dan

penyakit

bawaan

lain, penyakit sistemik (lupus,

vaskulitis), neoplasma, serta berbagai penyakit lainya. Hipertensi yang


berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur pada arteriol di
seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding pembuluh
darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada
ginjal, arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis.
Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan
lumen pembuluh darah intrarenal. Penyumbatan arteri dan arteriol akan
menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh
nefron rusak. Terjadilah gagal ginjal kronik (National Kidney Foundation,
2009).
Walau bagaimanapun, penyebab utama GGK adalah diabetes dan
tekanan darah yang tinggi. Diabetes terjadi apabila kadar gula darah
melebihi paras normal, menyebabkan kerusakan organ-organ vital tubuh
seperti jantung dan ginjal, serta pembuluh darah, syaraf dan mata. Tekanan
darah yang tinggi atau hipertensi, terjadi apabila tekanan darah pada
pembuluh darah meningkat dan jika tidak dikawal, hipertensi bisa menjadi
punca utama kepada serangan jantung, strok dan gagal ginjal kronik. Gagal
ginjal kronik juga bisa menyebabkan hipertensi (Roesli, 2008).

C.

Mengapa pada pasien CKD mengalami mual sehingga mengalami


penurunan nafsu makan?
Jawab:
Gagal ginjal kronik (CKD) berawal karena adanya zat toksik, infeksi
dan obstruksi saluran kemih yang menyebabkan retensi urin. Dari penyebab
tersebut GFR (glomerulus filtration rate) diseluruh masa nefron turun
dibawah normal. Hal yang dapat terjadi dari menurunnya GFR meliputi
sekresi protein terganggu, retensi Na dan sekresi eritropitin turun. Hal ini
mengakibatkan terjadinya sindrom uremia yang diikuti oleh penigkatan
asam lambung dan pruitus. Asam lambung yang meningkat akan

15

merangsang rasa mual sehingga dapat mengakibatkan penurunan nafsu


makan, dapat juga iritasi pada lambung dan pendarahan jika iritasi tersebut
tidak ditangani dapat menyebabkan melena (Corwin, 2009).

D.

Bagaimana tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien CKD


dalam kasus?
Jawab:
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a.

Tahap pertama terdiri dari terapi konservatif yang ditujukan untuk


meredakan atau memperlabat gangguan fungsi ginjal progresif,
penatalaksanaan ini diantaranya yaitu mengoptimalisaikan dan
mempertahan kan keseimbangan cairan dan garam, diit tinggi kalori,
rendah protein, control hipertensi, control

ketidakseimbangan

elektrolit, deteksi dini, terapi infeksi dan deteksi terapi komplikasi


(Soeparman, 2007; Pernefri, 2003). Tindakan ini bertujuan untuk
mempertahankan fungsi nefron dan meningkatkan kualitas kesehatan
pasien.
b.

Tahap kedua adalah terapi hemodialisis dan transplantasi ginjal.


Terapi hemodialisis dilakukan setelah tindakan konservatif tidak lagi
efektif. Pada keadaan ini terjadi gagal ginjal terminal dan satu-satunya
pengobatan yang efektif adalah hemodialisis dan transplantasi ginjal
dan cangkok ginjal. Hemodialisis digunakan bagi klien gagal ginjal
akut atau gagal ginjal yang sudah tidak dapat diperbaiki serta tidak
keseimbangan cairan dan elektrolit (Black, 2014).

Hemodialisis biasanya menjadi pilihan pengobatan ketika zat


toksin seperti barbiturate setelah overdosis, perlu dihilangkan
dari tubuh dengan cepat.

Dialysis Peritoneal telah digunakan untuk terapi overdosis obat


dan toksin, tetapi karena pembersihannya sangat lambat
dibandingkan dengan hemodialisis, maka mungkin cara ini tidak

16

cukup adekuat untuk tujuan tersebut. Adapun jenis dialysis


peritoneal diantaranya yaitu:
1)

Dialysis

Peritoneal

Mandiri

Berkesinambungan

(Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis [CAPD])


Pada jenis dialysis peritoneal berkesinambungan, 1,5
sampai 3 L dialisat ditanamkan ke abdomen dan di biarkan
selama periode waktu yang ditentukan. Larutan kemudian
dibilas dengan bantuan gaya gravitasi. Keika di bilas,
kantong diganti dan dialisat baru ditanamkan dalam
abdomen

saat

proses

berlanjut.

CAPD

biasanya

mengguakan siklus dialysis setiap 24 jam, termasuk


tinggal selama 8 jam sepanjang malam (Black, 2014).
2)

Dialysis Peritoneal Otomatis (Automated Peritoneal


Dialysis [APD])
Dialysis peritoneal otomatis mengharuskan penggunaan
mesin putaran peritoneal. Metode ini dapat dilakukan
sebagai dialysis peritoneal siklus berkesinambungan,
intermiten, atau intermiten malam (Black, 2014).
-

Dialysis Peritoneal Intermitent, metode ini bukanlah


prosedur dialysis berkesinambungan. Sebaliknya,
dialysis dlakukan selama 10 sampai 14 jam, 3
sampai 4 kali seminggu, dengan mesin pemutar
peritoneal yang sama dengan dialysis peritoneal
siklus berkesinambungan.

Dialysis Peritoneal Intermiten Malam, dialysis


dilakukan selama 8 sampai 12 jam setiapmalam
tanpa tinggal pada siang hari.

3)

Dialysis peritoneal siklus berkesinambungan (Continous


Cyclic Peritoneal Dialysis [CCPD])
Pada variasi ini, biasanya ada tiga siklus pada malam hari
dan satu siklus lalu didiamkan selama 8 jam dipagi hari.

17

Keuntungan prosedur ini adalah kateter peritoneal hanya


dibuka untuk prosedur on dan off, sehingga mengurangi
risiko infeksi (Black, 2014).

E.

Bagaimana edukasi pada pasien dan keluarga untuk asupan yang


sesuai?
Jawab:
a.

Syarat Dalam Menyusun Diet


Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30
kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
1)

Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori

2)

Protein untuk pemeliharaan jaringan tubuh dan mengganti selsel yang rusak sebesar 0,6 g/kg BB. Apabila asupan energi tidak
tercapai, protein dapat diberikan sampai dengan 0,75 g/kg BB.
Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh
karena itu diet ini biasa disebut Diet Rendah Protein. Pada
waktu yang lalu, anjuran protein bernilai biologi tinggi/hewani
hingga 60 %, akan tetapi pada saat ini anjuran cukup 50 %.
Saat ini protein hewani dapat dapat disubstitusi dengan protein
nabati yang berasal dari olahan kedelai sebagai lauk pauk untuk
variasi menu.

3)

Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan 30 %


diutamakan lemak tidak jenuh.

4)

Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine


sehari ditambah IWL 500 ml.

5)

Garam disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta


penumpukan cairan dalam tubuh. Pembatasan garam berkisar
2,5-7,6 g/hari setara dengan 1000-3000 mg Na/hari.

6)

Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia


40-70 meq/hari.

7)

Fosfor yang dianjurkan 10 mg/kg BB/hari

18

8)
b.

Kalsium 1400-1600 mg/hari

Bahan Makanan yang Dianjurkan


1)

Sumber Karbohidrat: nasi, bihun, mie, makaroni, jagng, roti,


kwethiau, kentang, tepungtepungan, madu, sirup, permen, dan
gula.

2)

Sumber Protein Hewani: telur, susu, daging, ikan, ayam. Bahan


Makanan Pengganti Protein Hewani : Hasil olahan kacang
kedele yaitu tempe, tahu, susu kacang kedele, dapat dipakai
sebagai pengganti protein hewani untuk pasien yang menyukai
sebagai variasi menu atau untuk pasien vegetarian asalkan
kebutuhan protein tetap diperhitungkan. Beberapa kebaikan dan
kelemahan sumber protein nabati untuk pasien penyakit ginjal
kronik akan dibahas.

3)

Sumber Lemak: minyak kelapa, minyak jagung, minyak kedele,


margarine rendah garam, mentega.

4)

Sumber Vitamin dan Mineral : Semua sayur dan buah, kecuali


jika pasien mengalami hipekalemi perlu menghindari buah dan
sayur tinggi kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu dengan
cara merendam sayur dan buah dalam air hangat selama 2 jam,
setelah itu air rendaman dibuang, sayur/buah dicuci kembali
dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat dimasak
menjadi stup buah/coktail buah.

c.

Bahan Makanan yang Dihindari


1)

Sumber Vitamin dan Mineral : Hindari sayur dan buah tinggi


kalium jika pasien mengalami hiperkalemi. Bahan makanan
tinggi kalium diantaranya adalah bayam, gambas, daun
singkong, leci, daun pepaya, kelapa muda, pisang, durian, dan
nangka. Hindari/batasi makanan tinggi natrium jika pasien
hipertensi, udema dan asites. Bahan makanan tinggi natrium
diantaranya adalah garam, vetsin, penyedap rasa/kaldu kering,
makanan yang diawetkan, dikalengkan dan diasinkan.

19

STEP 4
MIND MAPPING

KERANGKA

Faktor risiko terjadinya CKD

KONSEP
Pencetus timbulnya, manifestasi klinis
dengan proses patofisiologi CKD

Untuk mempertahankan terjadinya komplikasi


berlanjut

NCP CKD

KERANGKA TEORI
(MIND MAPPING)

20

CKD sesuai konsep teori:


1. Definisi CKD
2. Etiologi CKD
3. Manifestasi Klinis CKD
4. Klasifikasi CKD
5. Patofisiologi CKD
6. Komplikasi CKD
Pemeriksaan Penunjang CKD
ASKEP CKD

1.

1. Pengkajian

Natrium, air, kalium, keseimbangan

2. Diagnosa Keperawatan

Tn. R

Pemeriksaan

Laboratorium:

asam basa.

3. Perencanaan

2. Pemeriksaan Radiologis: foto

4. Implementasi

polos abdomen, pielografi, USG.

Tatalaksana CKD berdasarkan


Analisis Jurnal

21

STEP 5
LEARNING OBJECTIVE

A. Mahasiswa mampu memahami teori kegawat daruratan pada gangguan


system perkemihan akibat gagal ginjal kronik.
B. Mahasiswa mampu menganalisis kasus klien dengan gagal ginjal kronik
sesuai dengan triage gawat darurat.
C. Mahasiswa mampu mengaplikasikan tindakan gawat darurat dengan tepat,
cepat, dan benar pada klien dengan gagal ginjal kronik.
D. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan gawat darurat pada klien
dengan gagal ginjal kronik.

22

STEP 6
INFORMASI TAMBAHAN

A.

Identitas Jurnal
Judul

: Exercise & Sports Science Australia (ESSA) position


statement on exercise and chronic kidney disease.

Nama jurnal

: Journal of Science and Medicine in Sport.

Penulis

: Neil A. Smart, Andrew D. Williams, Itamar Levinger,


Steve Selig, Erin Howdene, Jeff S. Coombes, Robert G.
Fassett.

Tahun

B.

: 2013.

Latar Belakang
Keterangan Posisi ini memberikan pedoman berbasis bukti untuk
pelatihan latihan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD). CKD
adalah penyakit kompleks yang berdampak pada beberapa organ dan sistem.
CKD merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama terkait dengan
morbiditas, mortalitas dan biaya kepada masyarakat. Penyakit Ginjal
Meningkatkan Hasil global (KDIGO) mendefinisikan CKD (a) kerusakan
ginjal tiga bulan dengan kelainan ginjal struktural atau fungsional dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR), atau (b) GFR <60 ml /
menit / 1,73 m2 ini > tiga bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Sebuah
update terbaru sekarang juga memperhitungkan tingkat albumin akun serum
ketika menetapkan risiko kejadian serius menurut status eGFR (lihat Tabel
Tambahan) Prognosis untuk penderita CKD buruk dan mengurangi GFR
merupakan prediktor independen kematian, kejadian kardiovaskular, dan
perawatan rumah sakit. CKD memiliki banyak penyebab dan berhubungan
dengan kondisi metabolik seperti obesitas, diabetes tipe 2 dan penyakit
kardiovaskular. klasifikasi CKD memiliki 5 bertahap sesuai tingkat
keparahan, diagnosis, pengobatan dan prognosis, dengan stadium 5 biasanya

23

digambarkan sebagai penyakit stadium akhir ginjal (ESKD) 0,7 CKD


diperkirakan mempengaruhi 13,4% orang dewasa Australia (berusia 25
tahun atau lebih tua), dengan lebih dari setengah dari ini dalam tahap 3-5.
Selain itu, 30% dari orang dewasa Australia yang berusia lebih dari 65 tahun
memiliki CKD stadium 3-5.

C.

Tujuan
Penyakit ginjal kronis (CKD) banyak terjadi dan mempengaruhi
13% dari penduduk dewasa Australia serta menimbulkan peningkatan risiko
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Tujuan penulisan artikel ini
memberikan pedoman berbasis bukti tentang peran latihan olahraga untuk
pasien CKD dan memberikan rekomendasi untuk meresepkan dan
memberikan pelatihan olahraga pada pasien CKD.

D.

Metode
Sintesis laporan dari karya tulis yang diterbitkan dalam bidang
pelatihan olahraga dan penyakit ginjal kronis.

E.

Isi
1. Bukti untuk manfaat olahraga pada CKD
Seperti

penyakit

kronis

terkait,

kurangnya

aktivitas

fisik

merupakan factor9 risiko CKD utama dan prediktor mortalitas


kardiovaskular. Pada pasien ESKD, puncak VO2 bawah 17,5 ml kg-1
min-1 dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Namun, hubungan antara
kapasitas latihan dan kematian belum dilaporkan dalam tahap CKD 1-4.
Namun demikian, hubungan negatif antara ginjal tion fungsi, anemia dan
kapasitas latihan, diukur sebagai puncak VO2 telah dijelaskan pada
pasien CKD dengan tahap 4 dan 5.12 Gambar. 1 mengilustrasikan trates
hubungan antara gaya hidup dan CKD.
Pentingnya memodifikasi gaya hidup untuk manajemen medis CKD
terbukti dalam studi pelatihan latihan banyak. senam rutin memiliki

24

kualitas hidup yang lebih baik, fungsi fisik, skor kualitas tidur,
melaporkan lebih sedikit keterbatasan aktivitas fisik dan kurang
dipengaruhi oleh rasa sakit atau kurang nafsu makan. Dalam model
disesuaikan dengan demografi, co-morbiditas dan indikator sosialekonomi, risiko kematian adalah 27% lebih rendah di antara senam biasa.
Beberapa ulasan pelatihan olahraga dan meta-analisis untuk CKD telah
diterbitkan konsensus adalah bahwa olahraga teratur resmi diuntungkan,
untuk pasien di CKD tahap 1-4 dan tahap 5 (ESKD), dengan mayoritas
bukti yang untuk ESKD. Furthemore, baru-baru ini luas Cochrane review
meneliti efek aerobik dan resistensi pelatihan tentang langkah-langkah
fungsional dan klinis yang berhubungan dengan CKD. Ulasan ini
menyoroti bahwa:

Kedua intensitas rendah dan tinggi latihan aerobik mengakibatkan


peningkatan kapasitas aerobik, tetapi, latihan intensitas tinggi yang
dihasilkan meningkat lebih besar.

Perlawanan pelatihan saja tidak berpengaruh signifikan pada


kapasitas aerobic

Program latihan diawasi terkait dengan manfaat yang lebih besar


daripada latihan tanpa pengawasan.

Kekuatan otot cenderung meningkat dengan kedua latihan jenis


aerobik dan ketahanan, tetapi lebih banyak dengan latihan
ketahanan. daya tahan otot (duduk-to-berdiri di 60 s) tidak mungkin
meningkat dengan berolahraga (kedua resistensi dan aerobik)

Pendidikan Latihan tidak memiliki efek signifikan pada kapasitas


untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

Pendidikan Latihan meningkatkan hemodinamik pusat (menurunkan


tekanan darah dan denyut jantung). Kebanyakan manfaat yang
diamati pada orang-orang yang melakukan latihan intensitas tinggi.

Efek dari latihan olahraga pada serum albumin tidak jelas

Pendidikan Latihan secara signifikan meningkatkan asupan energi


setelah pelatihan olahraga.
25

Pendidikan Latihan tidak secara signifikan mengurangi massa lemak


atau lingkar pinggang

Pendidikan Latihan tidak memperbaiki profil lipid atau kadar


glukosa puasa.

Pendidikan Latihan tidak memperbaiki struktur ventrikel kiri atau


fungsi.

Tingkat Dropout bervariasi antara studi, mulai dari 0 sampai 70%.

Dalam kebanyakan studi kepatuhan adalah 70% atau lebih besar.


Oleh karena itu, latihan olahraga dapat meningkatkan kapasitas

aerobik, kekuatan otot dan beberapa tindakan psikologis pada pasien


CKD. Latihan dapat meningkatkan fungsi ginjal yang diukur dengan
perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR). Secara keseluruhan, optimal
"dosis" latihan yang akan mengarah untuk meningkatkan tindakan klinis
pada populasi ini tidak jelas. Perbedaan antara studi individu
menggambarkan kesulitan menerjemahkan data yang ada ke dalam praktek
(lihat Tabel 1). Sekitar dua pertiga dari percobaan yang dipublikasikan
<durasi 6 bulan dan dengan demikian mungkin sub-optimal untuk
mencapai perubahan hasil yang diinginkan. Semua kecuali dua studi pada
Tabel 1 menyajikan data pada pasien hemodialisis.
Hanya empat studi dimanfaatkan pelatihan resistensi yang terisolasi,
sehingga efek spesifik dari pelatihan resistensi pada pasien CKD yang
kurang dipahami. Meskipun sejumlah besar studi pelatihan aerobik dan
dikombinasikan ada, durasi studi, intensitas, frekuensi, olahraga modalitas,
tempat (kandang lawan rawat jalan terhadap interdialytic) sangat
bervariasi sulit untuk menentukan resep latihan yang optimal. Namun
demikian, bukti yang ada terbatas pada intensitas latihan menunjukkan
manfaat yang lebih besar dari intensitas sedang atau tinggi daripada
olahraga intensitas rendah, untuk berbagai penanda yang berkaitan dengan
fungsi fisik dan kesehatan jantung. Banyak pasien ESKD mununjukan
peradangan, atrofi otot dan gizi buruk. Beberapa studi perlawanan
26

pelatihan telah menghasilkan perbaikan dalam kekuatan otot, meskipun


pengurangan bersamaan dalam ekspresi sitokin pro-inflamasi yang
ambigu. ekspresi sitokin tinggi dan gizi buruk yang terkait dengan
pengembangan katabolisme dan CKD penyakit. Dua penelitian yang
digunakan recall diet untuk memperkirakan asupan energi harian, yang
meningkat dalam melaksanakan peserta CKD sekitar 5% dari garis dasar.
Namun, karya terbaru telah gagal untuk menunjukkan manfaat tambahan
dari latihan olahraga lebih suplementasi gizi oral pada pasien CKD.
Diterbitkan data agregat ada pada sekitar 1000 peserta penelitian di
mana, secara umum, olahraga dan kelompok kontrol yang sangat baik
cocok pada awal usia, jenis kelamin, penggunaan erythropoietin dan
puncak VO2, waktu menerima hemodialisis dan prevalensi penyakit
penyerta. Sebuah meta-analisis ini dilaporkan desain studi yang umumnya
miskin dengan skor Jadad median 2. Hanya sekitar sepertiga dari yang
diterbitkan studi memberikan pernyataan CONSORT lengkap, dan dalam
banyak data tentang kelayakan, penarikan dan penyelesaian yang
kekurangan. Kebanyakan penelitian gagal untuk melakukan niat untuk
mengobati analisis, yang bisa mengukur dampak penarikan studi. Data
yang ada menunjukkan sekitar 25% dari pasien mendekati tidak memenuhi
syarat karena berbagai kriteria eksklusi medis, selanjutnya 28% menolak
untuk berpartisipasi, sehingga latihan dapat kurang dimanfaatkan di CKD.
pelatihan olahraga muncul aman tanpa kematian yang dilaporkan langsung
karena latihan pelatihan di lebih dari 30.000 pasien-jam. penelitian yang
diterbitkan tidak menunjukkan bukti bias publikasi, dengan rendah untuk
heterogenitas moderat.
Sembilan studi diukur puncak VO2 di total hampir 400 pasien.
Berarti dasar standar deviasi dari puncak VO2 untuk kedua latihan dan
kontrol peserta adalah 21,0 5,0 ml kg-1 min-1. Usia rata-rata adalah 51
tahun dan usia-diprediksi puncak VO2 untuk berusia 51 tahun, menetap,
non-obesitas dewasa adalah 28,8 ml kg-1 min-1 menunjukkan pasien CKD

27

memiliki puncak VO2 sekitar 70% dari nilai usia diprediksi. pelatihan
olahraga dapat bermanfaat sebagai puncak rendah VO2 dikaitkan dengan
risiko kematian meningkat. Data dari penelitian gabungan aerobik dan
latihan kekuatan menyampaikan rata-rata peningkatan 29 11%
tertimbang di puncak VO2, mirip dengan 23 10% dari studi aerobik
terisolasi. Puncak VO2 data dari studi perlawanan pelatihan tidak tersedia.
Intra-dialytic pelatihan (ID) yang diproduksi perubahan berarti tertimbang
di puncak VO2 dari 18 8% saat pelatihan pada hari-hari non-dialisis
menunjukkan 34 peningkatan 6% di puncak VO2 (p = 0,03)
Perbaikan dalam kebugaran fisik terkait dengan peningkatan ity
qual- hidup dan penurunan depresi pada patients.Assessments CKD
menggunakan short-form-36 (SF-36) kuesioner kesehatan umum dan Beck
Depression Inventory telah dilakukan pada pasien CKD sebelum dan
sesudah intervensi pelatihan olahraga, meskipun data yang ada terbatas
tidak dapat menunjukkan perubahan yang signifikan baik ukuran.
Dua penelitian menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam
variabilitas detak jantung dengan pelatihan 6 bulan latihan, meskipun studi
3 bulan lebih pendek melaporkan tidak ada perubahan. Sebelumnya studi
menunjukkan jangka panjang (6 bulan) pelatihan olahraga memiliki efek
sympatho adrenal yang menguntungkan pada pasien CKD. Penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab umum kematian pada pasien CKD
karena berolahraga perbaikan diinduksi dalam fungsi sympatho-adrenal
dapat mengurangi risiko kematian kardiovaskular.
2. Latihan resep yang-rekomendasi
Sebelum memberikan resep olahraga setiap pasien CKD harus
menjalani tinjauan medis menyeluruh. Yang pertama harus melakukan
anamnesis medis lengkap dan pemeriksaan klinis termasuk asesmen
kardiovaskular termasuk tekanan darah. Selain itu, riwayat penggunaan
obat rinci dan ulasan biokimia baru-baru ini dan hematologi akan

28

menginformasikan resep yang untuk berpotensi mengurangi samping


klinis, biokimia, hematologi dan interaksi obat-latihan. Selanjutnya dasar
pengujian latihan cardiopulmonary dengan 12- EKG lead dianjurkan
untuk; (I) menetapkan mereka tidak cocok untuk latihan atau mereka yang
pertama membutuhkan stabilisasi medis, dan (ii) menyediakan data untuk
resep latihan yang dirancang secara individual.
Sejalan dengan 2011 Cochrane review di latihan pada orang
dewasa dengan CKD, bukti ilmiah saat ini mendukung berolahraga secara
teratur untuk> 30 menit / sesi tiga kali / minggu untuk meningkatkan
kebugaran fisik, dimensi kardiovaskular dan kualitas kesehatan terkait
kehidupan. Demikian Penyakit Ginjal baru Meningkatkan dokumen global
Hasil merekomendasikan bahwa orang dengan CKD didorong untuk
melakukan aktivitas fisik kompatibel dengan kesehatan jantung dan
toleransi (bertujuan untuk setidaknya 30 menit 5 kali per minggu).
Disarankan bahwa pelatihan olahraga termasuk aerobik, ketahanan dan
kegiatan fleksibilitas dan bahwa penilaian klinis harus menentukan
kontribusi relatif masing-masing. Individu rekomendasi oleh panggung
dan / atau modalitas pengobatan penyakit ginjal tidak saat ada, namun,
saran berikut dapat memandu latihan pra skripsi untuk CKD / ESKD
pasien.
Pasien dengan nilai puncak VO2 (<17,5 ml kg-1 min-1) dapat
memperoleh manfaat kelangsungan hidup terbesar dari latihan olahraga.
Pelatihan harus dilakukan di hadapan staf klinis yang berkualitas. pasien
kurus menunjukkan kepadatan tulang rendah atau indeks massa tubuh
yang rendah (<20 kg m-2) harus dimulai latihan resistensi sesegera
mungkin. pelatihan ketahanan selama dialisis dibatasi dengan duduk,
karena itu kami mengambil praktis pendekatan berbasis bukti, untuk
aerobik dan latihan resistensi resep, Berdasarkan meta-analisis, 5 studi
dengan perbaikan signifikan secara statistik pada puncak VO2 memiliki
atribut berikut; semua yang> 6 durasi bulan, semua kecuali satu yang

29

digunakan> 240 min mingguan (90 menit atau lebih durasi sesi latihan)
dan intensitas latihan yang 60-70% dari prediksi denyut jantung maksimal.
Berdasarkan

sebagian

pada

pekerjaan

sebelumnya

kami

juga

merekomendasikan latihan resistensi dari dua kali seminggu pada hari-hari


non berturut-turut.
3. Pertimbangan khusus
Ketika studi penelitian yang melaporkan manfaat latihan belum
melaporkan masalah keamanan yang timbul dari intervensi latihan,
identifikasi dan manajemen yang tepat dari setiap komorbiditas sangat
penting untuk pengiriman latihan yang aman. Dalam kajian mereka
sangat baik, Johansen dan negara Painter bahwa olahraga tampaknya
aman di CKD populasi pasien jika dimulai pada intensitas sedang dan
meningkat secara bertahap. Selain itu, bukti-bukti menunjukkan bahwa
risiko yang tersisa tidak aktif lebih tinggi. Latihan harus disesuaikan
untuk mengakomodasi tambahan co-morbiditas serta CKD. Rekomendasi
untuk beberapa com- mon co-morbiditas termasuk hipertensi, diabetes
tipe II dan cardio-miopati telah diterbitkan. Mereka dengan nefropati
diabetik dan sindrom cardio-ginjal membutuhkan pengawasan terdekat.
Pada pasien ESKD beberapa pertimbangan tambahan harus
diperhitungkan. pasien CKD sering menunjukkan deconditioning fisik
yang signifikan dan komorbiditas. adaptasi yang lebih besar dapat terjadi
ketika latihan selesai pada hari-hari non dialisis, meskipun intra latihan
olahraga dialytic dapat menghasilkan tingkat kepatuhan yang lebih baik,
tapi latihan harus dalam 2 jam pertama inisiasi dialisis. pasien dialisis
peritoneal melakukan latihan lebih nyaman dengan rongga perut
dikosongkan cairan dialisis, mengurangi tekanan diafragma, sesak napas
dan, dalam beberapa jenis dialisis peritoneal, ketidaknyamanan dada.
pasien hemodialisis harus menghindari aktivitas ekstremitas atas dengan
fistula arterio-vena sementara atau penyembuhan. lengan fistula tidak
boleh digunakan untuk penilaian fungsional, sehingga menghindari

30

pengujian tekanan darah keliru dan menggunakan lengan fistula untuk


pengukuran tekanan darah merupakan kontraindikasi. Peran ada untuk
kedua latihan intra dan interdialytic dengan kepatuhan olahraga
cenderung lebih besar di bekas, karena peningkatan supervisi. Latihan
Interdialytic juga menghasilkan hasil yang lebih baik ketika kepatuhan
dipertahankan. Kami merekomendasikan pasien melakukan exercise
selama 2 jam pertama hemodialisis, ketika kontrol tekanan darah yang
terbaik.
Tekanan darah teratur dan elektrokardiogram (EKG) pemantauan
ing selama pelatihan latihan dianjurkan, terutama ketika EKG
dipengaruhi oleh kelainan elektrolit (mis hipo / hiperkalemia). Jika hal ini
terjadi konsultasi nephrologist dianjurkan.
4. Kontraindikasi untuk berolahraga
Selain American College of Cardiology kontraindikasi Yayasan /
American Heart Association untuk berolahraga 46 berikut ini adalah
khusus untuk pasien CKD:
a. kelainan elektrolit - terutama hipo / hiperkalemia
b. perubahan terbaru untuk EKG, terutama takiaritmia simtomatik atau
bradiaritmia
c. kelebihan berat badan antar-dialytic> 4 kg sejak dialisis terakhir atau
sesi latihan
d. Stabil pada perawatan dialisis dan mengubah (titrating) rezim obat
kemacetan paru
e. edema perifer

5. Kesenjangan dalam literatur


Ada ada kebutuhan untuk besar, dirancang dengan baik acak,
percobaan dikontrol dengan ukuran hasil handal yang akan memberikan
dosis latihan (intensitas, frekuensi, durasi dan modalitas) untuk orang
dengan CKD, termasuk ESKD. Hal ini juga penting untuk memahami

31

apakah aerobik atau latihan resistensi atau kombinasi keduanya akan


memberikan manfaat yang optimal untuk ESKD pasien dengan cachexia.
Hanya empat studi perlawanan pelatihan di CKD telah dilakukan dan di
sana ada kebutuhan yang jelas untuk percobaan lebih lanjut meneliti
kemungkinan efek anti-katabolik / inflamasi intervensi ini karena ini
memiliki implikasi untuk penyakit penyerta lainnya
6. Ringkasan
Pelatihan olahraga tampaknya aman dan proffers berbagai
manfaat untuk pasien CKD, termasuk perbaikan dalam kebugaran cardiorespiratory, aktivitas simpati-adrenal, variabilitas detak jantung, kualitas
asupan hidup dan energi. Masih belum jelas apakah beberapa hasil
seperti ekspresi sitokin pro-inflamasi ditingkatkan. Resep latihan yang
optimal juga masih belum jelas.
7. Implikasi praktis
Pelatihan olahraga teratur harus menjadi komponen dari pihak
manajemen pasien dengan CKD untuk mengurangi risiko komplikasi
kardiovaskular. program latihan untuk pasien dengan CKD harus
dirancang dan disampaikan oleh personel yang terlatih dan berkualitas
dan memperhitungkan kebutuhan individu pasien. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk menentukan dosis optimal dan modalitas latihan untuk
pasien CKD pada pasien umum dan pra-dialisis
Tabel 1. Pedoman untuk aerobik dan ketahanan resep latihan di ESKD
usaha pasien (non-nocturnal) hemodialisis
ESKD
antar-dialisis
Aeobik
Jangka waktu sesi

Sesi waktu

ESKD
intra-dialisis

Non-dialisis

Tingkatkan
sampai 30-45
menit

Tingkatkan
sampai 30-45
menit

Tingkatkan
sampai 30-45
menit

Hari non-dialisis

Selama 2 jam
pertama dialysis

Menurut
kebutuhan
32

pasien
Intensitas (% max.
HR) atau RPE (20/6
skala titik)

55-70% max HR,


RPE 11-13
Moderate
(sebaiknya> 60%
max HR)

Durasi mingguan

Hingga 180 menit Hingga 180


menit
Berjalan /
bersepeda /
Bersepeda
lainnya
sambil duduk
menggunakan
lengan atau kaki
ergometer
Dua hari tidak
berturut-turut
Dua hari tidak
berturut-turut

Hingga 180
menit

Kelompok otot yang


berbeda / latihan

8-12 latihan
memprioritaskan
kelompok otot
besar

Sampai dengan
12, sebanyak
praktis dalam
sesi dialisis

8-12 latihan
(otot utama)

Volume awal

1 set dengan
kelelahan, 12-15
repetisi atau 6070%
Pengulangan
Maksimum

1 set dengan
kelelahan, 12-15
repetisi atau 6070%
Pengulangan
Maksimum

1 set dengan
kelelahan, 10-15
repetisi atau 6070%
pengulangan
maksimum

Pemilihan waktu

Hari non-dialisis

Sebelum atau
selama dialysis

seperti nyaman

Pengandaian

Kegiatan
menahan beban,
Thera-band,
manset berat,
dumbbells ringan,
mesin berat

Kegiatan
menahan beban,
Thera-band,
manset berat,
dumbbells
ringan - praktis
di dialysis

Kegiatan
menahan beban,
therabands,
mesin dan beban
bebas.

Indikasi

Cachexia,

Cachexia,

Cachexia,

Pengandaian

Perlawanan
frekuensi awal per
minggu

55-70% max
HR, RPE 11-13
moderat
(sebaiknya>
60% max HR)

55-90% max
HR, RPE 11-16
sedang sampai
kuat (60-90%
max HR)

Berjalan /
bersepeda /
jogging/ lainnya

Dua hari tidak


berturut-turut

33

fleksibilitas

F.

kepadatan tulang
yang buruk, BMI
rendah dan
ramping massa
tubuh

kepadatan tulang
yang buruk,
BMI rendah dan
ramping massa
tubuh

kepadatan tulang
yang buruk,
BMI rendah dan
ramping massa
tubuh

5-7 hari per


minggu untuk
durasi sekitar 10
menit per sesi.
Mana mungkin
dikombinasikan
dengan sesi
latihan aerobik
atau ketahanan
dan termasuk
latihan
keseimbangan
bagi mereka yang
berisiko jatuh

5-7 hari per


minggu untuk
durasi sekitar 10
menit per sesi.
Mana mungkin
dikombinasikan
dengan sesi
latihan aerobik
atau ketahanan
dan termasuk
latihan
keseimbangan
bagi mereka
yang berisiko
jatuh

5-7 hari per


minggu untuk
durasi sekitar 10
menit per sesi.
Mana mungkin
dikombinasikan
dengan sesi
latihan aerobik
atau ketahanan
dan termasuk
latihan
keseimbangan
bagi mereka
yang berisiko
jatuh

Hasil
Penerapann exercise dan olahraga cenderung memberikan manfaat
bagi pasien CKD, termasuk perbaikan dalam kebugaran kardiorespirasi,
kualitas hidup, aktivitas adrenal, kekuatan otot dan meningkatkan asupan
energi dan kemungkinan penurunan biomarker inflamasi.

G.

Simpulan
Latihan aerobik pada intensitas >60% dari kapasitas maksimum
dianjurkan untuk meningkatkan kebugaran cardio-respiratory. Beberapa
data yang tersedia pada pelatihan perlawanan dan tidak jelas apakah ini
bentuk pelatihan menghambat proses inflamasi katabolik khas CKD.
Namun, itu harus dianggap penting karena efek menguntungkan terbukti
pada kepadatan tulang dan massa otot. Karena tingginya prevalensi dan
insidensi penyakit penyerta pada pasien CKD, program pelatihan olahraga
harus diresepkan dan disampaikan oleh individu dengan kualifikasi dan

34

pengalaman untuk mengenali dan mengakomodasi komorbiditas dan sesuai


komplikasi yang terkait.

35

STEP 7
LAPORAN PENDAHULUAN

(Terlampir)

36

Lampiran 1 Teori dan Analisa Kasus

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi
uremia. (Corwin, 2009).
Ginjal berperan sangat penting bagi sistem pengeluaran (ekskresi)
manusia. Ginjal memiliki fungsi untuk mengeluarkan bahan dan sisa-sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh lagi, ginjal membuang zatzat yang tidak diperlukan lagi dan mengambil zat-zat yang masih diperlukan
tubuh, ginjal juga bertugas mengatur kadar air dan bahan lainnya di dalam
tubuh (Corwin, 2009).
Menurut World Health Organization (WHO), data hingga 2015
diperkirakan tingkat presentase dari 2009 sampai 2011 ada sebanyak 36 juta
warga dunia meninggal akibat Cronic Kidneys Disease (CKD). Lebih dari
26 juta orang dewasa di Amerika atau sekitar 17 % dari populasi orang
dewasa terkena CKD (Bomback and Bakris, 2011).
Di Indonesia, penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain
adalah penyakit gagal ginjal dan batu ginjal. Didefinisikan sebagai gagal
ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronis
(minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter (Riskesdas, 2013).
Salah satu perawatan bagi penderita gagal ginjal kronis adalah
hemodialysis atau lebih dikenal dengan sebutan cuci darah, yang dapat
mencegah kematian tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan
fungsi ginjal secara keseluruhan. Pasien harus menjalani terapi dialysis

37

sepanjang hidupnya (biasanya 1-3 kali seminggu) atau sampai mendapat


ginjal baru melalui operasi pencangkokan ginjal (Depkes RI, 2016).
Untuk itu, guna mencegah berbagai risiko penyakit tidak menular,
khususnya pencegahan gagal ginjal kronis, Kemenkes mengajak masyarakat
untuk CERDIK. CERDIK merupakan kepanjangan dari: Cek kesehatan
secara berkala; Enyahkan asap rokok; Rajin beraktifitas fisik; Diet yang
baik dan seimbang;Istirahat yang cukup; dan Kelola stress (Depkes RI,
2016).

B.

Rumusan Masalah
Dari pemaparan dan uraian latar belakang masalah di atas, agar dalam
penyusunan laporan ini lebih terarah pembahasannya dan mendapatkan
gambaran secara komprehensif. Maka sangat penting untuk dirumuskan
pokok permasalahannya, yakni:
1.

Kalimat atau kata kunci apa saja yang belum jelas dalam kasus ?

2.

Pertanyaan apa saja yang mungkin muncul dalam kasus ?

3.

Informasi tambahan apa saja yang mungkin muncul dalam kasus ?

4.

Bagaimana hasil diskusi dan sintetis informasi-informasi baru yang


ditemukan pada kasus ?

C.

Tujuan Penulisan
1.

Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penyusunan laporan ini adalah untuk
mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat II terhadap klien dengan
gangguan system perkemihan akibat gagal ginjal kronik berdasarkan
teori dan kasus serta kesenjangan teori.

2.

Tujuan Khusus
a.

Menentukan kalimat atau kata kunci yang belum jelas.

b.

Mengidentifikasi masalah dan membuat pertanyaan penting.

c.

Menganalisa masalah dengan menjawab pertanyaan penting.

d.

Mencari informasi tambahan guna menunjang analisa kasus.

38

e.

Melaporkan hasil diskusi dan sintetis informasi-informasi yang


baru ditemukan kepada fasilitator.

D.

Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penyusunan laporan ini
adalah:
1.

Bagi Penulis
Hasil analisis kasus ini diharapkan dapat memberi informasi
tentang konsep asuhan keperawatan terhadap klien dengan gangguan
keperawatan gawat darurat II akibat gagal ginjal kronik. Penulis dapat
menambah pengetahuan serta dapat menerapkan ilmu pengetahuan dan
menjadi acuan untuk penulisan selanjutnya.

2. Bagi STIKes Mahardika


Keperawatan sebagai profesi yang didukung oleh pengetahuan
yang kokoh, perlu terus melakukan berbagai tulisan-tulisan terkait
praktik keperawatan yang akan memperkaya ilmu pengetahuan
keperawatan. Penulisan ini diharapkan dapat memperkaya literatur
dalam bidang keperawatan.

39

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.

Definisi
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia
(Corwin, 2009).
CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi
dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif,
irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam
mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit,
sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009).
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi
struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011).

B.

Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju
Filtration Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2
dengan rumus Kockroft Gault sebagai berikut (Sudoyo,2006):
Tabel 2. Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan derajat Laju Filtration
Glomerulus
Derajat

Penjelasan

LFG
(ml/mn/1.73m2)

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

90

Kerusakan ginjal dengan LFG atau ringan

60-89

Kerusakan ginjal dengan LFG atau sedang

30-59

40

Kerusakan ginjal dengan LFG atau berat

15-29

Gagal ginjal

< 15 atau dialisis

(Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta: FKUI)


C.

Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain:
1. Infeksi : pielonefritis kronis, glomerulonefritis.
2. Penyakit

vaskuler

hipertensif

sepetri

nefrosklerosis

benigna,

nefroskleroris maligna, stenosis arteri renalis.


3. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal).
4. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
5. Nefropati toksik
6. Nefropati obstruktif : penyalahgunaan analgesic, kalkuli, neoplasma,
hipertropi prostate dan striktur uretra (Price & Wilson, 1994) dan
(Musliha, 2010).

D.

Manifestasi Klinis
Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi
uremia, maka pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala.
Keparahan tanda dan gejala tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan
ginjal, dan kondisi lain yang mendasari. Manifestasi yang terjadi pada CKD
antara lain terjadi pada sistem kardio vaskuler, dermatologi, gastro
intestinal,

neurologis,

pulmoner,

muskuloskletal

dan

psiko-sosial

diantaranya adalah (Suwirta, 2009):


1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari
aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.

41

3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual


sampai dengan terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak
mampu berkonsentrasi, kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal,
kusmaul, sampai terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsi
feron.
7. Psikososial seperti terjadinya penurunan tingkat kepercayaan diri sampai
pada harga diri rendah (HDR), ansietas pada penyakit dan kematian.

E.

Patofisiologi
Terdapat dua pendekatan teoritis yang umumnya diajukan untuk
menjelaskan ganguan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik. Sudut pandang
tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit
namun dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian-bagian spesifik dari
nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak
atau berbah strukturnya. Misalnya, lesi pada medula akan merusak susunan
anatomik pada Lengkung Henle dan vasa rekta, atau pompa klorida pada
pars asendens Lengkung Henle yang akan mengganggu proses aliran balik
pemekat dan aliran balik penukar. Pendekatan kedua dikenal dengan nama
hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh, yang berpendapat bahwa
bila nefron terserang penyakit, maka seluruh unitnya akan hancur, namun
sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan terjadi bila
jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan
elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis nefron yang utuh ini
sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit
ginjal progresif, yaitu kemempuan untuk mempertahankan keseimbangan
air dan elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun (Mansjoer, A., 2008).

42

Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal progresif dapat


diuraikan dari segi hipotesis nefronn yang utuh. Meskipun penyakit ginjal
kronik terus berlanjut, namunn jumlah zat terlarut yang harus diekskresikan
oleh ginjal untuk mempertahankan homeostatis tidaklah berubah, kendati
jumlah nefron yang bertugas melakukan fngsi tersebut sudah menurun
secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respons
terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang
ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh
beban kerja ginjal. Terjadi peningkatann kecepatan filtrasi, beban zat
terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk
seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai
normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan
keseimbangan cairn dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang
sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% mmassa nefron sudah
hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron
demikian

tinggi

sehingga

keseimbangan

glomerulus-tuubulus

(keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh


tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses
eksresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang.
Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbbangan yang
rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang berarti makin sediikit
nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan eksresi per nefron.
Hilangnya

kemampuan

memekatkan

atau

mengencerkan

uurine

menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu
sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria
dan nokturia (Black & Hawks, 2009).
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebbih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving

43

nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul


vasoaktif seperti sitokinin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya, diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron internal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-ngiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor
(TGF ). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terrhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointestinal (Black
& Hawks, 2009).
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien, seperti nokturia, mual,
muntah, badab lemah, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda
uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, ggangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan laiin
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluran napas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gannguan keseimbangan air seperti

44

hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain


natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacement theraphy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal (Sudoyo, 2009).
Gangguan pengaturan juga berperan pada terjadinya gagal ginjal
kronik. Berkurangnya eliminasi air dan elektrolit di ginjal terutama penting
dalam timbulnya gejala gagal ginjal. Volume ekstrasel meningkat jika
terdapat kelebihan NaCl dan air sehingga terjadi hipovolemia serta edema,
komplikasi yang paling berbahaya adalah edema paru. Terutama jika terjadi
kelebihan air, secara osmotik akan mendorong air ke dalam sel sehingga
meningkatkan volume intrasel dan timbul bahaya edema serebri.
Hipovolemia menimbulkan pelepasan atrial natriuetic factor (ANF) dan
mungkin juga ouabain. Ouabain menghambat Na+/K+-ATPase. Vanadat
(VNO4) yang banyak diekskresikan oleh ginjal memiliki efek serupa.
Klirensnya kurang lebih sama dengan GFR dan kadarnya di dalam plasma
akan sangat meningkat pada gagal ginjal (Sudoyo, 2009).
Penghambatan Na+/K+-ATPase menyebabkan penurunan reabsorpsi
Na+ di ginjal terdepolarisasi. Kensentrasi Na+ intrasel akan meningkat. Hal
ini mengganggu pertukaran 3Na+/Ca2+ sehingga konsentrasi Ca2+ intrasel
juga meningkat. Akibat depolarisasi terjadi gangguan esksitabilitsi
neuromuskular, akumulasi Cl- di dalam sel dan pembengkakan sel.
Peningkatan konsentrasi Ca2+ menyebabkan vasokontriksi dan peningkatan
pelepasan hormon (misal, gastrin,insulin) serta peningkatan efek homoral
(misal, epinefrin) (Guyton & Hall, 2006).
Jika Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat, konsentrasi Ca2+akan
menurun. Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar
paratiroid sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang (osteomalasia).

45

Biasanya, PTH mampu membuatkonsentrasi fosfat di dalam plasma tetap


rendah dengan mengghambat reabssorpsiinya di ginjal. Jadi, meskipun
terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang , produknya di plasma tidak
berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun, konsentrasi fosfat
di plasma meningkat. Selanjutnya, CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi
Ca2+ di plasma tetap rendah. oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan
PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus
ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi dan dalam lingkaran setan,
bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Karena reseptor PTH,
selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat banyak di organ lain
(sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), di duga bahwa PTH berperan
dalam terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut. Pada kenyataanya,
pengangkatan kelenjar paratiroid secara signifikan akan membuat berbagai
gejala gagal ginjal menjadi membaik (Sudoyo, 2009).
Pathway terlampir
F.

Komplikasi
Penderita CKD akan mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi

dari CKD antara lain adalah (Suwitra, 2009):


1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata
bolisme, dan masukan diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal
dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan
ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.

46

7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.


8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia

G.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Sementara massa nefron dan fungsi ginjal berkurang, ginjal menjadi
tidak mampu mengatur cairan, elektrolit, dan sekresi hormone;
a. Natrium
Bila GFR turun di bawah 20-25 mL/menit, ginjal menjadi
tidak mampu mengekskresi beban natrium ataupun menyimpan
natrium; ini sering menyebabkan retensi natrium dengan akibat
edema, hipertensi dan gagal jantung kongestif. Sejumlah kecil pasien
(1-2%) menderita nefropati membuang garam (salt wasting
nephropathy), yang mengakibatkan kekurangan natrium meskipun
diet natrium tak dibatasi. Pasien ini biasanya memilki penyakit ginjal
interstisial yang mendasari dan mungkin membutuhkan tambahan
garam dalam diet untuk mempertahankan keseimbangan natrium
(Sudoyo, 2009).
b. Air
Sementara fungsi ginjal memburuk, kemampuan ginjal untuk
memekatkan dan mengencerkan urin menjadi terganggu, dan kadar
urin menjadi isotonik. Tetapi, mekanisme rasa haus yang masih utuh
biasanya

dapat

mempertahankan

keseimbangan

air

sampai

perjalanan penyakit telah lanjut. Pembatasan air yang berat dapat


mengakibatkan hipernatremia, menurunnya ekskresisolut, dan
kenaikan BUN dan kreatinin serum; sementara asupan air yang
terlalu banyak menyebabkan hiponatremia (Sudoyo, 2009).
c. Kalium
Keseimbangan kalium dipertahankan oleh peningkatan
sekresi di tubulus distal dan peningkatan ekskresi gastrointestinal

47

lewat peningkatan kadar aldosteron. Tetapi, bila GFR turun sampai


10 mL/menit pasien dapat mengalami hiperkalemia kalau sistemnya
diberi tekanan oleh beban kalium akibat peningkatan konsumsi buah,
sayur-mayur, atau garam kalium (pengganti garam) ; pemberian obat
tertentu misalnya antagonis-aldosteron (spironolakton, triamterin)
dan penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEis); asidosis
metabolik; atau asidosis tubulus ginjal tipe IV (Sudoyo, 2009).
d. Keseimbangan Asam-Basa
Asidosis hiperkloremik. Asidosis metabolik hiperkloremik
tanpa celah anion (nonanion gap) dapat terjadi pada awal gagal
ginjal, terutama pada pasien dengan penyakit tubulointestinal yang
kronik. Ini terjadi karena ginjal tidak mampu meningkatkan produksi
amonia dan ekskresi ion hidrogen. Asidosis dengan kenaikan celah
anion. Asidosis metabolik celah anion terjadi akibat akumulasi anion
fosfat dan sulfat yang tak terukur (Sudoyo, 2009).
e. Kalsium, Fosfor, dan Mangnesium.
Hipokalsemia terjadi akibat menurunnya produksi 1,25dihidroksikolekalsiferol (vitamin D) oleh ginjal, yang menyebabkan
berkurangnya
Sementara

absorpsi

GFR

kalsium

menurun,

oleh

ekskresi

sistem
fosfat

gastrointestinal.
juga

berkurang,

mengakibatkan peningkatan fosfor serum. Hiperfosfatemi juga


menybabkan kadar ion kalsium dalam serum. Hipokalsemia
merangsang absorpsi sekresi hormon patiroid (PTH), yang
mengakibatkan penyakit tulang hiperparatiroid (oeteitis fibrosa).
Hipermagnesemia biasanya ringan dan asimptomatis. Pemberian
laksatif, enema, atau antasida yang mengandung magnesium dapat
menyebabkan hipermagnesia simptomatis yang mengakibatkan
gejala neuromuskuler (letargi, kelemahan, paralisis, kegagalan
pernapasan) (Sudoyo, 2009).

48

f.

Anemia
Anemia

terutama

terjadi

akibat

menurunnya

sintesis

eritropoietein pada ginjal. Sediaan apus darah tepi mengungkapkan


anemia normokromik, normostik dengan sedikit sel burr dan sel
helmet. Besi, feritin, dan transferin dalam serum biasanya normal
kecuali kalau terdapat perdarahan gastrointestinal, atau terjadi
kehilangan darah selama dialisis. Terapi penggantian dengan
eritropoietin rekombinan manusia dapat memperbaiki anemia
(Sudoyo, 2009).
2. Pemeriksaan Radiologis
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak (Mansjoer, A.,
2008).
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filtrat glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan (Mansjoer, A., 2008).
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
(Mansjoer, A., 2008).
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
menegcil, korteks yang menipis, adanya hidronefritis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi (Mansjoer, A., 2008).
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi (Mansjoer, A., 2008).

H.

Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya, dapat dilihat pada tabel dibawah:

49

Tabel 3. Rencana tatalaksana penyakit gagal ginjal kronik


Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan
Derajatnya
Rencana Tatalaksana
Derajat LFG (ml/mnt/1,73)
90
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
1
evaluasi pemburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler.
60-89
Menghambat pemburukan (progression)
2
fungsi ginjal.
30-59
Evaluasi dan terapi komplikasi.
3
15-29
Persiapan terapi pengganti ginjal
4
< 15
Terapi penggati ginjal.
5
(Sumber: Guyton dan Hall, 2006., Aziz, Rani.,2009)
Adapun penatalaksanaan lainnya sebagai berikut:
1. Tatalaksana Konservatif
Tujuan tatalaksana konservatif adalah memanfaatkan fungsi
ginjal yang masih sisa setepat mungkin, menghindarkan faktor-faktor
yang memperberat dan mencoba melambatkan progresi gagal ginjal.
Gagal ginjal kronis dapat diobati dengan manajemen konservatif
insufisiensi ginjal dan dengan terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau
transplantasi. Pengobatan konservatif terdiri dari langkah-langkah untuk
mencegah atau menghambat penurunan yang tersisa fungsi ginjal dan
membantu tubuh dalam mengkompensasi kerugian yang ada. Tatalaksana
konservatif gagal ginjal kronik meliputi diet retriksi asupan kalium,
fosfat, natrium, dan air untuk menghindari hiperkalemia, penyakit tulang
dan hipervolemia. Hipervolemia ringan dapat menyebabkan hipertensi,
dan mengarah ke penyakit vaskuler dan hipertrofi ventrikel kiri.
Hipervolemia berat menyebabkan edema paru. Tekanan darah yang tidak
dapat dikontrol dengan balans cairan ketat seharusnya diobati dengan
inhibitor ACE, bloker reseptor angiotensin, -blocker, atau vasodilatasor.
Anemia seharusnya diobati dengan eritropoietin, setelah dipastikan tidak
ada perdarahan dari saluran pencernaan atau menstruasi berlebihan serta
kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat. Penyakit tulang diobati dengan

50

mengurangi asupan fosfat, mengomsumsi senyawa pengikat fosfat


bersama makanan, dan mengomsumsi vitamin D dalam bentuk 1hidroksi-vitamin D3atau 1,25-dihdroksi vitamin D3. Jika gangguan ginjal
kronik bersifat berat, dialisis atau transplantasi ginjal biasanya diperlukan
selain tata laksana di atas. Kualitas hidup pasien yang menururn dapat
diperbaiki dengan tata laksana komplikasi gagal; ginjal kronik, terutama
anemia (Black dan Hawks, 2009).
2. Hemodialisis, Peritoneal Dialisis, dan Transplantasi Ginjal
Gagal

ginjal

mengekskresikan

air

mencapai
dan

ion

titik

ketika ginjal tidak

pada

tingkat

yang

bisa

lagi

menjaga

keseimbangan zattubuh, juga tidak dapat mengekskresikan limbah


produk secepat mereka diproduksi. Perubahan diet dapat meminimalkan
masalah ini. Sebagai contoh, menurunkan asupan kalium mengurangi
jumlah kalium untuk dibuang, tetapi perubahan tersebut tidak dapat
menghilangkan masalah. Teknik yang digunakan untuk melakukan
fungsi ekskretoris ginjal adalah hemodialisis dan peritoneal dialisis.
Istilah "dialisis" umum berarti zat terpisah menggunakan membran.
Ginjal buatan adalah suatu alat yang menggunakan proses yang disebut
hemodialysis untuk menghilangkan kelebihan zat dari darah. Selama
hemodialisis, darah dipompa dari salah satu arteri pasien melalui pipa
yang dikelilingi oleh cairan khusus dialisis. Tabung kemudian melakukan
darah kembali ke pasien dengan cara vena. Pipa umumnya terbuat dari
plastik yang sangat permeabel untuk sebagian zat terlarut tetapi relatif
kedap protein dan benar-benar kedap darah sel-karakteristik cukup mirip
dengan kapiler. Cairan dialisis sama dengan konsentrasi larutan garam
dengan konsentrasi ion atau lebih rendah dibandingkan dalam plasma
normal, dan tidak mengandung kreatinin, urea, atau zat lain untuk benarbenar dihapus dari plasma. Pasien dengan gagal ginjal akut reversibel
mungkin memerlukan hemodialisis hanya untuk beberapa hari atau
minggu. Pasien dengan gagal ginjal kronis ireversibel memerlukan

51

pengobatan untuk sisa hidup mereka, bagaimanapun, kecuali mereka


menerima ginjal transplantasi. Pasien tersebut menjalani hemodialisis
beberapa kali seminggu, sering di rumah. Cara lain untuk menghilangkan
zat-zat yang berlebihan dari darah adalahdialisis peritoneal, yang
menggunakan lapisan rongga perut pasien sendiri (peritoneum) sebagai
membran dialisis. Fluida diinjeksikan, melalui jarum dimasukkan melalui
dinding perut, ke dalam rongga ini dan diperbolehkan untuk tinggal di
sana selama berjam-jam, di mana zat terlarut berdifusi ke cairan dari
darah

seseorang.

Cairan dialisis

ini

kemudian

dihapus denganmemasukkan kembali jarum dan diganti dengan cairan


yang baru. Prosedur ini dapat dilakukan oleh seorang pasien yang secara
bersamaan

beberapahari

tiap kali

melakukan

aktivitas

normal.

Pengobatan pilihan untuk kebanyakan pasien dengan gagal ginjal


permenen adalah transplantasi ginjal. Penolakan dari transplantasi ginjal
oleh tubuh penerima adalah potensi masalah dengan transplantasi, tetapi
langkah besar telah dibuat dalam mengurangi frekuensi penolakan
(Mansjoer, A., 2008).
a. Hemodialisis
Prinsip dasar dari hemodialisis tetap tidak berubah sepanjang
tahun, meskipun teknologi barutelah meningkatkan efisiensi dan
kecepatan dialysis. Hemodialisis sistem, atau ginjal buatan, terdiri dari
tiga bagian: kompartemen darah, sebuah kompartemen cairan dialisis,
dan plastik yang membran yang memisahkan dua kompartemen. Para
membran semipermeabel plastik ini, memungkinkan semua molekul
kecuali sel darah dan protein plasma untuk bergerak bebas di kedua
arah-dari darah ke dalam larutan dialisis dan dari larutan dialisis ke
dalam darah. Arah aliran ditentukan oleh konsentrasi zat terkandung
dalam dua solusi. Produk limbah dan kelebihan elektrolit dalam darah
biasanya berdifusi ke dalam solusidialisis. Jika ada kebutuhan untuk
mengganti atau menambahkan zat, seperti bikarbonat, untuk darah, ini
dapat ditambahkan ke solusi dialisis. Selama dialisis, darah bergerak

52

dari arteri melalui tubing dan ruang darah dalam mesin dialisis dan
kemudian kembali ke dalam tubuh melalui pembuluh darah. Akses ke
sistem vaskular dicapai melalui shunt arteriovenosa eksternal (yaitu,
tabung ditanamkan ke arteri dan vena) atau, lebih umum, melalui
fistula arteriovenosa internal (yaitu, anastomosis dari vena ke arteri,
biasanya di lengan bawah). Heparin adalah digunakan untuk
mencegah pembekuan selama perawatan dialisis, bisa diberikan terus
menerus atau sebentar-sebentar (Mansjoer, A., 2008).
b. Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal menggunakan prinsip yang sama difusi,
osmosis ultrafiltrasi, dan yang berlaku untuk hemodialisis. Membran
serosa tipis dari peritoneumrongga berfungsi sebagai membran
dialisis. Sebuah kateter silastic adalah operasi ditanamkan di rongga
peritoneal bawah umbilikus untuk menyediakan akses. Kateter
terowongan melalui jaringan subkutan dan keluar di sisi perut. Proses
dialisis melibatkan menanamkan dialisis steril solusi (biasanya 2 L)
melalui kateter selama jangka waktu sekitar 10 menit. Pada akhir
waktu tinggal, cairan dialisis terkuras keluar dari rongga peritoneum
oleh gravitasi menjadi steril tas. Glukosa dalam larutan dialisis
rekening untuk menghilangkan air. Larutan dialisis komersial tersedia
di 1,5%, 2,5%, dan konsentrasi dekstrosa 4,25%. Solusi dengan
dekstrosa lebih tinggi meningkatkan tingkat osmosis, menyebabkan
lebih banyak cairan untuk dihapus. Metode yang paling umum adalah
kontinu rawat jalan peritoneal dialisis (CAPD), prosedur perawatan
diri orang yang mengelola prosedur dialisis dan jenis larutan (yaitu,
dekstrosa konsentrasi) digunakan di rumah (Mansjoer, A., 2008).
c. Transplantasi
Tingkat keberhasilan sangat meningkat telah membuat
transplantas ginjal menjadi pilihan pengobatan bagi banyak pasien
dengan gagal ginjal kronis. Ketersediaan

organ donor terus

membatasi jumlah transplantasi yang dilakukan setiap tahun. Organ

53

donor yang diperoleh dari mayat dan donor hidup terkait (misalnya,
orang tua, saudara). Keberhasilan transplantasi tergantung terutama
pada tingkat histokompatibilitas, organ yang memadai pelestarian,
dan manjemen imunologi.

2. Terapi Nonfarmakologis
a. Pengaturan asupan protein
Pasien non dialisis 0,6-075 gram/kgBB ideal/hari sesuai
dengan CCT dan toleransi pasien, pasien hemodialisis 1-1,2
gram/kgBB/hari, pasien peritoneal dialisis 1,3 Kal/kgBB/hari.
b. Pengaturan asupan kalori : 35Kal/kgBB ideal/hari
Pengaturan asupan lemak : 30-40% dari kalori total dan
mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan
tidak jenuh.
c. Pengaturan asupan karbohidrat : 50-60% dari kalori total.
d. Garam (NaCl) : 2-3 gram/hari.
e. Kalium : 40-70 mEq/kgBB/hari.
f. Fosfor : 5-10mg/kgBB/hari. Pasien HD ;17mg/hari.
g. Kalsium : 1400-1600 mg/hari.
h. Besi : 10-18 mg/hari.
i. Magnesium : 200-300 mg/hari.
j. Asam folat pasien HD :5 mg.
k. Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (invesible water)
Pada CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang
keluar. Kenaikan berat badan di antara waktu HD <5% BB kering
(Guyton dan Hall, 2006).

3. Farmakologis
a. Kontrol tekanan darah :
Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II->
evaluasi kreatinin dan kallium serum, bila terdapat peningkatan

54

kreatinin >35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan dan


penghambat kalsium serta diuretic (Mansjoer, A. 2008).
b. Pada pasien DM, kontrol gula darah -> hindari pemakaian metformin
dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbAlC
untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2
adalah 6% (Mansjoer, A. 2008).
c. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl (Mansjoer, A. 2008).
d. Kontrol hiperfosfatemi : kalsium karbonat atau kalsium asetat
(Mansjoer, A. 2008).
e. Kontrol osteodistrofi renal : Kalsitriol (Mansjoer, A. 2008).
f. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO320-22 mEq/l
(Mansjoer, A. 2008).
g. Koreksi hiperkalemi (Mansjoer, A. 2008).
h. Kontrol dislipidemia dengan target LDL<100 mg/dl, dianjurkan
golongan statin. (Mansjoer, A. 2008).

I.

Asuhan Keperawatan Teori


1. Pengkajian
a. Triage

b. Pengkajian Primer
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera
masalah aktual/potensial dari kondisi life threatning (berdampak
terhadap

kemampuan

pasien

untuk

mempertahankan

hidup).

Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan


auskultasi jika hal tersebut memungkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan:
1) A (Airway)
a) Bersihan jalan nafas
b) Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas
55

c) Distress pernafasan
d) Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema
laring
2) B (Breathing)
a) Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
b) Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
c) Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
3) C (Circulation)
a) Denyut nadi karotis
b) Tekanan darah
c) Warna kulit, kelembaban kulit
d) Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
4) D (Disability)
a) Tingkat kesadaran
b) Gerakan ekstremitas
c) GCS atau pada anak tentukan respon A = alert, V = verbal, P =
pain/respon nyeri, U = unresponsive.
d) Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya.
5) E (Eksposure)
a) Tanda-tanda trauma yang ada.

c. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC yang
ditemukan pada pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder
meliputi pengkajian obyektif dan subyektif dari riwayat keperawatan
(riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat
pengobatan, riwayat keluarga) dan pengkajian dari kepala sampai
kaki.

56

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan edema paru
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alveolar
c. Ketidakefekgtifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan suplai O2 ke jaringan
d. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomi
e. Kelebihan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake cairan
berlebih
f. Ketidakseimbangan

nutrisi

kurang

dari

kebutuhan

tubuh

berhubungan dengan mual


g. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
dengan kebutuhan oksigen
h. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload
i. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan volume
cairan

57

3. Nursing Care Plan


Tabel 4. Nursing Care Plan Berdasarkan Teori
No
1.

Diagnosa

NOC

NIC

Ketidakefektifan pola

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Oxygen Therapy

napas berhubungan

30 menit diharapkan klien tidak mengalami

dengan edema paru

gangguan pertukaran gas. Dengan kriteria hasil: 2. Konsultasikan dengan dokter mengenai
Respiratory Status: Ventilation
1. RR dalam rentang Normal
2. Irama napas normal (reguler)
3. Tidak ada retraksi dada
4. Tidak ada penggunaan otot napas tambahan

1. Siapkan alat oksigenasi

pengguanaan oksigen
3. Pantau aliran oksigen yang terpasang
4. Pantau efektifitas terapi oksigen

Respiratory Status
1. Monitor kecepatan, kedalaman, dan upaya
pernapasan
2. Catat pergerakan dinding dada, lihat
kesimetrisan, penggunaan otot supraklavikular
dan interkosta.
3. Pantau pola napas (bradipnea, takipnea, atau

58

henti napas)
4. Lakukan usaha resusitasi jika dibutuhkan
2.

Gangguan pertukaran

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Respiratory monitoring

gas berhubungan

5 menit diharapkan gangguan pertukaran gas

1. Auskultasi bunyi napas

dengan perubahan

dapat teratasi.

2. Monitor saturasi oksigen

membran alveolar

Dengan kriteria hasil:

3. Monitor frekuensi irama,kedalaman dan


usaha pernapasan

Respiratory Status: Gas Exchange


1. PaO2 dalam rentang normal

Oxygen Therapy

2. PaCO2 dalam rentang normal

1. Siapkan alat oksigenasi

3. PH darah dalam rentang normal

2. Konsultasikan dengan dokter mengenai

4. Saturasi O2 dalam rentang normal (95100%)

pengguanaan oksigen
3. Pantau aliran oksigen yang terpasang
4. Pantau efektifitas terapi oksigen

3.

Ketidakefektifan

Setelah dialukan tindakan keperawatan selama

Circulation care

perfusi jaringan

1 x 2 jam diharapkan ketidakefektifan perfusi

1. Lakukan penilaian secara komprehensif fungsi

berhubungan dengan

jaringan dapat teratasi.

sirkulasi periper. (cek nadi priper,oedema,

59

penurunan O2 ke
jaringan

Dengan kriteria hasil:

kapiler refil, temperatur ekstremitas).

1. Membran mukosa lembab

2. Kaji nyeri

2. Conjungtiva tidak anemis

3. Inspeksi kulit dan Palpasi anggota badan

3. Akaral hangat

4. Atur posisi pasien, ekstremitas bawah lebih

4. Ttv dalam batas normal


5. Tidak ada edema

rendah untuk memperbaiki sirkulasi.


5. Monitor status cairan intake dan output
6. Evaluasi nadi, oedema
7. Berikan therapi antikoagulan.

4.

Kelebihan volume

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Fluid Monitoring

cairan intake cairan

1x24 jam diharapkan kelebihan volume cairan

1. Tentukan riwayat dan jumlah intake cairan

berlebih

dapat teratasi.

2. Monitor tanda dan gejala edema

Dengan kriteria hasil:


1. Terbebas dari edema anasarka

3. Monitor intake dan output cairan


4. Monitor serum dan elektrolit urin

2. Tidak ada distensi vena jugularis


3. Bunyi napas bersih, tidak ada ronchi atau
crackles

Fluid Management
1. Monitor status hemodinamik termasuk CAP,
MAP, PAP, dan PCUP
2. Monitor asupan makanan/cairan dan hitung

60

intake kalori
3. Kolaborasi pemberian diuretik sesuai instruksi
dokter
5.

Ketidakseimbangan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Kaji adanya alergi makanan

nutrisi kurang dari

7 x 24 jam diharapkan kekurangan nutrisi dapat 2. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah

kebutuhan tubuh

teratasi. Dengan kriteria hasil:

3. Monitor turgor kulit

berhubungan dengan

1. Konjungtiva tidak anemis

4. Monitor mual dan muntah

mual

2. Mukosa lembab

5. Monitor intake nuntrisi

3. Bising usus normal (8-12x/m)

6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan

4. Turgor kulit elastis

jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan

5. Peningkatan berat badan

pasien
7. Kolaborasi pemberian anti emetik
8. Informasikan pada klien dan keluarga tentang
manfaat nutrisi

6.

Intoleransi aktifitas

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan

berhubungan dengan

3 x 24 jam diharapkan kebutuhan mandiri klien


terpenuhi.

dan lihat respon pasien saat latihan


2. Kaji kemampuan pasien dalam aktifitas

61

Dengan kriteria hasil:

3. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan

1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik


2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan kemampuan

4. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan


bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien.
5. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
6. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan

berpindah
4. Memperagakan penggunaan alat Bantu

berikan bantuan jika diperlukan


7. Kolaborasi pemberian neurotropik

untuk mobilisasi (walker)

7.

ADLs secara mandiri sesuai kemampuan

Kerusakan integritas

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama

kulit berhubungan

3 x 24 jam kerusakan integritas kulit pasien

dengan perubahan

teratasi dengan kriteria hasil:

2. Hindari kerutan pada tempat tidur

volume cairan

Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan

3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan

(sensasi,

elastisitas,

temperatur,

pigmentasi)
1.

Tidak ada luka/lesi pada kulit

2.

Perfusi jaringan baik

hidrasi,

1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian


yang longgar

kering
4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
setiapdua jam sekali
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan

62

3.

Menunjukkan pemahaman dalam proses


perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
sedera berulang

4. Mampu melindungi kulit dan


mempertahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami Menunjukkan terjadinya
proses penyembuhan luka

6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada


derah yang tertekan
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
8. Monitor status nutrisi pasien
9. Memandikan pasien dengan sabun dan air
hangat
10. Kaji lingkungan dan peralatan yang
menyebabkan tekanan

8.

Gangguan eliminasi

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama

Fluid management

urin berhubungan

1x24 jam diharapkan gangguan eliminasi bisa

1. Catat intake dan out put

dengan obstruksi

teratasi dengan kriteria hasil :

2. Pasang kateter bila diperlukan

anatomi

1. Intake output seimbang

3. Monitot status hidrasi

2. Tekanan systole dan diastole dalm batas

4. Monitor hasil laboratorium (BUN,

normal (120-80 MMHg)

hematokrit,dan level osmolaritas urine.


5. Istruksikan klien membatasi asupan cairan
peroral
6. Beikan terapi cairan per IV sesuai dengan
kebutuhan

63

9.

Penurunan curah

Setelah dilakukan asuhan selama 1x24 jam

jantung berhubungan

penurunan kardiak output klien teratasi dengan

dengan perubahan

kriteria hasil:

preload

1. Tanda Vital dalam rentang normal


(Tekanan darah, Nadi, respirasi
2. Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada
kelelahan
3.

Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak


ada asites

4.

Tidak ada penurunan kesadaran

5. AGD dalam batas normal


6. Tidak ada distensi vena leher

1. Catat adanya tanda dan gejala penurunan


cardiac putput
2. Monitor status pernafasan yang menandakan
gagal jantung
3. Monitor balance cairan
4. Monitor respon pasien terhadap efek
pengobatan antiaritmia
5. Atur periode latihan dan istirahat untuk
menghindari kelelahan
6. Monitor toleransi aktivitas pasien
7. Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu
dan ortopneu

7. Warna kulit normal

64

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

A.

Pengkajian
1.

Identitas Klien
Nama

: Tn. RH

Umur

: 47 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Diagnosa Medis

: CKD Stage V dengan Overload

2. Pengkajian Gawat Darurat


Triage

1) Pengkajian Primer
a. Airway
Tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak ada secret, tidak
ada muntahan dirongga mulut.
b. Breathing
Sesak nafas, frekuensi nafas 28 x/menit, suara nafas
vesikuler, terdengar Ronchi tidak ada wheezing.
c. Circulation
Nadi 90 x/menit, Suhu 36,50 C, TD: 180/90 mmHg, CRT
>3 detik, tampak pucat, JVP 5+2 cm, edema anasarka, pitting
edema derajat 3, kemaluan edema (Scrotume dan penis), ascites
dengan lingkar perut 132 cm.
d. Disability
Kesadaran

Composmentis,

GCS:15

(E4,V5,M6),

konjungtiva anemis, skelra tidak ikterik.


e. Exposure
Tidak ada cidera atau trauma pada klien.

65

2) Pengkajian Sekunder
a. Keadaan umum
TD : 180/90 mmHg
N

: 90 x/menit

: 36,50 C

RR : 28 x/menit
b. Keluhan utama
Klien mengatakan, Sesak nafas
c. Anamnesa
1. A: Tidak ada alergi
2. M: Tidak Terkaji Di kasus
3. P : Klien mengatakan, Menderita penyakit ginjal sejak 3
bulan, memiliki penyakit DM dan Hipertensi sejak 3 tahun
lalu.
4. L : Klien mengatakan,nafsu makan menurun.
5. E : Klien mengatakan, sesak nafas sejak 3 bulan lalu, badan
makin lama makin bengkak sejak 1 bulan yang lalu,sulit
tidur, nafsu makan kurang karena mual, sulit BAK karena
kemaluan bengkak.
d. Log Roll
1. Kulit
2. Kepala
3. Leher
4. Rambut
5. Mata

: Tidak Terkaji dikasus


: Tidak Terkaji dikasus
: Terdapat JVP 5+2 cm.
: Tidak Terkaji dikasus
: Konjungtiva anemis, sclera tidak

ikterik
6. Hidung

: Tidak ada sumbatan

7. Mulut

: Tidak Terkaji dikasus

8. Paru-paru

: suara nafas vesikuler, terdapat

Ronchi, tidak ada whezzing.


9. Jantung

: Tidak Terkaji dikasus

66

10. Abdomen

: Ascites dengan lingkar perut 132

cm
11. Genital (Laki-laki)

: edema (scrotume dan penis)

12. Ekstremitas

: Pitting edema derajat 3

e. Pemeriksaan diagnostik
1.

Pemeriksaan Laboratorium
Hb

: 4,9 mg/dl

Ureum

: 310 mg/dl

Creatinin

: 13,3 mg/dl

2.

GDS

3.

Pemeriksaan AGD
pH

: 143 MG/dl

: 7,049

PCO2 : 31,2

4.

5.

PO2

: 46, 1

BP

: 750

HCO

: 8,4

Saturasi Oksigen
O2

: 64

CO2

: 9,4

Elektrolit
Natrium : 128 mmol/l
Kalium : 6,07 mmol/l
Clorida : 112 mmol/l.

67

B. Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan


1. Analisa Data
Tabel 5. Analisa Data Berdasarkan Kasus
Data-data

Etiologi

(Subjektif Objektif)

Diabetes Mellitus

DS:
DO:
-

Masalah Keperawatan
Kelebihan volume cairan

Glomerulonefritis
Badan

makin

lama

makin

bengkak
-

Pitting edema derajat 3

Edema anasarka

Kemaluan edema (skrotum dan


penis edema)

JVP 5 + 2

Natrium 128 mmol/dl

Kalium 607 mmol/dl

Clorida 112 mmol/dl

Zat-Zat Toksik
Kerusakan Glomerolus parah
GFR Menurun
sel apartus juxtaglomerolus Terangsang
Untuk Mensekresikan Renin
Renin merubah Angiotensinogen yang
berasal dari Hepar menjadi Angiotens I
Angiotensin I diubah menjadi Angiotensi II
oleh Angiotensien Converting Enzym

68

Angiotensin II menimbulkan Vasokontriksi


pembuluh darah Tepi
Angiotensin II merangsang Korteks
Adrenal untuk mengelurkan Aldosteron
Aldosteron meningkatkan Retensi Natrium
dan Air
Volume Interstisial meningkat
Edema
Kelebihan volume cairan
DS:

Respon Inflamasi

DO:
-

Kesadaran Compos mentis

Pasien dalam 5 hari ini sulit


untuk BAK

Jumlah urin menurun

Ureum 310 mg/dl

Creatimin 13,3 mg/dl

Minum 1000 1500 ml

Gangguan eliminasi urine

Jaringan Parut merusak sisa Korteks


Glomeruli & Tubulus menjadi Jaringan
Parut
Kerusakan Glomerolus Parah
GFR menurun
Ginjal kehilangan fungsi

69

CKD
Produksi urine menurun, kepekatan urin
meningkat
Disuria, anuria
Gangguan eliminasi urine
DS:

Angiotensin II merangsang Korteks

DO:

Adrenal untuk mengeluarkan Aldosteron

Pasien sesak nafas

Frekuensi Nafas 28x/menit

Terdapat ronchi

Pasien sulit tidur

SpO2 64%

Ph 7,049

PCO2 31,2

PO2 46,1

Gangguan pertukaran gas

Aldosteron meningkatkan Retensi Natrium


dan Air
Volume Interstisial meningkat
Edema

Preload meningkat

Payah jantung

70

Bendungan atrium kiri meningkat

Peningkatan tekanan vena pulmonalis

Edema paru

Gangguan pertukaran gas


DS:

Diabetes Mellitus

DO:

Ketidakefektifan

perfusi

jaringan

perifer

Anoreksia

Tampak pucat

CRT > 3 detik

Konjungtiva anemis

TD 180/90 mmHg

Gula Darah
Ginjal tidak dapat menyerap
Fungsi nefron menurun
Kerusakan nefron
Kerusakan Glomerolus Parah
GFR Menurun
Ginjal kehilangan fungsi

71

CKD
Fungsi Eritropoetin Menurun
Eritrosit Menurun
Produksi Hb Turun
Oksihemoglobin Menurun
Penurunan Suplai O2 ke Perifer
Sianosis Perifer, Perubahan Karakteristik
Kulit
CRT > 2 detik
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

2. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urin dan retensi cairan serta natrium.
b. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomic (kemaluan edema skrotum dan penis).
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penyakit penyerta DM dan hipertensi.

72

C. Nursing Care Plan


Tabel 6. Nursing Care Plan Berdasarkan Kasus

No
1.

Diagnosa

NOC

Keperawatan

NIC

Rasional

Kelebihan volume

Setelah dilakukan asuhan

Fluid Management :

Fluid Management :

cairan b.d penurunan

keperawatan selama 1x8 jam

1.

1. Mengetahui status cairan

keluaran urin dan

volume cairan seimbang.

berat badan, keseimbangan

dan meencanakan

retensi cairan serta

Kriteria Hasil:

masukan dan keluaran, turgor

tindakan selanjutnya.

natrium.

Fluid Balance

kulit dan adanya edema.

Terbebas dari edema, efusi,


anasarka

2.

Batasi masukan cairan.

3.

Identifikasi sumber potensial

Bunyi nafas bersih,tidak


adanya dipsneu

cairan.
4.

Memilihara tekanan vena


sentral, tekanan kapiler
paru, output jantung dan
vital sign normal

Kaji status cairan ; timbang

5.

Jelaskan pada pasien dan

2. Mencegah penambahan
cairan di tubuh.
3. Dapat dijadikan patokan
sumber masalah.
4. Agar keluarga dan klien

keluarga rasional pembatasan

dapat kooperatif dalam

cairan.

proses keperawatan.

Kolaborasi pemberian cairan


sesuai terapi.

5. Memenuhi kebutuhan
cairan sesuai advis.

73

Hemodialysis therapy :

Hemodialysis therapy :

1. Ambil sampel darah dan

1. Mengetahui kondisi

meninjau kimia darah

fisiologis darag dan dpat

(misalnya BUN, kreatinin,

diijadikan sumber dalam

natrium, pottasium, tingkat

menentukan tindakan

phospor) sebelum perawatan

serta perencanaan

untuk mengevaluasi respon

selanjutnya.

thdp terapi.

2. Mengevaluasi tindakan

2. Rekam tanda vital: berat

yang sudah dilakukan,

badan, denyut nadi,

menghindari terjadinya

pernapasan, dan tekanan

kondisi yang tidak

darah untuk mengevaluasi

diinginkan.

respon terhadap terapi.


3. Sesuaikan tekanan filtrasi

3. Untuk menghilangkan
jumlah yang tepat dari

untuk menghilangkan jumlah

cairan berlebih di tubuh

yang tepat dari cairan berlebih

klien.

di tubuh klien.
4. Bekerja secara kolaboratif
dengan pasien untuk

4. Mengoptimalkan kondisi
klien dengan berbagai
profesi dan tindakan

74

menyesuaikan panjang

medis sertakeperawatan.

dialisis, peraturan diet,


keterbatasan cairan dan obatobatan untuk mengatur cairan
dan elektrolit pergeseran
antara pengobatan
2.

Gangguan eliminasi

Setelah dilakukan asuhan

urine berhubungan

keperawatan selama 1x8 jam

1. Monitor tanda-tanda vital

dengan obstruksi

eliminasi urin adekuat

2. Monitor intake outpur cairan.

anatomic (kemaluan

Kriteria Hasil:

edema skrotum dan

- Intake output seimbang

penis)

- Tekanan systole dan diastole


dalam batas normal 120/80
mmHg

Temperature regulation :

Pain Management:
1. Catat intake output secara
akurat
2. Posisikan klien dengan

Temperature regulation :
1. Mengetahui status
perkembangan penyakit
dan pengobatan.
2. Mengetahui
keseimbangan cairan
pada pasien.

senyaman mungkin (semi

Pain Management:

fowler)

1. Bukti dokumentasi

3. Kolaborasi dengan tenaga

output urin pada klien

kesehatan lain dalam

dari frekuensi,

pemberian resep antibiotic

konsistensi, volume,

untuk pasien

warna dan bau.

75

2. Mengurangi rasa
ketidaknyamanan pada
pasien.
3. Membantu pasien dalam
proses penyembuhan
dengan menggunakan
pemberian antibiotik
3.

Gangguan pertukaran

Setelah dilakukan asuhan

gas berhubungan

keperawatan selama 1x8 jam

dengan

pola nafas adekuat.

kedalaman, irama dan usaha

ketidakseimbangan

Kriteria Hasil:

respirasi.

ventilasi perfusi

Respiratory Status :
-

Respiratory Monitoring :

Respiratory Monitoring

1. Monitor rata rata,

1. Mengetahui kondisi

2. Catat pergerakan dada, amati

Peningkatan ventilasi dan

kesimetrisan, penggunaan

oksigenasi yang adekuat.

otot tambahan, retraksi otot

Bebas dari tanda tanda

supraclavicular dan

distress pernafasan.

intercostal

Suara nafas yang bersih,

3. Monitor pola nafas :

pernafasan klien.
2. Mengetahui adanya RDS
pada klien.
3. Mengetahui kondisi pola
nafas klien.
4. Mengetahui suara napas
klien.
5. Megurangi dan

tidak ada sianosis dan

bradipena, takipenia,

menghindari terjadinya

dyspneu (mampu

kussmaul, hiperventilasi,

edema paru.

76

mengeluarkan sputum,
mampu bernafas dengan

cheyne stokes.
4. Auskultasi suara nafas, catat

Oxygen Therapy :

mudah, tidak ada pursed

area penurunan / tidak adanya 1. Mengetahui suara napas

lips).

ventilasi dan suara tambahan

Tanda tanda vital dalam


rentang normal

5. Anjurkan untuk mengurangi


minum.

klien.
2. Mengurangi distres
pernafasan.

Oxygen Therapy :

3. Mengurangi sesak.

1. Auskultasi bunyi nafas, catat

4. Mengurangi dan

adanya crakles
2. Ajarkan pasien nafas dalam.
3. Atur posisi senyaman

menghindari fatigue.
5. Memenuhi kebutuhan
oksigen

mungkin (semifowler)
4. Batasi untuk beraktivitas.
5. Kolaborasi pemberian
oksigen dengan menggunakan
NRM 10 liter
4.

Ketidakefektifan

Setelah dilakukan asuhan

Circulatory Management :

perfusi jaringan perifer

keperawatan selama 1x8

1. Monitor TTV.

berhubungan dengan

Kriteria Hasil:

2. Monitor tanda-tanda anemia

Circulatory Management :
1. Mengetahui keadaan
fisiologis pasien.

77

penyakit penyerta DM
dan hipertensi

TTV dalam batas normal


a. TD : 120-80 mmHg
b. Nadi : 60

3. Anjurkan pasien untuk


banyak istirahat
4. Kolaborasi pemberian terapi

100x/menit

farmakologis

c. Respirasi : 16-

2. Anemia berpengaruh
terhadap pola aktivitas
dan sirkulasi pasien.
3. Meningkatkan rasa
nyaman dan aman pada

24x/menit.

pasien.
o

d. Suhu : 36,5 37,5 C

4. Terapi farmakologis
dapat meringankan
gangguan perfusi
jaringan.

78

Analisa Kesenjangan Teori dan Kasus


Setelah memahami konsep teori teori tentang askep CKD, terdapat
beberapa kesenjangan teori dengan scenario pada kasus. Diantaranya yaitu, pada
scenario yang dituliskan bahwa pasien sulit untuk eliminasi BAK dikarenakan
kemaluan bengkak. Dalam teori, penyebab retensi urin pada kasus CKD ialah
karena keadaan pasien dengan gagal ginjal tersebut yang mengalami kerusakan
pada nefronnya sehingga laju filtrasi glomerulus menurun dan ginjal tidak mampu
mengencerkan urin secara maksimal, hal inilah yang menyebabkan produksi urin
terus menurun dan kepekatan urin meningkat serta terjadilah disuria bahkan
anuria.
Selain itu data objektif yang di dapat bahwa pasien mengalami ascites,
edema anasarca, JVP 5+2 cm, TD 180/90 hal itu menunjukan bahwa keadaan
overload yang terjadi sudah dalam keadaan parah, akan tetapi di dalam kasus tidak
terdapat pengkajian keadaan jantung secara spesifik.
Pada kasus, pasien sudah mengetahui mengalami gagal ginjal sejak 3
bulan yang lalu, seharusnya pasien sudah membatasi minum agar tidak
memperparah edemanya serta segera berkonsultasi dengan tim medis untuk
melakukan cuci darah atau hemodialisa.

79

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi
dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif,
irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam
mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga
terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009).
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi untuk

mempertahankan

metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi


struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit
(toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011).
Penatalaksanaan gagal ginjal kronis yaitu tatalaksana konservatif
adalah

memanfaatkan

fungsi

hemodialisis, peritoneal dialisis,

dan

ginjal

yang

masih

transplantasi ginjal,

sisa,

dilakukan

pengaturan asupan kalori, protein, karbohidrat, kontrol tekanan darah.


Selain itu data yang terdapat dalam kasus di dapat bahwa pasien sudah
mengetahui mengalami gagal ginjal sejak 3 bulan yang lalu, seharusnya
pasien sudah membatasi minum agar tidak memperparah edemanya
mengalami ascites, edema anasarca, JVP 5+2 cm, TD 180/90

hal itu

menunjukan bahwa keadaan overload yang terjadi sudah dalam keadaan


parah.
B. Saran
1.

Bagi Mahasiswa
Dapat memahami dan menganalisis kasus yang diberikan
dosen sehingga diharapkan mahasiswa mampu memberikan asuhan
keperawatan pada mayarakat saat dilapangan atau dilahan praktik
khususnya pada keperawatan gawat darurat 2.
80

2.

Bagi Institusi Pendidikan


Dapat dijadikan sebagai referensi dalam pengetahuan dalam
menganalisis kasus yang saat ini banyak masalah dalam kalangan
masyarakat mengenai kesehatannya.

81

G Model
JSAMS-821; No. of Pages 6

ARTICLE IN PRESS
Journal of Science and Medicine in Sport xxx (2013) xxxxxx

Contents lists available at SciVerse ScienceDirect

Journal of Science and Medicine in Sport


journal homepage: www.elsevier.com/locate/jsams

Review

Exercise & Sports Science Australia (ESSA) position statement on exercise and
chronic kidney disease
Neil A. Smart a, , Andrew D. Williams b , Itamar Levinger c,1 , Steve Selig d , Erin Howden e ,
Jeff S. Coombes e , Robert G. Fassett e,f
a

School of Science and Technology, University of New England, Armidale, NSW 2351, Australia
School of Human Life Sciences, University of Tasmania, Launceston 7250, Australia
c
Institute for Sport, Exercise and Active Living (ISEAL), College of Sport and Exercise Science, Victoria University, Melbourne, Australia
d
Centre for Exercise and Sports Science, Deakin University, Victoria, Australia
e
School of Human Movement Studies, University of Queensland, St. Lucia, QLD, 4072, Australia
f
Department of Renal Medicine, Royal Brisbane and Womens Hospital, Brisbane, Queensland, 4029, Australia
b

a r t i c l e

i n f o

Article history:
Received 6 November 2012
Received in revised form 19 January 2013
Accepted 23 January 2013
Available online xxx
Keywords:
Exercise training
Chronic kidney disease
Haemodialysis

a b s t r a c t
Objectives: Chronic kidney disease (CKD) is prevalent, affecting 13% of adult Australians and poses
increased risk for cardiovascular morbidity and mortality. This position article provides evidence-based
guidelines on the role of exercise training for CKD patients and provides recommendations for prescribing
and delivering exercise training.
Design: Position stand.
Methods: Synthesis of published work within the eld of exercise training and chronic kidney disease.
Results: Exercise training likely to provide benets to CKD patients, including improvements in cardiorespiratory tness, quality of life, sympatho-adrenal activity, muscle strength and increased energy intake
and possible reduction in inammatory biomarkers. Existing studies generally report small sample sizes,
brief training periods and relatively high attrition rates. Exercise training appears to be safe for CKD
patients with no deaths directly related to exercise training in over 30,000 patient-hours, although strict
medical exclusion criteria in previous studies resulted in 25% of patients being excluded potentially
impacting the generalisability of the ndings.
Conclusions: Aerobic exercise at an intensity of >60% of maximum capacity is recommended to improve
cardio-respiratory tness. Few data are available on resistance training and it is unclear whether this form
of training retards catabolic/inammatory processes typical of CKD. However, it should be considered
important due to its proven benecial effects on bone density and muscle mass. Due to the high prevalence
and incidence of co-morbidities in CKD patients, exercise training programs should be prescribed and
delivered by individuals with appropriate qualications and experience to recognise and accommodate
co-morbidities and associated complications.
2013 Published by Elsevier Ltd on behalf of Sports Medicine Australia.

1. Background
This Position Statement provides evidence-based guidelines for
exercise training in patients with chronic kidney disease (CKD).
CKD is a complex disease that impacts on multiple organs and
systems. CKD is a major public health problem associated with
high morbidity, mortality and costs to the community.1 Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) denes CKD as
(a) kidney damage three months with structural or functional

Corresponding author.
E-mail address: nsmart2@une.edu.au (N.A. Smart).
1
Dr Itamar Levinger is a Heart Foundation Postdoctoral Research Fellow (PR
11M6086).

kidney abnormalities with or without decreased glomerular ltration rate (GFR), or (b) GFR < 60 ml/min/1.73 m2 present > three
months with or without kidney damage.2 A recent update now
also takes into account serum albumin levels when assigning risk
of serious events according to eGFR status (see Supplementary
Table).2 Prognosis for people with CKD is poor and reduced GFR
is an independent predictor of death, cardiovascular events, and
hospitalization.3,4 CKD has many causes and is associated with
metabolic conditions such as obesity, type 2 diabetes and cardiovascular diseases.5,6 CKD classication has 5 stages according to
severity, diagnosis, treatment and prognosis, with stage 5 usually
described as end stage kidney disease (ESKD).7 CKD is estimated to
affect 13.4% of Australian adults (aged 25 years or older), with more
than half of these in stage 35. Moreover, 30% of Australian adults
aged over 65 years have CKD stage 35.8

1440-2440/$ see front matter 2013 Published by Elsevier Ltd on behalf of Sports Medicine Australia.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jsams.2013.01.005

Please cite this article in press as: Smart NA, et al. Exercise & Sports Science Australia (ESSA) position statement on exercise and chronic kidney
disease. J Sci Med Sport (2013), http://dx.doi.org/10.1016/j.jsams.2013.01.005

G Model
JSAMS-821; No. of Pages 6
2

ARTICLE IN PRESS
N.A. Smart et al. / Journal of Science and Medicine in Sport xxx (2013) xxxxxx

Fig. 1. Lifestyle factors inuencing CKD development and progression.

Supplementary material related to this article found, in the


online version, at http://dx.doi.org/10.1016/j.jsams.2013.01.005.
2. Evidence for benets of exercise in CKD
As with related chronic diseases, physical inactivity is a major
CKD risk factor9 and a predictor of cardiovascular mortality.10 In
ESKD patients, a peak VO2 below 17.5 ml kg1 min1 is associated
with increased mortality.11 However, the relationship between
exercise capacity and mortality has not been reported in CKD stages
14. Nevertheless, a negative relationship between kidney function, anaemia and exercise capacity, measured as peak VO2 has
been described in CKD patients with stages 4 and 5.12 Fig. 1 illustrates the connection between sedentary lifestyle and CKD.
The importance of modifying lifestyle for medical management
of CKD is evident in many exercise training studies.13 Regular
exercisers have better quality of life, physical functioning, sleep
quality scores, report fewer physical activity limitations and are
less affected by pain or poor appetite. In models adjusted for
demographics, co-morbidities and socio-economic indicators, mortality risk was 27% lower among regular exercisers.14 Several
exercise training reviews and meta-analyses for CKD have been
published13,1519 the consensus is that regular exercise is benecial for patients in CKD stages 14 and stage 5 (ESKD), with the
majority of evidence being for ESKD. Furthemore, a recent extensive Cochrane review examined the aerobic and resistance training
effects on functional and clinical measures related to CKD.13 The
review highlights that:
Both low and high intensity aerobic exercise resulted in increased
aerobic capacity, but, high intensity exercise produced larger
increases.
Resistance training alone had no signicant effect on aerobic
capacity.
Supervised exercise programs are associated with greater benets than unsupervised exercise.
Muscle strength is likely to increase with both aerobic and resistance type exercises, but more with resistance training. Muscle
endurance (sit-to-stand in 60 s) is not likely to increase with exercise (both resistance and aerobic).

Exercise training had no signicant effects on the capacity to


perform activities of daily living.
Exercise training improves central haemodynamics (reduced
blood pressure and resting heart rate). Most benets were
observed in those who performed high intensity exercise.
The effects of exercise training on serum albumin are unclear.
Exercise training signicantly increased energy intake following
exercise training.
Exercise training did not signicantly reduce fat mass or waist
circumference.
Exercise training did not improve lipid prole or fasting glucose
levels.
Exercise training did not improve left ventricular structure or
function.
Dropout rate varied widely amongst studies, ranging from 0 to
70%.
In most studies the compliance was 70% or greater.

Hence, exercise training can improve aerobic capacity, muscle strength and some psychological measures in CKD patients.
Exercise may improve kidney function which is measured by
estimated glomerular ltration rate (eGFR). Overall, the optimal
dose of exercise that will lead to improve clinical measures in
this population is unclear. Differences between individual studies illustrate the difculties translating existing data into practice
(see Table 1). About two thirds of published trials are <6 months
duration and thus may be sub-optimal for achieving changes in
desired outcomes.20 All but two studies in Table 1 present data in
haemodialysis patients.
Only four studies utilised isolated resistance training, so the
specic effects of resistance training in CKD patients are poorly
understood. Although a greater number of aerobic and combined
training studies exist, study duration, intensity, frequency, exercise modality, venue (home versus outpatient versus inter-dialytic)
are so varied it is difcult to determine optimal exercise prescription. Nevertheless, the limited existing evidence on exercise
intensity suggests greater benet from moderate or higher intensity rather than low intensity exercise, for a range of markers
related to physical function and cardiovascular health.13 Many
ESKD patients exhibit inammation, muscle wasting and poor

Please cite this article in press as: Smart NA, et al. Exercise & Sports Science Australia (ESSA) position statement on exercise and chronic kidney
disease. J Sci Med Sport (2013), http://dx.doi.org/10.1016/j.jsams.2013.01.005

ARTICLE IN PRESS

G Model
JSAMS-821; No. of Pages 6

N.A. Smart et al. / Journal of Science and Medicine in Sport xxx (2013) xxxxxx

Table 1
Published randomized, controlled studies of exercise training in CKD patients versus sedentary control.
Aerobic training studies

N (ExT)

CKD stage

Training

Study duration, delivery method

Data extracted

Chang47
Cheema21
Cheema25
Chen J.48
Chen P.Y.49
Daniilidis50
Deligiannis29
Deligiannis30
Dong23
Frey26
Johansen22
Koh37
Koufaki27
Kouidi31
Kouidi51
Kouidi32
Leehey36
Moros-Garcia33
Oliveros52
Painter34
Parsons53
Reboredo38
Van Vilsteren35
Wilund54

71 (36)
49 (24)
49 (24)
50 (25)
94 (45)
34 (20)
60 (30)
16 (12)
32 (15)
11 (5)
79 (40)
70 (43)
18 (15)
31 (20)
48 (24)
59 (30)
11 (7)
34 (23)
15 (9)
24 (10)
13 (6)
22 (11)
96 (53)
17 (8)

HD
HD
HD
HD
CKD 24
HD
HD
HD
HD
HD
HD
HD
HD
HD
HD
HD
CKD 24
HD
HD
HD
HD
HD
HD
HD

AT
RT
RT
RT
AT
AT
CT
CT
RT
AT
RT
AT
AT
AT
CT
CT
AT
AT
CT
AT
AT
AT
CT
AT

2 Months, ID Cycling
3 Months, Strength ID
3 Months RT, ID
4 Months ID
3 Months, HD
3 Months, ID
6 Months, ND
6 Months, ND
6 Months Diet plus ExT vs Diet
2 Months, ID
3 Months, ID
6 Months, Cycling, ID
3 Months, Cycling, ID
6 Months, various aerobic, ND
4 Years, Aerobic & Strength ND
10 Months, Cycling ID
6 Months Home
4 Months, Cycling ND
4 Months ND
5 Months, Cycling, ID
2 Months Cycling, ID
3 Months, ID
3 Months, Cycling/Strength ID
4 Months, ID CYCLING

Fatigue
Strength
Cytokinesno change
Strength, ADL
Biochemistry, no change
IL-6
Peak VO2 , HRV
Peak VO2 , LVEF %
Body Mass and Strength
Energy Intake
Muscle size, strength, SF-36
SF-36
Peak VO2 , Energy Intake
Peak VO2 , Depression
Home v outpatient Peak VO2
Peak VO2
eGFR, HbA1 C, lipids, calories, body mass all no change
Peak VO2
Strength, QOL, Cytokines
Peak VO2
SF-36
HRV and LVEF
Peak VO2 , SF-36
Oxidative stress and body fat

Abbreviations: AT, aerobic training; RT, resistance training; CT, combined training; ID, intra-dialytic training; ND, non-dialysis training; HD, haemodialysis; HRV, heart rate
variability; LVEF, left ventricular ejection fraction.

Some patients also received nandralone.

Compared home versus outpatient exercise training.

nutrition. Several resistance training studies2125 have produced


improvements in muscle strength, although concomitant reductions in pro-inammatory cytokine expression are ambiguous.24,25
Elevated cytokine expression and poor nutrition are associated
with catabolism and CKD disease progression. Two studies26,27
employed dietary recall to estimate daily energy intake, which
increased in exercising CKD participants by approximately 5% from
baseline. However, recent work has failed to show additional benet of exercise training over oral nutritional supplementation in
CKD patients.23
Published aggregate data exists on approximately 1000 study
participants where, generally, exercise and control groups are
extremely well matched at baseline for age, gender, erythropoietin use and peak VO2 , time receiving haemodialysis and co-morbid
disease prevalence. A recent meta-analysis reported study designs
were generally poor with median Jadad score of 2.20,28 Only about a
third of published studies provide complete CONSORT statements,
and in many data on eligibility, withdrawal and completion were
decient. Most studies failed to conduct intention to treat analyses,
which could quantify impact of study withdrawals. Available data
suggests about 25% of patients approached are ineligible due to various medical exclusion criteria, a further 28% refused to participate,
so exercise may be underutilised in CKD. Exercise training appears
safe with no deaths reported directly due to exercise training in
over 30,000 patients-hours.20 Published studies show no evidence
of publication bias, with low to moderate heterogeneity.
Nine studies27,2936 measured peak VO2 in a total of nearly 400
patients. Mean baseline standard deviation of peak VO2 for both
exercise and control participants was 21.0 5.0 ml kg1 min1 .
Mean age was 51 years and the age-predicted peak VO2 for a 51 year
old, sedentary, non-obese adult is 28.8 ml kg1 min1 indicating
CKD patients have a peak VO2 about 70% of age-predicted value.20
Exercise training may be benecial as low peak VO2 is associated
with increased mortality risk.11 Data from studies of combined
aerobic and strength training convey a weighted mean 29 11%
improvement in peak VO2 , similar to the 23 10% from isolated
aerobic studies. Peak VO2 data from resistance training studies is
unavailable. Intra-dialytic training (ID) produced weighted mean

change in peak VO2 of 18 8% while training on non-dialysis days


showed 34 6% improvement in peak VO2 (p = 0.03).20
Improvements in physical tness are related to improved quality of life and decreased depression in CKD patients.17 Assessments
using the short-form-36 (SF-36) general health questionnaire37
and the Beck Depression Inventory31 have been conducted in CKD
patients before and after exercise training interventions, although
limited existing data cannot demonstrate any signicant change in
either measure.
Two studies showed signicant improvements in heart rate
variability30,32 with 6 months exercise training, although a shorter
3 month study reported no change.38 The former studies suggest
long-term (6 months) exercise training has a favourable sympathoadrenal effect in CKD patients. Cardiovascular disease is a common
cause of death in CKD patients3,39 therefore exercise-induced
improvements in sympatho-adrenal function may reduce cardiovascular mortality risk.
3. Exercise prescription-recommendations
Before prescribing exercise each CKD patient should undergo
a thorough medical review. One should rst take a full medical
history and clinical examination including cardiovascular assessment including blood pressure. In addition, a detailed medication
usage history and review of recent biochemistry and haematology will inform prescription to potentially reduce adverse clinical,
biochemical, haematological and medication-exercise interactions.
Subsequently baseline cardiopulmonary exercise testing with 12lead ECG is recommended to; (i) establish those unsuitable for
exercise or those who rst require medical stabilization, and
(ii) provide data for an individually tailored exercise prescription.
In line with the 2011 Cochrane review on exercise in adults with
CKD,13 current scientic evidence supports exercising regularly
for >30 min/session three times/week to improve physical tness,
cardiovascular dimensions and health related quality of life.13
Similarly the recent Kidney Disease Improving Global Outcomes
document recommends that people with CKD be encouraged to

Please cite this article in press as: Smart NA, et al. Exercise & Sports Science Australia (ESSA) position statement on exercise and chronic kidney
disease. J Sci Med Sport (2013), http://dx.doi.org/10.1016/j.jsams.2013.01.005

G Model
JSAMS-821; No. of Pages 6

ARTICLE IN PRESS
N.A. Smart et al. / Journal of Science and Medicine in Sport xxx (2013) xxxxxx

Table 2
Guidelines for aerobic and resistance exercise prescriptions in ESKD patients undertaking (non-nocturnal) haemodialysis.
ESKD inter-dialysis

ESKD intra-dialysis

Non-dialysis

Aerobic
Session duration
Session timing
Intensity (% max. HR) or RPE (620
point scale)

Build up to 3045 min


Non-dialysis days
5570% max HR, RPE 1113 Moderate
(preferably >60% max HR)

Build up to 3045 min


According to patient needs
5590% max HR, RPE 1116 moderate
to vigorous (6090% max HR)

Weekly duration
Modality

Up to 180 min
Walking/cycling/other

Build up to 3045 min


During rst 2 h of dialysis
5570% max HR, RPE 1113
moderate (preferably >60% max
HR)
Up to 180 min
Cycling while seated using arm or
leg ergometer

Resistance*
Initial frequency per week
Different muscle groups/exercises
Initial volume
Timing
Modality

Indications
Flexibility

Up to 180 min
Walking/jogging/cycling/other

Two non-consecutive days


Two non-consecutive days
Two non-consecutive days
812 exercises (major muscles)
812 exercises prioritizing major muscle
Up to 12, as many as practical in
groups
dialysis session
1 set to fatigue, 1215 reps or
1 set to fatigue, 1015 reps or 6070%
1 set to fatigue, 1215 reps or 6070%
Repetition Maximum
6070% Repetition Maximum
repetition maximum
Non-dialysis days
Before or during dialysis
As comfortable
Weight-bearing activity, thera-bands,
Weight-bearing activity, thera-bands,
Weight-bearing activity,
weight cuffs, light dumbbells, weight
thera-bands, weight cuffs, light
machine and free weights.
machines
dumbbells as practical in dialysis
Cachexia, poor bone density, low
Cachexia, poor bone density, low BMI
Cachexia, poor bone density, low BMI or
lean body mass
BMI or lean body mass
or lean body mass
57 days per week for a duration of about 10 min per session. Where possible combine with aerobic or resistance exercise
session and include balance exercises for those at risk of falls.

*
Both resistance and aerobic activity should be completed (although not necessarily in the same session); recommendations assume no contraindications to exercise.
Abbreviations: Reps, repetitions; BMI, body mass index; RPE, rate of perceived exertion; HR, heart rate.

undertake physical activity compatible with cardiovascular health


and tolerance (aiming for at least 30 min 5 times per week).2 It
is suggested that exercise training include aerobic, resistance and
exibility activities and that clinical judgement should determine
the relative contributions of each. Individual recommendations by
stage and/or treatment modality of kidney disease do not presently
exist, however, the following suggestions may guide exercise prescription for the CKD/ESKD patient.
Patients with peak VO2 values (<17.5 ml kg1 min1 ) may derive
the largest survival benet from exercise training.11 Training
should be performed in the presence of qualied clinical staff.
Cachectic patients exhibiting poor bone density or low body mass
index (<20 kg m2 ) should commence resistance exercise as soon as
possible. Resistance training during dialysis is limited by sitting, we
have therefore taken a practical, evidence based approach to aerobic and resistance exercise prescription, see Table 2. Based upon
a meta-analysis,18 5 studies with statistically signicant improvements in peak VO2 had the following attributes; all were >6 months
duration, all but one used >240 min weekly (90 min or more exercise session durations) and exercise intensities were 6070% of
predicted heart rate maximum. Based partially on previous work40
we also recommend resistance exercise on twice weekly on nonconsecutive days, details of sets and repetitions can be seen in a
Table 2.

In ESKD patients several additional considerations must be


taken into account. CKD patients often exhibit signicant physical
deconditioning and co-morbidities. Larger adaptations may occur
when exercise is completed on non-dialysis days, although intradialytic exercise training may produce better adherence rates, but
exercise should be within the rst 2 h of dialysis initiation.18 Peritoneal dialysis patients perform exercise more comfortably with
abdominal cavities emptied of dialysis uid, reducing diaphragmatic pressure, breathlessness and, in some types of peritoneal
dialysis, chest discomfort. Haemodialysis patients should avoid
upper limb activity with temporary or healing arterio-venous stulas. Fistula arms should not be used for functional assessment,
thus avoiding false blood pressure testing and using the stula arm
for blood pressure measurement is contraindicated. A role exists
for both intra and interdialytic exercise with exercise adherence
tending to be greater in the former, due to increased supervision. Interdialytic exercise also results in improved outcomes when
adherence is maintained.45 We recommend patients perform exercise during the rst 2 h of haemodialysis, when blood pressure
control is best.
Regular blood pressure and electrocardiogram (ECG) monitoring during exercise training is recommended, especially when ECG
is affected by electrolyte abnormalities (e.g. hypo/hyperkalaemia).
If this occurs a nephrologist consultation is recommended.

4. Special considerations

5. Contraindications to exercise

While studies reporting exercise benets have not reported any


safety issues arising from exercise interventions,13 identication
and appropriate management of any co-morbidities is essential
for safe exercise delivery. In their excellent review, Johansen and
Painter state that exercise appears to be safe in the CKD patient population if begun at moderate intensity and increased gradually.41
Moreover, the evidence suggests that the risk of remaining inactive
is higher.41 Exercise should be tailored to accommodate additional
co-morbidities as well as CKD. Recommendations for several common co-morbidities including hypertension, type II diabetes and
cardio-myopathies have already been published.42,43 Those with
diabetic nephropathy36 and cardio-renal syndrome44 require closest supervision.

In addition to the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association contraindications to exercise46
the following are specic to CKD patients:
Electrolyte abnormalities especially hypo/hyperkalaemia
Recent changes to the ECG, especially symptomatic tachyarrhythmias or brady-arrhythmias
Excess inter-dialytic weight gain >4 kg since last dialysis or exercise session
Unstable on dialysis treatment and changing (titrating) medication regime
Pulmonary congestion
Peripheral oedema

Please cite this article in press as: Smart NA, et al. Exercise & Sports Science Australia (ESSA) position statement on exercise and chronic kidney
disease. J Sci Med Sport (2013), http://dx.doi.org/10.1016/j.jsams.2013.01.005

G Model
JSAMS-821; No. of Pages 6

ARTICLE IN PRESS
N.A. Smart et al. / Journal of Science and Medicine in Sport xxx (2013) xxxxxx

6. Gaps in the literature


There exists the need for large, well-designed randomized, controlled trials with reliable outcome measures that will provide
exercise dose (intensity, frequency, duration and modality) for people with CKD, including ESKD. It is also important to understand
whether aerobic or resistance exercise or a combination of both
will provide optimal benets to ESKD patients with cachexia. Only
four resistance training studies in CKD have been conducted and
there exists obvious need for further trials examining the possible
anti-catabolic/inammatory effects of this intervention as this has
implications for other co-morbid diseases.
7. Summary
Exercise training appears safe and proffers a range of benets
to CKD patients, including improvements in cardio-respiratory tness, sympathy-adrenal activity, heart rate variability, quality of
life and energy intake. It remains unclear whether some outcomes
such as pro-inammatory cytokine expression are improved.13,24
The optimal exercise prescription also remains unclear.
8. Practical implications
Regular exercise training should be a component of the management of patients with CKD to reduce the risk of cardiovascular
complications.
Exercise programs for patients with CKD should be designed and
delivered by appropriately trained and qualied personnel and take
into account individual patient needs.
Further research is required to determine the optimal dose and
modality of exercise for CKD patients in general and pre-dialysis
patients.
Acknowledgement
The authors would like to thank Dr Dennis Taaffe of Newcastle
University for conducting an internal ESSA review and assisting
with formatting and editing.
References
1. Eknoyan G, Lameire N, Barsoum R et al. The burden of kidney disease: improving
global outcomes. Kidney Int 2004; 66(4):13101314.
2. KDIGO. 2012 Clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease. J Int Soc Nephrol 2013; 3(1):1163.
3. Go AS, Chertow GM, Fan D et al. Chronic kidney disease and the risks
of death, cardiovascular events, and hospitalization. N Engl J Med 2004;
351(13):12961305.
4. Tonelli M, Wiebe N, Culleton B et al. Chronic kidney disease and mortality risk:
a systematic review. J Am Soc Nephrol 2006; 17(7):20342047.
5. Cheng HT, Huang JW, Chiang CK et al. Risk factors for development of chronic
kidney disease and rapid decline in renal function in elderly. J Clin Endocrinol
Metab 2012; 97(4):12681276.
6. Gobal F, Deshmukh A, Shah S et al. Triad of metabolic syndrome, chronic kidney
disease, and coronary heart disease with a focus on microalbuminuria death by
overeating. J Am Coll Cardiol 2011; 57(23):23032308.
7. Guidance and clinical tips to help identify, manage and refer CKD in your practice,
Australia, KH, Kidney Health Australia, 2012.
8. AIHW. Australias health 2010: Australias health series no.12. Cat. no. AUS 122,
Canberra, AIHW, 2010.
9. Stengel B, Tarver-Carr ME et al. Lifestyle factors, obesity and the risk of chronic
kidney disease. Epidemiology 2003; 14(4):479487.
10. Shlipak MG, Fried LF, Cushman M et al. Cardiovascular mortality risk in chronic
kidney disease: comparison of traditional and novel risk factors. JAMA 2005;
293(14):17371745.
11. Sietsema KE, Amato A, Adler SG et al. Exercise capacity as a predictor of survival among ambulatory patients with end-stage renal disease. Kidney Int 2004;
65(2):719724.
12. Clyne N, Jogestrand T, Lins LE et al. Progressive decline in renal function induces
a gradual decrease in total hemoglobin and exercise capacity. Nephron 1994;
67(3):322326.

13. Heiwe S, Jacobson SH. Exercise training for adults with chronic kidney disease.
Cochrane Database Syst Rev 2011 (10): CD003236.
14. Tentori F, Elder SJ, Thumma J et al. Physical exercise among participants in the
Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study (DOPPS): correlates and associated outcomes. Nephrol Dial Transplant 2010; 25(9):30503062.
15. Cheema BS, Singh MA. Exercise training in patients receiving maintenance
hemodialysis: a systematic review of clinical trials. Am J Nephrol 2005;
25(4):352364.
16. Johansson P, Dahlstrom U, Brostrom A. Factors and interventions inuencing
health-related quality of life in patients with heart failure: a review of the
literature. Eur J Cardiovasc Nurs 2006; 5(1):515.
17. Segura-Orti E. Exercise in haemodyalisis patients: a literature systematic review.
Nefrologia 2010; 30(2):236246.
18. Smart NA, Titus TT. Outcomes of early versus late nephrology referral in chronic
kidney disease: a systematic review. Am J Med 2011; 124(11):10731080, e1072.
19. Howden EJ, Fassett RG, Isbel NM et al. Exercise training in chronic kidney disease
patients. Sports Med 2012; 42(6):473488.
20. Smart N, Steele M. Exercise training in haemodialysis patients: a systematic
review and meta-analysis. Nephrology (Carlton) 2011; 16(7):626632.
21. Cheema B, Abas H, Smith B et al. Randomized controlled trial of intradialytic
resistance training to target muscle wasting in ESRD: the Progressive Exercise
for Anabolism in Kidney Disease (PEAK) study. Am J Kidney Dis 2007; 50(4):
574584.
22. Johansen KL, Painter PL, Sakkas GK et al. Effects of resistance exercise training
and nandrolone decanoate on body composition and muscle function among
patients who receive hemodialysis: a randomized, controlled trial. J Am Soc
Nephrol 2006; 17(8):23072314.
23. Dong J, Sundell MB, Pupim LB et al. The effect of resistance exercise to augment
long-term benets of intradialytic oral nutritional supplementation in chronic
hemodialysis patients. J Ren Nutr 2011; 21(2):149159.
24. Castaneda C, Gordon PL, Parker RC et al. Resistance training to reduce the
malnutrition-inammation complex syndrome of chronic kidney disease. Am
J Kidney Dis 2004; 43(4):607616.
25. Cheema BS, Abas H, Smith BC et al. Effect of resistance training during hemodialysis on circulating cytokines: a randomized controlled trial. Eur J Appl Physiol
2011; 111(7):14371445.
26. Frey S, Mir AR, Lucas M. Visceral protein status and caloric intake in exercising
versus nonexercising individuals with end-stage renal disease. J Renal Nutr 1999;
9(2):7177.
27. Koufaki P, Mercer TH, Naish PF. Effects of exercise training on aerobic and functional capacity of end-stage renal disease patients. Clin Physiol Funct Imaging
2002; 22(2):115124.
28. Jadad AR, Moore RA, Carroll D et al. Assessing the quality of reports of randomized clinical trials: is blinding necessary? Control Clin Trials 1996; 17(1):112.
29. Deligiannis A, Kouidi E, Tassoulas E et al. Cardiac effects of exercise rehabilitation
in hemodialysis patients. Int J Cardiol 1999; 70(3):253266.
30. Deligiannis A, Kouidi E, Tourkantonis A. Effects of physical training on heart rate
variability in patients on hemodialysis. Am J Cardiol 1999; 84(2):197202.
31. Kouidi E, Iacovides A, Iordanidis P et al. Exercise renal rehabilitation program:
psychosocial effects. Nephron Clin Pract 1997; 77(2):152158.
32. Kouidi EJ, Grekas DM, Deligiannis AP. Effects of exercise training on noninvasive
cardiac measures in patients undergoing long-term hemodialysis: a randomized
controlled trial. Am J Kid Dis 2009; 54(3):511521.
33. Moros G, Ros Mar R, Villarroya AA et al. Physical exercise in hemodialysis
patients. Arch Med Deporte 2000; 17(77):235244.
34. Painter P, Moore G, Carlson L et al. Effects of exercise training plus normalization
of hematocrit on exercise capacity and health-related quality of life. Am J Kid Dis
2002; 39(2):257265.
35. Van Vilsteren MC, de Greef MH, Huisman RM. The effects of a lowto-moderate intensity pre-conditioning exercise programme linked with
exercise counselling for sedentary haemodialysis patients in The Netherlands:
results of a randomized clinical trial. Nephrol Dial Transplant 2005; 20(1):
141146.
36. Leehey DJ, Moinuddin I, Bast JP et al. Aerobic exercise in obese diabetic patients
with chronic kidney disease: a randomized and controlled pilot study. Cardiovasc
Diabetol 2009; 8:62.
37. Koh KP, Fassett RG, Sharman JE et al. Effect of intradialytic versus home-based
training on physical function and vascular parameters in hemodialysis patients:
a randomized pilot study. Am J Kidney Dis 2009; 55(1):8899.
38. Reboredo Mde M, Pinheiro Bdo V, Neder JA et al. Effects of aerobic training during
hemodialysis on heart rate variability and left ventricular function in end-stage
renal disease patients. J Bras Nefrol 2010; 32(4):367373.
39. Jungers P, Joly D, Nguyen-Khoa T et al. Continued late referral of patients with
chronic kidney disease causes, consequences, and approaches to improvement.
Presse Medicale 2006; 35(1 Pt 1):1722.
40. Headley S, Germain M, Mailloux P et al. Resistance training improves strength
and functional measures in patients with end-stage renal disease. Am J Kidney
Dis 2002; 40(2):355364.
41. Johansen KL, Painter P. Exercise in individuals with CKD. Am J Kidney Dis 2012;
59(1):126134.
42. Hordern MD, Dunstan DW, Prins JB et al. Exercise prescription for patients with
type 2 diabetes and pre-diabetes: a position statement from Exercise and Sport
Science Australia. J Sci Med Sport 2012; 15(1):2531.
43. Selig SE, Levinger I, Williams AD et al. Exercise & Sports Science Australia Position
Statement on exercise training and chronic heart failure. J Sci Med Sport 2010;
13(3):288294.

Please cite this article in press as: Smart NA, et al. Exercise & Sports Science Australia (ESSA) position statement on exercise and chronic kidney
disease. J Sci Med Sport (2013), http://dx.doi.org/10.1016/j.jsams.2013.01.005

G Model
JSAMS-821; No. of Pages 6
6

ARTICLE IN PRESS
N.A. Smart et al. / Journal of Science and Medicine in Sport xxx (2013) xxxxxx

44. McCullough PA, Franklin BA, Leifer E et al. Impact of reduced kidney function
on cardiopulmonary tness in patients with systolic heart failure. Am J Nephrol
2010; 32(3):226233.
45. Moinuddin I, Leehey DJ. A comparison of aerobic exercise and resistance training
in patients with and without chronic kidney disease. Adv Chronic Kidney Dis
2008; 15(1):8396.
46. Gibbons RJ, Balady GJ, Bricker JT et al. ACC/AHA 2002 guideline update for
exercise testing: summary article, a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee
to Update the 1997 Exercise Testing Guidelines). J Am Coll Cardiol 2002;
40(8):15311540.
47. Chang Y, Cheng SY, Lin M et al. The effectiveness of intradialytic leg ergometry exercise for improving sedentary life style and fatigue among patients
with chronic kidney disease: a randomized clinical trial. Int J Nurs Stud 2010;
47(11):13831388.
48. Chen JL, Godfrey S, Ng TT et al. Effect of intra-dialytic, low-intensity strength
training on functional capacity in adult haemodialysis patients: a randomized
pilot trial. Nephrol Dial Transplant 2010; 25(6):19361943.

49. Chen PY, Huang YC, Kao YH et al. Effects of an exercise program on blood biochemical values and exercise stage of chronic kidney disease patients. J Nurs Res
2010; 18(2):98107.
50. Daniilidis M, Kouidi E, Giagoudaki E et al. The immune response in hemodialysis
patients folowing physical training. Sport Sci Health 2004; 1:1116.
51. Kouidi E, Grekas D, Deligiannis A et al. Outcomes of long-term exercise training
in dialysis patients: comparison of two training programs. Clin Nephrol 2004;
61(Suppl. 1):S31S38.
52. Oliveros RM, Avendano M, Bunout D et al. A pilot study on physical training of
patients in hemodialysis. Rev Med Child 2011; 139(8):10461053.
53. Parsons TL, Toffelmire EB, King-VanVlack CE. The effect of an exercise program during hemodialysis on dialysis efcacy, blood pressure and quality
of life in end-stage renal disease (ESRD) patients. Clin Nephrol 2004; 61(4):
261274.
54. Wilund KR, Tomayko EJ, Wu PT et al. Intradialytic exercise training reduces
oxidative stress and epicardial fat: a pilot study. Nephrol Dial Transplant 2010;
25(8):26952701.

Please cite this article in press as: Smart NA, et al. Exercise & Sports Science Australia (ESSA) position statement on exercise and chronic kidney
disease. J Sci Med Sport (2013), http://dx.doi.org/10.1016/j.jsams.2013.01.005

PATHWAYS

Diabetes Mellitus

Gula Darah

Glomerulonefritis

Reaksi Antigen-Antibody

Zat-zat toksik

Tertimbun di Ginjal

Ginjal tidak dapat menyerap

Terbentuk Agregat Molekul

Fungsi Filtrasi menurun

Fungsi nefron menurun

Beberapa terperangkap di Glomerolus

Kerusakan Nefron

Kerusakan nefron

Respon Inflamasi

Jaringan Parut merusak sisa Korteks

Glomeruli & Tubulus menjadi Jaringan Parut

Kerusakan Glomerolus Parah

GFR

Sel Aparatus Juxtaglomerolus

Ginjal Kehilangan Fungsi

terangsang untuk mensekresikan Renin

CKD

Produksi Urine ,
Kepekatan Urine

Disuria, Anuria

Ggn. Eliminasi Urine

Renin merubah Angiotensinogen


yang berasal dari Hepar menjadi
Angiotensin I

Angiotensin I diubah menjadi

Fungsi Eritropoetin

Sekresi Protein terganggu

Eritrosit

Syndrome Uremia

Produksi Hb

Perpospatemia

Angiotensin II oleh Angiotensin


Converting Enzym

Anemia
Angiotensin II menimbulkan

Oksihemoglobin

Vasokontriksi Pembuluh Darah Tepi

Timbul Rasa Gatal pada Kulit


Ggn.Rasa Nyaman

Penurunan suplai O2 ke Perifer

Memicu Saraf Motorik untuk menggaruk

Tekanan Darah meningkat


Kerusakan Kulit (Erosi, Ekskoriasi)

Metabolisme Anaerob

Sianosis Perifer,
perubahan karakteristik kulit

Kerusakan Integritas Kulit

ATP <<
CRT > 2 detik
Hipertensi

Ggn. Keseimbangan Asam Basa

Kelelahan
Perfusi Jaringan Perifer Tidak Efektif

Produksi Asam Lambung

Angiotensin II merangsang
Korteks Adrenal untuk

Intoleransi Aktivitas

Mual, Nafsu Makan

mengeluarkan Aldosteron
BB > 20 %
Aldosteron meningkatkan
Retensi Natrium dan Air

Ketidakseimbangan Nutrisi <


Kebutuhan Tubuh

Volume Interstisial

Edema

Kelebihan Volume Cairan

Preload

Penurunan Curah Jantung

Payah Jantung

Bendungan Atrium Kiri

Tekanan Vena Pulmonalis

Edema Paru

Kerusakan Pertukaran Gas

DAFTAR PUSTAKA

Aziz Rani. 2009. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: EGC.


Black & Hawks. 2009. Keperawatan Medikal Bedah. Singapore: Elsevier.
Bluechek, G. M. Et al. 2014. Nursing Intervention Classifications (NIC). St.
Lowis Missouwri: Mosby Elsevier.
Bomback & Bakris. 2011. Chronic Kidney Disease. Jones & Bartlett Learning.
Physycians Press.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi. 3. Alih Bahasa: Egi
Komara. Jakarta: EGC.
Depkes RI. 2016. Hari Ginjal Sedunia 2016: Cegah Nefropati Sejak Dini.
Kementerian

Kesehatan

Republik

Indonesia.

http://www.depkes.go.id/article/print/16031000001/hari-ginjal-sedunia2016-cegah-nefropati-sejak-dini.html
Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 2006. Textbook of Medical Physiology. Ed.
11. Phyladelvia: Elseiver Sender.
Herdman, T. Heather. 2014. NANDA International, NURSING DIAGNOSA,
Definitions & Classification 2015-2017. St. Lowis Missouwri: Mosby
Elsevier.
Masjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Moorhead, sue, et al. 2014. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Lowis
Missouwri: Mosby Elsevier.
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat Plus Contoh Askep dengan
pendekatan Nanda,

NIC, NOC. Nuha Medika: Yogyakarta.

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas 2103. Badan Penelitian Dan
Pengembangan

Kesehatan

Kementerian

Kesehatan

RI.

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%
202013.pdf Diakses pada tanggal 22 September 2016.
Smart, Neil A, et al. 2013. Exercise & Sports Science Australia (ESSA) Position
Statement on Exercise and Chronic Kidney Disease. Journal of Science and
Medicine in Sport. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23434075 di akses pada
hari Kamis, 22 September 2016.
Smeltzer. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.
Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC.
Sudoyo. 2006. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.
Sudoyo. 2009. Jilid 3. Edisi V. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Interna Publishing.
Suwitra, Ketut. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi 5. Editor:
Arukit W Sudoyo. Jakarta : Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai