Anda di halaman 1dari 10

55

BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang wanita, berumur 27 tahun datang atas rujukan dari puskesmas Rasau
Jaya dengan keluhan persalinan yang lama dengan mulai merasakan kontraksi
sejak 11 jam SMRS. Pasien mengalami perdarahan dari kemaluan berwarna
merah segar, banyak, dan tidak merasakan nyeri saat perdarahan. Pembukaan
kira-kira 7-8 cm sejak 8 jam SMRS. Riwayat ketuban telah dipecahkan oleh bidan
di klinik Bunda Aliyah sejak 8 jam SMRS untuk membantu mempermudah
kepala bayi agar bisa turun namun tidak terdapat tanda-tanda bayi akan keluar.
Pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah yang semakin memberat, Pasien tidak
mengeluh mual, muntah, sakit kepala, pandangan kabur, sesak nafas, bengkak
pada wajah dan anggota gerak bawah. Kehamilan pasien saat ini merupakan
kehamilan ketiga. Riwayat persalinan normal saat melahirkan anak pertama dan
dibantu oleh bidan dengan berat badan 2500 gram. Riwayat abortus saat sedang
hamil anak kedua akibat ketidaktahuan pasien bahwa pasien sedang hamil dan
pasien saat sedang hamil anak kedua terlalu giat dalam mengikuti program
penurunan berat badan. Riwayat kontrol selama kehamilan anak ketiga rutin
sebulan sekali di Klinik Bunda Aliyah. Riwayat sakit dan penggunaan obat-obatan
selama kehamilan anak ketiga disangkal. Riwayat KB suntik dan sudah berhenti
sejak 4 tahun SMRS. HPHT 07 Juli 2014. Status obstetri GIII P1 A1 Hamil 40
minggu. Berdasarkan hasil anamnesis tersebut, pasien hamil pada umur
reproduksi optimal yaitu antara 20-35 tahun sehingga menurunkan resiko
kehamilan dan persalinan. Pada usia muda Pada usia muda organ-organ
reproduksi

seorang

wanita

belum

sempurna

secara

keseluruhan

dan

perkembangan kejiwaan belum matang sehingga belum siap menjadi ibu dan
menerima kehamilannya dimana hal ini dapat berakibat terjadinya komplikasi
obstetri yang dapat meningkatkan angka kematian ibu dan perinatal. Kehamilan di
atas umur 35 tahun mempunyai risiko 3 kali lebih besar terjadinya persalinan

56

seksio sesarea dibandingkan dengan umur di bawah 35 tahun. Hal-hal yang perlu
diperhatikan pada faktor mediko obstetri adalah paritas, jarak persalinan, riwayat
obstetri jelek, dimana hal ini akan memberi gambaran atau prognosa pada
kehamilan dan persalinan berikutnya. Paritas pada pasien tersebut dikategorikan
primipara yaitu ibu dengan jumlah persalinan satu kali sebelum kehamilan atau
persalinan saat ini. Risiko untuk terjadinya persalinan seksio sesarea pada
primipara 2 kali lebih besar daripada multipara. Jarak persalinan pada pasien
antara anak pertama dan ketiga lebih dari 3 tahun sehingga menurunkan risiko
komplikasi terhadap ibu dan anak karena dapat memberikan kesempatan untuk
memulihkan tubuhnya dan mempersiapkan dirinya pada persalinan berikutnya
dan memberi kesempatan pada luka untuk sembuh dengan baik. Sebelum dan
selama kehamilan, pasien tidak pernah sakit selain hipertensi yang dialami pasien
dan tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan selain vitamin selama kehamilan
sehingga risiko daya tahan tubuh pasien tersebut tersebut minimal. Menurut
pengakuan pasien, hipertensi yang dialami oleh pasien mulai timbul saat berhenti
kb suntik sejak 4 tahun SMRS dan pasien juga tidak pernah mengkonsumsi obatobatan untuk mengatasi hipertensi yang dialami pasien. Riwayat hipertensi pada
kehamilan mempunyai risiko 4 kali lebih besar terjadinya persalinan seksio
sesarea dibandingkan dengan kehamilan tanpa hipertensi. Hipertensi pada pasien
timbul sebelum kehamilan anak ketiga, namun dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik tidak terdapat riwayat kejang-kejang edema pretibial maupun
edema periorbital selama kehamilan maupun pada saat pemeriksaan pre operasi
pasien. Penegakan preeklampsia, eklampsia, maupun preeklampsia yang
superimposed terhadap hipertensi kronis. Pada preeklampsia memiliki kriteria
minimum desakan darah 140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu,
disertai dengan proteinuria 300 mg/24 jam atau dipstick 1+. Pada eklampsia
terdapat kejang-kejang pada preeklampsia disertai koma. Preeklampsia yang
superimposed terhadap hipertensi kronis terdapat proteinuria 300 mg/24 jam

57

pada wanita hamil yang sudah mengalami hipertensi sebelumnya, proteinuria


hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu. Penegakan diagnosis hipertensi yang
dialami pasien tersebut dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik yaitu tekanan darah 140/90 mmHg saat pemeriksaan pre operasi dan untuk
menentukan apakah terdapat proteinuria pada pasien tersebut, maka perlu
dilakukan pemeriksaan urinalisa. Pasien belum pernah memiliki riwayat
persalinan seksio sesarea sebelumnya. Riwayat persalinan seksio sesarea
mempunyai risiko 6 kali lebih besar untuk terjadinya persalinan seksio sesarea
pada kehamilan berikutnya. Pada hasil pemeriksaan fisik yaitu breath, brain,
bladder, bowel, dan bone dalam batas normal. Pada pemeriksaan blood,
didapatkan hipertensi grade I dengan tekanan darah 140/90 mmHg. Pada
pemeriksaan leopold pasien, pada leopold I didapatkan Tinggi Fundus Uteri
(TFU) 36 cm, letak bokong, pada leopold II punggung bayi berada di kanan ibu,
pada leopold III didapatkan presentasi kepala, dan leopold IV divergen
menunjukkan bayi sudah melewati pintu atas panggul. Pada pemeriksaan vaginal
touche didapatkan pembukaan 7 cm, dengan ketuban sudah pecah ditandai dengan
adanya lendir/darah, porsio edema, tebal. Denyut jantung janin normal yaitu
146x/menit (denyut jantung janin normal ; 120-160x/menit). Hasil pemeriksaan
laboratorium darah lengkap pasien dalam batas normal. Pada kasus ini terdapat
gangguan pada kontraksi uterus dimana frekuensi hanya 3 x dan durasinya kurang
dari 20-30 detik. Dari hasil pemeriksaan fisik tersebut, proses persalinan pasien
masih berada dalam kala 1 (kala pembukaan). Pada kala pembukaan, his belum
begitu kuat, datangnya setiap 10-15 menit dan tidak seberapa mengganggu ibu,
sehingga ibu seringkali masih dapat berjalan. Lambat laun his bertambah kuat,
interval menjadi lebih pendek, kontraksi juga menjadi lebih kuat dan lebih lama.
Lender berdarah bertambah banyak. Secara klinis pasien tersebut dapat dikatakan
partus karena sudah timbul his dan pasien ersebut mengeluarkan lendir yang
bersemu darah (bloody show). Lendir yang bersemu darah ini berasal dari lendir
kanalis servikalis mulai membuka atau mendatar. Darah berasal dari pecahnya

58

pembuluh darah kapiler sekitar kanalis servikalis karena pergeseran ketika serviks
mendatar dan membuka.Proses membukanya serviks sebagai akibat his dibagi
dalam 2 fase yaitu fase laten yaitu pembukaan serviks berlangsung lambat sampai
pembukaan 3 cm berlangsung dalam 7-8 jam disusul dengan fase aktif yang
berlangsung selama 6 jam dan dibagi atas 3 sub fase yaitu periode ekselerasi yang
berlangsung 2 jam, pembukaan menjadi 4 cm pembukaan berlangsung cepat
menjadi 9 cm, periode dilatasi maximal (steady) selama 2 jam, dan periode
deselerasi berlangsung lambat dalam waktu 2 jam pembukaan menjadi 10 cm atau
lengkap. Fase-fase yang dikemukakan diatas dijumpai pada primigravida.
Sedangkan pada multi serviks membuka dan mendatar bisa dalam waktu
bersamaan, dan berlangsung hanya 6-7 jam. Pada kasus ini terjadi pemanjangan
fase aktif yang dapat disebabkan oleh malposisi dan malpresentasi dari janin.
Oleh karena itu, perlu dilakukan usulan pemeriksaan USG sebelum dilakukan
persalinan atau tindakan pembedahan termasuk operasi seksio sesarea. Malposisi
dan malpresentasi dari janin dapat disingkirkan oleh karena bayi lahir dengan
presentasi belakang kepala. Penyebab lain dari pemanjangan fase aktif adalah
tidak terjadinya putaran paksi yang dapat disebabkan oleh gangguan pada
kekuatan dari kontraksi uterus. Pada kasus ini disebut juga primary dysfunctional
labor atau persalinan yang masih menunjukkan kemajuan persalinan sekalipun
dilatasi serviks berlangsung lambat yang dapat diakibatkan oleh ketuban pecah
sebelum dimulainya persalinan. Adapun fungsi dari air ketuban adalah untuk
proteksi janin, mencegah pelekatan janin dengan amnion. Agar janin dapat
bergerak bebas, regulasi terhadap panas dan perubahan suhu, mungkin untuk
menambah suplai cairan janin, dengan cara ditelan atau diminum, yang kemudian
dikeluarkan melalui kencing janin, meratakan tekanan intra uterin dan
membersihkan jalan lahir bila ketuban pecah. Selain faktor ketuban, partus tidak
maju dapat juga disebabkan oleh kekuatan yang mendorong janin keluar
terganggu. Pada kasus ini terdapat gangguan pada kontraksi uterus. His yang
sempurna mempunyai kejang otot yang paling tinggi di fundus uteri dan puncak

59

kontraksi terjadi simultan di seluruh bagian uterus. Sesudah tiap his, otot-otot
uterus mengadakan retraksi. Oleh karena serviks kurang mengandung otot maka
servik tertarik dan dibuka, lebih-lebih jika ada tekanan oleh bagian besar janin
yang keras. Umpamanya kepala yang merangsang pleksus saraf setempat. Pada
kasus ini his yang tidak adekuat menyebabkan servik tidak dapat membuka
dengan baik, hal ini dapat saja berhubungan dengan pecahnya ketuban sebelum
dimulainya persalinan. Oleh karena fungsi air ketuban sebagai perata tekanan
intra uterin tidak terpenuhi sehingga pada saat kontraksi tidak terjadi penyebaran
kontraksi ke seluruh otot uterus, sehingga his tidak adekuat untuk membuka
serviks. Edema pada portio dapat disebabkan kesalahan dalam memimpin
persalinan yaitu pembukaan belum lengkap tapi ibu sudah dipimpin mengedan.
Kekurangan dari kasus ini adalah tidak diketahuinya secara pasti waktu persalinan
dimulai sehingga tidak diketahui secara pasti berapa lama fase laten berlangsung
dan waktu dimulainya fase aktif. Diagnosis partus tidak maju ditegakkan dengan
melihat kemajuan dari pembukaan yaitu 1 cm dalam 1 jam. Kala I selesai apabila
pembukaan serviks uteri telah lengkap. Pada primigravida kala I berlangsung
kira-kira 12 jam, sedangkan pada multipara kira-kira 7 jam. Berdasarkan hal-hal
yang telah dipaparkan diatas, maka ditegakkan diagnosis pada pasien tersebut
adalah GIII PI AI H Aterm 40 minggu + Prolong Active Phase + Hipertensi Grade
I.

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien tersebut adalah mengelola

hipertensi pada pasien dengan meberikan obat tekanan darah tinggi seperti
metildopa tablet 2 x 250 mg per hari. Pasien tersebut segera dilakukan seksio
sesarea untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut pada pasien dan janin
pasien tersebut. Beberapa indikasi dilakukan seksio sesarea pada pasien tersebut
adalah ancaman gawat janin karena pasien menderita hipertensi sehingga dapat
mengakibatkan gangguan pada ari-ari dan tali pusat sehingga aliran oksigen kepal
bayi mnejadi berkurang. Kondisi ini bisa menyebabkan janin mengalami
kerusakan otak bahkan dapat mengakibatkan janin meninggal dalam rahim.
Indikasi lainnya pada pasien tersebut adalah riwayat ketuban pecah dini dan

60

pemanjangan fase aktif. Partus lama menimbulkan efek yang berbahaya bagi ibu
dan anak. Beratnya cedera terus meningkat dengan semakin lamanya proses
persalinan. Risiko tersebut naik dengan cepat setelah 24 jam. Terdapat kenaikan
pada insidensi laserasi, perdarahan, infeksi, kelelahan ibu dan shock. Pasien
tersebut dilakukan seksio sesarea transperitoneal profunda (SCTP). SCTP
merupakan suatu pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen bawah
uterus. Hampir 99% dari seluruh kasus seksio sesarea dalam praktek kedokteran
dilakukan dengan menggunakan teknik ini, karena memiliki beberapa keunggulan
seperti kesembuhan lebih baik, dan tidak banyak menimbulkan perlekatan.
Adapun kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam mengeluarkan janin
sehingga memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi dan dapat menimbulkan
perdarahan
Tindakan pemilihan jenis anestesi pada pasien obstetri diperlukan beberapa
pertimbangan. Teknik anestesi disesuaikan dengan keadaan umum pasien, jenis
dan lamanya pembedahan dan bidang kedaruratan. Metode anestesi sebaiknya
seminimal mungkin mendepresi janin, sifat analgesi cukup kuat, tidak
menyebabkan trauma psikis terhadap ibu dan bayi, toksisitas rendah, aman,
nyaman, relaksasi otot tercapai tanpa relaksasi rahim dan memungkinkan ahli
obstetri bekerja optimal. Pada pasien ini digunakan teknik Regional Anestesi
(RA) dengan Sub Arakhnoid Block (SAB) (spinal) , yaitu pemberian obat anestesi
lokal ke ruang subarakhnoid, sehingga pada pasien dipastikan tidak terdapat
tanda-tanda hipovolemia. Anestesia spinal lebih disukai untuk operasi caesar
karena sederhana, mudah dilakukan, ekonomis, dan menghasilkan onset yang
cepat untuk anestesia dan relaksasi otot lengkap. Selain itu ibu terjaga, sehingga
kejadian aspirasi paru minimal. Kejadian depresi neonatal juga sangat minimal.
Kelemahan utamanya meliputi mual dan muntah karena traksi peritoneal,
hipotensi dan bradikardi akibat lemahnya kontrol blok sensorik dan otonom, serta
pendeknya durasi aksi, sehingga membutuhkan analgesik post operatif lebih awal.
Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam

61

ruang subarachnoid. Penyuntikkan anestetik lokal dapat dilakukan di regio antara


lumbal 2 dan 3, lumbal 3 dan 4, lumbal 4 dan 5 dengan tujuan untuk mendapatkan
blokade sensorik, relaksasi otot rangka dan blokade saraf simpatis.
Sebelum pasien menerima obat-obat anestesi, pasien diposisikan dalam posisi
duduk dengan memeluk bantal untuk memudahkan pelaksanaan anestesi spinal.
Setelah pemberian anestesi bupivakain, pasien diposisikan kepada posisi supinasi dan
dapat diberikan obat premedikasi yaitu midazolam.
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan sifat
yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Merupakan benzodiapin kerja
cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor
benzodiazepin yang terdapat di berbagai area di otak seperti di medulla spinalis,
batang otak, serebelum sistem limbik serta korteks serebri. Efek induksi terjadi
sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan premedikasi
obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika sebelumnya. Midazolam
diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi, basal sedation sebelum
tindakan diagnostik atau pembedahan yang dilakukan di bawah anestesi lokal serta
induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Dosis midazolam pada pasien tersebut
adalah 7,5 mg.
Pengaruh langsung analgetika lokal terhadap bayi tergantung pada teknik,
dosis yang diberikan dan macam zat analgetika yang digunakan. Blok paraservikal
sering menimbulkan bradikardi pada janin, karena zat analgetika cepat cepat
diabsopsi dan langsung masuk sirkulasi utero-plasenta. Sedangkan blok subaraknoid,
efeknya tidak ada, karena pada teknik ini dosis yang dipakai sangat kecil.
Daya tiap zat analgetika lokal menembus sawar plasenta berbeda-beda. Hal
ini, karena sifat keterikatan pada protein plasma tidak sama. Misalnya mepivakain
lebih mudah lewat sawar plasenta dibandingkan dengan bupivakain sehingga
pengaruh mepivakain terhadap janin lebih kuat dibandingkan dengan bupivakain.
Bupivacain adalah obat anestesi lokal jenis amida yang memiliki masa kerja
panjang dan mula kerja yang pendek. Seperti halnya anestesi lokal lainnya,

62

bupivacaine akan menyebabkan blokade yang bersifat reversibel pada perambatan


impuls sepanjang serabut saraf, dengan cara mencegah pergerakan ion-ion natrium
melalui membran sel, ke dalam sel. Penggunaan bupivacaine untuk anestesi spinal
adalah 2-3 jam, dan memberikan relaksasi otot derajat sedang (moderate). Efek
blokade motorik pada otot perut menjadian obat ini sesuai untuk digunakan pada
operasi operasi perut yang berlangsung sekitar 45 - 60 menit. Lama blokade
motorik ini tidak melebih durasi analgesiknya.
Larutan Bupivacain hiperbarik yang digunakan pada anestesi spinal, pada saat
awal penyebarannya di ruang sub-arachnoid, sangat dipengaruhi oleh gravitasi. Selain
itu, penyebarannya lebih mudah ke arah cephal dibanding larutan isobarik, bahkan
pada posisi horisontal sekalipun. Dosis bupivacaine yang digunakan pada pasien
tersebut adalah 20 mg. Dosis tersebut adalah dosis yang digunakan untuk operasi
caesar. 8 mg bupivakain hiperbarik adalah lebih baik daripada anestesi spinal 10 mg
untuk operasi caesar untuk mendapatkan analgesik yang adekuat dan menghindari
hipotensi.
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti dalam batas-batas
fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara
intravena. pembedahan dengan anastesia memerlukan puasa sebelum dan sesudah
pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat
puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan pindah ke
ruang ketiga (ke rongga peritoneum, ke luar tubuh). Anestesi spinal merupakan salah
satu teknik yang paling sering dipilih pada operasi bedah sesar. Efek samping yang
paling sering dijumpai pada teknik anestesi spinal adalah hipotensi sebagai akibat
blok simpatis dalam ruang subarakhnoid. Hipotensi pada parturien (kondisi tekanan
intraabdominal tinggi) menyebabkan insidensi penurunan tekanan darah 20 % lebih
sering dibandingkan pasien lain. Aliran darah uterus secara langsung ditentukan
tekanan darah maternal. Oleh karena itu hipotensi yang tidak dikelola dengan baik
akan berpengaruh pada ibu dan janin. Pengelolaan pencegahan hipotensi dilakukan

63

dengna memastikan terpasangnya akses vena yang lancar sebelum anestesi spinal,
pemberian cairan intravena untuk meningkatkan preload dan pemberian vasopressor
(efedrin). Kemampuan cairan kristaloid sebagai cairan preloading untuk mencegah
hipotensi tidak konsisten dan koloid dalam hal ini lebih efektif daripada kristaloid
Cairan koloid juga mampu menurunkan kebutuhan pemakaian efedrin sebagai
vasopressor dan menurunkan insidensi terjadinya mual muntah hingga penurunan
kesadaran.
Selama puasa, pasien diberikan cairan pengganti puasa Ringer Dextrose 50 tpm
sesuai dengan perhitungan kebutuhan cairan pengganti puasa dan kebutuhan Na per
hari pasien. Selama pembedahan, pasien diberikan cairan Ringer Laktat setelah
Ringer Dextrose habis. Pemberian Ringer Laktat bertujuan sebagai cairan pengganti
(replacement) dan bersifat isotonis. Selama operasi diberikan HES 1 kolf (500 ml)
yang dapat mencegah terjadinya hipotensi pada pasien tersebut.
Monitoring terhadap tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen dilakukan
setiap 5 menit. Pada menit ke 2 (pukul 14.20) ditemukan bahwa tekanan darah
pasien turun menjadi 99/43 mmHg. Penurunan tekanan darah pada pasien ini diatasi
dengan pemberian efedrin dan penggantian infus HES 1 kolf. Dosis efedrin pada
pasien tersebut adalah 15 mg. Kepala pasien kemudian dimiringkan sehingga apabila
pasien muntah, tidak akan terjadi aspirasi. Pemberian oksitosin drip pada pukul 14.25
WIB untuk menimbulkan kontraksi uterus dan mengatasi perdarahan yang terjadi
serta pemberian secara drip untuk mengurangi efek hipotensi yang ditimbulkan.
Pemberian Methylergometrine juga digunakan untuk mengatasi perdarahan yang
terjadi. Pada pukul 14.29 WIB diberikan asam traneksamat 5 ml (dosis asam
traneksamat pada pasien tersebut adalah 750 mg) untuk mencegah terjadinya
kehilangan cairan akibat perdarahan. Anak pasien lahir pada pukul 14.20 dengan skor
apgar 9 yaitu bayi dapat beradaptasi dengan baik.

64

Sesaat sebelum pembedahan selesai, pasien diberikan ketorolac, ondansetron ,


oksitosin, tramadol IV drip sebagai analgesia, antiemetik, dan untuk mengatasi
perdarahan yang terjadi.

post operasi. Ketorolac adalah golongan NSAID (Non

steroidal anti-inflammatory drug) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin.


Ketorolac diberikan untuk mengatasi nyeri akut jangka pendek post operasi, dengan
durasi kerja 6 8 jam. Tramadol adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor dengan durasi kerja 4 6 jam.
Selama monitoring post operasi, ditemukan bahwa efek anestesi spinal masih
dirasakan selama 24 jam pertama, pasien kesulitan untuk mengangkat kedua kaki.
Keluhan berkurang pada H+1 post op, pasien sudah dapat duduk dan pada H+2 post
op, pasien belum berani mencoba untuk berjalan karena takut jahitan dan selang
kateter akan lepas. Pasien diberikan cefotaxime 2x1 gr iv untuk mencegah infeksi
yang terjadi setelah operasi dan dilanjutkan dengan pemberian antibiotic secara oral
yaitu ciprofloksasin 3 x 500 mg. Tramadol 3 x 100 mg IV diberikan pada pasien
untuk mengatasi pusing akibat post operasi dan sebagai analgesik. Ranitidin diberikan
untuk melindungi mukosa lambung saat diberikan obat-obat seperti asam mefenamat
(NSAID) dan untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung dengan menekan
produksi asam lambung. Pemberian asam mefenamat karena pasien masih mengeluh
nyeri post operasi sehingga diberikan untuk mengurangi keluhan nyeri pada pasien
tersebut. Pemberian vitamin B kompleks sangat bermanfaat dalam membantu
mengatasi gejala kelelahan dan kegelisahan (stres). Pada hari ke 2 post operasi
diberikan infus parasetamol 500 mg untuk mengurangi demam akibat komplikasi dari
pemasangan infus (flebitis) dan juga dilakukan pelepasan infus.

Anda mungkin juga menyukai