Anda di halaman 1dari 21

RefleksikontemporerSejarahPelayarandan

PerniagaanNusantaraabadke16dan17:
PosisiPengetahuanTradisionaldanPersoalanTerritoridalamPembangunan1

DediS.Adhuri2

A. Pengantar

BukuProf.AdrianB.Lapian,SejarahPelayarandanPerniagaanNusantaraabad
ke16 dan 17, yang secara formal diluncurkan pada tanggal 10 Septermber 2008,
merupakanbukuyangrelatiftipisuntukmenceritakankurunwaktuduaabad.Dengan
keterbatasan itu, buku ini tidak bisa diharapkan memberikan gambaran detail yang
mencukupi tentang issu yang dibahasnya. Nampaknya, memang bukan kerincian yang
diinginkan pak Lapian demikian saya dan rekanrekan di Kelompok Studi Maritim
memanggilpenulisdaribukunyaini,tetapisebuahdeskripsisapulidiyaitudeskripsi
permukaan tetapi dengan cakupan luas. Dengan cara ini, buku ini membuka wawasan
akanberbagaiissuepentingdariduniapelayarandanperniagaannusantara.Karenaitu,
ia bisa menjadi fondasi yang baik dan fleksibel yang memungkin orang tidak hanya
sejarawanuntukmelanjutkankajiandenganberbagaiperspektifkeberbagaiarah.
Dengan deskripsi sapu lidi itu, saya yang bukan sejarawan, dapat menikmati
kalimat demi kalimat yang ditulis pak Lapian tanpa harus terlibat pada kerumintan
masalah masa lalu. Bahkan saya yang lebih gandrung pada masa kini, bisa berefleksi
pada apa yang diceritakan sejarah abad 1617 untuk memahami masalahmasalah
kontemporer kemaritiman. Dalam hal ini, saya mencatat dua issu menarik yang
dituliskan pak Lapian sebagai ciri pelayaran dan perniagaan abad ke16 dan 17 tetapi
masih relevan untuk dipakai menjelaskan persoalanpersoalan saat ini. Issu tersebut

Versi yang telah diedit dari tulisan ini diterbitkan pada buku Kembara Bahari: Esai Kehormatan 80
Tahun A.B. Lapian, Komunitas Bambu, 2009.
2
Peneliti pada Kelompok Studi Maritim, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI,
Jakarta. Email: dediadhuri@hotmail.com.

adalah (1) pengetahuan dan teknologi pelayaran tradisional dan (2) masalah teritori (:
perbatasandanlintasbatas).
Tulisan ini akan mencoba membahas keterkaitan apa yang ditulis pak Lapian
mengenai kedua issue itu dengan kompleksitas persoalan yang kita hadapi saat ini.
Sebagian rujukan dari paparan berikut adalah hasil penilitian lapangan yang telah
dilakukan oleh saya beserta rekanrekan pada Kelompok Studi Maritim (KSM), Pusat
PenelitianKemasyarakatandanKebudadayaan(PMB)LIPI.PerludijelaskanbahwaKSM
adalah kelompok studi yang didirikan pak Lapian pada awal akhir tahun 1980an.
Kelompok ini telah banyak melakukan penelitian mengenai aspekaspek sosial budaya
kemaritimandiberbagaitempatdiIndonesia,termasukdiantaranyatentanghakulayat
laut, pengelolaan sumberdaya laut berbasis masyarakat, collaborative (Co)
managementdankonflikkonflikperikanan.

B. Relevansi Pengetahuan Tradisional dalam Pembagunan dan Pengelolaan


SumberdayaMaritim

Pengetahuan dan teknologi pelayaran tradisional merupakan dua topik yang


dibahaspadababpertamabukuini.Bagianinimenjelaskantentangpengetahuandan
terknologi tradisional yang berkarakteristik maritim. Rujukan untuk hal pertama
adalah penyebutan dan pengetahuan tentang mata angin yang berbedabeda pada
kelompok suku bangsa di Nusantara. Secara nasional kita mengenal empat arah
utama (Utara, Selatan, Timur, Barat) dan empat arah tambahan (Timur Laut,
Tenggara, Barat Daya dan Barat Laut). Meskipun secara keseluruhan sama dengan
arah yang dikenal secara nasional, orang Batak menggunakan istilah yang berbeda
padapenyebutandelapanpenjurumataangin.SementaraorangSangir,tidakhanya
istilahnya yang berbeda, jumlah rujukan arah juga lebih kaya. Mereka mengenal 17
arah mata angin. Asosiasi antara angin dengan pelayaran tampak pula dari istilah
istilahanginburitan,anginhaluan,anginsakaldananginpaksa.
Rujukan lain untuk pengetahuan traditional adalah ilmu falak (astronomi).
KonstelasibintangyangdisebutmayangdanbidukadalahkhasIndonesiadanberbau

maritim. Demikian dengan pengenalan konfigurasi bintangbintang yang disebut


Sawakoi (naga), Rawangmandi (Scorpio) pada orang Biak. Semuanya berasosiasi
dengan musim yang salah satunya dicirikan dengan pergerakan angin. Lebih jauh,
ditulispulabagaimananenekmoyangkitamengembangkanintuisipengenalanlokasi,
ataubahkannasib,dariobservasimerekaterhadapwarnaairlaut,bentukawanatau
bahkanpenciumanspiritual.
Untuk kapal, Pak Lapian menjelaskan dua jenis utama kapal tradisional yang
dipakaipadaabaditu.Merekaadalahkapallesungdankapalpapan.Jeniskapalyang
pertamaadalahkapalyangberlunassepotongkayuyangdilubangibagiantengahnya.
Sementara kapal papan adalah kapal yang teridiri dari susunan papan dari lunas
sampai bagian atas. Jenis kapal pertama bersifat lebih sederhana dari jenis kedua,
tetapi pembuatannya tetap saja membutuhkan keahlian khusus dari mulai memilih
jeniskayusampaipadapembuatannyadanbahkanritualyangmenyertaipembuatan
danpelayarannya.
Pengetahuan tentang angin, ilmu falak dan teknologi perkapalan tentulah
sangatpentingkarenaanginsendiriadalahsumbertenagadarisegalajenispelayaran
padamasalalu.Arahanginsangatmenentukanpergerakankapaldanolehkarenanya
akan menentukan destinasi sebuah ekspedisi pelayaran. Sementara ilmu
perbintangan adalah kompas alami yang memberi petunjuk saat dunia gelap di
malam hari. Dengan pengetahuan itulah orang bisa memastikan bahwa kemudinya
mengarah pada jalur yang benar. Tidak hanya itu, ilmu dan teknologi tradisional
itulah yang dapat menentukan selamat atau tidaknya sebuah pelayaran yang
kemudianakanmenentukandapattercapaiatautidaknyatujuandaripelayaranitu.
Singkatnya, pengetahuan dan teknologi traidisional itu adalah kuncikunci adaptasi
manusia nusantara terhadap laut. Pengetahuan dan teklologi juga sekaligus
merupakaninstrumenutamadalampenguasaanterhadapwilayah,dayajelajahdan
sumberdayaalampadasaatitu.Hanyadenganpenguasaanterhadapnyabahayalaut
bisaditaklukandanperniagaanbisaberjalan.

Lantas apa relevansi dari pengetahuan dan teknologi tradisional yang


mencirikan manusia nusantara jaman bahari atau beheula itu dengan kita yang
hidup di abad ke21 ini? Adakah kepentingan kita terhadap pengetahuan
pengetahuandanteknologitradisionalitu?Jawabannya,bisadipastikan,YA.Untuk
menjelaskan hal ini, saya akan terlebih dahulu memperlebar bahasan dengan
memaparkan sedikit tentang teori dan praktek pembangunan serta relevansinya
terhadappengetahuantradisional.
MengadopsiteoriteoriklasikyangdikembangkanDurkheimterutamadalam
disertasinya, The Division of Labour in Society, yang diterbitkan tahun 1893 dan
Marx Weber melalui karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism
(1905), pada tahun 1950an sampai dengan 1960an para ahli ilmu sosial
mengembangkanteoriModerinisasi.Asumsidasardariteoriini,diantaranya,adalah
bahwa much of the deprivation of the world could then be seen in terms of the
continuedstrangleholdofbackwardlookingtraditionalism(Webster1984,49).Inilah
karakteristikNegaranegaraDuniakeIII.Sementaraitu,dikatakanbahwa[w]estern
societyhasdeveloped,moreandmoreofitsmemberactinwaysthatareguidedby
the principle of rationality and less by the customs of tradition (Idem, hal. 54). Ini
berarti,teoriinimenganggapbahwapermasalahandinegaranegaraDuniaketigaitu
adalahkarenakondisiinternalmereka.Olehkarenanya,perubahankearahkemajuan
harusdidorongolehdunialuar,dalamhaliniduniaBaratyangtelahmaju.Dengan
asumsi ini, diyakini bahwa pembangunan adalah perubahan menuju kondisi
masyarakat yang modern yang pada saat itu dicontohkan oleh kondisi di Erofa dan
Amerika dan yang menganut prinsip ekonomi kapitalisme. Rostow (1960) bahkan
mengatakan perkembangan yang telah terjadi di Negaranegara bagian Utara
seharusnyadianggapsebagaimodelbagipembangunandibelahandunialain.
Konsekuensidariasumsidiatas,tentusajaadalahbahwapengetahuandan
praktekpraktektradisionaltidakhanyadianggaptakbergunatetapibahkanmenjadi
penghalang kemajuan. Oleh karenanya pengetahuan dan praktek yang berbau
tradisional harus dinihilkan dan digantikan oleh pengetahuan dan praktek yang

berlandaskan pada rasionalitas ala Barat yang menjadi dasar berkembangnya


industrialisasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Atau, setidaknya, pengetahuan dan
praktekpraktektradisionalakanterdesaksendiriolehmoderinsasi.
Saat teori ini diadopsi oleh lembagalembaga Internasional seperti World
Bank dan organisasi di bawah Perserikanan BangsaBangsa (PBB) yang menjadi
motor pembangunan di negaranegara dunia ketiga, negara miskin atau negara
berkembang yang kebanyakan baru saja merdeka pada tahun 1950an itu
pengetahuan dan teknologi tradisional merupakan sasaran tembak pembangunan
untuk digantikan dengan pengetahuan Barat dan teknologi modern. Dalam konteks
ini, pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi indikator utama sekaligus
tujuanpembangunan.
Pada akhir tahun 1960an, mulai tampak bahwa programprogram
pembangunan yang didasari teori moderninasi banyak mengalami kegagalan, tidak
memenuhi harapan seperti dijanjikan oleh teori itu. Banyak studi menunjukkan
bahwameskipunlembagalembagainternasionaltelahmenyuntikkaninvestasiyang
banyak dalam berbagai bentuk program untuk memicu moderinasi dan
perkembangan kapitalisme, hasilnya adalah nihil (lihat misalnya Garner dan Lewis
1996). Bahkan ditenggarai bahwa di negaranegara tempat programprogram itu
diimplementasikan, kemiskinan justru semakin meningkat. Itu artinya, moderinasasi
telahmenjadipenyebabdanbukanpenyembuhdarikemiskinan(Farguson1996).
Modernisasitelahpuladibuktikanmelahirkanbanyakmasalah.Pembangunan
yangberorientasipadapertumbuhanekonomi,telahmendorongkegiatanekspoitasi
sumbedaya alam, baik yang terbarukan maupun tidak, dilakukan secara berlebihan.
Halini,tidakhanyatelahmenghancurkansumberdayaalamyangdiekspolitasitetapi
lingkungan lokasi sumberdaya tersebut. Secara sosial, ia telah menyebabkan
terjadinya konflik yang serius. (lihat Salim 2005 untuk kasus Indonesia, Bailey 1997
untuksumberdayalautdiIndonesia).
Selain itu, banyak juga penelitian yang menunjukkan proses moderinasasi
tidak serta merta melemahkan tradisi. Bahkan sebaliknya, dalam kontekskonteks

tertentumodernisasijustrumengentalkantradisi.Sebagaicontoh,berkembanganya
dunia transportasi telah mengentalkan tradisi pergi haji bagi umat Islam yang jauh
dari tanah Arab (lihat misalnya Gusfield 1973). Kritik terhadap teori dan program
moderinisasi datang pula dari berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa tradisi
justrubisaberperanpentingdalamduniaindustrisepertiyangdicontohkandiJepang
(Frank1969).
Dalam konteks lingkungan hidup, beberapa studi menunjukkan bahwa
masyarakat tradisional justru telah mengembangkan perilaku yang adaptif dan
menjunjung prinsip kelanggenan sumberdaya dan lingkungan hidup. Kita mengenal
Rappaport(1967)yangtelahmenunjukkanbagaimanasukuMaringdiPapuamenjaga
keseimbanganalammelalutradisiperang.Dalamduniamaritim,kitamengenalkarya
monumental almarhum Johannes (1981) yang telah menyaksikan sendiri bahwa
masyarakat tradisional Micronesia telah mengenal dan memanfaatkan jenis
gelombang yang dalam ilmu modern hanya baru bisa diketahui pada tataran studi
laboratorium. Johanes (1978), telah pula menunjukkan bahwa tradisi kemaritiman
orang Micronesia adalah tradisi yang ramah lingkungan, mengutamakan
keberlangsungansumberdayalaut.Padakurunwaktuhampirbersamaan,Ruddleand
Akimichi (1984) juga telah menyunting satu buku yang berisi contohcontoh
bagaimana masyarakat tradisional mengembangkan konsep kepemilikan terhadap
laut dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Praktekpraktek seperti ini ditenggarai
telah menyokong kerberlanjutan sumberdaya laut dan menjunjung tinggi prinsip
prinsipkeadilandalampengelolaansumberdayatersebut(Berkes1989).
Temuantemuan seperti tersebut di atas, terutama yang terakhir, telah
menggeser, meskipun tidak seutuhnya, paradigma pembagunan moderisasi dengan
konsep baru yang dikenal dengan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Dalam laporan World Commision on Envirnment and Development
yangberjudulOurCommonFuture,dokumenpertamayangmenggunakanistilahini,
sustainable development didefinisikan sebagai caracara pengembangan untuk
memenuhikebutuhansaatinitanpamengorbankankemampuangenerasiyangakan

datanguntukjugamemenuhikebuthanmereka.Atau,dalamdefinisinyayanglebih
detaildisebutkanbahwa:

[S]ustainable development is a collection of methods to create and


sustain development which seeks to relieve poverty, create equitable
standards of living, satisfy the basic needs of all peoples, and establish
sustainable political practices, while ensuring that there are no
irreversibledamagestonaturalresourcesandnature.(Kothari2007,Hal.
5)

Dengan paradigma pembangunan seperti ini dan temuantemuan seperti telah


diungkapkan di atas, pengakuan terhadap pentingnya pengetahuan dan praktek
tradisional dalam dan untuk pembangunan semakin menguat. Kutipan berikut dengan
jelasmenggambarkanhalini:

Humanitys troubled relationship with the earth has raised a series of


questions on how to change our behaviour. How can we live more
sustainably, and with greater sensitivity towards our fellow creatures?
Howshouldoureconomicactivitiesbealtered,toreduceandeliminate
our negative impacts on the environment? Do we have with us the
necessarywisdomandknowledgetomakethishappen?
Increasingly,itisbeingrealizedthatanswerstothesequestionswillhave
to come from a variety of sources. While earlier it was thought that
modernscienceandtechnologywillprovidetheanswers,itisnowmore
than ever clear that traditional knowledge also has critical insights and
practicestooffer.somesayevenmoresothanmodernscience,ifthe
much longer history of responsible use that traditional peoples have
demonstratedistobetakenasanindicator.(Kothari2007,Hal.4)

Setelah menjelaskan posisi pengetahuan tradisional dan teknologi dalam


pembangunan secara umum, sekarang saya akan membicarakan masalah ini dalam
kontekskhususduniamaritimdiIndonensia.Untukitu,sayaakanmemulaipadatahun
1960an.Padasaatitukitamulaimengembangkanprogrammoderinsasi.Dalamkonteks
perikanan,inimerujukpadamotorisasidanadopsiteknologitangkapyanglebihefektif.
Tidak ada yang lebih menarik untuk hal ini kecuali membicarakan adopsi dan
kompleksitaspermasalahanterkaitpukatharimau(trawl).
Pada tahun 1966, toketoke ikan di Sumatera Utara, khususnya di Bagan Siapi
api, mengadopsi penggunaan pukat harimau yang sebelumnya telah dioperasikan di

Selat Malaka oleh toke di Malaysia. Adopsi Pukat Harimau ini berjalan sangat cepat,
dalam kurun waktu lima tahun setelah adopsi pertama di Selat Malaka saja sudah
terdapat830armadatrawl.DemikianpuladarisegisebaranwilayahoperasidariSelat
MalakaarmadatrawlbergerakkePantaiUtaraJawa,SelatMadura,perairanKalimantan
sampaikeLautArafura.Pengusahayangterlibatpuntidakhanyapengusahadaritanah
ai tetapi juga melibatkan investasi asing. (Lihat Butcher 2004 untuk deskrifsi detail
mengenaihalini).
Adaposi yang cepat dari teknologi yang lebih efisien ini, telah meningkatkan
secara seiginfikan produksi perikanan. Namum demikian, pada kurun 1970an berbagai
masalah mulai tampak dipermukaan. Tiga masalah besar adalah gejala tangkap lebih
(overexploitation), marginalisasi nelayan kecil dan konflik sosial. Penelitianpenelitian
kelautan di selat Malaka dan Pantai utara Jawa menunjukkan bahwa ukuran individu
darihasiltangkapansemakinmengecildanjumlahtangkapannyapunmenurun.Halini
merupakanindikasitelahterjadinyatangkaplebih.(AbuTalibdkk.2003;Stubutzkidkk.
2006; Silvestre dkk. 2003; Unar dan Naamin 1984). Marjinalisasi nelayan kecil terjadi
karenamerekaharusberkompetisidenganteknologiyanglebihefektifitupadatempat
penangkapan yang sama. Tumpang tindih wilayah tangkap ini tidak hanya
menyebabkannelayankeciltidakkebagianikantangkapan,tetapitidakjarangpulaalat
tangkap mereka rusak atau bahkan hilang karena diterjang oleh serudukan Pukat
Harimau. Hal inilah yang kemudian menimbulkan masalah ketiga, konflik sosial.
Meskipun tidak ada data yang menyebutkan secara pasti jumlah korban manusia dan
berapabanyakkapaldibakarsertadihancurkan,tetapibisadipastikankonflikinisangat
serius. Keseriusan masalah ini pula yang memaksa presiden Suharto mengeluarkan
kebijakanpelaranganoperasiPukatHarimaupadatahun1980.
Tentusajabukanhanyapengoperasianpukatharimauyangtelahmenunjukkan
buruknya akibat dari moderiniasi yang menekankan pada produktifitas. Namun
demikian persoalanpersoalan terkait pukat harimau ini cukup untuk memberi contoh
mengenai dapak negatif moderisasi terhadap lingkungan, ekonomi dan marginalisasi
nelayankecil.Halhalinilah,tentusajajugadenganberkembangnyawacanasustainable

development, yang menginspirasi dunia akademik dan Lembaga Swadaya Masyarakat


(LSM)untukmenolehkepengetahuandanpraktekpraktekpengelolaanlauttradisional.
Jika dunia akademis berorientasi pada pencariaan pengetahuan dan praktek
pengelolaan

yang

lebih

baik,

LSM

lebih

pada

tujuan

praktis

yakni

revitalisasi/pemberdayaan terhadap pengetahuan, adat dan masyarakat yang telah


termarjinalisasi. LSM yang bergerak di bidang konservasi juga mencoba menggunakan
pengetahuan dan praktek tradisional untuk meningkatkan usahausaha konservasi
lingkungan. Kajian dan pemberdayaan terhadap tradisi Sasi di Maluku merupakan
contohmengenaihalini.(lihatmisalnyaLokollo.1988dan1994;Kissya1995;Nikijuluw
1994;Pannell1997;PusdiPSLUnpatti.1995;Rahail1995danZerner1991).Padaawal
1990an,KelompokStudiMaritimsendiri,yangsaatitumasihdipimpinolehpakLapian
mencoba memetakan praktekpraktek hak ulayat laut di Maluku, Papua dan Sulawesi
Utara (Adhuri 1993; Wahyono dkk. 2002). Usahausaha tersebut telah membuahkan
hasil. Menyertai perubahan politik setelah tergulingnya Orde Baru, Undangundang di
sektorkelautandanperikanansudahmengakuidanmulaimelindungipraktekpraktek
pengelolaansumberdayalauttradisional.UndangundangPerikananNo.31/2004Pasal
6,ayat2,misalnya,menyebutkanbahwapengelolaanperikanantangkapdanbudidaya
ikan harus memperhatikan hukum adat dan atau local wisdom serta partisipasi
masyarakat tempatan. Contoh lain adalah Surat Keputusan (SK) Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 41/2000 tentang Pedoman Pengembangan Kepulauan Kecil. Dalam SK
itu disebutkan bahwa Negara mengakui keberadaan pengelolaan pulaupulau kecil
berbasishukumadat.Bagaimanahasilnyadariperubahanperubahanini,akankitalihat
padawaktuwaktukedepan.
Untukmenutupbagianini,sayainginmenjelaskansebuahcontohlainmengenai
bagaimana fungsi positif pengetahuan traidional untuk masalah kita saat. Contoh ini
sayaambildariAcehterkaitbencanatsunamiyangdialamidaerahinipadaakhir2004.
Ratusan ribu korban tsunami sebagian disebabkan karena ketidaktahuan akan gejala
bencana alam ini. Di tempat saya bekerja, di Aceh Jaya, menurut salah satu sesepuh
desayangselamat,banyakkorbanmeninggalkarenamerekatenangtenangsajasaatair

laut surut dengan tibatiba. Malahan, sebagian dari mereka lari ke arah laut untuk
mengumplukan ikan yang menggelepar karena airnya mengering. Saat air datang
kembali dengan kecepatan dan kekuatan yang sangat dasyat mereka tak bisa
menghindar. Kalau saja mereka masih mengingat pengetahuan tradisional tentang
tsunami yang dibungkus dengan konsep iebuena mungkin mereka bisa terselamatkan
sepertihalnyaorangorangdiSimeulueyangmasihmengenalkonsepseumon.Konon,
pengetahuan yang terkandung dalam konsep seumon inilah yang menyebabkan
rendahnya jumlah korban tsunami di tempat itu. Mengetahui air laut surut dengan
begitucepat,orangdiSimeuluesegerabergerakmenjauhdarilautmenujutempatyang
lebihtinggi.

C.MasalahTeritori:PerbatasandanLintasBatas
Penguasaanwilayah,sumberdayaalamyangadadidalamataudiatasnyaserta
bagaimana itu diniagakan atau bahasa lebih kasarnya diperebutkan adalah issu lain
yangmendapatpenekananjugadalambukupakLapian.Bahasanmengenaipenguasaan
peta, jalur pelayaran, pelabuhan dan komoditas adalah rujukanrujukan utama dari
masalah ini. Sebuah kutipan yang secara jelas menunjukkan koneksi ini adalah
kebanggaanTomPiresketikaPortugismendudukikotaMalakapadatahun1511:
Barangsiapa menguasai Malaka bisa mencekik Venesia. Sejauh Malaka,
dan dari Malaka ke Cina dan dari Cina ke Maluku, dan dari Maluku ke
Jawa, dan dari Jawa ke Malaka dan Sumatra, semuanya sudah berada
dalamkekuasaankami.(hal.5)
Gamlang tergambar bahwa kebanggan Tom Pires adalah karena
keberhasilannya telah menguasai Malaka, menguasai jalur perniagaan dari Venice,
MalukusampaiCinadanmemahamibahwaMalakalahpusatdarijalurperniagaanitu.
Denganitu,diaberkeyakinanbisamenentukansupplydandemandbarangbarangdari
danketempattempatyangdisebutkannyaitu.Ituartinya,diamenguasaisumberdaya
yang diperdagangkan dan, terutama, distribusinya. Kata mencekik tentu saja juga
mengacu pada realitas kontestasi antara berbagai pihak sesama pengusaha dari
dunia barat (Portugis, Belanda, Inggris) maupun pengusaha dari timur (Arab, Persia,
10

India, Cina dan Nusantara) yang terlibat dalam pelayaran dan perniagaan di tempat
yangdisebutkannya.
Dalamkonteksini,PakLapianjugamenjelaskanbagaimanakerajaankerajaandi
nusantara menginstrumentaliasi pelabuhan sebagai alat untuk mengumpulkan pajak
yang artinya juga menunjukkan kekuasaan mereka atas wilayah itu. Beliau juga
menjelaskan naik dan tenggelamnya peran suatu pelabuhan sebagai pusat perniagaan
yang diakibatkan oleh kontestasi dan kolaborasi antara para penguasa lokal maupun
barat yang juga terlibat atau mengambil untung dari perkembangan perniagaan. (Hal.
4056).
Apakah penjelasan tentang penguasaan wilayah, kontestasi yang terjadi untuk
keperluan penguasaan atasnya penting untuk menjelaskan realitas masa kini? Bagi
saya, relevansi kontemporer dari hal yang digarisbawahi pak Lapian pada bagian ini
adalahissuperbatasan(border)danlintasbatas(transborder)yangmeskipunorang
banyak berbicara tentang globalisme sangat penting karena issu ini telah
menyebabkan urusan dalam maupun lintas negara. Berikut adalah dua contoh yang
menunjukkan betapa pentingnya sejarah dalam memahami persoalan kontemporer
batasdanlintasbatasini.
Contoh pertama untuk hal ini adalah persoalan yang terkait dengan
beroperasinyanelayanIndonesiadiperairanAustraliayangtakkunjungselesaisampai
saatini.Padatataranpolitikinternasionalatau,palingtidakbilateral,persoalaninitelah
seringkali menyebabkan gonjangganjingnya hubungan diplomatik antara kedua
pemerintahan. Pada tataran nasional di Australia, pada tahun 2006/2007 saja telah
menelan 388.9 juta dollar Australia yang tentu saja membuat orangorang sana gerah
karena itu uang itu berasal dari pajak yang mereka bayar. Sementara pada beberapa
komunitas nelayan di Indonesia Timur (: Merauke, Aru, Rote, Kupang, Saumlaki)
masalahiniterkaitlangsungdengankemiskinan(ekonomi,pendidikandankesehatan).
Jadipersoalannyamemangsangatkompleks.
Dalam dimensi waktu, akar masalah ini sudah tertanam berabadabad. Pak
Lapian menulis bahwa orang BugisMakassar telah terlibat dalam ekspolitasi perairan

11

yang sekarang diklaim milik Australia itu sejak abad ke17 atau bahkan mungkin
sebelumnya. (hal. 4647). Orangorang dari Sulawesi Selatan ini, bahkan ditenggarai
tidak hanya menyambangi perairannya saja tetapi mengolah tripang hasil tangkapan
mereka di belahan utara daratan benua Australia, tepatnya di tempat yang disebut
Marege (teluk Carpentaria) dan Kaju Djawa (Pantai Kimberley). Bisa dipastikan bahwa
kurun waktu dari kegiatan ini cukup lama karena interaksi antara mereka dengan
penduduk asli di sana telah menyebabkan diadopsinya beberapa elemen kebudayaan
orangBugisMakassar.
Padaabadke18,eksploitasimaritimdiperairanutaraAustraliasemakinintensif
danjugamelingkupiwilayahyanglebihluas.PulauPasir(PulauSolokaekdalambahasa
Rote) yang menurut sejarah lisan orang Rote dan dibuktikan kebenarannya melalui
dekumen sejarah, ditemukan secara tidak sengaja oleh Raja dari Thie pada awal abad
ke18 juga sudah menjadi wilayah rambahan banyak pihak. Selain beberapa suku
bangsadariNusantarasepertiBugisMakasar,BajaudanMadura,padatahun1840dan
seterusnya, orang Inggris dan Amerika juga sudah terlibat dalam kontestasi untuk
menguasai wilayah ini, terutama untuk mengeksploitasi guano (kotoran kelelawar).
Kehadiranduakekuatankolonialinilahyangmenstimulasipermulaanklaimpenguasaan
formal wilayah ini. Diawali dengan negosiasi, pada tahun 1878 dan 1909 Inggris
menganeksasiPulauPasirdanPulauCartier(Stacey2007).Sejaktahun1909,seorang
pengusaha tripang berkebangsaan Inggris mengadukan gangguan terhadap usaha
tripangnya dari nelayan Nusantara yang mengambil tripang di perairan yang menjadi
daerahtangkapannyajugadisekitarLongReef,pulauAdeledandaerahkarangsekitar
SwanPoint.PengusahaInggrisiniterussajamelaporkankegiatannelayandariIndonesia
yangsaatitudisebutDutchEastIndies.Pelaporanpelaporansepertiitupadaakhirnya
mendorong Pemerintah Australia Barat untuk secara formal mengajukan aduannya ke
PemerintahFederalAustraliayangkemudianmelanjutkannyakepemerintahanInggris.
Pada tahun 1931, pemerintah Inggris menyerahkan penguasaan pulaupulau ini ke
pemerintahAustralia.

12

TransferotoritasataspulaupulaudanperairandiutarabenuaAustraliainitentu
saja lebih memudahkan pemerintah Australia untuk mngembangkan kebijakan sendiri
tentang wilayah ini. Dalam hubungannya dengan nelayan Indonesia, sebenarnya
kebijakan untuk usaha perikanan sudah dikeluarkan pada tahun 1880. Peraturan itu
mengharuskannelayanIndonesiayangmencariikan(atausumberdayamaritimlainnya)
di perairan Australia memiliki ijin dari Pemerintah Australia, namun karena batas
perairanAustraliahanyatigamildarigarispantai,merekamasihtidakbisamembatasi
nelayan Indonesia yang beroperasi di atas tiga mil dari garis pantai. Pengaturan yang
lebih strik dan mengenai wilayah yang lebih luas terjadi setelah pemerintah Australia
meratifikasiUnitedNationsConventionsontheSea(UNCLOS)padatahun1960(Stacey
2007).RatifikasiUNCOSinilahyangmengarahkanpadapembuatankesepakatanantara
pemerintahAustraliadenganIndonesiapadatahun1974yangdikenalsebagaiMoUBox
1974.MoUinimelokalisirijinnelayanIndonesiaberoperasidiperairanAustraliahanya
di wilayah terbatas yakni (1) Ashmore Reef , (2) Cartier Islet, (3) Scoot Reef, (4)
Seringepatan Reef, dan (5) Browse Islet. Itupun, tidak semua nelayan yang diijinkan
untuk bisa beroperasi di sana, tetapi hanya mereka yang termasuk dalam kategori
nelayan tradisional yakni nelayan yang sudah melakukan pencariaan di wilayah itu
dalam waktu yang lama (sudah mentradisi) dan dengan menggunakan caracara
traidisional pula [tanpa alatalat modern seperti mesin dan alat penanda arah
(kompas/GPS)].
KitatahubahwapenandatangananMoUinibukanlahakhirdaripersoalanini.Nelayan
IndonesiamasihterusmelanjutkankegiatannyadiperairanAustraliaitusampaisaatini
bahkandenganalatyanglebihmoderndantargetoperasiyanglebihbanyak,termasuk
hiu untuk diambil siripnya. Demikian pemerintah Australia pun terus bahkan semakin
gencar melakukan patrol dan penngakapan nelayannelayan itu. Tabel di bawah
menujukkanhalini.

Tabel1JumlahPerahudanNelayanIndonesiayangtertangkapdiperairanAustralia

13

Tahun

Jumlahperahu

Jumlahnelayan

1975
1980
1985
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
2004
1Jan28Feb
2005
1221April2005
Mei2004Mei
2005

3
2
5
1
46
29
43
38
15
23
111
76
97
122
159
36

Takadadata
Takadadata
Takadadata
Takadadata
Takadadata
Takadadata
Takadadata
Takadadata
Takadadata
Takadadata
Takadadata
Takadadata
Takadadata
Takadadata
418
257v)

Nodata
Nodata

272*
3.900*

Sumber:Adhuri,IndrawasihdanWahyono2005,diadaptasidariStacey(2007:Tab.8I,187).
v)
Konsul.IndonesiadiDarwin,*Kompas07Mei2005.

Ada beberapa hal yang menyebabkan persoalan ini tidak kunjung selesai.
Pertama adalah masalah klaim teritorialnya sendiri. Sebagian nelayan Indonesia masih
merasa memiliki hak tradisional untuk melakukan operasi di wilayah yang sekarang di
klaim milik Australia itu. Hal kedua terkait dengan kondisi dunia perikanan Indonesia
sendiri,terutamaIndonesiabagianTimur.Industriperikananyangberopersidiperairan
itu telah menguras sumberdaya maritim di sana dan memarjinalkan nelayan kecil.
Kondisi ini terus telah mendesak nelayannelayan itu untuk mengekspolitasi perairan
lebihjauhkerahselatan.Halketigaadalahpermintaaninternasionalyangkencangdan
harga yang mahal dari sumberdaya hasil tangkapan nelayan Indonesia di perairan
Australia. Tanpa menyiasati halhal di atas, sangat sulit kiranya persoalan ini dapat
diselesaikan.

14

Sebagai contoh kedua, berikut akan dijelaskan mengenai masalah perbatasan


danlintasbatasIndonesiadenganMalaysiadibagiandisekitarPulauKalimantan.Tiga
masalah besar terkait hal ini adalah sengketa Pulau LigitanSipadan, sengketa Blok
AmbalatdanpenangkapanlintasbatasoleharmadatrawlmilikpengusahaMalaysiadi
Tawau di perairan Kalimantan Timur bagian Utara. Untuk yang pertama, kita telah
mengetahui bahwa persoalannya telah selesai setelah Mahkamah Internasional (MI)
pada tanggal 17 Desember 2002 memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan
terhadapkeduapulauitu.Sengketayangdimulaitahun1969dandiadukankeMItahun
1997itudiputuskanMIdidasaripertimbangan:
The Courtnotes that the activities relied upon by Malaysia, both in its
ownnameandassuccessorStateofGreatBritain,aremodestinnumber
but that they are diverse in character and include legislative,
administrative and quasijudicial acts. They cover a considerable period
of time and show a pattern revealing an intention to exercise State
functions in respect of the two islands in the context of the
administrationofawiderrangeofislands.
The Court moreover cannot disregard the fact that at the time when
these activities were carried out, neither Indonesia nor its predecessor,
the Netherlands, ever expressed its disagreement or protest. In this
regard,theCourtnotesthatin1962and1963theIndonesianauthorities
did not even remind the authorities of the colony of North Borneo, or
Malaysiaafteritsindependence,thattheconstructionofthelighthouses
at those times had taken place on territory which they considered
Indonesian; even if they regarded these lighthouses as merely destined
for safe navigation in an area which was of particular importance for
navigation in the waters off North Borneo, such behaviour is unusual.
(MahkamahInternasional2002,Hal.685).

Hal yang dimaksud dengan aktifitas Malaysia di dan berkenan dengan Pulau Sipadan
dan Ligitan pada putusan di atas di antaranya adalah penerbitan ordonansi
perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak
tahun1930,danoperasimercusuarsejak1960an.
Hal yang mengingatkan saya pada kasus ini saat membaca buku pak Lapian
adalah kenyataan bahwa sejarah merupakan kunci dari persengkataan ini dan rujukan
sejarah pula yang menyelesaikannya. Kedua Negara, Indonesia dan Malaysia,
menggunakan sejarah sebagai dasar klaim penguasaan mereka terhadap kedua pulau
15

ini. Penelusuran keduanya tidak hanya sebatas sejarah kolonial yaitu periode
penguasaanpenjajahEropadiwilayahini,tetapisejarahklasikyaituperiodekesultanan
atau kerajaan Melayu sebelumnya. Kembali ke kutipan putusan pengadilan di atas,
sejarahpenguasaanterhadapkeduapulauitupulayangdirujukolehparahakimuntuk
memutuskanperkaraini.
Sengketa Blok Ambalat di Karang Unarang adalah masalah lainnya antara
Indonesia dengan Malaysia di perairan Kalimantan. Wilayah ini adalah daerah yang
diduga mengandung deposit minyak di dalamnya. Entah kapan sengketa mengenai
wilayah ini berawal, tetapi pada tahun 2004 telah terjadi insiden yang menegangkan.
Padasaatitu,kapalAngkatanLautMalaysiamenggangupengerjaansuarpelayaranyang
dibangun Indonesia. Perilaku kapal angkatan laut itu adalah tanda dari klaim kerajaan
Malaysia terhadap wilayah itu yang oleh sebab itu keberatan dengan aktifitas, apalagi
tanda suar yang bisa berarti klaim teritori oleh pemerintah Indonesia. Sebaliknya
pemerintah dan rakyat Indonesia yang belum pulih rasa kecewanya dari kehilangan
PulauLigitandanSipadan,danmeyakinibahwadaerahituadalahwilyahkedaulatanRI,
melakukan reaksi keras terhadap ulaht kapal Malaysia itu. Tindakan pengusiran
terhadapkapalMalaysiaitupundilakukan.Sampaitahun2009,insideninsidenserupa
masihbeberapakaliterjadi,tetapiperistiwalebihkeras,misalnyasampaimelibatkan
saling tabrak kapal atau tembakmenembak tidak lah pernah terjadi. Namun demikian
perang di dunia maya, internet, terjadi dengan sangat seru. Pengguna Internet
pendukungMalaysiadanIndonesiahampirterusterusansalingmenyerang.Kitabelum
tahuakankemanaarahsengketaini,apakahakanmenempuhperjalansepertisengketa
sebelumnya atau akan ada kesepakatan tertentu di antara kedua Negara. Tetapi,
apapun kelanjutannya, penulis yakin adalah pekerjaan rumah kita semua untuk
memahamisejarahwilayahiniuntuksupayatidakmengulangikesalahanlama.
Sekarangsayasampaipadamasalahterakhirdarimasalahteritoridiwilayahini,
yakni perikanan lintas batas. Perairan bagian utara Kalimantan Timur sudah lama
menjadi operasi lintas batas dari kapalkapal Pukat Harimau yang dimiliki oleh
pengusaha di Tawau, Malaysia. Hal ini telah lama juga menjadi sumber konflik

16

perikanandidaerahitu.Konflikterjadiantaranelayanlokaldengannelayanillegalitu,
jugaantaranelayanillegaldenganpenegakhukumyangbekuasadiwilayahitu.Sampai
sekarangpersoalaninibelumterselesaikan.
Beberapahalyangmembuatmasalahnelayanpelintasbatasinitaktersesaikan
adalahsebagaiberikut:
1. Kapalkapal yang miliki oleh pengusaha di Tawau itu dioperasikan oleh nelayan
nelayan Indonesia. Oleh karenanya, meskipun penangkapan dan pemenjaraan
seringdilakukan,penegakanhukumitutidakmengenaipemilikkapalnyayangduduk
manisdisebeberangperbatasandansulitdijangkauhukumkita.
2.Masalahmenjadisemakinrumitsetelahmenterikelautanmemberiijinpenggunaan
trawl di daerah tersebut. Meskipun dikatakan bahwa kebijakan khusus ini
diputuskanuntukmembantunelayanIndonesiabersaingdengannelayanMalaysia
dan secara politik menunjukkan penguasaan Indonesia atas perairan itu, kebijakan
initelahdimanfaatkanolehpengusahaMalaysiauntukmendaftarkankapalkapalnya
sebagai milik orang Indonesia. Hal ini dimungkinkan dengan cara melakukan kolusi
dengan pengusaha perikanan Indonesia di Tarakan dan Nunukan. Dengan cara ini,
operasilintasbatassemakintidakkentarakarenapelintasantelahdilakukandiatas
kertas yakni dengan pemutihan dokumendokumen kapal dan usaha perikanan
Malaysiaitu.
3. Bisnis bersama antara pengusaha perikanan Indonesia di Tarakan, Nunukan dan
daerah sekitarnya dengan para toke di Tawau dan sekitarnya sudah berlangsung
lama. Meskipun saya belum menemukan kajian sejarah mengenai hal ini, pelulis
menduga hubungan dagang ini telah terjadi sebelum Indonesia dan Malaysia
merdeka. Kesimpulan ini saya tarik sesudah mewawancarai beberapa nelayan di
TarakandanNunukanyangmasihseringmengirimikanikanhasiltangkapanmereka
keTawau.Merekamengatakanbahwakegiataninibukanlahhalyangbaru,generasi
orangduamerekadansebelumnyajugasudahmelakukanhalini.Realitasadanya
pemukiman orang yang berasal dari BugisMakasar di Tawau dan sekitarnya,
mungkinjugamerupakanbuktikebenaransejarahini.Tidaktertutupkemungkinan

17

merekalah yang mengawali hubungan dagang ini dan kerena berbagai hal
memutuskanuntuktinggaldisana.Menurutpenulis,untukorangorangsepertiini,
definisibataswilayahformalNegaradansemuakonsekuensinyaadalahsesuatuhal
yang baru tidak ada dalam kamus bisnis mereka. Dengan demikian, jika bisnis
menjadi dorongan utama hubungan mereka, hal lain termasuk jika memang harus
melanggar aturanaturan yang dibangun kedua Negara bertetangga ini, menjadi
tidakpenting,.
Sekali lagi, untuk mencoba memecahkan masalah ini atau, paling tidak, membantu
memahami kompleksitasnya, pemahaman sejarah sangat diperlukan. Dengan
pemahamansejarahkitabisamemilahkanelemenelemenlamadanbarudarimasalah
inidanmungkinmencarialternativealternatifpemecahannya.

4.Penutup

Seperti disebutkan pada judul tulisan ini, apa yang dijelaskan adalah refleksi
kontemporer dari Sejarah Pelayaran dan Perniagaan Nusantara abad ke16 dan 17.
Tulisaninimerupakanapresiasisayaterhadappenulisbukusejarahitu,Prof.AdrianB.
Lapian,danterhadapsejarahnyaitusendiri.Untukyangpertama,haruslahdisebutkan
bahwapakLapianadalahnakhodasejarawanmaritimyangadadiIndonesia.Tentusaja
tidakadaduanahkodadalamsatukapal,karenanyatidakakanadalaginakhoda yang
akan menggantikan pak Lapian, yang ada hanyalah nakhloda pengganti atau
penerusnya. Sebagai nakhoda pertama, Pak Lapian telah memberikan fondasi
pandangan, pengetahuan dan kemampuan yang luas dan kuat kepada penerusnya
untuk melanjutkan perjalanan. Menariknya, dan ini yang merupakan kelebihan pak
Lapian,fondasiinitidakhanyamembukacakrawalabagipenerusnyasebagaisejarawan
tetapijugakepadaakademisibidanglainyangtertarikkepadaissumaritim.Tulisansaya
denganlatarbelakangAntropologiinimerupakanbuktimengenaihalini.
Mengenai sejarahnya itu sendiri, tulisan ini mencoba menggaris bawahi
pentingnya pemahaman sejarah untuk dapat membantu memecahkan persoalan
persoalan masa kini. Sejarah bisa mengungkapkan kembali halhal yang pernah kita

18

punyatetapitelahhilangditelanmasa,padahalmasihpentingdanbisadipakaiuntuk
memecahkan masalah kita saat ini. Pengetahuan dan tradisi tekait pengelolaan
sumberdaya laut adalah contoh yang telah dibahas pada tulisan ini. Sejarah adalah
sumber dari klaim terirotial. Dengan semain berkurangnya sumberdaya alam dari segi
kualitas dan kuantitas, kontestasi terhadap wilayah dan sumberdaya yang ada di
dalamnya sudah pasti akan semakin mengeras. Tanpa memahami sejarah kita akan
menjadi bagian dari orangorang yang kalah dan termarjinalkan. Bagian ketiga dari
tulisaninitelahmenunjukkanhalini.

DaftarPustaka

AbuTalib,A.,Isa,M.M.,Ismail,M.S.,YusofS.,2003.Statusofdemersalfisheryresources
in Malaysia. In: Silvestre, G., Garces, L., Stobutzki, I., Luna, C., Ahmed, M.A.,
ValmonteSantos, R.A., LachicaAlino, L., Munro, P., Christensen V., Pauly D.
(Eds.), Assessment, management and future directions for coastal fisheries in
Asiancountries.WorldFishCenterConferenceProceedings67.Hal.83137.
Adhuri, D.S. 1993. Hak Ulayat Laut dan Dinamika Masyarakat Nelayan di Indonesia
BagianTimur:StudiKasusdiP.Bebalang,DesaSatheandanDemta.Masyarakat
IndonesiaXX(1).Hal.143163.
Adhuri, D.S., Indrawasih, and Wahyono (2005) Fishing in, Fishing out : Memahami
KonflikKonflikKenelayanandiKalimantanTimurdanNusaTenggaraTimur.Jakarta:
PMBLIPI.
Bailey, C. 1997. Lesson from Indonesias 1980 Trawler Ban. Marine Policy 21 (3). Hal.
225235.
Berkes, F. (ed.) 1989. Common Property Resources: Ecology and Communitybased
SustainableDevelopment.London:BelhavenPress.
Butcher,JohnG.2004.TheClosingoftheFrontier:AHistoryoftheMarineFisheriesof
SoutheastAsiac.18502000.Singapore:InstituteofSoutheastAsianStudies.
Farguson, J. 1996. The AntiPolitics Machine: development, depoliticization and
bureaucraticpowerinLsotho.C.U.P.:UK.
Frank,A.G. 1969.Latin America:UnderdevelopmentorRevolution.NewYork:Monthly
Review.
Gusfield, J (1973) Tradition and Modernity, in A. Etzioni and E. Etzioni Halevy (Eds).
SocialChange.NewYork:BasicBooks.

19

Johannes, R.E. 1978. Traditional Marine Conservation Methods in Oceania and Their
Demise.AnnualReviewofEcologyandSystematics9:249364.
. 1981. Words of the Lagoon: Fishing and Marine Lore in the Palau District of
Micronesia.London:UniversityofCaliforniaPress,Ltd.
Katohari, Ashish. 2007. Traditonal Knowledge and Sustainable Development (Draft
paper
for
discussion).
Canada:IISD.
(bisa
diakses
di
http://www.iisd.org/pdf/2007/igsd_traditional_knowledge.pdf.
didownloadpada15Juli2009).
Kissya, E. 1995. Sasi Aman Haruukui: Pengelolaan Tradisional Sumberdaya Alam yang
BerkelanjutandiHaruku.Jakarta:Sejati.
Kompas (2005). '272 Nelayan Indonesia Ditahan di Australia.' Kompas, 07
May2005.Hal.13.
Lapian, A.B. 2008. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan 17. Jakarta:
KomunitasBambu.
Lokollo.1988.HukumSasidiMaluku:SuatuPotretBinamuliaLingkunganPedesaanyang
DicariPemerintah.Ambo:.FakultasHukum,UniversitasPattimura.
. 1994. Asasasas Hukum Adat Kelautan dan Manfaatnya Bagi Pembinaan
Peraturan Daerah di Kabupaten Maluku Tengah Dalam Rangka Implementasi
UndangundangNomor4tahun1982danUndangundangNomor9tahun1985.
Ambon:FakultasHukum,UniversitasPattimura.
Mahkamah Internasional. 2002. Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan
(IndonesialMalaysia),4,'Judgment,I.C.J.Reports2002.
Panell,S.1997.ManagingtheDiscourseofResourceManagement:theCaseofSasifrom
'Southeast'Maluku,Indonesia.Oceania67:289307.
PusdiPSL Unpatti. 1995. Kajian Hukum Tentang Norma Adat dalam Perlindungan
Lingkungan [A Study on Customary Norms about Environmental Protection].
Ambon: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup RI and PusdiPSL Universitas
Pattimura.
Rahail,J.P.1995.BatBatangFitroaFitnangan:TataGunaTanahdanLautTradisionalKei
[BatBatangFitroaFitnangan:TheTraditionalLandandMarineUsePatterns].
Vol.4,SeriPustakaKhasanahBudayaLokal.Jakarta:YayasanSejati.
Rappaport,Roy.A.1967.PigsfortheAncestorsRitualintheEcologyofaNewGuinea
People.NewHavendanLondon:YaleUniveristyPress.

Rostow, W.W. 1960. The Process of EconomicGrowth, 2nd edition. London: Clarendon.
WorldBank,1990.WorldDevelopmentReport.

20

Salim, Emil. 2005. Looking Back to Move Forward. Dalam B.P. Resosudarmo (Ed.) The
politics and economics of Indonesias natural resources. Singapore: Institute of
SoutheastAsianStudies.Hal.xxixxv.
Silvestre, G.T., Garces, L.R., Stobutzki, I., Ahmed, M., ValmonteSantos, R., Luna, C.Z.,
Zhou, W., 2003. South and Southeast Asian Coastal Fisheries: their Status and
Directions for Improved Management Conference synopsis and
recommendations. In: Silvestre, G., Garces, L., Stobutzki, I., Ahmed, M.,
ValmonteSantos, R.A., Luna, C.Z., LachicaAlio, L., Munro, P., Christensen, V.,
Pauly, D. (Eds.), Assessment, Management and Future Directions for Coastal
FisheriesinAsianCountries.WorldFishCenterConferenceProceedings67,Hal.1
40.
Stacey, Natasha. 2007. Boats to Burn: Bajo Fishing Activity in the Australian Fishing
Zone.Canberra:AutralianNationalUniversityEPress.
Stobutzki,I.C.,Silvestre,G.T.,AbuTalib,A.,Krongprom,A.,Supongpan,M.,Khemakorn,
P.,Armada,N.,Garces,L.R.,2006.Declineofdemersalcoastalfisheriesresources
inthreedevelopingAsiancountries.FisheriesResearch,78:130142.
Unar,MdanMNaamin.1984.A ReviewoftheIndonesianShrimpFisheriesandTheir
Management.InJhonA.GullanddanBrianJ.Rothschild.PanaeidShrimpsTheir
BiologyandManagement.Franham,Surrey:FishingNewBooks.Hal.104110.
Wahyono, A. et al. 2000. Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia [Communal
MarineTenureinEasternIndonesia].Yogyakarta:MediaPressind.
Webster, Andrew. 1984. Introduction to the Sociology of Development. Hongkong:
MacmillanEducationLTD.
Zerner, C. 1991. Imagining the Common Law in Maluku: Of Men, Molluscs, and the
Marine Environment. Paper read at The Second Annual Meeting of the
InternationalAssociationfortheStudyofCommonProperty,2629September,
atManitoba.

21

Anda mungkin juga menyukai