(Samurai Pengembara)
Buku Kesatu
oleh Salandra
pun Taiko, atau sisi lain yang tak ditulis James Clavell
dalam Shogun.
Novel yang lain daripada yang lain, dan mempesona
dari awal sampai akhir.
Buku Kesatu
PEMBANTAIAN
SABURO MISHIMA menarik tali kekang kudanya. Ia
menatap pasukan musuh yang kian dekat. Lebih dari
tiga ratus samurai telah dikirim Nobunaga. Rupanya
lelaki ambisius itu mengerahkan seluruh pasukannya
untuk menggempur Ashikaga.
Angin bertiup kencang di Lembah Aga. Jejak-jejak
kaki prajurit mengakibatkan debu tipis beterbangan di
udara. Matahari persis di puncak kulminasi, sehingga
panasnya menyengat kulit. Tanah-tanah karang yang
menjadi dinding lembah tersebut, tampak memerah,
mirip batu terbakar. Namun cuaca yang menyakitkan
itu tidak mempengaruhi semangat prajurit Nobunaga.
Mereka terus melangkah dengan tegap, seakan kemenangan telah berada dalam genggamannya.
Saburo Mishima mengawasi gerakan musuh dari
persembunyiannya. Matanya yang setajam mata elang,
mengikuti gerak-gerik musuh dengan penuh kewaspadaan.
Ini adalah pertempuran hidup dan mati, teriak Mishima pada tentaranya. Shogun Ashikaga tidak menginginkan kita kembali dengan kekalahan. Kita akan
sambut kedatangan musuh dengan keberanian atau
kematian!
Semua prajurit menatap Saburo dengan diam. Semua seakan penuh tekad menyerahkan jiwa raga mereka bagi pertarungan yang bakal terjadi.
Mishima memacu kudanya. Sekali lagi ia ingin memastikan bahwa semuanya telah siap. Ini merupakan
pertempuran paling berat yang pernah ia hadapi.
Menurut berita, sejumlah daimyo (tuan tanah) telah
bergabung dengan Nobunaga. Bahkan Konishiwa Hideaki, daimyo Kiyoto, telah berkhianat. Ia kini menjadi
sekutu musuh. Bila ini benar, keadaan memang runyam. Nobunaga dapat melakukan pengepungan dari
segala penjuru. Istana Kamakura sulit diselamatkan.
Saburo, seorang panglima perang Shogun Ashikaga.
Perawakannya kekar dengan raut muka berbentuk
oval. Ia seorang samurai keturunan Akamatsu yang
sangat tersohor di Jepang. Kini ia duduk di atas pelana
kudanya, lengkap dengan pakaian perang. Sebagaimana layaknya seorang panglima perang, ia mengenakan
kimono dari kain brokat bergambar matahari, dan baju
bersirip besi yang didesain sangat indah. Di pinggangnya terdapat naginata (sebuah pedang berbilah panjang), dan pedang pendek yang gagangnya berlapis perak.
Takeshi memacu kudanya, mendekati Saburo Mishima.
Saburo, mereka sudah memasuki jarak perlawanan.
Siapkan panah!
Mereka tinggal menunggu aba-aba.
Tunggu dulu, aku ingin memastikan dapat menghancurkan mereka.
Kita harus melakukan dengan cepat, sebelum mereka sampai di celah bukit, sehingga dengan mudah
mereka menemukan tempat berlindung.
Sebentar lagi kita akan hancurkan mereka.
Kami semua menunggu perintahmu.
Saburo Mishima tetap diam, menunggu. Ia berpegang teguh pada ajaran Soen Tzu: Panglima perang
yang memenangkan pertempuran adalah dia yang
membuat banyak perencanaan sebelum peperangan
dimulai. Panglima perang yang kalah adalah dia yang
sedikit membuat perencanaan. Membuat rencana dan
ngawal sendiri, dan wilayah kekuasaan yang luas. Juga tanah pertanian yang akan memberinya kemakmuran. Tetapi sebaliknya, bila kali ini ia kalah, pertempuran ini akan menjadi jalan baginya untuk mati.
Mati sebagai seorang pengawal Ashikaga tentu bukan
hal yang remeh, apalagi memalukan.
Hampir sepuluh tahun Saburo Mishima menjadi
pengawal istana. Ia hidup di tengah kebahagiaan bersama anak dan isterinya. Itzumi, seorang wanita asal
Kiyoto, telah memberinya seorang anak laki-laki bernama Kojiro. Selama ini ia hidup untuk tiga orang:
Ashikaga, Itzumi, dan Kojiro. Serbuan Nobunaga akan
menjadi ujian bagi Saburo Mishima dalam melindungi
orang-orang yang ia cintai.
Nyawaku kupertaruhkan untuk ketiganya.
Sebaiknya sekarang kita menyerang, tiba-tiba Takeshi menyadarkan Saburo Mishima dari lamunan.
Apabila mereka melewati celah itu, kita akan sulit
menekan pertahanannya.
Baiklah. Mari kita hancurkan mereka.
Saya akan menggerakkan pasukan dari belakang.
Terobos langsung ke jantung pertahanan mereka,
kata Saburo mengingatkan. Hanya satu cara yang
akan membuat kita memenangkan pertarungan ini.
Buat mereka terpisah-pisah.
Saya akan mencoba membuat mereka kocar-kacir.
Kita akan bersandar pada Soen Tzu untuk menghancurkan musuh.
Saburo mengenakan topi baja, ia mengikat talinya
di bawah dagu. Kemudian mencabut pedangnya. Cahaya matahari berpendar berkilauan di bilah pedang
Akamatsu itu.
Kini Saburo melihat pasukan Nobunaga memasuki
lembah.
Apakah sudah ada berita dari Selatan?
buh ke tanah.
Samurai kelima mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil menggenggam gagang pedangnya, kemudian dengan teriakan nyaring, ia menyerbu ke arah
Saburo Mishima. Ini adalah salah satu jurus aliran
Yagyu yang sangat berbahaya. Sabetan vertikal itu
sangat kuat, sehingga dapat mematahkan pedang musuh, sekaligus membelah tubuh lawan. Itulah jurus
Pedang Menebas Angkasa, salah satu jurus yang
membuat Yagyu ditakuti di seluruh Jepang. Saburo
Mishima menyadari bahaya itu, namun dengan penuh
ketetapan hati, ia menyongsong lawan dengan tubuh
tegak. Tangan kanannya menggenggam pedang secara
horisontal. Keduanya bergerak seperti dua hembusan
angin yang saling berhadapan. Hanya dalam hitungan
detik, Mishima dengan cepat memiringkan tubuhnya,
sabetan pedang itu hanya beberapa inci dari wajahnya.
Di saat musuhnya masih limbung ke depan, Mishima
menebaskan pedang ke belakang, seketika terdengar
jeritan menyayat ketika samurai itu merasakan punggungnya robek.
Saburo Mishima menarik kekang kuda, ia siap
menghadapi musuh berikutnya. Pertempuran di sekitarnya masih berlangsung dengan sengit. Suara gemerincing pedang diiringi jerit kematian terdengar di mana-mana. Tanah kering di Lembah Aga kini berwarna
merah. Mayat-mayat bergelimpangan bagai setumpuk
bangkai binatang tak berharga. Entah sudah berapa
puluh samurai terkapar di tanah. Namun pertempuran
belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Kedua belah pihak seakan ingin meyakinkan kemenangannya.
Baru saja Saburo Mishima menebas lawannya, ia
melihat Takeshi mendekatinya.
Seorang kurir baru saja datang, kata Takeshi
sambil menghentikan kudanya. Debu-debu bercampur
***
PENYELAMATAN
SHOGUN ASHIKAGA bersimpuh di atas zabuton (kasur
tipis yang diletakkan di lantai). Kedua tangannya berada di paha.
Ashikaga, seorang laki-laki bertubuh gemuk, dengan kepala bulat seperti jeruk. Rambutnya disisir ke
belakang, dikuncir persis di atas kepalanya. Kedua
matanya tajam menikam, pancaran kewibawaan dan
keteguhan hati. Cara bicaranya cepat, penuh tekanantekanan intonasi, suatu gaya milik orang-orang yang
menggenggam kekuasaan.
Di belakang Ashikaga, kira-kira tiga meter di arah
samping kanan, tampak isterinyaOmiko, duduk
sambil memegangi pundak Natane Yoshioka, anak mereka.
Omiko, seorang wanita berumur tiga puluh tahun.
Wajahnya berbentuk lonjong, kurus, seperti umumnya
perempuan Jepang. Rambutnya digelung ke belakang,
Pandangan Shogun Ashikaga lurus ke depan, menatap Ishida Mitsunari, seorang samurai kepercayaannya, yang baru saja kembali dari medan perang.
Jadi mereka telah menaklukkan Saburo? Shogun
Ashikaga bertanya. Suaranya keras, berwibawa.
Demikianlah berita yang saya terima. Tiga ratus
pasukan Saburo berhasil dipukul oleh musuh. Tak
seorang pun dibiarkan selamat. Mereka tidak saja menumpas kekuatan kita, tetapi juga mempermalukan
kehormatan kita. Saya dengar, kepala Saburo telah dipenggal, dan ditancapkan di ujung tombak, dijadikan
lambang kemenangan mereka.
Itzumi menoleh cepat, namun wanita itu bertahan
untuk tidak menangis.
Apabila pasukan Saburo telah berhasil mereka
tumpas, tidak ada lagi kekuatan yang dapat mempertahankan istana ini, kata Ashikaga bergetar. Saburo
memimpin prajurit-prajurit terbaikku, kekalahannya
menyebabkan kita tidak memiliki lagi kesempatan untuk menang.
Cepat atau lambat mereka akan sampai kemari.
Bagaimana dengan Takeshi?
Dia saat ini sudah dikepung hampir empat ratus
tentara Nobunaga. Rasanya sulit diharapkan Takeshi
dapat memenangkan pertarungan itu. Sebab kecuali
dua ratus samurai mengepungnya, Nobunaga memiliki
dua ratus senapan arquebuses bikinan Portugis yang
dapat membunuh tentara Takeshi. Sejak pertama,
saya telah mengatakan, Takeshi dan Saburo tidak pantas menghadang pasukan Nobunaga. Mereka bukan
seorang panglima yang pandai mengatur taktik pertempuran.
Dia seorang panglima perang yang dapat diandalkan. Sudah sepuluh tahun ia membuktikan kemahirannya.
ku.
Baik!
Sekonyong-konyong dari luar berlompatan sejumlah
samurai Nobunaga. Seluruh pakaian mereka berwarna
hitam, bahkan kepala dan wajahnya tertutup rapat,
hanya menyisakan lubang mata.
Ninja! desis Ashikaga sambil berdiri untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ia menoleh pada Mitsunari. Rupanya Nobunaga menggunakan pembunuhpembunuh bayaran untuk melawanku. Mitsunari, hadapi mereka!
Baik.
Mitsunari segera mencabut pedang, kemudian mulai menyerang ninja-ninja itu. Sabetan pedangnya membuat seorang ninja terguling dengan leher menganga.
Darah muncrat mewarnai dinding istana.
Lakukan seppuku, Tuanku, kata Mitsunari pada
Ashikaga. Biar saya yang menghadapi mereka.
Shogun Ashikaga yang telah mencabut pedangnya,
segera menyarungkan kembali, kemudian ia bergegas
meninggalkan ruangan itu menuju ke dalam bilik istana. Istri dan anaknya mengikuti dari belakang. Juga
Itzumi dan Kojiro.
Pertempuran sengit terjadi di ruangan istana. Ada
dua puluh ninja melakukan penyerbuan. Rupanya Nobunaga tahu betapa sulit menembus pertahanan apabila hanya mengandalkan tentaranya. Ia menggunakan
ninja untuk melakukan penyusupan. Bagi para pembunuh bayaran itu, tidak ada medan yang tak dapat
ditembus. Benteng istana yang setinggi dua puluh meter, dengan sangat mudah mereka daki, menggunakan
tali dan shuko (cakar pemanjat yang sekaligus berfungsi sebagai senjata). Selain itu, serbuan mereka tidak menimbulkan suara, karena para pembunuh terlatih itu dapat berlari seperti angin. Kaki-kaki mereka
ngan semangat bushido (semangat ksatria pantang menyerah) mereka melakukan perlawanan hidup dan mati.
Kepulan asap membubung tinggi, panah-panah api
bertebaran di mana-mana, mayat bergelimpangan, dan
pertempuran sengit masih terus berlangsung.
***
Shogun Ashikaga menatap Natane Yoshioka, laki-laki
itu mencoba tidak menangis. Ia tak ingin memperlihatkan kepedihannya di depan anaknya. Pelan-pelan
ia mengambil pedang miliknya, lalu mengulurkannya
pada Yoshioka.
Yoshioka-san, kuberikan pedang ini padamu, kata
Ashikaga dengan suara penuh tekanan. Pedang Muramasa, lambang kekuasaan Ashikaga. Pertahankan
pedang ini dengan nyawamu.
Baik, Ayah!
Pedang Muramasa adalah pedang keramat keluarga Ashikaga. Ini merupakan lambang kekuasaan di Istana Kamakura. Selama pedang ini berada di tangan
kita, Nobunaga hanya menguasai bangunan-bangunan
istana ini, tetapi tidak jiwanya. Karena itu pertahankan
pedang ini apa pun yang terjadi.
Saya akan menjaganya dengan nyawa saya, Ayah.
Itzumi, Ashikaga memanggil istri Saburo Mishima.
Kau kuperintahkan melindungi putraku keluar istana.
Lindungi dia dengan jiwamu.
Itzumi membungkukkan badan dalam-dalam, Baik,
Yang Mulia!
Apabila kau dapat menyelamatkan putraku, aku
akan mengangkat anakmu Kojiro menjadi daimyo. Janjiku akan kutulis sebagai sumpah keluarga Ashikaga.
Tanpa janji itu pun, saya akan melaksanakan apa
pun perintah Yang Mulia.
Shogun Ashikaga tidak menanggapi ucapan perem-
puan itu, ia mengambil kertas kemudian menulis sumpahnya dengan huruf kanji. Ketika selesai menulis, ia
membubuhkan sidik jarinya di kertas itu.
Yoshioka-san, panggil Ashikaga. Ini adalah sumpahku pada Itzumi. Bila engkau selamat dan berhasil
merebut kembali istana ini, sebagai putraku, kau harus menjalankan sumpah ini.
Baik, Ayah.
Bersumpahlah demi aku dan ibumu.
Saya bersumpah untuk melaksanakannya.
Sekarang kalian pergi, tinggalkan istana ini secepatnya. Biarkan aku dan isteriku menyongsong ajal di
sini.
Natane Yoshioka membungkukkan badan. Pelanpelan ia beranjak untuk memeluk kedua orang tuanya.
Betapa pun mereka menahan kepedihan, namun perpisahan itu tak mampu membendung air mata. Omiko
mendekap Yoshioka dengan berurai air mata.
Jaga dirimu baik-baik, bisik Omiko bergetar.
Baik, Ibu.
Kemudian Yoshioka memeluk ayahnya. Ashikaga
mendekap anaknya sambil menghela napas panjang.
Mata lelaki itu berkaca-kaca.
Selamatkan dirimu, juga Pedang Muramasa, kata
Ashikaga dengan suara datar. Pedang Muramasa adalah kehormatanmu. Kau harus mempertahankannya
sampai mati.
Baik, Ayah.
Sekarang pergi secepatnya.
Kemudian tanpa menoleh, Yoshioka melangkah pergi. Itzumi dan anaknya membuntuti dari belakang. Mereka memasuki lorong rahasia di belakang bilik itu.
Ashikaga memejamkan mata. Pelan-pelan ia membuka pakaiannya. Isterinya dengan penuh penghayatan melipat kembali pakaian suaminya. Dengan te-
***
PENGORBANAN
NATANE YOSHIOKA berjalan bergegas, setengah berlari menyusuri lorong rahasia itu. Di belakangnya tampak tujuh orang pengawal istana, Itzumi, dan Kojiro.
Lorong itu terasa pengap, dindingnya lembab karena berada di bawah tanah. Bahkan di beberapa tempat tampak bocoran air mengalir deras. Rupanya dindingnya mulai rusak, sehingga aliran Sungai Muro di
sisi istana merembes ke bawah. Maklumlah, lorong itu
telah berusia hampir seratus tahun, karena dibangun
ketika Shogun Yoritomo berkuasa.
Meskipun sudah tua, namun hanya tempat perlindungan itulah yang dapat menyelamatkan Natane Yoshioka. Hanya beberapa pengawal istana yang mengetahui
adanya lorong tersebut. Selain Saburo Mishima, hanya
Ishida Mitsunari yang pernah memasuki lorong itu.
Karena merasa aman, Natane Yoshioka berhenti.
Bagaimana kalau kita beristirahat dulu?
Terserah Yang Mulia Yoshioka, jawab salah seorang pengawalnya.
Aku capek.
Itzumi segera mendekati Yoshioka. Sebaiknya kita
jangan berhenti, Yang Mulia. Sesudah menemukan jenazah Shogun Ashikaga, bukan mustahil mereka menemukan pintu lorong ini. Mereka bisa saja berada di
belakang kita.
Berapa jauh kita akan keluar dari lorong ini?
Masih jauh.
Berapa kira-kira jauhnya?
Apa bedanya bagi Yang Mulia?
Saya ingin mengetahuinya.
debar. Meskipun sudah terlatih sebagai seorang samurai, namun di dalam hatinya muncul pula sedikit rasa
takut. Dengan bimbang ia menatap Itzumi, ingin mendapatkan pegangan moral.
Mereka telah membunuhnya, kata Yoshioka lirih.
Jangan dihiraukan, Yang Mulia, kata Itzumi penuh tekanan. Kematian bisa terjadi di mana-mana.
Sekarang kita harus lari lebih cepat.
Kenapa kita harus lari?
Kita tak mungkin melawan mereka. Untuk keselamatan Yang Mulia, kita harus lari.
Yoshioka membantah ketus, Lari hanya untuk orangorang pengecut.
Kita lari karena menjalankan perintah Shogun Ashikaga. Tidak seorang pun ingin disebut sebagai pengecut. Tetapi lari karena menjalankan perintah shogun, sama mulianya dengan melakukan seppuku.
Natane Yoshioka terdiam. Ia membenarkan ucapan
Itzumi. Karena itu ia berkata, Kita akan lari, tetapi harus ada yang menghambat mereka.
Biarkan saya menghambat mereka, jawab dua orang
pengawal secara bersamaan.
Baiklah. Hati-hatilah kalian menghadapi mereka.
Nyawa kami taruhannya, Yang Mulia.
Sesudah diam sejurus, Natane Yoshioka berbalik,
lalu kembali berlari. Baru lima menit ia meninggalkan
tempat itu, Mitsunari muncul. Pertarungan pun terjadi. Dua pengawal itu dikepung enam orang pengawal
Mitsunari. Suara pedang beradu terdengar bergema di
dalam lorong itu, namun tidak berlangsung lama, keenam samurai yang mengawal Mitsunari dengan mudah
merobohkan lawan mereka.
Saya pastikan mereka tidak jauh dari sini, kata
Mitsunari pada pengawalnya. Dapatkan mereka secepatnya. Aku ingin menyambut kedatangan Shogun No-
pa yang bakal memenangkan pertarungan itu. Pengawal Natane Yoshioka satu per satu rubuh dengan luka
menganga di tubuhnya.
Ketika semua pengawalnya telah binasa, Itzumi bergerak mundur melindungi Natane Yoshioka dan anaknya.
Kau harus membunuhku terlebih dulu sebelum
membunuh mereka, kata Itzumi dengan api kemarahan meluap-luap.
Ishida Mitsunari melangkah ke depan, mendesak
mereka ke dinding. Sambil tersenyum, laki-laki itu
berkata, Apa susahnya membunuhmu?
Kalau begitu lakukanlah!
Aku akan menikmati kemenanganku. Sesudah membunuhmu, aku akan membunuh anakmu. Baru sesudah itu aku akan memenggal kepala Yoshioka....
Belum selesai Mitsunari bicara, tiba-tiba Itzumi menyerang dengan pisau di tangannya. Laki-laki tersebut
hanya sedikit berkelit, lalu dengan bengis mengayunkan pedang merobek punggung wanita itu. Itzumi merasakan kepedihan menyeruak ke dalam tubuhnya, ia
berbalik, dan ia melihat Mitsunari kembali mengayunkan pedang membelah tubuhnya.
Ketika tubuh Itzumi melayang sebelum ambruk ke
tanah, Saburo Mishima muncul dari lorong yang gelap.
Hanya sekilas ia melihat tubuh isterinya bermandikan
darah, karena saat itu para samurai di ruangan itu telah menyerangnya.
Kau benar-benar jahanam! teriak Mishima marah.
Kau telah mengkhianati Shogun Ashikaga.
Nobunaga akan mengangkatku sebagai daimyo Kamakura.
Kau tak akan pernah mendapatkan kehormatan
itu, kau terlalu rendah sebagai seorang samurai.
Bungkam mulutnya!
Dia akan menanggungkan penghinaan seumur hidupnya. Kematian hanya akan membuatnya senang, karena tak harus merasakan penderitaan.
Tetapi dia masih dapat melakukan seppuku.
Itu tidak akan dilakukannya, karena sebagai samurai ia sudah tidak berhak melakukannya. Ia tahu, dengan bunuh diri, jiwanya tidak akan diterima di sorga.
Bunuhlah aku, Saburo, terdengar Mitsunari merintih. Jangan biarkan aku menanggungkan malu.
Engkau tidak akan mendapatkan kematianmu dari
tanganku.
Lakukanlah. Sebagai sahabat, kumohon kau mau
melakukannya, Saburo.
Kau sudah bukan sahabatku, Mitsunari. Musuh
pun kau musuh yang paling hina.
Saburo... penggallah kepalaku... kumohon....
Saburo Mishima menatap dingin. Kemudian pelanpelan ia mendekati jenazah isterinya. Dengan perasaan
sedih ia mendekap wanita itu. Ia benamkan kepala isterinya ke dalam pelukannya. Ia merasakan seluruh tubuhnya bergetaran. Napasnya memburu. Jiwanya bergolak. Penuh berisi kepedihan, kemarahan, dan keharuan
sekaligus. Ia tak menyangka isterinya berani menebus
kesetiaannya kepada Ashikaga dengan nyawanya.
Apa yang sekarang akan kita lakukan? Yoshioka
tiba-tiba bertanya.
Saburo Mishima tersadar. Dia menoleh pada Yoshioka dengan perasaan malu karena tak dapat menahan
perasaan. Ketika mengangkat muka, ia melihat tatapan
polos anak itu.
Sebaiknya kita segera berangkat, kata Mishima
kemudian. Orang-orang Nobunaga masih terus mengejar kita.
***
TERKEPUNG DI BUKIT
ANGIN lembut bertiup dari Tenggara, membawa bau
tanah, air, dan bunga sakura. Saat itu telah memasuki
musim semi, namun udara dingin masih terasa membekukan pori-pori kulit. Salju tipis masih terlihat menyapu ujung daun dan pepohonan, juga pada kuntumkuntum bunga sakura yang pucuk-pucuknya mulai
mekar.
Saburo Mishima menancapkan kayu di atas kubur
isterinya. Ia jongkok di depan makam itu sambil berdoa. Dada laki-laki itu penuh pergolakan; kepedihan,
kemarahan, kekecewaan, dan hasrat pembalasan dendam berbaur menjadi satu. Semua seakan lava gunung
yang siap meledak. Namun sebagai seorang samurai
sejati, ia diam. Meredam gelombang di dalam dirinya
hingga tak seorang pun mengetahuinya. Kecuali itu, ia
sendiri tak ingin memperlihatkan kepedihan pada Yoshioka dan Kojiro.
Selintas kenangan muncul, saat-saat ia pertama
kali memasuki Kamakura, setelah selama bertahuntahun menekuni ilmu pedang di Gunung Fuji. Pada
waktu itu Shogun Ashikaga tengah mencari pengawal
istana, karena wilayah Kamakura sering diserang para
ronin (kaum samurai liar). Hampir setiap hari terjadi
perampokan di wilayahnya. Lumbung padi dan rumahrumah di pinggir kota, setiap saat didatangi perampok
yang bertindak kejam. Kadang bukan hanya harta
yang dirampas, tetapi mereka juga memperkosa para
wanita.
Saburo bertugas di Desa Oji, sepuluh kilometer dari
Kamakura. Ia menjaga kampung itu bersama Ishida
Mitsunari. Suatu malam mereka mendengar jeritan dari pinggiran desa, enam perampok telah menguras isi
rumah itu. Ketika meninggalkan rumah tersebut, mereka membawa serta anak perempuan pemilik rumah.
Saburo dan Mitsunari segera bertindak. Dalam sebuah
pertarungan, mereka berhasil membunuh keenam perampok itu.
Ketika para penjahat sudah tewas, Saburo melihat
seorang gadis kecil, kira-kira berusia enam belas tahun, menatapnya dengan penuh kekaguman.
Arigato gozaimasu, gadis itu berterima kasih sambil membungkukkan badan.
Gozaimasuka, balas Saburo dengan sikap yang
sama.
Itulah pertemuan pertama dengan Itzumi. Enam bulan kemudian Saburo meminang gadis tersebut sebagai
isterinya. Sesungguhnya Ishida Mitsunari juga jatuh
hati pada Itzumi, namun lelaki tersebut berusaha tidak
memperlihatkan perasaannya.
Sebagai seorang istri, Itzumi sangat membahagiakan. Ia memberikan segala-galanya pada Saburo; kesetiaan, cinta, pelayanan seks, pengertian, dan seorang
anak laki-laki. Mereka menamakan anak itu Kojiro.
Anak itu tumbuh dengan cepat. Ia memiliki enerji yang
seakan tak pernah habis, dan otot-otot yang kuat.
Dia kelak akan menjadi seorang samurai yang hebat, kata Saburo pada isterinya.
Itzumi tersenyum. Aku sudah dapat merasakannya
sejak ia ada dalam kandungan. Gerakan kaki dan tangannya terlampau kuat untuk seorang bayi.
Mungkin ia sudah belajar silat di dalam perutmu.
Mungkin, jawab Itzumi sambil tersenyum. Seperti
ayahnya.
Saburo Mishima tersenyum, kemudian mendekap
isterinya dengan mesra. Ia mencium bibir wanita itu
***
NOBUNAGA
KOTA Kamakura seketika senyap. Udara diliputi ketegangan. Angin yang masih membawa bau anyir darah,
bertiup sepoi-sepoi. Debu dan sampah beterbangan di
jalan-jalan.
Orang-orang berdiri di tepi jalan, mereka berkumpul
untuk menyambut kedatangan Nobunaga. Dalam sebuah prosesi arak-arakan yang panjang, disertai iringan suara genderang, Nobunaga memasuki Kamakura
dengan penuh kemenangan. Iring-iringan itu hampir
satu kilometer panjangnya, terdiri dari dua ribu pasukan dari berbagai jenis tentara. Dimulai dengan barisan genderang yang ditabuh lelaki-lelaki bertelanjang
dada. Mereka mengenakan kain merah sebatas pinggang, dan ikat kepala warna putih. Suara genderang
itu ditabuh bertalu-talu, sebagai isyarat agar penduduk membungkuk, memberikan hormat pada Shogun
Nobunaga. Menurut kepercayaan mereka, suara genderang itu merupakan pengusir bala bagi mereka.
Di belakang penabuh genderang, tampak seratus
orang pasukan tombak yang membawa bendera warna
merah dengan gambar naga, lambang kebesaran Nobunaga. Mereka melangkah tenang, namun waspada.
Rambut mereka tersimpan dalam topi warna merah,
sama dengan warna bendera.
Di belakang pasukan pembawa tombak itulah, Shogun Nobunaga duduk di atas pelana seekor kuda warna hitam, melenggang memasuki istana Kamakura dengan gagah. Seluruh tubuhnya dibalut pakaian perang,
kain brokat warna merah dengan hiasan gambar naga
dari benang emas. Dari bahu, siku, pergelangan ta-
rah.
Tetapi kehebatan permainan pedang itu, tidak berpengaruh apa-apa dalam kehidupannya. Ia tetap hidup
dalam kemiskinan. Para shogun dan daimyo (penguasa-penguasa wilayah) sebagian besar hanya memperkaya diri sendiri. Mereka tidak memikirkan kehidupan
kaum samurai yang sesungguhnya menjadi benteng
pertahanan di wilayahnya. Hingga pada suatu hari,
Nobunaga menjumpai ayahnya terluka parah karena
melawan perampok. Daimyo Kawabata, tempat di mana
ayahnya mengabdi, justru mempersalahkan ayahnya
karena gagal mengusir perampok. Bahkan sehari sesudah ayah Nobunaga meninggal, Kawabata mengusir
keluarganya. Sejumlah samurai suruhan Kawabata,
membakar rumah Nobunaga.
Nobunaga marah. Sangat marah. Dengan pedang
milik ayahnya, Nobunaga melabrak Daimyo Kawabata.
Seorang diri ia menghadapi tiga puluh orang samurai.
Sebuah pertarungan antara hidup dan mati terjadi.
Dan Nobunaga keluar sebagai pemenang. Ia musnahkan seluruh keluarga Kawabata, lalu mengangkat diri
sebagai daimyo di wilayah itu.
Itulah titik tolak kemasyhuran Nobunaga. Dengan
memimpin para samurai yang berhasil ia kalahkan, satu per satu wilayah di sekitarnya ia taklukkan.
Kaisar Yoritomo, yang pada waktu itu berkuasa di
Jepang, merasa gentar menghadapi Nobunaga. Karena
itu ia segera mengirim utusan untuk mengangkat Nobunaga sebagai shogun. Dengan mengangkatnya sebagai shogun, Kaisar berharap dapat menghentikan perebutan kekuasaan di wilayahnya. Ternyata ia keliru.
Nobunaga justru semakin bersemangat menaklukkan
daerah-daerah di sekitarnya.
Aku memimpikan hanya ada seorang shogun di bawah kaisar, kata Nobunaga suatu hari. Karena hanya
***
PENGUSIRAN
KAKI gempal dan berotot, terangkat tinggi dan sebentar
melayang-layang sebelum menghantam lantai dengan
suara berdebum. Tangan yang kekar berubah menjadi
tinju sebesar batu, menghunjam, dan membuat ruangan seketika bergetar. Dua petarung yang hampir telanjang, sama-sama siap melempar lawan keluar arena. Ketegangan benar-benar memenuhi udara.
Suasana sangat mencekam. Orang-orang di sekitar
arena bersorak-sorak kegirangan untuk kedua pegulat
di atas dohyo, ring sumo. Jeritan histeris dan teriakan
tertuju pada kedua pesumo itu. Semua memberikan
semangat bagi sumotori yang dijagoi.
Takinada! jerit seorang gadis jelita. Rebut kemenanganmu untukku!
Aku sayang kamu! pekik seorang gadis lain. Lempar musuhmu ke luar arena!
Takinada melangkah ke dalam dohyo sambil menaburkan segenggam garam (tatacara penyucian) ke udara. Para penonton pria yang setengah mabuk, dan sejumlah samurai, bersorak-sorak. Mereka benar-benar
menikmati pertarungan itu.
Kashima, dengan tubuh yang amat gemuk, mulai
melancarkan pukulan ke dada Takinada. Ia menggasaknya dengan dorongan tubuh, dan berusaha menjatuhkan lawannya. Dalam seketika, mereka terlibat dorong mendorong dengan seluruh kekuatan. Takinada
terdesak di pinggir lingkaran kapur putih, ia berusaha
bertahan sekuat tenaga. Napas Kashima mendengus,
mata lelaki itu melotot seperti seekor banteng yang
tengah marah.
***
Senja merah. Matahari mulai terbenam. Langit di atas
Kota Kamakura seperti hamparan darah. Sejauh mata
memandang, hanya warna merah yang tampak.
Sebuah gerobak yang ditarik seekor kuda tua keluar
dari gerbang istana. Kecuali seorang lelaki tua, enam
orang samurai berjalan di sisi kanan dan sisi kiri gerobak itu. Mereka mengenakan topi tikar berbentuk bulat, tatapan mereka lurus ke depan. Selama perjalanan, tak seorang pun membuka percakapan. Semua
membisu seakan menyembunyikan suatu rahasia.
Di dalam gerobak itu, Ishida Mitsunari duduk sambil menahan kepedihan. Ini merupakan penghinaan
tak terperikan. Pengusiran kali ini telah menghancurkan seluruh impiannya. Angan-angan menjadi daimyo,
kini menjadi berantakan. Kekalahannya melawan Saburo telah menjadi malapetaka dahsyat dalam hidupnya. Semua ini memang kesalahannya, ia terlalu meremehkan Saburo. Dalam pertempuran di Bukit Huy,
ia terlanjur membayangkan Saburo pasti tewas, sehingga dengan mudah ia memenggal kepala Ashikaga,
menumpas seluruh keluarganya, dan merebut Pedang
Muramasa. Ternyata apa yang dikhayalkan tidak menjadi kenyataan. Ia tidak menduga sama sekali, Saburo
akan kembali ke istana untuk menyelamatkan Yoshioka.
Selama ini ia tahu, Saburo memang seorang samurai yang hebat. Karena itu Ishida Mitsunari mencoba
bersiasat dengan mengirimnya ke medan pertempuran,
tak terbayangkan sedikit pun kalau akhirnya lelaki tersebut mengetahui siasatnya. Dan celakanya, dalam
pertarungan di lorong rahasia itu, Mishima berhasil
mengalahkannya.
Sebenarnya persoalan akan selesai apabila Saburo
membunuhnya. Ternyata tidak, lelaki yang telah berhasil memotong kakinya itu, membiarkan Mitsunari tetap hidup. Saburo tahu, dengan cara itu, Mitsunari justru akan mengalami penghinaan paling keji bagi seorang samurai.
Dia sengaja tidak membunuhku, karena ingin melihat
aku mengalami penghinaan ini. Bangsat!
Kesedihan tiba-tiba mendidihkan darah dalam tubuh Mitsunari. Berbagai perasaan berkecamuk dalam
dirinya. Rasa terhina, menyesal, kecewa, marah, dan
api kebencian membangkitkan daya hidup lelaki itu. Ia
menyadari, satu-satunya cara untuk membersihkan
namanya, hanya dengan membunuh Saburo, memenggal kepala Yoshioka, dan merebut kembali Pedang Muramasa. Hanya dengan cara itu ia dapat menghapus
penghinaan ini.
Bisa saja ia sekarang melakukan bunuh diri, tetapi
namanya akan tetap tercemar selamanya. Ia tak ingin
hal itu terjadi. Karenanya, pilihan satu-satunya adalah
mencari Saburo untuk melaksanakan pembalasan
dendam, sekaligus pembersihan namanya.
Ishida Mitsunari mengangkat kepala, matanya memancarkan hawa pembunuhan yang mengerikan. Kedua gerahamnya saling beradu, dan tubuhnya bergetar
hebat. Api dendam telah menguasai setiap pori-pori
tubuhnya. Ketika matanya menatap pada kakinya yang
terpenggal, seluruh hawa kemarahan dalam dirinya tak
terbendung lagi.
Turunkan aku di sini! teriaknya lantang.
Keenam samurai yang mengawalnya tak bereaksi.
Menimpali pun tidak. Mereka seakan tidak mendengar
teriakan itu.
Hei, turunkan aku di sini! sekali lagi Mitsunari
berteriak. Aku akan mencari Saburo!
Salah seorang samurai menoleh, ketika matanya
rang, Ishida segera berbalik, dan berguling menyongsong serangan itu sambil membabatkan pedangnya.
Sabetan itu demikian kuat, sehingga kedua lengan penyerangnya langsung terpenggal. Terdengar jeritan melengking samurai itu, sebelum akhirnya ia rubuh ke
tanah setelah Ishida menikamnya dari belakang.
Samurai berikutnya menyerang serentak dari tiga
jurusan, namun dengan gesit Ishida berguling ke kanan sembari menebas ke bawah. Saat ia berguling, ketiga samurai itu serempak mengayunkan pedang ke
arah kepala. Ishida berhasil menangkis, kemudian
mengirim sabetan ke perut lawannya. Ketiga samurai
tersebut meloncat ke belakang. Mereka kemudian
kembali bersiaga untuk menyerang.
Ketiga samurai itu mengangkat pedang tinggi-tinggi
di atas kepala, rupanya mereka akan menyerang dengan jurus Pedang Membelah Awan. Ishida segera
menarik pedangnya rapat di bahu, matanya menatap
tajam gerak-gerik ketiga musuhnya.
Pergunakan jurus Membelah Awan, kata Ishida
menggeram. Kalian akan merasakan kehebatan jurus
pedang Menepis Halilintar.
Secara serempak ketiga samurai itu menyerbu, teriakan mereka sesungguhnya sangat menggetarkan.
Namun Ishida telah siap, ia tetap diam, membiarkan
lawan mendekatinya, satu detik sebelum ayunan pedang musuh menyentuh tubuhnya, Mitsunari berguling ke depan sambil menebaskan pedang ke perut lawannya. Ketiga samurai itu menjerit sambil mendekap
luka menganga di perutnya. Mereka ambruk ke tanah.
Mati.
Laki-laki tua penarik gerobak gemetaran menyaksikan pembantaian di depannya. Seluruh tubuhnya serasa membeku. Tatapannya nanar. Rasa takut yang
luar biasa, membuat lelaki tersebut tak mampu meng-
gerakkan badannya. Kebekuan itu mencair ketika Ishida membabatkan pedang ke wajahnya. Ia merasakan
darah mengucur deras dari batok kepala hingga dadanya. Seluruh tubuhnya dirasakan lumpuh, kemudian
melayang ambruk ke tanah. Lalu semuanya gelap gulita.
Ishida Mitsunari memutar pedangnya, kemudian
memasukkan pedang tersebut ke dalam sarungnya.
Kalian sudah kuperingatkan, kata Mitsunari dingin. Bila pedangku sudah tercabut dari sarungnya,
aku pantang memasukkan kembali tanpa membunuh
musuhku.
Mitsunari mengambil topi pandan milik musuhnya.
Sesudah mengenakan di kepalanya, ia berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
Saatnya aku memburu Yoshioka dan Saburo Mishima!
***
JALAN PEDANG
MUSIM semi menampilkan pemandangan yang sangat
indah. Bunga-bunga sakura bermekaran, sementara
daun-daunnya menampilkan pesona keindahan yang
menawan. Kabut transparan yang menyelimuti lereng
bukit, tempat persembunyian Saburo dan Yoshioka,
tampak seperti kelambu tipis.
Gubuk itu berada di lereng bukit, diapit dua buah
sungai yang berair jernih. Bagi Saburo, letak gubuk itu
sangat menguntungkan. Kedua sungai tersebut dapat
dianggap sebagai parit pertahanan yang baik. Selain
itu, sungai tersebut memberikan ikan untuk mereka
makan. Pada sore hari, bila tidak sedang latihan, Saburo tak jarang mengajak Yoshioka dan Kojiro mencari
ikan. Kedua anak itu dengan wajah ceria membuka batu-batu di sungai tersebut untuk menangkap ikan.
Hampir sebulan mereka bersembunyi, belum pernah sekali pun mereka bertemu dengan orang lain.
Gubuk itu seakan ditinggalkan oleh pemiliknya.
Di senja hari yang cerah itu, tampak Kojiro dan Yoshioka tengah berlatih kendo. Saburo telah membuatkan mereka pedang kayu dari pohon ek. Dengan penuh semangat, kedua anak sebaya itu memutar-mutarkan pedang, kemudian sesekali menebas sambil
berteriak nyaring. Saburo memperhatikan setiap gerak
kedua anak itu dengan seksama, dan ia menyadari keduanya adalah calon samurai berbakat.
Yoshioka yang kini memiliki tubuh kecil, memiliki
otot lentur, dan gerakan yang luwes. Ia memiliki kelincahan luar biasa. Permainan pedangnya sangat berbahaya. Berbeda dengan Yoshioka, Kojiro memiliki tubuh
tegap dan otot yang kuat. Meskipun tidak begitu lincah, ia mempunyai kekuatan yang sangat mengagumkan. Sabetan pedangnya, kelak bisa sangat berbahaya.
Satu hal yang menggembirakan Saburo, kedua anak
itu mau menjalankan latihan secara keras dan tanpa
banyak bertanya. Secara diam-diam semangat bushido
mengaliri darah Yoshioka maupun Kojiro.
Kalian harus memulai dari ryo-kuruma, sabetan pedang Sepasang Roda, kata Saburo memberikan penegasan pada Yoshioka dan Kojiro. Sabetan ini menjadi
dasar setiap serangan. Tanpa penguasaan yang baik
atas jurus Sepasang Roda, kalian akan gagal menguasai jurus lainnya.
Saya tidak akan gagal, Sensei, sahut Yoshioka tegas.
Saya juga tidak akan gagal, sambung Kojiro.
Jurus Sepasang Roda merupakan tebasan melintang di arah pinggul musuh, kata Saburo menjelaskan. Ini merupakan ujian pertama permainan pedang setiap samurai.
Yoshioka dan Kojiro segera melaksanakan perintah
Saburo. Mereka menebas dengan gesit. Berulang-ulang
kedua anak itu menebas, sampai akhirnya Saburo menghentikannya.
Dalam permainan pedang, sabetan harus tepat, tidak boleh bergeser seinci pun, kata Saburo memberi
penjelasan. Setiap inci perbedaan, akan mengubah jurus yang dilakukan. Ada enam belas tebasan yang harus dikuasai oleh setiap samurai.
Ajarkan pada kami, Sensei, kata Yoshioka bersemangat.
Benar. Biarkan kami mempelajarinya.
Ryo-kuruma, tebasan pedang pada pinggul. Tai-tai,
sabetan pedang pada garis bahu. Sabetan ini hanya
memiliki selisih satu inci dari batas leher, karena itu
tak seorang samurai pun boleh meleset melakukan tebasannya.
Yoshioka berkata, Kedengarannya rumit sekali.
Di istana tidak ada pelajaran seperti itu, Kojiro
menimpali.
Ini adalah pelajaran seorang samurai untuk menempuh Jalan Pedang. Permainan kendo tidak dibutuhkan lagi saat ini. Setiap saat kita dapat menghadapi
musuh. Mereka memiliki ilmu silat yang dapat membunuh kita, bukan permainan pura-pura di dalam dojo. Karena itu, kita pun akan menghadapi dengan jurus pedang yang mematikan. Kita berada dalam keadaan tanpa pilihan, hidup atau mati.
Pada malam harinya, Saburo menjelaskan ilmu pedang dengan menggambar tubuh manusia. Dia menerangkan empat tebasan pedang seorang samurai.
Sesudah ryo-kuruma dan tai-tai, Saburo menjelaskan karigane, ilmu Pedang Angsa Liar. Sabetan pedang persis di atas dada secara horisontal. Kemudian
chiwari, ilmu Pedang Membelah Dada, sabetan ini
hanya satu inchi di bawah karigane. Namun karena
chiwari melewati tulang dada, tebasan ini lebih sulit dilakukan dibanding karigane. Kecuali itu, sasarannya
pun lebih luas.
Empat tebasan pedang itu harus dikuasai secara
baik oleh seorang samurai, kata Saburo. Kalian harus melatihnya tanpa salah. Bila kalian masih salah
melakukannya, kalian tak mungkin mempelajari ilmu
pedang berikutnya.
Esoknya Yoshioka dan Kojiro mulai melatih keempat ilmu pedang itu. Mereka melakukannya dengan
penuh semangat. Bahkan hingga siang hari, mereka
terus menjalani latihan tanpa merasa lelah. Dengan teliti Saburo mengawasi latihan itu. Setiap kali ada yang
melakukan kekeliruan, dengan penuh kesabaran lelaki
itu membetulkannya.
Hampir empat hari Yoshioka dan Kojiro mempelajari
keempat ilmu pedang itu. Pada hari berikutnya, Saburo mengajak mereka kembali menghadapi gambar tubuh manusia.
Ini adalah o-kesa, ilmu Pedang Jubah Pendeta,
kata Saburo menjelaskan.
Jubah pendeta? Yoshioka bertanya heran.
Ya.
Kenapa disebut demikian?
Sabetan pedang ini dilakukan miring dari leher ke
arah bawah ketiak, persis garis pembuka jubah pendeta.
Oh.
Sabetan ini sangat mematikan, karena itu kalian
harus bersikap hati-hati bila menghadapi musuh yang
dikeluarkan jelas dan tidak dipatuhi, maka itu merupakan kesalahan perwiranya. Oleh karena itu perwiranya harus dihukum dan pancunglah pimpinan pasukannya.
Soen Tzu segera memberikan perintah lagi, namun
kedua pasukan wanita itu masih juga tertawa. Tanpa
kebimbangan sedikit pun, Soen Tzu segera memerintahkan algojo memancung kepala kedua pimpinan kelompok itu.
Raja Ho Lu yang menyaksikan dari tribun dan melihat kedua dayang kesayangannya dijatuhi hukuman
pancung, segera mengirim pesan, Kami sangat puas
dengan kemampuan jenderal mengendalikan pasukan.
Jika Anda menghukum mati kedua wanita itu, maka
kami akan kehilangan selera makan dan minum. Kami
minta agar keduanya tidak perlu dipancung.
Soen Tzu menjawab, Sekali saya memperoleh penugasan dari raja untuk menjadi panglima pasukan,
maka ada perintah tertentu yang tak dapat kami laksanakan sesuai dengan kedudukan saya.
Maka kedua wanita itu pun dipenggal kepalanya
dan kedudukannya sebagai pemimpin pasukan diganti
dengan perempuan lain.
Sesudah hukuman mati dijalankan, genderang ditabuh. Gadis-gadis itu pun berlatih dengan sungguhsungguh. Cara berbaris mereka benar seperti yang diperintahkan, tanpa ketawa sedikit pun.
Melihat kenyataan itu, Raja Ho Lu sangat terkesan,
akhirnya ia mengangkat Soen Tzu menjadi panglima
besar tentaranya. Di tangan jenderal itulah Kerajaan
Wu mengalami kejayaan. Ke arah barat, mereka menaklukkan Kerajaan Chu dengan menduduki Ying, ibu
kota kerajaan tersebut. Ke utara ia mengalahkan Negara Chi dan Chin. Kemenangan-kemenangan itu memperoleh sambutan serta kekaguman bangsawan-
bangsawan Cina lainnya. Kerajaan Wu semasa pasukannya dipimpin Soen Tzu menjadi salah satu kerajaan terbesar di seluruh daratan Cina.
Yoshioka dan Kojiro mendengarkan cerita itu dengan penuh minat.
Apakah kalian tahu kenapa Soen Tzu memperoleh
kemasyhuran? tanya Saburo pada kedua anak itu.
Karena dia seorang ahli strategi perang, jawab Yoshioka.
Bukan itu maksud saya.
Kojiro, sambil menahan kantuk, menjawab, Karena
dia ahli pedang.
Bukan.
Karena apa, Sensei?
Karena dia adalah orang yang berani melaksanakan keyakinannya.
***
PENGEJARAN
SHOGUN Nobunaga sedang menciumi Naoko, salah seorang geisha kesayangannya. Wanita itu tergial sambil
mendesah manja. Wajahnya yang berbentuk oval dengan garis mata yang mencuat ke atas, mempertegas
garis kecantikannya. Rambutnya yang hitam lebat disanggul tinggi di atas kepalanya. Gerak-geriknya yang
gemulai menampilkan sensualitas yang menggiurkan.
Payudaranya besar di atas pinggang yang kecil dan
pinggul yang besar memang sangat menggairahkan.
Naoko termasuk geisha dari Fujiwara yang sangat disayangi oleh Nobunaga. Bahkan menurut desas-desus,
wanita itu berperan dalam pengambilan-pengambilan
rena itu dengan lembut ia memeluk lelaki itu dari belakang. Buah dadanya menempel lekat ke punggung
Nobunaga. Kedua tangan geisha tersebut mulai membelai-belai dadanya. Ia mulai merangsangnya.
Nobunaga memegang jemari Naoko, menarik wajah
wanita itu, kemudian mencium bibirnya dengan penuh
nafsu. Hisapan itu demikian kuat hingga membuat Naoko hampir tercekik.
Sesaat ketika Nobunaga menghentikan ciumannya,
lelaki itu bertanya, Perlukah kita terus mengejar Yoshioka?
Naoko kaget mendengar pertanyaan itu. Kenapa
Anda bertanya begitu?
Bukankah dia hanya seorang anak yang belum dapat berbuat apa-apa?
Dia bukan seorang anak yang tidak dapat berbuat
apa-apa, tukas Naoko dengan nada penuh kebencian.
Dia adalah benih yang berbahaya. Bila tidak dibunuh
saat ini, kelak dia dapat menjadi samurai yang mengancam kekuasaan Anda. Selain itu, jangan Anda remehkan, Yoshioka kini bersama Saburo Mishima.
Dapatkah dia melawan seribu tentaraku seorang
diri?
Kita tidak dapat menduganya. Tetapi sejarah sering
membuktikan, banyak kekuasaan hancur karena kekuatan yang tidak terduga.
***
Pagi hari. Udara dingin membekukan pori-pori kulit.
Angin menemperas masuk lewat celah-celah gubuk.
Natane Yoshioka, Kojiro, dan Saburo masih tidur nyenyak. Tiba-tiba pintu dibuka dengan keras dari luar.
Saburo langsung mencabut pedang. Cahaya matahari
yang menerobos masuk membuatnya matanya silau.
Sepintas ia melihat sesosok gadis kecil menatapnya,
Ayahku akan melepasmu, kata Kojiro sambil mendekati gadis itu. Tetapi engkau jangan menjerit atau
berteriak. Teriakanmu dapat membahayakan kami.
Percayalah, kami bukan orang jahat.
Yoshioka turut bicara, Kalau engkau berjanji tidak
menjerit, kami akan membebaskan dirimu. Aku bahkan akan memberimu hadiah.
Gadis itu menatap bimbang pada Yoshioka. Lalu dengan ragu-ragu ia mencoba menganggukkan kepala.
Jangan menjerit, bisik Saburo lembut. Karena kalau engkau menjerit, kami terpaksa menyakitimu.
Gadis itu menganggukkan kepala.
Lepaskan dia, Sensei, kata Yoshioka pada Saburo.
Kita telah membuatnya sangat ketakutan.
Pelan-pelan Saburo melepaskan gadis itu.
Siapa namamu? Yoshioka mencoba bertanya.
Miyagi.
Saya Natane. Natane Yoshioka.
Gadis itu menatap Kojiro.
Saya Kojiro, kata Kojiro tanpa tekanan. Kemudian
dia menunjuk Saburo. Dia ayahku. Saburo Mishima.
Kenapa kalian tidur di gubukku? gadis itu mulai
berani bertanya.
Yoshioka dan Kojiro menatap Saburo. Mereka tidak
tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Kami kemalaman, jawab Saburo datar. Karena itu
kami terpaksa bermalam di gubukmu.
Apakah kalian tidak memiliki tempat tinggal?
Ya, kami memang pengembara.
Kenapa kalian membawa pedang? Apakah kalian
samurai?
Kami shugyosa, samurai pengembara, jawab Saburo sekenanya. Kami biasa bermalam di mana saja.
Kebetulan malam ini kami berada di sini.
Miyagi menatap Saburo, matanya nanar, seakan in-
***
KUIL MURO
KUIL Muro terletak di lereng Gunung Muro, sebuah kuil
yang didirikan pada zaman Heian. Dahulu kuil ini dipergunakan Puak Taira untuk berlatih meditasi dan
Seni Perang. Hal itu berlangsung sesudah perlawatan
Puak Taira ke Cina. Mereka mendapatkan buku Seni
Perang buah karya Soen-Tzu. Tak mengherankan bila
di kuil ini terdapat banyak kata-kata bijaksana peninggalan jenderal Cina itu.
Soen-Tzu menulis:
Inilah yang penting diketahui tentang medan perang
Ada yang dapat menerobos.
Ada yang membatasi
gun Nobunaga. Masih terbayang jelas di matanya, bagaimana shogun itu mengusir dan mencacinya. Pengusiran itu benar-benar merupakan penistaan terhadap
dirinya. Bila mengenang hal itu, tumbuh dendam baru
di dalam dirinya. Ia menyadari, musuhnya bukan hanya Saburo, tetapi juga shogun Nobunaga.
Betapa menyenangkan bila aku dapat membunuh
mereka berdua. Kedua orang itu telah menghancurkan
hidupku. Mereka harus menerima balasan yang setimpal.
Satu-satunya hambatan yang merisaukan Ishida
adalah kaki kirinya yang terpenggal. Cacat itu mengurangi kelincahan gerakannya. Tebasan pedang yang
kuat, membutuhkan perimbangan gerakan pada kaki.
Ilmu pedang membutuhkan kegesitan sekaligus kelincahan. Kenyataan itu lama-kelamaan menumbuhkan
perasaan frustrasi pada dirinya. Namun sebaliknya,
rasa frustrasi tersebut, semakin mempertebal dendamnya terhadap Saburo. Dendam itu membangkitkan semangat hidupnya.
Aku harus mengatasinya, kata Ishida meyakinkan
dirinya. Apa pun yang terjadi, kakiku tidak akan terpulihkan. Tapi aku harus menemukan jalan untuk melampiaskan dendam.
Pada hari ketiga puluh tujuh, Ishida Mitsunari tengah menggambarkan gerakan kaki pada ayunan pedang Dewa Membelah Lautan, tiba-tiba kesadarannya
muncul, ia tak mungkin melakukan ayunan itu dengan
sempurna apabila kedua kakinya tidak menapak tanah. Dengan arang, ia mencoret-coret bagian gambar
kaki yang cacat. Tiba-tiba coretan itu memberikan inspirasi baru!
Aku dapat melengkapi kakiku dengan kayu! serunya dalam hati. Bila panjang kayu itu sama dengan
kakiku, tak ada bedanya aku memiliki kaki atau kayu!
Esoknya Ishida membuat sambungan kaki dari kayu ek. Pada sore hari, ia telah dapat berdiri tegak. Kaki
itu terbukti sangat membantu gerakannya. Bahkan inspirasinya bertambah, ia ingin melapisi ujung kakinya
dengan mata lembing, sehingga kaki tersebut dapat dipergunakan sebagai senjata.
Aku memerlukan bantuan seseorang.
Paginya, dengan menyamar, Ishida Mitsunari turun
ke desa terdekat. Ia menjumpai seorang pandai besi.
Buatkan saya kaki lembing untuk melapisi kaki
kayu ini, katanya menerangkan.
Kenapa tidak menggunakan bahan dari karet saja?
Saya ingin dibuat dari baja terbaik sehingga tidak
mudah rusak. Kecuali itu, buatkan pula lapisan runcing di penyangga tubuhku.
Empat puluh real.
Tiga puluh.
Saya lebih baik membuat pedang bila tidak dibayar
empat puluh.
Baiklah. Saya akan membayarnya jika sudah selesai.
Tiga hari lagi Tuan dapat kemari.
Terima kasih.
Ketika akan kembali ke Kuil Muro, Ishida melihat
orang-orang berkerumun di depan sebatang pohon
kering. Ia mendekat, ingin melihat ada peristiwa apa
sehingga menarik perhatian begitu banyak orang.
Dahinya seketika berkerut ketika melihat apa yang
membuat orang-orang berkerumun. Tak lain, plakat
Shogun Nobunaga tentang sayembara perburuan Saburo dan dirinya dengan hadiah seribu real. Ketika
Ishida mendekat, beberapa orang pergi dari tempat itu
sambil menatapnya penuh selidik. Satu hal yang menyelamatkan Ishida, ia kini membiarkan rambutnya terurai panjang. Juga kumis serta jenggotnya. Penyama-
***
PENGKHIANATAN
BUKIT tempat persembunyian Saburo tampak lebih hitam dibanding pernis yang paling hitam, sementara
gunung di kejauhan terlihat pucat seperti mika. Musim
semi masih menebarkan bau harum dan hangat. Bambu kuning dan tumbuhan wistaria menjerat kabut
transparan.
Pondok bambu di lereng bukit itu terasa hangat. Terutama bagi Yoshioka dan Kojiro. Kedua anak itu merasa terlepas dari kesunyian. Keluarga Miyagi menerima mereka dengan penuh hormat. Mereka menanak
nasi kemudian mencarikan sayur-mayur untuk lauk.
Lelaki itu menangkap ikan dari kolam, lalu menghidangkan sebagai ikan bakar yang lezat.
Natane Yoshioka dan Kojiro makan dengan lahap.
Selama ini mereka hanya makan buah-buahan dan
ikan segar, karena itu suguhan keluarga Miyagi membuat mereka merasakan kenikmatan yang berlipat
ganda. Hanya Saburo yang mencoba menekan rasa lapar dalam dirinya. Sebagai seorang samurai, ia tetap
bersikap waspada. Betapa pun, mereka belum tahu banyak tentang keluarga Miyagi, termasuk kesetiaannya
pada Shogun Ashikaga.
Dari keluarga itu pula, mereka mengetahui Shogun
Nobunaga telah mengeluarkan perintah pengejaran
terhadap mereka, dan Ishida Mitsunari. Pembelotan
Ishida menyebabkan Nobunaga murka, dan dia telah
memerintahkan seratus orang samurai mengejar lelaki
berkaki satu itu. Nobunaga telah menyebar plakatplakat di seluruh wilayah kekuasaannya berisi sayembara menangkap Ishida dan Yoshioka.
Shogun menyediakan hadiah seribu real untuk kepala Yang Mulia, kata Miyazawa pada Saburo. Bahkan bagi orang yang dapat memberitahukan tempat
persembunyian Anda, shogun tetap akan memberikan
hadiah itu.
Kalau begitu kepalaku cukup berharga, seloroh
Yoshioka sambil tersenyum.
Saya mendengar perburuan itu dilakukan sebenarnya karena hasutan geisha simpanan shogun Nobunaga.
Siapa?
Kalau tidak salah namanya Naoko Yoritomo. Seorang geisha dari Fujiwara yang memiliki dendam pada
Yang Mulia Ashikaga.
Yoshioka terpaksa menanggungkan dosa ayahnya.
Ia menjadi buronan karena dendam seorang geisha.
Pada saat mereka menyantap hidangan, seluruh keluarga Miyagi duduk di atas tatami, lima meter dari
meja makan. Mereka menatap ketiga tamunya dengan
tatapan nanar. Tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, suatu saat bakal menjamu putra shogun Ashikaga di rumahnya.
Siapakah yang menanak nasi ini? Natane Yoshioka bertanya.
Miyagi, jawab lelaki itu bimbang. Mohon dimaafkan bila ternyata kurang enak.
Justru saya ingin mengatakan nasi ini sangat enak.
Rasanya belum pernah saya makan nasi seenak ini.
Terima kasih, Yang Mulia.
Apakah beras ini hasil panen sendiri?
Benar, Yang Mulia. Kami memiliki beberapa petak
sawah yang cukup subur.
Sayur ini?
Demikian pula dengan sayur-sayuran itu. Kami
menanamnya sendiri di ladang.
Ikan ini?
Kami memiliki kolam di belakang rumah. Bila Yang
Mulia menghendaki, kami dapat menangkap lagi.
Apakah engkau ingin tambah ikannya? Yoshioka
bertanya pada Kojiro.
Tidak. Saya sudah kekenyangan. Rasanya tak ada
tempat lagi di perutku.
Bagaimana kalau kita bawa pulang?
Ke mana?
Yoshioka terdiam. Ia bingung menjawabnya. Sesudah pertemuan dengan keluarga Miyagi, rasanya mereka tidak bebas lagi menggunakan gubuk di atas bukit sebagai tempat persembunyian. Yoshioka kemudian
menoleh pada Saburo. Tetapi lelaki itu tak mempedulikannya.
Apabila Yang Mulia berkenan, saya persilakan
menginap di sini. Kami masih memiliki dua buah kamar yang kosong.
Terima kasih, saya rasa....
Tidak perlu, potong Saburo cepat. Apabila Anda
mengizinkan, kami akan berterima kasih sekali bila dibiarkan menggunakan gubuk itu untuk sementara
waktu.
Saya merasa tidak pantas bila membiarkan Yang
Mulia tidur di gubuk itu.
Jangan terlalu dipikirkan. Buktinya kami telah
tinggal di sana lewat satu bulan.
Ayah Miyagi membungkukkan badan hingga kepalanya menyentuh lantai. Kalau begitu, saya tak dapat
menghalanginya.
Ayah Miyagi bernama Miyazawa, seorang pandai besi. Sudah hampir dua puluh tahun lelaki itu membuat
pedang untuk kaum samurai. Ia bekerja dibantu oleh
adiknya, Takezo, seorang lelaki bertubuh tegap dengan
sinar mata mengandung keculasan. Saat pertama ber-
Pada sore hari, menjelang matahari terbenam, Saburo mengajak Yoshioka dan Kojiro naik ke atas. Dia
merasa lebih aman tinggal di gubuk kosong itu. Miyazawa dan isterinya mencoba mencegah, namun Saburo
tetap pada pendiriannya.
Biarkan mereka belajar hidup sebagai shugyosa,
kata Saburo pada Miyazawa. Karena itulah garis hidup
mereka.
***
Malam harinya, ketika tinggal berdua, Takezo berkata
pada Miyazawa.
Bagaimana kalau kita bunuh mereka?
Kau gila! Samurai itu telah mengalahkan Ishida Mitsunari, kita bukan tandingannya.
Lalu?
Bertarung dengannya sama dengan membiarkan
diri mati konyol.
Apa sebaiknya kulaporkan pada Shogun Nobunaga? Kalau mereka berhasil disergap, kita akan memperoleh hadiah besar. Seribu real akan membuat kita
kaya raya.
Bagaimana kalau pasukan Nobunaga gagal menyergap mereka?
Itu bukan urusan kita.
Samurai itu pasti akan kembali untuk memenggal
kepala kita.
Takezo terdiam. Ia menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Kata-kata Miyazawa benar, kalau
sampai ketiga orang itu lolos dari penyergapan, bukan
mustahil mereka akan kembali untuk membalas dendam. Tetapi hadiah seribu real terus mengganggunya.
Mereka sekarang berada di atas bukit, akhirnya
Takezo berkata penuh tekanan. Jika tentara Nobunaga mengepung dari tiga penjuru, mereka tak mungkin
***
PENGEPUNGAN
SABURO MISHIMA tersentak bangun. Tiba-tiba nalurinya yang tajam mengisyaratkan adanya bahaya. Sebagai samurai ia sangat terlatih. Indra keenamnya selalu
memberi firasat bila sesuatu akan terjadi. Dan biasanya, firasat itu selalu terjadi.
Sejak pertemuannya dengan Miyagi, naluri Saburo
mengatakan akan adanya bahaya. Keluarga pandai besi itu tidak dapat dipercaya, terutama Takezo. Sorot
mata lelaki tersebut mengisyaratkan kelicikan.
Saburo melihat Natane Yoshioka dan Kojiro masih
lelap. Dengan hati-hati ia berdiri sembari mengambil
pedangnya. Ia melangkah pelan-pelan. Lewat celah
Saya akan menuruni bukit untuk mengetahui seberapa besar kekuatan mereka. Kalian tunggu di sini.
Nanti setelah tahu jumlah musuh, kita baru bisa memastikan harus berbuat apa.
Baiklah, kami akan menunggu.
Saburo Mishima pelan-pelan berdiri. Ia berbalik, lalu bergegas pergi. Natane Yoshioka berpaling pada Kojiro, keduanya tampak tegang.
Akan kupenggal kepala Takezo kalau kita dapat lolos dari pengepungan ini, kata Yoshioka penuh kebencian.
Sejak awal aku sudah tidak menyukainya, sahut
Kojiro geram. Benar-benar kurang ajar!
Akan kubunuh seluruh keluarganya kalau terbukti
mereka berkhianat.
Kenapa seluruh keluarganya?
Mereka harus menanggungkan semua akibat
pengkhianatannya.
Bagaimana kalau hanya Takezo yang mengkhianati
kita?
Aku tidak peduli. Akan kupenggal kepala mereka
sebagai contoh bagi orang yang mengkhianati Ashikaga.
Juga Miyagi?
Yoshioka seketika berpaling pada Kojiro. Kenapa
dengan Miyagi?
Dia tak mungkin mengkhianati kita.
Bagaimana kau tahu?
Dia gadis yang baik.
Kau jatuh cinta padanya?
Kojiro gelagepan untuk menjawab.
Kau pasti sedang jatuh cinta, kata Yoshioka menggoda.
Kojiro memerah wajahnya. Ia lalu bergegas mengintip keadaan di luar lewat lubang pada dinding. Yoshi-
perangkap seperti saat ini. Coba seandainya ia mengikuti nalurinya yang memberi isyarat bahaya ketika melihat sinar mata Takezo, mereka tak akan terperangkap
dalam bahaya.
Seperti seekor harimau dikepung pemburu, Saburo
menggeram, menyesali kebodohannya. Ia kemudian
berlari ke arah Selatan, mencoba mencari kemungkinan untuk meloloskan diri. Kenyataannya justru lebih
buruk. Di sebelah selatan, ratusan samurai bergerak
mendaki bukit dengan pedang terhunus. Meskipun
jumlah mereka tidak sebanyak tentara panah, tetapi
Saburo tahu kaum samurai itu jauh lebih berbahaya
dibanding yang lain. Mereka adalah pendekar-pendekar pedang Yagyu yang menjadi kekuatan utama
tentara Nobunaga.
Saburo mendesis. Dadanya tambah berdebar-debar.
Ia kemudian berlari kembali ke gubuk. Natane Yoshioka dan Kojiro sudah menunggunya dengan harapharap cemas.
Bagaimana keadaannya? Yoshioka bertanya tak
sabar.
Sangat buruk, jawab Saburo. Mereka telah mengepung bukit ini. Barisan mereka sangat rapat, sehingga mustahil kita dapat menerobos kepungan mereka. Sepertinya tidak ada peluang untuk meloloskan
diri.
Kojiro berkata, Kalau begitu kita lawan mereka....
Ada hampir empat ratus tentara di sana, kata Saburo sambil menunjuk hutan di bawahnya. Kita hanya bertiga, rasanya tak mungkin melawan mereka.
Lantas?
Kita harus tetap mencari jalan keluar.
Bagaimana caranya?
Saburo diam. Otaknya berpikir keras. Satu-satunya
jalan hanya berlari ke arah Timur. Meskipun ia tahu
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel