Anda di halaman 1dari 105

SHUGYOSA

(Samurai Pengembara)

Buku Kesatu
oleh Salandra

Cover oleh Tony G.


Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994

Kutulis untuk Kissumi

CATATAN UNTUK PEMBACA


JEPANG di pertengahan abad keenam belas, sesudah
keshogunan Ashikaga runtuh, terjadilah pertarungan
dan perebutan kekuasaan di antara para jenderal dan
para daimyo. Oda Nobunaga, penguasa wilayah Owari,
mengerahkan ribuan samurai untuk menaklukkan
musuh-musuhnya. Termasuk melakukan pengejaran
terhadap putra Ashikaga yang berhasil diselamatkan
panglima perangnyaSaburo Mishima.
Nobunaga, shogun yang terkenal brutal, bodoh, dan
bengis ini hidup di tengah jerat nafsu serta ambisi kekuasaan gundiknyaNaoko. Seks telah membuat Nobunaga kehilangan pikiran waras, sehingga ia menjadi
brutal dan tidak berperadaban. Ia mulai menyerbu Imagawa, penguasa Suruga. Lalu Tokugawa Ieyasu, penguasa Mikawa. Penaklukan terus berusaha dilakukan
untuk memperluas wilayahnya.
Dalam masa penuh pergolakan itulah, kisah ini terjadi. Kisah tentang putra Ashikaga yang ingin kembali
berkuasa, seorang samurai yang siap menempuh jalan
pedang dengan kesetiaan sampai mati, ambisi kekuasaan seorang shogun yang ingin memiliki kekuasaan
mutlak, gundik yang sanggup menggunakan gelora
seks untuk meraih kekuasaan, selir yang disingkirkan,
serta cinta seorang wanita yang tulus suci, dan kearifan pendeta yang tiada batas.
Novel Shugyosa penuh intrik, ambisi kekuasaan,
pertarungan, tipu muslihat, balas dendam, seks, cinta,
dan ajaran hidup tentang kesetiaan, cita-cita, serta kearifan. Sebuah novel yang mengungkap sisi lain yang
tak ditulis Eiji Yoshikawa dalam novel Musashi atau-

pun Taiko, atau sisi lain yang tak ditulis James Clavell
dalam Shogun.
Novel yang lain daripada yang lain, dan mempesona
dari awal sampai akhir.

Barang siapa mengenal dirinya sendiri


dan mengenal musuhnya,
ia senantiasa menang dengan mudah.
Barang siapa mengenal langit dan bumi,
ia menang atas segalanya.
SOEN-TZU

Buku Kesatu

PEMBANTAIAN
SABURO MISHIMA menarik tali kekang kudanya. Ia
menatap pasukan musuh yang kian dekat. Lebih dari
tiga ratus samurai telah dikirim Nobunaga. Rupanya
lelaki ambisius itu mengerahkan seluruh pasukannya
untuk menggempur Ashikaga.
Angin bertiup kencang di Lembah Aga. Jejak-jejak
kaki prajurit mengakibatkan debu tipis beterbangan di
udara. Matahari persis di puncak kulminasi, sehingga
panasnya menyengat kulit. Tanah-tanah karang yang
menjadi dinding lembah tersebut, tampak memerah,
mirip batu terbakar. Namun cuaca yang menyakitkan
itu tidak mempengaruhi semangat prajurit Nobunaga.
Mereka terus melangkah dengan tegap, seakan kemenangan telah berada dalam genggamannya.
Saburo Mishima mengawasi gerakan musuh dari
persembunyiannya. Matanya yang setajam mata elang,
mengikuti gerak-gerik musuh dengan penuh kewaspadaan.
Ini adalah pertempuran hidup dan mati, teriak Mishima pada tentaranya. Shogun Ashikaga tidak menginginkan kita kembali dengan kekalahan. Kita akan
sambut kedatangan musuh dengan keberanian atau
kematian!
Semua prajurit menatap Saburo dengan diam. Semua seakan penuh tekad menyerahkan jiwa raga mereka bagi pertarungan yang bakal terjadi.
Mishima memacu kudanya. Sekali lagi ia ingin memastikan bahwa semuanya telah siap. Ini merupakan
pertempuran paling berat yang pernah ia hadapi.
Menurut berita, sejumlah daimyo (tuan tanah) telah

bergabung dengan Nobunaga. Bahkan Konishiwa Hideaki, daimyo Kiyoto, telah berkhianat. Ia kini menjadi
sekutu musuh. Bila ini benar, keadaan memang runyam. Nobunaga dapat melakukan pengepungan dari
segala penjuru. Istana Kamakura sulit diselamatkan.
Saburo, seorang panglima perang Shogun Ashikaga.
Perawakannya kekar dengan raut muka berbentuk
oval. Ia seorang samurai keturunan Akamatsu yang
sangat tersohor di Jepang. Kini ia duduk di atas pelana
kudanya, lengkap dengan pakaian perang. Sebagaimana layaknya seorang panglima perang, ia mengenakan
kimono dari kain brokat bergambar matahari, dan baju
bersirip besi yang didesain sangat indah. Di pinggangnya terdapat naginata (sebuah pedang berbilah panjang), dan pedang pendek yang gagangnya berlapis perak.
Takeshi memacu kudanya, mendekati Saburo Mishima.
Saburo, mereka sudah memasuki jarak perlawanan.
Siapkan panah!
Mereka tinggal menunggu aba-aba.
Tunggu dulu, aku ingin memastikan dapat menghancurkan mereka.
Kita harus melakukan dengan cepat, sebelum mereka sampai di celah bukit, sehingga dengan mudah
mereka menemukan tempat berlindung.
Sebentar lagi kita akan hancurkan mereka.
Kami semua menunggu perintahmu.
Saburo Mishima tetap diam, menunggu. Ia berpegang teguh pada ajaran Soen Tzu: Panglima perang
yang memenangkan pertempuran adalah dia yang
membuat banyak perencanaan sebelum peperangan
dimulai. Panglima perang yang kalah adalah dia yang
sedikit membuat perencanaan. Membuat rencana dan

strategi adalah kekuatan menuju ke kemenangan sejati.


Takeshi memutar balik kudanya. Ia memacu binatang itu menuju tempat perlindungan pasukan panah.
Ada sekitar enam puluh pasukan panah di balik Lembah Aga. Mereka telah siap dengan memasang anak
panah di busurnya.
Pasukan Saburo kini berada di atas bukit yang terlindungi hutan azaela. Posisi ini sangat menguntungkan, karena dengan mudah mereka mengamati musuhnya.
Pasukan Nobunaga sendiri, sekarang bergerak memasuki celah bukit. Mereka berada dalam posisi terjepit oleh lereng bukit dan hutan azaela. Bagi seorang
ahli perang, biasanya akan menghindari tempat-tempat seperti ini, karena mereka seperti memasuki perangkap musuh. Namun Nobunaga tahu tentara Ashikaga tinggal sedikit. Jumlah mereka tak mungkin dapat menghancurkan tentaranya. Karena itu tanpa perasaan takut, Nobunaga memerintahkan penyerbuan
ke Istana Kamakura. Kekuatan pasukannya tak akan
mudah ditaklukkan oleh medan perang yang tidak
menguntungkan.
Saburo Mishima kini duduk tegak di atas pelana.
Pandangannya lurus ke arah pasukan musuh yang
bergerak mendekat. Bendera-bendera warna merah
dan biru berkibaran tertiup angin. Gerakan mereka
mirip segerombolan binatang yang menderap ke depan.
Sinar mata mereka mirip mata serigala haus darah.
Tiba-tiba terlintas di pelupuk mata Mishima, wajah
istri dan anaknyaItzumi dan Kojiro. Mereka kini berada di tengah keluarga istana, menanti kabar tentang
pertempuran ini. Bila pertempuran kali ini berhasil
dimenangkan, bukan mustahil Ashikaga akan mengangkatnya sebagai daimyobangsawan Jepang yang
sangat terhormat. Ia akan memiliki istana sendiri, pe-

ngawal sendiri, dan wilayah kekuasaan yang luas. Juga tanah pertanian yang akan memberinya kemakmuran. Tetapi sebaliknya, bila kali ini ia kalah, pertempuran ini akan menjadi jalan baginya untuk mati.
Mati sebagai seorang pengawal Ashikaga tentu bukan
hal yang remeh, apalagi memalukan.
Hampir sepuluh tahun Saburo Mishima menjadi
pengawal istana. Ia hidup di tengah kebahagiaan bersama anak dan isterinya. Itzumi, seorang wanita asal
Kiyoto, telah memberinya seorang anak laki-laki bernama Kojiro. Selama ini ia hidup untuk tiga orang:
Ashikaga, Itzumi, dan Kojiro. Serbuan Nobunaga akan
menjadi ujian bagi Saburo Mishima dalam melindungi
orang-orang yang ia cintai.
Nyawaku kupertaruhkan untuk ketiganya.
Sebaiknya sekarang kita menyerang, tiba-tiba Takeshi menyadarkan Saburo Mishima dari lamunan.
Apabila mereka melewati celah itu, kita akan sulit
menekan pertahanannya.
Baiklah. Mari kita hancurkan mereka.
Saya akan menggerakkan pasukan dari belakang.
Terobos langsung ke jantung pertahanan mereka,
kata Saburo mengingatkan. Hanya satu cara yang
akan membuat kita memenangkan pertarungan ini.
Buat mereka terpisah-pisah.
Saya akan mencoba membuat mereka kocar-kacir.
Kita akan bersandar pada Soen Tzu untuk menghancurkan musuh.
Saburo mengenakan topi baja, ia mengikat talinya
di bawah dagu. Kemudian mencabut pedangnya. Cahaya matahari berpendar berkilauan di bilah pedang
Akamatsu itu.
Kini Saburo melihat pasukan Nobunaga memasuki
lembah.
Apakah sudah ada berita dari Selatan?

Belum, jawab Takeshi. Seharusnya sudah ada


kurir yang kemari.
Aku khawatir Takeda mengalami kesulitan.
Kita tidak harus memikirkan mereka. Sekarang
yang harus kita pikirkan bagaimana caranya menghancurkan musuh di depan kita.
Saburo Mishima melirik Takeshi, ia merasa tersindir
dengan ucapan lelaki itu. Karena itu ia segera mengangkat pedang, lalu berteriak memberi komando.
Seraaaang!
Ratusan anak panah beterbangan menghujani pasukan Nobunaga. Anak panah itu mirip hujan deras.
Jerit kematian segera terdengar. Tubuh-tubuh bergelimpangan dengan erangan sekarat yang memilukan.
Sergapan tak terduga itu telah menimbulkan kepanikan pada musuh. Kesempatan ini tak ingin disia-siakan oleh Mishima. Ia segera memerintahkan pasukan
berkuda yang berada di belakang untuk menyerang.
Hancurkan mereka!
Maka dengan teriakan penuh semangat membunuh,
ratusan pasukan berkuda merangsak maju. Pertempuran dahsyat pun terjadi. Pedang-pedang berkelebat seiring dengan jeritan kematian yang mendirikan bulu
roma. Pasukan Nobunaga yang menang dalam jumlah,
segera membentuk benteng pertahanan dengan perisai
dan tombak. Namun tentara Ashikaga menyerbu bagai
air bah sehingga pertahanan itu berantakan.
Saburo Mishima membabat ke kanan ke kiri dari
punggung kudanya. Sabetan pedangnya membuat beberapa samurai langsung tersungkur dengan luka menganga. Darah musuh muncrat ke tubuhnya, namun
lelaki itu tak mempedulikannya. Di dalam benaknya
menggelegak semangat peperangan yang mengerikan.
Pedang Akamatsu di tangannya berkelebat ke segala
penjuru, merenggut nyawa samurai di dekatnya.

Lima orang samurai menghadang Mishima, mereka


mengepung dengan tekad untuk membunuhnya. Menghadapi kelima musuh itu, Mishima hanya beberapa detik memikirkan bagaimana cara mengalahkan musuhnya. Tanpa gentar sedikit pun, ia menyongsong salah seorang samurai itu. Sambil memiringkan badan,
ia menyabetkan pedang secara horisontal, tak ayal lagi,
kepala samurai di depannya terpenggal lepas dari badannya. Darah menyembur dari urat lehernya. Tubuh
itu ambruk ke tanah, berkelojotan, lalu mati.
Empat samurai yang lain segera memburu. Dengan
gesit Mishima menarik kekang kudanya, ia segera melaju ke arah musuhnya. Salah seorang samurai menyabetkan pedang, dengan cekatan ditangkis, dan sebelum musuhnya berbalik, Mishima telah memutar
kudanya kemudian mengayunkan pedang sekuat tenaga, terdengar suara menjerit ketika tubuh musuhnya
ambruk ke tanah.
Samurai yang ketiga menghadang dengan tombak,
Mishima berkelit ke kanan, di saat bersamaan ia menikam samurai itu dengan kekuatan penuh. Terdengar
lengkingan menyayat ketika mata pedang Mishima
menembus leher musuhnya. Saat pedang dicabut, darah menyembur keluar bagai anak sungai. Sedetik berikutnya, tubuh samurai itu roboh ke tanah.
Saburo Mishima memutar kembali kudanya, kemudian seperti angin taufan, ia menyerbu ke arah musuhmusuhnya. Dengan tebasan yang sangat kuat, tombak
samurai yang menghadangnya patah dua. Samurai itu
langsung mencabut pedang, namun di saat bersamaan
Mishima telah menebas dari samping. Sabetan itu demikian kuat, sehingga musuhnya tak dapat merasakan
pedang tersebut telah merobek perutnya. Ketika ia
mengerahkan tenaga untuk menyerbu, tiba-tiba ususnya terburai keluar, tubuhnya lemah, kemudian ia ru-

buh ke tanah.
Samurai kelima mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil menggenggam gagang pedangnya, kemudian dengan teriakan nyaring, ia menyerbu ke arah
Saburo Mishima. Ini adalah salah satu jurus aliran
Yagyu yang sangat berbahaya. Sabetan vertikal itu
sangat kuat, sehingga dapat mematahkan pedang musuh, sekaligus membelah tubuh lawan. Itulah jurus
Pedang Menebas Angkasa, salah satu jurus yang
membuat Yagyu ditakuti di seluruh Jepang. Saburo
Mishima menyadari bahaya itu, namun dengan penuh
ketetapan hati, ia menyongsong lawan dengan tubuh
tegak. Tangan kanannya menggenggam pedang secara
horisontal. Keduanya bergerak seperti dua hembusan
angin yang saling berhadapan. Hanya dalam hitungan
detik, Mishima dengan cepat memiringkan tubuhnya,
sabetan pedang itu hanya beberapa inci dari wajahnya.
Di saat musuhnya masih limbung ke depan, Mishima
menebaskan pedang ke belakang, seketika terdengar
jeritan menyayat ketika samurai itu merasakan punggungnya robek.
Saburo Mishima menarik kekang kuda, ia siap
menghadapi musuh berikutnya. Pertempuran di sekitarnya masih berlangsung dengan sengit. Suara gemerincing pedang diiringi jerit kematian terdengar di mana-mana. Tanah kering di Lembah Aga kini berwarna
merah. Mayat-mayat bergelimpangan bagai setumpuk
bangkai binatang tak berharga. Entah sudah berapa
puluh samurai terkapar di tanah. Namun pertempuran
belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Kedua belah pihak seakan ingin meyakinkan kemenangannya.
Baru saja Saburo Mishima menebas lawannya, ia
melihat Takeshi mendekatinya.
Seorang kurir baru saja datang, kata Takeshi
sambil menghentikan kudanya. Debu-debu bercampur

darah berkepul di kaki kudanya. Sektor selatan telah


kalah. Kini Konishiwa Hideaki memimpin penyerbuan
ke istana.
Bagaimana kekuatan kita di sana?
Tidak akan mampu menahan serbuan Hideaki.
Siapa yang memimpin pertahanan?
Ishida Mitsunari.
Ishida?
Ya.
Dia adalah ipar Hideaki.
Takeshi tidak sempat menjawab, ia harus memutar
kudanya sambil menyabetkan pedang ke arah samurai
yang menyerangnya. Samurai itu menjerit ketika pedang Takeshi merobek lehernya.
Saburo Mishima berteriak pada Takeshi, Kau pimpin pertahanan di sini. Aku akan kembali ke istana untuk menyelamatkan mereka!
Baiklah. Segeralah kamu ke sana, nanti aku akan
menyusul.
Kau harus tahan musuh di sini, ujar Saburo sambil memutar kudanya. Aku membutuhkan waktu untuk menguasai keadaan di istana.
Jangan khawatir, aku akan pertaruhkan kepalaku
untuk pertempuran ini.
Kuharap kita masih bisa bertemu, Takeshi.
Aku pun berharap demikian. Sekarang pergilah.
Saburo Mishima memutar kekang kuda, kemudian
menggebrak punggung binatang itu agar lari menuju
istana.
Ketika sampai di atas bukit, Saburo Mishima menghentikan kudanya. Ia menoleh ke belakang, dilihatnya
debu pertempuran masih berkepul di sela gemerincing
suara pedang beradu dan jerit lengking kematian. Kemudian ia menatap ke arah utara, tampak kepulan
asap di atas Istana Kamakura.

Musuh tampaknya sudah tak tertahankan. Mereka


telah berhasil menembus pertahanan Ishida. Atau justru
sebaliknya, dia yang memimpin penyerbuan itu? Kalau
Ishida berkhianat, aku bersumpah untuk memenggal kepalanya!
Saburo Mishima sekali lagi menoleh pada ratusan
tentaranya yang sedang menyabung nyawa, lalu dengan pancaran mata berapi-api, ia memacu kuda menuju istana. Ia harus tiba di sana secepatnya. Selain
Shogun Ashikaga, di sana ada anak dan isterinya.

***

PENYELAMATAN
SHOGUN ASHIKAGA bersimpuh di atas zabuton (kasur
tipis yang diletakkan di lantai). Kedua tangannya berada di paha.
Ashikaga, seorang laki-laki bertubuh gemuk, dengan kepala bulat seperti jeruk. Rambutnya disisir ke
belakang, dikuncir persis di atas kepalanya. Kedua
matanya tajam menikam, pancaran kewibawaan dan
keteguhan hati. Cara bicaranya cepat, penuh tekanantekanan intonasi, suatu gaya milik orang-orang yang
menggenggam kekuasaan.
Di belakang Ashikaga, kira-kira tiga meter di arah
samping kanan, tampak isterinyaOmiko, duduk
sambil memegangi pundak Natane Yoshioka, anak mereka.
Omiko, seorang wanita berumur tiga puluh tahun.
Wajahnya berbentuk lonjong, kurus, seperti umumnya
perempuan Jepang. Rambutnya digelung ke belakang,

dilengkapi sebuah tusuk konde emas. Omiko memakai


kimono furisode (kimono wanita berlengan panjang)
berwarna kuning. Seperti biasa, ia duduk membeku,
seakan tengah berjuang menyembunyikan perasaannya.
Di samping Omiko, duduk Natane Yoshioka, seorang anak laki-laki berumur sebelas tahun yang tampak cerdas dan pemberani. Meskipun masih sangat
muda, namun dari sikapnya, tampak bahwa ia mewarisi darah seorang penguasa. Sinar matanya tajam,
memantulkan keteguhan hati yang memukau. Seperti
ayahnya, ia mengenakan hakama (pakaian tradisional
Jepang yang dipakai kaum laki-laki di atas kimono)
warna merah, lengkap dengan heko obi (ikat pinggang
laki-laki) bersulamkan emas. Sebagaimana keturunan
seorang samurai, meski masih sangat muda, Natane
Yoshioka telah diizinkan membawa daisho (pedang panjang dan pedang pendek) simbol bahwa dirinya seorang
samurai.
Di belakang Omiko terlihat istri Saburo Mishima
dan anaknya. Itzumi, seorang wanita sederhana, dengan dandanan rambut sederhana pula. Namun dari
pancaran sinar matanya, tampak kecantikan luar biasa. Bukan saja kecantikan, namun juga pesona kepribadian yang memukau. Meskipun ia hanya memakai kimono sederhana, namun dari obi densu (ikat
pinggang sutera) yang dikenakan, siapa pun mengetahui bahwa Itzumi istri seorang pembesar istana.
Kojiro, berumur sebelas tahun, sebaya dengan Natane Yoshioka. Perawakannya lebih kecil, namun keberanian dan keteguhan hatinya dapat dirasakan hanya
dengan sekali memandang raut wajahnya. Ia mengenakan kimono sutera berwarna coklat. Berbeda dengan
Yoshioka, rambut Kojiro dikuncir tergerai ke belakang.
Ruangan hening. Pertemuan terasa mencekam.

Pandangan Shogun Ashikaga lurus ke depan, menatap Ishida Mitsunari, seorang samurai kepercayaannya, yang baru saja kembali dari medan perang.
Jadi mereka telah menaklukkan Saburo? Shogun
Ashikaga bertanya. Suaranya keras, berwibawa.
Demikianlah berita yang saya terima. Tiga ratus
pasukan Saburo berhasil dipukul oleh musuh. Tak
seorang pun dibiarkan selamat. Mereka tidak saja menumpas kekuatan kita, tetapi juga mempermalukan
kehormatan kita. Saya dengar, kepala Saburo telah dipenggal, dan ditancapkan di ujung tombak, dijadikan
lambang kemenangan mereka.
Itzumi menoleh cepat, namun wanita itu bertahan
untuk tidak menangis.
Apabila pasukan Saburo telah berhasil mereka
tumpas, tidak ada lagi kekuatan yang dapat mempertahankan istana ini, kata Ashikaga bergetar. Saburo
memimpin prajurit-prajurit terbaikku, kekalahannya
menyebabkan kita tidak memiliki lagi kesempatan untuk menang.
Cepat atau lambat mereka akan sampai kemari.
Bagaimana dengan Takeshi?
Dia saat ini sudah dikepung hampir empat ratus
tentara Nobunaga. Rasanya sulit diharapkan Takeshi
dapat memenangkan pertarungan itu. Sebab kecuali
dua ratus samurai mengepungnya, Nobunaga memiliki
dua ratus senapan arquebuses bikinan Portugis yang
dapat membunuh tentara Takeshi. Sejak pertama,
saya telah mengatakan, Takeshi dan Saburo tidak pantas menghadang pasukan Nobunaga. Mereka bukan
seorang panglima yang pandai mengatur taktik pertempuran.
Dia seorang panglima perang yang dapat diandalkan. Sudah sepuluh tahun ia membuktikan kemahirannya.

Kenyataannya, dia kini tak berdaya menghadapi


musuh.
Ashikaga terdiam sesaat. Sebenarnya ia tak menyukai kata-kata Ishida Mitsunari, tetapi pada saat ini hanya lelaki itu yang dapat dimintai pertimbangan. Sejak
dulu ia mengetahui terjadi persaingan antara Mitsunari dengan Mishima untuk mendekatinya, namun semua masih dapat dimengerti. Beruntung selama ini ia
dapat bertindak bijaksana, sehingga kedua orang itu
tidak pernah terlibat pertikaian yang dapat merugikannya.
Bila Saburo telah tewas, kata Ashikaga lirih, tidak
seorang pun dapat menghalangi Nobunaga masuk ke
dalam istana.
Samar-samar Shogun Ashikaga mendengar suara
gemerincing pedang serta jerit kematian di luar istana.
Menurut Ishida Mitsunari musuh telah mengepung istana. Mereka terus menekan pertahanannya. Pertempuran tampaknya akan segera berakhir dengan kekalahannya. Tidak ada lagi yang dapat menyelamatkannya. Pertikaian panjang dengan Nobunaga akan segera
mengakhiri kekuasaannya. Tetapi Ashikaga tak mau
kalah dan dipermalukan.
Nobunaga akan kubuat memenangkan pertempuran
ini dengan penyesalan. Sejak dulu ia menginginkan istana ini, saatnya istana ini kuberikan, namun dalam
keadaan hancur dan terbakar.
Tiba-tiba seorang samurai menerobos masuk, lakilaki itu terhuyung-huyung di depan pintu, lalu ambruk
ke lantai. Di punggungnya tertancap sebilah naginata
(pedang berbilah panjang) yang berlumur darah.
Tuanku..., rintihnya. Lalu mati.
Semua orang yang berada di ruangan itu terkesiap,
dari pakaiannya dapat diketahui samurai itu adalah
salah seorang pengawal Istana Dalam Kamakura. Ini

merupakan pertanda musuh telah berhasil menerobos


ke dalam.
Mitsunari segera membungkuk sehingga ia bicara
dengan penuh tekanan, Tuanku harus segera mengambil keputusan. Jangan membiarkan mereka mendapatkan kemenangan mutlak.
Aku tahu apa yang harus kulakukan, jawab Ashikaga dengan suara bergetar. Aku akan melakukan
seppuku.
Itulah keputusan seorang ksatria. Saya akan bangga mati dengan mengenangkan kebesaran jiwa Tuanku, kata Ishida sambil membungkukkan badan hingga kepalanya menyentuh lantai.
Hanya kematian yang dapat melindungi kehormatanku, kata Ashikaga lagi. Aku akan menjemputnya
dengan bangga.
Semua orang membungkukkan badan hingga kepala mereka menyentuh lantai. Suatu lambang penghormatan bagi seorang ksatria. Seppuku (bunuh diri
dengan merobek perut) jelas merupakan keputusan
terbaik bagi Ashikaga. Ia tak akan memberi kesempatan bagi musuh untuk memenggal kepalanya dan memamerkan ke rakyat sebagai bagian kemenangan mereka.
Shogun Ashikaga menoleh pada isterinya.
Isteriku, katanya dengan suara berat, aku telah
mengambil keputusan untuk melakukan seppuku. Aku
tak sanggup menanggungkan perasaan malu di hadapan Nobunaga. Keputusan ini kurasakan sangat berat,
karena itu aku tak ingin mempengaruhi dirimu....
Saya akan ikut melakukan seppuku, tukas istri
Ashikaga sambil membungkukkan kepala. Tidak ada
lagi yang kupertahankan. Karena itu saya mohon izin
untuk mengikuti langkah Tuanku.
Bagaimana dengan putramu?

Dia putramu. Biarkan dia juga melakukan seppuku.


Shogun Ashikaga menatap Natane Yoshioka. Anak
berumur sebelas tahun itu membungkukkan badan
dalam-dalam.
Izinkan saya melakukan seppuku, Ayah.
Kau tidak boleh mati! terdengar suara Ashikaga
menggeledek dalam ruangan itu. Kata-katanya mengejutkan semua orang yang berada di tempat itu. Kau
adalah satu-satunya putraku. Kau yang akan membalaskan kekalahan ini. Kuperintahkan padamu untuk
menanggungkan malu orang tuamu, dan suatu saat,
menebusnya kembali dengan kemenangan.
Ayah, saya memilih melakukan seppuku, kata Yoshioka dengan suara bergetar. Maafkan saya dengan
keputusan ini. Bukan maksud saya menentang perintah Ayah, tetapi saya merasa tak sanggup menanggungkan malu.
Kau harus sanggup, potong Ashikaga tegas. Harus ada salah satu keluargaku yang hidup. Kau masih
muda, masih banyak yang dapat kaulakukan. Kecuali
itu, Nobunaga tidak akan membuang-buang waktu untuk mengejarmu.
Sekali lagi Yoshioka membungkukkan badan. Apa
yang dapat saya lakukan?
Mitsunari, kata Ashikaga sambil menoleh pada
samurai kepercayaannya, kuberikan perintah padamu
untuk menyelamatkan putraku. Bawa dia meninggalkan istana secepatnya, lindungilah dengan nyawamu.
Haik! jawab Mitsunari sambil membungkukkan
badan.
Tidak ada apa pun yang lebih berharga dibanding
putraku, karena itu kuminta engkau menjaga keselamatannya. Bila kau gagal, segeralah penggal kepalanya
agar Nobunaga tak sempat mempermalukan keluarga-

ku.
Baik!
Sekonyong-konyong dari luar berlompatan sejumlah
samurai Nobunaga. Seluruh pakaian mereka berwarna
hitam, bahkan kepala dan wajahnya tertutup rapat,
hanya menyisakan lubang mata.
Ninja! desis Ashikaga sambil berdiri untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ia menoleh pada Mitsunari. Rupanya Nobunaga menggunakan pembunuhpembunuh bayaran untuk melawanku. Mitsunari, hadapi mereka!
Baik.
Mitsunari segera mencabut pedang, kemudian mulai menyerang ninja-ninja itu. Sabetan pedangnya membuat seorang ninja terguling dengan leher menganga.
Darah muncrat mewarnai dinding istana.
Lakukan seppuku, Tuanku, kata Mitsunari pada
Ashikaga. Biar saya yang menghadapi mereka.
Shogun Ashikaga yang telah mencabut pedangnya,
segera menyarungkan kembali, kemudian ia bergegas
meninggalkan ruangan itu menuju ke dalam bilik istana. Istri dan anaknya mengikuti dari belakang. Juga
Itzumi dan Kojiro.
Pertempuran sengit terjadi di ruangan istana. Ada
dua puluh ninja melakukan penyerbuan. Rupanya Nobunaga tahu betapa sulit menembus pertahanan apabila hanya mengandalkan tentaranya. Ia menggunakan
ninja untuk melakukan penyusupan. Bagi para pembunuh bayaran itu, tidak ada medan yang tak dapat
ditembus. Benteng istana yang setinggi dua puluh meter, dengan sangat mudah mereka daki, menggunakan
tali dan shuko (cakar pemanjat yang sekaligus berfungsi sebagai senjata). Selain itu, serbuan mereka tidak menimbulkan suara, karena para pembunuh terlatih itu dapat berlari seperti angin. Kaki-kaki mereka

seakan tak menyentuh tanah.


Mitsunari membabat ke kanan ke kiri, tebasannya
menimbulkan suara angin mendesis. Ia kini menghadapi tiga orang ninja, mereka menyerbu dari tiga jurusan, namun dengan ilmu pedang Yagyu, Mitsunari
berhasil menangkis secara bersamaan, lalu menyabetkan pedang dengan ayunan melengkung. Suara tebasan itu mendesis ketika salah seorang ninja itu menjerit dengan tubuh robek. Melihat kawannya ambruk,
salah seorang ninja melempar tombak, Mitsunari berkelit ke kiri, mata tombak itu hanya setengah inci dari
dadanya. Tanpa membuang waktu Mitsunari berguling
mendekati ninja tersebut, dan dalam kecepatan yang
sukar dibayangkan, pedangnya telah menembus tubuh
musuhnya. Ninja ketiga segera mengayunkan rantai
berujung pisau ke arah Mitsunari, namun dengan sigap lelaki tersebut mengeluarkan pedang pendek di
pinggangnya untuk menangkis serangan itu. Rantai itu
membelit pedang tersebut, kemudian dengan kekuatan
penuh, Mitsunari menarik rantai tersebut. Ninja tersebut mengubah taktik, ia mengikuti tarikan tersebut
sambil mencabut belati di pinggangnya untuk menikam, tetapi pada saat tubuhnya melambung, Mitsunari
telah menyongsongnya ke depan sambil membabatkan
pedang panjangnya. Terdengar suara menjerit ketika
pedang itu merobek dada lawan.
Mitsunari segera berbalik, ia melangkah mundur,
membentengi jalan menuju bilik istana. Ada tiga ninja
yang mencoba menerobos pertahanannya, namun dengan bengis Mitsunari membabat tubuh mereka satu
per satu.
Ketika ketiga ninja itu roboh, sejumlah samurai
mengepung Mitsunari. Laki-laki itu tiba-tiba mengibaskan pedangnya untuk membersihkan darah pada
pedang itu.

Saya Ishida Mitsunari, katanya lantang. Kalian


jangan bodoh! Saya yang memimpin penyerbuan di sini!
***
Di pinggiran Kota Kamakura, Saburo Mishima terus
memacu kudanya. Pakaian kebesarannya yang berupa
bilah-bilah besi gemerincing ditiup angin. Tangan kirinya dipakai mengendalikan kuda, sementara tangan
kanannya masih menggenggam pedang panjang. Ia
memacu kudanya dengan cepat. Dada lelaki itu berdebar-debar. Sejumlah bangunan di pinggir istana telah
terbakar. Asap mengepul dari balik benteng. Terbayang
di benak Saburo, penyerbuan di dalam istana.
Di beberapa tempat masih terjadi pertempuran. Pasukan Nobunaga rupanya telah menerobos masuk ke
halaman istana. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan,
sementara rintihan dan lengking jerit kematian terdengar di mana-mana.
Mudah-mudahan aku belum terlambat. Kalau benar
Mitsunari telah berkhianat, sukar mengharap keluarga
shogun dapat diselamatkan. Bangsat itu berada di dalam istana!
Seorang tentara musuh menghadang di jalan dengan tombak, tanpa menghiraukan keselamatannya,
Mishima menyongsong serangan itu. Ketika jarak tinggal satu meter, ia mengayunkan pedang menyilang,
sehingga tombak itu patah menjadi dua. Dan sebelum
penyerang tersebut menyadari apa yang terjadi, Mishima telah menebas lehernya.
Pintu gerbang Istana Kamakura telah terbuka, ratusan pasukan Nobunaga tengah mengamuk. Tetapi mereka memperoleh perlawanan sengit dari samurai istana. Meskipun tampak kekuatan tidak seimbang, namun para samurai istana tidak mau menyerah. De-

ngan semangat bushido (semangat ksatria pantang menyerah) mereka melakukan perlawanan hidup dan mati.
Kepulan asap membubung tinggi, panah-panah api
bertebaran di mana-mana, mayat bergelimpangan, dan
pertempuran sengit masih terus berlangsung.
***
Shogun Ashikaga menatap Natane Yoshioka, laki-laki
itu mencoba tidak menangis. Ia tak ingin memperlihatkan kepedihannya di depan anaknya. Pelan-pelan
ia mengambil pedang miliknya, lalu mengulurkannya
pada Yoshioka.
Yoshioka-san, kuberikan pedang ini padamu, kata
Ashikaga dengan suara penuh tekanan. Pedang Muramasa, lambang kekuasaan Ashikaga. Pertahankan
pedang ini dengan nyawamu.
Baik, Ayah!
Pedang Muramasa adalah pedang keramat keluarga Ashikaga. Ini merupakan lambang kekuasaan di Istana Kamakura. Selama pedang ini berada di tangan
kita, Nobunaga hanya menguasai bangunan-bangunan
istana ini, tetapi tidak jiwanya. Karena itu pertahankan
pedang ini apa pun yang terjadi.
Saya akan menjaganya dengan nyawa saya, Ayah.
Itzumi, Ashikaga memanggil istri Saburo Mishima.
Kau kuperintahkan melindungi putraku keluar istana.
Lindungi dia dengan jiwamu.
Itzumi membungkukkan badan dalam-dalam, Baik,
Yang Mulia!
Apabila kau dapat menyelamatkan putraku, aku
akan mengangkat anakmu Kojiro menjadi daimyo. Janjiku akan kutulis sebagai sumpah keluarga Ashikaga.
Tanpa janji itu pun, saya akan melaksanakan apa
pun perintah Yang Mulia.
Shogun Ashikaga tidak menanggapi ucapan perem-

puan itu, ia mengambil kertas kemudian menulis sumpahnya dengan huruf kanji. Ketika selesai menulis, ia
membubuhkan sidik jarinya di kertas itu.
Yoshioka-san, panggil Ashikaga. Ini adalah sumpahku pada Itzumi. Bila engkau selamat dan berhasil
merebut kembali istana ini, sebagai putraku, kau harus menjalankan sumpah ini.
Baik, Ayah.
Bersumpahlah demi aku dan ibumu.
Saya bersumpah untuk melaksanakannya.
Sekarang kalian pergi, tinggalkan istana ini secepatnya. Biarkan aku dan isteriku menyongsong ajal di
sini.
Natane Yoshioka membungkukkan badan. Pelanpelan ia beranjak untuk memeluk kedua orang tuanya.
Betapa pun mereka menahan kepedihan, namun perpisahan itu tak mampu membendung air mata. Omiko
mendekap Yoshioka dengan berurai air mata.
Jaga dirimu baik-baik, bisik Omiko bergetar.
Baik, Ibu.
Kemudian Yoshioka memeluk ayahnya. Ashikaga
mendekap anaknya sambil menghela napas panjang.
Mata lelaki itu berkaca-kaca.
Selamatkan dirimu, juga Pedang Muramasa, kata
Ashikaga dengan suara datar. Pedang Muramasa adalah kehormatanmu. Kau harus mempertahankannya
sampai mati.
Baik, Ayah.
Sekarang pergi secepatnya.
Kemudian tanpa menoleh, Yoshioka melangkah pergi. Itzumi dan anaknya membuntuti dari belakang. Mereka memasuki lorong rahasia di belakang bilik itu.
Ashikaga memejamkan mata. Pelan-pelan ia membuka pakaiannya. Isterinya dengan penuh penghayatan melipat kembali pakaian suaminya. Dengan te-

nang, Ashikaga membiarkan isterinya membelitkan


kain putih di seputar perutnya. Mereka melakukan
rangkaian upacara seppuku dengan tenang, tanpa terburu-buru, seakan semua memberikan rasa damai
yang abadi.
Sesudah kain putih membungkus perutnya, Ashikaga mengambil sake kemudian minum seteguk.
Ketenangan itu tiba-tiba terganggu, ketika pintu bilik tiba-tiba didobrak dari luar. Terdengar suara hirukpikuk berselang-seling dengan suara gemerincing pedang beradu.
Ashikaga memejamkan mata. Mencoba menyalurkan seluruh enerji di dalam tubuhnya menyatu di dalam perut. Ia menghela napas panjang. Ia merasakan
kehangatan menjalari jiwanya. Ketika semua sudah
menyatu dengan kedamaian di dalam dirinya, lelaki itu
mengulurkan tangan. Isterinya sambil membungkukkan badan, memberikan pisau kepada suaminya.
Sambil menahan napas, Shogun Ashikaga menghunjamkan pisau itu ke perutnya, lalu dengan menahankan rasa sakit yang luar biasa, ia menggerakkan
ujung pisau itu ke atas, ke bawah, ke samping kanan,
dan ke samping kiri, membelah perutnya dengan penuh penghayatan. Darah menyembur, membasahi tubuhnya. Laki-laki itu tetap memejamkan mata, sampai
kekuatannya melemah, dan tubuhnya terguling ke lantai. Ia sekarat. Lalu mati.
Omiko membungkukkan badan, memberikan penghormatan terakhir pada suaminya. Sesudah itu ia
mengambil pisau yang masih tertancap di perut suaminya, kemudian menikam lehernya sendiri.
Bertepatan dengan hunjaman itu, pintu berhasil didobrak dari luar. Ishida Mitsunari masuk ke dalam diikuti sejumlah pengawalnya.
Terlambat! rutuknya geram. Ia melihat Omiko se-

karat meregang nyawa, namun lelaki tersebut tidak


peduli. Kita harus segera mengejarnya, kata Mitsunari sambil menerobos lorong rahasia di belakang bilik
itu. Yoshioka membawa Pedang Muramasa.
Ishida Mitsunari beserta pengawalnya bergegas mengejar Yoshioka.
***
Satu menit sesudah Mitsunari meninggalkan bilik itu,
Saburo Mishima tiba di tempat itu. Laki-laki tersebut
terpana menyaksikan tubuh Ashikaga dan isterinya
yang terkapar tanpa nyawa.
Rupanya mereka telah memilih jalan kematian yang
suci. Nobunaga tak berhasil meraih seluruh kemenangan dalam penaklukan ini.
Dengan khidmat Saburo Mishima membungkukkan
badan, memberikan penghormatan terakhir pada jenazah Ashikaga dan isterinya.
Di mana Natane Yoshioka? Dia tidak berada di sini,
berarti anak itu masih hidup. Selain itu, saya tak melihat Pedang Muramasa di sini. Tidak bisa lain, hal itu
sebagai pertanda shogun telah mengusahakan penyelamatan terhadap putranya. Tetapi siapa yang mengawal dia? Bagaimana pula dengan istri dan anakku?
Mishima melihat pintu di belakang bilik itu terbuka,
tanpa membuang waktu ia berlari menerobos lorong
itu.

***

PENGORBANAN
NATANE YOSHIOKA berjalan bergegas, setengah berlari menyusuri lorong rahasia itu. Di belakangnya tampak tujuh orang pengawal istana, Itzumi, dan Kojiro.
Lorong itu terasa pengap, dindingnya lembab karena berada di bawah tanah. Bahkan di beberapa tempat tampak bocoran air mengalir deras. Rupanya dindingnya mulai rusak, sehingga aliran Sungai Muro di
sisi istana merembes ke bawah. Maklumlah, lorong itu
telah berusia hampir seratus tahun, karena dibangun
ketika Shogun Yoritomo berkuasa.
Meskipun sudah tua, namun hanya tempat perlindungan itulah yang dapat menyelamatkan Natane Yoshioka. Hanya beberapa pengawal istana yang mengetahui
adanya lorong tersebut. Selain Saburo Mishima, hanya
Ishida Mitsunari yang pernah memasuki lorong itu.
Karena merasa aman, Natane Yoshioka berhenti.
Bagaimana kalau kita beristirahat dulu?
Terserah Yang Mulia Yoshioka, jawab salah seorang pengawalnya.
Aku capek.
Itzumi segera mendekati Yoshioka. Sebaiknya kita
jangan berhenti, Yang Mulia. Sesudah menemukan jenazah Shogun Ashikaga, bukan mustahil mereka menemukan pintu lorong ini. Mereka bisa saja berada di
belakang kita.
Berapa jauh kita akan keluar dari lorong ini?
Masih jauh.
Berapa kira-kira jauhnya?
Apa bedanya bagi Yang Mulia?
Saya ingin mengetahuinya.

Suami saya pernah menceritakan mengenai lorong


ini, jauhnya kira-kira tiga puluh mil....
Yoshioka menukas karena terkejut. Tiga puluh mil?
Benar.
Saya harus berjalan kaki sejauh tiga puluh mil?
Tidak ada pilihan lain. Ini satu-satunya jalan keluar bila Yang Mulia ingin selamat.
Saya lebih suka melakukan seppuku.
Samar-samar terdengar langkah kaki di belakang
mereka. Derap kaki bergegas mengejar mereka. Suara
itu bergema, kian lama kian keras.
Itzumi menoleh pada Natane Yoshioka, Kita telah
membuang-buang waktu. Kalau tidak cepat mereka
pasti akan segera menyusul kita. Tak ada waktu lagi
untuk berdebat, kita harus segera pergi.
Salah seorang pengawalnya berkata, Biarkan saya
di sini, Yang Mulia. Saya akan berusaha menghambat
mereka.
Natane menatap pengawal itu dengan penuh rasa
hormat, lalu bergegas ia meninggalkan tempat itu.
Sepuluh menit kemudian Ishida Mitsunari sampai
di tempat itu. Meskipun keadaan agak gelap dan ia sedang terburu-buru, namun lelaki itu tidak kehilangan
kewaspadaan. Ia melihat kilauan pedang terayun ke
arahnya, secara refleks ia berkelit ke kanan, kemudian
menebaskan pedang ke perut penyerangnya. Terdengar
jeritan melengking ketika pengawal Yoshioka merasakan perutnya robek. Ketika tubuhnya rubuh di tanah,
Mitsunari kembali menikam punggung lelaki itu.
Mereka tidak jauh dari kita, kata Ishida Mitsunari
bengis. Kejar mereka!
***
Natane Yoshioka berhenti ketika mendengar lengkingan
kematian pengawalnya. Dadanya menjadi berdebar-

debar. Meskipun sudah terlatih sebagai seorang samurai, namun di dalam hatinya muncul pula sedikit rasa
takut. Dengan bimbang ia menatap Itzumi, ingin mendapatkan pegangan moral.
Mereka telah membunuhnya, kata Yoshioka lirih.
Jangan dihiraukan, Yang Mulia, kata Itzumi penuh tekanan. Kematian bisa terjadi di mana-mana.
Sekarang kita harus lari lebih cepat.
Kenapa kita harus lari?
Kita tak mungkin melawan mereka. Untuk keselamatan Yang Mulia, kita harus lari.
Yoshioka membantah ketus, Lari hanya untuk orangorang pengecut.
Kita lari karena menjalankan perintah Shogun Ashikaga. Tidak seorang pun ingin disebut sebagai pengecut. Tetapi lari karena menjalankan perintah shogun, sama mulianya dengan melakukan seppuku.
Natane Yoshioka terdiam. Ia membenarkan ucapan
Itzumi. Karena itu ia berkata, Kita akan lari, tetapi harus ada yang menghambat mereka.
Biarkan saya menghambat mereka, jawab dua orang
pengawal secara bersamaan.
Baiklah. Hati-hatilah kalian menghadapi mereka.
Nyawa kami taruhannya, Yang Mulia.
Sesudah diam sejurus, Natane Yoshioka berbalik,
lalu kembali berlari. Baru lima menit ia meninggalkan
tempat itu, Mitsunari muncul. Pertarungan pun terjadi. Dua pengawal itu dikepung enam orang pengawal
Mitsunari. Suara pedang beradu terdengar bergema di
dalam lorong itu, namun tidak berlangsung lama, keenam samurai yang mengawal Mitsunari dengan mudah
merobohkan lawan mereka.
Saya pastikan mereka tidak jauh dari sini, kata
Mitsunari pada pengawalnya. Dapatkan mereka secepatnya. Aku ingin menyambut kedatangan Shogun No-

bunaga lengkap dengan kepala Yoshioka dan Pedang


Muramasa!
Kejar-kejaran itu terjadi dengan penuh ketegangan.
Sampai akhirnya Natane Yoshioka ambruk di tanah
karena kelelahan. Anak itu terengah-engah. Seluruh
tubuhnya berkeringat. Napasnya serasa mau putus.
Mereka kini sampai di sebuah ruangan yang cukup
luas, dengan sebuah patung Budha di tengahnya. Ini
tentu kuil di dalam lorong itu. Ada dua buah lubang
angin di langit-langit sehingga cahaya matahari masuk
ke dalam. Ruangan itu menjadi agak terang.
Saya... tidak kuat lagi, kata Yoshioka terengahengah sambil duduk di sebuah batu hitam.
Itzumi menukas, Itu bukan ucapan seorang samurai. Semangat bushido adalah pantang menyerah.
Aku akan menghadapi mereka.
Itu namanya bunuh diri.
Apa bedanya dengan seppuku?
Sangat berbeda. Seppuku dilakukan untuk menjaga
kehormatan ketika kita berada dalam ancaman. Tetapi
perlawanan yang akan Yang Mulia lakukan, tak lebih
bunuh diri secara konyol, karena kita tahu Yang Mulia
tak mungkin menang. Kecuali itu, saat ini Yang Mulia
menanggungkan kewajiban untuk menyelamatkan diri.
Kewajiban itu sama harganya dengan seppuku.
Natane Yoshioka menghela napas panjang. Ia menatap Kojiro, anak Itzumi yang juga berusia sebelas tahun, sama dengannya. Anak itu sejak awal melakukan
pelarian, tidak pernah mengeluh. Wajahnya membeku,
menahankan rasa lelah yang sudah pasti menggerogoti
kekuatannya.
Ia seorang calon samurai sejati.
Baiklah, mari kita berangkat....
Terlambat! tiba-tiba terdengar suara Ishida Mitsunari.

Laki-laki itu muncul diiringi pengawalnya. Mereka


langsung melakukan pengepungan. Natane berdiri
dengan terperanjat. Ia melangkah mundur, sementara
Itzumi maju untuk melindunginya.
Ishida Mitsunari, apa yang engkau lakukan dengan
pengepungan ini? Itzumi bertanya heran. Bukankah
Shogun Ashikaga memerintahkan engkau melindungi
putranya?
Saya akan segera mengirimnya ke sorga, kata Mitsunari dingin. Setelah kedua orang tuanya, hanya
tinggal dia yang menjadi ancaman Shogun Nobunaga,
aku akan melengkapi kemenangannya dengan mempersembahkan kepala Yoshioka dan Pedang Muramasa.
Pengkhianat! desis Itzumi geram, serta merta ia
mencabut pisau di pinggangnya. Kau tak lebih samurai bayaran. Tak punya kehormatan!
Kehormatanku adalah pangkat sebagai seorang
daimyo, kata Mitsunari sambil tersenyum sinis. Nobunaga telah menjanjikan apabila aku berhasil membantunya merebut Istana Kamakura, dia akan mengangkatku sebagai daimyo di sini. Aku tidak sebodoh
suamimu yang seumur hidup bersedia menjadi budak
Ashikaga. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang
daimyo yang kaya raya.
Dia lebih terhormat dibanding dirimu.
Apa artinya kehormatan dibanding kekuasaan yang
bakal kuperoleh?
Tak ada artinya karena engkau memang tidak pantas menyandang kehormatan sebagai seorang samurai.
Kau tak lebih begundal busuk tanpa martabat!
Seusai berkata begitu, Itzumi memerintahkan pengawalnya mulai menyerang. Pertempuran pun terjadi.
Kilatan-kilatan pedang menimbulkan suara berdenting. Bunga api berpijar setiap kali pedang mereka beradu. Namun dalam beberapa menit sudah terlihat sia-

pa yang bakal memenangkan pertarungan itu. Pengawal Natane Yoshioka satu per satu rubuh dengan luka
menganga di tubuhnya.
Ketika semua pengawalnya telah binasa, Itzumi bergerak mundur melindungi Natane Yoshioka dan anaknya.
Kau harus membunuhku terlebih dulu sebelum
membunuh mereka, kata Itzumi dengan api kemarahan meluap-luap.
Ishida Mitsunari melangkah ke depan, mendesak
mereka ke dinding. Sambil tersenyum, laki-laki itu
berkata, Apa susahnya membunuhmu?
Kalau begitu lakukanlah!
Aku akan menikmati kemenanganku. Sesudah membunuhmu, aku akan membunuh anakmu. Baru sesudah itu aku akan memenggal kepala Yoshioka....
Belum selesai Mitsunari bicara, tiba-tiba Itzumi menyerang dengan pisau di tangannya. Laki-laki tersebut
hanya sedikit berkelit, lalu dengan bengis mengayunkan pedang merobek punggung wanita itu. Itzumi merasakan kepedihan menyeruak ke dalam tubuhnya, ia
berbalik, dan ia melihat Mitsunari kembali mengayunkan pedang membelah tubuhnya.
Ketika tubuh Itzumi melayang sebelum ambruk ke
tanah, Saburo Mishima muncul dari lorong yang gelap.
Hanya sekilas ia melihat tubuh isterinya bermandikan
darah, karena saat itu para samurai di ruangan itu telah menyerangnya.
Kau benar-benar jahanam! teriak Mishima marah.
Kau telah mengkhianati Shogun Ashikaga.
Nobunaga akan mengangkatku sebagai daimyo Kamakura.
Kau tak akan pernah mendapatkan kehormatan
itu, kau terlalu rendah sebagai seorang samurai.
Bungkam mulutnya!

Pengawal Mitsunari segera bergerak menebas, tetapi


kemarahan Mishima telah menjadikan kekuatannya
berlipat ganda. Ia menangkis, kemudian berputar sambil menebas musuhnya. Seperti seekor banteng luka,
lelaki itu menyerang musuhnya dengan penuh kemarahan. Satu per satu musuhnya tumbang dengan luka
yang sangat dalam. Tidak lebih sepuluh menit, seluruh
pengawal Mitsunari telah berhasil dibinasakan.
Permainan pedangmu masih bagus, puji Mitsunari
sambil berputar, siap menghadapi serangan.
Saburo Mishima tidak menggubris pujian itu, ia kini
menyilangkan pedangnya di depan mata secara horisontal, matanya yang tajam mengikuti setiap gerak kaki musuhnya. Ia tahu siapa yang tengah ia hadapi.
Ishida Mitsunari adalah murid perguruan Yagyu yang
sangat disegani. Dahulu lelaki itu hanya seorang shugyosa (samurai pengembara). Berkat permainan pedangnya ia akhirnya bisa menjadi pengawal Shogun
Ashikaga. Tidak seorang pun meragukan kehebatan
permainan pedangnya.
Mitsunari menggenggam pedang dengan kedua tangannya ke samping kanan, pelan-pelan ia menggeser
kaki ke kiri. Kedua matanya menatap tajam pada mata
lawannya.
Jurus Sabetan Pedang Pelangi, kata Mishima dalam hati. Rupanya ia ingin menebas leherku dengan jurus terhebat Yagyu.
Saburo segera mengubah posisi, ia menggenggam
pedang lurus di atas kepala. Ini adalah jurus Pedang
Halilintar. Bila Sabetan Pedang Pelangi mengutamakan kecepatan, sebaliknya, jurus Pedang Halilintar
mempertaruhkan semua pada kekuatannya.
Mereka bergerak perlahan, menghitung setiap inci
gerakan lawan dengan teliti. Ketegangan kian memuncak. Natane Yoshioka dan Kojiro memperhatikan perta-

rungan itu dengan berdebar-debar.


Tiba-tiba dengan raungan panjang, Mitsunari menyerbu lawan. Ia menebas leher Saburo, tetapi sebelum pedang mengenai sasaran, pedang Saburo telah
menghantamnya, bunga api berpijar. Mitsunari berbalik sambil menebas perut lawan, kali ini Saburo mundur dua langkah, kemudian melompat ke kanan sambil mengirimkan tikaman. Sekali lagi terdengar suara
pedang beradu, kemudian mereka kembali memasang
kuda-kuda.
Kini Saburo Mishima yang menyerang, ia menikam
dada musuh dengan kedua tangannya, Mitsunari berkelit sambil menebaskan pedang ke pinggang lawan.
Mishima mencabut pisau kecil di pinggang untuk menangkis serangan itu. Lalu dengan kekuatan penuh ia
membabat kepala musuhnya. Dengan kecepatan sepersepuluh detik Mitsunari menyadari serangan itu,
namun ia terlambat menghindar, sabetan pedang Mishima mengenai wajahnya. Mata lelaki itu mengucurkan darah dengan luka memanjang hingga ke pipi.
Pandangan Mitsunari menjadi kabur. Kecuali hanya
mata sebelah kanan yang berfungsi, darah, dan rasa
pedih membuat lelaki itu sangat terganggu.
Jahanam, rutuk Mitsunari menggeram.
Dengan amarah meluap-luap lelaki itu kembali menyerang. Ia menyabetkan pedang dengan penuh nafsu.
Serbuan itu membabi buta, sabetan pedangnya bagai
taufan yang memburu ke mana pun musuh menghindar. Saburo Mishima menyadari ia tidak boleh lengah.
Sedetik saja ia lengah, maut akan menyergapnya.
Meski telah terluka, namun serangan Mitsunari tetap
berbahaya. Ingatannya melayang kembali ke perguruannya, saat itu ia menghadapi musuh yang sangat
bernafsu mengalahkannya.
Nafsu hanya dapat dikalahkan oleh kesabaran,

kata gurunya ketika itu. Kau harus sabar menemukan


titik lemah lawan. Hanya dengan kesabaran, jalan kemenangan akan terbuka....
Saburo Mishima menghindar, melompat ke belakang,
sementara Mitsunari terus memburunya. Lelaki tersebut seakan ingin segera menyudahi pertarungan itu.
Saat Saburo berada di belakang tiang gua, Mitsunari
menebas sekuat tenaga, tiang bambu itu terpotong
menjadi dua. Karena kehilangan tiang penyangga, tanah
di atasnya berguguran ke bawah, Mitsunari menutup
mata, kesempatan yang hanya sepersekian detik itu tak
disia-siakan oleh Saburo, ia bergulingan sambil menebas kaki musuhnya. Terdengar jeritan melengking ketika Mitsunari roboh ke tanah. Kaki kirinya putus.
Ketika kesadaran Mitsunari mulai pulih, ia merasakan ujung pedang Mishima menempel di lehernya.
Kau kalah, kata Saburo Mishima dengan bibir gemetar.
Bunuhlah aku, kata Mitsunari sambil merintih.
Lengkapi kemenanganmu dengan kematianku.
Kau bukan seorang samurai. Aku tidak akan membunuhmu karena tidak ada harganya.
Jangan membuatku merasa terhina.
Kau memang hina, tukas Mishima dingin. Tidak
ada yang lebih hina dibanding seorang samurai yang
berkhianat. Kau lebih nista dibanding shugyosa. Aku
akan membiarkan dirimu tetap hidup agar kau mengerti arti kehinaan dirimu.
Saburo menarik pedangnya.
Kenapa kau tidak membunuhnya? tiba-tiba Natane Yoshioka bertanya. Dia seorang pengkhianat.
Saburo membungkuk hormat. Kemudian menjawab,
Dia telah kehilangan sebuah mata dan satu kakinya,
ia tak akan pernah lagi hidup sebagai seorang samurai, lebih-lebih menjadi daimyo seperti keinginannya.

Dia akan menanggungkan penghinaan seumur hidupnya. Kematian hanya akan membuatnya senang, karena tak harus merasakan penderitaan.
Tetapi dia masih dapat melakukan seppuku.
Itu tidak akan dilakukannya, karena sebagai samurai ia sudah tidak berhak melakukannya. Ia tahu, dengan bunuh diri, jiwanya tidak akan diterima di sorga.
Bunuhlah aku, Saburo, terdengar Mitsunari merintih. Jangan biarkan aku menanggungkan malu.
Engkau tidak akan mendapatkan kematianmu dari
tanganku.
Lakukanlah. Sebagai sahabat, kumohon kau mau
melakukannya, Saburo.
Kau sudah bukan sahabatku, Mitsunari. Musuh
pun kau musuh yang paling hina.
Saburo... penggallah kepalaku... kumohon....
Saburo Mishima menatap dingin. Kemudian pelanpelan ia mendekati jenazah isterinya. Dengan perasaan
sedih ia mendekap wanita itu. Ia benamkan kepala isterinya ke dalam pelukannya. Ia merasakan seluruh tubuhnya bergetaran. Napasnya memburu. Jiwanya bergolak. Penuh berisi kepedihan, kemarahan, dan keharuan
sekaligus. Ia tak menyangka isterinya berani menebus
kesetiaannya kepada Ashikaga dengan nyawanya.
Apa yang sekarang akan kita lakukan? Yoshioka
tiba-tiba bertanya.
Saburo Mishima tersadar. Dia menoleh pada Yoshioka dengan perasaan malu karena tak dapat menahan
perasaan. Ketika mengangkat muka, ia melihat tatapan
polos anak itu.
Sebaiknya kita segera berangkat, kata Mishima
kemudian. Orang-orang Nobunaga masih terus mengejar kita.

***

TERKEPUNG DI BUKIT
ANGIN lembut bertiup dari Tenggara, membawa bau
tanah, air, dan bunga sakura. Saat itu telah memasuki
musim semi, namun udara dingin masih terasa membekukan pori-pori kulit. Salju tipis masih terlihat menyapu ujung daun dan pepohonan, juga pada kuntumkuntum bunga sakura yang pucuk-pucuknya mulai
mekar.
Saburo Mishima menancapkan kayu di atas kubur
isterinya. Ia jongkok di depan makam itu sambil berdoa. Dada laki-laki itu penuh pergolakan; kepedihan,
kemarahan, kekecewaan, dan hasrat pembalasan dendam berbaur menjadi satu. Semua seakan lava gunung
yang siap meledak. Namun sebagai seorang samurai
sejati, ia diam. Meredam gelombang di dalam dirinya
hingga tak seorang pun mengetahuinya. Kecuali itu, ia
sendiri tak ingin memperlihatkan kepedihan pada Yoshioka dan Kojiro.
Selintas kenangan muncul, saat-saat ia pertama
kali memasuki Kamakura, setelah selama bertahuntahun menekuni ilmu pedang di Gunung Fuji. Pada
waktu itu Shogun Ashikaga tengah mencari pengawal
istana, karena wilayah Kamakura sering diserang para
ronin (kaum samurai liar). Hampir setiap hari terjadi
perampokan di wilayahnya. Lumbung padi dan rumahrumah di pinggir kota, setiap saat didatangi perampok
yang bertindak kejam. Kadang bukan hanya harta
yang dirampas, tetapi mereka juga memperkosa para
wanita.
Saburo bertugas di Desa Oji, sepuluh kilometer dari
Kamakura. Ia menjaga kampung itu bersama Ishida

Mitsunari. Suatu malam mereka mendengar jeritan dari pinggiran desa, enam perampok telah menguras isi
rumah itu. Ketika meninggalkan rumah tersebut, mereka membawa serta anak perempuan pemilik rumah.
Saburo dan Mitsunari segera bertindak. Dalam sebuah
pertarungan, mereka berhasil membunuh keenam perampok itu.
Ketika para penjahat sudah tewas, Saburo melihat
seorang gadis kecil, kira-kira berusia enam belas tahun, menatapnya dengan penuh kekaguman.
Arigato gozaimasu, gadis itu berterima kasih sambil membungkukkan badan.
Gozaimasuka, balas Saburo dengan sikap yang
sama.
Itulah pertemuan pertama dengan Itzumi. Enam bulan kemudian Saburo meminang gadis tersebut sebagai
isterinya. Sesungguhnya Ishida Mitsunari juga jatuh
hati pada Itzumi, namun lelaki tersebut berusaha tidak
memperlihatkan perasaannya.
Sebagai seorang istri, Itzumi sangat membahagiakan. Ia memberikan segala-galanya pada Saburo; kesetiaan, cinta, pelayanan seks, pengertian, dan seorang
anak laki-laki. Mereka menamakan anak itu Kojiro.
Anak itu tumbuh dengan cepat. Ia memiliki enerji yang
seakan tak pernah habis, dan otot-otot yang kuat.
Dia kelak akan menjadi seorang samurai yang hebat, kata Saburo pada isterinya.
Itzumi tersenyum. Aku sudah dapat merasakannya
sejak ia ada dalam kandungan. Gerakan kaki dan tangannya terlampau kuat untuk seorang bayi.
Mungkin ia sudah belajar silat di dalam perutmu.
Mungkin, jawab Itzumi sambil tersenyum. Seperti
ayahnya.
Saburo Mishima tersenyum, kemudian mendekap
isterinya dengan mesra. Ia mencium bibir wanita itu

dengan gemas. Mereka berpelukan, lalu bergulingan di


atas futon (kasur tipis yang digelar di lantai).
Itulah saat-saat bahagia yang tak terlupakan.
Ketika akhirnya Saburo Mishima diangkat sebagai
pengawal istana, isterinya menjadi teman istri Shogun
Ashikaga. Mereka bersahabat, karena keduanya memiliki anak yang sebaya. Natane Yoshioka sering berlatih
kendo (ilmu pedang) dengan Kojiro. Mereka mengisi
hari-hari kosong, dengan belajar ilmu pedang di sebuah dojo (tempat berlatih bela diri) yang berada di
lingkungan istana. Saburo melatih mereka bagaimana
cara memegang pedang, dan menggunakannya untuk
menyerang atau menangkis. Pada saat-saat seperti itu,
Itzumi sering datang membawakan makanan untuk
mereka. Seusai berlatih kendo, biasanya mereka minum sake dan menikmati dengaku (makanan khas Jepang yang dibuat dari tahu yang dipanggang kemudian
ditaburi taocho).
Perkembangan pelajaran kendo yang diberikan Saburo, sangat dihargai oleh Shogun Ashikaga, karena
itu ia kemudian diangkat sebagai guru resmi Natane
Yoshioka. Sejak saat itu, Ashikaga menyuruh Natane
memanggil Saburo dengan sebutan sensei atau guru.
Pada mulanya Saburo agak keberatan, namun sebagai
seorang samurai, ia pantang membantah permintaan
shogun.
Shogun Ashikaga telah memberikan pada kita semua yang tidak terduga, kata Itzumi suatu hari ketika
mereka berbaring di kamar hanya berdua. Aku sendiri
tidak pernah membayangkan suatu saat akan tinggal
di dalam lingkungan istana.
Aku pun tidak pernah menduganya.
Karunia ini harus kita balas.
Dengan apa?
Kesetiaan.

Aku setia padanya.


Aku pun demikian.
Bagaimana denganku, apakah engkau tidak akan
setia padaku?
Itzumi tersenyum, ia mengecup bibir suaminya dengan mesra. Jangan khawatir, bisiknya lirih. Aku
akan setia padamu melebihi kesetiaanku pada siapa
pun juga.
Juga dengan kesetiaanmu pada Shogun Ashikaga?
Kesetiaanku padamu berbeda dengan kesetiaanku
padanya, kata Itzumi tanpa tekanan. Tetapi sama hebatnya.
Tak pernah diduga, kesetiaan pada keluarga Ashikaga, harus ditebus oleh Itzumi dengan nyawanya. Satu hal yang membuat kemarahan Saburo seperti tak
tertahankan, ternyata kematian isterinya justru di tangan Ishida Mitsunari!
Berapa lama kita akan berada di sini, Sensei? tiba-tiba Natane Yoshioka bertanya pada Saburo.
Kita harus menunggu sampai keadaan benar-benar
aman. Nobunaga saat ini pasti terus melakukan pencarian. Dia tidak akan berhenti sebelum berhasil memenggal kepala Anda.
Kita benar-benar seperti penjahat yang dikejar-kejar
pemburu.
Hidup Anda merupakan ancaman baginya. Karena
itu Nobunaga pasti bersedia membayar berapa pun untuk memastikan kematian Anda.
Natane Yoshioka terdiam. Pandangannya menyapu
panorama di sekitarnya. Dari tempat mereka berdiri,
tampak keindahan Kota Kamakura. Kecuali dua sungai
yang mengapit istana, terlihat desa-desa di sekitarnya.
Lalu jauh di belakang, tampak menjulang Gunung Fuji
dengan salju abadinya.
Kabut transparan yang menyelimuti bukit itu, tak

menutupi panorama indah bunga-bunga sakura yang


mulai bermekaran. Warna kuning dan merah menjadikan titik pandang yang menawan.
Telah tiga hari mereka bersembunyi di bukit itu. Setiap hari hanya makan buah-buahan dan membakar
ikan yang dapat mereka tangkap di sungai yang mengalir di bawah bukit tersebut. Biasanya Saburo menuruni bukit menjelang fajar, ia akan kembali sesaat sebelum matahari terbit. Biasanya ia membawa beberapa
ikan yang berhasil ditangkap dengan tombaknya.
Dua kali ia hampir kepergok patroli pasukan Nobunaga, karena itu Saburo kemudian bersikap lebih hatihati. Bila tidak perlu sekali, ia tidak menuruni bukit.
Bagi Saburo, sesungguhnya bukan sesuatu yang sulit
untuk meninggalkan bukit itu, tetapi dua anak tersebut merupakan persoalan tersendiri. Lebih-lebih Natane Yoshioka yang masih mengenakan pakaian istana. Anak itu dengan mudah menarik perhatian orang
yang melihatnya.
Kita harus keluar dari sini, kata Natane Yoshioka
tanpa berpaling pada Saburo. Ini sikap yang sangat
khas pada keturunan Ashikaga itu. Meskipun usianya
baru sebelas tahun, namun sikap dan perilakunya memperlihatkan kharisma seorang shogun. Sikap tersebut
mengandung sedikit kesombongan, sekaligus pancaran
benih-benih kekuasaan. Cepat atau lambat, pasukan
Nobunaga akan sampai di sini. Bila mereka berhasil
menemukan persembunyian kita, rasanya kita tak
mungkin memiliki kesempatan untuk meloloskan diri.
Bagaimana pun kita harus mencari jalan keluar, Sensei.
Semua jalan telah dikepung. Bahkan Nobunaga menempatkan tentaranya di setiap jarak dua ratus meter.
Ia benar-benar tak membiarkan kita keluar dari tempat
ini.

Bila dia mempersempit pengepungannya, kita pasti


tertangkap.
Itulah yang sekarang sedang saya pikirkan.
Tidak adakah penduduk di sekitar tempat ini yang
dapat menolong....
Sekarang bukan saatnya untuk mengharapkan
pertolongan orang lain, tukas Saburo cepat. Kita tidak tahu apa-apa. Dalam keadaan seperti saat ini, setiap orang dapat menjadi pengkhianat untuk keselamatan dirinya. Jangan mempercayai siapa pun.
Menurut Sensei, berapa lama kita dapat bertahan
di sini?
Tidak akan lama lagi.
Lalu ke mana kita akan pergi?
Itulah yang sedang saya pikirkan.
Bagaimana kalau kita ke Edo?
Ke Edo atau ke mana pun sama saja. Persoalannya
adalah bagaimana cara keluar dari kepungan tentara
Nobunaga. Mereka sekarang berada di mana-mana.
Sepertinya tidak ada tempat yang tidak dijaga.
Tidak mungkinkah di antara mereka ada yang masih setia pada ayahku?
Mungkin ada. Mungkin tidak. Kita tidak dapat mengetahuinya.
Bagaimana cara terbaik untuk mengetahuinya?
Turun ke desa terdekat.
Itu gagasan bagus!
Tetapi cara itu mengandung risiko.
Apa risikonya?
Bila mereka berpihak pada Nobunaga, dalam waktu singkat kita akan menghadapi bahaya besar. Mereka akan membongkar seluruh bukit ini untuk menemukan Anda.
Itu lebih baik daripada kita berdiam diri di sini seperti orang terpenjara.

Saburo Mishima membungkukkan badan. Bolehkah saya mencegah Anda?


Sebaiknya tidak, jawab Natane Yoshioka enteng.
Saya ingin membuktikan seberapa besar kesetiaan
rakyat pada ayahku. Besok, menjelang fajar menyingsing, saya akan turun ke desa terdekat. Kita akan tahu
seberapa besar sesungguhnya bahaya yang kita hadapi.
Apakah tidak berbahaya?
Saat ini tidak ada yang tidak berbahaya. Apa pun
risikonya, kita harus berani menghadapinya.
Pernahkah saya mengajarkan pada Anda, Yoshioka-san, tentang ajaran Soen Tzu mengenai sebuah pengepungan?
Rasanya belum.
Maukah Anda mendengarkannya?
Coba katakan.
Soen Tzu adalah seorang panglima perang Cina
yang sangat terkenal. Pada lima ratus tahun sebelum
Masehi, ia telah menuangkan buah pikirannya mengenai strategi militer dalam buku yang diberi judul Seni
Berperang. Satu ajarannya mengatakan: Jika lawan
kuat di segala posisi, bersiap-siaplah untuk menghadapinya. Jika lawan lebih kuat, menghindarlah! Kita sekarang tahu, pasukan Nobunaga jauh lebih kuat dibanding kita bertiga, bukankah kita lebih baik menghindarinya saja?
Kenapa kita harus berguru pada orang Cina?
Kita dapat belajar tentang kebijaksanaan hidup dari siapa pun juga.

***

NOBUNAGA
KOTA Kamakura seketika senyap. Udara diliputi ketegangan. Angin yang masih membawa bau anyir darah,
bertiup sepoi-sepoi. Debu dan sampah beterbangan di
jalan-jalan.
Orang-orang berdiri di tepi jalan, mereka berkumpul
untuk menyambut kedatangan Nobunaga. Dalam sebuah prosesi arak-arakan yang panjang, disertai iringan suara genderang, Nobunaga memasuki Kamakura
dengan penuh kemenangan. Iring-iringan itu hampir
satu kilometer panjangnya, terdiri dari dua ribu pasukan dari berbagai jenis tentara. Dimulai dengan barisan genderang yang ditabuh lelaki-lelaki bertelanjang
dada. Mereka mengenakan kain merah sebatas pinggang, dan ikat kepala warna putih. Suara genderang
itu ditabuh bertalu-talu, sebagai isyarat agar penduduk membungkuk, memberikan hormat pada Shogun
Nobunaga. Menurut kepercayaan mereka, suara genderang itu merupakan pengusir bala bagi mereka.
Di belakang penabuh genderang, tampak seratus
orang pasukan tombak yang membawa bendera warna
merah dengan gambar naga, lambang kebesaran Nobunaga. Mereka melangkah tenang, namun waspada.
Rambut mereka tersimpan dalam topi warna merah,
sama dengan warna bendera.
Di belakang pasukan pembawa tombak itulah, Shogun Nobunaga duduk di atas pelana seekor kuda warna hitam, melenggang memasuki istana Kamakura dengan gagah. Seluruh tubuhnya dibalut pakaian perang,
kain brokat warna merah dengan hiasan gambar naga
dari benang emas. Dari bahu, siku, pergelangan ta-

ngan, lutut, dan betisnya dilindungi keping-keping besi


pelindung bagian tubuh dalam pertempuran. Ia mengenakan sarung torso yang menutupi bagian dada
hingga perut, berupa sisik-sisik besi berwarna emas.
Lehernya ditutup kerah besi warna hitam, bahunya dilindungi cukin terbuat dari baja, sementara kepalanya
mengenakan pelindung terbuat dari bilah-bilah besi
yang penuh hiasan. Di pinggangnya terselip pedang
panjang dan pendek yang dilapisi emas. Tatapan matanya tajam. Kumisnya yang panjang dan jenggotnya
yang lebat mempertegas kewibawaan lelaki itu. Sinar
matanya menyapu ke setiap lorong kota, seakan ingin
mengatakan bahwa segalanya kini telah menjadi miliknya.
Nobunaga adalah seorang samurai sejati yang berhasil menjadi penguasa di Jepang. Ia lahir di Kiyoto, di
sebuah dusun kecil tempat perguruan Yagyu didirikan.
Ayahnya seorang samurai, sementara ibunya seorang
petani yang mencari uang dengan membuat tatami.
Sejak kecil, ayahnya memang mengharapkan anaknya
menjadi samurai. Meskipun isterinya menentang keinginan itu, namun ayah Nobunaga tak peduli. Hampir
setiap hari ia melatih anaknya bermain pedang. Ketekunan ini akhirnya membuahkan hasil. Pada usia
enam tahun, Nobunaga telah berhasil menguasai ilmu
pedang ayahnya.
Pada usia enam belas tahun, ayahnya memasukkan
anaknya ke perguruan Yagyu, sebuah perguruan silat
yang sangat termasyhur dengan permainan pedangnya. Di sini bakat Nobunaga berkembang pesat. Permainan pedangnya tak terkalahkan oleh siapa pun.
Bahkan ia berhasil menaklukkan dua belas samurai
dalam sebuah pertarungan sengit. Disiplin yang diterapkan ayahnya sejak kecil, telah membentuk semangat bushido dalam dirinya. Ia selalu pantang menye-

rah.
Tetapi kehebatan permainan pedang itu, tidak berpengaruh apa-apa dalam kehidupannya. Ia tetap hidup
dalam kemiskinan. Para shogun dan daimyo (penguasa-penguasa wilayah) sebagian besar hanya memperkaya diri sendiri. Mereka tidak memikirkan kehidupan
kaum samurai yang sesungguhnya menjadi benteng
pertahanan di wilayahnya. Hingga pada suatu hari,
Nobunaga menjumpai ayahnya terluka parah karena
melawan perampok. Daimyo Kawabata, tempat di mana
ayahnya mengabdi, justru mempersalahkan ayahnya
karena gagal mengusir perampok. Bahkan sehari sesudah ayah Nobunaga meninggal, Kawabata mengusir
keluarganya. Sejumlah samurai suruhan Kawabata,
membakar rumah Nobunaga.
Nobunaga marah. Sangat marah. Dengan pedang
milik ayahnya, Nobunaga melabrak Daimyo Kawabata.
Seorang diri ia menghadapi tiga puluh orang samurai.
Sebuah pertarungan antara hidup dan mati terjadi.
Dan Nobunaga keluar sebagai pemenang. Ia musnahkan seluruh keluarga Kawabata, lalu mengangkat diri
sebagai daimyo di wilayah itu.
Itulah titik tolak kemasyhuran Nobunaga. Dengan
memimpin para samurai yang berhasil ia kalahkan, satu per satu wilayah di sekitarnya ia taklukkan.
Kaisar Yoritomo, yang pada waktu itu berkuasa di
Jepang, merasa gentar menghadapi Nobunaga. Karena
itu ia segera mengirim utusan untuk mengangkat Nobunaga sebagai shogun. Dengan mengangkatnya sebagai shogun, Kaisar berharap dapat menghentikan perebutan kekuasaan di wilayahnya. Ternyata ia keliru.
Nobunaga justru semakin bersemangat menaklukkan
daerah-daerah di sekitarnya.
Aku memimpikan hanya ada seorang shogun di bawah kaisar, kata Nobunaga suatu hari. Karena hanya

dengan penguasa tunggal, tahta dapat dipertahankan.


Kekuasaan yang terbagi-bagi, merupakan benih perlawanan yang berbahaya. Aku tidak menghendaki hal
seperti itu terjadi. Bila hanya ada Shogun Nobunaga di
Jepang, negeri ini pasti akan lebih menyenangkan. Tidak ada pertikaian atau pertempuran atau perebutan
wilayah kekuasaan.
Sikap itulah yang kini terpancar di sinar mata Nobunaga ketika ia menuju istana Kamakura.
Di belakang Nobunaga, tampak tandu-tandu yang
dipikul sejumlah orang, berisi para geisha (wanita penghibur) yang siap melayani Nobunaga. Meskipun mereka tersembunyi dalam tandu, namun semua orang
mengetahui, Nobunaga memiliki geisha-geisha yang
terkenal kecantikannya. Bahkan satu di antaranya,
menurut desas-desus, mempunyai kekuasaan melebihi
istri Nobunaga sendiri.
Naoko, salah seorang geisha berasal dari Fujiwara,
memiliki kecantikan luar biasa.
Di belakang geisha itu, berbaris lebih dari seribu
pasukan, yang terdiri dari samurai-samurai sejati. Semua membawa dua pedang, sebagai pertanda bahwa
mereka adalah samurai yang mengabdi pada penguasa. Meskipun pakaian mereka warna-warni, tak seorang pun memakai warna merah, warna yang hanya
boleh dikenakan oleh Shogun Nobunaga. Rambut para
samurai diikat di atas kepala, dengan rambut di dahi
dicukur habis, hingga mempertegas garis keras pada
wajah mereka. Celana dan lengan baju mereka yang
besar, melambai-lambai tertiup angin seiring dengan
langkah mereka.
Penduduk Kamakura langsung membungkukkan
kepala pada saat Nobunaga lewat di depan mereka.
Suasananya terasa mencekam. Suasana itu semakin
menekan perasaan, karena di kanan kiri jalan, atas pe-

rintah Nobunaga, banyak berdiri tiang gantungan yang


dipakai menggantung para samurai yang telah mereka
kalahkan. Dalam jarak tiga kilometer dari gerbang istana, ada hampir lima ratus tubuh samurai yang digantung. Nobunaga tersenyum tipis menyaksikan kekejamannya.
Kekejaman ini akan membuat semua orang tak berani melawanku, kata Nobunaga pada Konishiwa
panglima perang Ashikaga yang telah memihak padanya. Mereka akan mengetahui, aku tak segan melakukan penumpasan sekejam-kejamnya untuk mempertahankan kekuasaanku.
Benar, Yang Mulia.
Kemenangan ini akan menjadi awal langkahku untuk menguasai seluruh Jepang. Aku ingin para daimyo
di Hokaido, Kyiushu, Honshu, hingga Edo, memberikan pengakuan atas kekuasaanku.
Perintah itu akan segera kami laksanakan.
Satu hal yang membuat kemenanganku kali ini tidak lengkap, adalah lolosnya anak Ashikaga dan hilangnya Pedang Muramasa.
Saya pun menyesalkan hal itu.
Itu adalah kesalahan Ishida Mitsunari. Dia yang
harus bertanggung jawab atas hal itu.
Sebagai seorang samurai, dia telah gagal menjalankan kewajibannya. Yang Mulia dapat menghukumnya.
Apa hukuman yang harus kujatuhkan terhadapnya?
Perintahkan dia melakukan seppuku.
Shogun Nobunaga menoleh pada Konishiwa, ia menyadari seppuku merupakan hukuman yang setimpal
untuk menebus kegagalan Mitsunari. Tetapi cara itu
akan membuat lelaki tersebut tetap terhormat. Bagi
orang Jepang, kematian sebagai penebusan dosa ada-

lah kehormatan terbesar.


Di depan gerbang istana, Shogun Nobunaga memberi isyarat agar seluruh pasukannya berhenti. Ia melihat sebuah tiang besar telah ditancapkan di depan
pintu, di atasnya tergantung kepala Shogun Ashikaga
yang telah dipenggal. Kepala itu berwarna pucat dan
dikerumuni lalat yang beterbangan di sekitarnya.
Sudah lama saya ingin memenggal kepalanya, kata Nobunaga sambil tersenyum. Tidak kusangka semua bisa terjadi jauh lebih mudah dibanding yang kuperkirakan. Saya sangat menghargai bantuan Anda,
Konishiwa.
Terima kasih, Yang Mulia.
Kita akan merayakan kemenangan ini dengan pesta tujuh hari tujuh malam, sekaligus sebagai perayaan
kepindahanku ke istana Kamakura. Aku ingin Anda
kumpulkan seluruh geisha di kota ini, juga panggil penari dari Fujiwara untuk memeriahkan pestaku. Jangan dilupakan pertunjukan sumo terbaik dari negeri
ini. Kukira semua prajurit perlu istirahat dan memperoleh hiburan.
Baik, Yang Mulia.
***
Saburo Mishima melompati parit yang melintang di
bawah pohon sakura, ia kemudian bergegas menuju
gubuk tempat persembunyian mereka.
Beberapa hari lalu, mereka menemukan sebuah gubuk kosong, bekas tempat membuat moxa, sejenis obat
yang dipakai untuk menghilangkan rasa sakit. Pembuatan moxa merupakan salah satu mata pencaharian
penduduk setempat. Biasanya pada musim semi, penduduk mencari mugwort di sekitar Gunung Ibuki.
Mugwort yang telah diperoleh, kemudian mereka keringkan pada musim panas. Baru pada musim gugur

dan musim panas, penduduk membuatnya menjadi


moxa.
Karena sekarang musim semi, gubuk-gubuk yang
biasa dipakai membuat moxa banyak yang kosong, ditinggalkan para petani untuk mencari bahan obatobatan itu. Karena itu, ketika menemukan gubuk tersebut, Saburo menganggap Tuhan berniat menyelamatkan mereka. Bukan saja karena gubuk tersebut
dapat dipakai bersembunyi, tetapi sisa-sisa moxa yang
ada di tempat itu, dapat mereka pergunakan untuk
mengobati lukanya.
Di dalam gubuk itu, Natane Yoshioka sedang duduk
bersila sambil memegang pedangnya. Kojiro duduk di
sampingnya sambil menahan kantuk. Ketika mendengar bunyi rumput ilalang terinjak kaki, kedua anak
itu saling berpandangan. Secara refleks Yoshioka mendorong bilah Pedang Muramasa dari sarungnya.
Mereka bernapas lega ketika melihat Saburo Mishima yang datang.
Hari ini kita akan mengadakan pesta, kata Saburo
sambil memperlihatkan seekor ayam di tangannya.
Ayam ini kuperoleh dari rumah petani di bawah sana.
Engkau mencurinya, Sensei? Yoshioka bertanya.
Ya. Saya terpaksa mencuri karena pemiliknya tidak
ada. Semua orang berangkat ke Kamakura untuk menyambut kedatangan Nobunaga.
Mereka sekarang telah memasuki istana?
Tampaknya begitu. Saya sempat melihat iringiringan mereka dari jauh.
Berapa banyak pasukannya?
Saya tidak tahu pasti, tetapi saya kira tidak kurang
dari dua ribu orang. Melihat rombongan itu, tampaknya Nobunaga akan memindahkan pusat pemerintahan di Kamakura.

Dia merampas istana ayahku.


Itulah yang terjadi.
Dia telah membunuh kedua orang tuaku.
Dia juga membunuh ibuku, Kojiro tiba-tiba berkata. Ini mengejutkan Mishima. Selama ini, Kojiro jarang
mengungkapkan perasaannya. Suatu saat saya akan
membalas.
Saya pun akan membalas, sahut Yoshioka. Mereka telah merampas semua milikku.
Kita semua akan membalas, tukas Mishima dengan suara mengandung kemarahan. Tetapi tidak sekarang. Kita harus mengumpulkan kekuatan terlebih
dulu sebelum melawan Nobunaga. Kekuatannya tidak
dapat kita anggap ringan. Dia memiliki samurai-samurai terbaik di daerah ini.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
Kita harus membangun kekuatan terlebih dulu.
Anda sendiri, harus mulai memperdalam ilmu pedang.
Suatu saat Anda akan memerlukannya.
Baiklah. Saya akan mempelajarinya. Kapan engkau
dapat mengajariku bermain pedang?
Kita mulai besok pagi.
***
Nobunaga berendam di kolam air hangat Istana Kamakura. Ia membiarkan Naoko menyabuni seluruh tubuhnya. Air hangat itu meresap ke dalam pori-pori kulitnya, membuat tubuhnya segar. Inilah yang sangat ia
sukai dari Naoko, geisha tersebut mengetahui apa yang
paling disukai seorang laki-laki. Suatu kemanjaan seksual yang penuh imajinasi.
Sambil membiarkan geisha itu membersihkan tubuhnya, Nobunaga memandangi tubuh polos wanita
itu. Tubuhnya benar-benar menggiurkan. Meskipun kecil, seperti umumnya wanita Jepang, namun Naoko

memiliki tubuh yang sempurna. Kulitnya halus seperti


lilin, kuning langsat, payudaranya besar namun indah,
pinggulnya juga besar dan sangat menggairahkan.
Raut wajahnya yang oval, dilengkapi hidung bangir,
dan bibir sensual, menyebabkan kecantikannya tak
tertandingi. Lebih dari semua kecantikan fisik itu, Naoko selalu memiliki gaya bercinta yang memabukkan.
Sebelum mereka bercinta, selalu diawali dengan
mandi bersama. Geisha itu dengan penuh kemesraan
membersihkan seluruh tubuh Nobunaga. Ia terus menyabuni tubuh lelaki tersebut, seluruhnya. Dari ujung
kaki sampai leher Nobunaga. Semua itu merupakan
awal permainan cinta yang penuh sensasi
Siapa yang disuruh memimpin perburuan anak
Ashikaga? Naoko bertanya sambil terus membelai tubuh Nobunaga.
Aku telah memerintahkan Konishiwa mengepung
seluruh wilayah Kamakura. Mereka tidak akan dapat
lari.
Tidak perlukah dibuat pengumuman tentang pengejaran itu?
Maksudmu?
Seperti sayembara dengan hadiah. Saya kira semakin cepat kita berhasil memenggal kepala Yoshioka,
semakin baik. Jangan memberi kesempatan bagi mereka untuk memperoleh sekutu.
Bagaimana caranya?
Keluarkan dekrit untuk perburuan kepala mereka.
Nobunaga diam. Ia menatap wajah Naoko dengan
penuh rasa kagum.
Rupanya kau tidak hanya pintar bercinta, kata
Nobunaga kemudian. Tetapi juga bersiasat perang.
Bercinta dan berperang adalah sama saja, jawab
Naoko manja. Keduanya memerlukan seni dan kecerdasan.

Nobunaga hanya dapat mendesis ketika Naoko mulai membelai-belai pahanya.


Kau selalu berhasil merangsangku, Naoko-san.
Kalau begitu saya ingin membuktikannya.
Tanpa membuktikan pun, kau sudah mengetahuinya.
Naoko tersenyum, giginya yang putih bersih tampak
mempesona.
Kemarilah, aku ingin menciummu, kata Nobunaga
sambil mengulurkan tangan.
Benarkah hanya ingin menciumku?
Aku tidak tahu.
Dengan mesra Naoko mendekat, kemudian mereka
berciuman dengan mesra. Lalu penuh nafsu. Gairah di
dalam diri Nobunaga seakan tersulut api. Ia mendekap
kekasihnya dengan erat, lalu menciuminya bertubitubi. Dimulai dari bibir, lalu turun ke leher, bahu, kemudian turun lagi ke bawah.... Naoko memeluk erat lelaki itu.
Oh, nikmat sekali....
Nobunaga menarik pinggul Naoko ke pangkuannya,
kemudian dengan hentakan lembut ia memeluk tubuh
wanita itu. Terdengar desis mereka. Air hangat di kolam itu terus berasap, menciptakan sensasi kehangatan yang luar biasa. Setiap kali mereka bergerak, gelombang panas menyelimuti tubuh mereka.
Naoko bergerak dengan lembut, membuat perasaan
Nobunaga seakan melayang ke dunia lain.... Mereka
menyatu dalam irama yang menghempas-hempas,
menciptakan gelombang kehangatan yang nikmat dan
sensasional. Bagi Nobunaga sendiri, bercinta di kolam
air hangat terasa sangat menyenangkan, enerjinya seakan berlipat ganda, sehingga ia dapat bercinta dalam
waktu lama. Kehangatan yang berubah-ubah antara
rasa nikmat dan air panas, menyebabkan konsentra-

sinya tak hanya tercurah pada permainan cinta tersebut.


Ketika mereka telah bercinta lebih dari setengah
jam, Naoko berkata, Nikmati, Yang Mulia. Nikmati!
Naoko kemudian bergerak lebih cepat. Lebih cepat.
Tidak lagi lembut, tetapi kini liar dan sesekali kasar.
Nobunaga memejamkan mata rapat-rapat, ia merasakan seluruh tubuhnya bergetaran dengan hebat, dan
akhirnya laki-laki itu meraih tubuh Naoko dan mendekapnya dengan erat. Sangat erat. Ia merasakan seluruh kelenjar dalam tubuhnya meledak dalam perasaan
sensasional yang sangat nikmat. Setengah jam kemudian, Nobunaga membuka mata dengan rasa letih yang
menggerogoti tubuhnya. Ia melihat Naoko telah berpakaian.
Hei, engkau mau ke mana?
Menjumpai Konishiwa-san.
Untuk apa?
Memberitahukan dekrit Anda; siapa pun yang dapat memenggal kepala Yoshioka dan membawa Pedang
Muramasa kemari, mereka akan memperoleh hadiah
seribu real.
Nobunaga terbelalak, Seribu real?
Ya, jawab Naoko mantap. Apa artinya seribu real
dibanding istana Kamakura ini. Saya akan menyuruh
Konishiwa mengumumkannya.

***

PENGUSIRAN
KAKI gempal dan berotot, terangkat tinggi dan sebentar
melayang-layang sebelum menghantam lantai dengan
suara berdebum. Tangan yang kekar berubah menjadi
tinju sebesar batu, menghunjam, dan membuat ruangan seketika bergetar. Dua petarung yang hampir telanjang, sama-sama siap melempar lawan keluar arena. Ketegangan benar-benar memenuhi udara.
Suasana sangat mencekam. Orang-orang di sekitar
arena bersorak-sorak kegirangan untuk kedua pegulat
di atas dohyo, ring sumo. Jeritan histeris dan teriakan
tertuju pada kedua pesumo itu. Semua memberikan
semangat bagi sumotori yang dijagoi.
Takinada! jerit seorang gadis jelita. Rebut kemenanganmu untukku!
Aku sayang kamu! pekik seorang gadis lain. Lempar musuhmu ke luar arena!
Takinada melangkah ke dalam dohyo sambil menaburkan segenggam garam (tatacara penyucian) ke udara. Para penonton pria yang setengah mabuk, dan sejumlah samurai, bersorak-sorak. Mereka benar-benar
menikmati pertarungan itu.
Kashima, dengan tubuh yang amat gemuk, mulai
melancarkan pukulan ke dada Takinada. Ia menggasaknya dengan dorongan tubuh, dan berusaha menjatuhkan lawannya. Dalam seketika, mereka terlibat dorong mendorong dengan seluruh kekuatan. Takinada
terdesak di pinggir lingkaran kapur putih, ia berusaha
bertahan sekuat tenaga. Napas Kashima mendengus,
mata lelaki itu melotot seperti seekor banteng yang
tengah marah.

Kau akan kulempar keluar arena, desis Kashima.


Hanya sedetik Kashima mengucapkan kata-kata itu,
tetapi itu sudah cukup menjadi peluang bagi Takinada
untuk mencengkeram tali pinggangnya, kemudian dengan kekuatan penuh melemparkannya ke luar ring.
Kashima jatuh menggelimpang di luar dohyo.
Tepuk tangan terdengar gemuruh.
Hidup Takinada! Hidup Takinada! terdengar sorak
sorai membahana. Sejumlah samurai beranjak ke dohyo untuk mengangkat Takinada. Mereka menumpahkan kegembiraan sambil minum sake. Kaum wanita
mengelu-elukan sambil menari-nari.
Shogun Nobunaga yang menyaksikan pertarungan
itu dari tempat yang tinggi, turut bertepuk tangan. Sudah lama sejak terjadi pertikaian dengan Ashikaga, ia
tidak menyaksikan sumo. Karena itu malam ini ia tampak mengumbar senyum ceria. Tiga orang geisha yang
melayaninya turut tersenyum menyaksikan kegembiraan Nobunaga. Sambil sesekali membelai tangan Naoko, lelaki itu tertawa-tawa gembira.
Selain kendo, Nobunaga memang sangat menyukai
sumo. Olah raga gulat khas Jepang ini telah berusia
lebih dari dua ratus tahun, namun kian lama pertunjukannya justru kian memikat. Pada festival Koguryo,
berdatangan pesumo dari seluruh Jepang. Mereka
mengadu kekuatan untuk membuktikan siapa yang
terbaik di antara mereka. Dan kini, telah tiga tahun
Takinada membuktikan dirinya sebagai pesumo terbaik.
Aku ingin didirikan sebuah tempat pertarungan
sumo secara tetap di Kamakura, kata Nobunaga pada
Konishiwa yang duduk di sebelahnya. Kita dapat mendatangkan pesumo-pesumo dari Koguryo atau Kiyoto
untuk meramaikan pertunjukan ini.
Koguryo memang tempat kelahiran pesumo yang

hebat, Yang Mulia.


Itu sebabnya kuminta kau mencari pesumo dari
sana.
Baik. Saya akan melaksanakan perintah, Yang Mulia.
Jangan lupa, cari pula penari-penari dari Izu agar
pertunjukan tambah meriah.
Saya rasa itu gagasan yang menarik.
Bagaimana menurut pendapatmu, Naoko-san?
Naoko mengerling pada Nobunaga dengan manja.
Sepanjang mereka memang penari, saya rasa tidak
apa-apa.
Apa maksudmu dengan mengatakan memang penari?
Siapa tahu Konishiwa justru membawa para geisha.
Nobunaga tertawa terbahak-bahak, kemudian dengan ujung jarinya ia menjentik dagu Naoko.
Rupanya kau cemburu, Naoko-san.
Apakah saya tidak boleh cemburu?
Tentu boleh. Tetapi jangan sekali-kali kau perlihatkan di depan Konishiwa-san. Dia akan tahu kelemahanku... ha... ha... ha.
Tiba-tiba seorang samurai datang. Laki-laki itu
membungkukkan badan hingga kepalanya menyentuh
lantai.
Ishida Mitsunari telah menghadap, kata samurai
itu tanpa mengangkat kepala. Dia saat ini berada di
Istana Dalam ingin bertemu Yang Mulia.
Nobunaga menoleh pada Konishiwa, kemudian berkata dalam irama stakato yang cepat.
Saya akan menemuinya. Suruh dia menunggu.
Haik!
***
Di Istana Dalam, Ishida Mitsunari bersimpuh di atas

tatami. Laki-laki itu mengenakan pakaian serba putih,


lengkap dengan ikat kepala warna putih. Di depannya
tampak samurai yang diletakkan melintang. Di sisi pedang itu, terdapat pedang pendek, dan satu cangkir
sake. Suatu tanda bahwa Mitsunari ingin melakukan
seppuku.
Nobunaga muncul dari belakang, diiringi Konishiwa,
dan sejumlah pengawalnya. Ketika lelaki tersebut muncul, semua orang di dalam ruangan itu serentak membungkukkan badan hingga kepala mereka menyentuh
lantai.
Ishida Mitsunari!
Haik, Yang Mulia.
Engkau telah gagal menjalankan kewajibanmu sehingga anak Ashikaga lolos dan Pedang Muramasa lenyap.
Benar, Yang Mulia.
Kau tidak pantas memperoleh penghormatan sebagai seorang samurai. Satu-satunya tebusan untuk kegagalan adalah kematian. Tetapi kegagalanmu kali ini
jauh lebih buruk dari kegagalan apa pun juga. Lolosnya Yoshioka menjadi benih bahaya yang tak dapat dicegah. Karena itu aku akan menghukummu.
Mitsunari membungkukkan badan penuh hormat,
Saya minta diizinkan untuk melakukan seppuku.
Seppuku?
Benar, Yang Mulia. Rasanya saya tak sanggup menanggungkan rasa malu. Telah menjadi kewajiban
saya sebagai seorang samurai untuk menebus kegagalan ini dengan nyawa.
Seorang samurai pantang melakukan kegagalan,
kata Nobunaga dalam nada tinggi. Kau tidak pantas
menjadi samurai.
Yang Mulia! Mitsunari mengangkat kepala. Ia sangat kaget mendengar pernyataan Nobunaga. Kata-

kata Nobunaga memberi isyarat bahwa ia tak diizinkan


melakukan seppuku. Ini berarti ia akan menanggungkan penghinaan seumur hidupnya. Bila dugaan ini benar, berarti Nobunaga telah mencampakkan dirinya
dengan penuh kehinaan.
Nobunaga berkata, Engkau tidak kuizinkan melakukan seppuku. Kau harus menjalani hukuman karena
kegagalanmu. Hari ini juga, kau harus meninggalkan
Kamakura. Kau tidak kuizinkan memasuki wilayah kekuasaanku sebelum kau berhasil membawa kepala Yoshioka dan menyerahkan Pedang Muramasa padaku.
Hanya itu penebusan yang dapat kau lakukan.
Saya memohon ampun, Yang Mulia, kata Mitsunari sambil menahan isak tangis. Pengusiran terhadapnya benar-benar merupakan hukuman yang sangat
mengerikan. Lebih dari itu, dengan kaki yang hanya
tinggal sebelah, bagaimana mungkin ia akan mengalahkan Saburo Mishima? Rasanya saya tidak sanggup
menanggungkan hukuman itu, izinkan saya melakukan seppuku saat ini juga.
Tidak! jawab Nobunaga tegas. Suaranya mengguntur hingga membuat semua orang yang ada di ruangan
itu terkesima. Aku sudah mengatakan keputusanku.
Tak seorang pun kubiarkan mengubahnya. Hari ini,
kau akan diantar keluar dari Kamakura, sesudah itu
carilah orang-orang yang sudah kaubiarkan selamat
dari pengepungan. Hanya dengan membawa kepala
Yoshioka dan Pedang Muramasa, namamu akan kupulihkan sebagai seorang samurai, dan janjiku akan kupenuhi untuk mengangkatmu sebagai seorang daimyo.
Seusai berkata begitu, Nobunaga bangkit berdiri, lalu tanpa berpaling lelaki itu bergegas pergi. Semua
orang yang ada di ruangan itu membungkukkan badan
dengan penuh hormat.

***
Senja merah. Matahari mulai terbenam. Langit di atas
Kota Kamakura seperti hamparan darah. Sejauh mata
memandang, hanya warna merah yang tampak.
Sebuah gerobak yang ditarik seekor kuda tua keluar
dari gerbang istana. Kecuali seorang lelaki tua, enam
orang samurai berjalan di sisi kanan dan sisi kiri gerobak itu. Mereka mengenakan topi tikar berbentuk bulat, tatapan mereka lurus ke depan. Selama perjalanan, tak seorang pun membuka percakapan. Semua
membisu seakan menyembunyikan suatu rahasia.
Di dalam gerobak itu, Ishida Mitsunari duduk sambil menahan kepedihan. Ini merupakan penghinaan
tak terperikan. Pengusiran kali ini telah menghancurkan seluruh impiannya. Angan-angan menjadi daimyo,
kini menjadi berantakan. Kekalahannya melawan Saburo telah menjadi malapetaka dahsyat dalam hidupnya. Semua ini memang kesalahannya, ia terlalu meremehkan Saburo. Dalam pertempuran di Bukit Huy,
ia terlanjur membayangkan Saburo pasti tewas, sehingga dengan mudah ia memenggal kepala Ashikaga,
menumpas seluruh keluarganya, dan merebut Pedang
Muramasa. Ternyata apa yang dikhayalkan tidak menjadi kenyataan. Ia tidak menduga sama sekali, Saburo
akan kembali ke istana untuk menyelamatkan Yoshioka.
Selama ini ia tahu, Saburo memang seorang samurai yang hebat. Karena itu Ishida Mitsunari mencoba
bersiasat dengan mengirimnya ke medan pertempuran,
tak terbayangkan sedikit pun kalau akhirnya lelaki tersebut mengetahui siasatnya. Dan celakanya, dalam
pertarungan di lorong rahasia itu, Mishima berhasil
mengalahkannya.
Sebenarnya persoalan akan selesai apabila Saburo

membunuhnya. Ternyata tidak, lelaki yang telah berhasil memotong kakinya itu, membiarkan Mitsunari tetap hidup. Saburo tahu, dengan cara itu, Mitsunari justru akan mengalami penghinaan paling keji bagi seorang samurai.
Dia sengaja tidak membunuhku, karena ingin melihat
aku mengalami penghinaan ini. Bangsat!
Kesedihan tiba-tiba mendidihkan darah dalam tubuh Mitsunari. Berbagai perasaan berkecamuk dalam
dirinya. Rasa terhina, menyesal, kecewa, marah, dan
api kebencian membangkitkan daya hidup lelaki itu. Ia
menyadari, satu-satunya cara untuk membersihkan
namanya, hanya dengan membunuh Saburo, memenggal kepala Yoshioka, dan merebut kembali Pedang Muramasa. Hanya dengan cara itu ia dapat menghapus
penghinaan ini.
Bisa saja ia sekarang melakukan bunuh diri, tetapi
namanya akan tetap tercemar selamanya. Ia tak ingin
hal itu terjadi. Karenanya, pilihan satu-satunya adalah
mencari Saburo untuk melaksanakan pembalasan
dendam, sekaligus pembersihan namanya.
Ishida Mitsunari mengangkat kepala, matanya memancarkan hawa pembunuhan yang mengerikan. Kedua gerahamnya saling beradu, dan tubuhnya bergetar
hebat. Api dendam telah menguasai setiap pori-pori
tubuhnya. Ketika matanya menatap pada kakinya yang
terpenggal, seluruh hawa kemarahan dalam dirinya tak
terbendung lagi.
Turunkan aku di sini! teriaknya lantang.
Keenam samurai yang mengawalnya tak bereaksi.
Menimpali pun tidak. Mereka seakan tidak mendengar
teriakan itu.
Hei, turunkan aku di sini! sekali lagi Mitsunari
berteriak. Aku akan mencari Saburo!
Salah seorang samurai menoleh, ketika matanya

bertatapan dengan Ishida, ia segera membuang muka.


Sikap samurai itu jelas merupakan penghinaan bagi
Ishida. Belum pernah selama ini ia diperlakukan seperti itu. Kemarahannya benar-benar sampai ubunubun. Karena itu ia berteriak sekali lagi, Hentikan gerobak ini. Biar aku turun di sini!
Tidak seorang pun menggubris teriakannya. Ishida
Mitsunari meraih pedangnya kemudian menebas talitali pengikat gerobak itu, seketika gerobak itu terbuka.
Pada saat keenam samurai masih terperanjat menyaksikan tindakannya, Mitsunari telah berguling, menjatuhkan diri dari dalam gerobak. Ia langsung memasang
kuda-kuda dengan bersimpuh untuk menghadapi segala kemungkinan.
Keenam samurai yang mengawal gerobak itu langsung mengepungnya.
Kalian sebaiknya tinggalkan aku di sini, kata Ishida dengan suara bergetar karena marah. Katakan pada Shogun Nobunaga, saya telah meninggalkan wilayahnya. Saya akan memburu Saburo untuk merebut
Pedang Muramasa!
Reaksi keenam samurai itu adalah menyerang secara bersamaan. Bagi mereka tak ada pilihan lain. Kegagalan mengawal Ishida hingga keluar wilayah Kamakura, sama dengan hukuman mati. Mereka tak ingin
mengalami kegagalan itu.
Dua orang samurai bergerak serentak, mereka menebaskan pedang secara vertikal, Ishida menangkis
dengan gerakan jurus Mengoyak Rembulan. Terdengar gemerincing pedang beradu, dan sebelum kedua
samurai itu hilang rasa kagetnya, Ishida telah menebas
dengan ayunan pedang berputar seperti baling-baling.
Kedua tubuh samurai itu ambruk dengan darah mengucur dari luka mereka.
Begitu temannya ambruk, dua orang lagi menye-

rang, Ishida segera berbalik, dan berguling menyongsong serangan itu sambil membabatkan pedangnya.
Sabetan itu demikian kuat, sehingga kedua lengan penyerangnya langsung terpenggal. Terdengar jeritan melengking samurai itu, sebelum akhirnya ia rubuh ke
tanah setelah Ishida menikamnya dari belakang.
Samurai berikutnya menyerang serentak dari tiga
jurusan, namun dengan gesit Ishida berguling ke kanan sembari menebas ke bawah. Saat ia berguling, ketiga samurai itu serempak mengayunkan pedang ke
arah kepala. Ishida berhasil menangkis, kemudian
mengirim sabetan ke perut lawannya. Ketiga samurai
tersebut meloncat ke belakang. Mereka kemudian
kembali bersiaga untuk menyerang.
Ketiga samurai itu mengangkat pedang tinggi-tinggi
di atas kepala, rupanya mereka akan menyerang dengan jurus Pedang Membelah Awan. Ishida segera
menarik pedangnya rapat di bahu, matanya menatap
tajam gerak-gerik ketiga musuhnya.
Pergunakan jurus Membelah Awan, kata Ishida
menggeram. Kalian akan merasakan kehebatan jurus
pedang Menepis Halilintar.
Secara serempak ketiga samurai itu menyerbu, teriakan mereka sesungguhnya sangat menggetarkan.
Namun Ishida telah siap, ia tetap diam, membiarkan
lawan mendekatinya, satu detik sebelum ayunan pedang musuh menyentuh tubuhnya, Mitsunari berguling ke depan sambil menebaskan pedang ke perut lawannya. Ketiga samurai itu menjerit sambil mendekap
luka menganga di perutnya. Mereka ambruk ke tanah.
Mati.
Laki-laki tua penarik gerobak gemetaran menyaksikan pembantaian di depannya. Seluruh tubuhnya serasa membeku. Tatapannya nanar. Rasa takut yang
luar biasa, membuat lelaki tersebut tak mampu meng-

gerakkan badannya. Kebekuan itu mencair ketika Ishida membabatkan pedang ke wajahnya. Ia merasakan
darah mengucur deras dari batok kepala hingga dadanya. Seluruh tubuhnya dirasakan lumpuh, kemudian
melayang ambruk ke tanah. Lalu semuanya gelap gulita.
Ishida Mitsunari memutar pedangnya, kemudian
memasukkan pedang tersebut ke dalam sarungnya.
Kalian sudah kuperingatkan, kata Mitsunari dingin. Bila pedangku sudah tercabut dari sarungnya,
aku pantang memasukkan kembali tanpa membunuh
musuhku.
Mitsunari mengambil topi pandan milik musuhnya.
Sesudah mengenakan di kepalanya, ia berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
Saatnya aku memburu Yoshioka dan Saburo Mishima!

***

JALAN PEDANG
MUSIM semi menampilkan pemandangan yang sangat
indah. Bunga-bunga sakura bermekaran, sementara
daun-daunnya menampilkan pesona keindahan yang
menawan. Kabut transparan yang menyelimuti lereng
bukit, tempat persembunyian Saburo dan Yoshioka,
tampak seperti kelambu tipis.
Gubuk itu berada di lereng bukit, diapit dua buah
sungai yang berair jernih. Bagi Saburo, letak gubuk itu
sangat menguntungkan. Kedua sungai tersebut dapat
dianggap sebagai parit pertahanan yang baik. Selain
itu, sungai tersebut memberikan ikan untuk mereka

makan. Pada sore hari, bila tidak sedang latihan, Saburo tak jarang mengajak Yoshioka dan Kojiro mencari
ikan. Kedua anak itu dengan wajah ceria membuka batu-batu di sungai tersebut untuk menangkap ikan.
Hampir sebulan mereka bersembunyi, belum pernah sekali pun mereka bertemu dengan orang lain.
Gubuk itu seakan ditinggalkan oleh pemiliknya.
Di senja hari yang cerah itu, tampak Kojiro dan Yoshioka tengah berlatih kendo. Saburo telah membuatkan mereka pedang kayu dari pohon ek. Dengan penuh semangat, kedua anak sebaya itu memutar-mutarkan pedang, kemudian sesekali menebas sambil
berteriak nyaring. Saburo memperhatikan setiap gerak
kedua anak itu dengan seksama, dan ia menyadari keduanya adalah calon samurai berbakat.
Yoshioka yang kini memiliki tubuh kecil, memiliki
otot lentur, dan gerakan yang luwes. Ia memiliki kelincahan luar biasa. Permainan pedangnya sangat berbahaya. Berbeda dengan Yoshioka, Kojiro memiliki tubuh
tegap dan otot yang kuat. Meskipun tidak begitu lincah, ia mempunyai kekuatan yang sangat mengagumkan. Sabetan pedangnya, kelak bisa sangat berbahaya.
Satu hal yang menggembirakan Saburo, kedua anak
itu mau menjalankan latihan secara keras dan tanpa
banyak bertanya. Secara diam-diam semangat bushido
mengaliri darah Yoshioka maupun Kojiro.
Kalian harus memulai dari ryo-kuruma, sabetan pedang Sepasang Roda, kata Saburo memberikan penegasan pada Yoshioka dan Kojiro. Sabetan ini menjadi
dasar setiap serangan. Tanpa penguasaan yang baik
atas jurus Sepasang Roda, kalian akan gagal menguasai jurus lainnya.
Saya tidak akan gagal, Sensei, sahut Yoshioka tegas.
Saya juga tidak akan gagal, sambung Kojiro.

Jurus Sepasang Roda merupakan tebasan melintang di arah pinggul musuh, kata Saburo menjelaskan. Ini merupakan ujian pertama permainan pedang setiap samurai.
Yoshioka dan Kojiro segera melaksanakan perintah
Saburo. Mereka menebas dengan gesit. Berulang-ulang
kedua anak itu menebas, sampai akhirnya Saburo menghentikannya.
Dalam permainan pedang, sabetan harus tepat, tidak boleh bergeser seinci pun, kata Saburo memberi
penjelasan. Setiap inci perbedaan, akan mengubah jurus yang dilakukan. Ada enam belas tebasan yang harus dikuasai oleh setiap samurai.
Ajarkan pada kami, Sensei, kata Yoshioka bersemangat.
Benar. Biarkan kami mempelajarinya.
Ryo-kuruma, tebasan pedang pada pinggul. Tai-tai,
sabetan pedang pada garis bahu. Sabetan ini hanya
memiliki selisih satu inci dari batas leher, karena itu
tak seorang samurai pun boleh meleset melakukan tebasannya.
Yoshioka berkata, Kedengarannya rumit sekali.
Di istana tidak ada pelajaran seperti itu, Kojiro
menimpali.
Ini adalah pelajaran seorang samurai untuk menempuh Jalan Pedang. Permainan kendo tidak dibutuhkan lagi saat ini. Setiap saat kita dapat menghadapi
musuh. Mereka memiliki ilmu silat yang dapat membunuh kita, bukan permainan pura-pura di dalam dojo. Karena itu, kita pun akan menghadapi dengan jurus pedang yang mematikan. Kita berada dalam keadaan tanpa pilihan, hidup atau mati.
Pada malam harinya, Saburo menjelaskan ilmu pedang dengan menggambar tubuh manusia. Dia menerangkan empat tebasan pedang seorang samurai.

Sesudah ryo-kuruma dan tai-tai, Saburo menjelaskan karigane, ilmu Pedang Angsa Liar. Sabetan pedang persis di atas dada secara horisontal. Kemudian
chiwari, ilmu Pedang Membelah Dada, sabetan ini
hanya satu inchi di bawah karigane. Namun karena
chiwari melewati tulang dada, tebasan ini lebih sulit dilakukan dibanding karigane. Kecuali itu, sasarannya
pun lebih luas.
Empat tebasan pedang itu harus dikuasai secara
baik oleh seorang samurai, kata Saburo. Kalian harus melatihnya tanpa salah. Bila kalian masih salah
melakukannya, kalian tak mungkin mempelajari ilmu
pedang berikutnya.
Esoknya Yoshioka dan Kojiro mulai melatih keempat ilmu pedang itu. Mereka melakukannya dengan
penuh semangat. Bahkan hingga siang hari, mereka
terus menjalani latihan tanpa merasa lelah. Dengan teliti Saburo mengawasi latihan itu. Setiap kali ada yang
melakukan kekeliruan, dengan penuh kesabaran lelaki
itu membetulkannya.
Hampir empat hari Yoshioka dan Kojiro mempelajari
keempat ilmu pedang itu. Pada hari berikutnya, Saburo mengajak mereka kembali menghadapi gambar tubuh manusia.
Ini adalah o-kesa, ilmu Pedang Jubah Pendeta,
kata Saburo menjelaskan.
Jubah pendeta? Yoshioka bertanya heran.
Ya.
Kenapa disebut demikian?
Sabetan pedang ini dilakukan miring dari leher ke
arah bawah ketiak, persis garis pembuka jubah pendeta.
Oh.
Sabetan ini sangat mematikan, karena itu kalian
harus bersikap hati-hati bila menghadapi musuh yang

mengangkat pedangnya ke samping. Tebasannya sulit


dihindari, dan sangat mematikan.
O-kesa terbukti sebuah jurus pedang yang tidak sederhana. Berulang kali Yoshioka dan Kojiro mencoba
melakukannya, namun selalu keliru. Kadang terlalu
rendah, sehingga mengenai bahu. Kadang terlalu tinggi, hingga mengenai leher. Namun dengan ketekunan
luar biasa, akhirnya mereka berhasil menguasai ilmu
pedang itu. Saburo merasa puas.
Saya merasa bangga dengan kemampuan kalian
menguasai ilmu pedang yang kuberikan, kata Saburo.
Namun ilmu pedang saja tidak cukup untuk melawan
musuh. Di dalam semangat bushido, kalian harus meningkatkan keberanian.
Yoshioka berkata, Kami memiliki keberanian itu.
Saya tidak takut pada siapa pun, lanjut Kojiro
bangga.
Justru keberanian yang kalian miliki saat ini merupakan kelemahan yang harus dihindari.
Maksudnya?
Keberanian berbeda dengan sikap tak punya rasa
takut. Keberanian adalah sikap yang bersumber pada
keyakinan, bahwa kalian akan memenangkan suatu
pertarungan. Seorang samurai harus yakin akan menang, ia harus berani menumpas rasa takut di dalam
jiwanya, untuk menghadapi kematian. Keyakinan bahwa kematiannya merupakan wujud kewajiban seorang
samurai adalah inti keberanian.
Yoshioka dan Kojiro mengerutkan dahi, dengan keterbatasan pikirannya, mereka mencoba memahami
ucapan Saburo.
Kalian harus berani menyongsong kematian, lanjut Saburo datar. Hanya dengan sikap itulah kalian
dapat memiliki keberanian untuk bertarung. Keberanian untuk mati adalah dasar memerangi rasa takut.

Kenapa seorang samurai tidak boleh takut?


Karena ketakutan akan membuat jiwa gemetar,
dan melenyapkan keyakinannya untuk menang.
Bagaimana kalau perasaan itu tak dapat dihilangkan?
Hindarilah pertarungan itu. Hanya dengan menghindar kalian dapat memupuk kembali keberanian
yang hilang.
Tetapi bukankah seorang samurai dilarang bersikap pengecut?
Menghindar bukanlah sikap pengecut. Menghindar
merupakan bagian dari siasat pertarungan. Di saat
badai menghempasmu, apakah engkau harus terus
berlayar?
Tidak.
Itulah hakikat penghindaran. Jangan menentang
badai. Biarkan ia reda, dan kalian dapat kembali berlayar. Keberhasilan pelayaran adalah inti kemenangan.
Kojiro berkata, Kedengarannya sangat rumit.
Itu bagian dari ilmu pedang yang harus kalian pelajari.
Sepertinya itu bukan ilmu pedang....
Ilmu pedang bukan hanya bagaimana cara menggunakan pedang, tetapi bagaimana cara memenangkan
suatu pertarungan.
Pada malam hari, sambil berbaring di atas jerami,
Saburo Mishima memberikan pengetahuan lain tentang taktik dan kehidupan. Seperti biasa, Saburo senang menceritakan tentang Soen Tzu:
Tulisan Soen Tzu mengenai Seni Berperang menarik perhatian Raja Ho Lu, dari negara Wu. Ketika
Soen Tzu menghadap raja tersebut, Raja Ho Lu berkata, Saya telah membaca dengan penuh perhatian buku Anda yang terdiri dari tiga belas bab itu. Dapatkah
saya menguji teori Anda?

Soen Tzu menjawab, Silakan, Yang Mulia.


Ho Lu bertanya lagi, Untuk mengujinya, dapatkah
digunakan wanita?
Dapat.
Kemudian dipanggillah 180 orang dayang-dayang
istana dan dibagi dalam dua kelompok. Masing-masing
kelompok dipimpin oleh seorang selir kesayangan raja.
Soen Tzu minta agar perempuan-perempuan itu dilengkapi tombak dan perisai. Setelah itu berkatalah
Soen Tzu kepada perempuan-perempuan tersebut.
Saya kira kalian telah mengetahui perbedaan antara depan dan belakang, tangan kiri dan tangan kanan.
Para wanita itu menjawab serentak, Ya.
Jika saya katakan Pandangan ke depan, kalian
harus menghadap lurus ke depan. Jika saya katakan
Menghadap ke kiri kalian harus berputar menghadap
ke kiri. Demikian pula jika saya berkata Balik kanan
atau Balik kiri kalian harus melakukannya. Apakah
kalian mengerti?
Para wanita itu menjawab, Mengerti!
Latihan pun dimulai. Dengan diiringi bunyi genderang, Soen Tzu mulai memberikan aba-aba, Balik kanan!
Wanita-wanita itu justru meledak tertawa.
Soen Tzu berkata, Jika ucapan tidak jelas, bila perintah yang dikeluarkan tidak dipahami, panglimanya
yang salah. Mengerti?
Mengerti!
Latihan pun dimulai lagi. Kali ini perintahnya, Hadap kiri!
Sekali lagi wanita-wanita itu tertawa.
Soen Tzu berkata, Jika kata-kata yang diucapkan
tidak jelas, bila perintah yang diberikan tidak dipahami, panglimanya yang salah. Tetapi jika perintah yang

dikeluarkan jelas dan tidak dipatuhi, maka itu merupakan kesalahan perwiranya. Oleh karena itu perwiranya harus dihukum dan pancunglah pimpinan pasukannya.
Soen Tzu segera memberikan perintah lagi, namun
kedua pasukan wanita itu masih juga tertawa. Tanpa
kebimbangan sedikit pun, Soen Tzu segera memerintahkan algojo memancung kepala kedua pimpinan kelompok itu.
Raja Ho Lu yang menyaksikan dari tribun dan melihat kedua dayang kesayangannya dijatuhi hukuman
pancung, segera mengirim pesan, Kami sangat puas
dengan kemampuan jenderal mengendalikan pasukan.
Jika Anda menghukum mati kedua wanita itu, maka
kami akan kehilangan selera makan dan minum. Kami
minta agar keduanya tidak perlu dipancung.
Soen Tzu menjawab, Sekali saya memperoleh penugasan dari raja untuk menjadi panglima pasukan,
maka ada perintah tertentu yang tak dapat kami laksanakan sesuai dengan kedudukan saya.
Maka kedua wanita itu pun dipenggal kepalanya
dan kedudukannya sebagai pemimpin pasukan diganti
dengan perempuan lain.
Sesudah hukuman mati dijalankan, genderang ditabuh. Gadis-gadis itu pun berlatih dengan sungguhsungguh. Cara berbaris mereka benar seperti yang diperintahkan, tanpa ketawa sedikit pun.
Melihat kenyataan itu, Raja Ho Lu sangat terkesan,
akhirnya ia mengangkat Soen Tzu menjadi panglima
besar tentaranya. Di tangan jenderal itulah Kerajaan
Wu mengalami kejayaan. Ke arah barat, mereka menaklukkan Kerajaan Chu dengan menduduki Ying, ibu
kota kerajaan tersebut. Ke utara ia mengalahkan Negara Chi dan Chin. Kemenangan-kemenangan itu memperoleh sambutan serta kekaguman bangsawan-

bangsawan Cina lainnya. Kerajaan Wu semasa pasukannya dipimpin Soen Tzu menjadi salah satu kerajaan terbesar di seluruh daratan Cina.
Yoshioka dan Kojiro mendengarkan cerita itu dengan penuh minat.
Apakah kalian tahu kenapa Soen Tzu memperoleh
kemasyhuran? tanya Saburo pada kedua anak itu.
Karena dia seorang ahli strategi perang, jawab Yoshioka.
Bukan itu maksud saya.
Kojiro, sambil menahan kantuk, menjawab, Karena
dia ahli pedang.
Bukan.
Karena apa, Sensei?
Karena dia adalah orang yang berani melaksanakan keyakinannya.

***

PENGEJARAN
SHOGUN Nobunaga sedang menciumi Naoko, salah seorang geisha kesayangannya. Wanita itu tergial sambil
mendesah manja. Wajahnya yang berbentuk oval dengan garis mata yang mencuat ke atas, mempertegas
garis kecantikannya. Rambutnya yang hitam lebat disanggul tinggi di atas kepalanya. Gerak-geriknya yang
gemulai menampilkan sensualitas yang menggiurkan.
Payudaranya besar di atas pinggang yang kecil dan
pinggul yang besar memang sangat menggairahkan.
Naoko termasuk geisha dari Fujiwara yang sangat disayangi oleh Nobunaga. Bahkan menurut desas-desus,
wanita itu berperan dalam pengambilan-pengambilan

keputusan politik Nobunaga. Termasuk di antaranya,


penaklukan Shogun Ashikaga.
Menurut kabar angin, kecuali ambisi Nobunaga
menjadi satu-satunya shogun di Jepang, penaklukan
itu didorong oleh permintaan Naoko yang ingin tinggal
di Istana Kamakura. Menurut sejumlah sumber, sebelum menjadi kekasih Nobunaga, Naoko pernah menjalin cinta dengan Shogun Ashikaga. Mereka bertemu di
Fujiwara, kota kecil di pinggir Kamakura yang dijadikan pusat pelacuran. Mereka memadu cinta hampir
setiap minggu. Selain memiliki kecantikan luar biasa,
Naoko, seorang geisha yang memiliki daya pikat tersendiri. Ia pandai menari dan memainkan shamizen
(alat musik yang baru saja ditemukan di Edo).
Pada malam bulan purnama, Shogun Ashikaga datang ke Fujiwara. Ia berbaring polos di kolam membiarkan seluruh tubuhnya dimandikan oleh kekasihnya. Sesudah itu, ia akan duduk menikmati sake sambil mendengarkan permainan shamizen geisha kesayangannya. Barulah setelah larut malam, mereka
menghabiskan waktu dengan bercinta.
Di atas ranjang, Naoko adalah seorang pecinta yang
hebat. Ia memberikan pelayanan terhadap Ashikaga
dengan sepenuh hati. Mempraktekkan berbagai posisi,
semata-mata untuk memuaskan kekasihnya. Buku
seks Jepang Kuno, Kagemusha, yang selalu dipraktekkan Naoko, menjadikan Ashikaga tergila-gila pada wanita itu. Sampai suatu hari shogun tersebut berjanji
untuk mengawininya.
Naoko tersenyum penuh rasa bahagia. Jantungnya
berdetak lebih kencang. Ia benar-benar merasa mendapatkan karunia.
Benarkah Yang Mulia akan membawa saya ke istana? Naoko bertanya dengan manja.
Kau akan tinggal di Istana Kamakura bersamaku,

kata Ashikaga sambil menciumi tubuh Naoko. Aku tak


ingin berpisah denganmu.
Bagaimana dengan istri Anda, Yang Mulia?
Dia akan tetap menjadi isteriku. Tetapi engkau
menjadi istri kesayanganku.
Kalau benar ucapan itu, saya akan bersikap setia
dan mengabdikan seluruh hidup saya hanya untuk
Anda.
Aku bersumpah.
Sumpah itu terbukti tidak dilaksanakan. Hubungan
cinta itu terputus ketika istri Ashikaga melahirkan Natane Yoshioka. Kelahiran Natane membuat shogun melupakan janji-janjinya. Bahkan ia kemudian melupakan Naoko karena terlampau bahagia mendapatkan
seorang anak laki-laki. Natane menghapus segala mimpi serta impiannya terhadap Naoko.
Sejak kelahiran anaknya, Ashikaga tidak pernah lagi menemui Naoko.
Peristiwa itu menumbuhkan sebatang dendam dalam jiwa Naoko. Diam-diam ia merintis jalan untuk
membalas dendam. Maka ketika suatu hari Shogun
Nobunaga bertemu dengannya, Naoko bersumpah untuk melampiaskan dendam dengan menggunakan kekejaman lelaki tersebut. Ia beruntung. Nobunaga, sama dengan Ashikaga, seorang laki-laki tua yang haus
seks dan kekuasaan. Penyerahan diri Naoko pada lelaki tersebut membuatnya lupa daratan. Di saat mereka
bercumbu, dan Naoko mempraktekkan ilmu seks Kagemusha, Nobunaga langsung tergila-gila padanya. Lebih-lebih setelah shogun itu mendengarkan permainan
shamizen serta tarian yang dibawakannya, tak ada lagi
yang dapat menghalangi kegilaan Nobunaga.
Setiap kali sehabis bercinta, Nobunaga berkata pada geisha itu.
Mintalah sesuatu, aku ingin memberikan apa pun

untukmu sebagai imbalan pelayananmu.


Naoko selalu menjawab, Saya tidak meminta imbalan apa pun untuk pelayanan itu. Saya seorang geisha,
akan saya lakukan apa pun yang Anda minta.
Jawaban itu membuat Nobunaga semakin tergilagila. Pada pertemuan berikutnya, seusai mereka bercinta sepanjang malam, Nobunaga kembali bertanya,
Tidakkah kau ingin sesuatu dariku?
Tidak, Yang Mulia.
Aku dapat memberikan apa pun yang kau minta.
Kau berhak meminta imbalan, karena aku merasa
puas dengan pelayananmu.
Tidak ada imbalan yang sepadan dengan kasih
sayang Anda. Karena itu tak pantas saya meminta sesuatu sebagai imbalan pelayanan yang Anda terima.
Benarkah?
Dengan setulusnya.
Nobunaga semakin tergila-gila. Ia lebih sering datang
ke Fujiwara, khusus untuk menjumpai geisha kesayangannya. Mereka bercinta seperti dua ekor ular naga,
saling membelit, melampiaskan gairah penuh gelora.
Sebagaimana orang Jepang yang memiliki cita rasa
tinggi, Nobunaga menulis haiku (puisi pendek) untuk
Naoko:
Dengan munculnya bunga sakura
Musim semi jadi pesona Fujiwara
Tanah kering menjadi subur berbunga azaela
Sungai diairi selendang pelangi
Aku disergap kerinduan seorang geisha
Naoko Yoritomo namanya
Naoko membalas puisi itu dengan menari di depan
Nobunaga, suatu tarian gemulai yang sangat indah.
Dengan penuh muslihat, Naoko melepas pakaiannya
satu per satu. Semua dilakukan menurut irama shamizen. Tubuhnya yang mulus, dengan kulit putih ber-

sih, membuat Nobunaga kian terpesona. Laki-laki itu


berkali-kali menghela napas panjang, sebelum akhirnya tak kuat menahan rangsangan seksual dalam dirinya. Ia menarik Naoko ke dalam dekapannya.
Dengan liar, Nobunaga menciumi seluruh tubuh
wanita itu. Tidak seinci pun dibiarkan tak tersentuh
bibirnya. Naoko sendiri membalas sentuhan serta ciuman Nobunaga dengan cara-cara yang penuh imajinasi. Dengan penuh kemesraan ia menciumi seluruh
permukaan tubuh lelaki gemuk itu.
Kau sangat pintar, Naoko-san.
Nikmati saja, Yang Mulia. Saya akan membuat
Yang Mulia bahagia.
Naoko-san, aku tidak kuat lagi, desis Nobunaga
gemetar.
Saya senang bermain-main, jawab Naoko tenang.
Kemudian ia mulai bermain-main lagi. Nobunaga merasakan seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dan akhirnya ia terkulai lemas sambil mendekap kepala Naoko
erat-erat.
Oh, luar biasa, Naoko-san.
Nobunaga memejamkan matanya. Dengan letih ia
berbaring sambil memeluk kekasihnya.
Setengah jam kemudian, Nobunaga bertanya, Sekarang mintalah sesuatu padaku, aku bersumpah untuk mengabulkannya. Sudah begitu banyak yang kau
berikan padaku, sementara belum ada yang kuberikan
padamu. Maka saat ini, mintalah sesuatu....
Benarkah Anda akan mengabulkan apa pun permintaan saya?
Ini sumpahku. Katakan permintaanmu.
Istana Kamakura.
Nobunaga terperanjat, Apa maksudmu?
Aku ingin tinggal di istana itu sebagai wanita yang
Anda cintai.

Kini semua sudah terlaksana. Sumpah Nobunaga


benar-benar dilaksanakan. Dendam Naoko pun telah
terbalas. Bagi Naoko, sesungguhnya pelampiasan dendam terhadap Ashikaga, jauh lebih memuaskan dibandingkan apa saja. Namun, api dendam dalam dirinya
belum seluruhnya padam, lolosnya Natane Yoshioka
membuat pembalasan itu tidak sempurna. Karena itu
ia akan terus menghasut Nobunaga untuk menuntaskan pembalasan dendamnya.
Di luar dinding kamar, tiba-tiba terdengar derap kaki
mendekat. Shogun Nobunaga mendorong tubuh telanjang Naoko, kemudian meraih pedang di sisi ranjang.
Siapa di situ? teriaknya lantang.
Orang-orang di luar dinding kamar terdengar bersimpuh.
Saya Konishiwa, Yang Mulia.
Konishiwa-san, ada apa?
Saya ingin melaporkan peristiwa yang baru saja
terjadi di pinggir kota.
Peristiwa apa? nada suara Nobunaga terdengar tidak sabar.
Ishida Mitsunari melakukan pembelotan. Dia telah
melawan perintah Anda.
Nobunaga terdengar mendengus. Ia merasa lega.
Tadinya ia menduga ada pemberontakan yang berbahaya.
Kalau begitu gantung mayatnya di pinggir jalan
agar semua orang tahu risiko melawanku.
Ishida Mitsunari telah membunuh ketujuh samurai
yang mengawalnya, Yang Mulia. Dia kemudian menghilang entah ke mana.
Nobunaga bertanya menggeram, Enam orang samurai yang kau andalkan tewas di tangan seorang laki-laki yang tidak punya kaki?
Benar, Yang Mulia.

Bodoh! Kalian samurai-samurai bodoh! Kerahkan


seratus samurai, kejar laki-laki itu. Tangkap dia hidup
atau mati!
Konishiwa membungkukkan badan. Bagaimana dengan Saburo? Bagaimana dengan Yoshioka? Bagaimana dengan Pedang Muramasa?
Nobunaga meledak karena marah, Kerahkan seribu
samurai untuk mengejar mereka! Geledah semua rumah di Kamakura, cari sampai ketemu, penggal kepala
mereka untukku!
Baik, Yang Mulia. Saya akan segera jalankan perintah Anda.
Konishiwa mundur, bangkit berdiri, kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. Dua puluh samurai di
belakangnya segera mengikutinya.
Udara malam yang dingin tidak membuat Konishiwa
membeku. Sesungguhnya ia tidak menyukai perintah
itu, betapa pun Ishida Mitsunari adalah kakak iparnya.
Namun sebagai seorang samurai, ia terikat tradisi kesetiaan pada shogun. Karena itu apa pun risikonya, ia
harus mengejar Ishida dan memenggal kepalanya.
Tidak ada pilihan lain untukku.
Nobunaga duduk di tepi ranjang dengan tubuh gemetar. Jantungnya serasa berdetak kencang. Ia tak
menduga Ishida akan melawannya. Perlawanan itu berarti perongrongan terhadap kewibawaannya. Kekuasaannya!
Belum usai satu persoalan, kini telah muncul satu
persoalan baru. Apa pun alasannya, pembelotan Ishida
Mitsunari tetap menjadi benih yang berbahaya. Kalau
sekarang dengan kaki terpenggal, lelaki itu dapat
membunuh enam samurai pilihan, tak dapat disangkal
kelak ia dapat membunuh lebih banyak lagi. Ia bisa lebih berbahaya dibanding Saburo.
Naoko tahu bagaimana gejolak hati Nobunaga. Ka-

rena itu dengan lembut ia memeluk lelaki itu dari belakang. Buah dadanya menempel lekat ke punggung
Nobunaga. Kedua tangan geisha tersebut mulai membelai-belai dadanya. Ia mulai merangsangnya.
Nobunaga memegang jemari Naoko, menarik wajah
wanita itu, kemudian mencium bibirnya dengan penuh
nafsu. Hisapan itu demikian kuat hingga membuat Naoko hampir tercekik.
Sesaat ketika Nobunaga menghentikan ciumannya,
lelaki itu bertanya, Perlukah kita terus mengejar Yoshioka?
Naoko kaget mendengar pertanyaan itu. Kenapa
Anda bertanya begitu?
Bukankah dia hanya seorang anak yang belum dapat berbuat apa-apa?
Dia bukan seorang anak yang tidak dapat berbuat
apa-apa, tukas Naoko dengan nada penuh kebencian.
Dia adalah benih yang berbahaya. Bila tidak dibunuh
saat ini, kelak dia dapat menjadi samurai yang mengancam kekuasaan Anda. Selain itu, jangan Anda remehkan, Yoshioka kini bersama Saburo Mishima.
Dapatkah dia melawan seribu tentaraku seorang
diri?
Kita tidak dapat menduganya. Tetapi sejarah sering
membuktikan, banyak kekuasaan hancur karena kekuatan yang tidak terduga.
***
Pagi hari. Udara dingin membekukan pori-pori kulit.
Angin menemperas masuk lewat celah-celah gubuk.
Natane Yoshioka, Kojiro, dan Saburo masih tidur nyenyak. Tiba-tiba pintu dibuka dengan keras dari luar.
Saburo langsung mencabut pedang. Cahaya matahari
yang menerobos masuk membuatnya matanya silau.
Sepintas ia melihat sesosok gadis kecil menatapnya,

kemudian gadis itu berlari ketakutan.


Hanya sejenak Saburo menoleh pada Yoshioka, lalu
segera melompat mengejar gadis itu.
Tunggu! jangan lari! teriak Saburo mencoba menghentikan gadis itu.
Tetapi kata-katanya tak didengarkan, gadis itu terus berlari ke arah sungai. Tanpa pikir panjang, Saburo berlari lebih kencang untuk mengejar gadis itu. Betapa pun kehadiran gadis tersebut dapat membahayakan jiwa mereka.
Hampir seratus meter gadis itu lari, akhirnya Saburo berhasil menangkap pergelangan tangannya. Saat
disentakkan, gadis tersebut akan berteriak, dengan sigap Saburo membekap mulutnya.
Jangan berteriak, desis Saburo sambil terengahengah. Kami bukan orang jahat.
Gadis itu sangat ketakutan. Matanya melotot, wajahnya jadi pucat. Ia mencoba meronta, tetapi Saburo
mendekapnya dengan kuat. Apa pun alasannya, Saburo tidak ingin lengah. Ia harus dapat meyakinkan bahwa gadis itu tidak akan membuka rahasia.
Ketika gadis itu masih meronta-ronta, Natane dan
Kojiro sampai di tempat itu.
Hei, kenapa Sensei menyakitinya? tanya Yoshioka
tak menyetujui perbuatan Saburo.
Saya sebenarnya tidak ingin menyakitinya, tetapi
saya mempunyai alasan untuk membuatnya tidak berteriak.
Dia masih kecil. Dia pasti sangat ketakutan.
Saburo berkata pada gadis kecil itu, Saya akan melepasmu, tetapi kau harus berjanji tidak akan berteriak.
Gadis itu menatap Yoshioka dan Kojiro, anak-anak
yang sebaya dengannya itu menatapnya tanpa ekspresi.

Ayahku akan melepasmu, kata Kojiro sambil mendekati gadis itu. Tetapi engkau jangan menjerit atau
berteriak. Teriakanmu dapat membahayakan kami.
Percayalah, kami bukan orang jahat.
Yoshioka turut bicara, Kalau engkau berjanji tidak
menjerit, kami akan membebaskan dirimu. Aku bahkan akan memberimu hadiah.
Gadis itu menatap bimbang pada Yoshioka. Lalu dengan ragu-ragu ia mencoba menganggukkan kepala.
Jangan menjerit, bisik Saburo lembut. Karena kalau engkau menjerit, kami terpaksa menyakitimu.
Gadis itu menganggukkan kepala.
Lepaskan dia, Sensei, kata Yoshioka pada Saburo.
Kita telah membuatnya sangat ketakutan.
Pelan-pelan Saburo melepaskan gadis itu.
Siapa namamu? Yoshioka mencoba bertanya.
Miyagi.
Saya Natane. Natane Yoshioka.
Gadis itu menatap Kojiro.
Saya Kojiro, kata Kojiro tanpa tekanan. Kemudian
dia menunjuk Saburo. Dia ayahku. Saburo Mishima.
Kenapa kalian tidur di gubukku? gadis itu mulai
berani bertanya.
Yoshioka dan Kojiro menatap Saburo. Mereka tidak
tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Kami kemalaman, jawab Saburo datar. Karena itu
kami terpaksa bermalam di gubukmu.
Apakah kalian tidak memiliki tempat tinggal?
Ya, kami memang pengembara.
Kenapa kalian membawa pedang? Apakah kalian
samurai?
Kami shugyosa, samurai pengembara, jawab Saburo sekenanya. Kami biasa bermalam di mana saja.
Kebetulan malam ini kami berada di sini.
Miyagi menatap Saburo, matanya nanar, seakan in-

gin mempercayai ucapan lelaki di depannya.


Apakah engkau tinggal di sekitar tempat ini? Saburo kembali bertanya. Ia harus tahu pasti siapa-siapa
yang tinggal bersama gadis itu.
Ya, jawab Miyagi datar. Saya tinggal bersama ayah
dan ibu. Rumah kami tak jauh dari sini, di lembah.
Apakah ini gubuk orang tuamu?
Benar. Ayah dan ibu baru saja kembali dari hutan
mencari mugwort, kami biasa membuat moxa di sini.
Pantas selama ini mereka tak pernah kelihatan.
Di mana orang tuamu sekarang?
Di rumah. Mereka lelah setelah seharian melakukan perjalanan. Kini mereka sedang tidur. Apakah kalian ingin bertemu dengan mereka?
Katakan pada orang tuamu, kami ingin bertemu.
Kami ingin minta maaf telah menggunakan gubukmu
tanpa izin.
Baiklah, saya akan memanggil mereka.
Miyagi berlari menuju ke rumahnya. Rambut gadis
itu berkibar diterpa angin.
Saburo diam. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Kini
mereka berada dalam situasi yang kurang menguntungkan. Saat ini sebenarnya lebih baik tidak berhubungan dengan orang lain, karena dengan begitu, semua rahasia tersimpan baik. Saburo yakin, pertemuan
ini akan berbuntut panjang.
Natane Yoshioka dan Kojiro sekarang duduk di atas
rumput. Masih berembun. Mereka tak peduli. Kedua
anak itu sama-sama diliputi ketegangan. Hampir dua
bulan mereka tak bertemu orang lain. Sekarang mereka bertemu, justru dalam suasana yang tidak menyenangkan.
Hampir lima belas menit mereka menunggu, sampai
akhirnya terdengar ranting kering terinjak kaki. Saburo Mishima segera mendorong pedangnya keluar, sua-

tu tindakan berjaga-jaga. Ia tidak mau mati konyol.


Beberapa menit kemudian muncul dua orang lakilaki, seorang perempuan, dan Miyagi. Kedua laki-laki
itu masing-masing membawa tombak. Tetapi melihat
cara menggenggam senjata itu, Saburo yakin mereka
hanya petani biasa. Karena itu ia merasa lega.
Kedua laki-laki itu berjalan mendekat. Ketika jarak
mereka hanya tinggal lima meter, salah seorang di antara mereka bertanya, Siapa kalian?
Saburo mendekati Natane Yoshioka, dengan cara itu
ia ingin menguji apakah para petani itu berada di pihak mana. Dugaan Saburo menjadi kenyataan, ketika
kedua lelaki itu melihat pakaian Yoshioka, mereka terlihat terperanjat, saling pandang, kemudian tanpa diperintah, serentak bersujud di tanah.
Yang Mulia Natane Yoshioka!

***

KUIL MURO
KUIL Muro terletak di lereng Gunung Muro, sebuah kuil
yang didirikan pada zaman Heian. Dahulu kuil ini dipergunakan Puak Taira untuk berlatih meditasi dan
Seni Perang. Hal itu berlangsung sesudah perlawatan
Puak Taira ke Cina. Mereka mendapatkan buku Seni
Perang buah karya Soen-Tzu. Tak mengherankan bila
di kuil ini terdapat banyak kata-kata bijaksana peninggalan jenderal Cina itu.
Soen-Tzu menulis:
Inilah yang penting diketahui tentang medan perang
Ada yang dapat menerobos.
Ada yang membatasi

Ada bagian yang terpencil.


Ada yang memungkinkan gerak laju.
Ada jarak yang harus diperhitungkan.
Ishida Mitsunari termangu, mencoba merenungkan
kata-kata itu. Di bagian dinding lain, ada tulisan SoenTzu.
Barang siapa mengenal seni perang, tak akan serampangan ia dalam gerakannya. Ia kaya akan gagasan,
dan membatasi nafsu. Namun demikian, barang siapa
mengenal dirinya sendiri dan mengenal musuhnya, ia
senantiasa menang dengan mudah. Barang siapa mengenal langit dan bumi, ia senantiasa menang atas segalanya.
Ishida mencoba menerka-nerka, apa yang dimaksudkan oleh Soen-Tzu.
Namun kenyataannya, Seni Perang Soen-tzu tidak
berhasil menyelamatkan Kuil Muro. Ketika terjadi pertempuran antara Puak Taira dan Minamoto, tentara Minamoto berhasil menghancurkan musuhnya. Dengan
cerdik ia kemudian menghancurkan Kuil Muro untuk
mencegah musuhnya mempergunakan kuil ini untuk
kembali membangun kekuatan. Shogun Minamoto
mengeluarkan larangan bagi siapa pun untuk datang
ke Kuil Muro. Bagi yang melanggar larangan ini, Shogun menjatuhi hukuman mati.
Itu sebabnya kuil ini tak terjamah oleh manusia.
Bangunan utamanya telah runtuh, patung-patungnya berserakan. Kesunyian di tengah kuil itu menumbuhkan suasana angker yang mencekam. Tidak seorang pun pernah mendatangi tempat itu. Kecuali sejumlah kera dan babi hutan, hanya burung dan kelelawar yang menghuni tempat tersebut.
Kesunyian itu sangat cocok untuk tempat persembunyian. Ishida Mitsunari pernah sampai di kuil Muro,
ketika menemani Shogun Ashikaga berburu babi hu-

tan. Pada waktu itu ia hanya lewat. Tapi kini, ketika


membutuhkan persembunyian, tiba-tiba Ishida teringat
kuil tersebut. Tak seorang pun akan menduga ia berada di tempat itu.
Sehabis membunuh ketujuh orang yang mengawalnya, Ishida Mitsunari telah bertekad melakukan pembalasan dendam. Ia bersumpah untuk membunuh Saburo Mishima, untuk membersihkan namanya. Karena
itu, untuk melaksanakannya, ia perlu menyempurnakan ilmu pedangnya. Tempat terbaik untuk itu adalah
Kuil Muro.
Enam hari enam malam Ishida berjalan kaki, menembus hutan dan mendaki bukit. Akhirnya ia sampai
di tempat yang ia tuju. Ketika menatap reruntuhan
Kuil Muro, Ishida tersenyum lebar. Ia merasa mendapatkan tempat yang sangat baik untuk berlatih. Selain
sejumlah babi hutan, di sekitar tempat itu banyak terdapat pohon buah-buahan.
Aku tidak akan kelaparan di sini. Kurasa tidak ada
tempat yang lebih baik dibanding kuil ini.
Mulailah Ishida menjalani pengasingan. Pada malam hari ia melakukan meditasi. Sesekali dengan nyala
api buah kenari, ia membuat lukisan di lantai dengan
arang. Ia mencoba menggambarkan gerakan silat yang
telah ia pelajari. Di siang hari, tanpa mengenal lelah,
Ishida menyempurnakan ilmu pedangnya. Ia melatih
gerakan-gerakan tangannya, sambil membayangkan
ilmu pedang Saburo Mishima. Masih terbayang di pelupuk matanya, bagaimana lelaki itu memenggal kakinya. Senyum kemenangan Saburo setiap hari melintas
di dalam tidurnya.
Aku harus mengalahkannya. Hanya dengan membunuh Saburo dendamku terlampiaskan.
Dendam kesumat itu sering muncul dalam tidurnya. Berganti-ganti dengan ekspresi kemarahan Sho-

gun Nobunaga. Masih terbayang jelas di matanya, bagaimana shogun itu mengusir dan mencacinya. Pengusiran itu benar-benar merupakan penistaan terhadap
dirinya. Bila mengenang hal itu, tumbuh dendam baru
di dalam dirinya. Ia menyadari, musuhnya bukan hanya Saburo, tetapi juga shogun Nobunaga.
Betapa menyenangkan bila aku dapat membunuh
mereka berdua. Kedua orang itu telah menghancurkan
hidupku. Mereka harus menerima balasan yang setimpal.
Satu-satunya hambatan yang merisaukan Ishida
adalah kaki kirinya yang terpenggal. Cacat itu mengurangi kelincahan gerakannya. Tebasan pedang yang
kuat, membutuhkan perimbangan gerakan pada kaki.
Ilmu pedang membutuhkan kegesitan sekaligus kelincahan. Kenyataan itu lama-kelamaan menumbuhkan
perasaan frustrasi pada dirinya. Namun sebaliknya,
rasa frustrasi tersebut, semakin mempertebal dendamnya terhadap Saburo. Dendam itu membangkitkan semangat hidupnya.
Aku harus mengatasinya, kata Ishida meyakinkan
dirinya. Apa pun yang terjadi, kakiku tidak akan terpulihkan. Tapi aku harus menemukan jalan untuk melampiaskan dendam.
Pada hari ketiga puluh tujuh, Ishida Mitsunari tengah menggambarkan gerakan kaki pada ayunan pedang Dewa Membelah Lautan, tiba-tiba kesadarannya
muncul, ia tak mungkin melakukan ayunan itu dengan
sempurna apabila kedua kakinya tidak menapak tanah. Dengan arang, ia mencoret-coret bagian gambar
kaki yang cacat. Tiba-tiba coretan itu memberikan inspirasi baru!
Aku dapat melengkapi kakiku dengan kayu! serunya dalam hati. Bila panjang kayu itu sama dengan
kakiku, tak ada bedanya aku memiliki kaki atau kayu!

Esoknya Ishida membuat sambungan kaki dari kayu ek. Pada sore hari, ia telah dapat berdiri tegak. Kaki
itu terbukti sangat membantu gerakannya. Bahkan inspirasinya bertambah, ia ingin melapisi ujung kakinya
dengan mata lembing, sehingga kaki tersebut dapat dipergunakan sebagai senjata.
Aku memerlukan bantuan seseorang.
Paginya, dengan menyamar, Ishida Mitsunari turun
ke desa terdekat. Ia menjumpai seorang pandai besi.
Buatkan saya kaki lembing untuk melapisi kaki
kayu ini, katanya menerangkan.
Kenapa tidak menggunakan bahan dari karet saja?
Saya ingin dibuat dari baja terbaik sehingga tidak
mudah rusak. Kecuali itu, buatkan pula lapisan runcing di penyangga tubuhku.
Empat puluh real.
Tiga puluh.
Saya lebih baik membuat pedang bila tidak dibayar
empat puluh.
Baiklah. Saya akan membayarnya jika sudah selesai.
Tiga hari lagi Tuan dapat kemari.
Terima kasih.
Ketika akan kembali ke Kuil Muro, Ishida melihat
orang-orang berkerumun di depan sebatang pohon
kering. Ia mendekat, ingin melihat ada peristiwa apa
sehingga menarik perhatian begitu banyak orang.
Dahinya seketika berkerut ketika melihat apa yang
membuat orang-orang berkerumun. Tak lain, plakat
Shogun Nobunaga tentang sayembara perburuan Saburo dan dirinya dengan hadiah seribu real. Ketika
Ishida mendekat, beberapa orang pergi dari tempat itu
sambil menatapnya penuh selidik. Satu hal yang menyelamatkan Ishida, ia kini membiarkan rambutnya terurai panjang. Juga kumis serta jenggotnya. Penyama-

ran itu terbukti berhasil. Meskipun pada plakat itu


terdapat gambar dirinya, namun tak seorang pun mengenalinya.
Bangsat! Rupanya Nobunaga memberi harga seribu
real untuk kepalaku. Akan kubuat kepalanya tak berharga.
Aku akan mencarinya ke Edo, kata seorang samurai yang berdiri di dekat Ishida pada temannya. Ishida
seorang laki-laki kaya. Dia tidak akan tahan hidup di
hutan atau desa-desa. Satu-satunya kota yang mungkin ia tuju hanya Edo. Di sana keluarganya berada.
Apakah kau yakin dia menuju Edo? temannya bertanya.
Ya. Di Edo ia memiliki sejumlah teman. Kau sendiri
akan ke mana?
Aku akan menuju Izu. Siapa tahu dia bersembunyi
di sana.
Baiklah kalau begitu kita berpisah, mudah-mudahan kita dapat menemukan mereka.
Kedua samurai itu saling berjabat tangan, kemudian berjalan meninggalkan tempat itu. Ishida menatap mereka sambil menghela napas panjang.
Kelak aku akan membunuh mereka.
Tiga hari kemudian, Ishida menemui pandai besi.
Sudah saya selesaikan semua, kata pandai besi
itu sambil memperlihatkan pesanan Ishida. Sekarang
berikan dulu uangnya, baru saya berikan pesanan ini.
Secepat kilat Ishida mencabut pedang lalu menebas
tubuh pandai besi itu. Laki-laki tersebut tidak pernah
menduga akan mendapat serangan seperti itu. Ia tetap
berdiri membeku ketika merasakan cairan hangat berwarna merah membanjiri tubuhnya. Sabetan pedang
itu demikian hebat sehingga pandai besi itu tak dapat
merasakan apa-apa. Saat kesadarannya pulih, tubuhnya telah merosot, lalu terjungkal di tanah. Saat itu is-

tri pandai besi tersebut muncul dari rumahnya. Ketika


melihat tubuh suaminya terbaring berlumur darah, ia
menjerit histeris. Tetapi sebelum jeritan itu didengar
orang lain, Ishida telah menebas tubuh wanita itu dari
belakang.
Maafkan saya, kata Ishida Mitsunari sambil memasukkan pedangnya. Saya terpaksa membunuh kalian agar tidak ada yang tahu mengenai diriku.
Dengan tertatih-tatih, Ishida kemudian meninggalkan tempat itu.
Di kuil, Ishida tersenyum lebar, bangga terhadap dirinya. Ia kini memiliki tiga senjata yang sangat mematikan. Pedang panjang di tangan kanan, penyangga
kaki yang dapat berfungsi sebagai tombak, dan kaki
yang tajam mematikan.
Hujan deras mengguyur Kuil Muro, namun Ishida
tidak peduli. Kegembiraan telah mengalahkan keletihannya. Ia terus berlatih, mencoba menggunakan segala kemungkinan dengan kaki kirinya. Tak seorang
pun menduga, cacat itu akhirnya justru menjadi kekuatan yang tak terduga. Rasa frustasinya seketika lenyap, pikirannya kini dipenuhi luapan kegembiraan
tak terkatakan. Ia gembira karena akan dapat melakukan pembalasan dendam pada Saburo, dan Nobunaga!
Aku bersumpah, akan memasuki jalan iblis untuk
membalas dendam. Akan kutumpas semua musuhku
hingga anak cucunya. Mereka akan menyadari kesalahannya, akan kubuat mereka meratap meminta kematiannya!

***

PENGKHIANATAN
BUKIT tempat persembunyian Saburo tampak lebih hitam dibanding pernis yang paling hitam, sementara
gunung di kejauhan terlihat pucat seperti mika. Musim
semi masih menebarkan bau harum dan hangat. Bambu kuning dan tumbuhan wistaria menjerat kabut
transparan.
Pondok bambu di lereng bukit itu terasa hangat. Terutama bagi Yoshioka dan Kojiro. Kedua anak itu merasa terlepas dari kesunyian. Keluarga Miyagi menerima mereka dengan penuh hormat. Mereka menanak
nasi kemudian mencarikan sayur-mayur untuk lauk.
Lelaki itu menangkap ikan dari kolam, lalu menghidangkan sebagai ikan bakar yang lezat.
Natane Yoshioka dan Kojiro makan dengan lahap.
Selama ini mereka hanya makan buah-buahan dan
ikan segar, karena itu suguhan keluarga Miyagi membuat mereka merasakan kenikmatan yang berlipat
ganda. Hanya Saburo yang mencoba menekan rasa lapar dalam dirinya. Sebagai seorang samurai, ia tetap
bersikap waspada. Betapa pun, mereka belum tahu banyak tentang keluarga Miyagi, termasuk kesetiaannya
pada Shogun Ashikaga.
Dari keluarga itu pula, mereka mengetahui Shogun
Nobunaga telah mengeluarkan perintah pengejaran
terhadap mereka, dan Ishida Mitsunari. Pembelotan
Ishida menyebabkan Nobunaga murka, dan dia telah
memerintahkan seratus orang samurai mengejar lelaki
berkaki satu itu. Nobunaga telah menyebar plakatplakat di seluruh wilayah kekuasaannya berisi sayembara menangkap Ishida dan Yoshioka.

Shogun menyediakan hadiah seribu real untuk kepala Yang Mulia, kata Miyazawa pada Saburo. Bahkan bagi orang yang dapat memberitahukan tempat
persembunyian Anda, shogun tetap akan memberikan
hadiah itu.
Kalau begitu kepalaku cukup berharga, seloroh
Yoshioka sambil tersenyum.
Saya mendengar perburuan itu dilakukan sebenarnya karena hasutan geisha simpanan shogun Nobunaga.
Siapa?
Kalau tidak salah namanya Naoko Yoritomo. Seorang geisha dari Fujiwara yang memiliki dendam pada
Yang Mulia Ashikaga.
Yoshioka terpaksa menanggungkan dosa ayahnya.
Ia menjadi buronan karena dendam seorang geisha.
Pada saat mereka menyantap hidangan, seluruh keluarga Miyagi duduk di atas tatami, lima meter dari
meja makan. Mereka menatap ketiga tamunya dengan
tatapan nanar. Tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, suatu saat bakal menjamu putra shogun Ashikaga di rumahnya.
Siapakah yang menanak nasi ini? Natane Yoshioka bertanya.
Miyagi, jawab lelaki itu bimbang. Mohon dimaafkan bila ternyata kurang enak.
Justru saya ingin mengatakan nasi ini sangat enak.
Rasanya belum pernah saya makan nasi seenak ini.
Terima kasih, Yang Mulia.
Apakah beras ini hasil panen sendiri?
Benar, Yang Mulia. Kami memiliki beberapa petak
sawah yang cukup subur.
Sayur ini?
Demikian pula dengan sayur-sayuran itu. Kami
menanamnya sendiri di ladang.

Ikan ini?
Kami memiliki kolam di belakang rumah. Bila Yang
Mulia menghendaki, kami dapat menangkap lagi.
Apakah engkau ingin tambah ikannya? Yoshioka
bertanya pada Kojiro.
Tidak. Saya sudah kekenyangan. Rasanya tak ada
tempat lagi di perutku.
Bagaimana kalau kita bawa pulang?
Ke mana?
Yoshioka terdiam. Ia bingung menjawabnya. Sesudah pertemuan dengan keluarga Miyagi, rasanya mereka tidak bebas lagi menggunakan gubuk di atas bukit sebagai tempat persembunyian. Yoshioka kemudian
menoleh pada Saburo. Tetapi lelaki itu tak mempedulikannya.
Apabila Yang Mulia berkenan, saya persilakan
menginap di sini. Kami masih memiliki dua buah kamar yang kosong.
Terima kasih, saya rasa....
Tidak perlu, potong Saburo cepat. Apabila Anda
mengizinkan, kami akan berterima kasih sekali bila dibiarkan menggunakan gubuk itu untuk sementara
waktu.
Saya merasa tidak pantas bila membiarkan Yang
Mulia tidur di gubuk itu.
Jangan terlalu dipikirkan. Buktinya kami telah
tinggal di sana lewat satu bulan.
Ayah Miyagi membungkukkan badan hingga kepalanya menyentuh lantai. Kalau begitu, saya tak dapat
menghalanginya.
Ayah Miyagi bernama Miyazawa, seorang pandai besi. Sudah hampir dua puluh tahun lelaki itu membuat
pedang untuk kaum samurai. Ia bekerja dibantu oleh
adiknya, Takezo, seorang lelaki bertubuh tegap dengan
sinar mata mengandung keculasan. Saat pertama ber-

temu di atas bukit, naluri Saburo mengatakan harus


bersikap hati-hati pada Takezo. Laki-laki tersebut tidak
dapat dipercaya. Sikap pendiamnya sangat mencurigakan. Karena itulah, Saburo terus bersikap waspada.
Beberapa kali Saburo melihat Takezo menatap Pedang
Muramasa di tangannya. Sebagai seorang pandai besi,
Takezo pasti tahu nilai Pedang Muramasa, karena itu
tatapan lelaki tersebut (bagi Saburo) mengandung marabahaya.
Di depan rumah Miyazawa, terdapat tempat pembuatan pedang. Saburo membiarkan Yoshioka dan Kojiro
melihat bagaimana cara membuat naginata. Sebagai
calon samurai kedua anak itu memang harus mengetahui rahasia di balik pedang mereka. Kedua anak
itu terheran-heran menyaksikan proses pembuatan
naginata. Pedang itu ternyata tidak dibuat dari baja
yang kemudian ditempa tipis, tetapi sekumpulan bilahbilah baja dari berbagai tingkat ukuran yang kemudian
ditempa menjadi satu.
Dahulu kami memang membuat pedang dari baja
tebal yang ditempa, kata Miyazawa menjelaskan. Tetapi cara itu hanya dapat menghasilkan pedang kualitas nomor dua. Meskipun ketajamannya tak perlu diragukan, namun pedang jenis itu mudah patah. Pernah
pula kami coba mempergunakan baja lunak, tidak
mudah patah, namun jenis itu kehilangan ketajamannya. Baru sesudah bertahun-tahun kami mencoba,
akhirnya menemukan cara pembuatan pedang seperti
yang sekarang kami lakukan.
Lapisan-lapisan baja dengan pelbagai tingkat keras
lunaknya ditempa bersama supaya bersatu menjadi lipatan-lipatan logam. Lipatan itu kemudian dipanaskan, dilipat lagi, lalu ditempa lagi tipis-tipis. Sesudah diulang kira-kira dua belas kali, baja itu menjadi
ribuan lapisan logam keras dan lunak yang masing-

masing hanya setebal kertas. Bila salah satu sisinya


diasah menjadi sisi yang tajam, baja yang keras menyembul, oleh karenanya pedang itu tak mudah tumpul. Sedang akibat adanya baja lunak, kelenturan pedang tersebut sangat luar biasa. Ia tidak mudah patah
dan memiliki ketajaman seperti pisau cukur.
Bolehkah saya mencobanya? Yoshioka bertanya
pada Miyazawa ketika lelaki itu menyelesaikan sebuah
naginata.
Silakan, Yang Mulia.
Yoshioka mengambil pedang itu, menimang-nimangnya dengan riang. Belum pernah ia memegang
pedang sungguhan. Selama ini Saburo hanya memberikan pedang kayu padanya. Pedang itulah yang mereka gunakan untuk berlatih. Tapi kini, ketika tangannya menggenggam pedang sungguhan, tiba-tiba
daya hidupnya deras mengalir dalam dirinya.
Yoshioka bertanya lagi, Dapatkah saya mencoba
ketajamannya?
Di belakang rumah, terdapat sebatang pohon yang
biasa kami gunakan untuk menguji pedang buatan
kami. Bila Yang Mulia berkenan, silakan mencobanya
di sana.
Di mana?
Mereka berjalan memutari rumah itu. Di belakang
rumah tersebut memang terdapat beberapa batang pohon penuh luka. Natane Yoshioka mendekati sebatang
pohon yang cukup besar, kemudian ia menggenggam
gagang pedang itu selama beberapa saat, lalu dengan
menjerit, ia menebas pohon itu dengan ayunan melintang. Seketika pohon itu terpotong menjadi dua.
Benar-benar luar biasa, puji Yoshioka pada Miyazawa. Bolehkah aku memilikinya?
Silakan bila Yang Mulia menghendakinya.
Bolehkah saya memilikinya, Sensei? Yoshioka ber-

tanya pada Saburo.


Sesungguhnya belum saatnya, jawab Saburo.
Kenapa?
Setiap pedang memiliki garis takdirnya sendiri. Setiap samurai harus mengenal pedangnya seperti ia mengenal dirinya sendiri. Karena itu saat ini lupakan lebih dulu keinginan itu, bila nanti sudah saatnya, akan
saya carikan pedang yang sesuai dengan jiwamu.
Berapa lama saya harus menunggu?
Tergantung berapa lama kematangan jiwamu.
Yoshioka menyerahkan kembali pedang itu pada
Miyazawa.
Saya sesungguhnya ingin memiliki pedang itu, namun karena Sensei berpandangan demikian, saya kembalikan pedang ini.
Miyazawa kemudian memperlihatkan cara menguji
ketajaman pedangnya. Ia mengambil sebuah ember
kayu yang cukup besar di halaman rumahnya, mengisinya dengan air, kemudian meletakkan pedang buatannya tegak lurus di tengah ember itu.
Untuk apa? Yoshioka bertanya.
Yang Mulia dapat melihat seberapa tajam pedang
buatan kami.
Takezo diminta mengambil daun pohon sakura, lalu
menebarkan di dalam ember itu. Pada awalnya, baik
Yoshioka maupun Kojiro tidak mengetahui maksud
Miyazawa. Namun semenit berikutnya, mereka memandang pedang tersebut dengan perasaan takjub. Betapa tidak, angin yang berhembus menggerakkan daun
sakura menyentuh sisi tajam pedang itu, daun-daun
tersebut terbelah menjadi dua.
Natane Yoshioka berseru takjub, Wow, luar biasa!
Benar-benar setajam pisau cukur, sahut Kojiro pula.
Apa jadinya bagi tubuh samurai yang tertebas pedang ini?

Dia akan terbelah dua, Yang Mulia, kata Takezo


bangga.
Sangat mengerikan!
Saburo hanya membisu. Ia membiarkan kedua anak
itu mengagumi pedang Miyazawa.
Apakah aku tetap belum boleh memilikinya? Yoshioka bertanya pada Saburo.
Sekarang belum saatnya.
Bukankah seorang samurai lebih baik memiliki pedang sejak dini?
Tidak harus demikian. Pedang, seperti juga senjata
lain, sesungguhnya bermakna ganda. Dapat menjadi
suatu alat bela diri atau sebaliknya menjadi alat kejahatan. Karena itu seorang samurai harus memahami
lebih dulu filosofi kehidupannya sebelum dia membawa pedang di pinggangnya.
Apakah saya belum mengerti filosofi itu?
Masih dibutuhkan waktu untuk menyempurnakannya.
Saya merasa sudah tidak sabar untuk segera memilikinya.
Ingatlah, kesabaran adalah titik awal dari setiap
kemenangan. Bukankah Soen Tzu mengatakan begitu?
Yoshioka mendengus.
Percayalah, Yoshioka-san, akan tiba saatnya bagimu memiliki sebuah pedang yang baik.
Natane Yoshioka agak kesal, namun ia tidak ingin
memaksakan kehendaknya. Sesudah dua bulan hidup
bersama Saburo dan Kojiro, dalam dirinya tumbuh
penghargaan yang tinggi terhadap samurai itu. Meskipun kadang bersikap kasar, namun Yoshioka tahu hati
lelaki tersebut baik. Lebih dari itu ia selalu bersikap
tulus terhadapnya. Karena itu Yoshioka mencoba
menghargainya.

Pada sore hari, menjelang matahari terbenam, Saburo mengajak Yoshioka dan Kojiro naik ke atas. Dia
merasa lebih aman tinggal di gubuk kosong itu. Miyazawa dan isterinya mencoba mencegah, namun Saburo
tetap pada pendiriannya.
Biarkan mereka belajar hidup sebagai shugyosa,
kata Saburo pada Miyazawa. Karena itulah garis hidup
mereka.
***
Malam harinya, ketika tinggal berdua, Takezo berkata
pada Miyazawa.
Bagaimana kalau kita bunuh mereka?
Kau gila! Samurai itu telah mengalahkan Ishida Mitsunari, kita bukan tandingannya.
Lalu?
Bertarung dengannya sama dengan membiarkan
diri mati konyol.
Apa sebaiknya kulaporkan pada Shogun Nobunaga? Kalau mereka berhasil disergap, kita akan memperoleh hadiah besar. Seribu real akan membuat kita
kaya raya.
Bagaimana kalau pasukan Nobunaga gagal menyergap mereka?
Itu bukan urusan kita.
Samurai itu pasti akan kembali untuk memenggal
kepala kita.
Takezo terdiam. Ia menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Kata-kata Miyazawa benar, kalau
sampai ketiga orang itu lolos dari penyergapan, bukan
mustahil mereka akan kembali untuk membalas dendam. Tetapi hadiah seribu real terus mengganggunya.
Mereka sekarang berada di atas bukit, akhirnya
Takezo berkata penuh tekanan. Jika tentara Nobunaga mengepung dari tiga penjuru, mereka tak mungkin

lolos. Di belakang mereka hanya ada jurang. Kukira


pengepungan itu pasti berhasil.
Bagaimana kalau gagal?
Tidak akan gagal.
Belum tentu. Buktinya selama ini hampir seribu
samurai mengejar mereka, tetapi tak seorang pun berhasil menemukan tempat persembunyiannya.
Justru itulah, kita harus melaporkannya. Kalau tidak, kita dapat disalahkan oleh Shogun Nobunaga. Kalau kita dituduh menyembunyikan ketiga orang itu,
matilah kita.
Kita tidak menyembunyikannya.
Tetapi gubuk itu milik kita. Kita tak mungkin menolak tuduhan mereka.
Ganti Miyazawa yang terdiam. Ia menyadari kebenaran kata-kata adiknya. Tiba-tiba ia merasa bimbang.
Bila ia tidak melaporkan, seluruh keluarganya dapat
ditumpas oleh Nobunaga jika ketahuan Saburo bersembunyi di rumahnya. Tetapi bila pengepungan itu
gagal, ia yakin Saburo akan datang untuk memenggal
kepalanya. Keduanya adalah dilema. Sulit memilih salah satu tanpa menghadapi risiko.
Ketika melihat kakaknya gelisah, Takezo segera berkata, Serahkan semua padaku. Biar aku yang berangkat ke Kamakura. Aku akan mencoba meyakinkan
Shogun, agar mengirimkan pasukan sebanyak-banyaknya. Penyergapan itu, bagaimana pun, tak boleh gagal.
Kau berani menanggungkan risikonya?
Kenapa tidak? Hidup ini memang penuh risiko, kenapa aku harus takut menghadapinya?
Aku takut....
Kenapa mesti takut, kita berada di wilayah Kamakura, demikian banyak samurai di sekeliling kita. Mereka semua mencari Saburo. Hanya dengan secuil in-

formasi, mereka pasti akan membantu kita. Kecuali


itu, seribu real bukan jumlah sedikit. Kita dapat membeli rumah di Kamakura, atau pindah ke Edo. Di sana
kita dapat hidup aman.
Saburo Mishima bukan samurai sembarangan. Dia
dulu seorang panglima perang....
Apa artinya seorang panglima perang dibanding seribu samurai bersenjata. Tidak ada kemungkinan dia
dapat menang.
Kau yakin?
Yakin seyakin-yakinnya.
Terserah kalau begitu. Kapan kau akan berangkat?
Malam ini juga. Semakin cepat aku sampai di Kamakura, kurasa akan semakin baik. Besok aku akan
kembali dengan pasukan Nobunaga.

***

PENGEPUNGAN
SABURO MISHIMA tersentak bangun. Tiba-tiba nalurinya yang tajam mengisyaratkan adanya bahaya. Sebagai samurai ia sangat terlatih. Indra keenamnya selalu
memberi firasat bila sesuatu akan terjadi. Dan biasanya, firasat itu selalu terjadi.
Sejak pertemuannya dengan Miyagi, naluri Saburo
mengatakan akan adanya bahaya. Keluarga pandai besi itu tidak dapat dipercaya, terutama Takezo. Sorot
mata lelaki tersebut mengisyaratkan kelicikan.
Saburo melihat Natane Yoshioka dan Kojiro masih
lelap. Dengan hati-hati ia berdiri sembari mengambil
pedangnya. Ia melangkah pelan-pelan. Lewat celah

dinding gubuk itu, Saburo mengintai keluar. Tidak ada


siapa-siapa. Di luar tetap sepi. Malam masih gelap.
Keadaan di luar hanya diterangi cahaya rembulan. Saburo mencoba mempertajam pendengarannya. Dalam
suasana gelap, ia terbiasa mengandalkan telinganya.
Saburo meletakkan pedangnya, kemudian membungkuk, menempelkan telinganya di tanah. Dadanya
seketika berdebar-debar. Detak jantungnya serasa
berhenti berdenyut. Ia mendengar derap kaki ratusan
jumlahnya. Tanpa berpikir panjang lagi ia membangunkan Yoshioka dan Kojiro.
Bangun. Kalian harus bangun! Saburo berbisik
sambil menggoyang tubuh keduanya.
Ada apa? Natane Yoshioka bertanya sambil mengerjap-ngerjapkan mata.
Saya masih mengantuk, sambung Kojiro karena
tidurnya merasa terganggu.
Seseorang mengkhianati kita, kata Saburo berbisik. Mereka sekarang mengepung kita.
Siapa?
Tentara Nobunaga.
Yoshioka kaget, Nobunaga?
Ya. Mereka sekarang sedang bergerak kemari. Ada
kira-kira tiga ratus prajurit sedang mendaki bukit ini.
Tiga ratus? Bagaimana Sensei tahu?
Dari langkah mereka yang terdengar.
Kojiro bertanya, Siapa yang mengkhianati kita?
Satu di antara dua pandai besi itu.
Pasti Takezo, kata Kojiro geram. Saya tidak menyukainya sejak pertama kali bertemu.
Soal siapa yang mengkhianati kita, tak usah dibicarakan sekarang, kata Saburo. Sekarang yang penting kita mencari jalan keluar untuk lolos dari kepungan mereka.
Bagaimana caranya?

Saya akan menuruni bukit untuk mengetahui seberapa besar kekuatan mereka. Kalian tunggu di sini.
Nanti setelah tahu jumlah musuh, kita baru bisa memastikan harus berbuat apa.
Baiklah, kami akan menunggu.
Saburo Mishima pelan-pelan berdiri. Ia berbalik, lalu bergegas pergi. Natane Yoshioka berpaling pada Kojiro, keduanya tampak tegang.
Akan kupenggal kepala Takezo kalau kita dapat lolos dari pengepungan ini, kata Yoshioka penuh kebencian.
Sejak awal aku sudah tidak menyukainya, sahut
Kojiro geram. Benar-benar kurang ajar!
Akan kubunuh seluruh keluarganya kalau terbukti
mereka berkhianat.
Kenapa seluruh keluarganya?
Mereka harus menanggungkan semua akibat
pengkhianatannya.
Bagaimana kalau hanya Takezo yang mengkhianati
kita?
Aku tidak peduli. Akan kupenggal kepala mereka
sebagai contoh bagi orang yang mengkhianati Ashikaga.
Juga Miyagi?
Yoshioka seketika berpaling pada Kojiro. Kenapa
dengan Miyagi?
Dia tak mungkin mengkhianati kita.
Bagaimana kau tahu?
Dia gadis yang baik.
Kau jatuh cinta padanya?
Kojiro gelagepan untuk menjawab.
Kau pasti sedang jatuh cinta, kata Yoshioka menggoda.
Kojiro memerah wajahnya. Ia lalu bergegas mengintip keadaan di luar lewat lubang pada dinding. Yoshi-

oka tersenyum mengerti.


Saburo berlari menuruni bukit. Ia mencari tempat
yang dapat untuk melihat hutan di bawahnya. Seketika hatinya terkesiap, pada jarak kira-kira tujuh ratus
meter di bawahnya, ia melihat ratusan tentara Nobunaga tengah mendaki bukit itu. Puluhan orang di antaranya membawa obor, sehingga tempat di sekitarnya
terang benderang. Api obor itu bergerak-gerak tertiup
angin, mirip lidah ular naga. Setiap pembawa obor, di
punggungnya terdapat bendera warna merah, lambang
keshogunan Nobunaga.
Derap kaki tentara itu terasa menggetarkan tanah
di sekitarnya. Mereka mendaki bukit dalam formasi
yang sangat rapat, sehingga mustahil Saburo dapat
bersembunyi.
Gila! desis Saburo marah. Rupanya Nobunaga tidak ingin memberi kesempatan padaku.
Seorang laki-laki yang memimpin penyergapan itu
berteriak-teriak memberi aba-aba. Pakaiannya yang
berlapis besi berkilauan tertimpa sinar rembulan.
Saburo tak ingin membuang waktu, ia segera berlari
ke arah utara, mencari jalan untuk lolos. Harapannya
sia-sia. Di lereng bukit sebelah utara, tampak ratusan
tentara panah tengah merayap mendaki bukit. Obor
yang dibawa untuk menerangi jalan menjadikan lereng
bukit itu seperti hutan terbakar.
Sial! Saburo mengumpat.
Menurut perkiraannya, ada sekitar dua ratus tentara panah memenuhi lereng bukit itu. Mereka terus
bergerak seperti semut api. Meskipun formasi mereka
tidak serapat tentara yang mendaki lereng bukit dari
arah Barat, tetapi seperti biasa, pasukan panah ini
bergerak berlapis-lapis. Rasanya sangat mustahil dapat menembus pertahanan mereka.
Saburo menyesal, kenapa membiarkan dirinya ter-

perangkap seperti saat ini. Coba seandainya ia mengikuti nalurinya yang memberi isyarat bahaya ketika melihat sinar mata Takezo, mereka tak akan terperangkap
dalam bahaya.
Seperti seekor harimau dikepung pemburu, Saburo
menggeram, menyesali kebodohannya. Ia kemudian
berlari ke arah Selatan, mencoba mencari kemungkinan untuk meloloskan diri. Kenyataannya justru lebih
buruk. Di sebelah selatan, ratusan samurai bergerak
mendaki bukit dengan pedang terhunus. Meskipun
jumlah mereka tidak sebanyak tentara panah, tetapi
Saburo tahu kaum samurai itu jauh lebih berbahaya
dibanding yang lain. Mereka adalah pendekar-pendekar pedang Yagyu yang menjadi kekuatan utama
tentara Nobunaga.
Saburo mendesis. Dadanya tambah berdebar-debar.
Ia kemudian berlari kembali ke gubuk. Natane Yoshioka dan Kojiro sudah menunggunya dengan harapharap cemas.
Bagaimana keadaannya? Yoshioka bertanya tak
sabar.
Sangat buruk, jawab Saburo. Mereka telah mengepung bukit ini. Barisan mereka sangat rapat, sehingga mustahil kita dapat menerobos kepungan mereka. Sepertinya tidak ada peluang untuk meloloskan
diri.
Kojiro berkata, Kalau begitu kita lawan mereka....
Ada hampir empat ratus tentara di sana, kata Saburo sambil menunjuk hutan di bawahnya. Kita hanya bertiga, rasanya tak mungkin melawan mereka.
Lantas?
Kita harus tetap mencari jalan keluar.
Bagaimana caranya?
Saburo diam. Otaknya berpikir keras. Satu-satunya
jalan hanya berlari ke arah Timur. Meskipun ia tahu

akan berhadapan dengan jurang menganga, tetapi itu


merupakan satu-satunya pilihan. Dalam hati Saburo
berpikir, sambil mundur ia akan mencari jalan keluar.
Sesungguhnya keadaan tidak akan serumit saat ini
bila saja ia sendirian. Tetapi kini ada dua anak yang
harus ia lindungi. Satu di antaranya putra shogun
yang harus ia bela meski nyawa taruhannya.
Kita lari ke Timur, katanya pada Yoshioka dan Kojiro.
Yoshioka meragukan keputusan Saburo, Di belakang kita hanya ada jurang.
Barangkali itu satu-satunya jalan keluar.
Saya lebih baik mati karena melawan mereka dibanding harus lari sebagai seorang pengecut.
Kita menghadapi lawan yang tak seimbang, lari merupakan salah satu siasat untuk memenangkan pertempuran. Saya memang belum tahu apakah dengan
lari kita dapat selamat, tetapi paling tidak, itulah jalan
satu-satunya yang dapat kita tempuh. Kalian masih
ingat ajaran Soen Tzu?
Kojiro berkata, Bila kita tidak mungkin menang, kita harus menghindari pertarungan.
Benar. Itu satu-satunya jalan.
Natane Yoshioka menatap tajam mata Saburo. Meskipun sebenarnya ia tidak menyetujui jalan pikirannya, namun ia tak ingin melawan kemauan lelaki itu.
Saburo berpaling pada Kojiro, kemudian muncul sebuah gagasan yang samar-samar, namun memberi celah untuk kemungkinan menyelamatkan Yoshioka.
Apa pun risikonya, ia harus menempuh jalan samurai,
jalan pengorbanan untuk keselamatan Natane Yoshioka. Apa pun wujud pengorbanan itu.
Kojiro, suaranya mantap, meski sedikit bergetar.
Saatnya engkau tunjukkan kesediaanmu berkorban
bagi Yoshioka-san. Maukah engkau mempertaruhkan

nyawamu untuk Yoshioka-san?


Apa yang harus saya lakukan?
Nyawamu.
Bagaimana caranya?
Saburo menoleh pada Natane Yoshioka, Yoshiokasan, saya minta engkau melepas pakaian kebesaranmu, dan biarkan Kojiro memakainya.
Kenapa?
Saat ini, tentara Nobunaga sedang mengejar dirimu. Tetapi sesungguhnya, mereka tidak mengetahui
wajahmu secara pasti. Karena itu biarkan Kojiro mengenakan pakaianmu. Bila sesuatu yang buruk terjadi,
mereka akan memenggal kepala Kojiro, bukan dirimu.
Tetapi....
Saat ini kita tidak perlu berdebat, potong Saburo
tegas. Suaranya tegas dan bergetar. Ada empat ratus
tentara Nobunaga mengejar kita, sebaiknya kita tak
perlu saling berbantah. Saburo kemudian berpaling
pada anaknya. Kojiro, sadarilah bahwa engkau seorang samurai sejati. Pertaruhkan nyawamu untuk keselamatan Yoshioka-san. Apabila engkau tertangkap,
mengakulah bahwa dirimu adalah Natane Yoshioka.
Mereka akan memenggal kepalamu. Tetapi jangan gentar, jiwamu akan masuk ke dalam sorga.
Kojiro menatap ayahnya, Saya siap melakukannya.
Tanpa banyak bicara, Saburo melepas pakaian Natane Yoshioka, kemudian mengenakan pada anaknya.
Sebaliknya Yoshioka mengenakan pakaian Kojiro.
Ketika sudah selesai, Saburo memberikan Pedang
Muramasa pada anaknya.
Bawa pedang ini sebagai bukti bahwa engkau adalah Natane Yoshioka. Jangan lepaskan pedang ini,
meskipun tebusannya adalah nyawamu.
Saya berjanji tidak akan melepaskannya.

Saburo berpaling pada Yoshioka, Mulai hari ini,


engkau harus mengaku sebagai Kojiro, apa pun yang
terjadi.
Saya berjanji.
Saburo merangkul kedua anak itu, lalu berkata
dengan suara bergetar, Sekarang kita siap menghadapi mereka.
Derap kaki tentara Nobunaga semakin dekat. Terdengar gemerisik pepohonan yang diinjak kaki. Juga
suara desah napas mengandung hawa nafsu membunuh. Kepungan itu semakin rapat. Tak memberi celah
sedikit pun bagi ketiga orang itu untuk meloloskan diri. Matahari mulai merambat ke kaki langit. Cahayanya
merayap di perbukitan itu. Mereka seperti sekumpulan
pemburu yang tengah mengepung binatang buruan.
Barisan terus menerus dirapatkan, tidak membiarkan
satu celah pun yang memberi kemungkinan lolos binatang buruan mereka.
Suasana terasa semakin menekan. Ketegangan ada
di mana-mana. Suasana pagi yang lembut, perlahanlahan berubah menjadi padang perburuan yang sangat
mencekam.
Tentara Nobunaga terus mendaki bukit. Anak panah mulai dipasang di tali busurnya. Tombak-tombak
disiagakan. Sementara para samurai mencabut pedang. Bilah-bilah pedang itu berkilat berkilauan tertimpa cahaya matahari. Sinar mata mereka seakan
membeku, membangkitkan nuansa pembunuhan yang
mengerikan.
(Bersambung ke buku kedua.)

Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel

Anda mungkin juga menyukai