Anda di halaman 1dari 2

Dikutip dari Antara News Jawa Timur (2010) menyebutkan bahwa Indonesia menduduki

peringkat tiga di dunia untuk penduduk yang melakukan buang air besar sembarangan (BABs)
setelah Cina dan India. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah angka kesakitan penyakit sanitasi
seperti diare memang tergolong besar.
Dalam kategori skala nasional, Publikasi Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia
tahun 2008 menyebutkan bahwa Provinsi Jawa Barat termasuk dalam wilayah 10 provinsi di
Indonesia yang memiliki prevalensi diare lebih tinggi dari angka prevalensi nasional yaitu lebih
dari 9 persen. Sementara itu, menurut Data Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang diketahui
bahwa diare menduduki peringkat pertama kategori penyakit menular dengan persentase kasus
sebesar 92,6 persen. Hingga pertengahan tahun 2008, kepemilikan fasilitas sanitasi dasar berupa
jamban di Kabupaten Sumedang juga masih di bawah 65% dari jumlah rumah tangga yang ada
Adanya program CLTS pilar pertama yaitu stop buang air besar sembarangan dengan
metode pembangunan jamban yang pernah dikampanyekan dan dilakukan di Kabupaten
Sumedang dalam kurun waktu 5 tahun mulai 2006 yang lalu melalui program Pagu Insentif
Kecamatan (PIK), PNPM mandiri, PAMSIMAS telah menghasilkan desa-desa sudah ODF
sebanyak 45 desa. Menurut informasi dari Kepala Dinkes Sumedang, sebanyak 10 desa di
Kecamatan Paseh telah dideklarasi ODF sejak tahun 2006. Adanya Target ODF sebanyak 114
desa di Kabupaten Sumedang tahun 2011 tentunya bukanlah hal yang mudah. Menurut paparan
Kepala Dinkes Sumedang perbedaan karakteristik budaya dan geografis dinilai menjadi dua
faktor penentu utama keberhasilan ODF di wilayahya. Blum (1974) yang dikutip dalam laporan
hasil riset kesehatan dasar Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2007 menyatakan bahwa status
kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yang saling berinteraksi yaitu faktor
lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan. Sehingga dalam hal ini perlu kajian
lebih lanjut tentang kasus diare di Sumedang yang diduga terkait keempat faktor tersebut.

Prevalensi penyakit akibat sanitasi buruk di Indonesia adalah penyakit diare sebesar 72%,
kecacingan 0,85%, scabies 23%, trakhoma 0,14%, hepatitis A 0,57%, hepatitis E 0,02% dan
malnutrisi 2,5%, sedangkan kasus kematian akibat sanitasi buruk
adalah diare sebesar 46%, kecacingan 0,1%, scabies 1,1%, hepatitis A 1,4% dan hepatitis E
0,04%
Beberapa penelitian menyebutkan tentang hubungan dan pengaruh sanitasi buruk oleh
karakteristik dan perilaku penjamu terhadap terjadinya penyakit infeksi. Diperkirakan 88%
(penelitian lain 90%) kematian akibat diare di dunia disebabkan oleh kualitas air, sanitasi dan
higiene yang buruk.

Berdasarkan data WHO pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 1.1 milyar orang atau 17%
penduduk dunia masih buang air besar di area terbuka, dari data tersebut diatas sebesar
81% penduduk yang BABS terdapat di 10 negara dan Indonesia sebagai Negara kedua
terbanyak ditemukan masyarakat buang air besar di area terbuka , yaitu India (58%),
Indonesia (5%), China (4,5%), Ethiopia (4,4%), Pakistan (4,3%), Nigeria (3%), Sudan
(1,5%), Nepal (1,3%), Brazil (1,2%) dan Niger (1,1%).
Di Indonesia, penduduk yang masih buang air besar di area terbuka sebesar 5%
merefleksikan 26% total penduduk Indonesia. (1) Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan
penduduk yang buang air besar di area terbuka sebesar 36,4% Sedangkan akses sanitasi
dasar sebesar 55,5 %.
Di Propinsi Jawa Tengah masih ditemukan penduduk yang buang air besar di area
terbuka sebesar 33,4%, data sanitasi dasar kepemilikan jamban sebesar 71% (2008), 72%
(2009) dan 65% (2010), akses air bersih 74% (2008), 78% (2009) dan 77% (2010),
sedangkan Angka kesakitan diare terjadi peningkatan yaitu 1,86% (2008) dan 1,95%
(2009). (23-25)
Profil kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa jumlah
penduduk yang masih buang air besar di area terbuka sebesar 29% (2008), 19% (2009)
dan 15% (2010). Data sanitasi dasar cakupan jamban sehat 57% (2008), 70% (2009) dan
74% (2010). Pemakaian sarana air bersih adalah 59% (2008), 64% (2009) dan 94% (2010),
sedangkan kasus diare dalam tiga tahun terakhir yaitu 2,3% (2008), 2,23% (2009) dan 2,07
% (2010). Kasus kecacingan pada tahun 2010 sebesar 0,1%
Di Puskesmas Bayat, berdasar laporan program STBM jumlah penduduk yang masih
buang air besar diarea terbuka sebesar 3,4% (2008), 3,3% (2009) dan 8% (2010), kasus
diare sebesar 1,7% (2008), 0,7% (2009) dan 1,7% (2010), cakupan air bersih sebesar 7,8%
(2008), 30% (2009) dan 83% (2010) dan kepemilikan jamban sebesar 66% (2008), 44%
(2009) dan 85% (2010). (26-27)
Upaya program peningkatan akses masyarakat terhadap sanitasi layak, telah dilaksanakan
khususnya pembangunan sanitasi diperdesaan. Hasil studi evaluasi menunjukkan bahwa
banyak sarana sanitasi yang dibangun tidak digunakan dan dipelihara oleh masyarakat.
Berdasarkan laporan MDGs, di Indonesia tahun 2010 akses sanitasi layak hanya mencapai
51,19% (target MDGs sebesar 62,41%) dan sanitasi daerah pedesaan sebesar 33,96%
(target MDGs sebesar 55,55%).(

Anda mungkin juga menyukai