Gangguan Eliminasi Urine
Gangguan Eliminasi Urine
c.
2.
vesika umbilikalis.
Dinding kandung kemih terdiri dari beberapa lapisan yaitu, peritonium (lapisan
sebelah luar), tunika muskularis, tunika submukosa, dan lapisan mukosa (lapisan
bagian dalam).
Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih yang
berfungsi menyalurkan air kemih keluar. Pada laki- laki uretra bewrjalan berkelok
kelok melalui tengah tengah prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang
1.
2.
3.
dari Tunika muskularis (sebelah luar), lapisan spongeosa merupakan pleksus dari
vena vena, dan lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam).Muara uretra pada wanita
terletak di sebelah atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra di sini hanya
sebagai saluran ekskresi.
b) Fisiologi
Tahap tahap Pembentukan Urine
a. Proses filtrasi
Terjadi di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferent lebih besar dari
permukaan aferent maka terjadi penyerapan darah, sedangkan sebagian yang
tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein, cairan yang tersaring
ditampung oleh simpai bowman yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida,
sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke seluruh ginja.
b. Proses reabsorpsi
Terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat
dan beberapa ion karbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan
obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal
bagian bawah terjadi kembali penyerapan dan sodium dan ion karbonat, bila
diperlukan akan diserap kembali kedalam tubulus bagian bawah, penyerapannya
terjadi secara aktif dikienal dengan reabsorpsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada
pupila renalis.
c. Augmentasi (Pengumpulan)
Proses ini terjadi dari sebagian tubulus kontortus distal sampai tubulus pengumpul.
Pada tubulus pengumpul masih terjadi penyerapan ion Na+, Cl-, dan urea sehingga
terbentuklah urine sesungguhnya.
Dari tubulus pengumpul, urine yang dibawa ke pelvis renalis lalu di bawa ke
ureter. Dari ureter, urine dialirkan menuju vesika urinaria (kandung kemih) yang
merupakan tempat penyimpanan urine sementara. Ketika kandung kemih sudah
penuh, urine dikeluarkan dari tubuh melalui uretra.
d. Mikturisi
Peristiwa penggabungan urine yang mengalir melui ureter ke dalam kandung
kemih., keinginan untuk buang air kecil disebabkan penanbahan tekanan di dalam
kandung kemih dimana saebelumnmya telah ada 170 23 ml urine. Miktruisi
merupakan gerak reflek yang dapat dikendalikan dan dapat ditahan oleh pusat
pusat persyarafan yang lebih tinggi dari manusia, gerakannya oleh kontraksi otot
abdominal yang menekan kandung kemih membantu mengosongkannya.
Proses Miksi (Rangsangan Berkemih).
Distensi kandung kemih, oleh air kemih akan merangsang stres reseptor yang
terdapat pada dinding kandung kemih dengan jumlah 250 cc sudah cukup untuk
merangsang berkemih (proses miksi). Akibatnya akan terjadi reflek kontraksi
dinding kandung kemih, dan pada saat yang sama terjadi relaksasi spinser internus,
diikuti oleh relaksasi spinter eksternus, dan akhirnya terjadi pengosongan kandung
kemih. Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan relaksasi
spinter interus dihantarkan melalui serabut serabut para simpatis. Kontraksi
sfinger eksternus secara volunter bertujuan untuk mencegah atau menghentikan
miksi. kontrol volunter ini hanya dapat terjadi bila saraf saraf yang menangani
kandung kemih uretra medula spinalis dan otak masih utuh.
Bila terjadi kerusakan pada saraf saraf tersebut maka akan terjadi
inkontinensia urin (kencing keluar terus menerus tanpa disadari) dan retensi
urine (kencing tertahan). Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur
oleh torako lumbar dan kranial dari sistem persarafan otonom. Torako lumbar
berfungsi untuk relaksasi lapisan otot dan kontraksi spinter interna. Peritonium
melapis kandung kemih sampai kira kira perbatasan ureter masuk kandung
kemih. Peritoneum dapat digerakkan membentuk lapisan dan menjadi lurus apabila
kandung kemih terisi penuh. Pembuluh darah Arteri vesikalis superior berpangkal
dari umbilikalis bagian distal, vena membentuk anyaman dibawah kandung kemih.
Pembuluh limfe berjalan menuju duktus limfatilis sepanjang arteri umbilikalis
(Potter & Perry, 2006).
c) Komposisi urine
Ginjal berfungsi sebagai organ ekskresi yang utama dari tubuh. Organ ini
membuang produk akhir metabolism tubuh. Urin terutama tersusun atas air. Individu
yang normal akan mengkonsumsi kurang lebih 1-2 liter air perhari, dan dalam keadaan
normal seluruh asupan cairan ini akan diekskresikan keluar termasuk 400 500 ml
yang akan diekskresikan ke dalam urin. Sisanya akan diekskresikan lewat kulit, paruparu pada saat bernapas, dan feses. Elektrolit, yang mencakup natrium, kalium, klorida,
bikarbonat dan ion-ion lain yang jumlahnya lebih sedikit juga diekskresikan melalui
ginjal.
Kelompok ketiga substansi yang muncul dalam urin terbentuk dari berbagai
produk akhir metabolism protein. Produk akhir yang utama adalah ureum, dengan
jumlah 25 g, diproduksi dan di ekskresikan setiap harinya. Produk lain dari metabolism
protein yang harus diekskresikan antara lain,kreatinin, fosfat dan sulfat. Asam urat hasil
dari metabolism asam nukleat juga di ekskresikan.
Dalam keadaan normal glukosa dan asam amino akan diabsorsi secara hampir
sempurna, sehingga kedua substansi ini tidak diekskresikan ke dalam urin. Protein
dalam keadaan normal juga tidak akan ditemukan dalam urin, karena tidak di filtrasi di
glomerulus karena ukurannya yang besar.
2. Penyebab/faktor predisposisi
a. Pertumbuhan dan Perkembangan
Seorang anak tidak dapat mengontrol pola berkemihnya secara volunter sampai ia
berusia 18-24 bulan. Proses penuaan juga mengganggu proses eliminasi urin. Masalah
mobilitas, kelemahan dan lansia juga mungkin akan mengalami kehilangan kemampuan
untuk merasakan bahwa kandung kemihnya penuh. Perubahan fungsi ginjal dan
kandung kemih juga terjadi seiring dengan proses penuaan. Kecepatan filtrasi
glomerulus menurun disertai penurunan kemampuan ginjal untuk memekatkan urin,
sehingga lansia sering mengalami nokturia (urinasi berlebihan pada malam hari).
b. Faktor Psikologis
Ansietas dan stress emosional dapat menimbulkan dorongan untuk berkemih dan
frekuensi berkemih meningkat. Ansietas juga dapat membuat individu tidak mampu
berkemih sampai tuntas. Ketegangan emosional membuat relaksasi otot abdomen dan
otot perineum menjadi sulit. Apabila sfingter uretra eksterna tidak berelaksasi secara
total, buang air dapat menjadi tidak tuntas dan terdapat sisa urin di dalam kandung
kemih.
c. Faktor sosiokultural
Adat istiadat tentang
privasi
berkemih
berbeda-beda.
Peraturan
sosial
kandung kemih atau uretra yang bersifatsementara (kanker kandung kemih), memiliki
stoma untuk mengeluarkan urin (Potter & Perry, 2006).
3. Patofisiologi
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Sistem
tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung
kemih dan uretra.
Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu : Kandung kemih secara progresif
terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian
mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks
berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidaktidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi
adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan
oleh pusat korteks serebri atau batang otak.
Kandung kemih dipersarafi saraf sakral (S-2) dan (S-3). Saraf sensori dari kandung
kemih dikirim ke medula spinalis (S-2) sampai (S-4) kemudian diteruskan ke pusat miksi
pada susunan saraf pusat. Pusat miksi mengirim signal pada kandung kemih untuk
berkontraksi. Pada saat destrusor berkontraksi spinter interna berelaksasi dan spinter
eksternal dibawah kontol kesadaran akan berperan, apakah mau miksi atau ditahan. Pada
saat miksi abdominal berkontraksi meningkatkan kontraksi otot kandung kemih, biasanya
tidak lebih 10 ml urine tersisa dalam kandung kemih yang disebut urine residu. Pada
eliminasi urine normal sangat tergantung pada individu, biasanya miksi setelah bekerja,
makan atau bangun tidur. Normal miksi sehari 5 kali.
Gangguan pada eliminasi sangat beragam. Masing-masing gangguan tersebut
disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan trauma yang menyebabkan
cedera
medulla
spinalis,
akan
menyebabkan
gangguan
dalam
mengkontrol
sisa meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen, dapat merusak
penghantaran impuls sensorik dan motorik dan meyebabkan kemampuan otot detrusor dan
spingter dalam merespon keinginan
analgesik narkotik dan anestesi dapat menyebabkan rusaknya impuls sensorik dan motorik
yang berjalan di antara kandung kemih, medula spinalis, dan otak. Otot kandung kemih
dan otot sfingter juga tidak mampu merepons terhadap keinginan berkemih (Sylvia,2006).
PATHWAY
Trauma
tulang
belakan
g
Operasi
pada
abdomen
bawah
Luka pada
medulla
spinalis (S2S3) saraf
kerusaan
Terdapat efek
anestesi &
analgesik
narkotik
Impuls
sensorik
simpatis dan
parasimpatis
Adanya
bekuan
darah/ batu
BPH, karsinoma
prostat, striktur
uretra, trauma
uretra
Obstruksi
saluran
kemih
Terjadi
penyempitan
saluran kemih
dan motorik
terganggu
Kemampuan otot
detrusor dan
spingter untuk
merespon
Kesulitan
untuk
keinginan
mengontrol
urinasi
Inkontinensi
a urine
Pengeluaran
urine
terhambat
penimbunan
urine di dalam
vesika urinaria
Retensi
urine
Gangguan eliminasi
4. Klasifikasi
a. Retensi Urine
Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata di dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih. Urine terus berkumpul di kandung
kemih, merenggangkan dindingnya sehingga timbul perasaan tegang, tidak nyaman, nyeri
tekan pada simfisis pubis, gelisah, dan terjadi diaphoresis (berkeringat). Tanda - tanda
retensi urine akut ialah tidak adanya haluaran urine selama beberapa jam dan terdapat
distensi kandung kemih. Pada retensi urine yang berat, kandung kemih dapat menahan
2000 - 3000 ml urine . Retensi terjadi terjadi akibat obstruksi uretra, trauma bedah,
perubahan stimulasi saraf sensorik dan motorik kandung kemih, efek samping obat dan
ansietas (Potter & Perry, 2006).
b. Infeksi Saluran Kemih Bawah
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang didapat di rumah sakit. Penyebab paling
sering infeksi ini ialah dimasukkannya suatu alat ke dalam saluran perkemihan. Misalnya
pemasukkan kateter melalui uretra akan menyediakan rute langsung masuknya
mikroorganisme. Kebersihan perineum yang buruk merupakan penyebab umum ISK pada
wanita. Faktor predisposisi terjadinya infeksi pada wanita diantaranya adalah praktik cuci
tangan yang tidak adekuat, kebiasaan mengelap perineum yang salah yaitu dari arah
belakang ke depan setelah berkemih atau defekasi. Klien yang mengalami ISK bagian
bawah mengalami nyeri atau rasa terbakar selama berkemih (disuria) (Potter & Perry,
2006).
c. Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine ialah kehilangan kontrol berkemih. Klien tidak lagi dapat
mengontrol sfingter uretra eksterna. Lima tipe inkontinensia adalah inkontinensia
fungsional, inkontinensia refleks, Inkontinensia stress, inkontinensia urge, dan
inkontinensia total. Inkontinensia yang berkelanjutan memungkinkan terjadinya
kerusakan pada kulit, sifat urine yang asam mengiritasi kulit. Klien yang tidak dapat
melakukan mobilisasi dan sering mengalami inkontinensia terutama berisiko terkena luka
dekubitus. Inkontinensia urine yang terdiri atas :
1. Inkontinensia dorongan
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urine tanpa sadar,
terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat untuk berkemih.
Kemungkinan penyebab :
Iritasi pada reseptor regangan kandung kemih yang menyebabkan spasme (infeksi
saluran kemih)
Peningkatan cairan
2. Inkontinensia total
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urine yang terusmenerus dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebab :
o Disfungsi neurologis
o Kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan
o Trauma atau penyakit yang memengaruhi saraf medulla spinalis
o Fistula
o Neuropati
Tanda-tanda inkontinensia total:
o Aliran konstan yang terjadi pada saat tidak diperkirakan
o Tidak ada distensi kandung kemih
o Nokturia
o Pengobatan inkontinensia yang tidak berhasil
3. Inkontinensia stress
Merupakan keadaan dimana seseorang yang mengalami kehilangan urine kurang dari
50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen
Kemungkinan penyebab:
Perubahan degeneratif pada otot pelvis dan struktur penunjang yang berhubungan
dengan penuaan
4. Inkontinensia refleks
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urine yang tidak
dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih
mencapai jumlah tertentu. Kemungkinan penyebabnya adalah kerusakan neurologis
(lesi medulla spinalis).
Tanda-tanda inkontinensia refleks :
o Tidak adanya dorongan untuk berkemih
o Merasa bahwa kandung kemih penuh
o Kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur
5. Inkontinensia fungsional
Merupakan keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urine secara tanpa
disadari dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebabnya adalah kerusakan
neurologis (lesi medulla spinalis)
Tanda-tanda inkontinensia fungsional :
Kontraksi mengeluarkan urine kandung kemih cukup kuat untuk (Potter & Perry,
2006)
d. Enurisis
Merupakan ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol) yang diakibatkan tidak
mampu mengontrol spinter eksterna. Biasanya terjadi pada anak-anak atau pada orang tua
(Isselbacher, Kurt J,1999.).
5. Gejala Klinis
a. Urgensi
: merasakan kebutuhan untuk berkemih
b. Disuria
: merasa nyeri atau sulit berkemih
c. Frekuensi
: berkemih dengan sering
d. Poliuria
: mengeluarkan urine yang banyak
e. Oliguria
: haluaran urine yang menurun dibandingkan dengan yang masuk
f. Nokturia
: berkemih yang sering pada malam hari
g. Hematuria : terdapat darah dalam urine
h. Dribling (urine yang menetes) : kebocoran/rembesan urine walaupun ada kontrol
terhadap pengeluaran urine
i. Retensi
: akumulasi urine di kandung kemih disertai ketidakmampuan
mengosongkan kandung kemih
j. Residu urine : volume urine yang tersisa setelah berkemih (volume 100 ml atau lebih)
(Potter & Perry, 2006).
6. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Perawat mengkaji kondisi mukosa mulut untuk mengetahui status hidrasi klien
Perawat dapat melihat adanya pembengkakan atau lekukan konveks pada abdomen
bagian bawah.
Perawat mengkaji meatus urinarius untuk melihat adanya rabas, peradangan dan luka
b. Palpasi
Perawat mengkaji status hidrasi klien dengan melalui turgor kulit
Perawat dapat mengkaji adanya nyeri tekan di daerah pinggul pada awal penyakit
pada saat memperkusi sudut kostovertebra (sudut yang dibentuk oleh tulang
belakang dan tulang rusuk ke 12)
Perawat yang memiliki keterampilan tinggi belajar mempalpasi ginjal selama proses
pemeriksaan abdomen sehingga dapat mengungkapkan adanya masalah seperti
tumor.
Perawat mempalpasi abdomen bagian bawah, kandung kemih dalam keadaan normal
teraba lunak dan bundar.
c. Perkusi
Sistocopy terlihat seperti kateter urine. Walaupun tidak fleksibel tapi ukurannya
lebih besar sistoscpy diinsersi melalui uretra klien. Instrumen ini memiliki selubung
plastik atau karet. Sebuah obturator yang membuat skop tetap kaku selama insersi.
Sebuah teleskop untuk melihat kantung kemih dan uretra, dan sebuah saluran untuk
menginsersi kateter atau isntrumen bedah khusus.
7) Biopsi ginjal
Menentukan sifat, luas, dan progronosis ginjal. Prosedur ini dilakukan dengan
mengambil irisan jaringan korteks ginjal untuk diperiksa dengan tekhnik
mikroskopik yang canggih. Prosedur ini dapat dilakukan dengan metode perkutan
(tertutup) atau pembedahan (terbuka).
8) Angiografi (arteriogram)
Merupakan prosedur radiografi invasif yang mengefaluasi sistem arteri ginjal.
Digunakan untuk memeriksa arteri ginjal utama atau cabangnya untuk mendeteksi
adanya penyempitan atau okulasi dan untuk mengefaluasi adanya massa (cnth:
neoplasma atau kista) (Potter & Perry, 2006).
8. Theraphy/Tindakan Penanganan
Mempertahankan kebiasaan eliminasi
Perawat mempelajari waktu saat klien berkemih normal, seperti saat bangun tidur
atau sebelum makan. Klien biasanya memerlukan waktu untuk berkemih. Kebutuhan
untuk berespons terhadap keinginan berkemih klien juga merupakan hal yang penting.
Penundaan dalam membantu klien ke kamar mandi dapat mengganggu proses
berkemih normal dan menyebabkan inkontinensia.
Penggunaan obat-obatan
Terapi obat-obatan yang diberikan secara tersendiri atau yang bersamaan dengan
terapi lain dapat membantu masalah inkontinesia dan retensi. Terdapat 3 tipe obatobatan. Satu obat merelaksasi kandung kemih yang mengalami ketegangan atau
spasme sehingga meningkatkan kapasitas kandung kemih. Satu obat menstimulasi
kontraksi kandung kemih sehingga meningkatkan pengosongan kandung kemih. Dan
satu obat lainya menyebabkan relaksasi otot polos prostat, mengurangi obstruksi pada
aliran uretra.
Kateterisasi
Kateterisasi kandung kemih dilakukan dengan memasukan selang plastic atau
karet melalui uretra kedalam kandung kemih. Kateter memungkinkan mengalirnya
urine yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau
klien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat yang digunakan untuk
mengukur haluan urine per jam pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil.
Pencegahan infeksi
Klien yang dikateterisasi dapat mengalami infeksi melalui berbagai cara.
Mempertahankan drainase urine tertutup, merupakan tindakan yang penting untuk
mengotrol infeksi. System yang rusak dapat menyebabkan masuknya organism.
Daerah yang memiliki resiko ini, adalah daerah insersi kateter, kantung drainase, clap,
dan sambungan antara selang dan kantung. Irigasi dan instilasi kateter diperlukan
untuk mempertahankan kepatenan urine menetap, kadang-kadang perlu untuk
mengirigasi atau membilas kateter.
Menguatkan otot dasar panggul
Latihan dasar panggul meningkatkan kekuatan otot dasar panggul yang terdiri dari
kontraksi kelompok otot yang berulang
Bladder retraining
Tujuan bladder retraining ialah untuk mengembalikan pola normal perkemihan
dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih (Asmadi, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
1. NANDA
International.2012.Diagnosis
Keperawatan:Definisi
dan
Klasifikasi
2012-
2014.Jakarta:EGC
2. Dochterman, Joanne M. & Bulecheck, Gloria N. 2008. Nursing Interventions Classification :
Fifth Edition. United States of America : Mosby.
3. Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcomes Classification : Fifth Edition. United States of
America : Mosby
4. Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
5.
6.
7.
8.