Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daerah Tropis dan Subtropis atau dikenal juga dengan Temperate Zone,
adalah daerah atau area yang berada antara 2 garis pada peta dunia yaitu garis
Cancer dan garis Capricorn. Iklim pada daerah ini berbeda dengan iklim
dibelahan bumi yang lainnya. Termasuk dalam zona ini adalah negara Asia pada
umumnya seperti Indonesia, sebagian benua Australia, Amerika Tengah dan
Selatan, serta Afrika. Penyakit infeksi menular yang lazim terjadi di daerah tropis
dan subtropis, selalu disebut sebagai Penyakit Infeksi Tropis. Penyakit infeksi
menular dapat berjangkit dari seseorang kepada orang lain yang sehat dengan
berbagai cara. Ada yang menularkan langsung dari penderita ke orang sehat
melalui udara, kontak langsung, makanan/minuman yang terkontaminasi kuman
penyebab, atau melalui peralatan yang digunakan. Tetapi banyak jenis penyakit
menular memerlukan makhluk hidup lainnya untuk dapat menularkannya kepada
manusia, bahkan acap pula memerlukan lebih dari satu jenis makhluk hidup
sebagai perantara sebelum memasuki tubuh manusia (Satyareni et al. 2011)
Beberapa organisme yang menyebabkan penyakit tropis adalah bakteri
dan virus. (WHO, 2012). Beberapa diantara penyakit tropis adalah demam tifoid,
demam berdarah, demam chingkunguya, malaria, cacar, TBC (tuberculosis),
difteri, pertusis, SARS( severe acute respiratory syndrome) , kaki gajah
(filariasis) dan masih banyak penyakit tropis lainnya oleh karena itu penyakit

tropis merupakan masalah kesehatan penting di Indonesia serta masih


memerlukan perhatian yang khusus (Satyareni, 2011)
Faktor penyebab timbulnya Penyakit Infeksi Tropis seperti tingkat ekonomi
yang rendah di beberapa negara karena tingkat pendapatan yang rendah secara
nasional, dengan kata lain, kemiskinan yang menjadi penyebab kurang gizi dan
rentannya penduduk terhadap berbagai penyakit, kemiskinan di sini mencakup
kemiskinan perorangan maupun kemiskinan negara . Penyakit Infeksi tropis atau
penyakit menular inii kalau tidak diatasi secara dini akan berakibat fatal bahkan
bisa

menyebabkan

kematian

tergantung

akut/kronisnya

penyakit

yang

diderita(Satyareni, 2011).
Penyakit tropis yang tidak segera ditangani atau diobati dapat menjadi
penyakit berat yang menimbulkan komplikasi, salah satu komplikasi yang
ditimbulkan adalah gagal ginjal dan hypoproteinemia, bila tidak ditangani dengan
serius dapat menyebabakan kematian. Oleh Karena itu perlu diketahui apasaja
penyakit tropis yang dapat menyebabkan hypoproteinemia dan gagal ginjal.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit tropis?
2. Apa yang di maksud dengan hipoproteinemia?
3. Bagamaina penyebab dan gejala terjadinya hipoproteinemia?
4. Apa saja macam-macam penyakit tropis yang dapat menyebabkan
hyperproteinemia dan bagaimana mekanismenya?
5. Bagaimana hubungan hiperproteinemia dengan gagal ginjal?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit tropis.
2. Untuk mengetahui pengertian penyakit hipoproteinemia.
3. Untuk mengetahui penyebab dan gejala terjadinya hipoproteinemia.
4. Untuk mengetahui macam-macam penyakit tropis yang dapat menyebabkan
hyperproteinemia dan mekanismenya.
5. Untuk mengetahui hubungan hiperproteinemia dengan gagal ginjal.

D. Manfaat
Untuk menambah pengetahuan mahasiswa, tentang macam-macam penyakit
tropis yang berkaitan dengan hiperproteinemia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyakit Tropis
1. Penyakit tropis adalah penyakit yang lazim terjadi didaerah tropis dan
subtropis. Istilah ini juga sering mengacu pada penyakit yang berkembang
di wilayah panas berkondisi lembab, seperti wilayah beriklim panas
seputar garis khatulistiwa. Penyakit ropis sebenarnya memiliki kototasi
negative yang berhubungan dengan cara hidup yang tidak sehat, hygiene
yang buruk dan penyakit yang menular.
2. Model penyakit tropis terdiri dari:
a. Penyakit infeksi oleh bakteri
Seperti: TBC, difteri, pertussis, tetanus, demam tifoid, kusta, pes,
antraks, leptospirosis dan lain-lain.
b. Penyakit infeksi oleh virus
Seperti: demam berdarah, chikungunya, campak, hepatitis, rabies,
HIV, varicela, flu burung, SARS, polio dan lain-lain.
c. Penyakit infeksi oleh parasite
Seperti: malaria, cacingan, filariasis
Penyakit tropis dapat menyebabkan terganggunya kinerja organ-organ
penting dalam tubuh, sehingga perlu di cegah terjadinya penyakit berat
dan komplikasi.

B. Pengertian Hipoproteinemia
Hypoproteinemia adalah menurunnya kadar protein plasma, hypoproteinemia
dapat disebabkan karena penurunan protein plasma secara berlebih atau
adanya aktivitas katabolisme yang berlebih (Cik Sasmi. 2015)

Penurunan protein plasma secara berlebih karena plasma berpindah dari


intravaskuler kompatemen ke rongga intertisial yang kemudian menimbulkan
asites.
Rendahnya protein plasma yang berlangsung lama dapat menimbulkan
komplikasi berupa sindrom nefrotik, osteoporosis, asam urat, peningkatan
lemak plasma, dan gizi buruk.
C. Penyebab dan Gejala Terjadinya Hipoproteinemia
1. Hipoproteinemia disebabkan karena penurunan protein secara berlebihan
atau adanya aktivitas katabolisme yang berlebihan dan sedikitnya
produksi.
2. Hipoproteinemia lebih sering akibat hipoalbuminemia (misalnya pada
kasus amiloidosis ginjal), dan hanya kadang-kadang saja akibat
rendahnya konsentrasi globulin (pada kasus malabsorbsi intestinal).
Defisiensi imun jarang menyebabkan penurunan TPP.
3. Hipoalbuminemia terjadi pada penyakit hati stadium akhir.
a. Pada kondisi ini kurang lebih 80% fungsi hati telah berkurang sebelum
terdeteksi adanya hipoalbuminemia.
b. Katabolisme albumin dihati menurun dan half-life albumin menjadi
diperpanjang. meng-akibatkan tertundanya kejadian hipoalbuminemia.
4. Selama terjadi hipoalbuminemia terjadi kompensasi peningkatan
konsentrasi globulin. Pada keadaan ini dapat mengaburkan kejadian
hipoproicinemia jika hanya total protein plasma yang diukur.
5. Apabila secara bersamaan terjadi dehidrasi, kejadian hipoproteinernia
bisa titik terdeteksi.
D. Macam-macam Penyakit Tropis yang Menyebabkan Hipoproteinemia
1. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh
plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium ovale dan

plasmodium malariae yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan


ditemukannya bentuk aseksual didalam darah ditularkan melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina yang mengandung parasit didalam kelenjer
liurnya (Siregar 2015).
Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi yang berat
dan bahkan dapat menimbukan suatu variasi manisfestasi-manifestasi
akut dan jika tidak diobati, dapat menyebabkan kematian. Seorang dapat
menginfeksi lebih dari satu jenis plasmodium, dikenal sebagai infeksi
campuran atau majemuk (mixed infection). Pada umumnya lebih banyak
dijumpai dua jenis plasmodium, yaitu campuran antara plasmodium
falciparum dan plasmodium vivax atau plasmodium malariae. Kadangkadang dijumpai tiga jenis plasmodium sekaligus, meskipun hal ini jarang
terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah dengan angka
penularan tinggi (Putra 2011)
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung
parasit. Demam mulai timbul bersamaan pecahnya skizon darah yang
mengeluarkan macam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang
makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam
sitokin, diantaranya Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF akan dibawa aliran
darah ke hipothalamus, yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh
manusia. Sebagai akibat demam terjadi vasodilasi perifer yang mungkin
disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit.
Keberadaan Plasmodium dalam tubuh akan merangsang sistem imun
terutama Reticulo Endothelial System (RES) dengan mengaktivasi sel
limfosit T, makrofag, dan berbagai sitokin seperti Tumor Necrosis Factor

alpha (TNF) dan Interleukin-1 (IL-1), menyebabkan terjadinya induksi


pelepasan metabolit oksigen Reactive Oxygen Intermediate (ROI) dan
Reactive Nitrogen Intermediate (RNI) yang akan bereaksi membentuk
Nitric Oxide (NO) melalui aktivasi inducible Nitric Oxide Synthase
(iNOS/NOS

2/NOS

tipe2)

yang

sebenarnya

berperan

dalam

mengeliminasi parasit, namun karena sifatnya yang tidak spesifik, dapat


menyebabkan kelainan patologis (Sarwono et al. 2011).
Virus dengue masuk kedalam tubuh inang kemudian mencapai sel
target yaitu makrofag. Sebelum mencapai sel target maka respon immune
non-spesifik dan spesifik tubuh akan berusaha menghalanginya. Aktivitas
komplemen pada infeksi virus dengue diketahui meningkat seperti C3a
dan C5a mediator-mediator ini menyebabkan terjadinya kenaikan
permeabilitas kapiler13 celah endotel melebar lagi. Akibat kejadian ini
maka terjadi ekstravasasi cairan dari intravaskuler ke extravaskuler dan
menyebabkan

terjadinya

tanda

kebocoran

plasma

seperti

hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura, asites, penebalan dinding


vesica fellea dan syok hipovolemik (Achmadi 2010).
Tingginya kadar Reactive Nitrogen Intermediate (RNI) akan
mencetuskan rangsangan terhadap iNOS dan terjadi Sedangkan untuk
NAC walaupun keberadaannya kurang sintesis NO 100-1000 kali lebih
banyak dibanding hasil sintesis NO oleh isoform NOS lainnya seperti
endothelial NOS ataupun neuronal NOS. Peningkatan jumlah NO yang
terlalu banyak akan mengakibatkan kerusakan oksidatif melalui hambatan
respirasi sel sehingga menjadi salah yang menunjang sistem imun dan

mampu meningkatkan satu penyebab terjadinya komplikasi pada


penderita malaria (Sarwono et al. 2011).
Gagal ginjal merupakan salah satu komplikasi akibat malaria berat
disamping malaria serebral, gangguan hepar, edema paru, dan kelainan
lainnya. Mortalitas dapat mencapai 45% pada malaria berat dengan
gangguan fungsi ginjal dibanding dengan yang tanpa kelainan fungsi
ginjal yaitu sebesar 10%. Kelainan fungsi ginjal 5-10% disebabkan
nekrosis tubular akut. Nekrosis tubular akut ini disebabkan adanya
anoksia karena penurunan aliran darah ginjal sebagai akibat dari
sumbatan kapiler (iskemik). Sumbatan tersebut terjadi karena PRBC sulit
melalui kapiler karena proses sitoadherensi dan sekuestrasinya. Lokasi
tersering dari nekrosis tubular akut akibat malaria adalah segmen
proksimal dan lesi primernya adalah sel epitel (Sarwono et al. 2011).
Malaria berat akibat Plasmodium Falciparum mempunyai
patogenesis yang khusus. Eritrosit yang terinfeksi P. Falciparum akan
mengalami proses sekuestrasi yaitu tersebarnya eritrosit yang berparasit
tersebut ke pembuluh kapiler alat dalam tubuh. Selain itu pada permukaan
eritrosit yang terinfeksi akan membentuk knob, yang berisi berbagai
antigen Plasmodium falcifarum. Pada saat terjadi proses sitoadherensi,
knob tersebut akan berikatan dengan reseptor endotel kapiler. Akibat dari
proses inilah terjadi obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh darah
kapiler yang menyebabkan terjadi iskemia jaringan. Terjadinya sumbatan
jaringan

juga didukung oleh

proses terbentuknya

rosette yaitu

bergerombolnya sel darah merah yang berparasit dengan sel darah


merah lainnya. (Kementerian Kesehatan, 2008)

2. Demam Berdarah Dengue (DBD)


Demam berdarah dengue (atau Dengue Haemorrhagic Fever,
selanjutnya disingkat DBD) ialah penyakit yang terdapat pada anak dan
dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya
memburuk setelah dua hari pertama. Sindrom renjatan dengue (dengue
shock syndrome, selanjutnya disingkat DSS) ialah penyakit DBD yang
disertai renjatan (Mansjoer dkk, 2000).
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke
dalam Arbovirus (Arthropod borne virus) grup B, terdiri dari empat tipe,
yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4. Keempat tipe virus dengue tersebut
terdapat di Indonesia, dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara
serologis. Virus dengue yang termasuk dalam genus Flarivirus ini
berukuran diameter 40 nanometer, dapat berkembang biak dengan baik
pada berbagai macam kultur jaringan (Soedarto, 1995). Infeksi dengue
adalah penyakit menular melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit
ini umum terjadi di daerah tropis, terutama negara-negara Asia Tenggara.
Bentuk parah infeksi dengue disebut demam berdarah dengue (DBD)
membutuhkan

rawat

inap.

Trombositopenia

dan

hemokonsentrasi adalah ciri khas dari DBD. Pemeriksaan laboratorium


meliputi: pada akhir fase demam jumlah leukosit dan sel neutrofil menurun
sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat, penurunan jumlah

sel trombosit menjadi < 100.000/mm3, peningkatan nilai hematokrit (Ht)


sampai dengan 20% atau lebih, kadar albumin menurun sedikit dan
bersifat

sementara.

Pada

kasus

berat

dijumpai

disfungsi

hati.

hipoproteinemia (Hadinegoro, dkk., 2002).


WHO (1986) membagi menjadi empat kategori penderita menurut
derajat berat penderita sebagai berikut:
a. Derajat I : Adanya demam tanpa perdarahan spontan, manifestasi
perdarahan hanya berupa tourniket tes yang positif.
b. Derajat II : Gejala demam diikuti dengan perdarahan spontan,
biasanya berupa perdarahan dibawah kulit dan atau tanpa perdarahan
lainnya.
c. Derajat III : Adanya kegagalan sirkulasi berupa nadi yang cepat dan
lemah, penyempitan tekanan nadi (<20 mmHg), atau hipotensi,
dengan disertai akral yang dingin dan gelisah.
d. Derajat IV : Adanya syok yang berat dengan nadi tak teraba dan
tekanan darah tidak terukur (Soegijanto, 2002).
Keterlibatan Ginjal dalam DBD telah dilaporkan, ginjal mengalami
komplikasi dapat diklasifikasikan atas karakteristik klinis dan patologis
dalam

transient

akut

reversibel

glomerulonefritis,

kronis

progresif

ireversibel
glomerulonefritis, dan amiloidosis. Dalam kebanyakan kasus yang parah,
gagal ginjal akut (ARF) dapat dilihat. Namun hanya ada beberapa laporan
tentang besarnya. Penulis menganalisis besarnya ARF antara kematian
kasus

DBD

di

Thailand.

Penulis

melakukan

mini-studi

untuk

mendokumentasikan besarnya tingkat ARF antara laporan kasus DBD


yang fatal di Thailand. Sebuah tinjauan literatur dari makalah tentang ARF

dilaporkan kasus Thailand dengan DBD fatal dikutip dari dalam Medicus
Indeks dan Science Citation Indeks dan juga karya-karya yang diterbitkan
dalam 256 jurnal lokal yang tidak termasuk dalam internasional
Indeks. Menurut review, ada empat laporan meliputi 51 kasus DBD fatal
dari jumlah 6154 kasus DBD. Dari kasus-kasus fatal, 17 kasus memiliki
ARF, memberikan tingkat kejadian sama dengan 33,3% di antara kasus
DBD fatal dan 0,3% di antara semua kasus DBD. Di sini, dapat dikatakan
bahwa ARF merupakan komplikasi fatal pada DBD. Banyaknya kasus
kematian akibat DBD karena kesulitan memprediksi perjalanan klinis dari
DBD, terutama memprediksi apakah pasien syok atau tidak. Sel endotel
kapiler diperkirakan memiliki peran penting dalam pathogenesis DBD, hal
ini disebabkan karena kebocoran vaskuler dan berhubungan dengan
gangguan integritas endotel kapiler. Adanya peningkatan permeabilitas
vaskuler pada DBD menyebabkan hilangnya sejumlah cairan plasma dari
ruang

intravaskuler

ke

ruang

interstisial

yang

mengakibatkan

hypoproteinemia.

3. Infeksi Cacingan Akibat Parasit STH


Infeksi helminths yang disebabkan oleh soil-transmitted helminths
(STH) banyak ditemukan pada masyarakat yang bertempat tinggal di
negara berkembang, terutama di pedesaan. Cacing yang tergolong dalam
kelompok STH adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya
memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif.
Empat jenis STH yang paling sering ditemukan adalah cacing gelang

(roundworm/Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura),


dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale).
(Suriptiastuti, 2006)
Parasit STH Cacing tambang dewasa dari genera Necator dan
Ancylostoma tinggal di usus halus manusia bagian atas, sedangkan
cacing gelang di seluruh usus halus dan cacing cambuk dewasa tinggal di
usus besar khususnya sekum. Parasit ini dapat tinggal beberapa tahun
dalam saluran gastrointestinal manusia. Besarnya STH sangat bervariasi
dan cacing betina lebih besar dibandingkan cacing jantan. Setelah kawin,
setiap cacing betina dewasa dapat menghasilkan ribuan telur per hari.
(Suriptiastuti, 2006)
Infeksi STH tersebar diberbagai negara tropik dan subtropik. Iklim
merupakan determinan utama dari penyebaran infeksi ini, kelembaban
dan suhu yang panas sangat penting bagi perkembangan larva dalam
tanah. Faktor iklim ini meliputi temperatur, curah hujan, cahaya matahari
dan angin. Juga factor tanah, seperti macam (jenis) tanah, sifat partikel
tanah dan cara pengolahan tanah. Temperatur, sangat penting untuk
cacing ini melanjutkan siklus hidupnya. Setiap jenis cacing mempunyai
temperatur

optimum

yang

berbeda.

Untuk

perkembangan

telur

A.lumbricoides, misalnya, memerlukan temperatur yang berkisar antara


200-250 C, T.trichiura kira-kira 300C dan untuk N.americanus memerlukan
temperatur optimum antara 280-320 C. Kelembaban juga merupakan
faktor penting untuk mempertahankan hidup cacing. Bila kelembaban
rendah maka telur A.lumbricoides dan T.trichiura tidak akan berkembang

dengan baik dan larva cacing tambang akan cepat mati. Kelembaban
tanah tergantung pada besarnya curah hujan. (Suriptiastuti, 2006)
Infeksi cacing tambang masih merupakan masalah kesehatan di
Indonesia,

karena

menyebabkan

anemia

defisiensi

besi

dan

hipoproteinemia. Hipoproteinemia yang disebabkan oleh cacing tambang


diakibatan oleh kehilangan protein albumin karena perdarahan kronik
pada saluran cerna. Karena cacing tambang berkembang dengan
menghisap darah dan menyebabkan perdarahan kronik, maka dapat
terjadi hipoproteinemia yang bermanifestasi sebagai edema pada wajah,
ekstremitas atau perut, bahkan edema anasarka. (Sumanto,2010)
Infeksi STH seringkali tidak menimbulkan keluhan dan gejala yang
spesifik, dengan demikian para dokter harus melakukan pemeriksaan
feses. Cara Kato-Katz fecal-thick smear dan McMaster digunakan untuk
mengukur intensitas dari infeksi dengan memperkirakan jumlah telur per
gram

tinja. Tujuan

utama

dari

pengobatan

infeksi

STH

adalah

mengeluarkan semua cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat


yang banyak digunakan untuk mengeluarkan infeksi STH adalah
mebendazole

dan

albendazole.

Namun,

untuk

cacing

tambang,

mebendazole dosis tunggal memberikan rate pengobatan yang rendah


dan albendazole lebih efektif. Sebaliknya albendazole dosis tunggal tidak
efektif untuk kasus trichiuriasis. (Suriptiastuti, 2006)
E. Hubungan Hipoproteinemia dengan Gagal Ginjal

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F., 2010. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, 2, p.48.
Putra, R.I., 2011. Malaria dan Permasalahannya. , 11(2), pp.103114.
Sarwono, I. et al., 2011. Kombinasi Klorokuin dan N-Acetyl cysteine Menurunkan
Ekspresi iNOS Tubulus Proksimal Ginjal. , 26(4), pp.221226.
Siregar, M.L., 2015. Malaria berat dengan berbagai komplikasi. , pp.149156.

Anda mungkin juga menyukai