Anda di halaman 1dari 5

Secara normatif sebagaimana ketentuan Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 yang


menyatakan bahwa perkawinan pada asasnya dilakukan oleh hubungan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan, yakni dengan tujuan memperoleh keturunan dan membina
rumah tangga yang diharapkan. Lebih lanjut, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu sendiri. Sebagaimana dijelaskan pada perkawinan sesama jenis di atas,
mengindikasikan bahwa hal tersebut menyalahi kodrat yang telah ditentukan hukum dan juga
adat (pakem).Perkawinan sesama jenis secara normatif berdasarkan peraturan perundangundangan di Indonesia tidak dapat dilakukan, karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan sudah disebutkan bahwa perkawinan adalah jalinan batin dan
biologis antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di sisi yang lain berdasarkan
perspektif hak asasi manusia atau HAM, yang menyebutkan bahwa tidak ada seorangpun
yang menghendaki dilahirkan di dunia dengan keadaan yang menyimpang dan juga tidak
dibenarkan adanya suatu kaidah hukum apapun membedakan orang yang satu dengan yang
lain. Artinya, hubungan seksual yang menyimpang seperti perkawinan sejenis tidak dapat
dianggap perbuatan dosa dan aib, karena telah mendapat pengakuan dan pengaturannya. Hal
ini tercermin dari ketentuan UUD 1945 Bab XA Pasal 28B (1) yang menyatakan Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah, artinya kaidah dasar normatif tidak melarang berperilaku menyimpang (gaydan lesbian)
maupunmenuntut agar keinginan berpasangan untuk membentuk keluarga melalui
perkawinan yang sah. Hal tersebut ditekankan kembali pada Pasal 28I (5) yang menyatakan
bahwa Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
perkawinan sejenis yang akan datang haruslah diupayakan menerima bagi kalangan agama
dan masyarakat adat,baru kemudian negara memberikan legalitasnya dan bentuk hukum.
Namun, HAM menjadi tidak berlaku apabila hubungan sejenis tersebut secara potensial
menimbulkan penyakit seks menular, yakni tidak berlakunya pelayanan hukum keabsahan
bagi hubungan mereka dalam peraturan perkawinan.14

Tinjauan Hukum Islam Perkawinan Sesama Jenis di Indonesia


Hukum Islam senantiasa memperhatiakan kemaslahatan manusia dalam menghadapi maslah
dalam kehidupannya, salah satunya terkait dengan substansi jiwanya yang berasal dari
kehendak hawa nafsu manusia yang ingin melampiaskan seks di luar ketentuan hukum Islam.
Penyimpangan biologis yang melanggar fitrah manusia seperti perkawinan sejenis dalam
hukum Islam menentang secara keras, karena telah menyalahi aturan yang telah ada dalam
Al-Quran dan Al-Hadist sebagai dasar hukum Islam yang telah ada.15
Lebih lanjut menekankan bahwa Islam memberikan bentuk nash dalam perbuatan yang
tercela yang pernah terjadi pada kaum Nabi Nuh dan Nabi Luth yang terbukti telah membawa
malapetaka yang luar biasa baik berujud kutukan wabah penyakit dan lainnya (QS. AlAnkabut (29): 28-35. Selain itu juga, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempertegas
dengan beberapa Pasal yang tidak jauh berbeda dengan hukum normatif, yakni syarat
perkawinan yang sah adalah ikatan batin dan biologis antara laki-laki dan perempuan
sebagaimana ketentuan Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf d, Pasal 29 ayat (3) serta Pasal 30 KHI.
Artinya, pasal-pasal KHI tersebut dengan tegas menyatakan melarang perkawinan sesama
jenis apabila tidak ada ketentuan baku syarat sahnya sesuai dengan peraturan UndangUndang dan juga agama. Lebih lanjut,dalil fikih ulama secara umum mekankan hukum haram
bagi perkawinan sejenis, yakni; (1) pelaku (gay) harus dibunuh secara muthlak, (2) pelakunya
(gay) harus di hadd sebagaimana haddzina, yakni dengan hukuman muhsanmaupun dirajam,
dan (3) pelakunya harus disanksi sesuai perlakuannya.16

Secara normatif sebagaimana ketentuan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1


Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Pasal 1 Perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha esa. Selain itu, di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan juga bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. ini berarti selain negara hanya mengenal perkawinan antara wanita dan pria,
negara juga mengembalikan lagi hal tersebut kepada agama masing-masing.10
Perkawinan sesama jenis secara normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan
di Indonesia tidak dapat dilakukan, karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan sudah disebutkan bahwa perkawinan adalah jalinan batin dan biologis
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di sisi yang lain berdasarkan perspektif hak
asasi manusia atau HAM, yang menyebutkan bahwa tidak ada seorangpun yang menghendaki
dilahirkan di dunia dengan keadaan yang menyimpang dan juga tidak dibenarkan adanya
suatu kaidah hukum apapun membedakan orang yang satu dengan yang lain. Artinya,
hubungan seksual yang menyimpang seperti perkawinan sejenis tidak dapat dianggap
perbuatan dosa dan aib, karena telah mendapat pengakuan dan pengaturannya. Hal ini
tercermin dari ketentuan UUD 1945 Bab XA Pasal 28B (1) yang menyatakan Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah,
artinya kaidah dasar normatif tidak melarang berperilaku menyimpang (gaydan lesbian)
maupun menuntut agar keinginan berpasangan untuk membentuk keluarga melalui
perkawinan yang sah. Hal tersebut ditekankan kembali pada Pasal 28I (5) yang menyatakan
bahwa Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa perkawinan sejenis yang akan datang haruslah diupayakan menerima bagi kalangan
agama dan masyarakat adat,baru kemudian negara memberikan legalitasnya dan bentuk
hukum. Namun, HAM menjadi tidak berlaku apabila hubungan sejenis tersebut secara
potensial menimbulkan penyakit seks menular, yakni tidak berlakunya pelayanan hukum
keabsahan bagi hubungan mereka dalam peraturan perkawinan.11

Mengenai perkawinan yang diakui oleh negara hanyalah perkawinan antara pria dan
wanita juga dapat kita lihat dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan (UUAdminduk) beserta penjelasannya Dan Pasal 45
ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2011 tentang Pendaftaran
Penduduk danPencatatan Sipil (Perda DKI Jakarta No. 2/2011) beserta penjelasannya : 10
Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk: Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana
ditempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
perkawinan.
Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk: Yang dimaksud dengan "perkawinan"
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 45 ayat (1) Perda DKI Jakarta No. 2/2011: Setiap perkawinan di Daerah yang
sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, wajib dilaporkan oleh yang
bersangkutan kepada Dinas di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh)
hari sejak tanggal sahnya perkawinan.
Penjelasan Pasal 45 ayat (1) Perda DKI Jakarta No. 2/2011: Yang dimaksud dengan
"perkawinan" adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri sesuai denganketentuan perundang-undangan.
Kemudian, dari sisi agama Islam, perkawinan antara sesama jenis secarategas
dilarang. Hal ini dapat dilihat dalamSurah Al-Araaf (7): 80-84, yangartinya sebagai berikut:
"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata
kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum
pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?" Sesungguhnya kamu
mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita,malah
kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnyatidak lain hanya mengatakan:
"Usirlah mereka (Luth dan pengikut- pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia
dan pengikut-pengikutnya (yang beriman) kecuali istrinya (istri Nabi Luth);dia termasuk
orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kamiturunkan kepada mereka hujan (batu);
maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu."

Selain itu,Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga secara tidak langsung hanya
mengakui perkawinan antara pria dan wanita, yang dapat kita lihat dari beberapa pasalpasalnya di bawah ini:12
Pasal 1 huruf a KHI : Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Pasal 1 huruf d KHI : Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada
calonmempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
Pasal 29 ayat (3) KHI : Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon
mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Pasal 30 KHI :Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelaiwanita dengan jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Selain itu, mengenai perkawinan sejenis ini, beberapa tokoh juga memberikan
pendapatnya. Di dalam artikel Hukum online yang berjudul Menilik Kontroversi Perkawinan
Sejenis, sebagaimana kami sarikan,Ketua KomisiFatwa MUI KH Ma'ruf Amindengan tegas
menyatakan bahwa pernikahan sejenis adalah haram. Lebih lanjut Ma'ruf Amin mengatakan,
Masak laki-laki sama laki-laki atau perempuan sama perempuan. Itu kan kaumnya Nabi
Luth. Perbuatan ini jelas lebih buruk daripada zina. Penolakan serupa juga dikatakan oleh
pengajar hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, FaridaPrihatini. Dia
mengatakan bahwa perkawinan sejenis itu tidak boleh karenadalam Al Quran jelas
perkawinan itu antara laki-laki dan perempuan.13 Jadi, dapat kiranya disimpulkan bahwa
berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia perkawinan sesama jenis tidak dapat
dilakukan karenamenurut hukum, perkawinan adalah antara seorang pria dan seorang wanita.
Pada sisi lain, hukum agama Islam secara tegas melarang perkawinan sesama jenis.
10. Moelyanto. KUHP (kitab undang- undang hukum pidana). Bina Aksara:Jakarta.
11. Makhfudz, Muhammad., 2010, Berbagai Permasalahan Perkawianan dalam Masyarakat
Ditinjau dari Ilmu Sosial dan Persamaan Kesempatan (EOC) Hukum, Jurnal Hukum UNDIP.
12. Hasan Ali Masail Fiqhiyah al- haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum
Islam.PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
13. Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam. CV. Haji
Masagung. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai