Oktober 2014
1)
Abstrak
Saat ini permasalahan lingkungan menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam produksi biodiesel.
Meskipun sumber energi ini (biodiesel) dianggap sebagai karbon netral, namun dalam rangkaian proses
produksinya masih menghasilkan berbagai gas berbahaya ke lingkungan. Negara-negara Eropa dan Amerika
mengklaim bahwa produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit memberikan kontribusi emisi karbon ke
atmosfer sepanjang jalur produksinya. Selain itu, US EPA-NODA dan EU RED menyatakan bahwa biodiesel
dari minyak kelapa sawit hanya dapat mengurangi emisi GWP 17% dan 19% dibandingkan dengan bahan bakar
berbasis fosil. Mengingat bahwa persyaratan minimum US adalah 20% dan EU adalah 35%, maka minyak
kelapa sawit dari Indonesia mengalami kesulitan untuk memasuki pasar global. Pendekatan ilmiah harus
dilakukan oleh Indonesia untuk mengatasi masalah ini. Tinjauan dari berbagai literatur menyebutkan bahwa
keberlanjutan produksi biodiesel dari kelapa sawit lebih baik dibandingkan jarak pagar, bahkan apabila
dibandingkan dengan bahan baku yang lain seperti lobak. Tinjauan dari berbagai literatur menyebutkan bahwa
nilai karbon yang dapat diserap oleh hutan primer lebih tinggi dari hutan sekunder dan dari perkebunan kelapa
sawit. Kondisi inilah yang menjadi alasan mengapa dunia menyebutkan bahwa Indonesia sebagai penyebab
pemanasan global, meskipun penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan berdasarkan data terakhir di Indonesia.
Dari kondisi ril di Indonesia diperoleh nilai GRK sebelum produksi stabil yaitu 2.575,47 kg-CO2eq./ton-minyak
biodiesel (BDF) untuk minyak kelapa sawit dan 3.057,74 kg-CO2eq./ton-BDF untuk minyak jarak pagar. Ketika
produksi sudah stabil diperoleh nilai GRK sebesar 1.511,96 kg-CO2eq./ton-BDF untuk minyak kelapa sawit and
380,52 kg-CO2eq./ton-BDF untuk minyak jarak pagar. Jika kita bandingkan dengan minyak solar, maka nilai
emisi CO2eq. dapat diturunkan 49,27 % untuk biodiesel dari minyak kelapa sawit dan 88,45 % untuk biodiesel
dari minyak jarak pagar.
Kata kunci : Potensi pemanasan global, penilaian siklus hidup, biodiesel, minyak kelapa sawit
1)
Abstract
Currently, environmental consideration becomes the most important issue in biodiesel production. Eventhough
source of energy is considered as carbon neutral, the production path may release various environmentally
hazardous gasses. European and American countries claim that production of biodiesel from palm oil
contributes carbon emission to the atmosphere along its production path. Furthermore, US EPA-NODA and EU
RED stated that palm oil based biodiesel can only reduce emission of GWP by 17 % and 19 % compared to
fossil-fuel based. Considering on the minimum requirement is 20 % for US and 35 % for EU, CPO from
Indonesia experiences difficulties to enter the global market. Scientific approach should be undertaken by
Indonesia to address this issue. Summary of the literature mentions that the sustainability of biodiesel from palm
oil is better than Jatropha curcas, compared to other sources of raw materials, such as rapeseed. Summary of the
literature mentions that the value of carbon that can be absorbed by primary forest is higher than secondary
81
PENDAHULUAN
Alternatif yang paling dapat diandalkan untuk substitusi bahan bakar fosil adalah
bahan bakar nabati (biofuel). Biodiesel adalah salah satu dari biofuel yang dikembangkan dan
digunakan secara intensif di Indonesia. Di Indonesia biodiesel dihasilkan dari crude palm oil
(CPO) dan crude jatropha curcas oil (CJCO), dan Eropa dari rapeseed, sedangkan USA dari
soybean (kacang kedelai). Saat ini, pertimbangan lingkungan menjadi isu yang paling penting
dalam produksi biodiesel. Meskipun sumber energi ini dianggap sebagai karbon netral, jalur
produksinya dapat memancarkan berbagai gas yang berbahaya ke lingkungan.
Negara-negara Eropa mengklaim bahwa produksi biodiesel dari CPO memberikan
kontribusi emisi karbon ke atmosfer sepanjang jalur produksinya. US EPA-NODA dan EU
RED menyatakan bahwa biodiesel berbasis CPO hanya dapat mengurangi emisi global
warming potential (GWP) 17 %
82
Evaluasi melalui :
- Cek Kelengkapan
- Cek Sensitivitas
- Cek Konsistensi
- Cek yang lain
Pengumpulan data
Validasi data
Terkait data ke unit proses
Alokasi arus dan rilis
Kesimpulan
Rekomendasi
Pelaporan
METODE PENELITIAN
1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Departemen
Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta IPB Bogor dan di Graduate School of Agriculture and
Life Science, The University of Tokyo Japan pada bulan Juni 2011 s.d Desember 2012.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan pada studi ini adalah data skunder dari berbagai jurnal
nasional dan internasional dari berbagai negara. Life cycle inventory (LCI) dilakukan dengan
menggunakan data yang dikumpulkan dari perkebunan kelapa sawit PT.PN VIII-Banten dan
Pusat Induk Jarak Pagar Pakuwon Sukabumi yang terletak di bagian barat pulau Jawa di
Indonesia, dan sumber lain seperti jurnal, praktek lapang mahasiswa, skripsi, tesis, laporan
penelitian yang masih relevan, serta pengukuran laboratorium. Data ini dijadikan sebagai
sumber data utama pada kajian ini.
83
Tanaman
siap panen
Pembibitan
(E)
Pemupukan
Massa, energi
(E)
Proteksi
(E)
Pemanenan
Massa, energi
Massa, energi
PKS/
TBS/ bijit Ekstraksi
jarak
T
Pupuk
Massa, energi
Penanaman
Massa, energi
T
Pestisida & Herbisida
Lahan siap
tanam
Bibit
Pembukaan
lahan
(E)
Transportasi (T)
Massa, energi
Emisi (E)
(E)
(E)
T
CPO/
CJCO
Pabrik
biodiesel 1 ton
BDF
kernel
Cangkang
Tandan kosong/
Ranting kosong
Sabut/Kulit buah
Cradle to gate
Sukabumi. Jarak mengangkut bibit dari area pembibitan ke area penanaman 30 km dengan
kapasitas truk 5 ton, dengan rasio bahan bakar diesel 1:5 (1 liter untuk 5 km); dari area
pemanenan untuk mengangkut tandan buah segar (TBS) ke PKS sebesar 150 km dengan
kapasitas truk 10 ton dengan rasio bahan bakar diesel 1:7, dan dari PKS ke pabrik biodiesel
(di Bekasi) 200 km dengan kapasitas truk 10 ton.
MASUKAN
KELUARAN
PROSES
Calculation by Software MiLCAJEMAI
2.
terhadap lingkungannya dari operasi pengolahan kelapa sawit mempengaruhi lingkungan air
47 %, tanah 24 %, udara 8 %, dan lainnya 21 %. Siangjaeo et al. (2011) mengatakan untuk 1
juta liter produksi biodiesel per hari, kasus Krabi, Chonburi dan Pathumthani mengakibatkan
masing-masing perubahan stok karbon sebesar -709.000 kg-CO2eq/hari, -748.000 kgCO2eq/hari, dan -600.000 kg-CO2eq/hari. Namun, penelitian ini menunjukkan keseimbangan
gas rumah kaca negatif yang berarti biodiesel yang membantu mengurangi gas rumah kaca di
atmosfer.
Lam et al. (2009) yang melakukan penelitian meliputi budidaya tanaman, tahap
ekstraksi CJCO sampai tahap produksi biodiesel, menemukan bahwa untuk menghasilkan 1
ton biodiesel jarak pagar membutuhkan luas tanah 118 % lebih tinggi dibandingkan dengan
memproduksi 1 ton biodiesel CPO. Selain itu, penyerapan CO2 untuk rantai siklus hidup
biodiesel kelapa sawit adalah 20 kali lebih tinggi dari biodiesel jarak. Semua hasil penelitian
yang dilakukan menunjukkan keunggulan dan keberlanjutan kelapa sawit sebagai bahan baku
untuk produksi biodiesel. Yee et al. (2009) menemukan bahwa pemanfaatan biodiesel kelapa
86
sawit menghasilkan rasio energi sebesar 3,53 (energi output/energi input), hal ini
menunjukkan energi positif bersih yang dihasilkan dan menjamin kelestariannya. Rasio
energi untuk biodiesel sawit ditemukan lebih dari dua kali lipat dari biodiesel rapeseed, yaitu
hanya 1,44, sehingga CPO menjadi bahan baku lebih berkelanjutan untuk produksi biodiesel
dibandingkan dengan minyak rapeseed (lobak). Yee et al. (2009) juga menemukan bahwa
pembakaran biodiesel sawit ditemukan lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan
petroleum-diesel, dimana terdapat pengurangan emisi CO2 sebesar 38 % per liter bahan
bakar.
Achten et al. (2010) mengatakan bahwa biodiesel dari jarak pagar lebih tinggi dalam
penggunaan energi fossil dibandingkan kelapa sawit, yaitu 82 % berbanding 45 %, namun
untuk GWP lebih rendah pada jarak pagar dibandingkan dengan sawit, yaitu 55 % berbanding
77 %. Penelitian mereka diambil dari data pabrik dan perkebunan di Allahabad India,
sedangkan untuk kelapa sawitnya diambil di 3 lokasi perkebunan petani di Kamerun.
Prueksakorn et al. (2006) mengatakan bahwa GWP yang dominan berasal dari
produksi-penggunaan pupuk, proses irigasi, dan proses transesterifikasi masing-masing
sekitar 31 %, 26 %, dan 24 %. Namun jika dibandingkan dengan produksi penggunaan diesel,
emisi GRK (gas rumah kaca) lebih rendah sekitar 77 %. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa
konsumsi energi untuk transesterifikasi lebih tinggi dari fertilisasi, namun dalam emisi GRK
posisi tertinggi pada fertilisasi. Itu karena senyawa N dari proses produksi pupuk N dan
penggunaan sumber N2O (nitrit) menciptakan efek gas rumah kaca yang sangat kuat. Lebih
lanjut Prueksakorn et al. (2006) memaparkan bahwa emisi CO2 untuk memproduksi biodiesel
dari jarak pagar dengan transesterifikasi mempunyai nilai sebesar 4,7 % untuk persiapan
lahan; 0,2 % untuk budidaya; 26,1 % untuk irigasi; 30,3 % untuk pemupukan; 3 % untuk
peretakan; 10,9 % untuk penekanan oli; 0,5 % untuk penyaringan, dan 24,3 % untuk proses
transesterifikasi.
Stuttgart et al. (2007) mengatakan bahwa emisi dari biodiesel (JME) dengan bahan
baku jarak pagar diperoleh bahwa nilai CO sebesar 0,15; HC sebesar 0,03; NOx sebesar 0,37;
particulate sebesar 0,013, CO2 sebesar 181 dan konstantan minyak sebesar 15,36. Ndong et
al. (2009) menyebutkan bahwa GWP CH4 dan N2O mempunyai nilai masing-masing sebesar
25 dan 298. Lebih lanjut Ndong et al. (2009) memberikan rincian emisi GRK di berbagai
proses dasar, yaitu : budidaya jarak menyumbang 52 % dari emisi keseluruhan, sementara
tahap transesterifikasi dan tahap pembakaran akhir masing-masing adalah 17 % dan 16 %.
Emisi yang besar terjadi selama langkah pertanian karena penggunaan pupuk, yaitu sebesar
93 %.
87
Gomaa et al. (2011) menyelidiki pengaruh emisi EGR (exhaust gas recirculation)
pada injeksi tidak langsung mesin diesel berbahan bakar dengan campuran jatropha bio
diesel (JBD) untuk mengurangi NOx dan asap emisi. Asap, NOx, karbon monoksida (CO) dan
karbon dioksida (CO2) dan berbagai parameter kinerja mesin dicatat dan dievaluasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, pada 5 % EGR pada JBD5, serta NOx dan asap berkurang
masing-masing 27 % dan 17 % masing-masing. Selanjutnya, pada JBD20 dengan EGR
sebesar 10 %, juga mampu mengurangi NOx dan emisi asap masing-masing 36 % dan 31 %.
Gomaa et al. (2011) juga mengatakan bahwa emisi CO dari campuran JBD lebih
rendah daripada diesel fuel (DF). Emisi CO2 meningkat dengan jumlah campuran biodiesel
yang meningkat. Emisi NOx meningkat dengan meningkatkan suhu pembakaran, dan Emisi
NOx meningkat dengan meningkatnya jumlah campuran biodiesel. Selain itu, emisi NOx JBD
campuran lebih tinggi daripada DF. Serta emisi asap campuran JBD lebih rendah daripada
DF. Hal ini mungkin disebabkan oleh jumlah oksigen dalam campuran yang memberikan
kontribusi untuk menyelesaikan proses pembakaran yang stabil. Biodiesel dari jarak pagar
menghemat
66%
emisi
GRK
dibandingkan
dengan
solar,
penilaian
ini
sudah
penanaman dan ekstraksi minyak. Nazir et al. (2010) juga mengatakan bahwa emisi GRK dan
dampak lingkungan lebih tinggi pada biodiesel dari CPO daripada CJCO. Siregar et al.
(2012) juga melakukan life cycle inventory tentang LCA biodiesel di Indonesia dari bahan
baku CPO dan CJCO, dan Rosmeika et al. (2012) melakukan kajian exergetic life cycle
assessment tentang penggunaan katalik dan non-katalik untuk memproduksi biodiesel dari
CPO di Indonesia. Pramudita et al. (2012) juga melakukan LCI jarak pagar di Indonesia,
serta Sekiguzi et al. (2011) melakukan kajian LCA biodiesel dari CJCO, dengan mengambil
beberapa data dari Pusat Induk Jarak Pagar Pakuwon Sukabumi Indonesia. Dan beberapa
peneliti Indonesia yang konsen terhadapa LCA, antara lain : Dr.Udin Hasanuddin dari
Universitas Lampung, Dr.Herdata dari Fakultas Pertanian IPB, Mr.Agung Widianto dari
BRDST BPPT, serta Prof.Dr.Aramnsyah H.Tambunan dari Jurusan TMB Fateta IPB.
CPO banyak
diperdebatkan dalam tahapan penanaman kelapa sawit tersebut. Hal ini merupakan
perdebatan yang panjang antara kawasan Eropa dan Asia (khususnya Indonesia). Di
Indonesia telah menetapkan ketentuan standar produksi minyak sawit berkelanjutan dalam
Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bersifat wajib (mandatory) kepada seluruh
pelaku usaha di industri kelapa sawit. Sedangkan pasar Eropa hanya mengakui standar RSPO
(Roundtable on Sustainable Palm Oil). RSPO dan ISPO merupakan tantangan tersendiri bagi
Indonesia ke depan, karena sebagai produsen terbesar CPO saat ini, Indonesia harus mampu
meyakinkan pasar global bahwa produksi CPO Indonesia merupakan yang terbaik, sehingga
standar ISPO yang sudah ditetapkan akan menjadi rujukan.
Biodiesel bersifat terbaharui dari tumbuhan, dan ramah lingkungan, emisi CO 2 yang
dihasilkan dari pembakaran mesin-mesin akan diserap kembali oleh tanaman melalui
mekanisme fotosintesis, sehingga menekan akumulasi CO2 di atmosfir atau yang banyak
dikenal dengan zero CO2 emission. Analisis yang yang mendasari klaim negara-negara Eropa
bahwa perkebunan kelapa sawit dan produksi biodiesel Indonesia merusak lingkungan atau
menambah emisi karbon ke udara, sehingga meyebabkan peningkatan terhadap pemanasan
global, antara lain :
- Berdasarkan konvensi-konvensi yang ada dan sumber-sumber pemanasan global dijelaskan
sebagai berikut :
89
Indonesia telah meratifikasi konvensi tentang pemanasan global melalui Undang Undang
No. 6 Tahun 1994 mengenai perubahan iklim dan Undang Undang No. 17 Tahun 2004
tentang pengesahan Protokol Kyoto. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia
tidak berkewajiban untuk mengurangi emisi CO2 namun diharapkan untuk melaporkan
besarnya emisi CO2 yang dihasilkan, sehingga sebenarnya klaim negara-negara Eropa
kurang tepat karena Indonesia tidak berkewajiban untuk hal tersebut.
Dalam kaitan ini, Indonesia telah menyampaikan kepada UNFCCC hasil penyusunan
Komunikasi Nasional Pertama (First National Communication) pada tahun 1999 sebagai
bukti keseriusannya dalam menangani perubahan iklim, dan kedua tahun 2009.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) sebagai lembaga yang menjadi focal
point dalam implementasi program-program yang berhubungan dengan perubahan iklim.
Emisi CO2 dapat berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti : batubara, minyak
bumi dan gas bumi, emisi dari industri semen dan konversi lahan. Berdasarkan data dari
Carbon Dioxide Information Analysis Center (2000) penggunaan bahan bakar fosil
merupakan sumber utama emisi CO2 di dunia dan mencapai 74% dari total emisi.
Konversi lahan mempunyai kontribusi sebesar 24% dan industri semen sebesar 3%. Dari
data ini juga melemahkan klaim negara Eropa tentang penyebab pemanasan global dari
perkebunan kelapa sawit, khususnya di Indonesia
- Namun selanjutnya (khususnya untuk Indonesia) dijelaskan berdasarkan data dan klaim
beberapa organisasi, bahwa Indonesia sebagai penyumbang pemanasan global akibat
pembukaan perkebunanan kelapa sawit secara besar-besaran, sehingga merusak hutan dan
lahan gambut, dijelaskan sebagai berikut :
Emisi CO2 merupakan bagian terbesar dari emisi GRK di Indonesia dengan komposisi
sebesar hampir 70 % dan sisanya sebesar
Berdasarkan laporan Komunikasi Nasional Pertama, sumber utama emisi GRK adalah
sektor energi dan sektor kehutanan. Sektor energi mempunyai pangsa sebesar 46 % dari
total emisi GRK yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil pada bermacam-macam
aktivitas seperti : produksi energi, pengolahan energi dan juga pembakaran energi yang
digunakan baik untuk pembangkit listrik maupun untuk keperluan industri lainnya.
Sejarah dampak perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi dan emisi
karbon. Data yang ada menunjukkan bahwa 70% dari perkebunan kelapa sawit di
Indonesia menggantikan hutan dan secara langsung mengakibatkan sekitar 187 PPM
antara periode 1982-1999 saja. Jika diasumsikan bahwa 70% dari perkebunan kelapa
90
sawit dibangun antara 1999 dan 2005 (sekitar 3 juta ha) juga menggantikan hutan
daripada yang lain yang berpotensi 528 MTC dilepaskan ke atmosfer selama periode ini.
Pada kenyataannya, perkebunan kelapa sawit kemungkinan telah mengakibatkan
deforestasi lebih dari ini karena kenyataannya sering menggusur masyarakat setempat
yang bermigrasi ke daerah berhutan dengan melakukan perladangan berpindah-pindah
dan perkebunan kelapa sawit sering juga digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan
akses ke sumber kayu.
Perkebunan kelapa sawit telah ditanam pada lahan gambut yang menyimpan karbon
dalam jumlah besar. Data yang tersedia menunjukkan bahwa izin penggunaan lahan
(HGU) yang telah dikeluarkan untuk 491.046 ha lahan gambut di Kalimantan dan 97.870
hektar di Riau. Jika semua perkebunan menyadari ini, sampai berapa X ton karbon per
tahun yang akan dipancarkan ke atmosfer, sehingga menyebabkan pemanasan global.
Konversi hutan alam untuk kelapa sawit dan hilangnya keanekaragaman hayati,
kepunahan spesies dan berbagai masalah lingkungan seperti erosi tanah dan polusi air.
Konversi tersebut juga menghasilkan emisi karbon. Hutan primer di Indonesia
diperkirakan menyimpan sekitar 230 Mg karbon per hektar, sedangkan hutan sekunder
menyimpan sekitar 176 Mg karbon1, dan perkebunan sawit hanya menyimpan sekitar 91
Mg karbon2 per hektar. Ini berarti bahwa sekitar 160 Mg karbon yang hilang ketika hutan
primer dikonversi dan didirikan dengan perkebunan kelapa sawit. Lebih banyak karbon
dapat dilepaskan ke atmosfer jika kebakaran digunakan untuk membersihkan hutan dan
membuat jalan bagi perkebunan kelapa sawit.
Pada tahun 1998, Departemen Kehutanan mengeluarkan moratorium sementara terhadap
konversi hutan akibat dampak dari ekspansi kelapa sawit di hutan Indonesia. Namun,
kemudian diizinkan pada Februari 1999, ijin ini mencapai sekitar 843.058 ha lahan hutan.
Sekitar 70% dari ijin hutan ini dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Sebagian besar
lahan hutan berada di Riau (417.503 ha), Lampung (74.779 ha), Kalimantan Tengah
(100.100 ha) dan Kalimantan Timur (168.848 ha) (Casson et al. 2007).
Saat ini bukti yang bersifat anekdot menunjukkan bahwa desentralisasi ijin pembukaan
lahan telah mengakibatkan deforestasi meluas. Gubernur telah diberikan kewenangan
untuk mengeluarkan Ijin Pembukaan Lahan (IPK) untuk lahan hutan konversi (HPK) dan
1
Ini merupakan estimasi karbon yang tersimpan dalam hutan primer yang mengandung pohon-pohon dengan diameter lebih dari 30 cm
ditemukan di Jambi, Sumatera. Sebagian besar karbon yang tersimpan di hutan tropis dapat ditemukan dalam biomassa tanah di atas
(batang, ranting, daun, tanaman merambat, dan tanah). Hal ini juga disimpan dalam batang mati, berdiri pohon mati, sampah dalam bentuk
daun, batang, ranting, bunga, buah-buahan dan residu api (Skutch et al. 2007).
2
Ginolga et al. (2000) hanya menemukan kelapa sawit mengandung sekitar 27 Mg C/ha. Hal ini disebabkan fakta bahwa Ginolga et al.
(2000) menyumbang hanya untuk biomassa di atas tanah sementara penelitian lain diperhitungkan dalam biomassa serasah, tanah dan bawah
tanah.
91
kategori hutan bahkan lainnya, seperti produksi dan hutan produksi terbatas, tanpa
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Departemen Kehutanan, bahkan, Bupati
Kabupaten Seruyan di Kalimantan Tengah diduga telah memfasilitasi pelepasan 274.188
ha lahan hutan menjadi 23 perusahaan perkebunan antara tahun 2004 dan 2005 tanpa
memperoleh izin dari Departemen Kehutanan. Di Kalimantan Timur, pemerintah provinsi
diduga akan mengeluarkan izin pembukaan lahan dengan alasan palsu untuk perusahaan
yang ingin hanya untuk panen kayu. Bahkan, informasi dari Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau dan Papua
menunjukkan bahwa izin lokasi sudah diterbitkan untuk sekitar 7,5 juta ha lahan. Total
luas lahan ini diperkirakan dibutuhkan untuk memproduksi 41 juta ton CPO pada tahun
2020. Ketika statistik ini dikombinasikan dengan data yang dikumpulkan oleh Sawit
Watch-sebuah LSM Indonesia yang ditujukan untuk memantau perkembangan kelapa
sawit di Indonesia-jumlah total lahan yang dialokasikan untuk pengembangan minyak
sawit di masa depan hanya sebesar 13,8 juta ha. Statistik ini menunjukkan bahwa lahan
yang cukup telah dialokasikan untuk pengembangan kelapa sawit yang direncanakan
untuk memenuhi permintaan CPO pada tahun 2020.
Delft Hydrolics (2006) dalam Skutsch et al. (2007) mengasumsikan bahwa 25% dari
perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah ditanam di lahan gambut (sekitar 1,4 juta
hektar) salah satu cadangan terbesar dekat permukaan karbon organik terestrial. Data saat
ini menunjukkan bahwa sekitar 17% dari izin penggunaan lahan yang dikeluarkan untuk
pengembangan kelapa sawit telah dikeluarkan untuk konsesi di lahan gambut di
Kalimantan. Sebagian besar izin terletak dalam provinsi Kalimantan Barat, dimana 14%
dari penggunaan lahan izin yang dikeluarkan untuk kelapa sawit di lahan gambut terletak
perkembangan. Ini memungkinkan mencakup area seluas 212.670 ha. Dan 646.324 ha
lainnya merupakan lahan gambut yang juga telah dialokasikan untuk perkembangan
kelapa sawit yang direncanakan di Kalimantan. Sebagian besar (79%) dari lahan gambut
yang terletak dalam propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Di Riau, sekitar
13% dari izin penggunaan lahan yang dialokasikan untuk pengembangan kelapa sawit
juga berada di lahan gambut. Kelapa sawit semakin banyak ditanam di lahan gambut
karena sebagian besar tanah mineral yang cocok di dataran rendah Sumatera dan
Kalimantan cocok dengan kelapa sawit. Lahan gambut juga cenderung memiliki
kepadatan penduduk rendah. Penanaman kelapa sawit di lahan gambut dapat
menyebabkan emisi karbon yang signifikan. Studi emisi karbon dari budidaya kelapa
sawit di tanah gambut mengandung emisi karbon rata-rata 54-55 ton /ha/tahun, yang
92
berarti hilangnya tanah gambut dari sekitar 9 cm/tahun (berdasarkan kandungan karbon
rata-rata 60 Kg-C/m3. Dampak penanaman kelapa sawit di lahan gambut bahkan mungkin
lebih besar lagi (ProForest 2003).
Pelepasan karbon dari tanah gambut dipercepat oleh api karena api segera melepaskan
karbon ke atmosfer. Di sisi lain, oksidasi bahan gambut yang dihasilkan dari kompresi
dan drainase tanah gambut di perkebunan kelapa sawit menyebabkan hilangnya gambut
secara bertahap selama periode 10 sampai 20 tahun. Ekspansi perkebunan kelapa sawit
sering dikaitkan dengan api karena umumnya digunakan untuk membersihkan vegetasi
sebelum ditanam.
Perusahaan kelapa sawit yang mempengaruhi kebakaran hutan lebih dari lima juta hektar
hutan di Kalimantan saja (Siegert et al. 2001). Menurut Page et al. (2002) dan Santilli et
al. (2005), kebakaran gambut Indonesia dirilis antara 0,81-2,57 Gigaton (Gt) karbon dan
sejumlah besar sulfur oksida ke atmosfer pada tahun 1997 saja. Ini adalah 13-40 % dari
rata-rata emisi bahan bakar fosil pada tahun itu dan lebih dari emisi tahunan pembangkit
listrik Eropa barat dan produksi mobil. Angka-angka ini didukung oleh fakta bahwa tahun
1997 memiliki lompatan tahunan terbesar CO2 di atmosfer global pada catatan (Siegert et
al. 2001; Page et al. 2002). Selama periode 1997-2006, emisi CO2 dari kebakaran lahan
gambut di Indonesia sebanyak 4.300 Mt/tahun (Delft Hydrolics 2007 dalam Skutsch et al.
2007).
Greenpeace mengatakan minyak kelapa sawit produksi Unilever memiliki biaya
lingkungan sebesar 714 M/tahun. Menurut Greenpeace jika Unilever memperhitungkan
konsekuensi untuk iklim dari produksi minyak sawit, maka akan menambah 714
M/tahun untuk biaya operasi atau setara dengan 14 % dari kotor keuntungan pada tahun
2007. Setengah sumber bahan bakunya Unilever dari Indonesia. Estimasi karbon Unilever
sendiri untuk produksi, distribusi, penggunaan dan limbah sebesar 240 M ton/tahun,
dimana 50 M ton yang berasal dari rantai pasokan. Greenpeace mengatakan transportasi
minyak sawit dari Indonesia berkontribusi setengahnya. Salah satu fakta menyebutkan
bahwa perkebunan kelapa sawit telah menghabiskan tanah setelah 25 tahun, sehingga
biaya akan naik ke 1 miliar atau setara dengan sekitar 18% dari laba kotor perusahaan.
Greenpeace juga mengatakan bahwa budidaya kelapa sawit menyebabkan kerusakan
tidak dapat diperbaiki terhadap satwa liar. Setelah aksi Greenpeace di pabrik margarin di
Rotterdam dan Inggris, akhirnya Unilever mendukung deforestasi dan reklamasi rawa
gambut, dan produksi minyak sawit akan dihentikan segera. Dari tahun 2015 perusahaan
93
94
4.The unilateral action done by UNILEVER which is justifying an NGOs report reflects
distrust in the Indonesian laws and regulations pertaining development and
management of oil palm plantations.
5.Production CPO will steadily grow over time in line with growing demands from both
domestic and world markets. CPO will remain as one of the most lucrative
commodities with potential CPO markets to develop. Thus, the suspension case of
UNILEVER will not impact and influence to the Indonesian CPO market.
Berdasarkan data-data dan klaim Greenpeace, Sawit Watch, dan LSM lain di atas lah,
maka masyarakat Eropa menuding Indonesia sebagai penyebab emisi pemanasan global
melalui perkebunan kelapa sawitnya. Dan klaim ini lebih cenderung dalam proses dibudidaya
serta perusakan hutan, dan pembakaran lahan gambut. Walaupun banyak yang berpikir
bahwa ini lebih pada persaingan sumber bahan baku biodiesel, dimana Eropa dari rapeseed
dan Amerika dari soybean, dimana produktivitas nya untuk menghasilkan biodiesel jauh
dibawah CPO.
biodiesel. Hal ini juga mungkin terjadi untuk hasil penelitian di Indonesia yang terdiri dari
berbagai pulau, dimana setiap lokasi mempunyai kondisi, tekstur dan iklim lingkungan yang
berbeda-beda, sehingga input material dan energi juga akan berbeda. Penelitian ini lebih
mencerminkan kondisi Sumatera dan Pulau Jawa. Khusus Indonesia juga belum mempunyai
standar LCA, sehingga tidak bisa melakukan normalisasi dan mengambil nilai faktor emisi.
3.5
kg-CO2/kg
3.0
2.5
49.27 %
reduction
2.0
1.725
73.06 %
reduction
1.5
0.916
1.0
0.5
0.0
Fuel source
Diesel oil
BDF-Palm oil
BDF-Jatropha curcas
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. LCA telah dijadikan oleh Negara Eropa, Amerika sebagai basis kajian dampak lingkungan
dalam pengembangan biodieselnya, sementara Indonesia masih dilakukan secara parsial.
2. Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar dunia, seharusnya sudah melakukan
kajian LCA tentang produksi biodieselnya, namun sampai saat ini belum terlalu banyak
publikasi internasional yang dilakukan, sehingga sangat sulit untuk menjawab rilis yang
dikeluarkan oleh US EPA-NODA tentang biodiesel dari CPO yang hanya dapat
menurunkan global warming sebesar 17 %.
3. Penggunaan energi fosil lebih besar pada BDF-CPO dibandingkan BDF-CJCO, dan
rangkuman dari berbagai literatur menyebutkan bahwa keberlanjutan pengembangan
biodiesel dari kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan jarak pagar, bahkan jika
dibandingkan dengan sumber bahan baku yang lain, seperti rapeseed, soybean.
4. Dari data Indonesia yang diambil langsung diperoleh nilai GWP sebelum produksi stabil
adalah 2575,47 kg-CO2eq./ton-BDF untuk kelapa sawit dan 3057,74 kg-CO2eq./ton-BDF
96
untuk jarak pagar, serta pada saat produksi stabil diperoleh nilai GWP sebesar 1511,96 kgCO2eq./ton-BDF untuk kelapa sawit dan 380,52 kg-CO2eq./ton-BDF untuk jarak pagar.
5. Total nilai penurunan emisi CO2 jika dibandingkan dengan fossil diesel bisa mencapai
49.27 % untuk biodiesel dari CPO dan 73.06 % untuk biodiesel dari CJCO.
DAFTAR PUSTAKA
Achten WMJ, Almeida J, Vandenbempt P, Bolle E, Fobelets V, Verchot LV, Singh VP,
Mathijs E, Muys B. 2010. Life Cycle Assessments of Biodiesel : Jatropha versus Palm
Oil. Proceeding of LCA food 2010.2 : 113-118, Bari-Italy. September 22-24.
Brittaine R, Lutaladio N. 2010. Jatropha : A smallholder bioenergy crop-The potential for
pro-poor development integrated crop management, Vol.8. Food and Agricultural
Organisation of The United Nation, Rome.Italy.
Ciambrone, D.F.1997. Environmental Life Cycle Analysis, Florida: CRC Press LLC.
Casson A, Tacconi L, Deddy K. 2007. Strategies to reduce carbon emissions from the oil
palm sector in Indonesia. WWF-Indonesia, 22 Ocyober 2007.
Ginoga K, Cacho O, Erwidodo, Lugina M, and Djaenudin D. 2000. Economic performance
of common agroforestry systems in southern Sumatra: implications for carbon
sequestration services, Working paper.
Greenpeace. 2009. Environment : Palm oil producers misled over green claims, November,
2009.
Greenpeace. 2011. Endless grouses over Rountable on Suistanable Palm Oil trademark,
August, 2011.
Gomaa M, Alimin AJ, Kamarudin KA. 2011. The Effect of EGR Rates on NO x and Smoke
Emmisions of an IDI Diesel Engine Fuelled with Jatropha Biodiesel Blends.
International Journal of Energy and Enviroment, Vol.2, Issue 3, 2011, pp.477-490.
IPCC. 2006. IPCC Guidelines for national greenhouse gas inventories, Vol.4 ; Agriculture,
forest and land use. IPCC,2006.
Kamahara H, Widiyanto A, Tachibana R, Atsuta Y, Goto N, Dainen H, Fujie K. 2009.
Improvement Potential for Net Energy Balance of Biodiesel Derived from Palm Oil :
A Case Study from Indonesia Practice and Carbon Footprint and Life Cycle
Assessment: Current Status, Action Needed, and Future Prospect. J.Biomass and
Bioenergy.Vol.34, p.1818-1824.
Lam MK, Lee TK, Mohamed AR. 2009. Life Cycle Assessment for The Production of
Biodiesel: A Case Study in Malaysia for Palm Oil versus Jatropha Oil.Society of
Chemical Industry and John Wiley & Sons, Ltd, 5 October 2009.
97
C. 2000. An Introduction to
clps.com/lca/.(Accessed 30 July 2011).
Life
Cycle
Assessment.http://www.i-
Siegert F, Ruecker G, Hinrichs A, Hoffmann AA. 2001. Increased Damage from Fires in
Logged Forests During Droughts Caused by El Nino. Nature.Vol.414.
Skutsch M, Bird N, Trines E, Dutschke M, Frumhoff P, De Jong B, Laake P, Masera O,
Murdiyarso D. 2007. Clearing the way for reducing emissions from tropical
deforestation.inEnvironmental Science and Policy.Vol.10, p. 322-334, Elsevier.
Sekiguchi T. 2011. Life cycle assessment of biodiesel fuel production by SMV method.
Workshop of life cycle assessment of biodiesel production using non-catalytic superheated methanol vapor method, The Universuty of Tokyo and IPB. Bogor. 28 October
2011.
Siangjaeo S, Gheewala SH, Unnanon K, Chidthaisong A. 2011. Implications of land use
change on the life cycle greenhouse gas emissions from palm biodiesel production in
Thailand. Energy for Sustainable Develop-Scient Direct-Elsevier,Inc.
Siregar K, Tambunan AH, Irwanto AK, Wirawan SS, Araki T. A Comparison of life cycle
inventory of pre-harvest, production of crude oil, and biodiesel production on
Jatropha curcas and palm oil as a feedstock for biodiesel in Indonesia. Proceeding of
Ecobalance 2012 conference,Yokohama. Japan. 21 24 November 2012.
98
Yee KF, Tan KT, Abdullah AZ, Lee KT. 2009. Life Cycle Assessment of Palm Biodiesel :
Revealing facts and benefits for sustainability. 22 Mei 2009, Malaysia.
Widiyanto A, Kato S, Maruyama N, Nishimura A, Sampattagul S. 2003. Environmental
Impacts Evaluation of Electricity Grid Mix System in Four Selected Countries Using
A Life Cycle Assessment Point of View. Proceeding of EcoDesign2003 : Third
International Sysmposium on Environmental Conscious Design and Inverse
Manufacturing, Tokyo, Japan, December 9-11, 2003, EcoDesign2003/1A-I.
Wirawan SS. and Tambunan A. 2006.The Current Status and Prospects of Biodiesel
Development in Indonesia : a review. Presented on the Third Asia Biomass
Workshop, November 16, 2006, Tsukuba, Japan.
99