Anda di halaman 1dari 5

Kritikan Hajjah Irena Handono terhadap

Prof. Syafii Maarif


Date: 1 Desember 2006Author: admin 222 Komentar

25 Votes
Seringkali pendapat seorang profesor dianggap selalu benar padahal tidak selamanya
demikian. Contoh : tulisan Prof Syafii Maarif yang dimuat di Republika, Rubrik Resonansi,
hal.12, tanggal 21 Nopember 2006.
Ketika itu Syafii Maarif mencoba menafsirkan Qs.Al-Baqarah : 62, dengan memberi kesan
bahwa Al-Quran mengesahkan semua penganut agama : Nasrani, Yahudi dan Sabiin akan
menjadi penghuni surga, hanya dengan berbuat kebajikan.
Hal itu ditempuh dengan mengutip tafsir Al-Azhar karya mufassir yang mulia Prof. DR. Hamka.
Padahal isi tafsir Prof.DR. Hamka tidak demikian.
Karenanya saya mencoba meluruskan pendapat Syafii Maarif agar tidak menyesatkan umat,
dengan cara membuat tanggapan atas tulisan tersebut dan mengirimkannya kepada Republika,
tetapi sayangnya sampai hari ini Republika seakan-akan enggan memuatnya.
Sehingga tanggapan tersebut saya lepaskan kepada pembaca melalui jalur internet. Semoga
upaya ini menjadi ibadah bagi saya.
Bekasi, 27 Nopember 2006
Hajjah Irena Handono

KETIKA MURID MENELIKUNG SANG GURU
Ahmad Syafii Maarif, bekas ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menerima pesan
singkat dari jenderal polisi yang bertugas di Poso. Sang jenderal minta Syafii membantunya
memahami ayat 62 surat Al-Baqarah. Jenderal itu berharap makna ayat itu akan membantunya
mengurai konflik yang terjadi di Poso. (Harian Republika, Selasa 21 November 2006 )

Syafii Maarif merujuk ke kitab gurunya Prof. DR. Hamka yakni Tafsir Al- Azhar. Sayangnya
buku tafsir itu dibaca dengan fikiran yang berkabut. Kesimpulannya, hal-hal yang benar dari
Hamka tertutup dan memunculkan pemikiran Syafii Maarif sendiri
Menurut Syafii Maarif, Hamka adalah seorang mufassir yang berani. Saya setuju dan benar
sekali. Bahkan beliau sudah menafsirkan ayat-ayat Allah dengan tepat dan gamblang, termasuk
surat Al-Baqarah ayat 62 dan Al-Maidah ayat 69 serta Ali Imran ayat 85 yang terkait dengan ayat
62 surat Al- Baqarah.
Tafsir Hamka terhadap surat Al-Baqarah ayat 62: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabiin, barang siapa yang beriman kepada Allah
dan Hari Kemudian dan beramal yang shaleh, maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan
mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita
Surat AlMaidah ayat 69: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi
dan (begitu juga) orang Shabiun, dan Nashara, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhirat, dan diapun mengamalkan amal yang shaleh, maka tidaklah ada ketakutan atas mereka
dan tidaklah mereka akan berduka cita.
Merujuk pada Tafsir Al Azhar. karya Prof.DR Hamka, seharusnya Syafii Maarif bisa menjawab
pertanyaan sang jenderal polisi dengan tegas dan benar. Sebab pada buku juz 1 halaman 212,
Hamka menyatakan sebagai berikut :
di dalam ayat ini dikumpulkanlah keempat golongan ini menjadi satu. Bahwa semua mereka
tidak merasakan ketakutan dan dukacita asal saja mereka sudi beriman kepada Allah dan Hari
Akhirat dan diikuti dengan amal yang saleh. Dan keempat-empat golongan itu lalu beriman
kepada Allah dan Hari Akhirat itu akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan mereka.
Jadi, penafsiran Prof DR Hamka, bukan tentang toleransi antar ummat beragama, tapi yang
paling pokok adalah keempat golongan itu hendaknya beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
Itulah syarat mutlak untuk mendapatkan ganjaran disisi Tuhan mereka. Mestinya penafsiran yang
gamblang ini jangan lagi diberi bayang-bayang kabut, karena tidak ada ayat Al Quran yang
saling bertentangan, tapi justru saling melengkapi.
Sebaliknya, Syafii Maarif menjejalkan fikirannya dengan menggambarkan Hamka (gurunya)
sebagai seorang yang rindu akan dunia yang aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku
beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing Jadi,
seolah-olah Hamka menyatakan beragama atau tidak bukan masalah, toh semua agama sama.
Saran saya supaya tidak terkesan menelikung pemikiran Prof. Hamka, hendaknya Syafii Maarif
juga mengutip pemikiran beliau pada halaman 214 dan 215 yaitu,
kerapkali menjadi kemuskilan bagi orang yang membaca ayat ini, karena disebut yang pertama
sekali ialah orang-oang yang beriman, kemudiannya baru disusul oleh Yahudi, Nashrani dan
Shabiin. Setelah itu disebutkan bahwa semuanya akan diberikan ganjaran oleh Tuhan apabila
mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, lalu beramal yang saleh. Mengapa orang yang
beriman disyaratkan beriman lagi ?

Lebih jauh Hamka berpendapat, setengah ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud disini
barulah iman pengakuan saja. Misalnya mereka sudah mengucapkan dua kalimah syahadat,
mereka telah mengaku dengan mulut, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad
utusan Allah. Tetapi pengakuan tadi baru pengakuan saja,belum diikuti oleh amalan, belum
mengerjakan rukun Islam yang lima perkara, maka iman mereka itu masih sama saja dengan
iman Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Apatah lagi orang Islam peta bumi saja atau Islam turunan,
maka Islam yang semacam itu masih sama saja dengan Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Barulah
keempat itu terkumpul menjadi satu, apabila semuanya memperbaharui iman, kembali kapada
Allah dan Hari Akhirat, serta mengikutinya dengan perbuatan dan pelaksanaan.
Itulah syarat mutlak sehingga keempat golongan itu menjadi satu dan padu yaitu beriman kepada
Allah, Hari Akhir dan beramal shaleh. Adapun yang tidak dikutip oleh Syafii Maarif sehingga
pemikirannya berkabut adalah kalimat Prof. Hamka pada halaman 215 yaitu, Apabila telah
bersatu mencari kebenaran dan kepercayaan, maka pemeluk segala agama itu akhir kelaknya
pasti bertemu pada satu titik kebenaran.
Ciri yang khas dari titik kebenaran itu adalah menyerah diri dengan penuh keikhlasan kepada
Allah yang SATU ; itulah Tauhid, itulah Ikhlas, dan itulah Islam ! Maka dengan demikian orang
yang telah memeluk Islam sendiripun hendaklah menjadi Islam yang sebenarnya. Inilah
sebenarnya pemikiran Islami dari Prof. DR. Hamka yang ditelikung oleh Syafii Maarif, sang
murid.
Di sisi lain, pernahkah terfikirkan oleh Syafii Maarif bahwa keyakinan Kristiani menyatakan
Allah dalam Al Quran bukan Tuhan dalam Bible (Lihat buku .The Islamic Invasion, karya Robert
Morey, edisi Bahasa Indonesia, Halaman 62, yang isinya sebagai berikut: Ketika kita
bandingkan sifat-sifat Tuhan Al Kitab (Bible) dengan sifat-sifat Tuhannya Al Quran, muncul
dengan jelas, bahwa keduanya bukanlah dari Tuhan yang sama! Bahkan pada halaman yang
sama tertulis bahwa : Latar belakang sejarah mengenai asal-usul dan makna kata Arab Allah
bukanlah Tuhan yang menjadi sesembahan orang Yahudi dan orang Kristen. Allah hanyalah
suatu berhala Dewa Bulan bangsa Arab yang dimodifikasi dan ditingkatkan maknanya.
Pada halaman yang sama Robert Morey mengutip pendapat Doktor Samuel Schlorff, yang
menyatakan dalam tulisannya mengenai perbedaan mendasar antara Allah dalam Al Quran dan
Tuhan dalam Al Kitab (Bible) sebagai berikut : Saya percaya bahwa kunci masalahnya adalah
pertanyaan mengenai hakekat Tuhan dan bagaimana Tuhan berhubungan dengan ciptaannya ;
Islam dan Kristen, meskipun mempunyai kesamaan secara formal, sesungguhnya sangat jauh
berbeda dalam masalah tersebut.
Nah marilah kita merenung kembali, samakah semua agama, samakah semua kitab suci ? Dan
seharusnya Syafii Maarif meyakini bahwa : satu-satunya agama di sisi Allah adalah Islam.
Bekasi, Rabu 22 Nopember 2006
Hajjah Irena Handono
Pendiri Irena Center,

Ketua Umum Gerakan Muslimat Indonesia (GMI),


Penasehat Muslimah Peduli Ummat (MPU).
Ahmad Syafii Maarif
Republika, Selasa, 21 Nopember 2006
http://www.republik a.co.id/kolom_ detail.asp? id=272485& kat_id=19
Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari
seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang
maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini
penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang
ditangkap di sana. Karena permintaan itu serius, maka saya tidak boleh
asal menjawab saja, apalagi ini menyangkut masalah besar yang di
kalangan para mufassir sendiri belum ada kesepakatan tentang maksud ayat
itu. Ayat yang substansinya serupa dapat pula ditemui dalam surat
al-Maidah ayat 69 dengan sedikit perdedaan redaksi. Beberapa tafsir saya
buka, di antaranya Tafsir al-Azhar karya Hamka yang monumental itu.
Sebenarnya saya cenderung untuk menerima penafsiran Buya Hamka dari
sekian tafsir yang pernah saya baca, baik yang klasik maupun yang
kontemporer. Dalam perkara ini Hamka bagi saya adalah fenomenal dan
revolusioner. Agar lebih runtut, saya kutip dulu makna kedua ayat itu
menurut tafsir Hamka.
Al-Baqarah 62: Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang yang
jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabiin, barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka
adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas
mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita.
Kemudian al-Maidah 69: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan
orang-orang Yahudi dan (begitu juga) orang Shabiun, dan Nashara,
barangsipa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan dia pun
mengamalkan yang shalih. Maka tidaklah ada ketakutan atas mereka dan
tidaklah mereka akan berdukacita.
Ikuti penafsiran Hamka berikut: Inilah janjian yang adil dari Tuhan
kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka
hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka
masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan
dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. Dan tidak
ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita (ujung
ayat 62), hlm.211.

Yang menarik, Hamka dengan santun menolak bahwa ayat telah dihapuskan
(mansukh) oleh ayat 85 surat surat Ali Imran yang artinya: Dan
barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali
tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan
termasuk orang-orang yang rugi. (Hlm. 217). Alasan Hamka bahwa ayat ini
tidak menghapuskan ayat 62 itu sebagai berikut: Ayat ini bukanlah
menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan
memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari
Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmannya,
segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi
Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih.
(Hlm 217).
Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85 surat Ali
Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam,
walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk
kita saja. Tetapi kalau kita pahamkan bahwa di antara kedua ayat ini
adalah lengkap melengkapi, maka pintu dawah senantiasa terbuka, dan
kedudukan Islam tetap menjadi agama fitrah, tetap (tertulis tetapi)
dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia. (Hlm. 217).
Tentang neraka, Hamka bertutur: Dan neraka bukanlah lobang-lobang api
yang disediakan di dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam,
sebagaimana yang disediakan oleh Dzi Nuwas Raja Yahudi di Yaman Selatan,
yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah
memegang agama Tauhid. Neraka adalah ancaman di Hari Akhirat esok,
karena menolak kebenaran. (Hlm. 218).
Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah
telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali Imran adalah sebuah
keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk
didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling
menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan
saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi
seperti yang diajarkan Alquran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang
anti Alquran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).
Terima kasih Buya Hamka, tafsir lain banyak yang sependirian dengan
Buya, tetapi keterangannya tidak seluas dan seberani yang Buya berikan.
Saya berharap agar siapa pun akan menghormati otoritas Buya Hamka,
sekalipun tidak sependirian.
Sumber : http://us.f527

Anda mungkin juga menyukai